Chapter 6
Aku ingin
bercerita sedikit tentang masa lalu.
Tahun
lalu, kakak perempuanku menghilang. Kejadiannya
saat perjalanan bisnis ke luar negeri. Dari semua kejadian, dia menghilang
bersama suaminya. Mengenal kepribadian kakakku,
mustahil dia meninggalkan Airi. Jelas-jelas dia
telah terjebak dalam kejadian tertentu.
Aku ingin
menangis. Seolah aku takkan pernah pulih.
Karena...
ini kedua kalinya.
Tapi aku
tak boleh hancur.
Karena
aku mempunyai Airi.
Putri
tunggal kakak perempuanku. Bidadari kecil yang manis dan
menggemaskan.
Mana mungkin
aku meninggalkannya untuk kerabat kami yang lain, yang terus-menerus menghina kakak perempuanku yang hilang. Aku memang
berniat untuk mengasuhnya sejak awal, tetapi sekarang lebih dari sebelumnya,
aku bertekad untuk membesarkannya sendiri.
Separuhnya
karena rasa tanggung jawab. Dan separuhnya lagi—hanya karena aku senang bersama
Airi.
Selama
aku bersamanya, aku sanggup menanggung rasa sakit kehilangan kakak perempuanku. Itulah sebabnya, aku mengadopsi Airi dan kami mulai tinggal
bersama.
Untuk
pertama kalinya aku tinggal bersama orang lain, kurasa semuanya berjalan cukup
baik.
Tapi
belum sebulan berlalu ketika aku menyadari sesuatu.
Airi
menahan diri di dekatku.
Pada awalnya,
Airi adalah gadis yang ceria dan keras kepala.
Dia penuh
energi, membuat semua orang terpikat dengannya, dan selalu mendapatkan
keinginannya.
Tapi dia
tidak membuat keributan—dia punya kemampuan aneh untuk membuat orang tersenyum. Airi yang itu... mulai menahan
diri sejak tahun lalu.
“Tidak, bukan apa-apa. Kamu juga sibuk,
Aya-chan.”
“Kita
main di rumah saja hari ini, ya? Kamu besok kerja, kan?”
“Airi? Airi tidak ingin melakukan apa pun. Airi hanya senang bersama Aya-chan!”
Itu bukan
kebohongan belaka.
Tapi aku
bisa melihatnya dari kata-katanya—pertimbangan, keraguan, dan tatapan kebimbangan.
Mungkin
karena aku tidak bisa diandalkan. Karena
aku bukan ‘ibu’ kandungnya. Lagipula, dia tidak seperti ini
saat adikku masih ada. Aku
harus lebih kuat.
Agar aku
bisa menjadi ‘ibu’ Airi.
Itulah
mengapa aku harus menyingkirkan kelemahanku.
Karena
setiap ‘ibu’ yang kukenal itu kuat.
◇◇◇◇
“Airi!”
Aku
menjauh dari lokasi festival kembang api dan
menyusuri pinggirian sungai.
Apa dia terlibat...
penculikan? Pikiran itu juga terlintas di benakku. Tapi aku
sudah membicarakannya dengan Minase—kalau kami tidak bisa menemukannya dalam
sepuluh menit, kami akan menelepon polisi.
Namun,
entah kenapa... aku tidak bisa percaya Airi telah diculik.
Itu hanya
firasat. Aku tidak punya bukti. Tapi mau tak mau
aku mulai berpikir Airi telah pergi sendirian. Mungkin karena ekspresi wajahnya
itu terpatri di benakku.
—Aya-chan,
aku jadi penasaran, mungkin… dia
sebenarnya ingin bersenang-senang lagi... Itulah yang kupikirkan.
Dia
tampak seperti hendak menangis. Tapi
aku mengenali wajah itu.
Ekspresinya
sama seperti yang pernah kurasakan. Kalau begitu, seharusnya dia
tidak jauh. Karena
aku juga pernah melakukan hal yang sama persis.
