
Chapter 4
“Horikoshi-san,
permisi!”
Airi
menyambutku dengan riang di pintu depan seraya
membungkuk cepat. Pandangan matanya
berbinar-binar penuh rasa penasaran.
Dia
tampak sangat terpesona oleh interior rumahku, memandang sekeliling dengan
kagum seolah-olah semuanya baru baginya. Bukan berarti ada yang menarik di
sini.
Perabotan
di rumahku hampir seluruhnya berwarna hitam dan putih.
Barang-barangnya
pun tidak banyak. Aku bukan tipe orang yang punya banyak hobi, dan manga atau
buku apa pun yang kuinginkan bisa dibeli dalam bentuk e-book akhir-akhir ini.
Tidak perlu menyimpan barang fisik—lebih banyak barang berarti lebih repot saat
membersihkan.
Namun,
entah kenapa, Airi tampak tertarik dan dengan bersemangat bertanya,
“Ehm, Horikoshi-san, boleh aku
melihat-lihat?”
“Airi, kamu bisa melakukannya nanti
saja. Ayo mandi dulu—besok kita harus berangkat pagi.”
Minase lah yang menyela perkataannya sembari
melangkah masuk setelahnya. Dia
membawa tas jinjing kecil yang tersampir di bahunya, penuh sesak hingga
menggembung. Aku bisa melihat kantong kosmetik dan handuk menyembul
keluar—mungkin cukup untuk dirinya dan Airi.
Mendengar
kata-kata Minase, Airi menatapnya dengan mata lebar dan polos.
“Kalau
begitu, Horikoshi-san, boleh aku melihat-lihat setelah mandi?”
“Tentu,
kapan pun boleh. Meskipun aku ragu ada yang menarik.”
“Baiklah,
kamu masuk dulu, Airi. Aku akan
menyusulmu nanti. Seharusnya sama saja seperti di rumah, jadi kamu akan baik-baik saja, kan?”
“Yap!”
Dengan
anggukan bersemangat, Airi menuju kamar mandi—mungkin ingin cepat selesai agar
bisa menjelajah. Apartemen
di sini memiliki denah lantai yang sama, jadi dia
mungkin tahu persis di mana letaknya.
Setelah
Airi menghilang, ekspresi Minase melembut menjadi sedikit rasa bersalah.
“…Maaf ya, Horikoshi-kun. Aku lagi-lagi merepotkanmu.”
“Tidak
masalah. Aku hanya mengizinkanmu menggunakan kamar mandi.”
“Yah…
kurasa itu benar.”
“Apa boleh buat kalau kamar mandimu rusak,
iya ‘kan?”
Itulah
alasan dia datang ke tempatku untuk menanyakan apa dia boleh menggunakan kamar
mandiku.
Dia baru
saja menemukan masalahnya tadi malam. Dia langsung menelepon pemilik apartemen, tapi waktunya sudah terlalu malam untuk
memanggil tukang reparasi, jadi perbaikannya harus menunggu sampai besok.
Itu
berarti, setidaknya untuk malam ini, mereka butuh tempat lain untuk mandi—
Tapi
tidak ada pemandian umum di dekat sini. Tentu saja, mereka bisa naik
kereta, tetapi pada jam segini, Minase jelas tidak ingin mengajak Airi keluar. Aku tidak bertanya langsung, tapi
begitulah
tebakanku.
“Terima
kasih. Rasanya sangat membantu kalau kamu bilang begitu.”
Saat aku
meyakinkannya, bibir Minase melembut membentuk senyum lembut—senyum pertama
yang kulihat sejak dia datang untuk bertanya. Namun sesaat kemudian,
ekspresinya yang tenang kembali.
Lalu,
sambil mengedipkan bulu matanya yang panjang, dia sedikit mencondongkan tubuh
dan, entah kenapa, bertanya dengan bisikan ragu,
“Ngomong-ngomong…
um, kamu beneran tidak masalah dengan ini?
Maksudku, rasanya aneh
bertanya setelah aku sudah memaksakan, tapi—kamu
tidak akan mendapat masalah nanti, kan?”
“Masalah…
dari siapa?”
“Kamu tahu… pacarmu, mungkin?”
Dia
menatapku seolah-olah mengukur reaksiku. Pertanyaannya membuatku lengah
sehingga aku terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab.
“Tidak…
aku tidak punya pacar, jadi tidak masalah.
Keluargaku juga jarang berkunjung.”
“Hmm,
benarkah? Rasanya mengejutkan.”
“Lagipula,
kalau aku punya pacar, mana mungkin aku akan
merengek soal 'kesepian'.”
“Oh,
iya.”
Dia pasti
ingat apa yang pernah kukeluhkan waktu mabuk, karena dia terkekeh pelan.
“Yah,
syukurlah kalau begitu. Aku
jadi tidak perlu khawatir kalau
kamu tiba-tiba dituduh selingkuh. —Aku senang kamu nggak punya
pacar.”
Minase
tersenyum dengan nada sedikit menggoda.
Untuk
sesaat, aku hampir salah paham, dan membeku—tapi sungguh, aku harus berhenti
terbawa suasana. Aku sudah berumur 28
tahun, astaga.
“Tapi
aku pasti membalas budi ini.”
“Membalas
budi, ya?”
“Horikoshi-kun,
apa ada sesuatu yang mau aku
lakukan untukmu?”
“Aku
cuma mengizinkanmu mandi, kamu tidak
perlu repot-repot...”
“Aku
bahkan bisa memberi sedikit bonus sekarang, tahu?”
“Kamu mengatakan hal yang sama
seperti yang dikatakan Airi.”
Sampai
sekarang, aku belum melihat banyak kesamaan antara Minase dan Airi—tapi saat
itu, aku yakin. Yap,
mereka berdua memang keluarga.
"Baiklah,
kalau begitu aku pinjam bak mandinya, ya.”
Dia
melirik ke arah Airi yang sudah pergi masuk duluan,
mungkin masih mengkhawatirkannya. Tapi
kemudian dia berbalik ke arahku dan menepuk bahuku pelan dengan jarinya.
“Tetap
saja, pikirkan apa yang kamu
ingin aku lakukan. Aku tidak suka berutang pada siapa pun. Ini bukan hanya mengenai dirimu—aku
hanya tidak suka berutang pada siapa pun.”
“...Baiklah.”
Sekilas aku berpikir dia mungkin
bercanda, tapi tatapannya sangat serius. Aku tidak tahu apa yang
membuatnya merasa begitu ngotot
tentang hal itu, tapi jika memang begitu pendiriannya, aku hanya bisa
menghormatinya.
“Kalau
begitu, maaf sekali lagi, tapi aku akan pergi dan menggunakan bak mandimu.”
Setelah
itu, Minase menghilang menuju kamar mandi. Begitu dia tak terlihat, aku
mendesah pelan yang takkan disadarinya.
Didatangi
gadis yang kusukai saat SMA dulu dan meminta pinjam kamar mandi—
Sejujurnya,
itu tidak baik untuk jantungku.
Tetap
saja, bahkan sekarang—
“…Bagaimana
perasaanku tentang ini?”
Kata-kata
itu terucap pelan. Aku
bukanlah orang yang baik kepada sembarang
orang, dan aku tak pernah menganggap diriku mudah diremehkan.
Jadi… apa
aku mengharapkan imbalan atas bantuannya?
Bahkan
sambil memasang ekspresi pasrah, seolah tak mungkin terjadi apa-apa, apa masih
ada bagian dalam diriku yang diam-diam menginginkan sesuatu?
Jika
begitu, itu akan membuatku munafik.
“…Ini
bukan sesuatu yang seharusnya kupikirkan di malam hari.”
Kepalaku
terasa penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab itu. Sembari menggaruk-garuk rambutku, aku menuju kulkas,
berencana untuk minum dan melarikan diri sejenak dari kenyataan.
◇◇◇
(Sudut
Pandang Minase Ayana)
“...Kira-kira bagaimana perasaannya, ya?”
“Aya-chan,
ada apa? Kamu baik-baik saja?”
“Eh?
Ah—ya, aku baik-baik saja. Maaf, aku agak melamun.”
Di kamar
mandi Horikoshi-kun. Sambil
mencuci rambut Airi di bawah pancuran, aku segera memasang senyum.
Aku
dengan hati-hati membilas busa dari rambutnya. Mungkin karena dia masih sangat
muda, kulitnya lembut dan kenyal, rambutnya sehalus sutra.
Di cermin
kamar mandi, aku bisa melihatnya duduk di kursi mandi, matanya terpejam rapat. Layaknya boneka namun dengan kepolosan
kekanak-kanakan—tatapan itu persis seperti kakakku
saat dia masih kecil.
“Oke, sudah
selesai. Pastikan kamu mengeringkan badan dengan benar ya, Airi.”
“Terima
kasih, Aya-chan!”
Sembari memancarkan
senyum bak malaikat bersamaan dengan ucapan terima kasihnya, Airi keluar dari
kamar mandi. Aku
melambaikan tanganku sambil tersenyum, dan begitu aku sendirian—
“....Serius, bagaimana perasaanku?”
Aku
bertanya lagi pada diriku sendiri.
Tentang
apa? Tentu saja tentang Horikoshi-kun.
Harus
kuakui, butuh keberanian untuk membuat keputusan ini. Ya, ada banyak alasan mengapa hal
itu karena kondisi terpaksa—
Besok
kami harus bangun pagi, dan aku tidak ingin mengajak Airi keluar larut malam. Tapi meskipun begitu—memangnya seseorang biasanya
akan meminta izin mandi pada teman sekelas lama yang baru saja kamu kenal kembali?
“...Yah, itu karena aku percaya pada
Horikoshi-kun.”
Saat aku
menyabuni tubuhku dengan sabun, kata-kata itu terucap.
Pada
akhirnya, aku merasa hanya itu saja. Aku
percaya pada Horikoshi-kun. Itulah
kesan yang kumiliki tentangnya.
—Kamu baik-baik saja, Minase?
—Ada yang
bisa kubantu?
Kenangan
itu tiba-tiba kembali. Sore hari. Tangga tua berdebu di sekolah.
Dulu, ketika dunia yang kuyakini takkan
pernah berubah telah hancur berkeping-keping, meninggalkanku tanpa semangat
untuk hidup. Namun, aku tetap mengenakan ‘kedok’
tebal dan pergi ke sekolah seolah-olah tak ada yang salah.
Mungkin
hanya kebetulan, tapi hanya Horikoshi-kun yang menyadari ada yang janggal dan
berbicara kepadaku dengan ramah.
Sejak
saat itu, pandangan mataku
mulai mengikutinya.
Selama
SMA, kami hampir tak pernah bicara. Kami hanya berpapasan di kelas, tak pernah
benar-benar berinteraksi.
Meski
begitu, selama jam pelajaran,
aku mendapati diriku memandangi punggungnya dari tempat dudukku di belakangnya.
Setiap kali mata kami bertemu, aku dengan santai mengalihkan pandangan ke arah
yang sama sekali berbeda. Teman-temanku bilang itu begitu alami sehingga dia
takkan menyadarinya—teknik yang telah kusempurnakan.
Dan
sekarang, setelah sepuluh tahun, aku bertemu dengannya lagi. Itulah sebabnya aku tak bisa
menahan diri untuk bertanya pada diriku
sendiri—
Bagaimana
perasaanku padanya?
Dulu...
dan sekarang.
Aku tak
tahu. Satu-satunya
hal yang kutahu adalah—
“...Kamu benar-benar tak berubah, masih
sama lembutnya.”
Suaraku
terdengar sedikit jengkel, tetapi entah kenapa bergetar karena sedikit bahagia.
Setelah
keluar dari kamar mandi, aku berdiri di ruang ganti, mengeringkan tubuh dengan
handuk yang kubawa. Cepat
tapi hati-hati. Aku meminjam tempatnya, jadi aku tak bisa berlama-lama. Saat
aku mulai mengenakan kembali pakaianku—
“...Ah,
pakaian dalam.”
Aku menyadari kalau aku tidak
membawa daleman baru.
“…………Haa.”
Itu cukup
untuk merusak suasana hatiku. Sebenarnya
tidak masalah—aku bisa pulang dan mengambilnya, atau memakai baju yang kupakai
sebelumnya.
Tetap
saja, aku benci kekhilafan kecilku ini… meskipun aku selalu seperti ini.
“…Kurasa
mau bagaimana lagi.”
Bergumam
dalam hati, aku mulai mencari pakaian dalam
yang kupakai sebelumnya—
“…………Hah?”
Kata-kata
itu terucap karena tak percaya. Aku
membawa tas jinjing ke rumah Horikoshi-kun hari ini. Aku memasukkan semua baju yang
kupakai ke dalam tas itu… tapi aku tidak bisa menemukan
tasku.
Tidak—kemungkinan
besar Airi yang membawanya untukku, mencoba membantu. Buktinya, dia
meninggalkan handuk mandi dan baju gantiku untuk dipakai setelah mandi.
Yang
berarti, singkatnya—celana dalamku tidak ada di sini.
“…………………………”
Aku
berdiri telanjang di ruang ganti, membeku dengan ekspresi serius di wajahku.
◇◇◇
(Sudut
Pandang Horikoshi Kyouya)
“Um, Horikoshi-san,
bolehkah aku menggunakan stopkontak ini?”
“Hm?”
Aku
sedang minum di ruang tamu ketika aku melihat Airi berdiri di sampingku.
Dia jelas
baru saja selesai mandi—mengenakan pakaian santai merah muda pucat yang manis,
pipinya sedikit memerah. Rambutnya
masih lembap, berkilau di bawah lampu neon. Di tangannya, sebuah pengering
rambut.
Ah—aku
mengerti, dia ingin mengeringkan rambutnya.
“Ya,
pakai saja yang kamu mau…
tapi apa kamu bisa meraihnya?”
“Aku akan
berusaha sebaik mungkin!”
Dengan
jawaban riang, Airi berjalan menuju rak baja tempat microwave dan peralatan
lainnya berada.
Seperti
di kebanyakan rumah, stopkontak awalnya diletakkan rendah di lantai. Tapi di
sini, aku menggunakan kabel ekstensi untuk menaikkannya agar peralatannya lebih
tinggi. Itulah kenapa aku penasaran apakah dia bisa meraihnya.
“Nggh...
nghh...!”
Benar
saja, dia harus berjinjit,
meraih soket listrik. Jaraknya
hanya sekitar satu kepalan tangan, tapi itu masih belum cukup. Meskipun dia bisa saja datang ke
sini, Minase dengan keras kepala menolak untuk beranjak dari depan pintu ruang
tamu.
Apa
dia... sedang berhati-hati tentang sesuatu?
Saat aku
mengerutkan kening padanya, Minase mengalihkan pandangannya dengan gelisah dan
berkata,
“Sa-Saat
ini, aku hanya merasa nyaman di sini."
“...Hah.”
“Yang
lebih penting... A-Airi, di mana tasku? Aku meninggalkan sesuatu di dalamnya.”
“Sesuatu?
Kamu melupakan apa,
Aya-chan?”
“Eh,
um... ya-yah...”
Minase
menurunkan pandangannya, seolah-olah dia merasa bersalah tentang sesuatu,
memutar-mutar ujung rambutnya di jarinya. Pipinya bahkan lebih merah dari
sebelumnya.
Ada apa
dengannya?
Dia
bertingkah aneh selama ini.
“Kalau
itu sesuatu yang kamu butuhkan segera, aku bisa pinjamkan kalau aku punya.”
“Ti-tidak,
aku menghargai pemikiranmu, tapi... kamu mungkin tidak memilikianya. Maksudku... ada juga
masalah ukuran.”
“Begitu.
Tapi, kenapa tidak setidaknya katakan saja apa itu? Ada kemungkinan aku akan—”
“Kalau
kamu kebetulan punya yang pas di badanku, jujur saja
aku akan merinding.”
...Apa sebenarnya
yang dia lupakan sih?
“...Jadi,
A-Airi. Mana tasku? Aku belum melihatnya di mana pun.”
“Aku
membawanya pulang! Tapi aku malah membawa pengering rambutku! Aya-chan,
pengering rambutmu juga ada di sini, tahu?”
Aku tidak
menyadarinya sebelumnya, tapi di tempat yang Airi tunjuk, memang ada tas berisi
pengering rambut di dalamnya.
Kapan dia
membawanya?
Sebagai
siswa kelas tiga SD, hal itu
tidak terlalu mengejutkan—Airi pasti menyadari ia lupa membawa pengering
rambutnya, pulang untuk mengambilnya, lalu kembali. Mungkin untuk menunggu
Minase.
Namun—
“………………………………………………Y-Yang benar saja.”
Ekspresi
Minase langsung lesu,
seolah-olah nyawa telah terkuras dari wajahnya. Rasanya hampir seperti dia benar-benar putus asa.
Yah,
tidak juga.
Tentu,
ada banyak hal yang tidak menyenangkan dalam hidup, tetapi sesuatu yang
benar-benar membuat putus asa? Itu jarang terjadi—terutama setelah mandi.
“Ada apa,
Aya-chan? Sedang tidak
enak badan…?”
“Ti-tidak,
Airi, ini bukan salahmu! Seharusnya aku mengeluarkannya dari tasku tadi. Aku
hanya melupakannya, itu saja!”
“Kalau kamu sangat membutuhkannya, aku
masih bisa memeriksa apakah—”
“Kalau kamu beneran [unya, aku akan memastikan Airi
tidak akan pernah mendekatimu lagi.”
…Serius,
apa sih yang sebenarnya dia lupakan?
“A-ayo
pulang sekarang, Airi. Besok kamu harus berangkat pagi,
kan?”
Minase
mendesak Airi dengan wajah gelisah. Dia tampak khawatir dengan…
tatapanku. Setiap kali aku menatapnya, dia menggeliat tak nyaman.
Ya, aku
tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tapi
Airi, yang masih memegang buku tahunan, meliriknya.
“Aya-chan,
bisakah kita lihat-lihat
ini dulu?”
“Itu…
buku tahunan SMA-mu?”
“Yap!
Kamu di sini waktu SMA dulu! Kamu kelihatan imut!”
Minase
menatapku dengan mata menyipit seolah-olah menuduh,
Kenapa kau membiarkannya melihat itu?.
“Umm, Airi, mungkin kita bisa melihatnya lain kali? Lagipula… buku
tahunan agak memalukan. Oh! Dan Horikoshi-kun mungkin tidak mau diganggu, kan?”
“Tidak,
aku sama sekali tidak keberatan—”
“Kamu mendingan diam.”
Bukankah
itu agak tidak masuk akal?
Tapi
tatapannya seolah berteriak, ‘Berhenti
mengatakan hal-hal yang tidak perlu’.
Aku mulai mengerti maksudnya... meskipun bagian terpentingnya masih misteri.
“Minase,
kenapa kamu tidak mengambil sesuatu yang kamu lupakan dulu? Aku
akan memastikan untuk mengawasi Airi untukmu.”
“Dan
sementara itu, kamu takkan
mencoba mengatakan hal yang aneh-aneh padanya, ‘kan?”
“Hal yang
aneh-aneh?”
Benar—dia
sudah memperingatkanku sebelumnya untuk tidak membicarakan masa SMA kami. Masalahnya, aku tidak tahu persis
apa yang dianggap ‘aneh’ baginya. Aku merasa bingung, tidak
yakin bagaimana harus menjawab.
Minase
menyipitkan matanya dan
menatapku dengan tatapan dingin.
“...Aku
tidak percaya padamu. Kenapa kamu kelihatan bimbang
begitu?”
“Bukannya
aku sedang memutuskan untuk memberitahunya atau tidak, hanya saja—”
“Airi.
Sudah cukup, oke? Setelah melihatnya, kita
akan pulang.”
Mengabaikan
kata-kataku, Minase menyimpulkan begitu saja. Sepertinya dia sudah memutuskan
untuk melihat buku tahunan itu sekali lalu pergi.
Aku
menyebutnya sudah memutuskan karena entah kenapa ekspresinya dipenuhi tekad
yang aneh. Ketika dia bergumam, Yah, seharusnya tidak apa-apa...,
seolah-olah untuk memastikan sesuatu pada dirinya sendiri, dia memancarkan aura
seseorang yang telah mempersiapkan diri untuk tugas di depan.
Sejak
saat itu, perilaku Minase terasa aneh dan tidak wajar. Dia mendekat dengan hati-hati dan
duduk di seberang Airi.
Entah
kenapa, dia terus menekan satu tangannya ke kerah bajunya yang terbuka lebar.
Ketika mata kami bertemu, dia mencengkeramnya lebih erat lagi. Telinganya kelihatan memerah
sampai ke ujungnya, dan dia menatapku dengan tatapan kesal.
Ap-AApa
yang sebenarnya terjadi?
Tapi
tepat setelah itu, Airi mulai angkat
bicara, menarik perhatian kami berdua, entah kami suka atau tidak.
“Hei,
hei. Jangan-jangan ini...
Aya-chan?”
“Eh...
y-ya, benar. Wah, aku kelihatan
sangat muda.”
Wajah
Minase melembut saat dia
melihat buku tahunan. Dari
sudut pandangku, dia tidak
terlalu berbeda dari saat SMA dulu, tapi... yah, mungkin ada perubahan yang
hanya disadarinya.
“Um,
Horikoshi-san.”
Ketika
Airi memanggilku, aku menoleh ke arahnya. Dia
membuka halaman yang menampilkan foto-foto dari festival olahraga.
Di sana,
dengan jelas, terpampang Minase—juara tim lari dan lari estafet festival olahraga—yang
diabadikan tepat saat dia
menembus garis finis.
“Horikoshi-san,
Aya-chan itu anak SMA yang seperti
apa dulu?”
“Coba
kuingat-ingat...”
Di bawah
tatapan Airi yang berbinar, aku mulai mengingat masa-masa SMA kami—
Lalu.
Tiba-tiba
aku merasakan tarikan di lengan bajuku. Saat aku melirik ke samping,
Minase menatapku dengan tajam
seolah-olah berkata, Kamu tahu harus berkata apa, kan?
“...Dulu Minase sangat populer.”
Setelah
ragu sejenak, aku memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya. Tidak ada perasaan pribadi, hanya
fakta yang lugas dan objektif. Dengan begitu, Minase tidak punya alasan untuk
mengeluh.
Tapi dia
menarik lengan bajuku lagi. Sepertinya,
dia tidak puas. Mungkin karena alasan yang sama seperti sebelumnya—pipinya
masih merah muda, alisnya berkerut cemberut.
Lalu dia
mencondongkan tubuh dan berbisik di telingaku.
“Ay-Ayolah, Horikoshi-kun. Jangan
bercanda, katakan yang sebenarnya.”
...Jadi
itu maksudnya.
Kupikir
aku mengatakan fakta, tapi kurasa dia ingin aku lebih spesifik. Baiklah. Aku menggali lebih dalam
ingatanku tentang SMA dan mulai berbicara lagi.
“Minase tuh luar biasa. Dia jagoan di tim
lari, dan nilainya hampir selalu bagus.”
Tarik,
tarik.
“Dia baik
kepada semua orang, dan tidak ada yang membencinya. Bukan hanya cantik—tapi dia keren dan bergaya, jadi dia
sangat populer di kalangan perempuan juga, bukan hanya laki-laki.”
Tarik,
tarik, tarik.
“Aku
bahkan mendengar rumor bahwa beberapa siswi junior membuat klub penggemar untuknya
di media sosial—”
Tarik,
tarik, tarik, tarik!
“Di
festival budaya, bahkan ada orang-orang dari sekolah lain yang datang hanya
untuk melihatnya—”
Tarik,
tarik, tarik, tarik, tarik—hei! Lengan bajuku mau robek!
Apa yang salah dengan ucapanku? Itu semua hanya fakta!
Di
sampingku, Minase mencengkeram lengan bajuku sekuat tenaga. Wajahnya lebih
merah dari yang pernah kulihat, dan dengan tatapan kesal, dia bergumam,
“…Jadi
ini balasanmu, ya…?”
Bagaimana
bisa malah dianggap seperti itu? Dan apa yang dia lakukan sampai
membuatku ingin balas dendam?
Aku punya
banyak hal yang ingin kukatakan, tetapi Minase hanya memelototiku dengan mata
berkaca-kaca, seolah memprotes sesuatu. Apa memang separah itu?
“Jadi
Aya-chan memang populer!”
Airi
mendesah kagum.
Reaksinya
seperti seseorang yang mendengar cerita masa lalu yang menarik tentang idola
favoritnya. Mungkin, baginya, itu berada dalam kategori yang sama.
Tapi—
Airi
belum selesai.
“…Jadi
itu artinya, Horikoshi-san, kamu
juga menyukai Aya-chan?”
“……………………Hah?”
“Hah?
Tapi Aya-chan populer di antara semua orang, ‘kan?
Apa berbeda untukmu, Horikoshi-san?”
Airi
memiringkan kepalanya dengan bingung. Tidak,
dia tidak salah, tapi... apa dia benar-benar harus menjatuhkan bom itu di sini?
Aku
melirik Minase di sampingku, berharap ada bala bantuan. Tapi dia hanya balas menatapku
dengan tenang.
“………………………………………
(tatap)”
Hei, bilang sesuatu dong.
Aku tak
kuasa menahan diri untuk meneriakkan itu di
dalam hati, tapi Minase jelas tak berniat membantuku. Dia hanya mempertahankan tatapan
penuh arti itu, mengamati dalam diam. Dan
begitu saja, jalan keluarku terputus total.
Ap-Apa
yang harus kulakukan? Apa jawaban yang tepat?
Sementara
itu, pandangan mata Airi yang berbinar dan
tatapan sinis Minase yang sering kulihat terus menerus tertuju padaku,
membuatku tak bisa keluar.
“Aku…”
Di bawah
tekanan tatapan mereka, aku dengan enggan membuka mulut.
Saat aku
membuka mulut, tekanan itu semakin kuat—tapi aku tak bisa membiarkannya
memengaruhiku.
Aku
memutuskan untuk jujur tentang
apa yang kurasakan.
“…Aku
juga mengagumi Minase.” Airi langsung mengeluarkan dengusan kecil, “hyaaa~”.
Oh,
ayolah. Kamu
sengaja, kan? Bahkan Minase bilang Airi terobsesi dengan romansa. Sayangnya, aku tak berniat
membiarkan ini berubah menjadi adegan yang ia harapkan.
“Minase
bekerja lebih keras daripada siapa pun, baik di olahraga maupun di sekolah.
Tentu saja aku menghormatinya.”
Dan aku tidak berbohong. Aku benar-benar mengaguminya saat
itu.
Dia
mengerahkan seluruh tenaganya dalam segala hal, peduli menang dan kalah, meraih
hasil, dan dikelilingi teman-teman—dia bersinar begitu terang sampai hampir
sakit melihatnya.
Aku hanya
memperhatikan dari sudut kelas, tapi menurutku itu sesuatu yang pantas untuk
diirikan.
Tetap
saja, wajah Airi merengut, jelas kecewa dengan jawabanku.
Tapi itu
tak masalah.
Lagipula,
aku tak akan mengungkapkan perasaanku saat itu di sini.
Adapun
orang yang dimaksud—
“………………………………………………Hmm……
begitu ya.”
Minase
memainkan ujung rambutnya, bibirnya bergerak samar.
Hei,
katakan sesuatu yang lebih dari itu.
Itu hanya
membuatku malu.
Meskipun
begitu, aku merasa tidak ragu lagi memuji orang sejak menjadi pekerja dewasa. Dulu waktu SMA atau kuliah, rasa
malu akan datang lebih dulu.
Tapi
sebagai orang dewasa, aku punya lebih banyak kesempatan untuk menyanjung atasan
atau klien. “Seperti yang diharapkan dari Kepala Seksi ○○!” “Menyadari itu sungguh
mengesankan!”
…Meskipun,
sejujurnya, itu hanya sanjungan kosong.
Namun,
ketika sedikit kebenaran dicampurkan, itu mendapatkan kredibilitas.
Kurasa
aku pernah membaca itu di beberapa buku psikologi—persis seperti itu. Jika ada
kebenaran dalam sanjungan, orang lain akan mulai melihat semuanya sebagai
sesuatu yang tulus. Maka kamu
akan mendapatkan mereka. Bahkan sanjungan kosong pun menjadi senjata ampuh.
Namun
setelah cukup sering melakukannya, kamu
mulai melupakan apa yang kamu katakan itu perasaanmu yang
sebenarnya atau hanya sanjungan kosong belaka.
Itu
pedang bermata dua—kamu
melupakan perasaanmu sendiri.
Walaupun bukan
itu saja alasannya, tapi—
Apa yang
baru saja kukatakan benar-benar seperti yang kurasakan?
Tak ada yang
lebih rapuh daripada kata-kata. Sayangnya,
itulah pelajaran yang kupetik selama delapan tahun menjadi pegawai kantoran
biasa-biasa saja.
◇◇◇
Pada akhirnya,
acara melihat buku tahunan berlanjut selama tiga puluh menit lagi.
Minase
dan Airi ternyata jauh lebih menikmatinya daripada yang kuduga. “Horikoshi-san, kamu hampir tidak
ada di foto-foto ini!” “Dia benar. Apa yang kamu lakukan
selama karyawisata?” Aku
sedang di pusat perbelanjaan lokal sendirian, oke? Maaf tidak punya teman.
Lagipula, bukankah kalian berdua harus bangun pagi besok pagi?
Namun,
ketika kami sampai di halaman selanjutnya—
Airi
tiba-tiba bersorak kegirangan.
“Ah!
Apa ini festival kembang api di dekat sini?”
“Ya,
betul. Oh ya, kami pergi ke sana sebagai acara sekolah, kan?”
“Sekolah
kami tidak mengadakan acara itu lagi.”
...Huh.
Minase
memang tahu beberapa detail aneh. Ketika
aku melihat kembali halaman yang ditunjuk Airi, halaman itu penuh dengan
foto-foto siswa SMA yang sedang menikmati festival kembang api.
SMA
tempatku dulu mengadakan acara yang agak tidak biasa—festival kembang api.
Acara itu
khusus untuk siswa kelas tiga, di mana kami diundang untuk menikmati kembang
api di festival di dekat sini. Sebagai gantinya, kami ikut bersih-bersih
keesokan harinya. Semacam pertukaran komunitas, kurasa.
Karena
aku tinggal dekat dengan SMA lamaku sekarang, itu berarti festival kembang api
ini sama dengan yang diadakan di dekat rumahku.
Lalu—
Airi
memiringkan kepalanya dan bertanya,
“Apa ini
festival kembang api yang pernah dibicarakan Ibu dan
Ayah sebelumnya, Aya-chan?”
“Benar.
Dulu aku sering pergi dengan kakakku.”
“Yang katanya tali sandal Ibu putus dan harus jalan tanpa alas kaki?”
“Ya.
Sejujurnya, dia memang
selalu sembrono seperti itu.”
Airi dan
Minase mulai mengobrol riang tentang kenangan tentang ‘Ibu Airi’. Dari luar, sepertinya tidak ada
keraguan untuk menyinggung topik itu. Kupikir mereka mungkin
berhati-hati satu sama lain tentang hal itu, tetapi mereka berbicara dengan
wajar.
…Mereka
sudah bersama cukup lama.
Belum lama
sejak Minase pindah ke sebelah, tapi aku tidak tahu banyak tentang kehidupan
mereka sebelumnya. Dari yang Minase ceritakan, ibu Airi dinyatakan menghilang tahun
lalu. Artinya, mereka sudah tinggal bersama selama kurang lebih satu tahun.
Setahun.
Aku tidak
bisa bilang itu lama atau singkat untuk bisa dekat. Tapi itu pasti bukan jalan yang
mudah.
“Hei,
Aya-chan.”
Airi
menutup buku tahunan dan menatap Minase.
"Ayo
kita pergi ke festival kembang api ini bersama. Aku ingin melihat tempat yang
kamu dan Ibu bersenang-senang. Apa itu... tidak boleh?”
“Tentu
saja boleh, tapi... aku penasaran kapan acaranya diadakan.”
“Sepertinya
Sabtu ini,” kataku
setelah cepat-cepat memeriksa ponselku dan menunjukkan layarnya kepada Minase.
Alisnya
berkerut meminta maaf.
“Maaf,
Airi. Aku ada rapat Sabtu ini...”
“Rapat?
Sabtu? Agak repot.”
“Jaraknya
jauh, jadi aku tidak perlu datang langsung... tapi itu pas waktu kembang api
dimulai.”
“…Kalau
begitu, mungkin akan sulit untuk pergi ke festival.”
Meskipun
terpencil, tempatnya masih agak jauh dari sini. Saat dia selesai dan bergegas,
kembang api mungkin sudah selesai. Dan rapat tidak pernah lebih pendek—malah
cenderung berlangsung lama.
Tetap
saja… Airi pasti akan kecewa.
Dalam
pikiranku, Airi adalah tipe yang energik dan blak-blakan. Aku berharap dia akan
mengatakan sesuatu, mungkin tidak mengamuk, tapi setidaknya protes.
Tapi
sebaliknya—
Dia ragu
sejenak, lalu tersenyum bak malaikat.
“Ti-tidak apa-apa, aku mengerti. Aya-chan sibuk.…Maaf,
Airi yang egois. Kerjakan yang terbaik, ya,
Aya-chan?”
Dia mengepalkan
tinjunya di dada sebagai isyarat penyemangat. Dia tampak sama sekali tidak
terganggu karena melewatkan festival.
Itulah sebabnya tiba-tiba dadaku terasa sesak.
“…………”
Di
sebelahku, Minase menarik napas tajam. Dan
sesaat kemudian, aku menangkapnya—
Bibirnya
membentuk garis tipis, dan dia
tersenyum dengan nada kesepian.
“Maaf,
Airi. Tapi tahun depan, aku janji akan meluangkan waktu.”
“Terima
kasih, Aya-chan!”
Airi
memeluk Minase erat-erat, dan Minase mengelus kepalanya dengan lembut.
Namun
ketika Airi tak bisa melihat wajahnya, ekspresi kesepian yang samar itu
kembali.
Saat itu,
kata-katanya kembali terngiang di kepalaku—
──Karena
aku tak bisa membuat Airi cemas.
──Gadis
itu sungguh kuat.
Dan
bahkan lebih jauh lagi—
──Maaf,
Kyouya. Ayo kita pergi tahun depan.
“Cih—”
Tanpa
pikir panjang, aku langsung berdiri. Baik
Minase maupun Airi menoleh ke arahku, mataku terbelalak kaget. Namun pikiranku sudah bulat.
Aku tak
tahu kenapa aku memutuskan ini. Hanya
saja, aku harus melakukannya. Kalau ada yang bisa kulakukan, aku akan
melakukannya. Sambil
menatap mereka berdua, aku berkata—
“Airi.
Kalau kamu mau... bagaimana kalau pergi ke festival kembang api bersamaku?”