Koukou jidai ni Sukidatta Vol 1 Chapter 3 Bahasa Indonesia

Chapter 3

 

Sewaktu SMA dulu, aku hampir tidak punya hubungan yang berarti dengan Minase. Kami hanya sekedar teman sekelas. Sesekali berpasangan dalam kelompok yang sama untuk tugas kelas— cuma itu saja.

Sejujurnya, penjelasan itu saja sudah cukup merangkum hubungan kami.

Yah, kurasa itu masuk akal. Dia adalah idola sekolah yang sempurna dan tak tersentuh. Aku adalah karakter sampingan yang mudah dilupakan. Namun, bukan berarti kami tidak pernah berhubungan sama sekali.

Kalau sekelas, pasti ada interaksi yang tidak disengaja—bisa dibilang peristiwa kecil.

 

──Kurasa kalau tidak salah kejadiannya saat pesta setelah festival olahraga.

 

Di tempat karaoke dekat sekolah kami. Sementara teman-teman sekelas kami berpesta pora, berdesakan di beberapa kamar pribadi sewaan, aku menyelinap pergi ke bar minuman.

Saat aku berjalan menyusuri lorong, samar-samar aku bisa mendengar suara dan nyanyian yang keluar dari ruangan karaoke—kedap suaranya kurang bagus. Di tempat karaoke ini, bar minuman dan toilet tidak ada di setiap lantai. Kita harus naik atau turun tangga untuk mencapainya.

Meski rasanya merepotkan, aku tetap pergi ke bar minuman. Karena aku tidak cocok dengan suasana pestanya. Tempat karaoke itu tidak memiliki ruangan yang cukup besar untuk seluruh kelas.

Jadi kami dipisahkan secara acak—dan aku berakhir di ruangan tanpa seorang pun teman dekat. Semua orang di ruangan itu adalah bagian dari kelompok inti kelas—tipe yang sporty dan ekstrovert.

Mereka melantunkan lagu-lagu trendi dengan volume penuh, menari seolah-olah mereka sedang tampil langsung di atas panggung.

Sementara itu sisi lain, aku berada di klub langsung pulang ke rumah. Aku tidak melakukan sesuatu yang berarti di festival olahraga. Aku mengenal beberapa lagu yang mereka nyanyikan, tetapi menari bersama jelas bukan gayaku.

Sejak awal, aku hanya berpartisipasi dalam festival karena ada aturan bahwa semua orang harus bergabung. Jika bukan karena itu, aku tidak akan datang berpartisipasi sama sekali. Jadi, aku memutuskan untuk pergi sebentar ke bar minuman.

Dan sekarang, di sinilah aku—menaiki tangga logam yang sempit sambil dengan canggung memegang bukan hanya cangkirku sendiri, tetapi juga beberapa cangkir dari orang-orang lain.

Tepat sebelum aku meninggalkan ruangan, mereka dengan santai menyerahkan cangkir kosong mereka padaku dan memintaku untuk mengisinya kembali.

Aku bisa saja menolak, tapi sejujurnya, jika itu berarti melarikan diri dari ruang karaoke yang mengerikan itu, kurasa itu tidak sepenuhnya buruk. Ketika aku sampai di bar minuman di lantai atas, dia sudah ada di sana.

Minase Ayana.

Lekukan wajahnya yang sempurna dengan serius ke arah dispenser minuman, satu tangan di bawah dagunya sambil merenung. Beberapa helai rambut hitamnya terlepas, dan dia dengan santai menyibakkannya ke belakang dengan mudah. ​​Akhirnya, dia membuat pilihannya dan mulai mengisi cangkirnya.

Bahkan hanya berdiri di sana, dia memiliki aura penyendiri. Entah bagaimana, dia membuat bar minuman itu tampak seperti tempat pemotretan. Di ujung lorong, aku bisa mendengar beberapa cowok dari sekolah lain berbisik-bisik, mungkin berdebat apak akan mendekatinya atau tidak. Tapi mereka tidak melakukannya. Mungkin terintimidasi oleh kehadirannya.

—Lalu.

Menyadari aku memperhatikan, Minase mengerjap sekali dan memiringkan kepalanya.

“Oh, Horikoshi-kun. Kamu ke sini juga untuk minum?”

“Ya… aku juga.”

“Bagaimana dengan semua gelas itu? Kelihatannya banyak sekali.”

Tatapannya jatuh ke lenganku yang penuh dengan gelas. Dia pasti berasumsi ada yang tidak beres. Sedikit kecurigaan terpancar di wajahnya.

“Tunggu—apa mereka memaksamu melakukan itu? Kalau ada yang memaksamu, aku bisa—”

“Tidak, tidak, bukan seperti itu. Aku baik-baik saja.”

“Kamu yakin? Baiklah kalau begitu.”

Ketika aku segera menyangkalnya, dia sedikit menyipitkan matanya, masih sedikit skeptis. Tapi sesaat kemudian, dia mengubah rencananya, mundur selangkah sambil memegang gelasnya.

Maaf, aku memonopoli tempat ini. Silakan, pakai saja. Aku akan nongkrong di sini lebih lama lagi.

Hah?

Sejujurnya, aku tidak terlalu jago karaoke. Rahasiakan itu dari yang lain ya, oke?

Setelah ragu sejenak...

Dia menempelkan jari ke bibirnya dan menyeringai nakal, seperti anak kecil yang sedang berbagi rahasia. Gestur sederhana itu membuat jantungku berdebar kencang. Tetap saja—

...Itu mengejutkan.

Aku mendapati diriku mengatakannya keras-keras.

Kupikir karaoke hanyalah salah satu hal yang kamu kuasai. Kamu jago dalam hal lain... kecuali memasak.

Bagian terakhir itu sama sekali tidak perlu.

Minase menggembungkan pipinya dan menatapku dengan cemberut. Tapi sejujurnya, begitulah aku melihatnya saat itu.

Dia jago olahraga, juara kelas—aku hampir tidak pernah melihatnya melakukan kesalahan.

Bukannya aku harus mengatakannya sendiri... tapi aku sebenarnya tidak sehebat itu, tau.

Dia meregangkan badannya sedikit, seolah melepaskan ketegangan, lalu bersandar ke dinding dan memamerkan senyum cerahnya yang sempurna seperti di buku pelajaran.

Aku hanya berusaha keras agar tidak ada yang melihatku mengacau. Termasuk ini juga—

"Rahasia, ya?

Yap.

Dia mengangkat jarinya ke bibir lagi dan menyeringai nakal. Kenapa dia mengatakan ini padaku, aku tidak tahu. Mungkin karena aku bukan bagian dari semua orang yang berusaha keras dia buat terkesan. Atau mungkin karena aku sudah tahu salah satu kelemahannya—masakannya yang buruk—saat itu.

—Lalu.

Aku melirik cangkir di tangannya—dan tanpa sadar mengerutkan kening. Itu minuman yang dipilihnya setelah mempertimbangkan pilihannya dengan saksama.

Namun, isinya jauh melampaui apa pun yang kuharapkan.

Karena—

“………………Kenapa… oshiruko?”

Bukannya oshiruko itu buruk. Malahan, kurasa ini pertama kalinya aku melihatnya ditawarkan di bar minuman di tempat karaoke. (TN: Oshiruko itu minuman super duper manis legit yang terbuat dari perasan ketan merah)

Tetap saja, aku tak bisa membayangkan Minase serius memilih oshiruko. Saat aku tak bisa menahan diri untuk tidak mengatakannya, Minase menatapku dengan tatapan tidak puas dan sipit.

“…………T-Tidak ada salahnya, kan? Aku menyukainya. Lagipula, ini lezat, tahu? Kalau kamu meragukannya, kamu bisa mencicipi saja—”

Kata-katanya terucap cepat, ujung telinganya sedikit memerah. Pemandangan itu juga merupakan sisi lain yang tak terduga darinya dibandingkan dengan ketenangan sempurna yang selalu dia miliki.

Menengok ke belakang sekarang, kurasa mungkin momen-momen kecil dan biasa seperti itulah yang mendorongku selangkah lebih jauh dari sekadar rasa suka di permukaan.

 

—Dan kemudian, sepuluh tahun setelah lulus SMA, aku tak pernah membayangkan akan berdiri di depan bar minuman bersama Minase lagi.

Sebuah restoran keluarga. Tepat di tengah kesibukan makan siang. Restoran itu ramai dengan berbagai pengunjung, dipenuhi dengan suara riang dan meriah. Di tengah kekacauan bak taman hiburan, aku dan Minase berdiri berdampingan dalam antrean menuju bar minuman.

Bahkan di tengah kerumunan, kecantikannya tampak menonjol.

Rambut hitamnya yang halus tergerai di bahunya, dan mata dinginnya yang berbentuk almond berkedip lembut. Kaus oblong sederhana, saat dikenakannya, entah bagaimana memberikan kesan anggun, dan lekuk-lekuk halus yang menyentuh kainnya secara alami menarik perhatian.

Kakinya yang jenjang terbalut celana jins hitam ketat, dan setiap gerakan santainya menarik perhatian orang-orang. Tapi bukan karena aku berada di sampingnya, para pria itu menyerah dan mengalihkan pandangan mereka.

Melainkan karena seorang anak—keponakannya, Airi—berdiri di sampingnya.

Kamu mau apa, Airi?”

Minase bertanya dengan senyum lembut. Airi menarik lengan bajunya, berbisik di telinganya dengan suara manis dan penuh kasih sayang.

Bagi siapa pun yang melihatnya, mereka akan terlihat seperti ibu dan anak. Dan di samping mereka berdiri aku, orang luar yang jelas-jelas tidak cocok dengan pemandangan keluarga ini.

Kenapa aku ada di sini bersama mereka?

Ceritanya berawal dari beberapa jam sebelumnya.

 

◇◇◇◇

 

Di dekat apartemenku, ada sebuah pusat perbelanjaan kecil. Meskipun dibilang dekat itu relatif—tapi jaraknya masih membutuhkan beberapa puluh menit berjalan kaki untuk sampai ke sana.

Tetap saja, tempat ini nyaman karena kamu bisa mendapatkan semua kebutuhan di sana. Bahan makanan, tentu saja, tetapi juga buku, pakaian, dekorasi rumah, dan furnitur... kecuali kamu pilih-pilih, tidak perlu pergi jauh-jauh ke kota.

Itulah sebabnya aku sering pergi ke sana di akhir pekan.

...Hm?

Di sebuah toko kelontong kecil di dalam mal, aku sedang melihat-lihat dengan linglung ketika seorang anak SD berjalan tertatih-tatih melewatiku.

Rambutnya berkibar lembut, matanya yang besar berbinar. Dengan kulit seputih porselen dan mulut kecil, dia memiliki wajah bak bidadari. Tapi alasanku tak bisa berhenti menatapnya bukan hanya karena dia imut.

Tapi karena aku mengenalinya.

...Airi?

Gadis yang diperkenalkan Minase sebagai putri tunggalnya. Sejak pertama kali kami bertemu, aku belum pernah berbicara langsung dengannya, hanya sesekali melihatnya berjalan bersama Minase—tapi tak salah lagi.

Namun—

...Dia sendirian?

Tidak ada yang mengikutinya. Bahkan setelah memperhatikan beberapa saat, ia masih sendirian. Jangan-jangan dia... tersesat?

...Kurasa aku tak bisa mengabaikan ini.

Mungkin dia hanya sedang menjalankan tugas. Tapi jika aku mengalihkan pandangan sekarang, dan kemudian ternyata dia menghilang, aku tak akan pernah memaafkan diriku sendiri.

Setidaknya aku harus mengatakan sesuatu. Demi ketenangan pikiranku sendiri—dan karena aku masih berutang budi pada Minase atas bantuanku sebelumnya.

Hei, Airi.

Aku berjongkok agar sejajar dengan matanya saat aku memanggil. Wajahnya yang menggemaskan menoleh ke arahku. Mata bulatnya berkedip bingung, lalu—

...Kamu siapa, Oji-san? Dan bagaimana kamu tahu nama Airi?

Kewaspadaan gadis kecil itu terlihat jelas, dan dia tampak sangat ketakutan padaku.

 

◇◇◇◇

 

H-Horikoshi-san...?

Sekitar sepuluh menit kemudian. Aku berdiri di sudut toko, dengan hati-hati menjelaskan bahwa aku adalah tetangga dan temannya Minase.

Bagi orang luar, seorang pria dewasa yang berbicara dengan seorang gadis kecil akan terlihat sangat mencurigakan. Jika kami mirip, orang-orang mungkin mengira kami keluarga—tapi aku sama sekali tidak mirip dengan wajah bidadari Airi.

Kemungkinan terburuk, seseorang bisa saja memanggil polisi untuk melaporkanku. Untungnya, aku sama sekali tidak tertarik pada gadis kecil, jadi itu bukan masalah.

Namun, entah kenapa, tangan Airi tak pernah lepas dari tali alarm pengaman di tasnya. Tatapannya tajam, siap menarik talinya kapan saja. Kecepatan itu bagaikan prajurit terlatih... Dia memperlakukanku seperti musuh bebuyutan. Penjelasan yang baru saja kuberikan jelas tidak meyakinkannya sama sekali.

Tetap saja... Oji-san, ya.

Dari sudut pandang anak sekecil dirinya, aku paham kalau aku secara alami termasuk dalam kategori "Oji-san,. Tapi mendengarnya langsung di depanku tetap saja menyakitkan. Aku tidak masalah mengatakannya tentang diriku sendiri—jadi kenapa sakit rasanya kalau orang lain yang mengatakannya? Dan fakta bahwa dia bahkan tidak mengingatku, meskipun kami pernah bertemu beberapa kali sebelumnya, merupakan pukulan tersendiri.

Pertama-tama, aku harus meluruskan kesalahpahaman tentang orang asing ini.

Kalau bukan untuk diriku sendiri, setidaknya untuk kehidupan kerjaku... meskipun tatapan dari orang-orang di sekitarku juga mulai menyakitkan. Aku memaksakan senyum dan berbicara selembut mungkin.

Dengar, Airi, aku bukan orang asing. Kita pernah bertemu di depan apartemen sebelumnya, kan?

Semua orang asing bilang begitu. Aya-chan juga bilang begitu.

B-Baiklah... Kalau begitu... Oh, aku tahu. Aku juga berteman dengan Aya-chan. Kau sudah dengar tentangku, kan? Aku tinggal di sebelah rumahmu.

Semua orang asing bilang begitu. Aya-chan juga bilang begitu.

Tidak, mereka tidak! Oji-san macam apa yang kau bayangkan di sini? Mengerikan.

Aku ingin membalasnya, tapi berteriak sekarang hanya akan membuatnya semakin waspada. Namun, mata Airi menyipit curiga saat dia berkata—

Lagipula, orang sekeren Aya-chan tidak akan pernah berteman dengan orang kotor sepertimu!

Kotor...?

Wajahmu penuh janggut lebat!"

...Benar. Hari ini aku libur, jadi aku malas bercukur.

Dari sudut pandangnya, mungkin banyak bagian tubuhku yang terlewat. Dan kotor itu... yah, sulit dibantah dalam kasus ini.

Tapi... apa yang harus kulakukan di sini? Kalau begini terus, bisa-bisa seseorang benar-benar akan memanggil polisi untuk melaporkanku suatu hari nanti.

Lalu, aku memperhatikan apa yang dipegang Airi dengan hati-hati di tangannya dan tak kuasa menahan diri untuk berkomentar.

Oh, Airi—benda yang kamu pegang itu... apa itu untuk Minase—Aya-chan?

Hah?

Maksudku oshiruko itu. Kamu membelikannya untuknya, kan?

Benda yang dipegangnya adalah sekaleng oshiruko. Persis sama dengan yang pernah kulihat di bar minuman. Ini mungkin pertama kalinya aku melihatnya dijual di toko kelontong.

Saat aku merasa nostalgia, Airi mengerjap kaget.

T-Tunggu, bagaimana Oji-san tahu apa yang disukai Aya-chan? J-Jangan bilang, kamu benar-benar...?

Sudah kubilang, aku temannya.

Ma-Maaf!

Dia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dia pasti anak yang sangat jujur ​​dan baik. Ketika dia mendongak, wajahnya dipenuhi permintaan maaf yang tulus. Lalu, seolah bergumam pada dirinya sendiri—

Aku benar-benar berpikir pria biasa seperti ini tidak mungkin teman Aya-chan... Aku yakin dia mencurigakan...

Dia pasti anak yang sangat jujur ​​dan baikAiri bahkan tidak berusaha menyembunyikan bahwa dia meragukanku. ...Bukan berarti itu membuatku merasa lebih baik. Aku tidak pernah menganggap diriku seseorang yang mengesankan, tetapi mendengar itu dari anak SD adalah rasa sakit yang benar-benar baru.

Tetap saja... Minase pernah dengan acuh tak acuh menyebut Airi dewasa untuk usianya, tetapi bukankah ini terlalu dewasa? Apa semua anak SD sekarang seperti ini?

U-Um!

Ah—ada apa, Airi?

Ketika aku mendongak, matanya berbinar saat dia menatapku. Ekspresinya benar-benar berbeda dari sebelumnya—sekarang dia menatapku dengan ramah.

Ada apa ini?

Saat aku bertanya-tanya, Airi mengepalkan tangannya dengan manis di depan dadanya.

“U-Um, Oji-san tuh temannya Aya-chan, kan? Itu berarti kamu tahu tentang masa lalunya, kan?”

“Aku tahu, tapi…”

Sebenarnya, aku hanya tahu masa lalunya. Namun, ketika aku menjawab sambil duduk, Airi tiba-tiba mencondongkan tubuhnya begitu dekat hingga bibir kami hampir bersentuhan.

“K-Kalau begitu ceritakan padaku tentang Aya-chan! Aku ingin tumbuh menjadi sekeren dia!”

“Meskipun kamu bilang begitu…”

“Kalau Oji-san mau memberitahuku, aku akan membalas budimu!”

“Bukan itu masalahnya—ada beberapa hal yang tidak bisa kuceritakan padamu—”

“Baiklah, kalau begitu aku akan memberikan bonus spesial!”

“Apa yang kamu bicarakan?!”

Kenapa itu terdengar berbahaya? Mungkin hanya pikiran kotorku sendiri. Dia mungkin sedang membicarakan sesuatu seperti pijat bahu. Lagipula… bagaimana jika aku menyukai gadis kecil? Bukan begitu—jadi hatiku tidak terombang-ambing sedikit pun.

Namun—setelah ragu sejenak, aku menghela napas dan menyetujui permintaannya.

“…Baiklah, Airi. Aku akan menceritakan masa lalu Aya-chan—cuma satu kali ini saja.”

“Eh… jadi kamu begitu ingin mendapatkan layanan istimewa dari Airi?”

“Bukan itu maksudku! Hal berbahaya macam apa yang kamu katakan itu, dasar anak SD?!

Bagaimana jika keluarga di sekitar sini salah paham?!

“Tidak, tidak—bukan itu maksudku. Aku hanya bilang aku akan mengabulkan permintaanmu, itu saja. Aku akan menceritakan semua yang kutahu—seperti bagaimana Minase dulu bisa membuat makanan yang benar-benar gila. Tapi…”

“Tapi?”

“Pertama-tama, kita perlu bertemu dengan Aya-chan. Itu lebih penting daripada yang lain.”

Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi saat ini, Airi sendirian. Itu berarti membawanya kembali ke Minase adalah prioritas utama. Aku tidak benar-benar berniat membicarakan masa lalunya, jadi membuat janji seperti ini sedikit mengusik hatiku... tapi mau bagaimana lagi.

Namun—

Airi mengerjap lagi, lalu menunjuk ke belakangku.

“Um… Aya-chan sudah di sini, kok?”

“…Hah?”

“Maksudku, Aya-chan di sini. Tepat di belakangmu. Dia sudah di sana sejak lama.”

“…Apa?”

Aku berbalik perlahan.

Dan benar saja—seperti yang Airi katakan—Minase berdiri di sana, senyumnya yang sempurna terpatri.

“Hei, Horikoshi-kun. Aku baik-baik saja, tapi… bisakah kamu setidaknya memberitahuku apa yang akan kamu katakan tentangku?”

Dia jelas-jelas marah.

 

◇◇◇◇

 

“—Kamu bisa saja memberitahuku dari awal bahwa Airi sendirian dan kau membantunya mencariku.”

Di meja restoran keluarga. Setelah mendengar penjelasanku, Minase menopang pipinya dengan tangan, bergumam pelan.

Sekilas ke arah bar minuman memperlihatkan Airi, sedang berpikir keras tentang apa yang akan dipesan. Rupanya ini pertama kalinya dia ke sana, dan dia benar-benar jatuh cinta dengan konsep itu.

Di hadapanku, piring-piring sudah kosong. Makan siang telah berakhir, dan kami sekarang sedang istirahat sejenak.

Sejak itu—aku akhirnya bergabung dengan keluarga Minase untuk makan siang.

Tepatnya, Airi-lah yang mengundangku.

Ketika dia bertanya apa yang akan kulakukan untuk makan siang dan aku bilang aku akan makan sendirian, dia pasti merasa tidak enak dan memutuskan untuk mengajakku.

Aku tidak punya alasan untuk menolak, jadi aku menerimanya. Dari seberang meja, Minase mencondongkan tubuh, merendahkan suaranya menjadi bisikan.

“…Jadi itu berarti kamu benar-benar tidak memberi tahu Airi apa pun, kan?”

“Ya, tidak…”

Ada apa ini?

Ketika aku mendongak, Minase menyipitkan matanya dengan curiga. Tatapan tajam dan lekat itu memperjelas—dia sama sekali tidak memercayaiku. Sepertinya tidak ada anggota keluarga Minase yang memercayaiku.

Namun setelah beberapa saat, mungkin karena merasa aku tidak berbohong—atau mungkin hanya menahan diri untuk menilai—Minase menghela napas pelan.

...Baiklah. Asalkan kamu tidak memberitahunya.

Apa ada sesuatu yang tidak boleh kukatakan?

Tentu saja ada. Seperti—

Minase tiba-tiba mencondongkan tubuhnya ke depan, dan karena mejanya sempit, wajah kami jadi jauh lebih dekat dari yang kuduga.

Tatapan mata kami bertemu.

Bulu matanya yang panjang berkedip sekali, dan matanya yang seindah permata menatapku. Apa aroma samar dan menyenangkan itu hanya imajinasiku?

Jika ini terjadi saat SMA dulu, mungkin aku akan panik.

Namun kini, sepuluh tahun kemudian, sebagai orang dewasa yang pernah hidup di dunia di mana bahkan kasih sayang pun bisa digunakan sebagai alat bisnis, aku telah belajar bagaimana menghadapi momen-momen seperti itu dengan tenang.

Sepertinya Minase juga sama.

Tanpa menunjukkan emosi apa pun di wajahnya, dia secara alami menjaga jarak di antara kami—memulihkan suasana tanpa bermaksud menyakiti.

“…Pokoknya. Asalkan kamu tidak membicarakan masa SMA, tidak apa-apa. Terutama soal memasak.”

Kamu sebegitu bencinya?

“Tentu saja.

Dia merengut, seolah mengatakan betapa bodohnya pertanyaan itu. Tapi alasan yang dia berikan selanjutnya bukan untuk dirinya sendiri.

“—Karena aku tidak ingin Airi khawatir. Kalau dia mengetahuinya, dia mungkin akan menahan diri untuk banyak hal… seperti membuatkanku bekal makan siang atau semacamnya.”

Anak itu sangat bertanggung jawab, imbuhnya dengan tatapan tak fokus, Minase menatap ke kejauhan dan bergumam dengan suara yang melemah.

Seolah-olah ia secara tidak sengaja mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya.

"Maaf, aku jadi mulai mengeluh. Lupakan saja kalau aku yang kubicarakan tadi.

Tapi beberapa detik kemudian, Minase sudah kembali ke senyumnya yang sempurna. Terlalu sempurna tanpa sedikit pun kepalsuan—dan justru karena itulah rasanya seperti ada tembok transparan yang mengelilinginya.

Itulah mengapa aku tak tega bertanya tentang apa yang baru saja dia ungkapkan.

"Ngomong-ngomong, Horikoshi-kun, apa rencanamu setelah ini hari ini?"

Sebelum aku sempat memikirkannya lebih lama, Minase mengganti topik. Dari sudut mataku, aku melihat Airi kembali dari bar minuman.

Kurasa itu berarti percakapan tentang masa SMA Minase sudah berakhir. Menangkap maksudnya, aku menjawab pertanyaannya.

Aku... berencana pulang setelah ini.

Sebenarnya aku tidak punya alasan khusus untuk datang ke pusat perbelanjaan ini.

Jadi itulah jawaban yang jujur—tapi—

Eh... kamu sudah pulang?

Dia pasti mendengar itu saat dia kembali. Alis Airi terkulai sedih.

Untuk sesaat, aku hampir berpikir dia ingin menghabiskan lebih banyak waktu denganku—tapi mungkin itu hanya karena dia belum sempat mendengar cerita-cerita lama Minase.

Mungkin itulah satu-satunya alasan dia tertarik padaku.

Namun, momen itu berlalu dengan cepat, dan ekspresi Airi berubah menjadi senyum bak malaikat.

“Tapi… ka-kamu benar. Kamu pasti sibuk, Horikoshi-san… Aku mengatakan sesuatu yang aneh. Lupakan saja!”

Senyum itu terasa agak dibuat-buat. Dan mengetahui hal itu membuat rasa bersalah kembali merayapiku. Meski begitu, tetap bersama keluarga Minase lebih lama lagi jelas akan terasa aneh.

Aku tidak punya rencana lain, jadi itu tidak masalah bagiku—tapi posisiku hanyalah tetangga sebelah. Hanya karena kami kebetulan bertemu di mal bukan berarti aku bisa terus ikut campur dan mengganggu kebersamaan mereka. Lagipula, aku ragu Minase akan mengizinkannya.

Namun—

“……”

Setelah melirik Airi sebentar, bibir Minase bergerak ragu-ragu, seolah sedang memikirkan sesuatu. Lalu dia memasang senyum sempurnanya dan mengatakan sesuatu yang sama sekali tak kuduga.

“Hei… kalau kamu tak keberatan, boleh aku meminjammu sedikit lebih lama?”

 

◇◇◇◇

 

Hidup memang penuh kejutan. Aku tak pernah membayangkan akan menghabiskan hari liburku dengan gadis yang kusukai saat SMA dulu—sepuluh tahun kemudian.

Di pusat perbelanjaan, aku berjalan bersama Minase dan Airi. Kami duduk berdampingan, berurutan aku, Airi, lalu Minase. Lantainya cukup luas sehingga kami tak perlu khawatir bertabrakan dengan siapa pun.

“Jadi, untuk apa kamu datang ke sini, Minase?”

Hanya untuk membeli beberapa barang yang tidak kumiliki setelah pindah. Aku ingin melihat-lihat toko perlengkapan rumah... kamu tahu, seperti yang kita kunjungi waktu SMA dulu untuk membeli hadiah ulang tahun untuk guru?

Ahh.

Perkataannya jadi mengingatkanku pada kenangan masa lalu.

Kalau dipikir-pikir, dulu pernah ada masa di mana teman-teman sekelasku berencana pergi membeli hadiah ulang tahun untuk guru. Kalau tidak salah ingat, itu saat perjalanan pulang dari kegiatan ekstrakurikuler, di saat rasanya canggung untuk pulang sendirian.

Kalau tidak, aku pasti tidak akan ke sana sama sekali.

Menurutmu apa yang bagus?

