
Chapter 4 — Berbaikan dengan Teman Masa Kecil
──Sudut
Pandang Endou──
Di taman pada sore hari, aku memeriksa perkembangan rencanaku saat ini. Aku berjasli membuat hubungan
tim sepak bola menjadi berantakan.
Sekarang tinggal menunggu mereka hancur secara alami. Seharusnya aku juga bisa
mengucilkan Mitsuta, yang paling dekat dengan Kondo
di klub itu. Pada akhirnya, isu
foto itu pasti akan sampai ke telinga Kondo. Jika itu yang terjadi, dirinya pasti akan merasa putus asa
karena dikhianati oleh orang yang paling dia percayai di dalam tim.
Dan jika
hubungan Kondo dengan Amada Miyuki juga hancur, ia akan sepenuhnya terkucilkan.
Ini
adalah rencana untuk mengembalikan keputusasaan yang dirasakan Aono kepadanya.
Dibandingkan
dengan apa yang dialami Aono Eiji, rasa sakit yang dirasakannya itu tidak ada apa-apanya... Eiji tidak hanya dikhianati oleh
teman masa kecilnya, tapi dirinya juga dituduh melakukan
kesalahan, sehingga dikucilkan
di sekolah. Aku merasa tindakan ini sangat kejam hingga tidak bisa dianggap
manusiawi.
Oleh
karena itu, aku akan sepenuhnya mengambil tempatnya. Sama seperti yang sudah ia lakukan kepada temanku. Dan Kondo
yang dikucilkan pasti akan menghubungi dalang di
balik kejadian ini. Aku akan menemukan semua sumber masalah dan menjatuhkan
mereka bersama-sama.
Setelah
itu, aku akan menerima hukuman apapun. Jika aku bisa menjatuhkan mereka ke dalam neraka, aku rela melakukan apapun.
“Yo,
Endo! Aku jarang melihatmu belakangan ini!”
Saat aku
sedang berpikir keras di bangku, seseorang tiba-tiba memanggilku. Rupanya itu Imai.
“Yah,
aku hanya sedang
berjalan-jalan sebentar. Imai,
apa kamu sedang berlari untuk meningkatkan
staminamu? Tapi, kalau dipikir-pikir, hari
ini adalah hari libur, ‘kan?”
Ia
terlihat kehabisan napas dan mengenakan pakaian olahraga yang nyaman. Meskipun sekarang masih bulan September dan cuacanya cukup panas, dirinya tampak tidak kelelahan. Ia memang olahragawan dan akademisi sejati.
“Ya!
Aku sengaja libur hari ini karena aku harus
melakukan sesuatu. Endou, kmau jangan
terlalu memaksakan dirimu. Jika
ada yang terjadi, kamu bisa bilang
padaku kapan saja.”
Imai
tersenyum lebar. Namun, ada sedikit perbedaan
dalam senyumannya.
Aku
menyadari bahwa ia mengkhawatirkanku.
Memang
benar. Imai cerdas dan memiliki keberanian. Mungkin aku telah melakukan
kesalahan ketika bertemu dengannya pada hari aku merencanakan sesuatu untuk
klub sepak bola. Tidak, dirinya bukan orang yang
gampang mengkhianati dan pasti akan menghormati keinginanku.
Jadi, sepertinya ia sengaja
berpura-pura tidak melihatnya.
“Apaan
maksudnya? Aku hanya
berjalan-jalan saja, kok. Bukannya kamu terlalu khawatir? Meskipun
baru sembuh dari sakit.”
Aku
tertawa untuk mengalihkan perhatian. Hanya sedikit rasa bersalah yang
menggangguku.
“Benar
juga. Jadi, apa yang akan aku katakan selanjutnya adalah omong kosong dari
orang yang terlalu khawatir, jadi tolong abaikan
saja.”
Aku merasa
tersentuh dengan kebaikan hati
temanku. Tanpa sadar, aku hampir
melepaskan kdeok sebagai
pembalas dendam yang dingin. Namun, aku berjuang keras untuk menahan dorongan
itu, tersenyum dan mengangguk.
“Aku
tidak tahu secara detail apa yang ingin kamu lakukan, Endou. Aku tahu ada sesuatu yang
terjadi, tapi kurasa itu sesuatu
yang seharusnya tidak perlu kuselidiki terlalu
dalam. Tapi, tolong jangan terlalu gampang mengorbankan dirimu.
Mungkin, tujuan yang kamu kejar itu akan melibatkan pengorbanan diri di akhir.
Jangan mengatakan sesuatu yang menyedihkan
bahwa pengorbanan diri itu adalah cara untuk membalas budi kepada Aono.”
Mendengar
kata-kata itu, jantungku berdegup kencang. Detak jantungku semakin cepat,
sampai aku merasa sedikit sesak.
“Apa
maksudmu? Aku tidak mengerti apa yang kamu katakan.”
“Iya, itulah
sebabnya ini cuma ocehan ngelanturku saja. Tapi
sebagai teman, aku ingin terus berteman baik denganmu. Aku ingin kamu
tersenyum, sebagai teman. Aku meyakini Eiji
juga pasti berpikir begitu. Jika kamu terluka, dirinya
mungkin akan merasa sedih.”
Aku terdiam
saat melihat temanku yang seolah-olah sudah memahami segalanya.
“Apa
kamu tahu semua yang ingin aku
lakukan?”
Aku bertanya
dengan hati-hati, dan ia menggelengkan kepala.
“Aku
sudah menyelidiki hubungan antara Kondo dan Endo yang menjadi pusat keributan
ini. Tapi, aku tidak mendalami lebih jauh. Jadi, aku hanya bisa berspekulasi.”
Tidak,
jika Imai mau menyelidikinya, ia pasti bisa mencari tahu apa
yang terjadi saat SMP. Dan fakta bahwa dia juga menyebut nama Aono menunjukkan
bahwa ia mungkin sudah menyadari
segalanya.
Kebaikan
dan kehangatan yang tulus membuatku merasa diperhatikan. Tempat yang selalu aku
inginkan ternyata sudah bisa kudapatkan kembali. Aku benar-benar merasakan
betapa berharganya itu.
Namun,
setelah sampai sejauh ini, aku tidak bisa mundur
begitu saja. Aku tidak bisa berhenti. Demi mengalahkan Kondo dan dalang di
balik semua ini.
“Terima
kasih, Imai.”
Aku
mengucapkannya dengan susah payah,
dan Imai menanggapinya dengan
tersenyum.
“Tentu.
Kalau gitu, biar kuceritakan tentang kisah masa lalu.”
“Masa
lalu?”
“Ya,
mengenai bagaimana aku bisa berteman baik
dengan Eiji, kamu pasti
tertarik.”
“Benar.
Kalau dipikir-pikir, aku belum pernah mendengar
tentang itu.”
“Semuanya
bermula ketika kami masih SD.”
“Semasa SD?
Kalian sudah berteman sejak dulu, ‘kan?
Kalian kan teman masa kecil.”
“Ya,
kami memang sering bermain bersama sewaktu
kecil. Tapi, aku tidak menganggapnya sebagai sahabat. Mirip seperti cuma kenalan lama.”
“Hee,
jadi ada masa-masa seperti
itu. Sulit untuk membayangkannya
sekarang.”
Sambil
berpikir begitu, aku teringat bahwa aku juga memiliki dua teman masa kecil.
Hubunganku dengan Eri telah berakhir, dan dengan satu
laginya menjadi jauh. Karena aku telah
mengatakan hal yang buruk kepadanya
yang berusaha membantuku. Tidak ada yang bisa dilakukan. Semuanya karena salahku.
“Jadi,
meskipun aku sendiri yang mengatakan ini, aku sebenarnya cukup pandai melakukan banyak hal, dan karena
itulah aku dijauhi di kelas. Kalau diingat-ingat lagi sekarang, semuanya itu
salahku, kami harus menari sebagai persiapan lomba
olahraga, dan aku bisa mengingatnya dengan cepat, tetapi
gadis di sebelahku kesulitan dalam olahraga dan tidak bisa mengimbangiku. Sekarang aku mengerti. Kalau tidak bisa, ya sudah. Dia hanya
bisa belajar secara perlahan-lahan. Tapi, saat itu aku masih
anak-anak.”
Aku
mengangguk sambil mendorongnya untuk melanjutkan.
“Jadi,
tanpa sadar aku langsung mengatakannya.
Kenapa kamu malas sekali sih?
Sekarang kupikir-pikir lagi, ucapanku memang terdengar
cukup kejam. Akibatnya, gadis itu mulai menangis, dan hampir
semua orang di kelas melihatku dengan tatapan sinis. Aku menjadi semakin dikucilkan, dan tidak ada yang mau berbicara dengan kecuali Eiji.”
“Jadi Aono
masih mau berbicara denganmu, ya.”
“Itulah yang
menakjubkan darinya. Dirinya
rela mengambil risiko dikucilkan juga,
tapi ia tetap memperlakukanku seperti
biasa. Bukan hanya itu saja. Ia
bahkan sedikit demi sedikit membimbingku agar bisa
kembali ke dalam lingkaran kelas.”
“Membimbing?”
“Ketika
ada soal pertanyaan sulit, ia segera mulai
mengandalkanku. Lalu, dirinya
menciptakan suasana di mana aku bisa dengan lembut mengikuti Eiji. Itu juga
dengan sedikit bercanda. Ketika terjadi masalah di kelas, Eiji mulai
memperlakukanku seolah-olah aku
adalah penasihatnya. Ia
berusaha mengembalikan kepercayaan dari teman-teman di kelas. Dengan begitu,
jarakku dengan teman-teman di kelas semakin dekat, bahkan ada laki-laki yang
mulai bercanda denganku seperti yang
dilakukan Eiji.”
“Begitu
ya. Ternyata Aono memang orang yang hebat.”
“Ya,
aku diselamatkan berkat dirinya.
Mungkin ia sudah melupakan semuanya. Meskipun ia melakukan hal yang begitu
besar. Atau mungkin karena dia memang orang yang besar hatinya. Karena itulah, aku seharusnya lebih cepat
menyadari masalah pembullyan kali ini. Namun, aku terlambat
bertindak dan telah melukainya
sampai tidak bisa diperbaiki. Aku ini, pria yang tidak tahu berterima kasih.”
“Itu
tidak benar. Hanya saja waktunya tidak pas.
Lagipula sekarang, kamu berusaha keras untuk Aono.”
“Karena
hanya itu yang bisa kulakukan. Dia adalah harapanku, mirip seperti matahari. Aku tidak akan
pernah memaafkan orang-orang yang melukainya.”
Aku
sangat memahaminya. Aku juga salah satu yang
diselamatkan oleh Aono.
“Bagaimana
dengan Endo?”
Ngomong-ngomong,
aku berteman dengan Imai melalui Aono, jadi aku belum membicarakannya. Jika ia
sedang menyelidiki masa laluku, sepertinya tidak masalah untuk
membicarakannya.
“Jadi,
aku harus mengulang setahun karena Kondo dan
kawan-kawannya. Tidak banyak orang yang
mau mengulang setahun di masa SMA.
Jadi, meskipun aku masuk, aku tidak bisa membuat banyak teman. Tapi, aku sudah
siap dengan itu. Aku tidak keberatan jika aku
sendirian. Lagipula, setelah
memalui masa-masa tidak
sekolah dan berhasil masuk SMA, orang tuaku sangat senang
sampai menangis, jadi aku merasa berharap lebih itu terlalu berlebihan.”
Sekarang
giliran Imai untuk mendengarkan.
“Seperti
yang kamu ketahui, orang-orang sepertiku itu langka, jadi
rumor tentangku semakin menyebar dan terlalu
dibesar-besarkan. Lalu, saat pergantian tempat duduk pertama
di kelas, aku duduk dekat Aono. Aku terus membaca novel, hanya berharap waktu
berlalu. Tiba-tiba ia berkata, 'Endo, aku juga suka penulis itu.'”
“Itu
memang khas Aono.”
“Aku
terkejut. Dirinya
tiba-tiba memanggil nama depanku dengan santai,
dan berbicara seolah-olah kami
sudah berteman lama. Sejak saat itu, kami terus membicarakan novel. Ia bahkan mengajakku ke restoran
cepat saji setelah sekolah karena katanya masih ingin berbicara. Kami berdua
makan kentang ukuran L dan terus berbicara. Jarak antara kami jadi aneh.”
“Itu memang
bikin ngakak.”
“Tapi,
berkat Aono, aku bisa mulai berbicara dengan orang lain, dan mendapatkan teman
seperti Imai.”
“Ah.”
“Sayang
sekali saat pemilihan jurusan di tahun kedua, kelas kami terpisah.”
“Orang itu
juga ingin berbicara denganmu.”
“Itu
bisa terjadi setelah semuanya selesai. Ketika aku di SMP, aku melarikan diri
tanpa berjuang, sehingga orang baik seperti Aono menjadi korban orang itu.
Jadi, aku tidak bisa memaafkannya. Aku merasa harus mengeluarkan orang itu dari
sini.”
Aku
sengaja tidak mengatakan lebih dari itu. Imai juga mengerti.
Setelah
itu, kami berdua terdiam.
“Baiklah,
aku akan kembali sekarang. Tapi kamu
selalu bisa memberitahuku jika kamu
membutuhkan sesuatu. Lagipula, kamu
juga teman penting bagiku.”
Dengan
mengatakan itu, Imai kembali berlari. Mungkin ia mendengarkan musik saat
berlari. Ia sedang
mengoperasikan ponselnya. Aku juga harus pulang.
Karena besok
aku harus bangun pagi-pagi juga.
Saat
berpikir begitu dan berusaha keluar dari taman, aku melihat seorang gadis berpakaian seragam dari sekolah lain. Ketika aku mencoba untuk
lewat...
“Tunggu,
Kazuki, kamu Endou Kazuki, ‘kan?”
Suaranya terdengar sangat familiar. Suara
seorang gadis.
Itu suara
dari satu lagi teman masa kecilku, berbeda dengan Eri. Dia adalah gadis yang
berusaha membantuku bangkit ketika aku dikhianati oleh Eri.
“Ini aku,
Doumoto Yumi. Apa kamu mengingatnya?”
Seolah-olah waktu terhenti sejenak. Kenapa
dia ada di sini... tidak, ada yang aneh tentang Imai tadi. Dirinya tahu tentang masa laluku di
SMP. Artinya, ia mendengar cerita dari orang-orang yang terlibat di SMP. Apa
semua ini bagian dari rencananya?
Orang
yang sudah lama ingin aku minta maaf kini tersenyum di hadapanku. Senyumnya
tidak berubah dari yang dulu. Karena itulah,
aku tanpa sadar berbicara seolah-olah
aku masih sama seperti
dulu.
“Yumi...
Mana mungkin aku melupakanmu. Sudah
lama kita tidak ketemu, ya.”
Suara
lembut dari teman masa kecil yang sudah lama tidak kudengar. Nada bicaranya
kini jauh lebih tenang. Rambutnya yang dulunya panjang berwarna coklat keemasan
kini sudah dipotong pendek. Terakhir kali aku bertemu dengannya adalah pada
hari kelulusan setelah aku mengurung diri.
Setelah
ditinggalkan Eri dan merasa putus asa hingga tidak masuk sekolah, ada banyak teman yang datang
menjengukku. Namun, karena aku tidak ingin bertemu siapa pun, aku menolak
mereka dengan dingin, dan jumlah kunjungan itu perlahan berkurang.
Di antara
mereka, Yumi lah satu-satunya teman masa kecilku
yang terus datang hingga akhir.
“Senang sekali rasanya bisa
melihatmu. Karena tidak ada kabar sama sekali,
kupikir kamu benar-benar sudah melupakanku.”
Dia
tersenyum sedikit sedih. Melihatnya, hatiku terasa nyeri.
“Mana
mungkin aku bisa melakukannya. Aku tidak punya hak untuk itu.”
Akhirnya,
aku merasa takut dengan kebaikannya. Aku memiliki trauma dari Eri yang dulunya
sangat baik tetapi berubah.
“Hak?
Apa itu? Meskipun begitu, aku merasa kesepian karena tidak ada kabar darimu.”
Dia
berbicara seolah mengeluh, tidak ada perubahan dari yang dulu.
“Aku
telah menolak Yumi yang telah bersikap baik padaku dengan cara terburuk. Aku
tidak bisa menghubungimu. Aku bahkan tidak memiliki hak untuk bahagia.”
Aku
adalah pengecut yang melarikan diri dari kebaikannya. Setelah kejadian itu,
teman-temanku dari SMP menjauh. Itulah
nasib yang pantas didapatkan bagi orang
pengecut seperti diriku.
“Kamu
masih baik, ya, seperti biasanya.”
“Baik?
Aku?”
Aku
terkejut mendengar ucapannya yang tak terduga itu dan bertanya lagi.
“Iya.
Sejujurnya, bahkan sekarang jika kupikir-pikir lagi, kurasa aku terlalu tidak
peka. Karena aku mencoba melewati batas yang seharusnya tidak kulewati tanpa
mempertimbangkan perasaan Kazuki yang paling menderita dan ingin dibiarkan
sendiri. Aku selalu menyesali hal itu. Karena Kazuki orang yang baik, jadi kupikir kamu terlalu
menyalahkan dirimu
sendiri, tapi aku juga bersalah. Maafkan aku.”
Saat itu.
Hari kelulusan SMP. Dia mengantarkan buku kenangan dan sertifikat kelulusan ke
rumahku saat aku tidak masuk sekolah. Hanya dia yang aku percayai, jadi
orangtuaku mengizinkannya masuk ke dalam kamarku.
※※※※
“Hei,
Kazuki? Sebentar saja tidak masalah. Bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan saat liburan musim semi? Tinggal
di kamar saja hanya akan membuatmu merasa tertekan.”
Dia
selalu peduli padaku.
Tapi
kurasa aku merasa cemas karena tidak bisa mengikuti ujian masuk dan tidak bisa
menghadiri upacara wisuda. Aku melampiaskan rasa frustrasiku padanya.
“Berisik.
Kamu tidak akan pernah mengerti perasaanku. Kamu sih enak.
Sekarang ada kehidupan SMA yang menyenangkan menantimu. Berbeda denganku...
Entah itu rasa simpati atau rasa keadilan yang diwariskan dari ayahmu, itu hanya menggangguku. Tolong, tinggalkan aku sendiri.”
Hanya
mengingat kata-kata itu saja sudah
sangat menyakitkan. Yumi setiap hari berusaha agar aku tidak tertinggal dalam
belajar, mengantarkan lembaran tugas dan formulir pendaftaran ujian negeri.
Dan aku justru melemparkan kata-kata jahat kepada orang yang telah berbuat
baik padaku.
Dia pun
mulai menangis tersedu-sedu seolah
tali kesabarannya sudah putus.
“Maafin aku ya. Aku memang tidak mengerti perasaan Kazuki
sama sekali. Ini benar-benar sebuah pemaksaan yang kejam. Maafkan aku.”
Mendengar
kata-katanya, rasa penyesalan yang mendalam menghantamku. Aku benar-benar pria yang tidak tahu diuntung.
Terombang-ambing
oleh kebencian dan penyesalan pada diri sendiri, aku tidak bisa berkata apa-apa.
Beberapa
detik kemudian, dia berkata, “Maafkan
aku, aku pulang sekarang,” lalu
keluar dari kamarku. Terakhir, dia meninggalkan kata-kata, “Selamat tinggal, Kazuki. Aku
sudah lama memendamnya karena kamu berpacaran dengan sahabatku, Eri, tapi... Sebenarnya, aku menyukaimu.”
※※※※
“Semuanya
berkat dirimu, Yumi. Sekarang aku bisa
bersekolah di SMA seperti ini.”
Kami
duduk di bangku dan berbicara perlahan. Untuk pertama kalinya dalam beberapa
tahun terakhir, rasanya kalimat tersebut
datang dari lubuk hatiku.
“Begitu
ya. Syukurlah kika aku bisa membantumu melangkah sedikit lebih maju. Apa campur tanganku yang berlebihan sedikit
ada manfaatnya?”
“Itu
bukan campur tangan yang berlebihan. Saat
itu, aku melampiaskan kemarahan... Kini aku sadar betapa berartinya semua itu.
Memang, kita baru menyadari pentingnya sesuatu setelah kehilangannya.”
Dia
tersenyum lembut.
“Hei,
Kazuki. Aku sudah mendengar banyak hal dari Imai-kun.
Ia pintar. Ia langsung menyadari bahwa kamu sedang
bermasalah dan sepertinya melakukan banyak penyelidikan.
Menggunakan media sosial dan sebagainya. Ia akhirnya
sampai menghubungiku melalui berbagai teman.”
Ternyata
begitu. Ini...
“Jadi,
izinkan aku untuk mengatakannya.
Ini adalah kata-kataku sendiri. Maafkan dirimu sendiri. Tidak ada alasan bagi
Kazuki untuk tidak berhak bahagia. Aku adalah orang yang paling mengerti itu.
Selain itu, teman-teman dari SMP juga mengkhawatirkanmu.
Meskipun mereka sibuk dengan ujian dan mencari pekerjaan, mereka semua sangat
peduli dan membantu Imai dalam mencari solusi untukmu. Mereka senang mendengar
bahwa kamu bersekolah di SMA dan memiliki teman baik seperti Imai.”
Kenangan
tentang tempat yang penuh kasih itu tiba-tiba membanjiri
kepalaku. Aku teringat akan kehangatan yang sudah kupendam dalam-dalam untuk
menjadi seorang pembalas dendam.
“Tapi…
aku…”
Wajah
teman-temanku yang telah kutolak dengan kejam muncul berulang
kali dalam pikiranku.
“Jadi, berbahagialah, Kazuki. Karena kamu orang yang sangat
baik.”
Dia
menggenggam tanganku yang dingin. Tangan yang dingin itu perlahan mulai
menghangat.
“Terima
kasih.”
Hanya itu
yang bisa kukatakan.
“Kazuki,
beri tahu aku kontakmu.”
Aku
merasa itu adalah kata-kata penyelamat yang seharusnya menghubungkanku dengan
dunia yang hangat. Tanpa sadar, aku meraih tangan hangat dan lembut yang
terulur itu.
※※※※
──Sudut pandang Doumoto
Yumi──
Aku berhasil berbaikan dengan Kazuki. Ia juga memberitahuku kontak barunya
yang telah berubah. Sebenarnya, aku ingin berbicara lebih banyak, tapi aku tidak bisa menemukan kata-kata yang pas untuk
mengutarakannya. Kurasa
Kazuki masih terbebani oleh Kondo dan pacarnya.
Bukan
sebagai hubungan pria-wanita, tetapi karena rasa tanggung jawab bahwa ia seharusnya menghentikan mereka berdua supaya mereka tidak lepas kendali.
Imai-kun memberitahuku garis besar apa
yang terjadi sekarang. Tampaknya ia sudah melakukan banyak penyelidikan demi
bisa membantu Kazuki dan
temannya, Aono-kun, dan
berhasil sampai padaku melalui beberapa teman.
Teman-teman
lain juga mengatakan,
“Syukurlah, aku senang melihat
Kazuki melangkah maju.”
Aku juga
berpikir begitu. Kazuki benar-benar bergerak maju. Oleh karena itu, aku
berharap dirinya
berhenti melakukan hal-hal berbahaya. Ia
tidak perlu terluka lebih jauh.
Namun, dirinya pergi. Ia mengatakan klaau masih ada hal yang harus ia selesaikan.
“Hei,
Kazuki… Jika semuanya sudah berakhir,
maukah kamu kembali padaku? Maukah kamu memberitahu
jawabanmu waktu itu?”
Aku
berbisik pelan kepada Kazuki yang sudah pergi.
Hari itu,
hari terakhir aku bertemu Kazuki. Aku bertindak egois.
Aku ingin
membantu Kazuki yang terpuruk. Aku ingin pergi bermain berdua seperti dulu dan
tertawa bersama. Itulah sebabnya aku tidak bisa menyerah, pergi menemuinya, dan
mengantarkan berbagai hal. Aku berniat melanjutkannya meskipun sudah masuk
SMA.
Namun,
setelah mendengar kata-katanya, aku menyadari bahwa itu hanya membuatnya
semakin tertekan.
Karena
itulah, aku melarikan diri. Aku takut,
merasa bahwa aku telah menghancurkan hidup Kazuki, dan itu sangat
menakutkan.
Meskipun
begitu, aku tidak ingin dia melupakan diriku, dan aku menyampaikan
perasaanku.
Kazuki
bukannya tidak mau menjawabku. Ia
tidak bisa bertemu denganku karena aku takut mendengar jawabannya. Jika dirinya mengatakan kalau aku sudah merusak hidupnya dan menolakku, aku pasti tidak akan bisa
bangkit kembali.
Itu
bukanlah perasaan sebenarnya dari Kazuki. Ia
hanya mengucapkan kata-kata yang tidak ingin kudengar saat merasa tertekan dan
sedikit marah. Aku tahu itu, tapi aku tidak bisa melangkah maju.
Itulah
sebabnya aku sangat berterima
kasih kepada Imai-kun. Tanpanya, aku tidak akan punya keberanian
untuk melangkah maju lagi di hadapan Kazuki.
Ia
memanggilku Yumi lagi.
Saat ini, cuma itu saja sudah cukup.
Oleh
karena itu, aku mohon Tuhan…
tolong jangan buat dirinya
menderita lagi.
Teman
masa kecilku yang sangat kucintai sudah terluka cukup parah…
Kumohon,
tolong maafkan dirinya.