Lagipula,
Airi memakai sandal geta. Dia tidak akan bisa berjalan dengan mudah dengan
sandal itu. Mustahil dia bisa pergi jauh dalam waktu sesingkat itu.
Lari,
lari—lari!
Dan
begitu—
“……Haa…
Haa… Airi, aku menemukanmu.”
Di tangga
batu sebuah kuil, agak jauh dari lokasi festival kembang api—
Di sana, Airi duduk sendirian.
“…Horikoshi-san?”
“Kamu baik-baik saja? Kamu tidak terluka? Tidak ada… yang
membawamu pergi, kan?”
“Ti-Tidak,
bukan begitu. Airi hanya…”
“Begitu.”
Saat aku
mengangkat tanganku, Airi tersentak dan gemetar.
Apa dia
pikir aku akan memukulnya? Tidak mungkin. Dan tidak ada alasan untuk itu.
Aku
membalas tatapannya dan mengelus kepalanya dengan lembut untuk menenangkannya.
Ketegangan di bahunya pun mereda. Dan juga di bahuku.
“...Syukurlah. Aku sangat senang.”
Aku
mengembuskan napas lega. Airi
tetap menundukkan kepalanya dalam
diam. Aku kemudian duduk di tangga batu di
sampingnya.
Aku tidak
tahu harus berkata apa. Ada banyak
pikiran berkelebat di benakku, tetapi hal pertama yang keluar dari mulutku
datang dengan sangat alami.
“...Aku
pernah kabur dari rumah waktu kecil.”
“......”
Airi
menatapku bingung dari sampingku. “Kenapa
Horikoshi-san membicarakan masa lalunya?”—ekspresinya
sudah menjelaskan semuanya. Tolong hentikan. Wajah itu sebenarnya sedikit
menyakitkan.
Meski
begitu, Airi mungkin belum tahu—tapi orang tua suka membicarakan diri mereka
sendiri.
Kisah
kejayaan masa muda yang tak diinginkan, kisah kesulitan dalam perjalanan
bisnis, keluhan karena dimarahi pelanggan... Mereka terus bercerita di pesta
minum, menceritakan kisah yang sama berulang-ulang kepada yang lebih muda. Padahal
kami benci ketika orang tua melakukan hal yang sama kepada kami.
Menyedihkan,
tapi begitulah sifat orang tua. Meski
begitu, aku terus membicarakan diriku sendiri.
Karena
kata-kata dangkal takkan sampai padanya.
Jadi aku
tak punya pilihan selain berbicara dari pengalaman—sebagai Horikoshi Kyouya.
Maksudku, aku sudah berusia 28
tahun. Aku telah hidup tiga kali lebih lama daripada anak berusia delapan
tahun. Setidaknya, aku tak pernah kekurangan kisah kegagalan.
“Orang
tuaku bercerai saat aku kecil. Aku dibesarkan oleh ibuku.”
Rupanya,
ibuku telah menceraikan ayahku sebelum aku cukup dewasa untuk mengerti.
Aku tak
pernah bertanya kenapa. Tapi jika begitulah keputusannya, aku tak akan
meragukannya. Karena itu pasti
pilihan terbaik untuknya.
“Jadi
ya, seperti yang kukatakan, suatu hari aku kabur dari rumah. Alasannya... yah,
aku bahkan tak ingat persisnya, tapi aku hanya merasa lebih baik aku tak ada.”
“—!”
Airi
mendongak kaget. Melihat
ekspresinya, aku jadi semakin yakin
akan hal itu. Jadi begitulah
perasaannya.
"Ibuku
selalu bekerja keras, bisa dibilang super
sibuk. Tapi meskipun begitu, beliau selalu berusaha datang ke acara sekolahku.”
Meski
begitu, ada kalanya beliau tak bisa datang karena pekerjaan. Setiap kali itu terjadi, beliau
selalu meminta maaf.
— Maafkan aku, Kyouya.
Kalau
dipikir-pikir lagi, rasanya
wajar saja.
Sibuk dengan
pekerjaan, membesarkan anak sendirian, berusaha hadir di
setiap acara sekolah—menangani semuanya sendirian, tanpa istirahat, tanpa tidur
yang cukup, tubuhnya melemah sedikit demi sedikit.
Kamu bahkan tak perlu
membayangkannya untuk mengerti seberapa
beratnya hal itu. Bahkan saat itu, samar-samar, aku
mengerti betapa beratnya baginya.
Itulah
sebabnya—
“Itulah
sebabnya aku kabur. Kupikir kalau aku tak ada... hidupnya bisa lebih mudah.”
Setiap
kali dia meminta maaf, aku juga meminta maaf dalam hati.
—Maaf.
—Aku minta maaf karena aku ada.
Itulah
sebabnya aku berpikir segalanya akan lebih baik jika aku menghilang. Bila seandainya aku tak ada, semuanya
akan beres.
“…Apa itu menyelesaikan sesuatu?”
Airi
bertanya dengan tatapan serius. Aku
menggelengkan kepala perlahan.
“Tidak,
itu tidak menyelesaikan apa pun.”
Justru
sebaliknya—itu berubah menjadi keributan besar yang bahkan melibatkan polisi.
Kami
merepotkan tetangga, dan bukannya meringankan beban ibuku, aku malah membuatnya
semakin berat. Pada akhirnya, segalanya berjalan ke arah yang sama sekali
berbeda dari yang kubayangkan. Yah, kurasa itu wajar saja.
Tapi saat
itu, aku begitu picik sampai-sampai tak bisa membayangkan hasil yang sejelas
itu.
“Kalau
begitu... Airi benar-benar gadis nakal, ya? Padahal dia selalu bikin masalah...
dia melakukannya lagi... Dia mengacau.”
Airi
menundukkan pandangannya dan tersenyum tipis tak berdaya ke tanah. Dari ekspresinya, aku bisa
merasakan penyesalan yang luar biasa.
Tapi aku
menggelengkan kepala mendengar kata-katanya—bukan pertanyaan, lebih seperti
bisikan.
“Kamu tidak mengacau, Airi.”
“Eh?”
Airi
mendongak, tampak kebingungan. Tapi aku tak berniat menarik kembali
perkataanku.
“Wajar-wajar
saja kamu membuat masalah, tau. Siapa yang melarangmu?"
“Eh?
Eh, tapi—tapi bikin masalah berarti kamu anak nakal—”
“Tentu,
mungkin itu tidak membuatmu jadi anak yang 'baik'. Tapi asal kamu tahu saja?
Anak-anak yang membuat masalah
itu normal. Tidak ada 'orang dewasa' baik yang akan mempermasalahkan hal
itu.”
Ambil
contoh saja karyawan baru. Pada awalnya, mereka tidak akan pandai
dalam pekerjaannya. Mereka akan butuh bantuan. Tapi apa perusahaan akan
menyalahkan mereka? Apakah orang-orang akan menganggap mereka sebagai beban?
Yah, itu
tergantung situasinya, tentu—tapi kebanyakan orang menerimanya.
Karena
itulah arti menjadi orang baru. Memang ada masalah yang menyertai. Begitulah cara pandangku.
“Jadi
Airi, kamu tidak perlu takut begitu. Kamu tidak perlu menahan diri hanya karena
kamu pikir kamu merepotkan.”
Dengan
nada lembut, aku berdiri dan menatap langsung ke
arah mata Airi. Tatapan matanya
terbelalak. Kurasa
dia pikir dia menyembunyikannya dengan baik. Tapi ada begitu banyak tanda.
—Kalau
begitu, kalau Horikoshi-san tidak sibuk, izinkan aku meminta bantuan!
—U-Uh,
tidak apa-apa. Aya-chan sibuk, kan?
—Maaf,
Airi egois. Semoga sukses di tempat kerja, Aya-chan!
Meskipun
bersikap polos dan tanpa beban, Airi tidak pernah mencoba melewati batas itu. Dia menghindari ketergantungan
pada orang lain.
Kurang
lebih aku bisa menebak alasannya. Berdasarkan apa yang diceritakan Minase tentang masa lalunya, dan berdasarkan pengalamanku sendiri—tidak sulit
untuk memahaminya.
Itulah mengapa
aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja sekarang. Aku sadar betul kalau apa yang
kulakukan merupakan ikut
campur.
Sebenarnya,
itu mungkin terlalu murah hati. Sebenarnya, aku hanya memproyeksikan
keinginanku sendiri yang menjijikkan, “Aku
ingin anak-anak menjadi riang dan tanpa beban.” Itu tidak
lebih dari kepuasan egois.
Meski
begitu, aku tetap mengatakannya.
Salah satu alasannya karena
aku tak bisa mengabaikan apa yang sedang dialami Airi. Dan alasan lainnya—karena orang tua memang
makhluk yang menjijikkan.
Jadi aku
tak punya apa-apa.
Aku
meletakkan tanganku dengan lembut di kepala Airi dan berbicara setulus mungkin.
“Kamu tahu, Airi… tak apa-apa lebih
bergantung pada orang dewasa. Tidak masalah kalau kamu
egois. Kalau kamu ingin
kabur, kabur saja. Kalau kamu
ingin lari dari sesuatu, kabur saja. Dan kalau kamu
masih khawatir jadi beban—”
“…Kalau
aku masih khawatir?”
Airi
mengulangi kata-katanya dan perlahan mengangkat matanya.
Kepadanya,
aku tersenyum dan berkata—
“—Katakan
saja. Aku berada di
sebelah rumahmu, jadi
mudah untuk memanggilku. Kalau itu keegoisanmu, aku akan dengan senang hati
menurutinya. Lagipula aku hanya akan bersantai di rumah di hari liburku.”
Airi anak
yang pintar. Sekalipun dia bertingkah egois, tak mungkin dia benar-benar lepas
kendali.
Jadi
mungkin lebih baik dia sedikit lebih santai.
Dengan
logika yang sedikit penuh perhitungan itu, aku mengatakannya dengan jelas.
“…Yah,
kalau ada satu hal yang harus Airi renungkan, itu
karena kamu menghilang tanpa memberi tahu siapa pun. Itu
membuat semua orang khawatir, jadi beri tahu saja lain kali.”
Begitulah
caraku mengakhirinya.
Sementara
itu, reaksi Airi agak terlambat.
Entah
kenapa, matanya tampak linglung, seperti sedang kesurupan, pipinya memerah.
Lalu
tiba-tiba, ekspresinya berubah—seolah bingung—dan dia bergumam pelan:
“Kamu bilang aku boleh melakukan apa
pun yang kuinginkan… tapi sekarang aku harus mengatakan sesuatu?”
“Itu
aturan minimumnya.”
Mendengar
kata-kataku, Airi mengembungkan pipinya dengan cemberut kecil.
“…Aku
merasa seperti ditipu. Horikoshi-san, bukannya kamu
sedikit licik?”
“Orang
dewasa pada dasarnya licik.”
Aku
tersenyum lagi. Tapi
akhirnya, Airi tersenyum tipis. Senyum
seperti itu yang biasa kau berikan saat benar-benar kesal—tapi tak apa. Yang
bisa kulakukan hanyalah sedikit menenangkan hatinya.
Jadi
mulai sekarang, kuserahkan saja pada orang yang benar-benar berarti.
Menatapnya
di sudut pandanganku, aku bicara.
“Lagipula…
apa kamu benar-benar berpikir Minase
menganggapmu pengganggu? Lihat saja dia.”
“──Airi!”
Sebenarnya,
aku sudah menghubunginya diam-diam sebelum berbicara
dengan Airi. Dia pasti
langsung lari ke sini begitu menerima pesanku.
Seperti
yang diharapkan dari mantan jagoan tim lari. Bahkan dengan yukata, dia berlari
menghampiri dengan wujud yang sangat indah, dan—
“—!”
Tanpa
melambat, Minase memeluk Airi, memeluknya erat. Dia
mendekap Airi erat-erat di dadanya, seolah-olah berusaha memastikan Airi nyata.
Lalu, dengan suara yang begitu samar hingga hampir menghilang—
“Syukurlah
kamu selamat… Aku benar-benar
khawatir…”
Minase
tampak seperti bisa menangis kapan saja.
Minase
yang tenang, tegar, dan tenang itu—kini hampir menangis.
Airi
pasti terkejut. Wajahnya mengerut, dan air mata mulai mengalir di pipinya.
“…Ma-Maafkan aku, Aya-chan.”
“Jangan
pernah menghilang seperti itu lagi… Aku sangat, sangat takut…”
“Maafkan
aku. Maafkan aku, Aya-chan…”
Sambil dipeluk
erat oleh Minase, Airi mulai menangis
tak terkendali.
Dia
memang anak yang cerdas. Tapi
untuk saat ini, dia hanyalah anak seusianya.
◇◇◇◇
“…Kembang
apinya sudah berakhir, ya.”
Sudah
berapa lama sejak Airi mulai menangis? Dengan
nada pelan nyaris seperti sedang linglung,
dia bergumam pada dirinya sendiri.
Kurang
dari dua puluh menit tersisa hingga festival kembang api resmi berakhir. Suara gemuruh dari tampilan
starmine yang lebar bergema di kejauhan. Bahkan jika kami kembali
sekarang, semua tempat yang bagus pasti sudah terisi. Kami sudah cepat-cepat
mengemas terpal biru sebelumnya ketika kami pergi mencari Airi.
Jadi,
tidak ada gunanya kembali ke tempat tadi.
Festival kembang api kami berakhir di sini.
Tapi…
rasanya terlalu menyedihkan.
“Kamu mau lihat kembang api?”
“Eh…
Ti-Tidak! Airi baik-baik saja—”
Saat aku
bertanya, Airi mulai menggelengkan kepalanya. Tapi kemudian dia berhenti di
tengah jalan, dan menatap lurus ke mataku. Pipinya memerah, dan dengan
ekspresi penuh keberanian, dia berkata—
“Aku
ingin melihat kembang api!”
Dia pasti
ingat apa yang kukatakan sebelumnya. Kalau
begitu, hanya ada satu jawaban yang bisa kuberikan.
“Oke.
Kalau begitu, ayo kembali ke tempat tadi.”
“Eh… Tapi
kembang apinya…”
Meskipun
dia sendiri yang mengatakannya, dia mungkin sudah tahu akan sulit melihatnya
sekarang.
Namun,
aku hanya bilang padanya tidak apa-apa untuk lebih bergantung pada orang
dewasa. Jadi aku
harus bertanggung jawab atas pernyataan itu.
Jadi aku
berkata,
“Jika
kamu bersedia membantu sedikit… ada satu cara sederhana untuk mewujudkannya.”
Airi
memiringkan kepalanya dengan kebingungan ketika mendengar
ucapanku.
“…Banyak
sekali orangnya.”
Kami
bergegas kembali ke area festival hanya dalam beberapa menit. Seperti yang diduga, semua tempat
bagus sudah terisi. Tepi
sungai, jalur sepeda di atasnya, dan jembatan di dekatnya semuanya penuh sesak. Kami berdiri agak jauh dari
keramaian.
Aku
sedikit lebih tinggi dari rata-rata, jadi aku hampir tidak bisa melihat kembang
api.
Tapi bagi
Airi, di depannya pasti terlihat seperti tembok orang. Dia mencoba melompat di
tempat beberapa kali, tetapi jelas tidak bisa melihat apa pun. Dengan gumaman
kecewa, Airi berkata,
"Sudah
kuduga... aku tidak bisa melihat apa-apa."
“Apa
'cara sederhana' untuk melihatnya...?
Horikoshi-kun, apa yang kamu
lakukan?”
Di
sampingku, Minase menyipitkan matanya curiga. Menanggapi hal itu, aku
berjongkok dan membelakangi Airi, memberi isyarat dengan mataku agar dia naik.
Dengan
kata lain—naik bahu.
“Ayolah,
Airi. Kamu akan bisa melihat dari sini.”
“………………………………………………………Dasar Horikoshi-san mesum.”
Apa-apaan
ini?
“Eh...
tunggu, kamu tidak
mau naik bahu?"
Sekarang
setelah kupikir-pikir dengan tenang, mungkin menaiki
orang tua itu tidak nyaman. Meskipun
aku sudah mengelus kepalanya dan sebagainya sebelumnya...
Tapi Airi
tersipu malu dan gelisah.
“B-Bukannya
aku membencinya… t-tapi Airi sudah besar sekarang! Li-Liat, cuma anak kecil
yang melakukannya!”
Ah. Jadi
itu masalahnya.
Memang,
ada beberapa anak lain yang naik di bahu ayah mereka, tapi kebanyakan dari
mereka terlihat seperti anak berusia sekitar lima tahun. Kalau Airi ikutan, dia mungkin akan sedikit
mencolok.
Tapi—
“Kamu
tidak jauh lebih tua dari mereka, kan?”
“Muuuuh!”
“…Kamu
benar-benar tidak punya kepekaan sama sekali,
ya?”
Airi
menggembungkan pipinya karena frustrasi, sementara Minase mendesah panjang dan
jengkel. Apa? Memangnya apa yang
kukatakan? Dari sudut pandangku, lima dan delapan tahun tidak jauh berbeda.
Airi
terus gelisah, menarik-narik ujung yukata-nya dengan canggung.
“D-Dan
lagipula… Airi memakai y-yukata, tahu?”
“…………Haa.”
Terus
kenapa?
Aku tidak
mengatakan apa-apa dengan lantang, tapi Minase jelas membaca raut wajahku. “Kamu benar-benar tidak punya sopan
santun,” gumamnya
pelan. Diam—aku bukan orang mesum
yang suka anak-anak bercelana dalam berenda.
Tapi
ironisnya, reaksiku itu sepertinya menyulut sesuatu di hati Airi.
Dengan
tatapan mata yang anehnya tegas, dia—
“H-Horikoshi-san!
T-Tolong gendong Airi!”
“Ah,
tentu. Aku tidak keberatan, tapi—”
“Airi
tidak akan membiarkanmu memperlakukannya seperti anak kecil! Kamu akan mengerti setelah kamu menggendong Airi!”
“……”
Bahkan
aku menahan diri untuk tidak berkata apa-apa,
Sikap seperti itu saja sudah membuatmu jadi anak kecil. Airi naik ke punggungku dan duduk
di bahuku. Setelah
dia mulai stabil, aku berdiri dengan
gerakan cepat.
“Wah—kyaaaahhh!”
Airi
menjerit kecil dengan gembira. Tapi
tinggi badan seorang pria dewasa plus gadis kelas tiga SD itu bukan main-main. Perubahan perspektif itu pasti
dramatis—Airi mulai menepuk-nepuk kepalaku dengan jenaka.
“Horikoshi-san,
ini luar biasa! Aku bisa melihat puncak kepala semua orang!”
“Aku senang mendengarnya. Tapi
pertunjukan yang sebenarnya baru saja dimulai.”
Ngomong-ngomong,
naik gendong di bahuku tidak membuatnya tampak kurang seperti anak kecil. Dia ringan—saking ringannya sampai aku merasa bisa
menggendongnya selamanya.
Aku
menatap langit malam. Di
saat yang sama, Airi, yang duduk di atasku, dan Minase di sampingku, juga
mengangkat mata mereka—
“Woooow…!”
Seberkas
cahaya membubung ke dalam kegelapan, membentuk busur yang berkilau. Cahaya itu membubung begitu
tinggi, seolah-olah mencapai bintang-bintang—lalu meledak dengan suara retakan
yang keras, mekar di langit.
Selanjutnya
muncul sekuntum teratai merah cemerlang, menyebarkan kelopak cahaya saat jatuh.
Dan itu
belum berakhir. Tanpa sempat bernapas, kilatan cahaya meluncur silih berganti,
mewarnai langit gelap dengan warna. Bara api berjatuhan bagai salju,
menciptakan pemandangan bak mimpi.
Mungkin
karena pertunjukkannya semakin mendekati akhir, ledakan dan cahaya kembang api
terasa lebih tajam, lebih hidup—lebih meriah.
Sepuluh
menit terakhir. Sebuah
penutup yang pantas disebut demikian.
“Horikoshi-san!”
“Ya? Ada
apa?”
“Horikoshi-san—terima
kasih banyak! Berkatmu, aku bisa melihatnya! Aku bisa melihat pemandangan yang
dulu disukai ibuku!”
Dia
memanggilku, berteriak di tengah gemuruh ledakan kembang api, melihat ke bawah
dengan senyum yang bahkan mengalahkan langit di atas.
Senyum
itu saja sudah membuat menggendongnya terasa lebih berharga—
Lalu,
Airi berteriak lagi, bahkan lebih keras.
“Dan
juga! Airi! Airi menemukan seseorang yang lebih disukainya daripada Juuen-kun!”
“Oh?
Siapa itu? Siapa yang kamu sukai?”
“Airi—”
Dia
berhenti sejenak dan, entah kenapa, melirik Minase.
Lalu dia
mendekatkan wajahnya ke wajahku dan berkata:
“Airi
menyukai Horikoshi-san!”
Sensasi
lembut bisa kurasakan di kepalaku. Aku hanya bisa menebak apa yang
Airi lakukan—tapi aku punya firasat. Saat
aku mendongak, ekspresinya memancarkan binar nakal.
...Serius.
Dia
selalu bertingkah lebih dewasa daripada yang sebenarnya. Kemungkinan besar, itu hanya
basa-basi. Dia mungkin merasa bersyukur atas apa yang terjadi hari ini, dan itu
saja.
Tetap
saja—sejujurnya, itu membuatku bahagia.
Maksudku,
pria tua sepertiku menyukai anak muda dan gadis-gadis manis. Yang berarti kami benar-benar
suka gadis kecil yang memiliki keduanya. Jadi aku balas berteriak padanya,
sama kerasnya.
“Ya!
Aku juga mencintai Airi!”
“Muuuuh!
Kamu tidak mengerti sama sekali!
Airi sangat mencintai Horikoshi-san!"
“Aku
bilang aku juga mencintaimu!”
Aku
menjawab sambil tertawa.
—Lalu.
Saat
kembang api berhenti sejenak, Airi bertanya dengan ragu, seolah teringat
sesuatu.
“Ngomong-ngomong...
Horikoshi-san, ibumu—sedang apa sekarang?”
“Hm?
Oh, begitu.”
Dia pasti
sedang memikirkan apa yang kukatakan sebelumnya. Suaranya terdengar khawatir. Mungkin dia mengkhawatirkan
kesehatan ibuku.
Kalau
begitu, tak perlu khawatir.
Aku
tersenyum dan menceritakan akhir cerita lama itu.
“Dia
baik-baik saja. Ibuku masih sehat walafiat. Dia terbang keliling dunia
sekarang, menikmati waktu terbaiknya di tempat kerja.”
◇◇◇◇
Saat
langit malam berkilauan dengan kembang api, Horikoshi-kun dan Airi terus
mengobrol dengan riang, masih dalam posisi saling bahu-membahu.
Melihat
mereka berdua yang seperti itu, aku merasakan sakit yang menusuk dadaku.
Aku tak
seharusnya terus-terusan berutang budi pada orang lain. Aku harus membuktikan bahwa aku
mampu membesarkan Airi sendirian. Aku
harus menjadi seorang ibu. Seorang
ibu yang kuat dan mandiri.
Namun,
yang kulakukan hanyalah menyusahkan orang lain.
Kenapa
aku selemah ini?
Kenapa
aku tak bisa melakukan apa yang ibu-ibu lain lakukan dengan mudah?
Mungkin... karena aku bukan ibu kandungnya. Mungkin itu sebabnya aku tak bisa berhenti menjadi selemah ini.
Aku
bertanya pada diriku sendiri—tapi, tentu saja, aku tidak bisa mendapatkan jawaban.
