Koukou jidai ni Sukidatta Vol 1 Chapter 4 Bahasa Indonesia

 

Chapter 4

 

“Horikoshi-san, permisi!”

Airi menyambutku dengan riang di pintu depan seraya membungkuk cepat. Pandangan matanya berbinar-binar penuh rasa penasaran.

Dia tampak sangat terpesona oleh interior rumahku, memandang sekeliling dengan kagum seolah-olah semuanya baru baginya. Bukan berarti ada yang menarik di sini.

Perabotan di rumahku hampir seluruhnya berwarna hitam dan putih.

Barang-barangnya pun tidak banyak. Aku bukan tipe orang yang punya banyak hobi, dan manga atau buku apa pun yang kuinginkan bisa dibeli dalam bentuk e-book akhir-akhir ini. Tidak perlu menyimpan barang fisik—lebih banyak barang berarti lebih repot saat membersihkan.

Namun, entah kenapa, Airi tampak tertarik dan dengan bersemangat bertanya,

“Ehm, Horikoshi-san, boleh aku melihat-lihat?”

“Airi, kamu bisa melakukannya nanti saja. Ayo mandi dulu—besok kita harus berangkat pagi.”

Minase lah yang menyela perkataannya sembari melangkah masuk setelahnya. Dia membawa tas jinjing kecil yang tersampir di bahunya, penuh sesak hingga menggembung. Aku bisa melihat kantong kosmetik dan handuk menyembul keluar—mungkin cukup untuk dirinya dan Airi.

Mendengar kata-kata Minase, Airi menatapnya dengan mata lebar dan polos.

“Kalau begitu, Horikoshi-san, boleh aku melihat-lihat setelah mandi?”

“Tentu, kapan pun boleh. Meskipun aku ragu ada yang menarik.”

“Baiklah, kamu masuk dulu, Airi. Aku akan menyusulmu nanti. Seharusnya sama saja seperti di rumah, jadi kamu akan baik-baik saja, kan?”

“Yap!”

Dengan anggukan bersemangat, Airi menuju kamar mandi—mungkin ingin cepat selesai agar bisa menjelajah. Apartemen di sini memiliki denah lantai yang sama, jadi dia mungkin tahu persis di mana letaknya.

Setelah Airi menghilang, ekspresi Minase melembut menjadi sedikit rasa bersalah.

“…Maaf ya, Horikoshi-kun. Aku lagi-lagi merepotkanmu.”

“Tidak masalah. Aku hanya mengizinkanmu menggunakan kamar mandi.”

“Yah… kurasa itu benar.”

Apa boleh buat kalau kamar mandimu rusak, iya ‘kan?”

Itulah alasan dia datang ke tempatku untuk menanyakan apa dia boleh menggunakan kamar mandiku.

Dia baru saja menemukan masalahnya tadi malam. Dia langsung menelepon pemilik apartemen, tapi waktunya sudah terlalu malam untuk memanggil tukang reparasi, jadi perbaikannya harus menunggu sampai besok.

Itu berarti, setidaknya untuk malam ini, mereka butuh tempat lain untuk mandi—

Tapi tidak ada pemandian umum di dekat sini. Tentu saja, mereka bisa naik kereta, tetapi pada jam segini, Minase jelas tidak ingin mengajak Airi keluar. Aku tidak bertanya langsung, tapi begitulah tebakanku.

“Terima kasih. Rasanya sangat membantu kalau kamu bilang begitu.”

Saat aku meyakinkannya, bibir Minase melembut membentuk senyum lembut—senyum pertama yang kulihat sejak dia datang untuk bertanya. Namun sesaat kemudian, ekspresinya yang tenang kembali.

Lalu, sambil mengedipkan bulu matanya yang panjang, dia sedikit mencondongkan tubuh dan, entah kenapa, bertanya dengan bisikan ragu,

“Ngomong-ngomong… um, kamu beneran tidak masalah dengan ini? Maksudku, rasanya aneh bertanya setelah aku sudah memaksakan, tapi—kamu tidak akan mendapat masalah nanti, kan?”

“Masalah… dari siapa?”

“Kamu tahu… pacarmu, mungkin?”

Dia menatapku seolah-olah mengukur reaksiku. Pertanyaannya membuatku lengah sehingga aku terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab.

“Tidak… aku tidak punya pacar, jadi tidak masalah. Keluargaku juga jarang berkunjung.”

“Hmm, benarkah? Rasanya mengejutkan.”

Lagipula, kalau aku punya pacar, mana mungkin aku akan merengek soal 'kesepian'.

Oh, iya.

Dia pasti ingat apa yang pernah kukeluhkan waktu mabuk, karena dia terkekeh pelan.

Yah, syukurlah kalau begitu. Aku jadi tidak perlu khawatir kalau kamu tiba-tiba dituduh selingkuh. —Aku senang kamu nggak punya pacar.

Minase tersenyum dengan nada sedikit menggoda.

Untuk sesaat, aku hampir salah paham, dan membeku—tapi sungguh, aku harus berhenti terbawa suasana. Aku sudah berumur 28 tahun, astaga.

Tapi aku pasti membalas budi ini.

“Membalas budi, ya?

Horikoshi-kun, apa ada sesuatu yang mau aku lakukan untukmu?

Aku cuma mengizinkanmu mandi, kamu tidak perlu repot-repot...

Aku bahkan bisa memberi sedikit bonus sekarang, tahu?

“Kamu mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan Airi.”

Sampai sekarang, aku belum melihat banyak kesamaan antara Minase dan Airi—tapi saat itu, aku yakin. Yap, mereka berdua memang keluarga.

"Baiklah, kalau begitu aku pinjam bak mandinya, ya.

Dia melirik ke arah Airi yang sudah pergi masuk duluan, mungkin masih mengkhawatirkannya. Tapi kemudian dia berbalik ke arahku dan menepuk bahuku pelan dengan jarinya.

Tetap saja, pikirkan apa yang kamu ingin aku lakukan. Aku tidak suka berutang pada siapa pun. Ini bukan hanya mengenai dirimu—aku hanya tidak suka berutang pada siapa pun.

...Baiklah.

Sekilas aku berpikir dia mungkin bercanda, tapi tatapannya sangat serius. Aku tidak tahu apa yang membuatnya merasa begitu ngotot tentang hal itu, tapi jika memang begitu pendiriannya, aku hanya bisa menghormatinya.

Kalau begitu, maaf sekali lagi, tapi aku akan pergi dan menggunakan bak mandimu.

Setelah itu, Minase menghilang menuju kamar mandi. Begitu dia tak terlihat, aku mendesah pelan yang takkan disadarinya.

Didatangi gadis yang kusukai saat SMA dulu dan meminta pinjam kamar mandi—

Sejujurnya, itu tidak baik untuk jantungku.

Tetap saja, bahkan sekarang—

“…Bagaimana perasaanku tentang ini?”

Kata-kata itu terucap pelan. Aku bukanlah orang yang baik kepada sembarang orang, dan aku tak pernah menganggap diriku mudah diremehkan.

Jadi… apa aku mengharapkan imbalan atas bantuannya?

Bahkan sambil memasang ekspresi pasrah, seolah tak mungkin terjadi apa-apa, apa masih ada bagian dalam diriku yang diam-diam menginginkan sesuatu?

Jika begitu, itu akan membuatku munafik.

“…Ini bukan sesuatu yang seharusnya kupikirkan di malam hari.”

Kepalaku terasa penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab itu. Sembari menggaruk-garuk rambutku, aku menuju kulkas, berencana untuk minum dan melarikan diri sejenak dari kenyataan.

 

◇◇◇

(Sudut Pandang Minase Ayana)

 

...Kira-kira bagaimana perasaannya, ya?”

“Aya-chan, ada apa? Kamu baik-baik saja?”

“Eh? Ah—ya, aku baik-baik saja. Maaf, aku agak melamun.”

Di kamar mandi Horikoshi-kun. Sambil mencuci rambut Airi di bawah pancuran, aku segera memasang senyum.

Aku dengan hati-hati membilas busa dari rambutnya. Mungkin karena dia masih sangat muda, kulitnya lembut dan kenyal, rambutnya sehalus sutra.

Di cermin kamar mandi, aku bisa melihatnya duduk di kursi mandi, matanya terpejam rapat. Layaknya boneka namun dengan kepolosan kekanak-kanakan—tatapan itu persis seperti kakakku saat dia masih kecil.

“Oke, sudah selesai. Pastikan kamu mengeringkan badan dengan benar ya, Airi.”

“Terima kasih, Aya-chan!”

Sembari memancarkan senyum bak malaikat bersamaan dengan ucapan terima kasihnya, Airi keluar dari kamar mandi. Aku melambaikan tanganku sambil tersenyum, dan begitu aku sendirian—

....Serius, bagaimana perasaanku?”

Aku bertanya lagi pada diriku sendiri.

Tentang apa? Tentu saja tentang Horikoshi-kun.

Harus kuakui, butuh keberanian untuk membuat keputusan ini. Ya, ada banyak alasan mengapa hal itu karena kondisi terpaksa

Besok kami harus bangun pagi, dan aku tidak ingin mengajak Airi keluar larut malam. Tapi meskipun begitu—memangnya seseorang biasanya akan meminta izin mandi pada teman sekelas lama yang baru saja kamu kenal kembali?

...Yah, itu karena aku percaya pada Horikoshi-kun.”

Saat aku menyabuni tubuhku dengan sabun, kata-kata itu terucap.

Pada akhirnya, aku merasa hanya itu saja. Aku percaya pada Horikoshi-kun. Itulah kesan yang kumiliki tentangnya.

Kamu baik-baik saja, Minase?

Ada yang bisa kubantu?

Kenangan itu tiba-tiba kembali. Sore hari. Tangga tua berdebu di sekolah.

Dulu, ketika dunia yang kuyakini takkan pernah berubah telah hancur berkeping-keping, meninggalkanku tanpa semangat untuk hidup. Namun, aku tetap mengenakan ‘kedok’ tebal dan pergi ke sekolah seolah-olah tak ada yang salah.

Mungkin hanya kebetulan, tapi hanya Horikoshi-kun yang menyadari ada yang janggal dan berbicara kepadaku dengan ramah.

Sejak saat itu, pandangan mataku mulai mengikutinya.

Selama SMA, kami hampir tak pernah bicara. Kami hanya berpapasan di kelas, tak pernah benar-benar berinteraksi.

Meski begitu, selama jam pelajaran, aku mendapati diriku memandangi punggungnya dari tempat dudukku di belakangnya. Setiap kali mata kami bertemu, aku dengan santai mengalihkan pandangan ke arah yang sama sekali berbeda. Teman-temanku bilang itu begitu alami sehingga dia takkan menyadarinya—teknik yang telah kusempurnakan.

Dan sekarang, setelah sepuluh tahun, aku bertemu dengannya lagi. Itulah sebabnya aku tak bisa menahan diri untuk bertanya pada diriku sendiri—

Bagaimana perasaanku padanya?

Dulu... dan sekarang.

Aku tak tahu. Satu-satunya hal yang kutahu adalah—

“...Kamu benar-benar tak berubah, masih sama lembutnya.”

Suaraku terdengar sedikit jengkel, tetapi entah kenapa bergetar karena sedikit bahagia.

Setelah keluar dari kamar mandi, aku berdiri di ruang ganti, mengeringkan tubuh dengan handuk yang kubawa. Cepat tapi hati-hati. Aku meminjam tempatnya, jadi aku tak bisa berlama-lama. Saat aku mulai mengenakan kembali pakaianku—

“...Ah, pakaian dalam.”

Aku menyadari kalau aku tidak membawa daleman baru.

“…………Haa.”

Itu cukup untuk merusak suasana hatiku. Sebenarnya tidak masalah—aku bisa pulang dan mengambilnya, atau memakai baju yang kupakai sebelumnya.

Tetap saja, aku benci kekhilafan kecilku ini… meskipun aku selalu seperti ini.

“…Kurasa mau bagaimana lagi.”

Bergumam dalam hati, aku mulai mencari pakaian dalam yang kupakai sebelumnya—

“…………Hah?”

Kata-kata itu terucap karena tak percaya. Aku membawa tas jinjing ke rumah Horikoshi-kun hari ini. Aku memasukkan semua baju yang kupakai ke dalam tas itu… tapi aku tidak bisa menemukan tasku.

Tidak—kemungkinan besar Airi yang membawanya untukku, mencoba membantu. Buktinya, dia meninggalkan handuk mandi dan baju gantiku untuk dipakai setelah mandi.

Yang berarti, singkatnya—celana dalamku tidak ada di sini.

“…………………………”

Aku berdiri telanjang di ruang ganti, membeku dengan ekspresi serius di wajahku.

 

◇◇◇

(Sudut Pandang Horikoshi Kyouya)

 

“Um, Horikoshi-san, bolehkah aku menggunakan stopkontak ini?”

“Hm?”

Aku sedang minum di ruang tamu ketika aku melihat Airi berdiri di sampingku.

Dia jelas baru saja selesai mandi—mengenakan pakaian santai merah muda pucat yang manis, pipinya sedikit memerah. Rambutnya masih lembap, berkilau di bawah lampu neon. Di tangannya, sebuah pengering rambut.

Ah—aku mengerti, dia ingin mengeringkan rambutnya.

“Ya, pakai saja yang kamu mau… tapi apa kamu bisa meraihnya?”

“Aku akan berusaha sebaik mungkin!”

Dengan jawaban riang, Airi berjalan menuju rak baja tempat microwave dan peralatan lainnya berada.

Seperti di kebanyakan rumah, stopkontak awalnya diletakkan rendah di lantai. Tapi di sini, aku menggunakan kabel ekstensi untuk menaikkannya agar peralatannya lebih tinggi. Itulah kenapa aku penasaran apakah dia bisa meraihnya.

Nggh... nghh...!

Benar saja, dia harus berjinjit, meraih soket listrik. Jaraknya hanya sekitar satu kepalan tangan, tapi itu masih belum cukup. Meskipun dia bisa saja datang ke sini, Minase dengan keras kepala menolak untuk beranjak dari depan pintu ruang tamu.

Apa dia... sedang berhati-hati tentang sesuatu?

Saat aku mengerutkan kening padanya, Minase mengalihkan pandangannya dengan gelisah dan berkata,

Sa-Saat ini, aku hanya merasa nyaman di sini."

...Hah.

Yang lebih penting... A-Airi, di mana tasku? Aku meninggalkan sesuatu di dalamnya.

Sesuatu? Kamu melupakan apa, Aya-chan?

Eh, um... ya-yah...

Minase menurunkan pandangannya, seolah-olah dia merasa bersalah tentang sesuatu, memutar-mutar ujung rambutnya di jarinya. Pipinya bahkan lebih merah dari sebelumnya.

Ada apa dengannya?

Dia bertingkah aneh selama ini.

Kalau itu sesuatu yang kamu butuhkan segera, aku bisa pinjamkan kalau aku punya.

Ti-tidak, aku menghargai pemikiranmu, tapi... kamu mungkin tidak memilikianya. Maksudku... ada juga masalah ukuran.

Begitu. Tapi, kenapa tidak setidaknya katakan saja apa itu? Ada kemungkinan aku akan—

Kalau kamu kebetulan punya yang pas di badanku, jujur ​​saja aku akan merinding.

...Apa sebenarnya yang dia lupakan sih?

...Jadi, A-Airi. Mana tasku? Aku belum melihatnya di mana pun.

Aku membawanya pulang! Tapi aku malah membawa pengering rambutku! Aya-chan, pengering rambutmu juga ada di sini, tahu?

Aku tidak menyadarinya sebelumnya, tapi di tempat yang Airi tunjuk, memang ada tas berisi pengering rambut di dalamnya.

Kapan dia membawanya?

Sebagai siswa kelas tiga SD, hal itu tidak terlalu mengejutkan—Airi pasti menyadari ia lupa membawa pengering rambutnya, pulang untuk mengambilnya, lalu kembali. Mungkin untuk menunggu Minase.

Namun—

“………………………………………………Y-Yang benar saja.”

Ekspresi Minase langsung lesu, seolah-olah nyawa telah terkuras dari wajahnya. Rasanya hampir seperti dia benar-benar putus asa.

Yah, tidak juga.

Tentu, ada banyak hal yang tidak menyenangkan dalam hidup, tetapi sesuatu yang benar-benar membuat putus asa? Itu jarang terjadi—terutama setelah mandi.

“Ada apa, Aya-chan? Sedang tidak enak badan…?”

“Ti-tidak, Airi, ini bukan salahmu! Seharusnya aku mengeluarkannya dari tasku tadi. Aku hanya melupakannya, itu saja!”

“Kalau kamu sangat membutuhkannya, aku masih bisa memeriksa apakah—”

“Kalau kamu beneran [unya, aku akan memastikan Airi tidak akan pernah mendekatimu lagi.”

…Serius, apa sih yang sebenarnya dia lupakan?

“A-ayo pulang sekarang, Airi. Besok kamu harus berangkat pagi, kan?”

Minase mendesak Airi dengan wajah gelisah. Dia tampak khawatir dengan… tatapanku. Setiap kali aku menatapnya, dia menggeliat tak nyaman.

Ya, aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tapi Airi, yang masih memegang buku tahunan, meliriknya.

“Aya-chan, bisakah kita lihat-lihat ini dulu?”

“Itu… buku tahunan SMA-mu?”

“Yap! Kamu di sini waktu SMA dulu! Kamu kelihatan imut!”

Minase menatapku dengan mata menyipit seolah-olah menuduh, Kenapa kau membiarkannya melihat itu?.

Umm, Airi, mungkin kita bisa melihatnya lain kali? Lagipula… buku tahunan agak memalukan. Oh! Dan Horikoshi-kun mungkin tidak mau diganggu, kan?”

Tidak, aku sama sekali tidak keberatan—

Kamu mendingan diam.

Bukankah itu agak tidak masuk akal?

Tapi tatapannya seolah berteriak, Berhenti mengatakan hal-hal yang tidak perlu. Aku mulai mengerti maksudnya... meskipun bagian terpentingnya masih misteri.

Minase, kenapa kamu tidak mengambil sesuatu yang kamu lupakan dulu? Aku akan memastikan untuk mengawasi Airi untukmu.

Dan sementara itu, kamu takkan mencoba mengatakan hal yang aneh-aneh padanya, ‘kan?

“Hal yang aneh-aneh?

Benar—dia sudah memperingatkanku sebelumnya untuk tidak membicarakan masa SMA kami. Masalahnya, aku tidak tahu persis apa yang dianggap aneh baginya. Aku merasa bingung, tidak yakin bagaimana harus menjawab.

Minase menyipitkan matanya dan menatapku dengan tatapan dingin.

...Aku tidak percaya padamu. Kenapa kamu kelihatan bimbang begitu?

Bukannya aku sedang memutuskan untuk memberitahunya atau tidak, hanya saja—

Airi. Sudah cukup, oke? Setelah melihatnya, kita akan pulang.

Mengabaikan kata-kataku, Minase menyimpulkan begitu saja. Sepertinya dia sudah memutuskan untuk melihat buku tahunan itu sekali lalu pergi.

Aku menyebutnya sudah memutuskan karena entah kenapa ekspresinya dipenuhi tekad yang aneh. Ketika dia bergumam, Yah, seharusnya tidak apa-apa..., seolah-olah untuk memastikan sesuatu pada dirinya sendiri, dia memancarkan aura seseorang yang telah mempersiapkan diri untuk tugas di depan.

Sejak saat itu, perilaku Minase terasa aneh dan tidak wajar. Dia mendekat dengan hati-hati dan duduk di seberang Airi.

Entah kenapa, dia terus menekan satu tangannya ke kerah bajunya yang terbuka lebar. Ketika mata kami bertemu, dia mencengkeramnya lebih erat lagi. Telinganya kelihatan memerah sampai ke ujungnya, dan dia menatapku dengan tatapan kesal.

Ap-AApa yang sebenarnya terjadi?

Tapi tepat setelah itu, Airi mulai angkat bicara, menarik perhatian kami berdua, entah kami suka atau tidak.

“Hei, hei. Jangan-jangan ini... Aya-chan?”

“Eh... y-ya, benar. Wah, aku kelihatan sangat muda.”

Wajah Minase melembut saat dia melihat buku tahunan. Dari sudut pandangku, dia tidak terlalu berbeda dari saat SMA dulu, tapi... yah, mungkin ada perubahan yang hanya disadarinya.

“Um, Horikoshi-san.”

Ketika Airi memanggilku, aku menoleh ke arahnya. Dia membuka halaman yang menampilkan foto-foto dari festival olahraga.

Di sana, dengan jelas, terpampang Minase—juara tim lari dan lari estafet festival olahraga—yang diabadikan tepat saat dia menembus garis finis.

“Horikoshi-san, Aya-chan itu anak SMA yang seperti apa dulu?”

Coba kuingat-ingat...

Di bawah tatapan Airi yang berbinar, aku mulai mengingat masa-masa SMA kami—

Lalu.

Tiba-tiba aku merasakan tarikan di lengan bajuku. Saat aku melirik ke samping, Minase menatapku dengan tajam seolah-olah berkata, Kamu tahu harus berkata apa, kan?

...Dulu Minase sangat populer.

Setelah ragu sejenak, aku memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya. Tidak ada perasaan pribadi, hanya fakta yang lugas dan objektif. Dengan begitu, Minase tidak punya alasan untuk mengeluh.

Tapi dia menarik lengan bajuku lagi. Sepertinya, dia tidak puas. Mungkin karena alasan yang sama seperti sebelumnya—pipinya masih merah muda, alisnya berkerut cemberut.

Lalu dia mencondongkan tubuh dan berbisik di telingaku.

Ay-Ayolah, Horikoshi-kun. Jangan bercanda, katakan yang sebenarnya.

...Jadi itu maksudnya.

Kupikir aku mengatakan fakta, tapi kurasa dia ingin aku lebih spesifik. Baiklah. Aku menggali lebih dalam ingatanku tentang SMA dan mulai berbicara lagi.

“Minase tuh luar biasa. Dia jagoan di tim lari, dan nilainya hampir selalu bagus.”

Tarik, tarik.

“Dia baik kepada semua orang, dan tidak ada yang membencinya. Bukan hanya cantik—tapi dia keren dan bergaya, jadi dia sangat populer di kalangan perempuan juga, bukan hanya laki-laki.”

Tarik, tarik, tarik.

“Aku bahkan mendengar rumor bahwa beberapa siswi junior membuat klub penggemar untuknya di media sosial—”

Tarik, tarik, tarik, tarik!

“Di festival budaya, bahkan ada orang-orang dari sekolah lain yang datang hanya untuk melihatnya—”

Tarik, tarik, tarik, tarik, tarik—hei! Lengan bajuku mau robek! Apa yang salah dengan ucapanku? Itu semua hanya fakta!

Di sampingku, Minase mencengkeram lengan bajuku sekuat tenaga. Wajahnya lebih merah dari yang pernah kulihat, dan dengan tatapan kesal, dia bergumam,

“…Jadi ini balasanmu, ya…?”

Bagaimana bisa malah dianggap seperti itu? Dan apa yang dia lakukan sampai membuatku ingin balas dendam?

Aku punya banyak hal yang ingin kukatakan, tetapi Minase hanya memelototiku dengan mata berkaca-kaca, seolah memprotes sesuatu. Apa memang separah itu?

“Jadi Aya-chan memang populer!”

Airi mendesah kagum.

Reaksinya seperti seseorang yang mendengar cerita masa lalu yang menarik tentang idola favoritnya. Mungkin, baginya, itu berada dalam kategori yang sama.

Tapi—

Airi belum selesai.

“…Jadi itu artinya, Horikoshi-san, kamu juga menyukai Aya-chan?”

“……………………Hah?”

“Hah? Tapi Aya-chan populer di antara semua orang, kan? Apa berbeda untukmu, Horikoshi-san?”

Airi memiringkan kepalanya dengan bingung. Tidak, dia tidak salah, tapi... apa dia benar-benar harus menjatuhkan bom itu di sini?

Aku melirik Minase di sampingku, berharap ada bala bantuan. Tapi dia hanya balas menatapku dengan tenang.

“……………………………………… (tatap)

Hei, bilang sesuatu dong.

Aku tak kuasa menahan diri untuk meneriakkan itu di dalam hati, tapi Minase jelas tak berniat membantuku. Dia hanya mempertahankan tatapan penuh arti itu, mengamati dalam diam. Dan begitu saja, jalan keluarku terputus total.

Ap-Apa yang harus kulakukan? Apa jawaban yang tepat?

Sementara itu, pandangan mata Airi yang berbinar dan tatapan sinis Minase yang sering kulihat terus menerus tertuju padaku, membuatku tak bisa keluar.

“Aku…”

Di bawah tekanan tatapan mereka, aku dengan enggan membuka mulut.

Saat aku membuka mulut, tekanan itu semakin kuat—tapi aku tak bisa membiarkannya memengaruhiku.

Aku memutuskan untuk jujur ​​tentang apa yang kurasakan.

“…Aku juga mengagumi Minase.” Airi langsung mengeluarkan dengusan kecil, hyaaa~.

Oh, ayolah. Kamu sengaja, kan? Bahkan Minase bilang Airi terobsesi dengan romansa. Sayangnya, aku tak berniat membiarkan ini berubah menjadi adegan yang ia harapkan.

Minase bekerja lebih keras daripada siapa pun, baik di olahraga maupun di sekolah. Tentu saja aku menghormatinya.

Dan aku tidak berbohong. Aku benar-benar mengaguminya saat itu.

Dia mengerahkan seluruh tenaganya dalam segala hal, peduli menang dan kalah, meraih hasil, dan dikelilingi teman-teman—dia bersinar begitu terang sampai hampir sakit melihatnya.

Aku hanya memperhatikan dari sudut kelas, tapi menurutku itu sesuatu yang pantas untuk diirikan.

Tetap saja, wajah Airi merengut, jelas kecewa dengan jawabanku.

Tapi itu tak masalah.

Lagipula, aku tak akan mengungkapkan perasaanku saat itu di sini.

Adapun orang yang dimaksud—

“………………………………………………Hmm…… begitu ya.”

Minase memainkan ujung rambutnya, bibirnya bergerak samar.

Hei, katakan sesuatu yang lebih dari itu.

Itu hanya membuatku malu.

Meskipun begitu, aku merasa tidak ragu lagi memuji orang sejak menjadi pekerja dewasa. Dulu waktu SMA atau kuliah, rasa malu akan datang lebih dulu.

Tapi sebagai orang dewasa, aku punya lebih banyak kesempatan untuk menyanjung atasan atau klien. “Seperti yang diharapkan dari Kepala Seksi ○○! Menyadari itu sungguh mengesankan! Meskipun, sejujurnya, itu hanya sanjungan kosong.

Namun, ketika sedikit kebenaran dicampurkan, itu mendapatkan kredibilitas.

Kurasa aku pernah membaca itu di beberapa buku psikologi—persis seperti itu. Jika ada kebenaran dalam sanjungan, orang lain akan mulai melihat semuanya sebagai sesuatu yang tulus. Maka kamu akan mendapatkan mereka. Bahkan sanjungan kosong pun menjadi senjata ampuh.

Namun setelah cukup sering melakukannya, kamu mulai melupakan apa yang kamu katakan itu perasaanmu yang sebenarnya atau hanya sanjungan kosong belaka.

Itu pedang bermata dua—kamu melupakan perasaanmu sendiri.

Walaupun bukan itu saja alasannya, tapi—

Apa yang baru saja kukatakan benar-benar seperti yang kurasakan?

Tak ada yang lebih rapuh daripada kata-kata. Sayangnya, itulah pelajaran yang kupetik selama delapan tahun menjadi pegawai kantoran biasa-biasa saja.

 

◇◇◇

 

Pada akhirnya, acara melihat buku tahunan berlanjut selama tiga puluh menit lagi.

Minase dan Airi ternyata jauh lebih menikmatinya daripada yang kuduga. Horikoshi-san, kamu hampir tidak ada di foto-foto ini! Dia benar. Apa yang kamu lakukan selama karyawisata? Aku sedang di pusat perbelanjaan lokal sendirian, oke? Maaf tidak punya teman. Lagipula, bukankah kalian berdua harus bangun pagi besok pagi?

Namun, ketika kami sampai di halaman selanjutnya—

Airi tiba-tiba bersorak kegirangan.

Ah! Apa ini festival kembang api di dekat sini?

Ya, betul. Oh ya, kami pergi ke sana sebagai acara sekolah, kan?

Sekolah kami tidak mengadakan acara itu lagi.

...Huh.

Minase memang tahu beberapa detail aneh. Ketika aku melihat kembali halaman yang ditunjuk Airi, halaman itu penuh dengan foto-foto siswa SMA yang sedang menikmati festival kembang api.

SMA tempatku dulu mengadakan acara yang agak tidak biasa—festival kembang api.

Acara itu khusus untuk siswa kelas tiga, di mana kami diundang untuk menikmati kembang api di festival di dekat sini. Sebagai gantinya, kami ikut bersih-bersih keesokan harinya. Semacam pertukaran komunitas, kurasa.

Karena aku tinggal dekat dengan SMA lamaku sekarang, itu berarti festival kembang api ini sama dengan yang diadakan di dekat rumahku.

Lalu—

Airi memiringkan kepalanya dan bertanya,

“Apa ini festival kembang api yang pernah dibicarakan Ibu dan Ayah sebelumnya, Aya-chan?”

“Benar. Dulu aku sering pergi dengan kakakku.”

“Yang katanya tali sandal Ibu putus dan harus jalan tanpa alas kaki?”

“Ya. Sejujurnya, dia memang selalu sembrono seperti itu.”

Airi dan Minase mulai mengobrol riang tentang kenangan tentang Ibu Airi. Dari luar, sepertinya tidak ada keraguan untuk menyinggung topik itu. Kupikir mereka mungkin berhati-hati satu sama lain tentang hal itu, tetapi mereka berbicara dengan wajar.

…Mereka sudah bersama cukup lama.

Belum lama sejak Minase pindah ke sebelah, tapi aku tidak tahu banyak tentang kehidupan mereka sebelumnya. Dari yang Minase ceritakan, ibu Airi dinyatakan menghilang tahun lalu. Artinya, mereka sudah tinggal bersama selama kurang lebih satu tahun.

Setahun.

Aku tidak bisa bilang itu lama atau singkat untuk bisa dekat. Tapi itu pasti bukan jalan yang mudah.

Hei, Aya-chan.

Airi menutup buku tahunan dan menatap Minase.

"Ayo kita pergi ke festival kembang api ini bersama. Aku ingin melihat tempat yang kamu dan Ibu bersenang-senang. Apa itu... tidak boleh?

Tentu saja boleh, tapi... aku penasaran kapan acaranya diadakan.

Sepertinya Sabtu ini, kataku setelah cepat-cepat memeriksa ponselku dan menunjukkan layarnya kepada Minase.

Alisnya berkerut meminta maaf.

Maaf, Airi. Aku ada rapat Sabtu ini...

Rapat? Sabtu? Agak repot.

Jaraknya jauh, jadi aku tidak perlu datang langsung... tapi itu pas waktu kembang api dimulai.

“…Kalau begitu, mungkin akan sulit untuk pergi ke festival.”

Meskipun terpencil, tempatnya masih agak jauh dari sini. Saat dia selesai dan bergegas, kembang api mungkin sudah selesai. Dan rapat tidak pernah lebih pendek—malah cenderung berlangsung lama.

Tetap saja… Airi pasti akan kecewa.

Dalam pikiranku, Airi adalah tipe yang energik dan blak-blakan. Aku berharap dia akan mengatakan sesuatu, mungkin tidak mengamuk, tapi setidaknya protes.

Tapi sebaliknya—

Dia ragu sejenak, lalu tersenyum bak malaikat.

“Ti-tidak apa-apa, aku mengerti. Aya-chan sibuk.…Maaf, Airi yang egois. Kerjakan yang terbaik, ya, Aya-chan?”

Dia mengepalkan tinjunya di dada sebagai isyarat penyemangat. Dia tampak sama sekali tidak terganggu karena melewatkan festival.

Itulah sebabnya tiba-tiba dadaku terasa sesak.

“…………”

Di sebelahku, Minase menarik napas tajam. Dan sesaat kemudian, aku menangkapnya—

Bibirnya membentuk garis tipis, dan dia tersenyum dengan nada kesepian.

Maaf, Airi. Tapi tahun depan, aku janji akan meluangkan waktu.

Terima kasih, Aya-chan!

Airi memeluk Minase erat-erat, dan Minase mengelus kepalanya dengan lembut.

Namun ketika Airi tak bisa melihat wajahnya, ekspresi kesepian yang samar itu kembali.

Saat itu, kata-katanya kembali terngiang di kepalaku—

──Karena aku tak bisa membuat Airi cemas.

──Gadis itu sungguh kuat.

Dan bahkan lebih jauh lagi—

──Maaf, Kyouya. Ayo kita pergi tahun depan.

Cih—

Tanpa pikir panjang, aku langsung berdiri. Baik Minase maupun Airi menoleh ke arahku, mataku terbelalak kaget. Namun pikiranku sudah bulat.

Aku tak tahu kenapa aku memutuskan ini. Hanya saja, aku harus melakukannya. Kalau ada yang bisa kulakukan, aku akan melakukannya. Sambil menatap mereka berdua, aku berkata—

“Airi. Kalau kamu mau... bagaimana kalau pergi ke festival kembang api bersamaku?”

 

 

Sebelumnya  |   Daftar isi  |  Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama