Chapter 1
Jika aku
harus menyebutkan momen paling menghancurkan jiwa dalam kehidupan kerja, jawabannya sudah pasti naik kereta jadwal terakhir saat pulang. Tentu saja, aku sadar bahwa setidaknya aku seharusnya
bersyukur masih bisa naik kereta terakhir.
Kursi yang kududuki terasa agak hangat. Kereta itu sebagian besar kosong, bisa kelihatan di sana-sini para pekerja kantoran lain yang kelelahan seperti diriku, masing-masing duduk dengan jarak yang cukup.
Dalam
pantulan jendela di seberangku,
aku melihat wajah pria yang pucat dan kusut. Rambut yang acak-acakan, mata lelah, wajah
pucat yang tampak seperti bisa muntah kapan saja—tipikal pekerja kantoran yang
terlalu banyak bekerja.
Ya, itulah diriku.
Aku
melirik ke bawah dan melihat kartu identitas karyawanku yang tergantung di leher. Tertulis [Horikoshi Kyouya] dan berlogo perusahaan bernama [Akaba Systems].
Dengan
panik, aku memasukkannya ke dalam ransel kerjaku yang masih berantakan karena kelelahan. Rupanya, aku sudah memakainya sejak meninggalkan
kantor. Semua
informasi pribadi aku terpampang—begitulah soal keamanan.
…Ya, aku
pasti benar-benar kelelahan.
Beberapa
hari terakhir ini benar-benar
brutal.
Semuanya
bermula ketika peralatan yang kami
kirimkan kepada klien
rusak. Aku begadang semalaman menulis laporan, diinterogasi bosku, lalu
dipanggil ke kantor pusat klien
setelah mereka menuntut kami untuk ‘menunjukkan
ketulusan’.
Di ruang rapat mewah dengan pemandangan indah, aku
menundukkan kepala sambil dimarahi selama satu jam penuh, hanya untuk
menutupnya dengan sopan, “Kami
menghargai dukungan Anda yang berkelanjutan,” diikuti dengan minuman dan
obrolan ringan dengan bosku.
Berbeda
dengan bosku, karyawan
bawahan seperti diriku harus kembali ke kantor setelah makan
malam klien, dalam keadaan mabuk, hanya untuk merevisi laporan yang sama.
Dan
kekacauan yang dilihat
sekarang—itulah akibatnya.
“…………Ugh.”
Rasa mual
tiba-tiba menyerang perutku, dan
aku buru-buru menutup mulut.
Aku sudah
turun dari kereta dan berjalan kaki pulang dari stasiun.
Aku
tinggal di sebuah kota di Prefektur Chiba. Jaraknya sekitar 40 menit naik
kereta dari Tokyo. Aku sudah tinggal di sini sejak SMP, dan dulu aku biasa
bersepeda ketika berangkat sekolah
semasa SMA.
Sayangnya,
tidak ada satu pun toko swalayan di antara stasiun dan apartemen aku saat
ini—sebuah bangunan berusia tiga puluh tahun yang sudah melewati masa
kejayaannya.
Yang
berarti aku harus menahannya setidaknya sampai aku tiba di rumah.
Seandainya
saja ada yang menungguku di apartemen...
Saat
menjalani kehidupan kerja dewasa, fantasi kosong semacam itu cenderung muncul
tiba-tiba.
Mungkin
karena semua teman sekelas lamaku membanjiri media sosial dengan foto-foto
pernikahan mereka, satu demi satu.
Beberapa
teman SMP-ku bahkan
sudah punya anak.
Beberapa
tahun yang lalu, aku akan bereaksi seperti,
“Wah, orang itu sudah punya anak?” tapi sekarang aku bahkan tidak bergeming sama sekali.
Begitulah
realita menjadi pekerja dewasa berusia 28 tahun.
Sedangkan
aku? Aku bahkan tidak punya pacar, apalagi untuk pasangan
yang dinikahi. Sejujurnya,
aku bahkan tidak punya waktu untuk bertemu siapa pun.
Setiap
kali aku bilang begitu, beberapa teman kuliahku langsung bilang, “Cari pacar di kantor saja”. Tapi
percayalah—itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.
Dulu aku
juga berpikir begitu saat pertama kali bergabung di perusahaan... sampai aku
melihat kejadian seorang senior yang putus dengan seseorang dari kantor.
