Koukou jidai ni Sukidatta Vol 1 Chapter 1 Bahasa Indonesia

Chapter 1

 

Jika aku harus menyebutkan momen paling menghancurkan jiwa dalam kehidupan kerja, jawabannya sudah pasti naik kereta jadwal terakhir saat pulang. Tentu saja, aku sadar bahwa setidaknya aku seharusnya bersyukur masih bisa naik kereta terakhir.

Kursi yang kududuki terasa agak hangat. Kereta itu sebagian besar kosong, bisa kelihatan di sana-sini para pekerja kantoran lain yang kelelahan seperti diriku, masing-masing duduk dengan jarak yang cukup.

Dalam pantulan jendela di seberangku, aku melihat wajah pria yang pucat dan kusut. Rambut yang acak-acakan, mata lelah, wajah pucat yang tampak seperti bisa muntah kapan saja—tipikal pekerja kantoran yang terlalu banyak bekerja.

Ya, itulah diriku.

Aku melirik ke bawah dan melihat kartu identitas karyawanku yang tergantung di leher. Tertulis [Horikoshi Kyouya] dan berlogo perusahaan bernama [Akaba Systems].

Dengan panik, aku memasukkannya ke dalam ransel kerjaku yang masih berantakan karena kelelahan. Rupanya, aku sudah memakainya sejak meninggalkan kantor. Semua informasi pribadi aku terpampang—begitulah soal keamanan.

…Ya, aku pasti benar-benar kelelahan.

Beberapa hari terakhir ini benar-benar brutal.

Semuanya bermula ketika peralatan yang kami kirimkan kepada klien rusak. Aku begadang semalaman menulis laporan, diinterogasi bosku, lalu dipanggil ke kantor pusat klien setelah mereka menuntut kami untuk menunjukkan ketulusan. Di ruang rapat mewah dengan pemandangan indah, aku menundukkan kepala sambil dimarahi selama satu jam penuh, hanya untuk menutupnya dengan sopan, Kami menghargai dukungan Anda yang berkelanjutan, diikuti dengan minuman dan obrolan ringan dengan bosku.

Berbeda dengan bosku, karyawan bawahan seperti diriku harus kembali ke kantor setelah makan malam klien, dalam keadaan mabuk, hanya untuk merevisi laporan yang sama.

Dan kekacauan yang dilihat sekarang—itulah akibatnya.

“…………Ugh.”

Rasa mual tiba-tiba menyerang perutku, dan aku buru-buru menutup mulut.

Aku sudah turun dari kereta dan berjalan kaki pulang dari stasiun.

Aku tinggal di sebuah kota di Prefektur Chiba. Jaraknya sekitar 40 menit naik kereta dari Tokyo. Aku sudah tinggal di sini sejak SMP, dan dulu aku biasa bersepeda ketika berangkat sekolah semasa SMA.

Sayangnya, tidak ada satu pun toko swalayan di antara stasiun dan apartemen aku saat ini—sebuah bangunan berusia tiga puluh tahun yang sudah melewati masa kejayaannya.

Yang berarti aku harus menahannya setidaknya sampai aku tiba di rumah.

Seandainya saja ada yang menungguku di apartemen...

Saat menjalani kehidupan kerja dewasa, fantasi kosong semacam itu cenderung muncul tiba-tiba.

Mungkin karena semua teman sekelas lamaku membanjiri media sosial dengan foto-foto pernikahan mereka, satu demi satu.

Beberapa teman SMP-ku bahkan sudah punya anak.

Beberapa tahun yang lalu, aku akan bereaksi seperti, Wah, orang itu sudah punya anak? tapi sekarang aku bahkan tidak bergeming sama sekali.

Begitulah realita menjadi pekerja dewasa berusia 28 tahun.

Sedangkan aku? Aku bahkan tidak punya pacar, apalagi untuk pasangan yang dinikahi. Sejujurnya, aku bahkan tidak punya waktu untuk bertemu siapa pun.

Setiap kali aku bilang begitu, beberapa teman kuliahku langsung bilang, Cari pacar di kantor saja. Tapi percayalah—itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.

Dulu aku juga berpikir begitu saat pertama kali bergabung di perusahaan... sampai aku melihat kejadian seorang senior yang putus dengan seseorang dari kantor. Suasananya jadi canggung, sampai-sampai pekerjaan menjadi tidak nyaman. Kalau mau pacaran sama seseorang dari kantor, setidaknya pastikan dia di departemen yang berbeda.

Pertama—dan terakhir—kali aku pacaran ialah waktu kuliah dulu. Dan itupun, kami putus hanya beberapa bulan kemudian. Mungkin ada banyak alasan, tapi pada akhirnya, itu cuma percikan sesaat.

Sebelum itu, aku punya teman sekelas yang lumayan kusukai sewaktu SMA.

Kalau dipikir-pikir, mungkin dulu aku lebih agresif soal percintaan daripada sekarang.

Gadis yang kutaksir adalah salah satu siswi paling terkenal di sekolah.

Namanya Minase Ayana.

Bukan hanya berparas cantik, dia juga jagoan tim lari. Sifat disiplinnya begitu terkenal hingga semua orang di sekolah mengetahuinya. Bahkan ada legenda bahwa seorang pria yang menembaknya diberi tahu, Kalau kamu bisa mengimbangi latihanku selama sebulan, dan pria itu menyerah setelah seminggu.

Soal kepribadiannya—dia memperlakukan semua orang sama, tanpa memandang jenis kelamin.

──Eh? Horikoshi-kun, bukannya nilai ujianmu sangat tinggi? Belajar seperti apa yang kamu lakukan?

──Aku takkan kalah darimu kali ini. Terlalu kompetitif? Kenapa emangnya?

Bahkan aku yang bukan siapa-siapa di kelas, aku masih ingat bagaimana dia berbicara seperti itu padaku. Meski begitu, dia tidak dekat dengan semua orang. Selain beberapa gadis, dia selalu menjaga jarak.

Disukai semua orang, tapi terlalu sakral untuk disentuh—dia adalah idola sekolah yang tak tersentuh. Dia tampak tenang dan acuh tak acuh, tetapi dalam hal kompetisi, dia sangat gigih.

Begitulah caraku memandang gadis yang bernama Minase Ayana.

Saat itu, aku ingat menjadi sangat tegang hanya karena bisa duduk di sebelahnya atau menerima email darinya. Sulit dipercaya sekarang bahwa hal sepele seperti email bisa begitu mengguncangku.

Yah, aku masih kesal ketika bosku mengirimiku pesan seperti, Aku mengandalkanmu untuk yang satu ini!Terutama untuk proyek yang sudah sangat mendesak dengan tenggat waktu kurang dari seminggu. Jangan tiba-tiba melimpahkannya padaku. Itu misi bunuh diri. Mungkin lebih baik aku mati saja.

...Intinya, aku sedang ngelantur.

Sementara semua orang di sekitarku sudah menikah, aku masih lajang dan terjebak hanya melakukan pekerjaan.

...Lantas, apa gunanya aku hidup?

Bukannya aku percaya bahwa satu-satunya kehidupan yang sah adalah kehidupan di mana kamu menghabiskannya bersama seseorang. Ada banyak cara untuk bahagia.

Tapi bagiku, secara pribadi, ada kalanya aku melangkah masuk ke dalam apartemenku yang gelap dan kosong, merasakan dinginnya kesepian yang menusuk tulang.

Dan di saat-saat seperti itu, mau tak mau aku jadi berpikir—

Wah, seandainya saja ada yang menyapa Selamat datang di rumah.

...

Mungkin efek alkoholnya mulai hilang. Pikiranku kacau, berputar-putar ke arah negatif. Gawat. Aku bahkan merinding sekarang.

────

Tanpa kusadari, aku muntah di depan apartemenku.

Bau busuk yang menyengat memenuhi hidungku. Campuran rasa malu dan mengasihani diri sendiri menghantamku dengan keras, dan aku merasa seperti akan ambruk di tempatku berdiri—

Kamu baik-baik saja?

Tiba-tiba, sebuah suara memanggil dari atas. Ada tangan hangat yang mengusap lembut punggungku.

Suaranya terdengar seperti suara perempuan. Saat dia perlahan dan hati-hati mengusap punggungku dengan khawatir, rasa mual yang bergolak di sekujur tubuhku mulai mereda.

Ini, ambillah.

Setelah perutku sudah terasa kosong, dia menawarkan tisu.

Menggumamkan terima kasih dan permintaan maaf berulang kali, aku menyeka mulutku dengan tisu itu. Rasa mual itu telah berlalu, tetapi satu pertanyaan kini muncul di benakku.

...Dia siapa?

Aku mengenal sebagian besar penghuni apartemen ini, tapi aku tidak mengenali suara ini.

Aku perlahan-lahan mendongak dengan pikiranku yang akhirnya mulai jernih.

…………Hah?

…………Hah?"

...Mustahil. Tunggu sebentar.

Itu tidak mungkin. Mana mungkin.

Hanya karena aku memikirkannya tadi... Ini terlalu kebetulan.

Aku mencoba menyangkalnya berulang kali dalam hati. Aku mengerjap berulang kali, tetapi pemandangan di depanku tidak berubah. Dia pasti menyadarinya juga, karena dia menatapku dengan tatapan yang sama terkejutnya.

Terakhir kali aku melihatnya adalah saat wisuda SMA kami. Dibandingkan dulu, dia terlihat jauh lebih dewasa sekarang. Aku tidak bisa yakin hanya dalam beberapa detik. Tapi tetap saja, aku tahu.

Entah bagaimana, aku langsung tahu itu dirinya.

...Apa kamu... Minase?

...Yang berarti... kamu Horikoshi-kun?

Cahaya dingin lampu jalan di atas kami berkedip-kedip di atas kepala. Dalam salah satu momen paling memalukan dalam hidupku—mabuk dan muntah di depan apartemenku—

Aku bertemu dengan gadis yang dulu pernah kutaksir waktu SMA dulu.

Dan di saat yang sama, kesadaran yang tersisa, yang ditumpulkan oleh alkohol, memudar sepenuhnya.

Sejak saat itu, aku hampir tidak ingat apa pun.

 

◇◇◇

 

…………?

Ketika aku mulai sadar kembali, aku berada di sebuah ruangan yang tidak kukenal. Aku duduk di tempat tidur dan melihat sekeliling—tapi tidak, ini jelas-jelas bukan tempatku.

Ruangannya bergaya Barat, mungkin seukuran enam tikar tatami. Tidak ada satu pun perabot di ruangan itu. Beberapa kotak kardus ditumpuk di sudut, dan sebuah pemotong kotak tertinggal di luar, seolah-olah seseorang sedang membongkar barang.

Kamar itu sendiri entah bagaimana terasa agak familiar, tapi jelas tidak pernah sekosong ini sebelumnya.

Aku memeriksa ponselku—sekarang sudah pukul enam pagi. Sepertinya aku benar-benar pingsan. Tapi... kenapa aku bisa berada di tempat seperti ini?

Sambil memegangi kepalaku yang berdenyut, aku memijat dahiku. Perlahan-lahan, kejadian malam sebelumnya mulai kembali mengalir dalam kepalaku.

Benar. Tadi malam, setelah menjamu klien, aku kembali ke kantor untuk memperbaiki laporan, naik kereta terakhir pulang, lalu aku muntah di depan apartemenku—

Kamu baik-baik saja?

Tiba-tiba, pintunya terbuka. Tepat di sampingnya berdiri seorang wanita cantik berpenampilan elok dengan rambut hitam, memegang nampan.

Matanya tajam, bulu matanya lentik. Riasannya natural, dan rambutnya diikat ekor kuda sederhana dengan karet gelang polos. Tanpa perhiasan atau aksesori sama sekali.

Dia mengenakan kaus dan celana jins berwarna terang. Mungkin dia berpakaian untuk kenyamanan—sederhana, namun tetap terlihat bergaya tanpa perlu usaha. Itu saja sudah cukup menggambarkan dirinya.

Dan sekarang, melihatnya lagi dengan jelas di bawah lampu neon yang menyilaukan… tak diragukan lagi.

Dia adalah Minase Ayana—teman sekelasku dari SMA.

“Ini, airnya. Kamu pasti haus, ‘kan?

“Ah… ya. Terima kasih.”

Minase berlutut di sampingku dan memberiku segelas air. Aku meneguknya dengan hati-hati. Air dingin itu meresap ke seluruh tubuhku, seolah membersihkanku.

Sial, itu tepat sekali. Padahal itu hanya air putih biasa, tapi setelah semua alkohol dan rasa mual, rasanya seperti obat mujarab.

“…Jadi. Sekadar memastikan—kamu Horikoshi-kun, kan? Yang pernah sekelas denganku?”

Dia menatapku dengan tatapan penasaran sambil berbicara.

“Kita mengobrol sebentar tadi malam, tapi kamu kelihatan agak mabuk.”

“Ya, aku Horikoshi. Dari kelas 3-3.”

Apa kamu masih mengingatku?”

“Kamu… Minase.”

“Bagaimana dengan nama depanku?”

“…………Maaf. Aku lupa.”

“Oh, sayang sekali.”

Dia tersenyum jenaka, seolah-olah dia tidak terlalu kecewa.

Tapi itu bohong. Sebenarnya, aku ingat nama lengkapnya dengan sempurna. Minase Ayana. Aku bahkan bisa menulisnya dalam kanji tanpa berpikir dua kali. Tapi aku tidak ingin dia mengetahuinya.

Rasanya bakalan aneh mengingat nama lengkap teman sekelas yang bahkan tidak dekat denganku, apalagi sudah sepuluh tahun kemudian. Namun, hal berikutnya yang dia katakan benar-benar mengejutkanku.

Kamu Kyouya, kan? Horikoshi Kyouya-kun.

Ya... itu memang namaku.”

Aku tak menyangka dia bahkan mengingat nama depanku. Aku refleks melebarkan mataku.

Aku dan Minase tidak punya hubungan yang mendalam. Kami hanya teman sekelas biasa. Tapi, dia masih ingat nama lengkapku, bahkan setelah sepuluh tahun?

Jauh di lubuk hatiku, versi diriku saat SMA bergejolak, jantungku berdebar sedikit. Tapi kedipan itu langsung dipadamkan oleh diriku yang dewasa—secara logika.

Minase selalu memperlakukan semua orang sama, tanpa memandang gender. Bahkan dengan orang sepertiku, yang hampir tak menonjol di kelas. Jadi tentu saja dia mungkin ingat namaku. Tidak ada yang aneh tentang itu.

Tapi tetap saja... kebetulan yang luar biasa, ya?

Minase menyipitkan matanya karena nostalgia.

Sudah lama sekali sejak aku bertemu teman sekelas. Kupikir aku tidak akan bertemu denganmu lagi selain reuni kelas.

Aku juga.

Sebenarnya, aku tak pernah berencana menghadiri reuni kelas sejak awal. Kupikir aku akan menjalani kehidupanku tanpa bertemu dengannya lagi.

Ngomong-ngomong... kita di mana?

Ruangan itu tampak samar-samar familier, tapi kelihatan asing karena kosong. Jawabannya sudah di ujung lidahku, tetapi mungkin karena aku baru bangun tidur, aku tak bisa mencapainya.

...Tunggu, jangan bilang kamu tidak ingat tadi malam?

Minase, setengah tercengang, bertanya dengan ragu.

Kamu berbicara denganku tadi malam... kurasa.

Maaf, aku tidak begitu ingat.

Setelah dia menyebutkannya, aku samar-samar merasa kami mengobrol sedikit tadi malam... tapi aku tidak ingat hal-hal penting apa pun.

Jadi itu benar-benar di luar kesadaran, ya?

Itu?

Kamu mengatakan macam-macam. Seperti, 'Kerja itu berat sekali~'.

Ugh...

Dan 'Aku kesepian sekali di rumah~'.

Tolong, lupakan saja semua itu.

Kamu bahkan bilang kau selalu bicara dengan Alexa di rumah. Benarkah?

Tolong! Aku mohon—lupakan saja!

Kamu benar-benar mabuk.

Minase tertawa terbahak-bahak, seolah tak bisa menahannya lagi.

Kenapa aku harus menciptakan kenangan baru yang memalukan di usiaku sekarang...?

Dan dari semua orang, malah dengan gadis yang pernah kusukai.

Ta-Tapi tunggu—bukankah semua orang terkadang berbicara dengan speaker pintar mereka? Misalnya, saat kesepian di rumah? Mereka bahkan merespons akhir-akhir ini, tahu?

Tapi kurasa tidak separah itu.

Minase bersandar di dinding, meregangkan tulang punggungnya sambil mendesah panjang dan rileks.

Kain tipis kausnya mempertegas lekuk dadanya yang lembut. Aku segera mengalihkan pandangan, menatap lantai kayu, hanya untuk mendengar suara lembutnya.

Ketika kamu sudah hidup selama hampir 28 tahun, ada saat-saat di mana kau tak bisa hidup tanpa minum. Kurasa itu jauh lebih baik daripada memendam semuanya.

Ucapannya sangat berbobot sehingga membuatku berpikir... mungkin dia pernah mengalami sesuatu. Ada nada dalam suaranya yang anehnya terasa meyakinkan.

Tapi, kamu tahu... secukupnya saja. Di usia kita, minum terlalu banyak itu agak... ya.

Aku akan mengingatnya.

Bahkan untuk urusan pekerjaan pun, aku bersumpah aku takkan minum sebanyak itu lagi.

Ngomong-ngomong, kembali ke topik tadi... Ini tempatku.

Minase memperbaiki suasana dan dengan santai mengatakan itu.

Dan asal kamu tahu—aku sudah mendapatkan izinmu. Aku tak bisa meninggalkanmu tergeletak begitu saja di luar. Lagipula kamu tidak ingat apa-apa.

...Maaf soal itu.

Jadi ini benar-benar tempat Minase, ya. Meskipun aku sudah mencurigainya, tapi sekarang sudah terbukti. Tumpukan kardus, perabotan minimalis—semuanya masuk akal sekarang. Kalau dia bilang begitu, tak ada ruang untuk ragu.

Tetap saja, menginap di rumah gadis yang pernah kusuka waktu SMA... setelah sepuluh tahun tanpa kontak... ya, rasanya aneh.

Tapi sekarang setelah aku tahu di mana aku berada, aku tak bisa terlalu lama di sini.

Maaf sudah merepotkanmu. Aku akan segera pergi.

Kamu yakin kamu baik-baik saja?

Ya, kurasa aku akan baik-baik saja.

Kepalaku masih berdenyut kesakitan karena mabuk, tapi setidaknya aku seharusnya bisa berjalan. Satu-satunya masalah sekarang adalah seberapa jauh tempat tinggal Minase dari tempat tinggalku.

Syukurlah karena sekarang hari Sabtu.

Tidak ada pekerjaan, dan meskipun butuh waktu lama, entah bagaimana aku akan mengatasinya. Lebih dari segalanya, aku hanya ingin makan dan merangkak ke tempat tidur—tapi aku bisa bertahan.

...Sampai—

Tiba-tiba, suara geraman keras dan konyol~ menggema dari perutku.

...Um.

Minase ragu sejenak, lalu tersenyum kecut dan berkata,

Yah, mumpung kamu sudah di sini, kenapa tidak tinggal lebih lama lagi untuk sarapan? Aku baru saja akan mulai membuatnya.

Hidup memang penuh kejadian tak terduga—tapi aku tak pernah membayangkan kalau aku akan melihat gadis yang dulu kusukai memasak sarapan. Aku duduk bersila di depan meja kayu kecil yang rendah. Ini ruang makan. Sepertinya apartemennya tipe 2DK—tanpa ruang tamu.

Mungkin itulah sebabnya aku bisa melihatnya dengan jelas di dapur dari tempatku duduk. Dia mengenakan celemek sederhana berwarna krem, dan dapurnya penuh dengan barang-barang sehari-hari yang nyaman—fungsional dan nyaman.

Tetap saja, hanya diundang sarapan—apa itu berarti ada kesempatan?

Tidak. Aku langsung menepis pemikiran tersebut. Aku sudah cukup disakiti waktu SMA dulu.

Dia pernah mengobrol denganku, mengirim pesan, berjalan pulang bersamaku sekali—dan aku berasumsi dia menyukaiku, hanya dari situ.

Tapi setelah menjadi orang dewasa yang bekerja, makan malam berdua dengan lawan jenis setelah bekerja bukanlah hal yang aneh.

Terkadang hanya untuk membicarakan pekerjaan. Atau karena kalian rekan kerja. Atau karena hubungan yang lebih dekat membuat pekerjaan lebih lancar. Selalu ada sedikit perhitungan di balik tindakan tersebut.

Akhir-akhir ini, aku diperlakukan dingin sekaligus baik—tapi kebaikan itu pun hanya orang-orang yang sedang menghitung untung rugi. Kalau dibiarkan terlalu lama, mereka akan menuntut balas dengan bunga suatu hari nanti.

Tetap saja, tidak peduli seberapa banyak aku berusaha berpikir logis, kurasa sudah menjadi sifat pria untuk bertanya-tanya bagaimana jika?

Tak peduli seberapa tua usiaku, secara mental aku masih remaja yang sama bodohnya.

Satu-satunya hal yang benar-benar berubah ialah sudah berapa kali aku tertipu—dan berapa banyak uang yang kuhabiskan untuk gim gacha.

...Kumohon, dewasalah, diriku.

Ini silakan dinikmati. Meski tidak mewah—hanya sesuatu yang kubuat dengan cepat.”

Minase meletakkan sepiring bola nasi dan semangkuk sup miso di atas meja. Uap mengepul dari sup miso, dan butiran nasi di atas onigiri berkilau lembut. Aku belum makan apa pun kemarin selain alkohol, gara-gara semua obrolan dengan klien. Sejujurnya, nasi adalah satu hal yang paling kuinginkan saat ini.

“Horikoshi-kun, kamu tidak masalah makan sesuatu yang dibuat orang lain?”

“Ya. Aku tidak terlalu peduli. Di rumah, kalau makanan jatuh ke lantai, aku pura-pura tidak melihatnya dan tetap memakannya.”

“…Kamu seharusnya membuangnya.”

Minase tampak terkejut.

“Tapi, sungguh—apa tidak masalah?”

“Ya. Aku sudah menyiapkannya. Dan tadi malam kamu bilang kulkasmu kosong, kan?”

“…Dari mana kamu bisa tahu?”

“Kamu mengeluh soal itu saat kamu mabuk.”

Gawat. Apa lagi yang sudah kukatakan tadi malam? Tolong jangan kasih tahu aku kalau aku membocorkan PIN bankku atau semacamnya, ‘kan?

Jadi, jangan khawatir. Tapi mengetahuinya dan tidak melakukan apa-apa rasanya agak kejam.

Jadi dia memberiku makan karena kasihan, ya.

Tapi ya sudahlah. Dia memang sengaja membuatnya. Setidaknya aku bisa menerimanya dengan senang hati. Minase dengan lembut menggeser piring ke arahku.

Silakan.

Aku mengambil salah satu bola nasi dan menggigitnya—

...Enak sekali.”

Taburan garamnya pas, dan rumput lautnya yang renyah sangat cocok.

Sedikit sup miso dan kehangatannya menjalar ke seluruh tubuhku. Mungkin ada sedikit jahe segar di dalamnya. Kuah asinnya berpadu sempurna dengan nasi.

Demi kenyamanan, aku biasanya makan roti di pagi hari—tapi sejujurnya, tidak ada yang mengalahkan nasi.

Kalau saja memasaknya tidak terlalu repot, aku pasti akan memakannya setiap pagi. Sambil terus mengulang-ulang betapa enaknya—

...Kamu tidak sengaja mengatakannya, kan?

Entah kenapa, Minase menatapku dengan mata menyipit.

“‘Sengaja’… apa maksudmu?”

“Bukan apa-apa. Kalau bukan sengaja, lupakan saja.”

Dia berbalik tajam. Tapi ujung telinganya memerah karena panas.

“…Horikoshi-kun, kamu sudah berubah ya.”

Masih membelakangiku, Minase hanya mengalihkan pandangannya ke arahku, memperlihatkan profil wajahnya yang cantik.

“Waktu SMA, bahkan saat aku bicara denganmu, kamu hampir tidak bereaksi.”

“Benarkah?”

“Ya, kamu agak ketus. Sangat pendiam.”

Mungkin itu hanya karena aku bingung harus berkata apa padanya. Perasaan itu mulai muncul kembali. Aku pasti terkesan dingin hanya karena aku tidak tahu bagaimana cara berbicara dengan salah satu gadis termanis di kelas.

Aku bahkan tidak ingat apa yang kami bicarakan, tapi aku ingat kemudian meronta-ronta di tempat tidur, berpikir, Kenapa aku tidak bisa mengatasinya dengan lebih baik?!.

Kalau begitu, kamu juga berubah, Minase.

Aku langsung mengganti topik. Lagipula, masa-masa SMA-ku hanya membuatku meringis geli. Untungnya, Minase menurutiku.

Benarkah? Kamu pikir begitu?

Ya... kamu sudah dewasa.

Aku mencoba menunjukkan apa yang sebenarnya berubah—tapi tidak ada yang terlintas di pikiranku. Dan fakta itu sendiri mengejutkanku. Kesan dirinya lebih dewasa jelas bukan kebohongan.

Tapi dari segi penampilan atau kepribadiannya, tidak banyak yang benar-benar berubah. Atau lebih tepatnya—apa sebenarnya yang berubah?

Saat itulah aku tersadar. Bukan perubahannya yang menjadi masalah. Masalahnya adalah kenapa aku tidak menyadarinya.

Pada akhirnya, aku sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang Minase Ayana—baik dulu maupun sekarang.

Dulu, kami hanya teman sekelas. Dan sekarang, dia hanya seseorang yang kebetulan kutemui setelah sepuluh tahun.

Kami jarang sekali mengobrol. Waktu SMA, aku hanya mengaguminya dari kejauhan. Kalau aku bersikap seolah mengenalnya, kedengarannya akan sangat arogan.

Dan begitu juga dengannya, terhadapku.

Apa maksudnya? Tentu saja kita berdua sudah berubah—kita sudah lebih tua.

Minase tersenyum lembut. Dan dia benar sekali. Tentu saja. Setelah sepuluh tahun, perubahan itu wajar. Kami hanya bisa bicara secara umum seperti itu karena kami belum benar-benar mengenal satu sama lain.

Dulu—dan, seperti yang kuyakini saat itu, mulai sekarang juga.

 

◇◇◇

 

Terima kasih untuk semuanya.

Setelah sarapan, aku memakai sepatu di pintu untuk bersiap-siap pulang.

Aku mencoba membayar setidaknya makanannya, tapi Minase tidak mau menerimanya. Katanya itu bukan masalah besar.

Baiklah kalau begitu... sampai jumpa lagi, mungkin.

Aku meletakkan tanganku di gagang pintu dan sedikit menoleh untuk mengucapkan selamat tinggal.

Ini mungkin akan menjadi akhir dari hubunganku dengan gadis yang kusukai sepuluh tahun lalu.

Aku tidak berharap kami akan tetap berhubungan, dan menurutku Minase juga akan merasa demikian.

Awalnya, fakta bahwa kami bertemu satu sama lain merupakan kebetulan yang konyol—seperti lelucon dari para dewa.

Cuma kebetulan biasa. Tidak lebih. Kami akan berpisah sekarang.

Begitulah hubungan kami.

Namun—

'Sampai jumpa' mungkin akan datang lebih cepat dari yang kamu kira loh.

Suara Minase terdengar seperti tawa kecil.

Aku membuka pintu, tapi kata-katanya hampir tidak terdengar.

...Hah?

Pemandangan di balik pintu terasa familiar. Sebuah kawasan perumahan yang tenang, dipenuhi gedung-gedung apartemen biasa. Tapi pemandangan di depanku tampak persis seperti yang ada di apartemenku sendiri.

Atau lebih tepatnya—

“…Ini sama dengan apartemenku?”

Sebuah kompleks apartemen kayu dua lantai. Papan nama di luar pintu Minase bertuliskan “201.”

Aku melirik ke sebelah. Papan nama di unit sebelahnya bertuliskan [202 — Horikoshi].

Horikoshi—dengan kata lain, tempat tinggalku.

“…Se-Sejak kapan…?”

Sejak awal aku memang merasakan ada yang terasa janggal. Tumpukan kardus. Ruangan yang samar-samar terasa familiar. Dan yang lebih penting, jika aku ambruk tepat di depan apartemenku sendiri… bagaimana mungkin aku bisa berada di dalam apartemen Minase?

Mana mungkin aku bisa berkeliaran jauh dalam keadaan mabuk.

“Aku pindah seminggu yang lalu. Tapi aku tidak menyadari kalau nama ‘Horikoshi’ di sebelah itu rupanya kamu.”

Saat aku berbalik, tertegun, Minase tersenyum geli.

Tapi sekarang semuanya masuk akal.

Seminggu terakhir ini, aku dibanjiri pekerjaan, hampir tidak pulang dari pagi hingga malam. Bahkan ada malam-malam di mana aku tidak pulang sama sekali. Tentu saja aku takkan tahu kalau ada yang pindah ke sebelah rumah.

Jadi... sepertinya kita akan jadi tetangga. Mulai sekarang mohon bantuannya ya, Horikoshi-kun.

Minase tersenyum anggun bak wanita dewasa—

Persis seperti saat pertama kali kami sekelas, sepuluh tahun yang lalu.

Kalau kamu ingin mendengar 'Selamat datang di rumah', mungkin lain kali kita harus mengadakan pesta minum kecil-kecilan.

...Aku juga sampai bilang begitu? Waktu aku mabuk?

Dilihat dari konteksnya, aku bisa menebak bagaimana kalimat itu muncul. Minase tidak menjawab—tapi senyumnya yang cerah sudah menjelaskan semuanya.

...Ya. Mungkin aku yang mengatakannya. Tapi, aku tahu tawarannya hanyalah gestur sopan.

Setelah 28 tahun hidup, kita belajar untuk memahami hal-hal itu. Meskipun sejujurnya, kita para pria masih sering salah mengartikannya. Jadi aku membalas dengan sopan.

Tentu. Aku akan menerima tawaranmu kalau begitu.

Dan begitulah, aku bertemu kembali dengan gadis yang pernah kusukai sepuluh tahun lalu—hanya untuk mengetahui bahwa dia sekarang tinggal di sebelah.

Tapi bukan itu saja yang kupelajari.

Aya-chan... kamu di mana?

Tiba-tiba ada gadis kecil muncul dari bagian dalam apartemen. Aku tidak bisa mengatakan usianya secara pasti, tetapi dia jelas terlalu tua untuk duduk di taman kanak-kanak—mungkin sekitaran anak SD.

Sambil mengusap matanya yang mengantuk dengan lengannya, dia melihat sekeliling dengan mengantuk.

Wajahnya yang polos dan ceria tampak seperti bidadari kecil. Dia pasti akan tumbuh cantik ketika dewasa nanti.

Um... siapa ini?

Aku tak bisa menahan diri untuk bertanya.

Dan Minase menjawab dengan jelas.

Gadis ini? Dia putriku. Iya ‘kan, Airi?”

“…Mm.”

Saat Minase menepuk kepalanya dengan lembut, gadis kecil itu—Airi—memberikan jawaban samar dan mengantuk.

Tapi ikatan mereka tak diragukan lagi adalah ikatan ibu dan anak.

“…Kau pasti bercanda.”

Begitulah aku mengetahui bahwa gadis yang kusukai sewaktu SMA—

Sekarang sudah punya anak perempuan.

 

 

Sebelumnya  |   Daftar isi  |  Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama