Chapter 5
“Sejujurnya…
aku tidak terlalu percaya padamu, Masaomi-kun. Aku yakin aku ditipu. Aku terus
berpikir, mana mungkin ada pria yang mau menerima orang
sepertiku. Kamu hanya… begitu normal, sampai-sampai mustahil untuk tahu apa
yang kamu pikirkan. Bahkan saat itu—ketika semua orang merasa ngeri
padaku, menyebutku gadis halu dan aneh—kamu hanya sedikit lebih
tenang daripada yang lain. Dan ketika kamu membelaku dari hinaan
Takei-kun, kupikir… mungkin kamu hanya seseorang yang tidak tahan
mendengar orang berbicara buruk tentang orang lain. Hanya itu saja. Aku hanya
hidup di duniaku sendiri. Sisi Astral ada di sana, jadi aku pergi ke sana. Itu
saja. Aku tidak akan mengatakan ini demi semua orang. Tapi meskipun aku
berusaha menyelamatkan dunia… diberi tahu bahwa aku sakit jiwa, aku
tidak bisa berbuat apa-apa… Aku tidak berbohong. Aku tidak mengatakan
sesuatu yang salah. Jadi kumohon, percayalah padaku. Percayalah padaku— Namun di sinilah aku, seseorang yang tidak bisa
percaya pada orang lain... memangnya itu tidak adil? Aku bertanya-tanya, mungkinkah alasan tak ada yang
percaya padaku karena aku tidak percaya pada mereka lebih dulu. Tapi
Masaomi-kun bilang tidak apa-apa. Bahwa tidak apa-apa karena dialah yang bisa
menangkap frekuensiku. Bahkan bilang tanda yang tertinggal di tubuhku seperti
lencana kehormatan... itu sangat berarti bagiku. Aku sangat bahagia. Itu
sebabnya... karena aku percaya padamu... tolong percayalah padaku juga, sampai
akhir...”
Dalam
perjalanan pulang dari kencan mereka di tepi pantai, Masaomi sekilas melihat
sosok
Hibari yang asli.
Bagi
seseorang yang selalu mengaku penyendiri, dia tampak luar biasa
bersemangat selama kencan itu. Saat mereka menaiki kereta pulang,
matanya mulai sayu, dan saat mereka tiba di stasiun terdekat, bahu Masaomi
telah menjadi bantal tidur. Akhirnya, Masaomi terpaksa menggendongnya
dan mengantarnya pulang. Dalam keadaan setengah tertidur dan melamun itulah
Hibari mulai menggumamkan kata-kata itu—suaranya lebih tenang dari biasanya,
tetapi kata-katanya terdengar luar biasa.
Fakta
bahwa dia tahu tentang percakapan dengan Takei itu mengejutkan. Dan sebagian
dari apa yang dia katakan bahkan tidak masuk akal. Tentu saja dia takkan
mengingatnya sampai pagi. Hibari pasti sedang ngelindur, hanya bergumam
tanpa sadar.
── Dan itu tidak masalah, pikir
Masaomi.
Bahkan
Hibari pun mungkin tak ingin orang lain mendengar sesuatu yang begitu pribadi
dengan cara yang licik dan tak adil. Itu hanya kekhilafan sesaat, sebuah
kecelakaan... siaran pribadi, yang hanya ditangkap oleh hati Masaomi.
Frekuensi yang hanya sekali saja, penuh dengan gangguan.
Ia selalu
menganggap Hibari gadis yang kuat. Tapi kini ia menyadari—itu hanya
asumsinya saja.
Itu bukan
hal yang rumit. Jika Masaomi menempatkan dirinya di posisinya, semuanya
menjadi jelas.
Hibari masih
berusia tujuh belas tahun, seorang gadis SMA—hanya seorang gadis,
yang kebetulan terlahir dengan penampilan yang mencolok, yang tidak begitu
cocok dengan orang-orang di sekitarnya, yang dianggap sakit oleh
masyarakat, dan yang dunianya diremehkan. Tentu saja itu akan menyakitkan.
Tentu saja itu akan menghancurkannya.
Hanya
gadis biasa. Satu kalimat yang ia pikir takkan pernah berlaku untuk Hibari.
Hanya
anak laki-laki biasa. Kalimat yang menurutnya paling cocok untuk dirinya
sendiri.
Tapi
mungkin, mungkin saja... mereka salah paham. Seorang gadis yang menolak
kenormalan, dan seorang pria yang merindukannya.
── Mungkin aku hanya mengigau karena
kepanasan.
Masaomi tertawa getir
memikirkan hal itu.
Hibari sudah ketiduran cukup lama,
napasnya lembut dan damai—sangat berbeda dengan saat dia menyelam. Dengan
napas di dekat telinganya dan tubuhnya bersandar padanya, Masaomi perlahan
berjalan tertatih-tatih di jalanan gelap malam musim panas seperti siput.
Setiap kali mereka melewati lampu jalan, ia akan bergerak dan bergumam, “Mmm…” dengan gerutuan yang
terdengar hampir kesal.
Wajahnya
yang tertidur, yang pernah dilihatnya sebelumnya, entah bagaimana tampak lebih
bak bidadari dari sebelumnya—dan di saat yang sama, lebih
jahat. Beringas, panas, luar biasa. Rasanya sudah lama melampaui “panas”—tubuhnya
memancarkan begitu banyak panas hingga terasa panas. Dadanya menekan
punggungnya, bergerak lembut setiap kali ia bernapas. Sensasi ‘menekan erat’ dan ‘lebih dekat lagi’ bergantian, mengaduk-aduk
otaknya seperti sedang diacak.
Papan
nama di depannya bertuliskan “Sasuga” dengan font yang bergaya
dan berkelas.
Masaomi
senang telah bertanya lebih awal saat Hibari masih terjaga, untuk
mendapatkan gambaran umum tentang di mana dia tinggal. Bahkan
perkiraan kasar pun sudah lebih dari cukup. Karena—
── Teori “Hibari berasal dari uang” baru saja
menjadi kenyataan, ya.
Rumah
yang berdiri di hadapannya sungguh megah.
Masaomi
sebenarnya bukan pakar real estate, tapi ia pun tahu rumah
itu jauh lebih besar daripada rumahnya sendiri. Garasi untuk tiga mobil, setidaknya
setinggi empat lantai, halaman yang cukup luas untuk pesta
barbekyu
atau pesta di mana orang Amerika akan tertawa “Hahaha” tanpa beban.
Setiap bagian dari rumah itu mengumbarkan kesan ‘kaya’. Bukan sekadar
pamer; inilah jenis rumah yang akan membuat orang-orang di lingkungan sekitar
menunjuk dan berbisik. Pantas saja disebut
"Sasuga", ya... Pelesetan itu praktis tercipta dengan
sendirinya.
Ia
berdiri di depan gerbang depan yang megah, ragu-ragu selama sepuluh detik penuh
sebelum akhirnya menekan interkom. Tentu saja kamera keamanan sudah merekam
ekspresi bodohnya.
Bunyi ding-dong yang terdengar itu adalah bunyi riang yang sama
yang biasa kau dengar di mana pun—kaya atau miskin. Belum pernah seumur
hidupnya ia merasa begitu nyaman hanya dengan sesuatu yang begitu biasa.
“Iya—hah?”
“Um, aku
sepenuhnya mengerti bagaimana ini terlihat, tapi… Hibari-san tertidur, dan
seperti yang kamu lihat…”
Suara
yang menjawab berasal dari seorang wanita—kemungkinan besar ibu Hibari. Sebelum
wanita itu curiga, Masaomi segera menjelaskan situasinya. Masaomi sudah berlatih
apa yang harus dikatakan sebelumnya, jadi untungnya ia bisa menyelesaikannya
tanpa terbata-bata.
Dengan asumsi kalau interkom itu ada kameranya, ibu mana pun yang melihat anak
laki-laki asing menggendong putrinya yang tak sadarkan diri tentu akan waspada.
Masaomi
sudah mengantisipasi hal ini, dan ternyata berhasil. Seandainya ia mengabaikan
persiapan ini, kemungkinan besar ia sudah dalam perjalanan ke kantor polisi
sekarang juga. Ia menghela napas lega dalam hati karena sudah punya firasat.
Memposisikan
dirinya agar sosok Hibari yang tertidur dapat terlihat jelas di interkom
tampaknya membuahkan hasil—ia merasakan sedikit pengertian di ujung sana.
Mendengar suara tenang itu berkata, “Tunggu
sebentar,” menenangkan
kegugupannya.
Beberapa
saat kemudian, lampu depan menyala dan pintu terbuka. Di sana berdiri seorang
wanita yang memancarkan wajah ramah, kemungkinan seusia ibu
Masaomi.
── Ah, dia pasti ibu Hibari.
Meskipun
auranya berbeda, raut wajahnya terasa seperti Hibari versi tua yang lebih
lembut. Masaomi tak kuasa menahan diri untuk mengangguk dalam-dalam pada
dirinya sendiri. Garis keturunan memang kuat.
“Ya ampun,
Hibari-chan... Sepertinya dia benar-benar kecapekan. Jarang sekali.
Pasti hari ini berat sekali. Maaf sekali—kamu pasti merasa kerepotan, ya?”
Tatapannya
tertuju pada Hibari, yang masih menggumamkan omong kosong dalam tidurnya,
bersandar di punggung Masaomi. Dengan cahaya di belakangnya yang membuat
wajahnya tampak samar, Masaomi tak bisa membaca ekspresinya, tetapi nadanya
mengandung campuran kekesalan dan godaan halus.
“Sama
sekali tidak. Aku, eh... aku yang mengajaknya keluar hari ini, jadi... dan dia
tidak berat atau semacamnya.”
Baru
sekarang ia tersadar bahwa ia sedang berhadapan dengan ibu
pacarnya.
Masaomi dengan canggung menyusun potongan-potongan kalimat yang seharusnya ia katakan seperti permainan Jenga yang goyah,
dan entah bagaimana berhasil menjawab. Kalimat terakhir, tentu saja, hanyalah
bualan remaja, tetapi semoga saja terdengar seperti pesona yang tidak
berbahaya. Ia sudah frustrasi dengan betapa buruknya ia bisa berimprovisasi.
Sedikit visi ke depan yang ia tunjukkan sebelumnya terasa seperti sudah mengering.
“Dia
memberitahuku kalau hari ini dia mau ke pantai sama pacarnya. Tumben-tumbennya begitu—kurasa dia
cuma kegirangan. Ah, masa muda... Ngomong-ngomong, kita tidak seharusnya
berdiam diri di luar. Silakan masuk. Maaf, tapi boleh aku minta tolong gendong
dia sedikit lebih jauh?”
Meskipun
ungkapannya agak canggung, dia dengan lembut mendesak
Masaomi
masuk.
Baru
sekarang Masaomi menyadari seberapa besar Hibari memercayainya—dia telah memberi
tahu ibunya bahwa dia punya pacar. Fakta itu saja sudah cukup menjelaskan.
Sedangkan untuk Masaomi sendiri... hanya kenangan akan ekspresi Hinata yang
gatal dan canggung yang muncul di benaknya. Itu sudah cukup untuk
menggambarkannya.
“Y-Ya,
permisi, maaf mengganggu.” jawabnya dengan nada aneh dan terlalu
formal, seperti atlet gugup yang sedang melapor.
Diundang
ke rumahnya, berdiri di hadapan orang tuanya, dan minim pengalaman
sosial—Masaomi tak tahu harus berkata apa. Menara Jenga di
dalam
benaknya sudah runtuh. Ia hanya bisa mengandalkan Hibari, yang menjadi
penghubung rapuh di antara mereka.
“…Serius,
kamu tidurnya nyenyak banget, dan kelihatan imut banget kayak gitu.”
Melihat
wajahnya yang tenang dan tak sadar, Masaomi merasa ingin menerobos masuk ke
dalam mimpinya dan memberinya ceramah yang panjang dan tegas.
※※※※
“……”
“……”
Sluuurp
(menyeruput
teh)
Sluuurp
(menyeruput
teh)
“……”
“……”
── Canggung
banget.
Itulah
keseluruhan ulasan Kusonoki Masaomi tentang kunjungan pertamanya ke rumah
pacarnya, saat berusia enam belas tahun.
Setelah
berhasil menggendong Hibari ke kamar tidurnya di lantai tiga dan dengan lembut
membaringkannya di tempat tidur, dirinya hanya punya beberapa
detik untuk melirik sekeliling kamar yang ternyata sangat feminin itu sebelum
dibawa kembali ke ruang tamu/ruang makan di lantai dua.
“Mana
mungkin aku membiarkanmu pergi tanpa setidaknya menjamu makan malam
sebagai ucapan terima kasih,” kata ibunya, sambil mendudukkannya di sofa
seperti kucing pinjaman. Sekarang, berita malam diputar di TV—acara yang tidak pernah
ditontonnya—dan ia nyaris tidak pernah mencerna sepatah kata pun
karena berita itu cuma melayang-layang di otaknya.
Lalu
ayahnya pulang.
Ia
melonggarkan dasinya dan berjalan masuk ke ruangan. Tatapan mereka bertemu.
Wajah tegas dalam setelan bisnis. Masaomi tersenyum kaku dan canggung, lalu
bergumam, “Se-Selamat malam.”
“…Hmm,”
gerutu lelaki itu, seolah tak yakin bagaimana cara menilai dirinya.
Ayah Hibari
berganti pakaian yang lebih nyaman dan—agak aneh—duduk tepat di seberang
Masaomi. Mereka berdua menonton berita dalam diam sementara ibu Hibari memasak
di dapur di belakang mereka. Satu-satunya suara di ruangan itu hanyalah
dentingan pelan peralatan masak dan peralatan masak.
Dari
sudut pandang luar, pemandangan itu benar-benar tidak nyata.
Awalnya,
kucing rumahan itu—bernama Mentsuyu , kalau ia ingat
benar—berkeliaran di sekitar kaki Masaomi. Ia berharap kucing itu akan
mengalihkan perhatian, cara untuk menghindari kontak mata dengan sang ayah yang
mengintimidasi. Namun, seolah menyadari taktik kabur Masaomi yang dangkal,
kucing itu segera menghilang dari ruangan, meninggalkannya dengan umpatan tanpa
suara.
Kecanggungan
saja
tidak cukup untuk menjelaskannya.
Ayah
Hibari
jelas-jelas merasakan hal yang sama, saat mereka berdua terus
menyeruput teh dingin mereka dengan seirama sempurna, suaranya bergema di
ruangan yang sunyi.
Meskipun
sofa itu kelihatan mahal—sesuatu yang tak mampu dibeli keluarga
Masaomi—sofa itu terasa sangat tidak nyaman. Ia tak bisa duduk diam,
terus-menerus bergeser di tempat.
──Bukannya ini salah satu momen di
mana Anda seharusnya mengatakan sesuatu yang cerdas?
Bahkan
Masaomi, si remaja laki-laki biasa, sudah cukup banyak menonton manga, novel, dan
drama untuk tahu bagaimana situasi-situasi ini berakhir. Ayah sang pacar selalu
menjadi bos terakhir. Ayah yang tegas yang membesarkan putrinya dengan penuh
kasih sayang, hanya untuk mendapati seorang pria tak tahu diuntung datang melenggang
meminta untuk membawanya pergi—tentu saja ia akan disambut dengan cemoohan,
sarkasme, atau bahkan pukulan sungguhan di wajah.
Namun,
dalam kisah-kisah itu, sang pacar selalu berhasil membuat sang ayah terkesan
pada akhirnya. Mungkin mereka akan minum bersama, berbaikan, dan berjabat
tangan sambil berkata tulus, “Aku
mengandalkanmu untuk menjaganya”.
Sebuah
ikatan maskulin yang penuh air mata.
Namun apa Masaomi yang normal dan biasa-biasa
saja—yang pernah dipanggil Hibari datar dan biasa saja —memiliki
sifat seperti itu?
Ya, dirinya mungkin sedikit
berubah sejak bertemu Hibari. Tapi, apa ia benar-benar siap untuk melontarkan
pidato pamungkasnya yang memalukan, "biarkan aku
menikahi putrimu" ?
Saat rangkaian
pikiran yang tak terkendali itu mencapai kesimpulan yang tidak masuk akal, dia
menginjak rem.
── Tunggu, bukannya aku datang ke sini untuk
melamar atau semacamnya…
Itulah
sebabnya Masaomi bingung harus berkata apa. Kalau dirinya datang untuk melamar, ia bisa saja bicara soal pernikahan.
Tapi yang dia lakukan hanyalah mengantar Hibari pulang setelah kencan—sementara
itu, Hibari sendiri benar-benar tidur pulas. Tidak ada buku
panduan untuk menangani penyergapan semacam ini. Siapa pun yang menulis panduan
etiket sebaiknya lompat dari tebing.
Masaomi lalu berpikir— mungkin ayah Hibari merasakan hal yang
sama.
Bayangkan:
setelah seharian bekerja keras untuk keluarga, kamu pulang dan
mendapati anak laki-laki bermalas-malasan di ruang tamu seolah-olah dialah
pemilik rumah itu. Istrimu tampaknya menyetujui gangguan itu, bersenandung
sambil memasak makan malam. Untungnya, putri kesayanganmu tidak ada di
kamar, tapi jelas anak laki-laki itu ada hubungannya dengannya. Apa yang harus kamu lakukan? Jika
ternyata anak laki-laki itu membawa kabar buruk, kamu mungkin harus
mengusirnya—meskipun putrimu akhirnya membencimu karenanya.
Mungkin ayah Hibari sedang mengalami konflik batin yang sama.
Setelah memikirkan
hal itu, Masaomi mulai merasakan rasa solidaritas yang aneh dengan pria yang
diam-diam menyesap tehnya dengan ekspresi datar. Wajah yang tak terbaca
itu, ketidakmampuan untuk mengukur jarak di antara mereka—mungkin mereka berdua
hanya mencoba merasakan sesuatu. Setidaknya, Masaomi merasa setidaknya ia harus
menunjukkan bahwa dirinya bukan ancaman. Ia berusaha mengulur waktu.
Jika makan malam segera siap—atau jika Hibari terbangun—mungkin keadaan akan
membaik. Yang harus ia lakukan hanyalah terus mengobrol sampai saat itu tiba.
Bahkan orang seperti Masaomi yang datar dan biasa-biasa saja juga bisa melakukannya—kan?
“Umm—”
“Kamu—”
Sebuah
kesalahan bersama yang menyakitkan.
Waktu
yang apes. Mereka saling menyela pembicaraan.
Pikirannya kosong. Sial. Masaomi tidak bisa
memikirkan apa pun.
“Eh—ya,
um… ada apa?”
“...Dibawa
santai
saja, ya? Kalau kamu tidak tersenyum sedikit pun, aku juga jadi
ikutan
tegang.”
Dengan
tawa kecil, ekspresi ayah Hibari melembut.
Itulah
perbedaan yang dihasilkan oleh pengalaman hidup.
Aura
mengintimidasi itu, seolah-olah dia adalah bawahan yakuza? Semua karena pipinya
yang tegang. Kini setelah ia tersenyum tipis dan getir, kesan itu lenyap.
Matanya yang tajam dan cerdas tampak rileks, dan bibirnya melengkung dengan
cara yang terasa anehnya ramah. Garis rambutnya sedikit menipis, dan
garis-garis di wajahnya menunjukkan usianya, tetapi fondasi wajahnya masih
tampan—tak diragukan lagi ia populer di masa mudanya. Saat itu, Masaomi dengan
jelas melihat kemiripannya. Yap, garis keturunannya kuat.
“Kupikir
kamu
cukup tenang untuk usiamu, tapi… mungkin tidak sesantai yang kukira.”
“M-Maaf…”
“Kamu tidak
perlu minta maaf. Kamu adalah pacar putriku... siapa namamu tadi? Maafkan aku.
Hibari cenderung lebih sering berbagi cerita dengan ibunya daripada denganku.
Tapi dulu dia selalu menempel padaku. Setiap hari setelah aku pulang, dia akan
bilang, 'Aku mau pijat bahu Papa!' Dengan polos dan
manis...”
Cara Ayahnya mengatakannya,
sedikit cemberut dan penuh nostalgia, membuat Masaomi tersenyum—dan sedikit
meredakan kegugupannya.
“Namaku
Kusonoki... Kusonoki Masaomi. Kita beda kelas, tapi satu sekolah.”
“Begitu ya. Kalau dia sampai
sedekat itu denganmu, kurasa kamu pasti pemuda yang baik.”
“Haha…
Aku tidak bisa mengatakannya dengan yakin.”
“Jadi,
kamu berpacaran dengannya karena penasaran atau bercanda?”
Rasa
dingin yang tajam menjalar ke tulang punggungnya.
“Bu-Bukannya begitu! Aku
serius! Ak-Aku sangat menyukai Hibari-san… Aku serius!”
Rasanya
seperti ada sesuatu yang menggelitik hatinya, dan suaranya terdengar sedikit
lebih keras dari yang diharapkan.
“Kamu
masih muda... muda dan sungguh-sungguh. Begitulah rasanya menjadi remaja, ya?
Aku bahkan sudah tidak ingat lagi bagaimana rasanya.”
Mungkin
karena merasa Masaomi belum sepenuhnya rileks, ayah Hibari mengalihkan
pandangannya kembali ke layar TV, seolah mencoba melindungi dirinya dari sesuatu
yang terlalu terang.
Mudah
bagimu mengatakannya, pikir Masaomi, Kamu
juga
dulunya seorang remaja.
Ia fokus
pada percakapan, bukan pada kata-katanya sendiri, sambil mengatur napasnya.
Sejujurnya,
Masaomi
tak kuasa menahan diri untuk bertanya— Kenapa aku
mengungkapkan perasaanku seperti ini? Apa dirinya sedang menuju
semacam eksekusi? Apa ia akan mati karena malu? Apa ini semacam ujian untuk
membuktikan cintanya?
Fakta
bahwa Masaomi memikirkan hal-hal itu menunjukkan kalau
dirinya
telah benar-benar kehilangan ketenangannya.
Namun,
bahkan saat ia mencoba menenangkan diri, ayah Hibari—yang masih menatap
TV—dengan santai mengucapkan kalimat yang mengguncang hati Masaomi seperti
cipratan air es:
“Bisa tetap
berkomitmen pada seorang gadis yang begitu menyimpang dari jalurnya… Aku
merasa ragu
ada orang lain selain remaja yang bisa melakukannya.”
Tidak,
bukan sekedar air es—rasanya seperti ia membeku di dalam balok es.
Bagi
Masaomi, itu adalah hal paling jelek dan mengerikan yang pernah didengarnya.
Terakhir
kali ia merasakan keputusasaan seperti itu ialah tepat sebelum masuk
SMA, setelah kecelakaan itu. Setelah terbangun di rumah sakit dengan tubuh yang
menolak bergerak sesuai keinginannya. Ketidakberdayaan yang sama dahsyatnya.
Ketakutan bahwa ia mungkin takkan pernah bisa menjalani kehidupan normal lagi.
Namun
kali ini, ada sesuatu yang berbeda.
Dalam
sekejap itu, cahaya lenyap. Suara lenyap. Suhu lenyap. Napas lenyap.
── Tapi otaknya menjerit. Denyut nadinya
berdebar kencang seperti genderang perang, detak jantungnya begitu dahsyat
hingga rasanya ingin meledak dari dadanya.
Sekalipun
emosi memiliki titik didih, hal tersebut tak berarti apa-apa di
sini. Tak seperti cairan, perasaan panas ini tak bisa menguap—mereka hanya
mendidih, menyulut amarah yang membara perlahan tanpa jalan keluar, menyuburkan
luapan amarah yang tak berujung jauh di dalam hatinya.
Jika Astral
Diver benar-benar orang yang pikirannya terputus
dari tubuh karena gangguan otak—maka saat ini, Kusonoki Masaomi pasti memenuhi
syarat. Dia bisa saja menyeberang ke Sisi Astral sendiri.
“…Apa
yang baru saja kamu katakan?”
Fakta
bahwa ia menjaga suaranya pada volume yang dapat diterima secara sosial sungguh
merupakan suatu keajaiban.
“Jika
kamu berpacaran dengannya, kamu pasti juga pernah
mendengarnya—omong kosong 'Sisi Astral' yang dibicarakannya.”
“…Ya,
tentu saja.”
“Kamu tidak
benar-benar mempercayainya, ‘kan? Delusi macam itu? Itu penyakit. Dia
terjebak dalam halusinasi—entah dia bangun atau tidur, itu tidak masalah. Kalau
dia merahasiakannya, mungkin itu tidak masalah. Tapi dia benar-benar
mempercayai kalau
dunia itu nyata... bahkan bilang dia berusaha
menyelamatkannya. Apa kamu bisa membayangkan betapa putus asanya mendengar
putrimu mengatakan hal seperti itu dengan wajah datar?”
Kamu
yang mengatakan ini? Kamu—yang
seharusnya adalah ayahnya?
Kata-kata
itu tercekat di tenggorokannya, nyaris lolos. Tapi Masaomi menahannya—hampir
tak bisa. Dirinya tahu jika ia membiarkan perkataan
itu keluar dari mulutnya, ia akan kehilangan harapan untuk dipandang baik
oleh orang tua Hibari. Rasanya memang lega bisa melampiaskannya.
Tapi lalu bagaimana? Apa yang akan dilakukan
Hibari,
mengetahui pacar dan ayahnya tidak akur? Bagaimana jika itu membuatnya sakit
hati?
Pemikiran itulah
satu-satunya hal yang mampu menahan keinginannya untuk meledak.
Jika saja
pembicaraannya berakhir di sana.
Jika itu
hanya kasus kesalahpahaman yang menyakitkan antara dua hati.
“Semuanya
bermula... kira-kira kapan ya...? Sekitar waktu dia SD.
Kepalanya terbentur cukup keras— karena kecelakaan. Dia sempat kehilangan
kesadaran untuk sementara waktu. Setelah itu. Dia mulai mengoceh tentang 'Sisi
Astral'. Seolah-olah dia sedang kerasukan. Aku curiga dia
mengalami kerusakan di bagian otak yang kritis. Jika kamu bisa membantunya
kembali ke dunia nyata, itu akan sangat berarti. Selamatkan hati orang tuanya
sebelum menyelamatkan dunia mimpi. Seseorang sepertimu—seseorang yang 'normal'—kalau
tidak, kalian berdua memang tidak serasi.”
Maafkan aku.
Semakin
tulus suara ayah Hibari, Masaomi semakin merasa seperti ada pedang
yang ditusukkan jauh ke dalam dadanya. Setiap sayatan pedang tajam
itu
justru semakin mencabik-cabiknya.
Namun—bahkan
jika itu berarti hatinya akan tercabik-cabik berdarah—dirinya tidak ingin
mundur.
Inilah
titik puncaknya.
“—Anda pasti bercanda.”
Suara
pelannya yang sarat akan amarah, membuat ayah dan ibu Hibari
berhenti. Mereka menoleh dengan sedikit rasa gelisah, seolah ada sesuatu yang
asing telah menyerbu dunia nyaman mereka.
Namun Masaomi
tidak peduli.
“Kenapa
tidak ada siapa pun pernah berpihak pada Hibari? Kenapa tak seorang pun mau
percaya padanya? Dia bilang dunianya ada—tapi semua orang menyangkalnya seolah
tak ada apa-apanya. Mereka mengklaim hanya realitas lain yang valid. Bagaimana Anda bisa begitu
yakin? Apa Anda akan menyebut rumus yang hanya bisa dipecahkan
oleh orang jenius? Apa orang yang berlari 100 meter dalam sembilan detik itu
aneh? Itulah yang Anda lakukan. Hanya karena Anda tak bisa memahami
atau mengalaminya, Anda jadi mengabaikannya. Siapa yang memberimu hak untuk
menentukan batas? Membicarakan 'normal' dan 'kecocokan'—jujur saja, itu
menjijikkan.”
Ini bukan
suatu kesalahan—itu malah kecelakaan total.
Masaomi
benar-benar kehilangan kendali. Meraung seperti anak kecil, berteriak bahwa
semuanya tidak adil, tak mampu memberikan logika atau struktur pada
kata-katanya. Dirinya terus mengulang-ulangnya seperti nyanyian
protes— Hibari tidak salah. Jangan putuskan itu untuknya. Aku
percaya padanya.
Hibari
pernah menyebutnya datar. Dan Masaomi sendiri sedikit
menyadari bahwa, sejak kecelakaan itu, ia mungkin tampak seperti
itu di luar. Tapi itu hanya soal ekspresi emosi—perasaan batinnya sama
manusiawinya dengan orang lain. Dan di saat-saat seperti ini—tidak, terutama di saat-saat seperti ini—tak ada cara untuk
mengendalikannya.
Karena
ini normal.
Dirinya sangat marah.
Persis
seperti keadian di pantai—ketika orang-orang itu bilang dirinya
tidak kelihatan serasi dengan Hibari. Raut iba yang sama di wajah mereka
kembali terbayang di benaknya. Membuat darahnya mendidih.
Karena
itu bukan sekadar ejekan—itu benar-benar membuatnya jengkel. Mereka melihat
langsung rasa tidak amannya.
Masaomi
pernah menjadi salah satu dari mereka. Ia telah menetapkan batas, melabeli
Sasuga Hibari sebagai seseorang yang aneh, tak dikenal. Ia sendiri yang memberi
label. Dan sejarah itu melekat padanya bagai noda yang tak bisa dihapusnya.
Mungkin
itu sebabnya ia melawan balik begitu keras sekarang—berusaha membersihkannya
dengan memberi kompensasi berlebihan. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia
adalah Pelindung Hibari, yang berjuang untuk dunianya. Bahwa ia berbeda dari
mereka yang meninggalkannya. Bahwa ia layak berada di sisinya.
Bahwa dirinya tidak akan
pergi.
Masaomi
terus mengatakan hal itu pada dirinya sendiri—karena jauh di lubuk hatinya, ia
masih tidak yakin apakah dirinya benar-benar percaya pada
dunia Hibari.
Rasa
bersalah itu membuatnya marah.
Dan
mengetahui hal itu membuat semuanya semakin menyakitkan, semakin memalukan, dan
semakin membuat frustrasi.
Namun
jika Masaomi mengupas semua pembelaan diri itu, lapis demi lapis,
hanya tersisa satu hal pada intinya.
“…Maafkan
aku karena kehilangan kesabaran. Maafkan aku atas kekasaranku. Tapi—aku tidak
akan menariknya kembali.”
Butuh
tiga kali tarikan napas dalam-dalam—penuh dan perlahan—hanya untuk mengucapkan
kata-kata itu.
“Hibari
bukan gadis aneh. Berbeda denganku, dia tahu bagaimana menghadapi dirinya sendiri,
merenung, bergulat dengan pikirannya, dan tetap menatap masa depan—dia
benar-benar gadis yang luar biasa dan menggemaskan. Dia sama sekali tidak
seperti orang sepertiku... seseorang yang bahkan tidak punya dasar yang kuat untuk
berdiri teguh, seseorang yang bahkan tidak bisa dianggap normal...”
Campuran
pahit-manis antara kekaguman dan rasa iri dari Masaomi disambut dengan—
“Aku
sungguh senang... pemuda sepertimu bersedia marah demi Hibari. Dia memang gadis
yang berusaha bersikap tenang, tapi kenyataannya, dia melamun dan agak terlalu
asyik dengan pikirannya sendiri. Meski begitu, dia punya akal sehat untuk
melihat orang lain dengan jernih.”
Ayah
Hibari tidak menghindar atau mengelak. Ia menerima semuanya apa
adanya.
“...Hah?”
“Maafkan
aku karena sudah mengujimu. Aku benar-benar minta
maaf—Masaomi-kun.”
Mendengar
namanya dipanggil begitu tiba-tiba, seolah-olah itu hanya sebutan untuk orang
lain, kebingungan Masaomi terpancar jelas di wajahnya. Bahkan sebelum ia sempat
menutup mulutnya yang setengah terbuka—
Ayah
Hibari membungkuk dalam-dalam, dengan ketulusan yang mendalam.
“Kamu boleh menertawakanku dan menyebutku orang tua yang
penyayang kalau mau. Tapi terlepas dari semua prasangka yang kumiliki, putriku adalah gadis yang
baik. Sebagai ayahnya, sebagai walinya, aku tidak mungkin
mengizinkannya berkencan dengan seseorang yang hanya melihatnya di permukaan.”
Tentu
saja, jika seseorang menerima semua hal tentangnya—termasuk penampilannya—maka
itu akan menjadi cerita yang berbeda, tambahnya dengan nada menggoda, meskipun
ekspresinya menyerupai balon yang perlahan kehilangan udara.
Percakapan
semacam ini, yang terasa seperti bom waktu dalam kehidupan pribadi Hibari,
pasti membutuhkan usaha dan ketegangan yang luar biasa. Pada titik ini, bahkan
Masaomi pun bisa memahaminya.
“Aku
juga harus minta maaf ke putriku nanti. Kalau aku bilang dia gila, dia mungkin dia tidak mau berbicara
denganku
untuk sementara waktu... Yah, kurasa aku harus mengandalkan istriku untuk
menenangkan semuanya.”
Terdengar
tawa kecil dari dapur.
Bahkan di
dalam ruangan, Masaomi bisa merasakan perubahan suasana.
Itu bukan
angin sepoi-sepoi yang sesungguhnya, melainkan semacam kehadiran kehangatan dan
kasih sayang—medan energi kekeluargaan, entahlah. Begitu dirinya melihatnya
sekilas, mustahil untuk tidak melihat seluruh pemandangan itu sebagai sandiwara
yang dirancang dengan cermat untuk menyambutmu.
Hanya
ini—suasana ini saja—sudah cukup untuk menunjukkan seberapa dicintainya
Hibari. Dia memiliki dunianya sendiri yang aneh, dan sering
kali tampak acuh tak acuh di sekolah, tetapi di rumah ini, tak dapat dipungkiri
lagi—dia adalah anak yang sangat dicintai. Kebenaran itu
membangkitkan semangat Masaomi seolah-olah itu terjadi padanya secara pribadi.
── Kamu berpura-pura sendirian…
tapi sebenarnya, kamu punya seseorang yang lebih kuat dari siapa pun di pihakmu.
Mungkin
alasan Hibari tidak benar-benar putus asa, alasannya bisa terus
bersekolah, menjalani kehidupan sehari-hari, dan tetap dekat dengannya—adalah
karena orang tuanya ada di sini, melindungi realitasnya seperti ini.
“Kurasa
aku sudah cukup lama menunda. Ayo makan sebelum makan malam dingin. Oke,
Sayang?”
“Ya.
Aku sudah lama menunggu obrolan itu selesai. Kamu sudah besar, ‘kan? Kuharap kamu
makan banyak. Aku menantikannya. Aku akan membangunkan Hibari sekarang.”
Dengan
langkah riang, ibu Hibari meninggalkan ruangan, punggungnya mundur diiringi
senyum getir Masaomi. Rupanya, mereka sengaja menunda makan malam sampai
konfrontasi antara dirinya dan ayah Hibari selesai.
Hal itu
sendiri menunjukkan betapa besar kepedulian orang tua Hibari terhadapnya—dan
bahwa ujian yang dihadapi Masaomi, bagi mereka, merupakan ritual penting dalam
hidupnya.
── Hei, Hibari… meski bukan Sisi Astral, dunia
ini juga tidak seburuk itu, ya?
Membiarkan
dirinya mengikuti gelombang emosi yang menegangkan di dadanya terasa sangat
menyenangkan.
“Satu
hal lagi, Masaomi-kun. Anggap saja ini nasihat yang tidak
diminta.”
“...Ya?”
“Aku
yakin kamu punya alasan, tapi... kamu mungkin ingin berusaha lebih keras
mengekspresikan emosimu. Orang-orang cenderung merasa tidak nyaman di dekat
orang yang sulit dibaca. Terutama orang seperti putriku.”
Mendengar nasihat ayah Hibari yang diucappkan dengan tatapan yang
sangat tegas, Masaomi hanya bisa terdiam.
Yang bisa
dilakukan Masaomi hanyalah tertawa canggung, mencoba menepisnya.
Dirinya bahkan tidak
yakin apa ia benar-benar tersenyum.
※※※※
“Kami
terus melanjutkan perawatannya, tapi… sepertinya putri kami belum sepenuhnya
berkomitmen untuk sembuh. Penyakit ini, bagaimanapun juga, masih kurang
dipahami. Ada beberapa hal yang belum bisa kami jelaskan. Kudengar ada
perkembangan dalam pengobatan baru, dan penelitian terus berlanjut… tapi jika
pasiennya sendiri tidak mau, tidak banyak yang bisa dilakukan. Ketika
episodenya hanya berlangsung beberapa menit, aku berusaha meyakinkan diri
sendiri bahwa itu sama saja dengan tidur siang. Namun, kami sebagai
orang
tuanya—kami mau tidak mau ingin dia menjalani kehidupan normal. Kurasa dia bisa
memahami itu. Pada akhirnya… aku memutuskan untuk menyerahkan semuanya padanya.
Itulah sebabnya, jika seseorang sepertimu bisa mendampinginya—sampai dia mampu
membuat pilihannya sendiri tanpa merasa tertekan—itu akan sangat membantu.”
“...Jika
ada sesuatu yang bisa kulakukan, aku akan dengan senang hati melakukannya.”
Pada akhirnya,
Hibari harus dibangunkan, dan bahkan saat makan malam pun, dia tetap setengah
tertidur. Tak banyak percakapan yang terjadi.
Meski
begitu, Hibari—yang menikmati tatapan lembut ibu dan ayahnya—tampak seperti
gadis paling bahagia di dunia.
Dan
Masaomi, dalam perannya sebagai Guardian, telah dipercaya untuk
mendukungnya.
Baik di
realitas ini maupun di Sisi Astral, kebenaran itu tidak akan berubah.
Sekalipun
Masaomi
tidak bisa merasakan Sisi Astral—ia masih bisa melakukan sesuatu untuknya.
Bahkan
meskipun ia tidak dapat menyadarinya sama sekali.
Setiap
kali Masaomi memikirkan hal-hal itu, rasa tidak nyaman selalu menghantuinya. Dirinya tak bisa
mengungkapkannya dengan kata-kata, tetapi ia yakin akan satu hal—apa pun
perasaan ini, Hibari mungkin tak bisa merasakannya.
Sesuatu
yang penting yang tertinggal. Sebuah kunci yang dibutuhkan untuk melangkah
maju. Atau mungkin sesuatu yang lebih mendasar lagi—sebuah prasyarat.
── Seperti permen yang tidak akan meleleh
sepenuhnya di mulutmu,
Masaomi
membolak-balikkan gumpalan kegelisahan itu. Sesuatu
yang tersangkut atau bisa dibilang sesuatu
yang terlupakan. Begitulah rasanya.
Bahkan di
dalam tekad yang ia curahkan segalanya—tekad yang begitu jelas untuk
menghadapinya secara langsung, untuk menjadi seperti itu—masih ada setetes
tinta gelap. Noda kecemasan. Perselisihan yang fatal. Atau mungkin kebenaran
yang selama ini ia hindari.
Tentu
saja, itulah asal-usulnya, akar dari apa yang mengikat hubungan mereka. Seperti
papan tipis yang diletakkan di atas mulut lubang yang, begitu dibuka, akan
menelan semuanya bulat-bulat.
Perisai
yang menyembunyikan rasa bersalah di hatinya—sesuatu yang hampir disinggung
oleh ayah Hibari.
Dan orang
yang akan mengupas perisai itu tidak akan muncul dengan kelicikan seorang
iblis, melainkan dengan senyum polos seorang malaikat—yang akan terbang
pelan-pelan menuju ke tepi jurang itu.
Masaomi
tidak menyadari hal ini sepenuhnya hingga beberapa saat kemudian.