Suasananya jadi canggung, sampai-sampai pekerjaan menjadi tidak nyaman. Kalau
mau pacaran sama seseorang dari kantor, setidaknya pastikan dia di departemen
yang berbeda.
Pertama—dan
terakhir—kali aku pacaran ialah waktu
kuliah dulu. Dan
itupun, kami putus hanya beberapa bulan kemudian. Mungkin ada banyak alasan, tapi
pada akhirnya, itu cuma percikan sesaat.
Sebelum
itu, aku punya teman sekelas yang lumayan kusukai sewaktu SMA.
Kalau
dipikir-pikir, mungkin dulu aku lebih agresif
soal percintaan daripada sekarang.
Gadis
yang kutaksir adalah salah satu siswi paling terkenal di sekolah.
Namanya
Minase Ayana.
Bukan
hanya berparas cantik, dia juga jagoan tim lari. Sifat
disiplinnya begitu terkenal hingga semua orang di sekolah mengetahuinya. Bahkan
ada legenda bahwa seorang pria yang
menembaknya diberi tahu, “Kalau kamu bisa mengimbangi
latihanku selama sebulan,” dan pria itu menyerah setelah seminggu.
Soal
kepribadiannya—dia memperlakukan semua orang sama, tanpa memandang jenis
kelamin.
──Eh?
Horikoshi-kun, bukannya
nilai ujianmu sangat tinggi? Belajar seperti apa yang kamu lakukan?
──Aku
takkan kalah darimu kali ini. Terlalu kompetitif? Kenapa emangnya?
Bahkan
aku yang bukan siapa-siapa di kelas, aku masih ingat bagaimana dia berbicara
seperti itu padaku. Meski
begitu, dia tidak dekat dengan semua orang. Selain beberapa gadis, dia selalu
menjaga jarak.
Disukai semua orang, tapi terlalu
sakral untuk disentuh—dia adalah idola sekolah yang tak tersentuh. Dia tampak tenang dan acuh tak
acuh, tetapi dalam hal kompetisi, dia sangat gigih.
Begitulah
caraku memandang gadis yang bernama Minase
Ayana.
Saat itu,
aku ingat menjadi sangat tegang hanya karena bisa duduk di sebelahnya atau
menerima email darinya. Sulit
dipercaya sekarang bahwa hal sepele seperti email bisa begitu mengguncangku.
Yah, aku
masih kesal ketika bosku mengirimiku pesan seperti, 【Aku mengandalkanmu untuk yang satu ini!】Terutama untuk proyek yang
sudah sangat mendesak dengan tenggat waktu kurang dari seminggu. Jangan
tiba-tiba melimpahkannya padaku.
Itu misi bunuh diri. Mungkin lebih baik aku mati saja.
...Intinya, aku sedang ngelantur.
Sementara
semua orang di sekitarku sudah
menikah, aku masih lajang dan terjebak hanya melakukan pekerjaan.
...Lantas, apa gunanya aku
hidup?
Bukannya
aku percaya bahwa satu-satunya kehidupan yang sah adalah kehidupan di mana kamu menghabiskannya bersama
seseorang. Ada banyak cara untuk bahagia.
Tapi
bagiku, secara pribadi, ada kalanya aku melangkah masuk ke dalam apartemenku yang gelap dan kosong, merasakan dinginnya kesepian
yang menusuk tulang.
Dan di
saat-saat seperti itu, mau tak mau aku jadi
berpikir—
Wah, seandainya saja ada yang menyapa ‘Selamat datang di rumah’.
“...”
Mungkin
efek alkoholnya mulai hilang. Pikiranku
kacau, berputar-putar
ke arah negatif. Gawat.
Aku bahkan merinding sekarang.
“────”
Tanpa
kusadari, aku muntah di depan apartemenku.
Bau busuk yang menyengat memenuhi hidungku.
Campuran rasa malu dan mengasihani diri sendiri menghantamku dengan keras, dan
aku merasa seperti akan ambruk di tempatku berdiri—
“Kamu baik-baik saja?”
Tiba-tiba,
sebuah suara memanggil dari atas. Ada tangan
hangat yang mengusap lembut punggungku.
Suaranya
terdengar seperti suara perempuan. Saat dia
perlahan dan hati-hati mengusap punggungku dengan khawatir, rasa mual yang
bergolak di sekujur tubuhku mulai mereda.
“Ini,
ambillah.”
Setelah
perutku sudah terasa kosong, dia menawarkan tisu.
Menggumamkan
terima kasih dan permintaan maaf berulang kali, aku menyeka mulutku dengan tisu
itu. Rasa mual
itu telah berlalu, tetapi satu pertanyaan kini muncul di benakku.
...Dia siapa?
Aku mengenal sebagian besar penghuni apartemen
ini, tapi aku tidak mengenali suara ini.
Aku
perlahan-lahan mendongak dengan pikiranku yang akhirnya
mulai jernih.
“…………Hah?”
“…………Hah?"
...Mustahil. Tunggu sebentar.
Itu tidak
mungkin. Mana mungkin.
Hanya
karena aku memikirkannya tadi... Ini terlalu kebetulan.
Aku
mencoba menyangkalnya berulang kali dalam hati. Aku mengerjap berulang kali,
tetapi pemandangan di depanku tidak berubah. Dia pasti menyadarinya juga,
karena dia menatapku dengan tatapan yang sama terkejutnya.
Terakhir
kali aku melihatnya adalah saat wisuda SMA kami. Dibandingkan dulu, dia terlihat
jauh lebih dewasa sekarang. Aku
tidak bisa yakin hanya dalam beberapa detik. Tapi tetap saja, aku tahu.
Entah
bagaimana, aku langsung tahu itu dirinya.
“...Apa
kamu... Minase?”
“...Yang
berarti... kamu Horikoshi-kun?”
Cahaya
dingin lampu jalan di atas kami berkedip-kedip di atas kepala. Dalam salah satu momen paling
memalukan dalam hidupku—mabuk dan muntah di depan apartemenku—
Aku
bertemu dengan gadis yang dulu pernah kutaksir
waktu SMA dulu.
Dan di
saat yang sama, kesadaran yang tersisa, yang ditumpulkan oleh alkohol, memudar
sepenuhnya.
Sejak
saat itu, aku hampir tidak ingat apa pun.
◇◇◇
“…………?”
Ketika
aku mulai sadar kembali, aku
berada di sebuah ruangan yang tidak kukenal. Aku duduk di tempat tidur dan
melihat sekeliling—tapi tidak, ini jelas-jelas
bukan tempatku.
Ruangannya
bergaya Barat, mungkin seukuran enam tikar tatami. Tidak ada satu pun perabot di
ruangan itu. Beberapa kotak kardus ditumpuk di sudut, dan sebuah pemotong kotak
tertinggal di luar, seolah-olah seseorang sedang membongkar barang.
Kamar itu
sendiri entah bagaimana terasa agak familiar, tapi jelas tidak pernah sekosong
ini sebelumnya.
Aku
memeriksa ponselku—sekarang sudah
pukul enam pagi. Sepertinya
aku benar-benar pingsan. Tapi...
kenapa aku bisa berada di
tempat seperti ini?
Sambil
memegangi kepalaku yang berdenyut, aku memijat dahiku. Perlahan-lahan, kejadian malam sebelumnya mulai
kembali mengalir dalam kepalaku.
Benar.
Tadi malam, setelah menjamu klien, aku kembali ke kantor untuk memperbaiki
laporan, naik kereta terakhir pulang, lalu aku muntah di depan apartemenku—
“Kamu baik-baik saja?”
Tiba-tiba,
pintunya terbuka. Tepat di sampingnya berdiri seorang wanita cantik berpenampilan elok dengan rambut hitam,
memegang nampan.
Matanya
tajam, bulu matanya lentik. Riasannya natural, dan rambutnya diikat ekor kuda
sederhana dengan karet gelang polos. Tanpa perhiasan atau aksesori sama sekali.
Dia
mengenakan kaus dan celana jins berwarna terang. Mungkin dia berpakaian untuk
kenyamanan—sederhana, namun tetap terlihat bergaya tanpa perlu usaha. Itu saja sudah cukup
menggambarkan dirinya.
Dan
sekarang, melihatnya lagi dengan jelas di bawah lampu neon yang menyilaukan…
tak diragukan lagi.
Dia adalah
Minase Ayana—teman sekelasku dari SMA.
“Ini, airnya. Kamu pasti haus, ‘kan?”
“Ah… ya.
Terima kasih.”
Minase
berlutut di sampingku dan memberiku segelas air. Aku meneguknya dengan hati-hati.
Air dingin itu meresap ke seluruh tubuhku, seolah membersihkanku.
Sial, itu
tepat sekali. Padahal itu hanya air
putih biasa, tapi setelah semua alkohol dan
rasa mual, rasanya seperti obat mujarab.
“…Jadi.
Sekadar memastikan—kamu Horikoshi-kun, kan? Yang pernah
sekelas denganku?”
Dia
menatapku dengan tatapan penasaran sambil berbicara.
“Kita mengobrol sebentar tadi malam, tapi
kamu kelihatan agak mabuk.”
“Ya, aku
Horikoshi. Dari kelas
3-3.”
“Apa kamu masih mengingatku?”
“Kamu…
Minase.”
“Bagaimana
dengan nama depanku?”
“…………Maaf.
Aku lupa.”
“Oh,
sayang sekali.”
Dia
tersenyum jenaka, seolah-olah dia tidak terlalu kecewa.
Tapi itu
bohong. Sebenarnya,
aku ingat nama lengkapnya dengan sempurna. Minase Ayana. Aku bahkan bisa
menulisnya dalam kanji tanpa berpikir dua kali. Tapi aku tidak ingin dia mengetahuinya.
Rasanya
bakalan aneh mengingat nama lengkap teman sekelas yang
bahkan tidak dekat denganku, apalagi sudah sepuluh
tahun kemudian. Namun,
hal berikutnya yang dia katakan benar-benar mengejutkanku.
“Kamu Kyouya, kan? Horikoshi
Kyouya-kun.”
“Ya...
itu memang namaku.”
Aku tak menyangka
dia bahkan mengingat
nama depanku. Aku refleks melebarkan mataku.
Aku dan
Minase tidak punya hubungan yang mendalam. Kami hanya teman sekelas biasa. Tapi,
dia masih ingat nama lengkapku, bahkan setelah sepuluh tahun?
Jauh di
lubuk hatiku, versi diriku saat SMA bergejolak, jantungku berdebar sedikit. Tapi kedipan itu langsung
dipadamkan oleh diriku yang dewasa—secara logika.
Minase
selalu memperlakukan semua orang sama, tanpa memandang gender. Bahkan dengan orang sepertiku, yang hampir tak
menonjol di kelas. Jadi
tentu saja dia mungkin ingat namaku. Tidak ada yang aneh tentang itu.
“Tapi
tetap saja... kebetulan yang luar biasa,
ya?”
Minase
menyipitkan matanya karena nostalgia.
“Sudah
lama sekali sejak aku bertemu teman sekelas.
Kupikir aku tidak akan bertemu denganmu lagi selain reuni kelas.”
“Aku
juga.”
Sebenarnya,
aku tak pernah berencana menghadiri reuni kelas sejak awal. Kupikir aku akan
menjalani kehidupanku tanpa bertemu dengannya lagi.
“Ngomong-ngomong...
kita di mana?”
Ruangan
itu tampak samar-samar familier, tapi
kelihatan asing karena kosong. Jawabannya sudah di ujung
lidahku, tetapi mungkin karena aku baru bangun tidur, aku tak bisa mencapainya.
“...Tunggu,
jangan bilang kamu tidak ingat tadi malam?”
Minase,
setengah tercengang, bertanya
dengan ragu.
“Kamu berbicara
denganku tadi malam... kurasa.”
“Maaf,
aku tidak begitu ingat.”
Setelah
dia menyebutkannya, aku samar-samar merasa kami mengobrol sedikit tadi malam...
tapi aku tidak ingat hal-hal penting apa pun.
“Jadi
itu benar-benar di luar kesadaran, ya?”
“Itu?”
“Kamu mengatakan
macam-macam. Seperti, 'Kerja itu berat sekali~'.”
“Ugh...”
“Dan
'Aku kesepian sekali di rumah~'.”
“Tolong,
lupakan saja semua itu.”
“Kamu bahkan bilang kau selalu bicara
dengan Alexa di rumah. Benarkah?”
“Tolong!
Aku mohon—lupakan saja!”
“Kamu benar-benar mabuk.”
Minase
tertawa terbahak-bahak, seolah tak bisa menahannya lagi.
Kenapa
aku harus menciptakan kenangan baru yang memalukan di usiaku sekarang...?
Dan dari semua orang, malah dengan
gadis yang pernah kusukai.
Ta-Tapi
tunggu—bukankah semua orang terkadang berbicara dengan speaker pintar mereka?
Misalnya, saat kesepian di rumah? Mereka bahkan merespons akhir-akhir ini,
tahu?
“Tapi
kurasa tidak separah itu.”
Minase
bersandar di dinding, meregangkan tulang punggungnya sambil mendesah panjang
dan rileks.
Kain
tipis kausnya mempertegas lekuk dadanya yang lembut. Aku segera mengalihkan
pandangan, menatap lantai kayu, hanya untuk mendengar suara lembutnya.
“Ketika
kamu sudah hidup selama hampir 28 tahun, ada saat-saat di mana kau
tak bisa hidup tanpa minum. Kurasa itu jauh lebih baik daripada memendam
semuanya.”
Ucapannya
sangat berbobot sehingga membuatku berpikir... mungkin
dia pernah mengalami sesuatu. Ada
nada dalam suaranya yang anehnya terasa meyakinkan.
“Tapi,
kamu tahu... secukupnya saja. Di
usia kita, minum terlalu banyak itu agak... ya.”
“Aku
akan mengingatnya.”
Bahkan
untuk urusan pekerjaan pun, aku bersumpah aku takkan minum sebanyak itu lagi.
“Ngomong-ngomong,
kembali ke topik tadi... Ini
tempatku.”
Minase
memperbaiki suasana dan dengan santai mengatakan itu.
“Dan
asal kamu tahu—aku sudah mendapatkan
izinmu. Aku tak bisa meninggalkanmu tergeletak begitu saja di luar. Lagipula kamu tidak ingat apa-apa.”
“...Maaf
soal itu.”
Jadi ini
benar-benar tempat Minase, ya. Meskipun aku sudah mencurigainya, tapi sekarang sudah terbukti. Tumpukan kardus, perabotan
minimalis—semuanya masuk akal sekarang. Kalau dia bilang begitu, tak ada ruang
untuk ragu.
Tetap saja,
menginap di rumah gadis yang pernah
kusuka waktu SMA... setelah sepuluh tahun tanpa kontak... ya, rasanya aneh.
Tapi
sekarang setelah aku tahu di mana aku berada, aku tak bisa terlalu lama di
sini.
“Maaf
sudah merepotkanmu. Aku
akan segera pergi.”
“Kamu yakin kamu baik-baik saja?”
“Ya,
kurasa aku akan baik-baik saja.”
Kepalaku
masih berdenyut kesakitan karena
mabuk, tapi setidaknya aku seharusnya bisa berjalan. Satu-satunya masalah sekarang
adalah seberapa jauh tempat tinggal Minase dari tempat tinggalku.
Syukurlah karena sekarang hari
Sabtu.
Tidak ada
pekerjaan, dan meskipun butuh waktu lama, entah
bagaimana aku akan mengatasinya. Lebih dari segalanya, aku hanya
ingin makan dan merangkak ke tempat tidur—tapi aku bisa bertahan.
...Sampai—
Tiba-tiba,
suara geraman keras dan konyol~ menggema dari perutku.
“...Um.”
Minase
ragu sejenak, lalu tersenyum kecut dan berkata,
“Yah,
mumpung kamu sudah di sini, kenapa tidak tinggal lebih lama lagi untuk sarapan? Aku baru
saja akan mulai membuatnya.”
Hidup memang
penuh kejadian tak terduga—tapi aku tak pernah membayangkan kalau aku akan melihat
gadis yang dulu kusukai memasak
sarapan. Aku duduk
bersila di depan meja kayu kecil yang rendah. Ini ruang makan. Sepertinya
apartemennya tipe 2DK—tanpa ruang tamu.
Mungkin
itulah sebabnya aku bisa melihatnya dengan jelas di dapur dari tempatku duduk.
Dia mengenakan celemek sederhana berwarna krem,
dan dapurnya penuh dengan barang-barang sehari-hari yang nyaman—fungsional dan
nyaman.
Tetap
saja, hanya diundang sarapan—apa itu berarti ada kesempatan?
Tidak.
Aku langsung menepis pemikiran tersebut. Aku sudah cukup disakiti waktu
SMA dulu.
Dia
pernah mengobrol denganku, mengirim pesan, berjalan pulang bersamaku sekali—dan
aku berasumsi dia menyukaiku, hanya dari situ.
Tapi
setelah menjadi orang dewasa yang bekerja, makan malam berdua dengan lawan
jenis setelah bekerja bukanlah hal yang aneh.
Terkadang
hanya untuk membicarakan pekerjaan. Atau karena kalian rekan kerja. Atau karena
hubungan yang lebih dekat membuat pekerjaan lebih lancar. Selalu ada sedikit
perhitungan di balik tindakan tersebut.
Akhir-akhir
ini, aku diperlakukan dingin sekaligus baik—tapi kebaikan itu pun hanya
orang-orang yang sedang menghitung untung rugi. Kalau dibiarkan terlalu lama,
mereka akan menuntut balas dengan bunga suatu hari nanti.
Tetap
saja, tidak peduli seberapa banyak aku berusaha berpikir logis, kurasa sudah menjadi sifat pria untuk
bertanya-tanya bagaimana jika?
Tak peduli
seberapa tua usiaku, secara mental aku masih remaja yang sama
bodohnya.
Satu-satunya
hal yang benar-benar berubah ialah
sudah berapa kali aku tertipu—dan
berapa banyak uang yang kuhabiskan untuk gim gacha.
...Kumohon,
dewasalah, diriku.
“Ini silakan dinikmati. Meski tidak mewah—hanya sesuatu yang
kubuat dengan cepat.”
Minase
meletakkan sepiring bola nasi dan semangkuk sup miso di atas meja. Uap mengepul dari sup miso, dan
butiran nasi di atas onigiri berkilau lembut. Aku belum makan apa pun kemarin
selain alkohol, gara-gara semua obrolan dengan klien. Sejujurnya, nasi adalah satu hal
yang paling kuinginkan saat ini.
“Horikoshi-kun,
kamu tidak masalah makan sesuatu yang dibuat orang lain?”
“Ya. Aku
tidak terlalu peduli. Di rumah, kalau makanan jatuh ke lantai, aku pura-pura
tidak melihatnya dan tetap memakannya.”
“…Kamu
seharusnya membuangnya.”
Minase
tampak terkejut.
“Tapi,
sungguh—apa tidak masalah?”
“Ya. Aku sudah
menyiapkannya. Dan tadi malam kamu bilang kulkasmu kosong, ‘kan?”
“…Dari
mana kamu bisa tahu?”
“Kamu
mengeluh soal itu saat kamu mabuk.”
Gawat.
Apa lagi yang sudah kukatakan
tadi malam? Tolong jangan kasih tahu
aku kalau aku membocorkan PIN bankku atau semacamnya, ‘kan?
“Jadi,
jangan khawatir. Tapi mengetahuinya dan tidak
melakukan apa-apa rasanya agak kejam.”
Jadi dia
memberiku
makan karena kasihan, ya.
Tapi ya
sudahlah. Dia memang sengaja membuatnya. Setidaknya aku bisa menerimanya dengan
senang hati. Minase
dengan lembut menggeser piring ke arahku.
“Silakan.”
Aku
mengambil salah satu bola nasi dan menggigitnya—
“...Enak
sekali.”
Taburan garamnya
pas, dan rumput lautnya yang renyah sangat cocok.
Sedikit
sup miso dan kehangatannya menjalar ke seluruh tubuhku. Mungkin ada sedikit
jahe segar di dalamnya. Kuah asinnya berpadu sempurna dengan nasi.
Demi
kenyamanan, aku biasanya makan roti di pagi hari—tapi sejujurnya, tidak ada
yang mengalahkan nasi.
Kalau
saja memasaknya tidak terlalu repot, aku pasti akan memakannya setiap pagi. Sambil terus mengulang-ulang
betapa enaknya—
“...Kamu tidak sengaja mengatakannya, ‘kan?”
Entah
kenapa, Minase menatapku dengan mata menyipit.
“‘Sengaja’…
apa maksudmu?”
“Bukan
apa-apa. Kalau bukan sengaja, lupakan saja.”
Dia
berbalik tajam. Tapi
ujung telinganya memerah karena panas.
“…Horikoshi-kun,
kamu sudah
berubah ya.”
Masih
membelakangiku, Minase hanya mengalihkan pandangannya ke arahku, memperlihatkan
profil wajahnya yang cantik.
“Waktu
SMA, bahkan saat aku bicara denganmu, kamu
hampir tidak bereaksi.”
“Benarkah?”
“Ya, kamu agak ketus. Sangat pendiam.”
Mungkin
itu hanya karena aku bingung harus berkata apa padanya. Perasaan itu mulai muncul
kembali. Aku pasti terkesan dingin hanya karena aku tidak tahu bagaimana cara
berbicara dengan salah satu gadis termanis di kelas.
Aku
bahkan tidak ingat apa yang kami bicarakan, tapi aku ingat kemudian
meronta-ronta di tempat tidur, berpikir, Kenapa aku tidak bisa mengatasinya
dengan lebih baik?!.
“Kalau
begitu, kamu juga
berubah, Minase.”
Aku
langsung mengganti topik. Lagipula,
masa-masa SMA-ku hanya membuatku meringis geli. Untungnya, Minase menurutiku.
“Benarkah?
Kamu pikir begitu?”
“Ya...
kamu sudah dewasa.”
Aku
mencoba menunjukkan apa yang sebenarnya berubah—tapi tidak ada yang terlintas
di pikiranku. Dan fakta
itu sendiri mengejutkanku. Kesan
dirinya lebih dewasa jelas bukan
kebohongan.
Tapi dari
segi penampilan atau kepribadiannya, tidak banyak yang benar-benar berubah. Atau lebih tepatnya—apa
sebenarnya yang berubah?
Saat
itulah aku tersadar. Bukan
perubahannya yang menjadi masalah. Masalahnya
adalah kenapa aku tidak menyadarinya.
Pada
akhirnya, aku sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang Minase Ayana—baik dulu
maupun sekarang.
Dulu,
kami hanya teman sekelas. Dan
sekarang, dia hanya seseorang yang kebetulan kutemui setelah sepuluh tahun.
Kami jarang sekali mengobrol. Waktu
SMA, aku hanya mengaguminya dari kejauhan. Kalau aku bersikap seolah
mengenalnya, kedengarannya akan
sangat arogan.
Dan
begitu juga dengannya, terhadapku.
“Apa
maksudnya? Tentu saja kita berdua sudah berubah—kita sudah lebih tua.”
Minase
tersenyum lembut. Dan
dia benar sekali. Tentu
saja. Setelah sepuluh tahun, perubahan itu wajar. Kami hanya bisa bicara secara
umum seperti itu karena kami belum benar-benar mengenal satu sama lain.
Dulu—dan,
seperti yang kuyakini saat itu, mulai sekarang juga.
◇◇◇
“Terima
kasih untuk semuanya.”
Setelah
sarapan, aku memakai sepatu di pintu untuk bersiap-siap pulang.
Aku
mencoba membayar setidaknya makanannya, tapi Minase tidak mau menerimanya.
Katanya itu bukan masalah besar.
“Baiklah
kalau begitu... sampai jumpa lagi,
mungkin.”
Aku meletakkan
tanganku di gagang pintu dan sedikit menoleh untuk mengucapkan selamat tinggal.
Ini
mungkin akan menjadi akhir dari hubunganku dengan gadis yang kusukai sepuluh
tahun lalu.
Aku tidak
berharap kami akan tetap berhubungan, dan menurutku
Minase juga akan merasa demikian.
Awalnya,
fakta bahwa kami bertemu satu sama lain merupakan
kebetulan yang konyol—seperti lelucon dari para dewa.
Cuma kebetulan biasa. Tidak lebih. Kami akan
berpisah sekarang.
Begitulah
hubungan kami.
Namun—
“'Sampai
jumpa' mungkin akan datang lebih cepat dari yang kamu kira loh.”
Suara
Minase terdengar seperti tawa kecil.
Aku
membuka pintu, tapi kata-katanya hampir tidak terdengar.
“...Hah?”
Pemandangan
di balik pintu terasa familiar. Sebuah
kawasan perumahan yang tenang, dipenuhi gedung-gedung apartemen biasa. Tapi pemandangan di depanku
tampak persis seperti yang ada di apartemenku sendiri.
Atau
lebih tepatnya—
“…Ini
sama dengan apartemenku?”
Sebuah
kompleks apartemen kayu dua lantai. Papan nama di luar pintu Minase bertuliskan
“201.”
Aku
melirik ke sebelah. Papan nama di unit sebelahnya bertuliskan [202 — Horikoshi].
Horikoshi—dengan
kata lain, tempat tinggalku.
“…Se-Sejak kapan…?”
Sejak awal
aku memang merasakan ada yang terasa janggal. Tumpukan kardus. Ruangan yang
samar-samar terasa familiar. Dan
yang lebih penting, jika aku ambruk tepat di depan apartemenku sendiri…
bagaimana mungkin aku bisa berada di dalam apartemen Minase?
Mana
mungkin aku bisa berkeliaran jauh dalam keadaan mabuk.
“Aku
pindah seminggu yang lalu. Tapi aku tidak menyadari
kalau nama ‘Horikoshi’
di sebelah itu rupanya kamu.”
Saat aku
berbalik, tertegun, Minase tersenyum geli.
Tapi
sekarang semuanya masuk akal.
Seminggu
terakhir ini, aku dibanjiri pekerjaan, hampir tidak pulang dari pagi hingga
malam. Bahkan ada malam-malam di mana aku tidak pulang sama sekali. Tentu saja
aku takkan tahu kalau ada yang pindah ke sebelah rumah.
“Jadi...
sepertinya kita akan jadi tetangga. Mulai
sekarang mohon bantuannya ya, Horikoshi-kun.”
Minase
tersenyum anggun bak wanita dewasa—
Persis
seperti saat pertama kali kami sekelas, sepuluh tahun yang lalu.
“Kalau
kamu ingin mendengar 'Selamat datang di rumah', mungkin lain kali kita
harus mengadakan pesta minum kecil-kecilan.”
“...Aku
juga sampai bilang begitu? Waktu aku mabuk?”
Dilihat
dari konteksnya, aku bisa menebak bagaimana kalimat itu muncul. Minase tidak menjawab—tapi senyumnya
yang cerah sudah menjelaskan semuanya.
...Ya.
Mungkin aku yang mengatakannya. Tapi,
aku tahu tawarannya hanyalah gestur sopan.
Setelah 28 tahun hidup, kita belajar untuk
memahami hal-hal itu. Meskipun
sejujurnya, kita para pria masih sering salah mengartikannya. Jadi aku membalas dengan sopan.
“Tentu.
Aku akan menerima tawaranmu kalau begitu.”
Dan
begitulah, aku bertemu kembali dengan
gadis yang pernah kusukai sepuluh
tahun lalu—hanya untuk mengetahui bahwa dia sekarang tinggal di sebelah.
Tapi
bukan itu saja yang kupelajari.
“Aya-chan...
kamu di mana?”
Tiba-tiba
ada gadis kecil muncul dari bagian dalam apartemen. Aku tidak bisa mengatakan usianya
secara pasti, tetapi dia jelas terlalu tua untuk duduk di taman
kanak-kanak—mungkin sekitaran anak SD.
Sambil mengusap
matanya yang mengantuk dengan lengannya, dia melihat sekeliling dengan
mengantuk.
Wajahnya
yang polos dan ceria tampak seperti bidadari kecil. Dia pasti akan tumbuh
cantik ketika dewasa nanti.
“Um...
siapa ini?”
Aku tak
bisa menahan diri untuk bertanya.
Dan
Minase menjawab dengan jelas.
“Gadis
ini? Dia putriku. Iya ‘kan,
Airi?”
“…Mm.”
Saat
Minase menepuk kepalanya dengan lembut,
gadis kecil itu—Airi—memberikan jawaban samar dan mengantuk.
Tapi
ikatan mereka tak diragukan lagi adalah ikatan ibu dan anak.
“…Kau pasti
bercanda.”
Begitulah
aku mengetahui bahwa gadis yang kusukai sewaktu
SMA—
Sekarang
sudah punya anak perempuan.

