Chapter 5 — Ai vs Miyuki
“Ojou-sama,
ini adalah laporan yang diminta.”
Di ruang
tamu, aku menerima dokumen dari Kuroi. Sepertinya laporan yang kuminta dari
agen investigasi telah selesai. Aku membaca beberapa halaman, dan merasa mual
dengan isi yang mengerikan.
Aku
sengaja tidak bertanya langsung
kepada Senpai tentang apa yang terjadi. Mungkin karena aku merasa itu adalah
topik yang sulit untuk dibicarakan, dan sepertinya ia juga tidak ingin
membicarakannya dengan ibunya. Jika aku memaksanya untuk menceritakan, mungkin aku
hanya akan memperburuk luka di hatinya. Aku bisa memperkirakan isi laporan
tersebut sampai batas tertentu, tetapi ketika aku membacanya, niat jahat yang
ditujukan kepadanya mengingatkanku pada traumaku
sendiri, dan itu sangat menyakitkan.
Bagaimana
mungkin orang yang sebaik dirinya harus menerima perlakuan seperti
ini? Mengapa Tuhan begitu tidak adil?
Aku
senang telah meminta Kuroi untuk menyelidiki apa yang terjadi pada Senpai
melalui agen investigasi. Dengan
ini, musuhnya menjadi jelas. Aku juga bisa bergerak.
Pada awalnya,
aku menganggap ini hanya masalah percintaan yang melibatkan masalah sepele.
Namun, rupanya isinya jauh lebih jahat dari yang kubayangkan.
※※※※
『Laporan』
Tuan Aono
Eiji tampaknya telah diselingkuhi oleh kekasihnya, Amada Miyuki. Dia bertemu
secara diam-diam dengan senior dari klub sepak bola di sekolah yang sama, Kondo
(※ orang
tuanya adalah anggota dewan kota dan pemilik sebenarnya dari kontraktor lokal),
dan juga dicurigai serta menjadi bahan gosip
oleh tetangga sekitar.
Tidak jelas
apa yang terjadi dalam cinta segitiga
itu. Namun, mengingat bahwa setelah
hari ulang tahun Aono Eiji, ada laporan di media sosial bahwa dia secara aktif
melakukan kekerasan terhadap kekasihnya, Amada Miyuki, kemungkinan besar ada
sesuatu yang terjadi pada hari ulang tahunnya. Sebab, sebelum itu tidak ada
postingan yang merendahkan dirinya.
Sebagian
besar akun media sosial yang menyebarkan informasi tersebut adalah akun palsu,
tetapi ada juga beberapa yang digunakan secara rutin, dan dari foto-foto lain, dapat disimpulkan bahwa
kemungkinan besar pemiliki akun itu
adalah anggota klub sepak bola.
Selain
itu, informasi tersebut dibagikan dan reaksi dari siswa-siswa lain muncul
setelah dua hari pasca ulang tahunnya,
sehingga wajar untuk menganggap bahwa sekelompok orang berkonspirasi untuk
menyebarkan rumor buruk tentang Tuan Aono Eiji secara sengaja. Dalam hal ini,
data disimpan dan dapat digunakan sebagai bukti dalam proses hukum.
※※※※
Laporan tersebut hanya mencatat fakta-fakta.
Namun, ada satu hal yang bisa
disimpulkan dari sini.
Pertama-tama, jika mempertimbangkan kepribadian Senpai, kemungkinan dia
melakukan kekerasan terhadap Amada-san hampir mendekati nol. Dan gerakan aneh
dari klub sepak bola ini.
Kemungkinan
besar, otak di balik keributan ini adalah Kondo dari klub sepak bola. Aku ingat
dia adalah senior kurang ajar yang
pernah mencoba mendekatiku di semester pertama.
Kondo dan
Amada-san berselingkuh, dan pada hari ulang tahunnya, hubungan mereka
terbongkar.
Demi
melindungi diri, mereka berdua
menyebarkan rumor bahwa Senpai melakukan kekerasan untuk menguclkannya.
Jika anggapan ini benar, betapa hinanya tindakan tersebut.
Aku ingat
Senpai mengatakan bahwa mereka mulai berpacaran
musim dingin lalu. Pada ulang tahun pertama mereka sebagai pasangan, dirinya harus memikul fakta yang begitu
kejam dan juga dituduh melakukan kejahatan, seolah-olah ingin dihapus dari
masyarakat.
“Ini
terlalu kejam.”
Jadi, itulah sebabnya ia datang ke atap
pada hari pertama kami bertemu? Kemarahanku semakin membara karena orang yang
baik hati itu sampai begitu putus
asa.
“Apapun yang
terjadi. seharusnya tidak ada yang boleh menginjak-injak
niat baik orang lain.”
Memang,
jika mereka tidak menikah, mungkin tidak ada kewajiban sebesar itu. Ada juga
alasan atas kebebasan dalam
percintaan. Namun,
tidak seharusnya orang yang begitu baik menerima perlakuan seperti ini.
Aku tidak
bisa memaafkannya.
Apalagi,
demi melindungi diri mereka
sendiri... mereka sampai tega menuduh
seseorang hingga membuatnya berpikir untuk bunuh diri...
Isi
laporan itu sangat mengejutkan sehingga aku merasa mual berkali-kali.
Di tengah
semua neraka itu, aku semakin menyukainya
yang telah membantuku.
“Kamu benar-benar orang yang sangat baik ya, Aono Eiji-san...”
Setelah
kecelakaan itu, aku yang pernah
mengalami niat jahat semacam itu,
sangat memahami betapa luar biasanya niat baik yang ditunjukkan Senpai kepadaku di atap itu. Bagaimana
mungkin, dalam situasi yang sebegitu putus asa,
kamu bisa bersikap baik kepadaku yang
hampir ingin mati?
Aku ingin
menghirup udara segar sedikit.
Aku
menghentikan Kuroi yang terlihat khawatir dan pergi sendirian ke taman
terdekat. Meskipun aku menolak, pasti ada seseorang yang akan mengawasiku.
Aku
berjalan sedikit di antara alam hijau untuk mengubah suasana hati.
“Senpai
sudah kehilangan banyak hal, tapi... aku
berharap bisa sedikit membantunya.”
Jika
memungkinkan, aku ingin mengisi semua yang hilang darinya. Namun, itu adalah
pemikiran yang terlalu sombong.
Namun,
terkait dengan Amada-san dan Kondo dari klub sepak bola, aku tidak bisa
memaafkan mereka. Saat aku berpikir demikian sambil berjalan-jalan, sebuah
kebetulan yang tak terduga terjadi.
Ada
seorang wanita cantik dengan wajah pucat berjalan terhuyung-huyung di hadapanku. Aku mengenalnya.
Meskipun kami tidak pernah berkenalan langsung, dia terkenal sebagai senior
yang cantik, dan dia juga disebutkan dalam laporan yang kubaca sebelumnya.
“Ichijou Ai?”
Sepertinya
dia juga menyadari keberadaanku. Wajahnya pucat seperti zombie.
“Amada
Miyuki-san...”
Kami
akhirnya berhadapan langsung untuk pertama kalinya. Ini adalah waktu yang
paling buruk baginya.
※※※※
Aku terdiam
dengan pertemuan yang tak terduga ini. Aku berusaha untuk tidak
berpikir tentang bagaimana dia bisa mengetahui namaku. Karena aku sudah membuat pendekatan begitu
berani kepada Senpai, mudah untuk membayangkan
bahwa rumor tersebut sudah sampai di telinga mantan
pacarnya, Amada Miyuki-san.
“Senang
bertemu denganmu. Namaku Ichijou Ai.”
Aku
mengatakannya dengan dingin. Sejujurnya, aku tidak ingin berbicara
dengannya.
“Ja-Jadi,
hari ini, kamu tidak bersama Eiji?”
Tanpa
membalas salam, dia bertanya dengan suara bergetar.
“Kamu
berbicara seolah-olah kamu selalu melihat kami bersama.
Meskipun kamu adalah senior di sekolah, tapi ini pertama
kalinya aku berbicara denganmu,
Amada-san, dan pertanyaan itu cukup pribadi, jadi aku tidak memiliki kewajiban
untuk menjawabnya.”
Cara
bicaraku menjadi sangat tajam. Aku tidak peduli jika dia membenciku.
“Karena
aku pacarnya Eiji...”
Usai mendengar
kata-kata itu, mataku terbelalak karena
terkejut. Setelah memperlakukan
Senpai dengan sangat keji, apa dia masih berpikir mereka
masih berpacaran?
Tapi tidak hanya itu. Dia sedang
melarikan diri. Dari rasa bersalah karena menjadi pelaku, dari kenyataan bahwa
dia telah mengkhianati Senpai.
Sikap itu terlalu tidak bertanggung jawab untuk dimaafkan. Dia bahkan mencoba
mendesak pacar yang begitu baik untuk bunuh
diri. Jika waktunya tidak tepat, mungkin Senpai
dan aku tidak akan selamat... AAku
menatapnya dengan penuh kemarahan.
“Begitukah?
Tapi Amada-san, kamu lebih memilih
Kondo-san dari klub sepak bola, bukan?
Kamu meninggalkan teman masa kecilmu, Aono Eiji-senpai, yang selama ini
mendukungmu. Dan itu juga pada hari ulang tahunnya...”
Aku
sengaja berbicara seolah-olah aku sudah mendengar
semuanya. Hal ini juga demi memastikan bahwa informasi yang kudapatkan tidak salah.
“Itu...
adalah...”
Sudah
kuduga, dia tampaknya kesulitan untuk menjawab. Jadi tuduhanku memang benar?
“Pada
saat itu, hubungan kalian berdua sebagai sepasang
kekasih sudah berakhir, bukan? Dan berakhir dengan cara
yang paling buruk karena
pengkhianatanmu.”
“Karena...”
Ternyata,
dia tidak mau menjawab. Bukan hanya
itu, dia bahkan berusaha melarikan diri lebih jauh.
“Jika
kamu tidak bisa menjawab, berarti semuanya itu
benar, ‘kan?”
Dia
menundukkan kepala dan tampak ingin menangis. Aku perlahan-lahan menghadapkan
kenyataan kepadanya. Jika tidak, dia akan terus berusaha melarikan diri.
Aku sudah
tahu tentang perselingkuhanmu, dan kamu bahkan
mengkhianati kekasihmu tercinta dan menjebaknya dengan tuduhan palsu untuk
melindungi dirimu sendiri. Aku secara implisit menyampaikannya.
Aku
bisa saja menghakiminya di
sini, tetapi tidak ada gunanya bagi orang luar sepertiku
untuk memojokkannya. Jadi, aku memutuskan untuk
dengan tenang menyampaikan posisiku saat ini kepadanya, sambil memberikan
tatapan dingin padanya
yang terus berusaha membela diri.
“Tapi kami
sudah bersama selama lebih dari sepuluh tahun.”
Apa dia
masih terus membela diri!?
“Dan kamulah
yang mengkhianatinya.
Kamu telah menghancurkan kepercayaan yang dibangun selama sepuluh tahun. Dan
itu dilakukan dengan cara yang sangat kejam. Perasaan
cinta memang
bebas. Jika kamu sudah menyukai orang lain, kamu seharusnya
memutuskan hubunganmu baik-baik
dengan Eiji-senpai dulu. Itulah
tindakan minimum yang seharusnya dilakukan. Namun, kamu tidak melakukannya. Akhirnya, kamu melakukan
tindakan tercela dengan mencampakkannya
pada hari ulang tahunnya. Kenapa, kenapa kamu harus mengkhianati orang yang
begitu baik dan menyiksanya?”
Suaraku menjadi semakin keras. Aku berbicara
dengan cepat, lebih cepat dari biasanya. Tapi aku tidak bisa berhenti.
“Aku
juga tidak ingin putus dengan
Eiji. Kita sudah lama bersama, dan ia adalah cinta pertamaku. Tapi, aku
melakukan kesalahan dengan Kondo-san, dan kemudian terjebak dalam hubungan yang
tidak jelas. Sebenarnya, aku hanya berniat untuk sementara. Seharusnya aku
memilih Eiji di akhir. Namun, pada hari itu, secara kebetulan, aku bertemu dengannya di tempat yang seharusnya tidak
kami temui. Entah kenapa, ia ada di sana.”
Dia
berbicara seperti mesin yang rusak, mengeluarkan keluhan yang menyakitkan
tentang diri sendiri. Seolah-olah dia adalah karakter
wanita dalam tragedi. Itu tidak benar. Kamu bukan heroine dalam
cerita. Kamu tidak seharusnya berada dalam posisi itu.
Kenapa kamu tidak menyadarinya?
“Tapi,
kamulah pelaku. Kamu mengatakan bahwa kamu menderita, tapi orang yang paling menderita adalah
Eiji-senpai. Dari sudut pandangku, kamu Cuma bersikap egois.”
“Uuuu...”
Dia jatuh
ke atas aspal yang keras. Apa dia sudah tidak bisa melarikan diri lagi? Atau
dia sedang memikirkan alasan lain?
“Kenapa
kamu menyebarkan rumor bohong seperti itu? Karena itu...”
Aku
hampir saja mengungkapkan kebenaran, tetapi cepat-cepat aku menutup mulutku. Aku menyadari bahwa itu bukan
fakta yang seharusnya aku sampaikan.
“Aku
takut. Aku takut jika aku dibiarkan sendirian. Aku tidak bisa kembali ke
hubungan yang dulu dengan Eiji. Jadi, aku bergantung pada Senpai. Maafkan aku, maafkan aku.”
Dengan
penuh harap, dia mengucapkan kata-kata permohonan maaf.
Mendengar
penjelasannya, darahku semakin mendidih.
“Cuma demi
alasan seperti itu?”
Aku tidak
bisa menahan diri untuk tidak bertanya kembali.
“Eh?”
Sikap itu
bukanlah yang kuharapkan.
“Apa
kamu berusaha merusak kehidupan orang baik seperti Aono Eiji hanya demi alasan itu!!”
“Hiii...”
Dia
terkejut dan mengeluarkan jeritan pendek karena tekanan dari nada suaraku. Aku
merasa ingin menampar pipinya, tapi aku
berusaha keras untuk menahan impuls itu dengan akal sehat. Jika aku melakukan
ini, aku akan berdiri di lapangan yang sama dengan mereka. Bukan manusia,
tetapi makhluk malang yang hanya digerakkan oleh nafsu.
“Senpai...
ia berusaha bunuh diri di atap
sekolah setelah liburan musim panas. Pria baik seperti dirinya begitu kehilangan harapan
sampai berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Apa yang sudah ia lakukan? Ia cuma ingin
merayakan ulang tahunnya dengan bahagia bersama kekasihnya. Namun... Amada-san. Kamu menginjak-injak
niat baik seseorang dan menjadikannya penjahat demi melindungi dirimu sendiri. Dan kamu mendorong
korban sampai hampir bunuh diri. Apa yang kamu lakukan tidak bisa dimaafkan. Aku
tidak akan pernah memaafkanmu. Aku tidak bisa memaafkanmu!!”
“Eiji...
bunuh diri? Tidak mungkin...”
Wajah Amada-san semakin pucat, dan
emosinya tampak mati, tapi tidak ada yang bisa kubicarakan lagi dengannya. Namun, dia tidak tahu
bahwa niat jahatnya bisa dengan mudah merenggut nyawa seseorang. Dia bahkan
tidak bisa menatap kenyataan itu. Kebencian yang ditujukan kepadaku pasca
kecelakaan itu pasti berasal dari orang-orang seperti ini.
“Aku
telah berbicara terlalu jauh. Maaf, aku permisi.”
Aku
meninggalkan tempat itu, mengabaikan Amada-san
yang tampak terguncang. Aku pergi dengan cepat seolah-olah melarikan diri
darinya, sambil merasa benci pada diriku
diri karena telah berbicara terlalu jauh.
Sebenarnya,
aku seharusnya tidak membicarakan tentang percobaan bunuh diri yang seharusnya kusembunyikan
dari Amada-san. Senpai pasti ingin
merahasiakannya.
Emosiku
meluap dan aku tidak bisa menghentikannya. Aku jadi
merasa bersalah padanya.
(Tapi,
penyelamat hidupku berada dalam keadaan tertekan seperti itu. Senpai yang
begitu baik hampir memilih kematian karena niat jahat seseorang, sementara
pelakunya bersikap seolah-olah mereka adalah korban. Aku tidak bisa
memaafkannya. Aku tidak bisa membiarkan orang baik seperti itu diputarbalikkan
oleh niat jahat orang lain.)
Rasa
benci diri dan kemarahan. Perasaan negatif seperti itu muncul.
Entah
kenapa, aku tidak merasa menyesalinya.
Karena Eiji-senpai orang yang
sangat baik, aku yakin dirinya mundur
selangkah.
Karena
aku sangat mengetahuinya, jadi aku menyampaikan pesan dengan
baik kepada Amada-san
sebagai wakilnya, tapi apakah aku sedikit membantu? Meskipun aku mungkin
dibenci, aku bisa berdiri di garis depan, jadi mungkin aku bisa membalas budi
sedikit.
Seandainya
kita tidak bertemu di atap waktu itu, Eiji-senpai
mungkin akan berusaha bunuh diri di sana. Seseorang yang baik seperti dirinya tidak seharusnya mengakhiri
hidupnya dengan cara yang tidak diketahui oleh siapa pun di tempat seperti itu.
Ia seharusnya hidup sepenuh hati
dan pergi dikelilingi oleh keluarga yang bahagia.
Ia
adalah orang yang berbeda dari mereka yang hidup dengan mengorbankan nyawa
orang lain, seperti diriku.
Ia
harus bahagia. Orang bernama Aono Eiji memiliki hak untuk itu.
'Ai. Ibu berharap kamu bisa
bahagia.'
'Maafkan
aku. Seharusnya aku lebih banyak bicara. Maafkan ibu yang tidak bisa mengatakan
hal ini kecuali pada saat-saat seperti ini. Aku mencintaimu selamanya.'
'Tidak
apa-apa, kamu pasti akan bertemu dengan seseorang yang akan mencintaimu.'
'Ibu akan
selalu bersamamu. Jika ada satu penyesalan, aku ingin melihatmu dalam balutan
gaun pengantin.'
Aku
teringat kata-kata terakhir ibuku
yang selalu aku coba lupakan. Kata-kata yang sudah lama kuhindari terulang
kembali. Bahkan kehangatan ibu yang tidak bisa aku ingat sampai sekarang pun
menyentuhku.
Terima
kasih, Bu. Aku hampir menyerah, tapi
akhirnya aku mengerti arti kata-kata yang diajarkanmu.
Maafkan
aku karena mencoba melarikan diri. Maafkan aku karena ingin mengambil jalan
yang lebih mudah.
Tapi
akhirnya...
Aku telah
menemukan orang yang kusukai. Aku bertemu dengan seseorang yang menghargaiku
lebih dari diriku sendiri.
“Aku jadi ingin bertemu Eiji-senpai.”
Aku
menyadari perasaan cintaku padanya dengan tegas. Cinta di masa SMA hanyalah
momen sesaat. Aku mengutuk diriku yang pernah
bersikap dingin seperti itu.
Aku ingin
percaya bahwa perasaanku padanya akan bertahan
selamanya.
Aku
berjalan cepat untuk kembali ke apartemenku. Namun, dewa takdir tersenyum
kepadaku di sini juga.
Ada
seorang pria di kejauhan yang melambaikan tangan. Ia adalah Aono Eiji. Setelah menyadari perasaan cintaku sendiri, aku menganggap kebetulan biasa
ini sebagai takdir.
“Senpai!!”
Aku hampir
saja memeluknya. Itu hanya kebetulan. Namun, karena aku sudah lama ingin
bertemu dengannya, aku tidak bisa berbohong pada
diri sendiri bahwa ini adalah takdir.
“Ichijou-san, kebetulan sekali! Aku akan
pergi makan ramen untuk makan malam, bagaimana kalau kita pergi bersama?”
Ia tersenyum
dengan lembut. Aku menyadari bahwa dirinya ingat kalau aku pernah bercerita
tentang belum pernah pergi ke restoran ramen saat kencan kemarin. Tempat yang
selalu menarik perhatianku, tetapi belum pernah aku kunjungi.
Tanpa
berpikir lebih jauh, mulut u sudah bergerak. “Apa itu baik-baik saja? Aku mau
ikutan!”
Yang paling
membuatku senang adalah kebaikan Senpai. Rasa tidak nyaman yang kurasakan
setelah membaca laporan itu seolah menghilang entah ke mana.
※※※※
──Sudut
pandang Aono Eiji──
Aku sedang
dalam perjalanan menuju minimarket untuk menyalin catatan materi pelajaran Satoshi yang dipinjamkan padaku. Di
tengah perjalanan, aku secara kebetulan bertemu Ichijou-san dan mengajaknya pergi makan
ramen. Dia bilang, karena dia seorang gadis kaya,
dia jarang pergi ke kedai ramen.
Kami
menuju kedai ramen terdekat. Tentu saja, aku tidak bisa membawa pemula ramen ke
tempat yang untuk tingkat mahir. Kami masuk ke dalam
restoran yang terkenal dengan ramen miso tradisionalnya yang
enak.
“Apa
yang harus kulakukan ini?”
Sepertinya
dia tidak tahu cara membeli tiket makanan. Ichijou-san
yang tampak panik di depan mesin penjual tiket itu terlihat sangat imut. Di
dalam restoran, dia juga menarik perhatian. Aku harus mengawalnya dengan baik.
“Masukkan
uangnya, lalu tekan tombol ramen yang ingin dipesan. Di sini porsinya besar,
jadi Ichijou-san
sebaiknya memilih porsi biasa atau mini. Rekomendasiku adalah miso tanmen sayur. Ini mengandung banyak sayuran, jadi
lebih aman jika mie-nya sedikit.”
“Apa!?
Sehebat itu!? Syukurlah aku bertanya dulu. Baiklah, aku akan memilih ini.”
Dia
dengan patuh menekan tombol untuk porsi mini. Dia juga memesan teh oolong.
“Aku
sudah cukup lapar, jadi aku akan memesan
ramen dengan tambahan chashu sayuran.”
Kami
diantar ke meja untuk dua orang. Restoran ini memiliki dapur yang terlihat
jelas. Tidak ada pesanan yang sulit, dan pelayannya
juga baik, jadi Ichijou-san yang
pemula pun merasa tenang.
"Hebat
sekali. Dia bisa mengangkat
panci besar itu dengan mudah. Itu pasti sayur tumis, kan?”
“Benar.
Restoran ini menumis sayuran teratas
dengan saksama, dan rasanya sangat lezat sehingga kamu bisa memakannya begitu saja.
Jika memesan nasi, itu bisa menjadi lauk.”
“Karbohidrat
dengan karbohidrat, aku sedikit dengan kalori di
hari berikutnya, tapi kelihatannya enak.”
“Kalau
mengenai itu sih, kamu harus menyesuaikannya dengan baik.”
Tapi,
menu yang dipesan Ichijo-san lebih banyak sayurannya, dan selain garam,
sebenarnya cukup sehat.
“Ini pesanan Anda, terima kasih sudah menunggu.”
Pelayan
wanita tua itu dengan mudah membawa dua
mangkuk ramen.
“Terima
kasih,” jawab Ichijo-san dengan
senyuman. Hanya ucapan
itu saja sudah membuat pelayan tersebut tersenyum lebar.
““Selamat
makan.””
Kami
mulai menikmati ramen yang masih panas. Dia agak terkejut dengan jumlah sayuran yang disajikan, tetapi setelah mencicipi
supnya, matanya terbuka lebar karena terkejut.
“Rasa
manis sayurannya terasa sangat lembut.
Apa ini ditumis dengan minyak wijen? Aroma sayur tumisnya sangat harum.”
“Kamu
bisa menambahkan yuzu atau lada untuk mengubah rasanya.”
“Pastinya
cocok. Ini adalah pertama kalinya aku memakan ramen
yang enak, aku jadi sedikit
menyesal mengapa aku tidak mencobanya sebelumnya.”
Dia
menyantap menu yang direkomendasikan dengan lahap. Aku senang dia menanggapi
dengan baik. Hanya itu saja sudah membuatku bahagia. Merasakan kebahagiaan
berbagi hal-hal yang disukai satu sama lain adalah hal yang berharga. Aku
menyadari hal-hal yang seharusnya dianggap biasa. Semua ini berkat Ichijou-san.
Sejak
bertemu dengannya, aku merasa selalu bahagia. Atap
sekolah itu bukan satu-satunya tempat yang indah; lebih
dari itu, keberadaannya menjadi
sangat berarti bagiku dan mengisi kekosongan yang lebih dari apa yang hilang dariku.
Aku merasa sedih karena kami harus
meninggalkan restoran tepat setelah menghabiskan ramen kami. Aku berharap kami
bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Tapi, ya, kami masih bisa bertemu lagi besok.
“Aku
akan mengantarmu pulang.”
Dia juga terlihat sedikit sedih. Wajahnya seketika langsung bersinar saat mendengar tawaranku.
Syukurlah, kami bisa bersama sedikit lebih lama.
“Terima
kasih.”
Kami
berjalan sepelan mungkin. Dari sini ke apartemennya hanya sekitar lima menit
berjalan kaki. Kami bisa segera sampai dalam waktu singkat.
Tangannya
sedikit menyentuh tanganku. Mungkin itu kebetulan, tapi kami berdua mengucapkan
“ah”
kecil. Kami saling menatap dan tersenyum. Kami sangat menyadari satu sama lain.
Jadi, karena Ichijou-san
memberiku keberanian di kencan sebelumnya, sekarang giliranku...
Aku
mengambil keputusan dan perlahan-lahan membungkus tangannya. Tangannya
sangat kecil. Rasanya seperti bisa patah jika tidak hati-hati. Dan sedikit
dingin.
Dia
menundukkan kepala dengan malu-malu, tapi dia
tetap menggenggam tanganku dengan erat. Hanya beberapa menit yang penuh
ketegangan. Tapi, bagi kami, itu mungkin terasa seperti selamanya.
“Serangan
mendadak itu curang.”
Dia
mengatakannya dengan sedikit marah, tetapi tersenyum bahagia.
“Aku ingin
mengatakan hal yang sama kepada Ichijou-san pada hari Minggu.”
Aku
berhasil membalas dengan baik, sesuatu yang jarang terjadi.
“Duhh,
bagian itu juga curang."
Aku
merasa sangat menyayanginya.
“Setelah
pulang, aku berpikir untuk mencoba memposting novel di web.”
Dia lah
yang menyarankannya padaku pagi ini.
Saat itu, aku mendapatkan keberanian. Jadi, aku memutuskan untuk melangkah
maju.
“Bagus.
Rasanya sangat disayangkan jika hanya
aku yang membacanya. Aku yakin karya Senpai pasti
akan populer.”
Melihatnya tersenyum bahagia membuatku
merasa tenang. Genggaman tanganku semakin kuat.
“Tapi,
Senpai?”
“Apa?”
“Aku
menyadari kalau perkataanku ini mungkin terdengar seperti gadis merepotkan yang salah paham. Tapi, tolong jangan pergi terlalu jauh. Tolong pegang tanganku terus, ya.”
Wajahnya
yang sedikit bermasalah itu
sangat cantik.
“Iya,
aku akan terus menggenggamnya.”
Kemudian,
momen indah ini mulai berakhir. Kami dengan enggan melepaskan tangan yang telah
kami janjikan untuk dipegang selamanya.
“Terima
kasih untuk hari ini. Sampai jumpa besok.”
“Ya,
sampai jumpa besok.”
Kami
melambaikan tangan untuk mengucapkan selamat tinggal tanpa mengatakan hal yang
tidak perlu. Setelah
mencapai tujuanku, aku pulang.
“Aku senang
bisa membuatmu bahagia.”
Saat aku
bergumam dengan perasaan santai, aku melihat wajah yang familiar berjalan di
depanku. Mana mungkin aku salah mengenalinya.
Detak
jantungku berpacu dengan cepat. Dia adalah wanita yang tidak ingin
kutemui.
“Eiji?”
Teman
masa kecil sekaligus mantan pacarku,
Amada Miyuki, memanggilku dengan wajah pucat seperti
zombie.
Mantan
pacar yang tidak ingin kutemui lagi ada di sana.
※※※※
──Sudut
Pandang Miyuki──
Eiji
ingin bunuh diri? Kenapa? Kenapa ia mencoba melakukan hal seperti itu? Kenapa
aku tidak menyadari hal ini?
Bagaimana
aku bisa tidak menyadari bahwa tindakanku telah membuat Eiji terpuruk sampai
sejauh itu?
Setelah
mendengar fakta mengejutkan ini, aku merenungkan semua yang telah kulakukan
sampai sekarang.
Aku
berselingkuh dengan Kondo-san tanpa sepengetahuan Eiji.
Aku
membatalkan rencana untuk merayakan ulang tahun Eiji dan memilih untuk berkencan dengan Kondo-san.
Setelah
semua itu terungkap, aku menjebak Eiji karena ingin melindungi diriku sendiri
karena ketakutanku.
Akibatnya,
Eiji dibully dan
tertekan sampai berpikir untuk bunuh diri.
“Aku
benar-benar wanita terburuk.”
Akhirnya
aku menyadari. Tidak, sebenarnya aku sudah tahu, tetapi aku tidak mau
mengakuinya. Karena aku takut. Ketika perselingkuhanku terungkap, aku akan
kehilangan semua yang telah kutumpuk sebagai siswa teladan dan teman-temanku...
Tetapi,
diriku saat itu sangat idiot.
Karena,
demi melindungi diri yang sepele itu, aku telah kehilangan sesuatu yang paling
berharga yang seharusnya tidak kubuang.
Tanpa
sadar, aku datang ke taman biasa.
Taman
tempat di mana aku bermain bersama Eiji.
Kami
sering bermain di sini. Kami
selalu mengobrol lama sambil bermain ayunan.
Mengingat kenangan lama, aku duduk di ayunan.
“Kalau
begitu, ketika kita besar nanti, aku akan menjadi istri Eiji.”
Sebuah
kalimat yang kuingat saat kami masih di kelas satu SD.
“Semuanya
akan baik-baik saja, kita akan selalu bersama.”
Ketika
ayah Eiji meninggal mendadak, aku menghiburnya di tempat yang sama. Tapi, aku
telah mengkhianatinya. Aku telah mengkhianati janji yang seharusnya tidak aku
ingkari. Aku merasa telah melakukan hal terburuk yang bisa dilakukan seorang
manusia. Tapi, aku terus melarikan diri karena sangat takut untuk mengakuinya. Eiji
selalu menjaga janjinya
denganku. Ia
menghiburku ketika aku merasa terpuruk setelah ayahku meninggal. Sejak hari
itu, dirinya terus melindungiku. Bahkan
ketika kami tidak berpacaran, ia memikirkan berbagai cara supaya aku tidak merasa kesepian.
Air susu dibalas air tuba, aku telah
membalas kebaikan orang yang telah menolongku
dengan cara yang sangat jahat. Mengapa hal begini terjadi? Kurasa aku
mencari kehangatan sesosok Ayah
dari Senpai. Jika hanya sekedar kehangatan, Eiji
juga hangat. Namun, aku sudah terbiasa dengan kehangatan itu. Karena Eiji selalu berada di sampingku.
“Akhirnya
kamu
menyatakan perasaanmu padaku. Ya, aku juga selalu menyukaimu.”
Aku
teringat hari saat dia menyatakan perasaannya padaku. Kenanganku yang paling
berharga muncul satu demi satu lalu memudar. Masa
sepuluh tahun yang kulalui
bersama Eiji adalah waktu yang paling berharga bagiku. Kenapa, kenapa aku
selama ini bertindak egois?
Dengan
pandangan yang kabur, aku menatap ke depan. Sebuah
tanda peringatan menarik perhatianku.
[Pemberitahuan tentang pemindahan peralatan
taman bermain. Pekerjaan akan dilakukan pada waktu-waktu berikutnya untuk
memasang peralatan taman bermain yang baru].
Ah, ayunan dan perosotan yang kami mainkan bersama dan kenangan berharga kami
akan menghilang. Begitu menyadari hal itu, air mataku langsung mengalir tanpa bisa kutahan.
“Padahal aku
sangat menyukainya, aku sangat menyukainya, aku sangat menyukainya. Karena
diriku, semuanya jadi hilang.”
Fakta
yang kejam membuat hatiku hancur. Aku merasa tidak pantas untuk menangis. Namun air mataku terus mengalir.
Aku telah
mengkhianati Eiji yang baik hati. Aku seharusnya jatuh ke dalam neraka. Aku
tidak berhak untuk bahagia. Jadi, aku juga berusaha untuk dibuang oleh
Kondo-senpai yang kupilih setelah meninggalkan Eiji. Bahkan ibuku pun mengabaikanku.
Aku
benar-benar bodoh.
Aku
takkan bisa kembali ke tempat yang hangat dan bahagia itu.
Di Aku
menangis tersedu-sedu di taman yang menyimpan begitu banyak kenangan, dan
terhuyung-huyung pulang. Aku tidak punya pilihan selain kembali ke tempat yang sepi.
Di tengah
kerumunan, aku menemukan sosok yang seharusnya tidak kutemukan.
Orang
yang sangat ingin kutemui, orang yang paling kucintai.
“Eiji?”
Aku
memanggilnya tanpa sadar. Padahal
aku tidak berhak melakukan itu.
Bahu Eiji tampak tegang sejenak dan
menoleh ke arahku.
“Miyuki?”
Ekspresinya
dipenuhi dengan kebingungan dan ketakutan. Senyuman lembutnya yang biasa sudah tidak ada lagi. Ternyata, semuanya sudah...
“Eiji
memang teman masa kecilku… tapi
ia sangat ngotot dan mengganggu,
pacar tukang pukul
yang mirip seperti penguntit.”
Pada hari
itu, ketika perselingkuhanku terbongkar,
aku tanpa sadar setuju dengan ucapan Senpai
dan melemparkan kata-kata paling jahat padanya.
Kata-kata
yang kuucapkan terus terngiang-ngiang
di kepalaku. Tidak peduli bagaimana aku memikirkannya, kata-kata itu tidak akan
pernah bisa dimaafkan. Sekarang nasi sudah menjadi
bubur, semuanya sudah terlalu terlambat. Dan itu
belum semuanya. Aku telah menuduh Eiji dengan tuduhan palsu, dan meskipun aku
memiliki banyak kesempatan untuk membantahnya, aku tidak pernah melakukannya.
Aku
ingin mempertahankan posisiku sebagai siswa teladan.
Dengan alasan yang dangkal seperti itu, aku telah memberikan luka seumur hidup padanya. Setelah keheningan yang panjang, akhirnya Eiji membuka mulutnya.
“Apa? Apa kamu mau datang
untuk menertawakanku? Bukannya kamu sendiri yang
menyuruhku untuk tidak berbicara denganmu lagi?”
Suara itu
sangat dingin, tidak seperti Eiji yang biasanya. Aku memahami bahwa aku telah
melakukan hal yang sangat menyakitkan padanya.
Dan ditolak sepenuhnya oleh Eiji membuat hatiku terasa lebih berat dari yang kubayangkan.
Meski seharusnya aku sudah siap, tapi
keteguhan hatiku hancur oleh kejutan yang begitu besar.
“Ti-Tidak,
bukan itu. Aku cuma ingin kita kembali seperti sebelumnya,
meskipun hanya sebentar.”
Hubungan
kami sebagai teman masa kecil benar-benar hancur. Suara Eiji yang dingin dan penuh waspada
menusuk hatiku.
Aku
sendiri tahu bahwa aku sedang berbicara omong kosong. Namun, setelah kehilangan semuanya, aku baru menyadari betapa
berharganya dirinya. Walaupun Senpai terus-menerus mengatakan hal yang baik dan manis padaku, tapi sebenarnya ia cuma menganggapku hanya sebagai
perempuan yang menguntungkan. Tertipu oleh pria seperti itu, aku hampir
kehilangan pacar, teman, dan keluarga. Itulah diriku sekarang. Di luar,
orang-orang menyebutku sebagai siswa
teladan, tetapi sebenarnya aku hanya
menyukai diriku sendiri.
Meskipun aku pandai dalam pelajaran,
tapi aku hanyalah orang bodoh yang tidak
memahami hal terpenting dalam hidup sebagai manusia. Aku terus-menerus
mengalami kebencian terhadap diriku
sendiri.
Namun, entah mengapa, ada bagian dari diriku
yang bergantung pada Eiji. Mungkin dia akan memaafkanku. Eiji mungkin masih
menganggapku sebagai teman masa kecil yang berharga. Pikiran manis itu hancur
berkeping-keping oleh ucapannya.
“Apa
yang sedang kamu katakan?”
Hatiku
hancur oleh kata-katanya yang dingin, dan aku menundukkan kepalaku dengan badan gemetaran.
Meskipun
singkat, rasa sakitnya lebih menghancurkan hatiku daripada hukuman penjara yang
panjang. Meski begitu, aku hanya bisa bergantung padanya. Sambil menangis, aku
tetap berusaha untuk bergantung padanya. Hati yang tidak terkendali ini tidak
bisa lagi dihentikan oleh akal sehat.
“Aku benar-benar minta maaf. Aku tahu kalau aku sudah
melakukan hal paling jahat padamu.
Namun, aku ingin menyampaikan ini...”
Begitu mendengar
permohonan maafku, Eiji menghela napas tanpa melonggarkan ekspresinya.
※※※※
──Sudut
Pandang Aono Eiji──
Aku
menyadari bahwa ada bagian dari diriku yang menjadi dingin karena permohonan
maaf yang tak terduga ini.
Aku
menyadari bahwa tempat teman masa kecil yang seharusnya memiliki arti besar
dalam hatiku, kini tidak ada di mana pun. Jika Miyuki meminta maaf, apa yang
harus kulakukan? Aku pernah memikirkan hal itu. Namun, aku merasa
kemungkinan itu kecil dan perasaan tidak bisa memaafkannya sangat kuat. Tetapi
sejak bertemu dengan Ichijou-san,
keberadaan Miyuki di dalam hatiku semakin mengecil. Dan sekarang, dia
perlahan-lahan hanya menjadi
orang dari masa lalu. Bahkan kemarahanku telah berlalu, dan aku hanya bisa mendengarkan
kata-katanya dengan tanpa emosi.
“Padahal
kupikir aku akan lebih marah,
tapi nyatanya tidak demikian, ya. Kebalikan dari cinta adalah
ketidakpedulian, bukan?”
“Apa
yang kamu katakan, Eiji? Jika kamu memaafkanku, aku akan melakukan apa saja...”
Kurasa mungkin
inilah cara Miyuki untuk meminta maaf. Namun, itu tidak menyentuh hatiku sama sekali. Aku merasa bahwa itu
bukanlah yang kucari. Meskipun kami telah
bersama selama lebih dari sepuluh tahun, kami tidak bisa memahami hal-hal
penting seperti itu satu sama lain.
Ini bukan
soal memaafkan atau tidak.
Aku
merasa tidak nyaman dengan permintaan maafnya. Aku bahkan merasa tidak ingin
mengingat Miyuki lagi.
“Bukan begitu masalahnya. Aku tidak ingin
kenanganku semakin ternodai. Kurasa,
sebaiknya kita tidak berhubungan lagi ke depannya. Itu demi kebaikan kita berdua. Aku tidak
ingin semakin membenci Miyuki.”
Aku
dengan tegas menyampaikan kata-kata penolakan. Karena
kupikir itulah cara yang paling tulus untuk menanggapinya. Walaupun kupikir aku tidak perlu bersikap
tulus kepada mantan pacarku yang mengkhianatiku, tapi
jika tidak, aku akan jatuh menjadi orang yang sama buruknya
dengan mereka. Namun, aku tidak merasa perlu memberi belas kasihan. Bagiku
sekarang, Miyuki hanya terasa sebagai keberadaan yang tidak menyenangkan.
Mendengar
kata-kata penolakanku, Miyuki benar-benar terdiam.
“Eh...”
Sambil merasa
sedikit rasa bersalah, aku melanjutkan. Mungkin dia takkan pernah menyangka kalau aku akan
mengatakan hal ini. Namun, perasaanku yang
seperti inilah akibat
dari pengkhianatan Miyuki yang kejam. Aku merasa perlu untuk menyampaikannya
dengan jelas. Itu adalah itikad baik yang dapat dilakukan seorang pria ketika
mantan kekasihnya mengatakan ingin memperbaiki hubungan. Aku memutuskan untuk
mengakhiri hubungan dengan wanita terburuk yang telah kukenal selama lebih dari
sepuluh tahun ini.
“Karena aku
sudah menyukai orang lain.”
Aku
mengucapkan kata-kata penolakan yang singkat itu dan mulai berjalan pergi. Jika
dipikir-pikir, peristiwa ini
mirip dengan kejadian di hari pengkhianatan itu. Tapi aku tidak memukulnya, dan
aku tidak berselingkuh. Yang merusak hubungan ini terlebih dahulu adalah
Miyuki. Jadi, kurasa ini sudah cukup. Aku tidak
perlu lagi melanjutkannya lagi.
“Tidak,
tidak! Aku tidak mau! Eiji, Eiji...!”
Miyuki
berteriak histeris, tapi aku
tidak memiliki kewajiban untuk menanggapi
kata-katanya. Aku terus
melangkah maju tanpa menoleh ke
belakang.
※※※※
──Sudut
Pandang Ichijou Ai──
Ini
adalah pertama kalinya aku menikmati hidangan
ramen di restoran.
Tentu
saja, bukan berarti aku belum pernah makan ramen sebelumnya. Setelah aku meninggalkan
ayahku dan mulai hidup sendiri, aku mencoba sedikit makanan instan yang menarik
perhatianku.
Mie
instan dan mie dalam cangkir rasanya enak. Namun, aku cepat merasa bosan dan
kembali ke pola makan seimbang yang selalu diajarkan. Sebenarnya, aku cukup
suka memasak, dan membuat makan malam sambil belajar dari pembantu rumah tangga
juga menyenangkan.
Tapi, aku
selalu ingin mencoba makan ramen di restoran suatu saat nanti. Memang, pergi
sendirian sebagai seorang gadis terasa sulit.
Karena
itulah, aku merasa sangat senang ketika Senpai mengingat sesuatu yang kukatakan
secara tidak sengaja. Terutama pada akhir pekan, pembantu rumah tangga juga
libur, jadi aku tidak perlu menjalani makan malam yang sepi.
Ia
mengingat dengan baik percakapan yang tampaknya biasa dan mengajakku. Mana
ada gadis yang tidak merasa bahagia ketika diperlakukan dengan lembut oleh
orang yang disukainya.
Meskipun
kami hanya makan malam dan langsung berpisah, itu adalah waktu yang
menyenangkan. Itu sudah cukup untuk mengusir perasaan murung yang kudapatkan
dari laporan yang aku baca sebelumnya.
“Ah,
benar. Aku kehabisan teh.”
Aku
menyadari bahwa aku telah kehabisan teh hitam yang biasanya kuminum saat
belajar.
Aku
meninggalkan pintu masuk gedung apartemen untuk pergi ke supermarket terdekat
karena efisiensi belajarku akan berkurang tanpa
adanya minuman tersebut.
Senpai
mungkin masih berada
di dekat sini. Meskipun kami baru saja berpisah, aku masih mencari
keberadaannya.
Ini sudah
parah. Namun, meskipun parah, hatiku yang mencarinya terus berdebar-debar.
Setelah
berjalan sedikit, aku melihat sosok punggung Eiji-senpai. Mungkin ia akan
menemaniku berbelanja di supermarket. Meskipun itu mungkin merepotkan, aku akan memberanikan diri untuk mencoba mengajaknya.
“Eiji-se...”
Ketika aku
hendak memanggilnya, aku menyadari sosok lain.
Itu
adalah Amada Miyuki.
“Kenapa...”
Jangan-jangan,
dia menunggunya? Atau,
dia mengikutinya?
Perasaan aku
yang semula bersemangat tiba-tiba menjadi dingin.
Sekarang belum
saatnya. Rasanya masih terlalu
cepat untuk mempertemukan Amada-san
kepada Eiji-senpai yang baru saja bisa tersenyum setelah terluka.
Lagipula,
ia baru saja dikhianati oleh teman masa kecil yang sudah bersamanya selama
sepuluh tahun. Meskipun ia berpura-pura tidak peduli, dalam waktu singkat
ini...
Selain
itu, dari percakapan kami sebelumnya, masih terlihat jelas bahwa Amada-san masih memiliki perasaan terhadap
Senpai. Ada kemungkinan dia
memanfaatkan kebaikan senior untuk meminta kembali hubungan mereka...
Dan aku
juga menyadari apa yang membuatku merasa cemas.
Karena aku
menyadari kemungkinan Senpai
diambil oleh orang lain. Ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi jika
seorang pria bernama Aono Eiji tidak
memilihku berkecamuk di dalam hati. Sebenarnya, hubungan kami tidak cukup baik
untuk menunjukkan rasa memiliki satu sama lain.
Rasa
takut itu membuatku bersembunyi di balik bayangan, meskipun aku tahu itu salah,
supaya aku bisa mendengar
percakapan mereka dan memperhatikan situasinya.
“Ti-Tidak, bukan itu. Aku cuma ingin kita kembali seperti
sebelumnya, meskipun hanya sebentar.”
“Apa
yang sedang kamu katakan?”
“Aku benar-benar minta
maaf. Aku tahu kalau aku sudah melakukan hal paling jahat padamu. Namun,
aku ingin menyampaikan ini...”
Kata-kata
pertama yang bisa kudengar adalah pembelaan Amada-san.
Aku hampir marah mendengar seberapa
egoisnya dia berbicara. Dia seharusnya tidak berada dalam posisi atau memiliki
hak untuk mengatakan hal seperti itu.
Sebagai
balasan, Senpai terlihat
terkejut sejenak dan menjawab dengan wajah datar.
“Padahal
kupikir aku akan lebih marah, tapi nyatanya tidak demikian, ya.
Kebalikan dari cinta adalah ketidakpedulian, bukan?”
“Apa
yang kamu katakan, Eiji? Jika kamu memaafkanku, aku akan melakukan apa saja...”
Kebalikan
dari cinta adalah ketidakpedulian. Tidak ada orang yang tidak terkejut ketika
mendengar hal ini dari orang yang mereka cintai. Kata-kata penolakan yang
kejam. Sebagai tanggapan, Amada-san jelas-jelas telah salah dalam
berbicara.
Mendengar
perkataan tersebut, Senpai yang biasanya baik hati,
menunjukkan emosi
kekecewaan yang begitu jelas.
Wajar saja. Dia tidak mencari kata-kata
seperti itu.
Aku
bahkan bisa merasakan penolakan yang bersifat fisiologis, saat ucapan Senpai menjadi semakin
dingin.
“Bukan begitu masalahnya. Aku tidak
ingin kenanganku
semakin ternodai.
Kurasa, sebaiknya kita tidak
berhubungan lagi ke depannya. Itu demi
kebaikan kita berdua. Aku tidak ingin semakin
membenci Miyuki.”
Senpai
benar-benar orang yang baik. Meskipun ia mengalami hal seperti itu, dirinya tidak menyangkal kenangan
berharga yang dimilikinya bersama mantannya.
Seandainya
aku berada di posisi yang sama, aku mungkin akan meluapkan kebencian yang
mendalam kepada mantan pasanganku.
Namun, dirinya
berjuang keras untuk menahan diri agar tidak melakukan hal itu. Aku bisa
merasakan seberapa pedulinya Senpai kepada
mantannya.
Dan
akhirnya, Senpai
menunjukkan penolakan yang jelas. Dirinya
yang seharusnya baik hati, tidak ragu untuk menyakiti orang. Betapa dalamnya
kekecewaannya terhadapnya.
“Karena aku
sudah menyukai
orang lain.”
Begitu aku
mendengar kata-kata itu, jantungku berdebar sangat kencang.
Mungkin ini adalah perasaan berlebihan. Namun, betapa bahagianya aku jika orang
yang dimaksud adalah aku.
“Apa yang kamu maksud itu Ichijou-san?”
Setelah
berulang kali menggumam “tidak”, Amada-san tiba-tiba menyebut namaku. Aku
mungkin akan mendengar sesuatu yang seharusnya tidak didengar.
Senpai
yang hendak pergi tidak menoleh dan menjawab,
“Kurasa
aku tidak boleh memberitahu Miyuki sebelum orangnya
tahu sendiri. Itu sebabnya aku tidak bisa menjawabmu.”
Dirinya meninggalkan Amada-san yang menangis di tempat
itu.
※※※※
──Sudut
Pandang Aono Eiji──
Setelah
berpisah dengan Miyuki, aku melangkah maju. Ternyata, luka di hatiku tidak sesakit yang kubayangkan. Tentu saja, bukannya berarti aku tidak merasa nyeri sama sekali, tapi
lukanya jauh lebih dangkal daripada yang kuperkirakan.
Yah, karena
kami telah bersama lebih dari sepuluh tahun. Ada banyak
kenangan yang kumiliki bersama dengannya. Namun,
itu semua kini menjadi kenangan dan peristiwa masa lalu.
Dari
kejadian ini, aku menyadari bahwa aku menemukan sesuatu yang lebih berharga
daripada apa yang hilang.
Misalnya, kouhai yang bagaikan malaikat yang
membantuku tanpa memikirkan kerugian untuk diri sendiri.
Sahabat
yang menunjukkan ketulusan demi diriku.
Ibu dan
kakak yang menyayangiku apa
adanya.
Paman
Minami yang meneruskan kehendak ayah.
Dan para
guru yang meluangkan waktu mereka demi diriku,
berusaha semaksimal mungkin agar tidak merugikanku.
Mungkin
itulah sebabnya, meskipun aku kehilangan sosok penting seperti Miyuki, aku
masih memiliki banyak hal berharga yang tersisa. Jadi, anehnya, aku tidak
merasakan kehilangan apapun.
“Aku
harus bahagia demi orang-orang yang telah mendukungku.”
Usai
menetapkan tekad itu, aku melanjutkan perjalanan pulang, dan
tiba-tiba aku merasa seperti ada orang yang memanggil namaku
dari belakang.
“Senpai!”
Ketika aku
menoleh, Ichijou yang
baru saja berpisah denganku berdiri di sana
sambil tersenyum.
“Ada
apa?”
Rasanya
seperti sedang bermimpi. Sekarang, orang yang paling ingin kutemui sedang berada di hadapanku.
“Sebenarnya,
aku lupa membeli teh. Aku datang ke supermarket untuk membelinya. Lalu, aku
melihat Senpai dan memanggilmu.”
Dia
tampak sedikit canggung. Wajahnya sedikit memerah.
“Begitu ya. Tapi waktunya sudah hampir malam begini,
jadi berjalan sendirian itu berbahaya. Aku akan
ikut menemanimu.”
“Terima
kasih. Aku menyadari kalau ini merepotkan,
Senpai yakin tidak apa-apa?”
“Iya,
aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu denganmu hari ini.”
Aku
tiba-tiba menyadari bahwa aku telah mengucapkan kata-kata yang tidak seharusnya.
Dengan begitu, aku terlalu jujur tentang perasaanku.
Dia
tersenyum malu-malu.
“Terima
kasih. Kamu benar-benar baik sekali, Senpai.”
“Ya,
karena kamu seorang gadis. Dan... tidak, bukan apa-apa.”
Ichijou-san adalah seorang gadis cantik yang
bisa memikat orang-orang di sekitarnya,
jadi aku merasa khawatir. Tentu saja, aku tidak bisa mengatakan hal yang
terlalu jelas.
“Hehe,
apa kamu khawatir padaku? Terima kasih. Kalau begitu, mungkin hari ini aku bisa
sedikit bersikap egois.”
Ichijou-san yang tersenyum polos tampak
lebih bersinar dari biasanya.
“Entah
mengapa, itu membuatku senang.”
“Eh?
Apa maksudmu?”
“Yah,
maksudku, aku senang kamu begitu santai dan bergantung padaku seperti itu.
Ichijo-san, kalau di sekolah, kamu
lebih cenderung diandalkan oleh orang lain daripada bergantung pada orang lain.”
Aku
senang melihat sisi Ichijou-san
yang berbeda dari biasanya. Rasanya,
kami telah menjadi memiliki hubungan yang istimewa.
“Hal
seperti ini hanya untukmu. Karena kamu istimewa...”
Mendengar
ucapannya yang sedikit menggoda, aku menjawabnya dengan senyuman
lebih lebar dari biasanya.
“Kalau
begitu, aku senang. Artinya aku sudah menjadi orang istimewa, dan kamu
mengandalkanku sampai-sampai bisa bersikap manja
begitu.”
Ketika aku
menjawab dengan nada bercanda dari biasanya,
wajahnya tiba-tiba memerah, dan dia mencoba menenangkan diri dengan menarik
napas dalam-dalam. Ternyata, Ichijou-san
juga bisa menunjukkan ekspresi seperti ini.
“Dan
begitulah caramu yang selalu menjawab dengan tulus. Senpai no baka.”
Melihatnya
memanggilku bodoh dengan cara yang imut, aku menyadari bahwa aku merasa
bahagia.
“Kalau
begitu, mari kita pergi.”
“Ya.
Terima kasih.”
Kami
mulai berjalan seolah-olah berpisah dari masa lalu. Kali ini, dialah yang terlebih dahulu menggenggam
tanganku.
※※※※
──Sudut
Pandang Ichijou Ai──
Kami
mulai berjalan.
Kami
saling memahami bahwa ini adalah langkah yang berarti perpisahan.
Aku sudah
beberapa kali menerima kata-kata yang terasa seperti pengakuan tanpa sadar. Ia menatap mataku dengan seksama
dan memberikan kata-kata yang tulus.
Para pria
yang pernah mengungkapkan perasaan sebelumnya tidak pernah berbicara tentang diriku dengan kata-kata mereka
sendiri. Mereka hanya menggambarkanku berdasarkan penampilan atau popularitas
dari sudut pandang orang lain.
Karena
itulah, aku berpikir untuk hidup
sendirian selamanya.
Aku tidak
pernah membayangkan ada orang yang mau berjalan bersamaku dengan memahami sudut
pandangku.
Begitu
juga sebelumnya. Ia
menyadari ketergantunganku dan membalasnya dengan cara yang hangat.
Seharusnya
aku tidak bisa berada di samping orang yang sebaik ini. Semua ini merupakan hasil dari serangkaian kebetulan yang
terakumulasi...
Seperti
dirinya yang
membuatku bahagia, aku juga ingin membuatnya bahagia.
“Sampai
membuatnya merasa senang
karena sudah memilihku...”
※※※※
──Sudut
Pandang Aono Eiji──
Aku
pulang ke rumah dan secara acak membuka situs web novel yang telah kudaftarkan.
Itu adalah situs besar yang selama ini kuminati, tetapi aku hanya mendaftar tanpa
melanjutkan lebih jauh.
Kemarin, aku
teringat dengan apa yang diucapkan Ichijou-san padaku. Aku tidak tahu apa aku
memiliki bakat, tetapi bagiku yang kehilangan tempat di klub sastra, hanya ini menjadi satu-satunya tempatku untuk berkarya.
Aku sempat mengalami guncangan mental sehingga
tidak bisa menulis, tetapi berkat dirinya,
aku mulai mendapatkan kembali sedikit semangat. Aku menyalin data naskah yang kutulis
untuk majalah klub sastra dan menempelkannya ke formulir pengiriman.
Aku
mengisi informasi yang diperlukan, dan akhirnya mengklik tombol kirim yang
selama ini tidak berani aku tekan. Biasanya, aku akan merasa tertekan oleh
kecemasan di tahap ini. Menunjukkan novel kepada banyak orang memang membuatku
tegang.
Bohong
rasanya jika dibilang aku tidak tertarik dengan novel online. Namun, mengunggah di situs yang
dilihat banyak orang membutuhkan banyak keberanian,
dan aku tidak berani mengambil resiko.
Dengan
perasaan cemas akan kritik yang mungkin datang, akhirnya tombol yang kutekan
terasa jauh lebih ringan.
“Yah,
mana mungkin aku akan mendapatkan
makian seburuk di sekolah."
Aku
merasa diriku menjadi semakin
kuat. Pengalaman itu memberiku keberanian dalam arah yang aneh.
Aku
menekan tombol pembaruan tanpa alasan. Beberapa menit kemudian, jumlah pembaca
meningkat sedikit.
“Ah,
ada sepuluh orang yang melihatnya.”
Meskipun
belum ada komentar, hanya dengan berpikir bahwa ada seseorang
melihatnya sudah membuatku merasa bahagia. Tiba-tiba, pintu kamarku
diketuk.
“Eiji,
boleh aku masuk?”
Aku
mendengar suara ibu.
“Ya,
pintunya tidak terkunci.”
Saat aku
menjawab demikian, ibu masuk dengan senyuman yang lebih lembut dari
biasanya.
“Sebenarnya,
kemarin aku pergi ke polisi bersama Takayanagi-sensei.”
“Eh,
polisi?”
Aku
sedikit terkejut. Namun, karena disebutkan bersama guru wali kelasku, aku segera
mengerti.
“Ya, karena ini tentang insiden kamu dipukul.
Ternyata ada orang yang merekam video di lokasi kejadian, dan Sensei sudah menyelidikinya. Jadi, aku
pergi untuk memeriksanya. Maaf kalau aku tidak menyadarinya. Pasti sakit, ‘kan?”
Ternyata
benar. Ibu memelukku dengan lembut. Benar juga, aku tidak hanya memiliki Ichijou-san, tetapi juga keluarga yang
memahamiku. Aku memiliki banyak
orang yang memahamiku. Jadi, aku
tidak sendirian lagi. Seharusnya aku bisa berkonsultasi dengan seseorang
sebelum pergi ke atap itu. Jika aku tidak melakukannya dan tidak bertemu dengannya, aku pasti akan membuat semua
orang sedih. Sungguh bodohnya diriku.
“Semuanya akan baik-baik saja sekarang.
Karena semua orang ada di sini.”
“Ya,
kita benar-benar diberkahi dengan orang-orang di sekitar kita. Ayah yang telah
meninggal juga melindungi kita. Tadi, aku telah mengajukan laporan polisi
tentang seorang siswa kelas tiga bernama Kondo.”
Mendengar
kata-kata itu, perasaan lega dan cemas berbaur di dalam
hatiku.
“Begitu.”
Jika pihak kepolisian menyimpan rekaman video waktu itu,
Kondo pasti tidak akan bisa menghindar. Dia
pasti akan hancur. Meskipun ada rasa takut bahwa mungkin ia akan membalas
dendam, aku menenangkan diri dengan berpikir bahwa semua orang ada di sini,
jadi tidak apa-apa.
“Dan kamu juga hebat sekali, Eiji. Katanya kamu membantu kakek tua yang jatuh pingsan bersama Ai-chan kemarin? Pihak kepolisian yang memberitahuku. Ibu sangat
terkejut. Kamu benar-benar hebat. Kamu sungguh
anak yang membanggakan.”
Mendengar
kata-kata itu, emosiku seketika langsung
meledak. Aku ingin menangis seperti bayi.
“Bagaimana...?”
Bagaimana
ibu bisa tahu kalau aku melakukan itu?
Tanpa harus mengatakannya, ibu sudah mengerti.
“Petugas
polisi menyadari bahwa kamu yang dipukul dan kamu
yang menolong kemarin adalah orang yang sama. Pemadam kebakaran
akan memberikan penghargaan kepadamu dan Ai-chan. Perwakilannya akan datang ke sekolahmu besok.”
“Bagaimana
keadaan kakek tua yang jatuh pingsan itu?”
Tanpa
sadar, cara bicaraku menjadi seperti anak kecil.
“Kakek itu
baik-baik saja. Mereka bilang ia
tidak dalam bahaya karena kamu melakukan penanganan
dengan sangat cepat. Ia
sepertinya ingin mengucapkan terima kasih...”
“Begitu ya, syukurlah.”
Itu
adalah satu-satunya hal yang selalu mengganggu pikiranku. Aku sudah beberapa
kali mencari informasi di internet dan media sosial, tetapi tidak ada yang
muncul.
“Kalian
benar-benar luar biasa. Aku yakin ayahmu
juga pasti akan merasa senang.
Aku akan melindungimu mewakili ayah.”
“Ya...”
Aku
merasa sedikit lebih dekat dengan ayah yang selama ini terasa begitu hebat dan
kukagumi, dan hati aku terasa hangat. Dikelilingi
oleh perasaan aman yang tak terlukiskan, aku bersandar padanya seperti anak
kecil.
Keesokan
harinya.
Ketika
berita ini menyebar, suasana di sekolah berubah drastis.
Bersamaan
dengan itu, selama seminggu berikutnya, seolah-olah posisi kami terbalik, orang itu mulai terdesak.
Kondo
menyadari bahwa dirinya
telah berjalan di jalur kehancuran sejak hari itu.