Pada akhirnya, selalu orang-orang populer yang memutuskan hadiahnya.

Itulah kenapa aku berkeliling toko dengan santai—sampai Minase berbicara seperti itu padaku. Aku masih mengingatnya dengan jelas.

Tapi aku belum menemukan apa pun... Horikoshi-kun, apa kau tahu di mana tempatnya?

Ah—ya, kalau begitu ke arah sini.

Di pusat perbelanjaan ini, toko perlengkapan rumah ada di lantai atas, tapi hanya ada beberapa rute menuju ke atas. Kalau kamu tidak tahu jalannya, mungkin butuh waktu untuk menemukannya.

Aku mulai berjalan di depan, berencana untuk memimpin jalan bagi mereka berdua—

—ketika Airi tiba-tiba menarik lengan bajuku saat kami sampai di eskalator.

Ada apa?

Aku berjongkok, dan dia berbisik di telingaku.

Apa hubunganmu dengan Aya-chan?

...?

Pertanyaan cukup mendadak sekali. Aku mengerutkan kening, dan Airi menatapku dengan pipi yang sedikit memerah dan mata berbinar penuh harap.

A-Apa kamu mantan pacarnya?

...Tentu saja bukan.

Apa yang dibicarakan bocah kecil ini sih?

Aku menatapnya kebingungan, tapi Airi memegangi pipinya dan memekik sendiri, merasa senang karena kesalahpahaman yang tak terduga.

Aku cuma teman sekelas Minase. Sama sekali tidak seperti yang kamu bayangkan.

Tapi, tapi—kalian pergi berbelanja bersama, kan?

Ah, jadi percakapan tadi pasti yang menyebabkan kesalahpahaman ini. Sambil menahan napas, aku menjelaskan dengan tenang.

Dengerin baik-baik ya, Airi. Seluruh murid di kelas pergi berbelanja waktu SMA dulu. Bukan cuma kita berdua.

Benarkah...?”

Ya. Kami bahkan jarang bicara empat mata waktu itu. Kami cuma teman sekelas yang bahkan tidak tahu apa kesukaan masing-masing.

Mmm... membosankan.

Bukan salahku. Dia menggembungkan pipinya karena tidak puas. Tapi, memang begitulah kenyataannya—hubungan antara diriku dan Minase dan cuma teman sekelas.

Kami bukan teman dekat, dan aku tidak tahu banyak tentang selera pribadinya. Satu-satunya yang kuingat hanyalah minuman favoritnya—dan semua yang kutahu tentangnya hanyalah informasi tak langsung.

Dan bahkan saat itu pun, aku hanya ingat karena aku menyukainya saat itu. Minase sendiri mungkin tidak tahu, atau bahkan tidak peduli, dengan seleraku.

Saat itu—

Pendakian eskalator berakhir, dan aku melangkah di depan mereka lagi. Minase segera menyusul dan berjalan di sampingku. Dengan ekspresi tenang seperti biasanya, dia sedikit mencondongkan tubuh dan berbicara dengan suara kecil.

Maaf.

Hah?

Soal Airi. Akhir-akhir ini dia sedang menyukai manga shoujo dan romansa... dia jadi ingin sekali menjadi mak comblang. Jadi... maaf. Jangan salah paham.

Dia pasti sudah mendengar percakapan mereka sebelumnya. Lalu dia melirikku sekilas.

Tapi dia memang membuat satu kesalahan, lho.

Hah?

Kamu mungkin tidak tahu apa yang kusuka... tapi setidaknya aku tahu beberapa hal yang kamu suka.

Saat berbicara demikian, Minase tersenyum lembut. Bulu matanya yang panjang sedikit bergetar, dan matanya yang dingin menatapku dengan sedikit jahil.

Lalu—dia melangkah mendekat, begitu dekat hingga aku bisa merasakan napasnya, dan berbisik,

 

—Karena, sewaktu SMA dulu, aku sering memperhatikanmu.

 

Kalau tidak, aku tidak akan mengenalimu secepat ini setelah sepuluh tahun.

Meninggalkan senyum berani dan percaya diri yang memang khas dirinya, Minase berlari ke arah Airi. Dia tidak mengatakan info lanjutan tentang ucapannya. Meski begitu—itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku gelisah.

…………Haa.

Aku tak kuasa menghela nafas panjang. Aku pernah mendengar di suatu tempat bahwa pria cenderung menyimpan perasaan lama, dan sepertinya itu benar. Dulu sewaktu SMA, perasaanku pada Minase belum sampai pada taraf cinta—itu hanya rasa suka bertepuk sebelah tangan.

Dan sekarang, satu dekade kemudian, perasaan itu seharusnya sudah lama berakhir. Namun, jauh di lubuk hatiku, sepertinya aku masin menyimpan perasaan tersebut.

 

◇◇◇◇

 

“Hei, hei, Aya-chan. Boleh aku beli baju?”

Beberapa menit kemudian, saat kami melewati toko pakaian wanita, Airi tiba-tiba angkat bicara. Suaranya agak ragu, hampir malu-malu. Minase tersenyum lembut dan mengangguk.

Iya, enggak apa-apa. Kita memang membuang barang-barang lama saat pindahan. Tapi…”

“Kalau kamu memedulikanku, jangan khawatir. Lebih mudah menyelesaikan semua belanjaanmu sekaligus.”

Aku menjawab tatapan Minase. Dia mungkin khawatir membuatku menunggu saat mengajakku. Minase ragu-ragu, bibirnya terkatup sejenak, ekspresinya menegang sejenak. Tatapannya penuh penyesalan sekaligus sedikit kesal.

Namun sesaat kemudian, senyumnya yang sempurna kembali.

“Terima kasih, Horikoshi-kun. Tapi… apa yang akan kamu lakukan selagi kami melihat-lihat pakaian?”

“Aku akan menunggu di luar saja.”

Kamu yakin mau menunggu di sepanjang deretan toko ini?”

“…Hah?”

Aku mengerutkan keningku karena tidak memahami maksudnya. Lalu aku mengikuti jari telunjuknya yang terangkat dengan pandanganku—dan membeku.

Alasannya sudah jelas. Tepat di dekat toko pakaian yang ingin dimasuki Airi, ada beberapa toko pakaian dalam. Parahnya lagi, tidak ada pria lain yang lewat.

Bayangan diriku berdiri sendirian di sana terasa… canggung, setidaknya. Dari sudut pandang seorang wanita, seorang pria asing yang berkeliaran akan terasa menyeramkan. Minase yang melihatku ragu-ragu mulai tertawa kecil.

“Kalau kamu tidak keberatan, kenapa tidak ikut masuk bersama kami? Mungkin membosankan sih.”

Kamu yakin?”

Kita kan tidak sedang membeli pakaian dalam, jadi tidak ada salahnya. Ayo, kalau kamu tidak keberatan, ayo.

Seraya memberi isyarat padaku, Minase masuk ke dalam toko bersama Airi. Aku tidak bisa tinggal diam, jadi aku mengikutinya. Toko pakaian itu menyediakan pakaian untuk berbagai usia—bukan hanya anak-anak, tapi juga dewasa.

Airi langsung melihat sesuatu yang disukainya, mengambilnya, dan memegangnya.

Aya-chan, bagaimana kalau yang ini?

Mm, menurutku bagus. Imut banget.

Ya ampun, cuma itu yang kamu bilang.

Karena memang imut sih.

Dia tidak salah—pakaian itu sangat cocok untuk Airi.

Baju model blus yang dipadukan dengan rok biru tua berlipit halus. Jika dikenakan, itu akan memberikan kesan seorang Ojou-sama yang anggun.

Tapi rupanya, persetujuan Minase tidak cukup untuknya, karena Airi menoleh ke arahku dan memiringkan kepalanya. Bagaimana menurutmu, Oji-san?

Eh... menurutku itu lucu.

Muu.

Airi menggembungkan pipinya karena tidak puas. Aku tidak tahu apa lagi yang dia inginkan dariku. Minase tersenyum kecut, berbicara dengan nada menegur lembut kepada Airi.

Airi. Meski rasanya sedikit terlambat untuk membahas ini, tapi mari kita berhenti memanggilnya 'Oji-san'. Aku yakin Horikoshi-kun juga tidak menyukainya.

Eh, benarkah...?

Airi mengerjap cepat, memiringkan kepalanya dengan kebingungan yang nyata.

Padahal ia seorang Oji-san, jadi kenapa ia benci dipanggil Oji-san…?”

“…………”

Itu… kata-kata yang cukup kasar. Cukup membuat hatiku bergetar dan hampir membuatku menangis.

Meski begitu, dia tidak salah. Aku sudah memasuki usia awal 30-an, jadi sebutan itu cocok—tapi dipanggil seperti itu oleh orang lain merupakan hal yang sama sekali berbeda.

Um… kalau begitu, aku harus memanggilmu apa?”

“Panggilan biasa saja. Apa pun boleh, asalkan bukan ‘Oji-san.’

Itulah jawaban jujurku. Apa pun panggilannya, pasti lebih baik daripada Oji-san. Atau begitulah yang kupikirkan.

Airi bergoyang ke kiri dan ke kanan, memegangi kepalanya sambil bersenandung dalam pikiran—lalu, sambil memiringkan kepalanya dengan imut, dia melontarkan pertanyaan ini:

“Um……………… Onii-chan?”

“…………!”

Hei, hentikan itu. Kamu membuatnya terdengar jauh lebih mencurigakan.

Kamu tidak menyukainya...?

Bukannya aku tidak suka, tapi—

Onii-chan, belikan aku baju dong

Sama sekali tidak.

Ini terlalu berat di hatiku. Mana mungkin ada yang mengira kami saudara kandung, mungkin lebih parahnya lagi, orang-orang mungkin mulai curiga.

Baiklah, baiklah, Airi, sudah cukup menggodanya. Panggil saja dia 'Horikoshi-san.'

Okee.

Dia membalas demikian sambil menjulurkan lidahnya seperti anak nakal, Airi sepertinya bercanda sejak tadi. Aku tak bisa menahan diri untuk menghela napas. Aku tak pernah menyangka akan dipermainkan oleh anak SD.

Baiklah, dan sekarang kita sedang membahasnya... bolehkah aku memanggilmu Airi?

Ya! Panggil aku Airi!

Dia mengangguk dengan senyum manis. Senyum itu saja mungkin bisa membuat cowok mana pun di kelasnya jatuh cinta padanya. Dia pasti populer di sekolahnya.

Baiklah kalau begitu, Airi, kalau kamu mau, kita beli yang ini saja? Ukurannya... ya, ini seharusnya pas. Apa ada yang lain?”

“Tidak, aku baik-baik saja! Tapi bagaimana dengan Aya-chan?”

“Eh?”

“Bukankah kamu bilang kamu juga menginginkan baju? Soalnya tetangga—mffmmff—”

Tepat saat Airi ingin mengatakan sesuatu, Minase buru-buru menutup mulutnya dengan tangan. Dengan senyum cerah dan tenang, Minase berjongkok untuk menatap Airi.

“Airi, kita bicarakan itu nanti saja, ya?”

“Tapi—”

“Nanti saja oke.”

“Tapi—”

“Ngomong-ngomong, bukannya kamu mau permen?”

“…Ya! Nanti!”

Itu jelas-jelas penyuapan. Sambil menegakkan tubuh, Minase menepuk-nepuk celananya seolah ingin membersihkan debu. Tidak perlu—dia tidak berlutut di lantai atau semacamnya.

Lalu, dengan ujung telinganya yang sedikit memerah, dia menoleh ke arahku.

“………………Apa?”

“…Bukan apa-apa.”

Di bawah tatapan tajamnya, aku hanya menggelengkan kepala dan tetap diam. Yang artinya—aku hanya bisa membayangkan kenapa Minase menginginkan pakaian, menyimpulkannya dari penggunaan kata tetangga oleh Airi.

 

◇◇◇◇

 

“Maaf akhirnya membuatmu membawakan barang-barang kami.”

Beberapa jam kemudian—

Setelah kami selesai berbelanja di mal, kami pun pulang. Matahari sudah mulai terbenam, cahaya jingganya mewarnai langit dan kota. Ketika aku menatap lurus ke depan, beberapa mobil sesekali melintas di jalan utama di samping kami.

Airi berjalan beberapa langkah di depan dengan penuh energi, sementara aku dan Minase mengikutinya dari belakang seraya memperhatikannya. Tanganku penuh dengan tas-tas besar—bukan hanya kebutuhan sehari-hari dan pakaian, tetapi juga bahan makanan segar. Mendengar kata-kata Minase, aku menggelengkan kepala perlahan.

Jangan khawatir. Aku juga membeli beberapa barang ini.

“Tapi hanya sedikit. Sebagian besar milik kita.

Dia menyipitkan mata, pura-pura mencela. Tapi itu jelas hanya untuk pamer. Sesaat kemudian, Minase mengalihkan pandangannya ke depan sambil tersenyum tipis.

...Tetap saja, aku merasa sangat bersyukur. Dengan kedatanganmu, aku akhirnya membeli barang-barang yang sudah kubuang.

Senang mendengarnya kalau begitu.

Tapi aku pasti akan membalas budi padamu.

Membalas budi?

Sepertinya aku belum melakukan sesuatu yang pantas dibesar-besarkan. Meski begitu, nadanya menunjukkan tekad yang kuat. Jelas sekali kalau dia tidak berniat membiarkan masalah ini berlalu begitu saja.

Ah, Aya-chan! Kita sudah sampai!

Ya, ya. Hati-hati, Airi. Karena kamu gampang terjatuh.

Ketika gedung apartemen kami mulai terlihat, Airi langsung berlari sambil tersenyum. Minase memasang ekspresi agak jengkel dan berlari kecil mengejarnya, mungkin karena khawatir.

Aku menyipitkan mata, memperhatikan pemandangan itu. Dari sudut pandang orang luar, aku penasaran apa yang akan dipikirkan orang-orang tentang hubungan kami.

Seorang ibu dan anak perempuan yang cantik dengan seorang pria yang membawakan tas mereka? Seorang pria yang ikutan? Mungkin seorang paman dari keluarga itu?

Atau mungkin... sebuah keluarga.

Kata tersebut terlintas di benakku, dan aku tak kuasa menahan senyum kecut. Tidak, kami tidak terlihat seperti keluarga.

Dan bagaimana denganku? Jauh di dalam lubuk hatiku, apa aku ingin menjadi bagian dari keluarga Minase?

Jika demikian, rasanya terlalu lancang. Minase hanyalah mantan teman sekelas, dan sekarang hanya Tetangga A. Hari ini hanyalah hari yang kebetulan kami habiskan bersama sebagai tetangga.

Hari-hari seperti ini mungkin tak akan terulang lagi.

“Baiklah, terima kasih untuk hari ini. Sampai jumpa.”

“Sampai jumpa, Horikoshi-san!”

Di lorong lantai dua, di depan pintu apartemen mereka—

Minase tersenyum dengan senyuman sempurna seperti biasanya, dan Airi melambaikan tangannya dengan penuh semangat.

Aku balas melambai pada Airi, mengukir pikiran itu di benakku.

—Atau begitulah yang kupikirkan.

 

Sekitar satu jam setelah sampai di rumah—

“…Hm?”

Interkomku tiba-tiba berdering.

Kira-kira siapa ya?

Ketika aku membuka pintu depan, Minase sudah berdiri di sana. Dia sudah berganti pakaian kasual— dengan kaus putih dan celana jin pucat, hampir sama dengan pakaian yang pernah kulihat sebelumnya.

Namun entah mengapa, tatapannya kelihatan gelisah, bibirnya bergerak seolah menggumamkan sesuatu. Ia terus menggosok-gosok lengannya, menunjukkan ada yang tidak beres.

Melihatnya ragu-ragu, aku mengerutkan kening.

“…Ada apa, Minase?”

“Umm… Aku merasa tidak enak meminta sesuatu seperti ini padamu, tapi…”

“…Apa terjadi sesuatu?”

Bayangan Minase datang untuk meminta sesuatu padaku hampir tak terbayangkan.

Apa itu?

Ketika aku bertanya padanya, dia mengangkat wajahnya yang menawan, ekspresinya menunjukkan dia telah menguatkan diri.

Sembari memeluk tubuhnya dengan lengan, gerakan itu menekan tonjolan lembut di balik kaus tipisnya menjadi lebih jelas.

Akhirnya, dengan ekspresi penuh tekad, dia berbicara.

 

“Yah… sepertinya bak mandi di tempatku rusak.…………Jadi, kalau kamu tidak keberatan, bolehkah aku menggunakan bak mandimu?”

 

 

 

 

Sebelumnya  |   Daftar isi  |  Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama