Koukou jidai ni Sukidatta Vol 1 Chapter 2 Bahasa Indonesia

Chapter 2

 

Ah.

Ah—

Pagi hari. Saat aku melangkar keluar dari pintu apartemen untuk berangkat kerja, aku tak sengaja bertemu Minase. Dia berdiri di koridor lantai dua, melambaikan tangannya pada seorang gadis kecil di bawah—Airi, mengenakan ransel sekolah merah.

Minase tersenyum lembut pada Airi dan melambaikan tangan sebelum melirik sekilas ke arahku.

Pagi. Mau berangkat kerja?

Ya... kurang lebih. Kamu juga? Mau berangkat kerja?

“Yah begitulah. Baiklah, mari kita berdua berusaha sebaik mungkin hari ini.

Dengan senyum cerah, Minase melambaikan tangan kecil dan kembali ke apartemennya. Aku memperhatikannya pergi, lalu menghela napas pelan.

Sudah lebih dari tiga hari sejak aku mengetahui kalau Minase tinggal di sebelahku.Tapi aku masih belum terbiasa.

Kami sempat bertemu beberapa kali—saat membuang sampah, atau saat jam sibuk pagi—dan setiap kali kami berpapasan, aku merasa dadaku sedikit sesak. Mungkin karena reaksi sisa-sisa masa SMA. Mungkin hal ini akan berlalu seiring berjalannya waktu.

Harus kuakui, aku terkejut mengetahui bahwa gadis yang dulu kusukai saat SMA sudah mempunyai anak perempuan—tapi, kalau dipikir-pikir lagi, itu masuk akal. Wanita cantik seperti dirinya pasti takkan lama melajang.

Meski begitu, aku belum melihat tanda-tanda keberadaan suaminya.

Pada awalnya, aku khawatir suaminya akan marah karena aku masuk ke dalam rumahnya tanpa diundang malam itu, tapi aku sama sekali tidak melihatnya. Mungkin jadwal mereka tidak bersamaan, atau mungkin ia sedang pergi bekerja.

Tapi, aku tak berniat bertanya langsung pada Minase. Memang, kami dulu teman sekelas—tapi sekarang, kami hanya tetangga. Kami belum pernah bicara sejak SMA, jadi sejujurnya, kami seperti orang asing yang kebetulan bertemu kembali.

Bagi orang sepertiku, mengorek informasi hanya karena penasaran sama sekali tidak pantas. Bagiku, hanya sebatas itu hubunganku dengan Minase sekarang.

 

◇◇◇◇

 

Seminggu berlalu seperti itu. Rasanya masih seperti aku baru bertemu dengannya kemarin. Waktu berlalu begitu cepat ketika kita bekerja penuh waktu. Tanpa kusadari, aku mungkin akan pensiun.

Bahkan masa-masa SMA terasa seperti baru beberapa tahun yang lalu.

Secara mental, aku tidak banyak berubah sejak saat itu. Dan setiap tahun, ketika aku mengetahui tahun kelahiran para karyawan baru, aku merasakan gelombang kecil keputusasaan. Lagipula, baru belakangan ini orang-orang yang lahir di tahun 2000-an mulai bekerja... dan aku yakin aku akan segera terpuruk lagi ketika anak-anak yang lahir di era Reiwa mulai muncul.

Ngomong-ngomong, sekarang sudah memasuki Jumat malam, dan aku sedang bersantai menikmati bir kaleng di balkon apartemenku.

Musim dingin membuat hal semacam ini mustahil, tetapi di awal musim panas, anginnya terasa menyenangkan. AC yang terus-menerus membuat tagihan membengkak, dan penghematan kecil seperti ini benar-benar bertambah seiring waktu.

Saat aku bersandar di pagar, menikmati pemandangan malam

Yo.

Minase tiba-tiba sedang bersantai di balkonnya sendiri di sebelah apartemenku.

Dia berpakaian sama seperti sebelumnya—kaus putih, celana jin tipis—dan memegang sebotol air soda. Labelnya bertuliskan logo merek air berkarbonasi terkenal yang telah ada selama beberapa dekade.

“Lagi menikmati minum-minum malam, Horikoshi-kun?

Yah, kurang lebih begitulah. Kamu juga? ...Apa itu konsep minummu?

Jangan-jangan itu sebenarnya minuman keras yang disamarkan?

Bukan. Hanya air soda biasa kok. Tapi rasanya seperti minuman malam, jadi aku menyebutnya begitu.

Begitu ya.

Sejak aku mulai tinggal bersama Airi, aku sudah tidak minum miras lagi.

Kita tidak pernah tahu kapan sesuatu akan terjadi, imbuhnya, seolah-olah itu hal yang paling alami di dunia.

Entah mengapa, kalimat itu cukup melekat di benakku. Aku sendiri tidak punya anak, tapi aku bisa memahami kecemasan karena tidak tahu apa yang mungkin terjadi dengan anak kecil.

Wajar saja kalau kita berhenti minum secara alami, untuk berjaga-jaga kalau-kalau kita perlu merespons sesuatu secara tiba-tiba.

Tentu saja, aku tahu situasi setiap orang berbeda.

“Tetap saja… aku masih tidak menyangka kamu sudah menjadi orang tua.”

Kata-kata itu terucap begitu saja tanpa kusadari. Minase langsung menoleh ke arahku dengan tatapan setengah bercanda, setengah datar.

“Apa? Kamu menganggap aneh ya kalau aku jadi orang tua?

Bukan, bukan itu maksudku.”

Menjadi orang tua di usia kami bukanlah hal yang aneh. Umur 28 tahun memang usia yang cukup ideal untuk membangun keluarga.

Tapi ketika aku membayangkan Ayana Minase sebagai orang tua, hal pertama yang terlintas di pikiranku adalah—

“…Yah, kamu tahu… kamu agak ceroboh waktu itu.”

Ya. Gadis tercantik di sekolah. Jagoan tim lari. Ramah pada semua orang. Idola sekolah yang tak terjangkai. Tapi dia punya satu kekurangan yang mencolok.

Itu bukan pengetahuan umum, tapi cuma orang-orang terdekatnya saja yang mengetahuinya. Aku baru mengetahuinya secara kebetulan.

Masa bodo. Kamu tetap bisa jadi orang tua meski berantakan.”

Bahkan dalam gelap, aku bisa melihat dengan jelas rona merah menyebar di pipi Minase.

Yah, begitu. Tapi kamu payah dalam memasak, ingat?

“Ma-Masa sih...?

Kamu hampir membuat ledakan di peralatan rumah tangga karena tidak menyadari kebocoran gas dan malah menyalakan kompor.

“Ma-Masa...?

Dan kamu pernah meledakkan telur di microwave.

“Ap-Apa iya...?

Kamu juga mencoba cara pintas dengan ayam di microwave dan meledakkannya juga.

Kenapa kamu mengingat semua ini dengan begitu jelas?!

“Siapa juga yang bisa melupakannya? Kamu selalu saja membuat keributan ketika berkaitan dengan masakan.

Minase memelototiku, jelas-jelas merasa kesal, tapi aku mengabaikannya dan menyesap lagi kalengku.

...Lagipula, kita satu kelompok dalam pelajaran tata boga. Kamu bahkan membuatku bersumpah untuk merahasiakannya.

—Aku akan membelikanmu minuman, tapi tolong jangan beri tahu siapa pun.

Aku masih mengingat ketika dia mengatakan itu padaku, berusaha mati-matian untuk merahasiakannya. Sejujurnya, aku hampir melupakan semua itu sampai percakapan ini mengingatkanku.

Tapi yang lebih menonjol adalah Minase belajar dengan cepat. Minggu berikutnya, dia membaik. Seiring berjalannya minggu, kesalahannya berkurang, dan akhirnya, kurasa bahkan guru tata boga pun memujinya. Minase yang klasik—tidak suka yang namanya kekalahan.

...Ugh, parah banget. Rasanya seperti kamu baru saja menggali salah satu trauma SMA-ku.

Dia meneguk air sodanya dengan ekspresi getir.

“Hei, kita impas. Tapi tetap saja, kamu sudah melewati semua itu. Waktu itu kamu pernah bilang takkan pernah bisa memasak.”

“Aku heran kamu masih mengingatnya.”

Karena aku tak menyangka bahwa dari semua orang, kamu justru mengakui kelemahanmu.”

Itu meninggalkan kesan yang cukup kuat sehingga lumayan membekas dalam ingatanku.

“Ya… aku masih belum pandai mengakuinya.”

Minase tersenyum sedikit malu, seolah ketahuan membocorkan sesuatu.

“Tapi aku harus membesarkan Airi sendirian. Aku tak punya kemewahan untuk mengatakan aku tak bisa melakukan sesuatu. Dan tanpa kusadari, kurasa aku mulai terbiasa.”

“Begitu… Tunggu—sendirian?”

Kata-kata itu mengalir begitu saja sebelum aku sempat menghentikannya.

Mendengar itu, Minase sedikit meringis, seolah menyesali apa yang telah dikatakannya. Tapi setelah jeda singkat, dia menenangkan diri dan menjawab,

“Ya. Sendirian.”

Dia mengangguk pelan.

“Begitu ya.”

Aku tidak bertanya lebih jauh. Memang benar kalau aku penasaran. Tapi setiap orang punya satu atau dua hal yang tidak ingin mereka tanyakan. Aku takkan menyelidiki kecuali dia sendiri yang mengatakannya.

Namun, Minase mengerjap beberapa kali, sedikit terkejut.

Akhirnya, dia bergumam,

“…Kamu tidak bertanya?”

Kamu mau aku menanyakannya?”

“Tidak… Aku tidak ingin orang yang tidak kukenal menanyakan hal seperti itu.”

Suaranya tegas. Kurasa aku belum pernah melihat Minase menolak sesuatu secara langsung, bahkan saat SMA. Pada waktu itu, dia ramah kepada semua orang—dia berusaha keras untuk menghindari musuh.

Jadi, ini mungkin pertama kalinya dia benar-benar menunjukkan dinding kepadaku.

Tapi—

“…Kurasa tidak masalah jika aku memberitahumu, Horikoshi-kun. Lagipula ini bukan rahasia.”

Dia menambahkan sambil tersenyum kecil, “Dan sekarang kita tetanggaan.”

Bibirnya melengkung membentuk senyum lembut.

Lalu, Minase mulai bercerita tentang Airi.

 

◇◇◇◇

 

Rupanya, Airi adalah putri dari kakak perempuan Minase.

Dia sudah berusia delapan tahun, kelas tiga SD. Anak yang lahir dari pasangan kakak perempuan Minase dan suaminya. Dia tumbuh besar dikelilingi kasih sayang, dimanja bak bidadari kecil yang berharga, menjalani kehidupan yang bahagia dan riang.

Tentu saja, Minase juga menyayanginya.

Bahkan setelah bekerja, dia akan langsung pulang ke rumah mereka di pinggiran kota Tokyo hanya untuk menghabiskan waktu bersama Airi. Suami kakak perempuannya adalah pria yang murah hati yang menyambut kunjungannya tanpa ragu. Kedengarannya mereka telah membangun keluarga yang hangat dan harmonis.

Namun semuanya mulai runtuh tahun lalu.

Kakak perempuan Minase dan suaminya sama-sama memiliki pekerjaan yang sering mengharuskan perjalanan bisnis ke luar negeri.

Kebetulan, kedua perjalanan mereka berbarengan—dan mereka memilih untuk menitipkan Airi dalam perawatan Minase selama mereka pergi.

Tergantung pada perusahaannya, perjalanan ke luar negeri terkadang dapat memengaruhi promosi atau evaluasi. Dalam beberapa kasus, menolak tugas tersebut bisa berujung pada pengucilan. Jadi, itu bukan pilihan yang sepenuhnya tidak masuk akal.

Tapi, peristiwa yang tak terduga terjadi....... mereka tidak kembali.

Mereka berdua menghilang saat berada di luar negri.

Minase dan Airi menunggu.

Satu hari... satu minggu... satu bulan—namun, berapa pun lamanya mereka menunggu, mereka tak kunjung kembali.

Aku pernah mendengar dalam kasus seperti itu, jika mereka terus menghilang tanpa kabar selama tujuh, seseorang dinyatakan meninggal secara hukum. Namun, kerabat Minase tak mau menunggu. Para kerabatnya sudah memperlakukan seolah-olah mereka sudah meninggal.

Dan kemudian... pertikaian sengit terjadi tentang siapa yang akan mengambil hak asuh Airi.

“…Pada awalnya, aku merasa agak aneh. Tapi setelah berbicara dengan kerabatku, aku mulai mengerti. Ah, mereka benar-benar tak menyukai adikku, pikirku.” kata Minase lirih, tatapannya kosong saat dia menatap ke luar malam. “Di keluargaku, kakakku selalu dianggap… ‘berbeda.’ Kurasa mereka tidak suka dia berusaha membesarkan anak dan bekerja di saat yang bersamaan. Para perempuan di keluarga terus mengatakan kepadanya bahwa itu bukan sesuatu yang bisa dilakukan, bahwa dia harus segera berhenti.”

“…………”

“Mereka tidak mempercayai kakakku melakukan perjalanan itu bersama suaminya. Dan alih-alih membahas siapa yang harus menampung Airi, yang ingin dibicarakan semua orang hanyalah mengomel dan mengkritik seberapa tidak bertanggung jawabnya kakakku.”

“…Jadi, kamu—”

“Ya. Aku yang menampung Airi. Aku tidak ingin menyerahkannya kepada orang-orang yang memandang rendah kakakku… dan, yah, yang terutama, aku hanya tidak ingin dipisahkan dari Airi. Aku terlalu mencintainya.”

Dan dengan itu, kisahnya berakhir.

Aku belum pernah bertemu kerabatnya. Aku bahkan belum pernah berbicara dengan mereka. Aku tak berhak menghakimi mereka berdasarkan cerita orang lain.

Jadi aku fokus pada hal lain.

“…Apa kamu baik-baik saja?”

“Ya, aku baik-baik saja. Aku takkan bilang kalau aku bisa mengatasi semuanya sendirian, tapi kami berdua baik-baik saja, dan Airi sangat bertanggung jawab, jadi—”

Memang ada bagian itu juga, tapi… kamu sendiri, Minase. Kamu baik-baik saja?”

Dia kehilangan kakak perempuannya dan kakak iparnya. Mana mungkin hatinya bisa melewati semua ini tanpa luka. Dan dari yang kudengar, sepertinya dia tidak punya kerabat yang bisa diandalkan.

Itu sebabnya… aku mengkhawatirkannya.

“………”

Ekspresinya berubah cepat setelah aku bertanya.

Pertama-tama, wajahnya tampak terkejut.

Lalu, dia mengatupkan bibirnya sejenak.

Dan akhirnya… dia tersenyum lebar padaku.

“Ya, aku baik-baik saja. Aku mempunyai Airi sekarang, dan setiap hari terasa menyenangkan.”

Senyumnya sempurna dan tanpa cela—begitu sempurnanya hingga terasa palsu. Karena terlalu sempurna, rasanya sama sekali tidak nyata. Dan senyuman itu... merupakan penyampaian tidak langsung untuk memberitahuku agar tidak melanjutkan.

"...Begitu. Baguslah kalau begitu."

Jika itu yang diinginkannya, aku tidak akan memaksanya.

Mengabaikan batasan itu bukanlah kebaikan—itu akan melewati batas.

Oh, sudah larut malam. Maaf membuatmu terjaga.

Meskipun aku yang bertanya, Minase tetap meminta maaf dengan sopan. Itu juga terasa seperti caranya mengatakan percakapan ini sudah berakhir. Memahami maksudnya, aku mengangguk.

Ya. Selamat malam.

Mm. Selamat malam, Horikoshi-kun.

Dan dengan begitu, Minase kembali ke apartemennya.

...Astaga. Aku sama sekali tidak memahaminya.

Setelah mengantarnya pergi, aku mendesah kecil. Dia masih sulit dibaca seperti dulu. Seketika bersikap ramah, lalu tiba-tiba membangun tembok. Dia juga persis seperti itu saat SMA dulu.

Mungkin itu sebabnya semua orang memperlakukannya seperti idola yang tak tersentuh. Atau mungkin itu hanya 'kebiasaan perempuan'.

Kalau begitu, aku takkan pernah mengerti. Mustahil. Kalau saja aku bisa memahaminya, aku takkan dicampakkan saat kuliah—

“Ah, Horikoshi-kun. Satu hal lagi.”

Tiba-tiba, Minase menjulurkan kepalanya dari balkon lagi. Dia menatap lurus ke arahku… lalu sedikit mengalihkan pandangannya dan bergumam.

“…Terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Itu saja.”

Lalu dia benar-benar menghilang, kembali ke apartemennya. Nada suaranya lebih acuh tak acuh daripada apa pun yang dia katakan sepanjang malam.

Namun, entah bagaimana… rasanya kalimat itu lebih mencerminkan perasaannya yang sebenarnya daripada apa pun yang dia katakan.

…Ya. Aku benar-benar tidak memahaminya.”

Baik itu sekarang maupun dulu—aku masih tidak mengerti Minase.

Aku mengangkat kaleng birku dan menghabiskan bir yang sudah hangat itu.

 

◇◇◇◇

(Sudut Pandang Minase Ayana)

 

“Aya-chan, ada apa? Di luar panas ya?”

Ketika aku kembali ke kamar dari balkon, Airi sudah ada di sana untuk menyambutku.

Kupikir dia sudah tidur tadi... tapi sepertinya dia sudah bangun.

Airi adalah bidadari kecilku yang manis. Aku berlutut untuk menatap matanya dan memeluknya erat-erat.

“Hm? Kenapa kamu bilang begitu?”

“Karena pipimu merah semua, Aya-chan.”

“…………”

Aku berpikir sejenak, lalu tersenyum saat menjawab.

“Ya, mungkin suhunya agak panas. Airi, pastikan kamu juga memakai tabir surya saat keluar rumah, ya?”

 

 

 

Sebelumnya  |   Daftar isi  |  Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama