Koukou jidai ni Sukidatta Vol 1 Chapter 7 Bahasa Indonesia

 Chapter 7

 

Mari kita luangkan waktu sejenak untuk mengenang masa lalu.

Beberapa minggu yang lalu, mantan teman sekelasku pindah ke sebelah rumah. Dan bukan sembarang teman sekelas—dia adalah gadis yang kutaksir sewaktu SMA dulu.

Memang benar SMA tempat kami bersekolah dekat, dan kami berada di daerah yang orang-orangnya sering kali tetap terhubung. Namun, kemungkinannya sangat kecil.

Jika ini sebuah drama, mungkin ini bisa digambarkan sebagai kisah cinta yang ditakdirkan.

Tapi aku tidak percaya sesuatu akan terjadi hanya karena aku bertemu kembali dengan gebetanku waktu SMA. Jika sesuatu memang ditakdirkan untuk terjadi, itu pasti sudah terjadi saat itu.

Namun, bertentangan dengan dugaanku, beberapa minggu terakhir ini terasa seperti angin puyuh.

Aku dirawat dan diurus hingga sembuh oleh Minase, gadis yang pernah kusukai. Kami mengobrol di balkon, dan aku mengetahui apa yang telah dia lalui selama ini.

Lalu kami pergi ke pusat perbelanjaan bersama—termasuk keponakannya, Airi. Setelah itu, Minase dan Airi datang untuk menggunakan kamar mandiku, dan akhirnya kami pergi ke festival kembang api.

Banyak hal terjadi malam itu, tapi pada akhirnya, kurasa itu sukses.

 

Dan sekarang, hari ini—aku akan berkencan dengan gadis tetanggaku.

 

Kencan. Ketika seorang pria dan wanita yang tidak berpacaran pergi bersama, atau sesuatu yang dilakukan sepasang kekasih. Aku tidak tahu apa ada definisi formalnya, tapi yang pasti tidak jauh dari itu.

Jadi di sinilah aku, menunggu di depan rumahku.

Bahkan sekarang, aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi.

Aku masih berpikir ini pasti semacam kesalahan.

Tapi ini jelas nyata.

Yang berarti hari ini, aku akan berkencan dengan gadis tetangga.

Itu—

“Horikoshi-san, maaf membuatmu menunggu! Aku menantikan hari ini! Ehehe

Lebih tepatnya, gadis kecil dari tetangga sebelah.

Serius, bagaimana hal ini bisa terjadi…?

 

◇◇◇◇

 

Airi mengajakku keluar seminggu setelah festival kembang api. Padahal, kami tidak pergi ke tempat yang istimewa. Rupanya, Airi sedang makan siang bersama beberapa teman sekelas dan orang tua mereka.

Dia mengajakku ikut dan membantu bertemu salah satu pasangan teman sekelas dan orang tua di stasiun. Aku tidak yakin itu bisa disebut kencan, tapi bagi Airi, itu sudah pasti kencan.

Minase sendiri sepertinya sedang mengurus beberapa persiapan di rumah. Karena itulah tugas itu jatuh ke tanganku—tetangganya.

Kebetulan, aku juga diundang ke dalam makan siang itu.

Menurut Minase, sebagian untuk membalas budiku atas semua yang telah kulakukan selama ini.

Lagipula, aku—seorang pria dewasa—menghadiri makan siang anak-anak SD? Kedengarannya seperti resep untuk canggung. Tapi Minase hanya berkata, Tidak apa-apa. Kamu juga mengenal orang ini. Aku cukup yakin kalau aku tidak mengeenal siapa pun yang punya anak SD... Apa yang sebenarnya terjadi?

Yah, terserahlah.

Aku memang bilang kepada Airi kalau aku bisa pergi bersamanya kapan saja.

Itu bukan bohong, dan sejujurnya, kalau aku di rumah, aku cuma akan menghabiskan hari dengan menonton YouTube atau semacamnya. Dan meskipun waktu seperti itu penting bagiku, akhir-akhir ini aku agak bosan.

Tetap saja, seberapa keras pun aku mencoba memahaminya, bagian yang paling membingungkan dari semua ini adalah—

 

“Ehehe~ Aku sangat bersemangat untuk kencan kita hari ini!”

 

—Tingkat kasih sayang Airi yang entah kenapa melambung tinggi.

Ya, memang benar dia bilang dia menyukaiku. Dan aku mungkin akan bilang aku juga menyukainya. Tapi bukannya itu lebih seperti perasaanmu terhadap anjing atau hewan peliharaan?

Bukannya aku benar-benar bermaksud suka dalam arti begituan. Jelas-jelas suka dalam artian umum, bukan Cinta maupun perasaan romantis.

Ada perbedaan besar antara kedua hal itu.

Namun, dari perilaku Airi—

Dia memeluk erat lenganku dan menatapku dengan mata lebar penuh kekaguman.

“Ehehe~ Berjalan bergandengan tangan seperti ini… hehe, kita terlihat seperti sepasang kekasih, ya? Apa jantungmu juga berdebar kencang, Horikoshi-san?”

“Ya, berdebar kencang.”

Karena aku tidak tahu kapan seseorang akan menelepon polisi. Sejujurnya, aku terus berkeringat dingin selama ini. Rasanya nasibku sepenuhnya ada di tangan orang lain. Dan orang itu adalah Airi. Seluruh hidupku pada dasarnya bergantung pada bahu mungilnya.

“Ngomong-ngomong, Horikoshi-san, apa pendapatmu tentang Airi hari ini?”

“Bagaimana pendapatku…?”

“Muu! Kalau ada cewek yang bertanya seperti itu, jelas-jelas itu tentang pakaiannya! Bagaimana menurutmu tentang pakaian Airi? Imut, kan?”

Dengan senyum puas yang menggemaskan, Airi berputar di tempat untuk memamerkan penampilannya. Hari ini, Airi tampak seperti wanita mungil yang anggun dari keluarga kaya.

Gaun biru tua bergaya klasik. Kerah putih besar di bagian leher, dengan aksen kancing senada. Jika dikenakan orang dewasa, bisa dibilang itu jenis busana Lolita. Tapi, karena yang memakainya adalah loli sungguhan, sulit untuk memastikannya.

Aku menjawab dengan lugas.

Ya, imut. Sangat imut.

Terimut di dunia?

Ya, paling imut sedunia.

Apa itu membuatmu semakin menyukaiku?

…………

Apa sebenarnya yang ingin dikatakan gremlin kecil yang dewasa sebelum waktunya ini...?

Sementara itu, ekspresi Airi tampak berseri-seri. Ehehe, Horikoshi-san bilang aku imut! Itu... agak sesuai usia, dan agak imut.

...Haahh.

Serius, apa yang harus kulakukan di sini?

Aku belum pernah punya anak yang menunjukkan kasih sayang seperti ini kepadaku, jadi aku tidak tahu bagaimana menghadapinya. Yah, mungkin itu hanya fase, jadi mungkin tidak perlu dikhawatirkan.

Seorang pria tua tetaplah seorang pria tua, tidak peduli bagaimana ia mencoba menutupinya. Ia akan segera kecewa—hanya masalah waktu saja.

Saat aku mengangkat kepala untuk mengubah pikiran, kami tiba di jalan perbelanjaan dekat stasiun.

Kami sedang dalam perjalanan untuk bertemu teman sekelas Airi dan orang tuanya. Setelah melewati jalan ini, kami akan mencapai titik pertemuan yang disepakati.

Dan waktunya tepat.

Lalu—

Ah, lihat! Itu Mei-chan!

Tepat ketika alun-alun di depan stasiun mulai terlihat, Airi tiba-tiba menunjuk dan memanggil. Mengikuti jari telunjuknya, aku melihat seorang ibu dan anak perempuan berdiri di alun-alun terbuka.

Anak itu memang imut—tapi ibunya bahkan lebih mencolok.

Dia tampak seusiaku. Seorang wanita yang memancarkan suasana lembut dan menenangkan, seolah-olah dia bisa menyelimutimu dalam kehangatan.

Dengan senyum ceria dan rambut bergelombang berwarna kastanye, dia mengenakan rajutan musim panas ringan dengan warna-warna menyegarkan yang dengan lembut memeluk tubuhnya.

Tapi yang benar-benar menarik perhatian… adalah dua gunung besar yang menyembul di bagian depan sweternya. Ketika dia melihat kami dan melambaikan tangan dengan penuh semangat, gundukan besar itu bergoyang-goyang dengan setiap gerakan. Seperti slime.

“…Horikoshi-san, kamu melihat ke mana?”

“…Tidak ke mana-mana. Aku tidak melihat apa pun.”

Di sampingku, Airi menyipitkan matanya dengan curiga.

Lalu, sambil menepuk dadanya sendiri, dia bergumam, “Jadi begitu ya, yang besar memang lebih baik, ya…” Apa maksudmu “begitu”? Apa yang memberimu ide itu?

Tapi, sebelum kami mendekati ibu dan anak itu, ada sesuatu yang ingin kukonfirmasi dengan Airi.

Kamu pernah bertemu ibu itu sebelumnya?

Ibu Mei-chan?

Ya.

Tentu saja, aku tidak mengenal anak-anak SD mana pun. Yang berarti 'kenalan' yang disebutkan Minase pastilah ibunya. Itulah sebabnya aku ingin mencari tahu siapa dia sebelum kami mulai berbicara.

Airi menyipitkan mata sambil berpikir, lalu menggelengkan kepalanya dengan keyakinan penuh.

Aku yakin kita belum pernah bertemu. Airi sama sekali tidak mengenalinya.

Wow. Kamu yakin sekali, ya?

Yap! Karena aku belum pernah melihat tetek seperti itu sebelumnya!

Jangan menilai orang dari payudaranya.

Itulah yang ingin kukatakan—tapi sejujurnya, aku tidak bisa menyalahkannya. Hal-hal seperti itu sulit dilupakan.

Apa kamu setidaknya tahu nama belakangnya?

Yap. Namanya Aimori!

Aimori. Aku mencari-cari di ingatanku, tapi nama itu masih terdengar asing. Sambil mengobrol, kami akhirnya tiba di depan ibu dan anak itu.

Lalu—

Lama tak bertemu, Horikoshi-kun.

Saat kami cukup dekat untuk mendengar suara dan melihat wajahnya dengan jelas, semua ingatan itu kembali berhamburan.

...Oh ya, lama tak bertemu, Kuraki—tunggu, sekarang Aimori, kan?

Aku menyapanya—Kuraki Utaha, yang sekarang dikenal sebagai Aimori Utaha. Dia teman sekelasku waktu SMA. Kami bahkan sekelas. Dia salah satu teman Minase.

Waktu SMA dulu, ada dua gadis yang berbagi sorotan di sekolah kami—Minase dan Kuraki.

Jika Minase adalah idola yang keren dan tak terjangkau’, maka Kuraki adalah idola yang ramah dan menghibur yang bisa diajak bicara.

Jika Minase adalah kucing yang angkuh dan anggun, maka Kuraki adalah anjing yang ceria dan setia.

Mungkin itulah cara terbaik untuk menggambarkan perbedaan di antara mereka.

Tentu saja, Minase selalu baik dan mudah didekati, tetapi dia membawa aura tertentu yang membuatnya sulit untuk terlalu dekat. Itulah yang membuatnya merasa begitu sakral, begitu tak terjangkau.

Di sisi lain, Kuraki tidak memiliki jarak seperti itu. Dia memiliki aura lembut yang membuat semua orang merasa hangat dan nyaman.

Selamat pagi, Horikoshi-kun!

Kamu sedang main apa, Horikoshi-kun? Emangnya itu seru?

Mau ikut ke pesta pasca-acara? Lagipula, semua orang sudah bekerja keras di festival olahraga!

Kuraki ramah pada semua orang, datang dan pergi dari setiap kelompok. Bahkan, kurasa tidak ada satu pun siswa di angkatan kami yang belum pernah mengobrol dengannya setidaknya sekali. Seluas itulah lingkaran pergaulannya.

Dan sekarang, Kuraki Utah yang sama—sekarang Aimori Utaha—berdiri di alun-alun dekat stasiun.  Sama seperti dulu, dia memancarkan aura lembut dan hangat. Senyumnya yang ceria masih sama. Wajahnya yang imut telah tumbuh menjadi wanita yang lembut dan anggun.

Tapi itu bukan satu-satunya sisi dirinya.

Saat kami selesai menyapa reuni singkat kami, dia mendekat dan berbisik di telingaku seolah sedang berbagi rahasia yang menarik.

"Aku sudah mendengar semuanya loh~, Horikoshi-kun. Kamu sekarang tinggal di sebelah Ayana, kan? Dengar-dengar kalian bahkan pergi ke festival kembang api bersama. Sedang mendekati Ayana, ya?

...Kamu selalu cepat bergosip.

Yah, itu keahlian spesialku! Ayana menceritakan banyak hal padaku~

......

Dia tersenyum licik dan menggoda.

Aku bahkan tak ingin mengetahui apa yang sudah didengarnya. Aku terlalu takut untuk bertanya. Tapi ini hanyalah sisi lain Kuraki—bukan, Aimori.

Terus terang, dia seperti bibi tukang gosip dari lingkungan sekitar.

Dengan jaringan koneksinya yang luas, dia selalu punya berita terbaru. Namun, entah bagaimana, tak ada yang pernah membencinya karena itu. Semua orang menyukainya. Sungguh membingungkan.

Meski begitu, aku tak pernah membayangkan akan bertemu teman sekelas SMA lagi.

Terutama bukan Kuraki. Sama seperti Minase, aku yakin tak akan pernah bertemu dengannya lagi. Yang membuat momen ini terasa aneh sekaligus nostalgia. Ada benang merah lain yang menghubungkan semua reuniku dengan Minase.

Di samping Kuraki berdiri seorang gadis muda.

Dia mungkin putrinya. Rambutnya berwarna kastanye yang sama dengan ibunya. Rambutnya bergelombang—kebanyakan tertata rapi, tetapi beberapa helai mencuat ke arah yang aneh. Matanya tampak mengantuk, dan dia memiliki aura yang tenang dan lapang. Entah kenapa, rasanya waktu berjalan lebih lambat di sekelilingnya.

Lalu—

Dia tiba-tiba menatapku, membuka mulut kecilnya, dan berkata:

“…Ah, oji-san yang menyendiri… Mau memegang tanganku lagi hari ini?”

“Eh—apa kau sebenarnya…”

Aku secara naluriah tersentak bingung, tetapi kata-kata oji-san yang menyendiri hanya bisa merujuk pada satu hal.

“Tunggu… apa kamu salah satu anak dari festival kembang api…?”

Aku bertanya ragu-ragu, dan dia mengangguk.

Dan kemudian aku ingat. Dia adalah salah satu dari tiga bocil SD yang berbicara dengan Airi selama festival. Jadi gadis itu adalah putrinya Kuraki.

Mungkin ketika Minase berkata kamu mengenal mereka, yang dia maksud adalah orang tua dan anak itu.

Terkejut?

Saat aku berdiri di sana dengan sedikit tertegun, Kuraki melirikku dengan seringai nakal.

Aku juga terkejut ketika mendengar kamu sudah bertemu Mei. Jadi kupikir aku akan mengejutkanmu... Nah? Apa kamu terkejut?

...Ya, aku terkejut. Jadi itu sebabnya Minase tidak memberitahuku siapa yang akan kita temui hari ini.

Yap! Itu ideku! Tapi Horikoshi-kun, reaksimu masih sekecil biasanya, ya? Apa kamu benar-benar terkejut?

Kuraki menggembungkan pipinya, pura-pura tersinggung.

Bahkan gestur imut dan kekanak-kanakan itu pun tampak menggemaskan saat dia melakukannya. Aneh. Bahkan di usia tiga puluhan, dia tidak kehilangan apa yang dimilikinya saat SMA dulu. Juga—sepertinya pertemuan hari ini pada dasarnya adalah pesta bersama untuk keluarga Minase dan Kuraki—bukan, Aimori. Minase dan Kuraki berteman, begitu pula putri mereka, jadi mungkin itulah yang memicu pertemuan kecil ini.

Saat aku merenungkan hal itu, Kuraki tiba-tiba mengangkat tangan.

“Baiklah—senang bertemu denganmu lagi, Horikoshi-kun! Dan Airi-chan, sudah sekitar dua tahun, ya?”

“Hah, Kuraki—kamu mengenal Airi?”

Sebelumnya, Airi bilang dia tidak mengenal Kuraki.

Penasaran, aku bertanya, dan Kuraki menjawab dengan senyum ceria.

“Ya, aku mengenalnya. Airi-chan waktu itu kelas satu, kurasa.”

 

………………

Aku menoleh ke arah Airi. Dia menatap ke kejauhan dengan ekspresi kosong.

Hei. Lihat ke sini. Bukannya kamu bilang kamu belum pernah melihat payudara itu sebelumnya? Itu kontradiksi yang cukup besar.

Dan panggil saja aku Kuraki seperti dulu, oke? Rasanya aneh kalau teman SMA tiba-tiba memanggilku Aimori.

Dia pasti mendengarku tergagap tadi. Kuraki dengan ramah menyarankan itu. Dan sejujurnya, aku menghargainya.

Nama Aimori masih terasa kurang tepat di pikiranku. Memanggilnya Kuraki, seperti biasa, membuat segalanya lebih mudah.

Baiklah, cukup berlama-lama di sini—bisa kita mulai sekarang?

Sambil tersenyum, Kuraki mengajak kami.

Dia melangkah maju, berputar, dan mengangkat tinjunya ke langit sambil menatap kami semua.

Baiklah, ayo berpesta!

...Ohh~.

O-Ooh!

Mei, yang tampak terbiasa dengan ini, langsung mengangkat tinjunya. Airi mengikutinya sedetik kemudian, mengacungkan tinjunya sendiri ke udara.

Lalu, ketiganya menoleh ke arahku serempak.

Tunggu, apa aku juga harus ikutan? Pada akhirnya, mereka tidak melepaskanku sampai aku dengan enggan mengangkat tanganku bersama mereka.

 

◇◇◇◇

 

“Selamat datang kembali, Utaha, Mei-chan—tunggu, ada apa, Horikoshi-kun?”

“…Bukan apa-apa. Bukan apa-apa.”

Apartemen Minase. Kami baru saja berjalan kaki kembali dari stasiun, tetapi aku sudah kelelahan saat tiba. Alasannya sederhana: berkelahi dengan dua anak SD telah menguras tenagaku.

Mei dengan wajah mengantuk bertanya, “…Mau berpegangan tangan?” sementara Airi langsung membalas, “Horikoshi-san memegang tangan Airi, kan?” dan dengan paksa menggenggam tanganku.

Hasilnya: kedua gadis itu menarikku, memegang tanganku di kedua sisi.

Itu saja sudah cukup menguras tenagaku. Pesta hari ini adalah malam sushi gulung tangan. Apartemen Minase, sama seperti apartemenku, adalah apartemen standar 2DK.

Ruang makannya tidak terlalu luas. Di atas meja, bahan-bahan yang dibawa Minase dan Kuraki tertata rapi.

Sebuah wadah sushi dan segunung nasi putih. Lembaran rumput laut. Irisan ikan sashimi. Sayuran dan telur siap masak. Ada juga piring-piring deli dari supermarket.

“Airi, bisa kamu membantu?”

“Ya! Aku akan membantu!”

“Dan Mei-chan, kamu mau mencobanya juga?”

“…Ya, aku akan membantu.”

Mei mengangguk pelan. Sepertinya anak-anak kecil memang ditakdirkan untuk menangani sebagian besar persiapan.

Dengan pisau dan talenan ramah anak, Airi dan Mei dengan senang hati memotong sayuran. Minase dan Kuraki mengurus sisanya sambil mengawasi mereka.

Itu membuatku tidak perlu melakukan apa pun.

Merasa canggung hanya berdiri di sana, aku beranjak ke wastafel untuk mencuci beberapa wadah bekas—

“…Kamu bisa istirahat, lho.”

Tak lama kemudian, Minase muncul di sampingku, membantu mencuci piring.

Dia tidak menatapku. Dia hanya mengambil piring-piring yang telah kucuci dan mengeringkannya dengan kain.

“Seperti yang kukatakan sebelumnya, hari ini tentang membalas budimu. Meskipun mungkin akan lebih melelahkan.”

“Tidak, ini perubahan suasana yang menyenangkan.”

Maksudku, aku jarang keluar di hari liburku. Rasanya tidak terlalu buruk untuk keluar sesekali.

Syukurlah kalau begitu…”

Suaranya terdengar sedikit lega. Saat aku meliriknya, Minase tersenyum lembut. Tapi ketika dia menyadari tatapanku, dia langsung berbalik dan memelototiku. “A-Apa…?” tanyanya, jelas-jelas gugup.

Pemandangan yang langka, untuk seseorang yang biasanya begitu tenang.

“Jadi? Apa kamu terkejut?”

Minase mengganti topik, hampir terlalu alami. Dia tidak menyebutkan detailnya, tapi aku tahu maksudnya.

Ya, aku sudah. ​​Aku tidak menyangka Kuraki ada di sana. Apa kamu memilih sekolah baru Airi karena putrinya di sana?

Tidak. Itu hanya kebetulan. Dan hanya karena Utaha dan aku berteman, bukan berarti Airi dan Mei otomatis berteman juga, kan?

Itu benar. Bukan hal yang aneh bagi orang tua untuk dekat sementara anak-anak mereka tidak.

Jadi, ketika aku mendengar dari Airi bahwa dia dan Mei-chan sudah berteman, aku sangat terkejut. Itulah sebabnya kami mengatur pertemuan hari ini.

Sambil mengikuti tatapannya, aku melihat ke arah Airi dan Mei. Mereka mengobrol sambil menyiapkan bahan-bahan sushi. Ritme percakapan mereka berbeda, tetapi mereka tampak bersenang-senang.

Tapi, kamu tahu... rasanya agak disayangkan.

Minase berbalik ke arah wastafel dan melanjutkan mengeringkan piring.

“Utaha sudah menikah, loh. Kudengar dia sangat mesra dengan suaminya.

...Huh.

Entah kenapa, perilaku Kuraki tidak mengejutkanku. Aku tidak bisa menjelaskannya, tapi aku selalu punya firasat dia akan menikah dengan orang baik. Jadi aku tidak terkejut dengan kata-kata Minase.

Yang mengejutkanku adalah kata 'sangat disayangkan' yang diucapkan Minase sebelumnya.

Tidak ada yang disayangkan tentang Kuraki menikah. Aku pasti menunjukkannya di wajahku, karena Minase melanjutkan dengan nada agak jengkel.

...Kamu menyukai Utaha sewaktu SMA dulu, kan? Maksudku, kurasa rasa suka waktu SMA itu sudah tidak penting lagi...

…………………………

...Tunggu.

Tunggu, tunggu, tunggu, tunggu, tunggu, tunggu, tunggu!!

Aku menyukai Kuraki sewaktu SMA!?

Apa-apaan sih yang dia bicarakan!?

Aku berteriak dalam hati karena panik, tapi Minase tetap melanjutkan dengan nada tenangnya yang biasa.

“Emangnya kamu tidak ingat? Dulu kamu sering ngobrol dengan Utaha. Maksudku, aku sudah cukup sering dikasih pernyataan cinta, jadi aku cukup pandai membaca pikiran orang. Kamu benar-benar kentara. Aku bisa langsung mengetahuinya.

Kamu benar-benar salah sangkaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!

Tentu saja aku berteriak dalam hati. Bukannya hal itu akan sampai padanya. Aku hanya sesekali ngobrol dengan Kuraki karena aku ingin bertanya tentang Minase. Saat itu, aku tidak punya keberanian untuk bicara langsung dengan Minase, jadi kupikir setidaknya aku bisa mendapatkan informasi dari temannya.

Dan—wanita ini benar-benar mengira aku menyukai Kuraki!?

Tidak mungkin!!

Orang yang kusuka...

Dulu waktu SMA adalah...

Kamuuuuuuu, sialan!!

...Kalau aku bisa berteriak seperti itu di hadapannya, seberapa memuaskannya itu.

Tapi tentu saja aku tidak bisa. Jadi aku memutuskan untuk mengoreksinya dengan lembut.

Eh—asal kamu tahu saja, aku tidak menyukai Kuraki saat SMA.

...Tunggu, benarkah?

Mata Minase terbelalak kaget. Reaksi itu juga mengejutkanku. Apa dia benar-benar yakin tahu siapa yang kusuka?

Dia memiringkan kepalanya, masih dengan santai, dan bertanya dengan mata jernih dan indahnya—

Lalu siapa yang kamu sukai saat SMA?

…………

M-Mana mungkin aku bisa menjawabnya!!

Karena orangnya benar-benar berdiri tepat di depanku!!

Tapi ada yang masih terasa aneh dari sikap Minase.

Ekspresinya sama sekali tidak berubah.

Tapi, Minase adalah tipe orang yang biasanya tidak ingin ikut campur urusan cinta orang lain. Selain teman-teman seperti Kuraki, dia biasanya menjaga jarak dengan hormat.

Jadi, meskipun ini hanya basa-basi... sungguh mengejutkan mendengarnya bertanya tentang mantan gebetanku.

...Aku selalu menyukai orang yang bekerja keras. Dulu waktu SMA, dan bahkan sekarang.

Itu bukan nama—aku tanya siapa.

Aku memberikan jawaban sejujur ​​mungkin. Tapi Minase jelas tidak puas. Dia menatapku dengan wajah cemberut dan—

Aya-chan! Kemari sebentar!

Hm? Ada apa?

Karena dipanggil oleh Airi, Minase segera mengeringkan tangannya yang basah dengan handuk dan berlari ke meja.

Syukurlah, interogasi itu berakhir.

Aku memperhatikannya pergi, menghela napas lega pelan-pelan.

 

◇◇◇◇

 

Oke—ayo makan!

“““Itadakimasu!”””

Entah sudah berapa lama waktu berlalu sejak saat itu?

Setelah aba-aba Kuraki, Airi dan Mei mengikutinya, dan acara makan siang resmi dimulai. Meja makan penuh dengan hidangan berwarna-warni.

Di tengahnya terdapat sebuah wadah kayu besar berisi nasi cuka. Di sebelahnya, lembaran-lembaran nori terhampar, sementara piring-piring berisi sashimi, jamur shiitake rebus, tamagoyaki, irisan mentimun, sosis, dan natto ditata di piring-piring terpisah di sekelilingnya.

Yang pertama mencicipinya ialah dua anak sekolah dasar.

Airi dan Mei menyendok nasi cuka ke atas lembaran nori dan mulai menambahkan topping favorit mereka satu per satu. Kombinasinya memang tidak terlihat seimbang, tetapi cara mereka dengan bersemangat menjejalkan sushi gulung buatan tangan mereka ke dalam mulut menunjukkan bahwa mereka sangat puas.

Lalu—

…Kyouya-kun, bukain ini dong.”

Sebuah suara tiba-tiba di sampingku membuatku menoleh. Mei sedang mengulurkan botol plastik berisi jus, mendorongnya ke arahku.

Sepertinya tutupnya terlalu rapat untuk dibuka.

Tentu saja, aku tidak keberatan membukanya, tetapi—

Saat aku memutar tutupnya, aku mendapati diriku bertanya tanpa berpikir.

“Kenapa memanggilku Kyouya-kun?”

“…Mama bilang aku tidak boleh memanggilmu oji-san.”

Mei memiringkan kepalanya dengan rasa penasaran saat menjawab. Begitu. Meskipun aku masih tidak mengerti mengapa itu mengarah pada panggilan Kyouya-kun.

Saat aku mendongak, Kuraki mengacungkan jempol dengan tegas.

Wajah songong seperti ‘Tidak usah berterima kasih padaku’.

Tatapan songongnya itu agak menyebalkan.

“Aaah, enggak adil! Airi juga ingin memanggil Horikoshi-san dengan nama depannya!”

Interupsi itu datang dari Airi. Meskipun tiba-tiba menyela, dia tampak agak ragu-ragu, gelisah dan melihat sekeliling dengan gugup, pipinya memerah.

“U-Um, kalau begitu… b-boleh Airi memanggilmu Kyouya-san?”

“…Ah, ya, tentu saja.”

“B-Benarkah? Terima kasih banyak, Kyouya-san! Ehehe~”

Airi tersenyum lebar, senyum lebar tersungging di wajahnya.

Lalu—

“Baiklah, mungkin aku akan mulai memanggilmu Kyouya-kun juga.”

Dengan gaya yang berlebihan, Kuraki mengangkat tangannya dan bercanda. Sambil menyeringai licik, dia memiringkan kepalanya dengan jenaka.

“Bagaimana menurutmu, Kyouya-kun? Apa tidak masalah?”

“…Tentu, kenapa tidak.”

Seruannya jelas menggoda. Dulu waktu SMA, mungkin itu membuatku gelisah, tapi sekarang usia kami hampir tiga puluh, hal-hal seperti ini tidak lagi membuatku terganggu—malahan, justru sebaliknya.

Prank!

Saat itu, sebuah cangkir terbalik, air berhamburan di atas meja.

“…Ups, aku menumpahkannya.”

Minase-lah yang menjatuhkan cangkir itu. Tanpa sedikit pun panik, dia berdiri perlahan dan berbalik ke arah kami.

“Aku akan ambil handuk. Kalian bisa mengobrol terus.”

“Aya-chan, tumben sekali. Sampai menumpahkan air seperti itu.”

“Mou, aku juga pernah mengalaminya, lho.”

Minase tersenyum lembut sambil menjawab Airi.

Sementara itu, entah kenapa, Kuraki menempelkan tangannya ke dahi seolah-olah baru saja melakukan kesalahan.

“…?”

Aku mengerutkan kening, tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

 

◇◇◇◇

 

Setelah itu, acara makan siang berakhir dengan menyenangkan tanpa insiden. Sekarang tiba waktunya bersih-bersih.

Airi dan Mei memilah sampah ke dalam kantong, sementara Minase dan Kuraki dengan efisien membantu anak-anak mereka. Sedangkan aku kembali mencuci piring.

“Kyouya-kun.”

Saat aku sedang mencuci piring dengan tenang, Kuraki tiba-tiba menyelinap ke sampingku.

Sekarang apa lagi?

Ketika aku menatapnya dengan curiga, dia melihat sekeliling, memeriksa apakah ada orang di dekatnya, lalu mencondongkan tubuh dan berbisik pelan.

Hei, ini mungkin agak tiba-tiba, tapi...

Ada apa dengan pengantar yang aneh ini?

Apa kamu... masih menyukai Ayana?

Pffft!

Aku tak bisa menahan tawa. Aku segera melihat sekeliling, tapi selain Kuraki, tidak ada orang lain di dekatku. Sebenarnya, dia mungkin sudah mengamati area sekitar tadi hanya untuk mencari momen yang tepat seperti ini.

...Kenapa kamu ingin tahu hal seperti itu?

Hm, jadi kamu tidak menyangkalnya?

Tidak, aku hanya ingin tahu alasanmu. Itu saja.

Tentu, aku menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lain, tapi aku tetap ingin dia benar-benar mendengarkan. Kuraki merentangkan tangannya di atas kepala seperti sedang berolahraga ringan, lalu mencondongkan tubuh dari samping untuk mengintip wajahku.

Ayana dulu sering membicarakanmu, tapi... kamu agak berbeda dari yang dia gambarkan.

“Membicarakanku?

Dia bilang kamu baik kepada semua orang, dan selalu mau membantu.

...Haa.

Jadi begitulah cara Minase memandangku. Tidak terlalu mengejutkan, tapi mendengar bagaimana orang lain memandangmu selalu menimbulkan rasa gugup yang aneh. Tetap saja—

Dia tidak salah, kan?

Sepanjang hari, aku tidak bertindak dengan cara apa pun yang bisa dianggap tidak baik.

Tentu saja tidak. Kamu juga baik kepada Mei.

Lalu—

Tapi aku jadi bertanya-tanya apa itu benar. Tatapanmu saat berbicara dengan Ayana... persis seperti saat SMA dulu.

Kuraki mengatakannya sambil tersenyum, matanya memancarkan sinar yang penuh arti. Kata-katanya samar. Tapi aku mengerti maksudnya.

—Alasanku membantu Minase... karena aku masih menyukainya.

Itulah mengapa aku bersikap baik. Itulah yang dia maksud.

………………

Komentar Kuraki membuatku terdiam.

Ada banyak hal yang bisa kukatakan sebagai balasan, tapi yang pertama kali terucap dari mulutku adalah—

Jadi, kamu tahu apa yang kupikirkan tentang Minase sewaktu SMA dulu.

Tentu saja.

Kuraki menjawab sambil tersenyum.

Kecuali kalau ada yang benar-benar tidak tahu apa-apa, mereka pasti sudah tahu. Perasaanmu kelihatan kentara sekali, Kyouya-kun.

...Benar.

Aku berbalik dan melihat sekeliling ruangan.

Dan saat itu, aku bertatapan langsung dengan Minase, yang masih memilah sampah.

...?

Minase memiringkan kepalanya dengan penasaran.

 

◇◇◇◇

 

Oke, aku pergi dulu, Aya-chan!

Baiklah. Usahakan jangan terlalu merepotkan Utaha, ya?

Yap!

Saat matahari sudah lama terbenam dan langit malam mulai berganti, Minase dan aku sudah berdiri di depan gerbang tiket di stasiun terdekat, melihat Kuraki dan yang lainnya pergi.

Stasiun itu bersinar terang di bawah cahaya buatan. Orang-orang melewati gerbang satu demi satu, menghilang di kegelapan malam kota. Antrean telah terbentuk di bundaran bus di dekatnya.

Di sisi lain, Airi sedang menuju ke sebuah mobil pribadi yang diparkir agak jauh dari area bus. Di kursi pengemudi, duduk seorang pria berpenampilan ramah seusia kami—sepertinya ia adalah suami Kuraki, yang datang menjemput mereka.

Ternyata, Airi akan menginap di rumah Kuraki.

Rupanya, rencana awalnya adalah bermain di rumah Minase di siang hari dan menginap di rumah Kuraki di malam hari.

Itulah mengapa kami tidak hanya mengantar Kuraki dan keluarganya, tetapi juga Airi. Ngomong-ngomong, alasanku datang jauh-jauh ke stasiun adalah karena Airi memohon padaku.

Menurutnya: Kamu benar-benar tidak akan mengantar seorang gadis ke stasiun di malam hari? Jadi, seperti sebelumnya, aku akhirnya berpegangan tangan dengan Airi dan Mei saat kami berjalan ke stasiun bersama. Setelah Kuraki dan yang lainnya benar-benar menghilang melewati gerbang, Minase dan aku bertukar pandang.

Bagaimana kalau kita pulang?

Ya.

Kami mulai berjalan pulang. Sepenjuru kota sudah diselimuti kegelapan. Hanya beberapa lampu jalan kebiruan yang menghiasi jalan setapak, membuat tanah pun sulit terlihat. Tentu saja, aku juga tidak bisa melihat dengan jelas ekspresi Minase di sampingku.

Terima kasih sudah datang sejauh ini.

Sambil masih menatap ke depan tanpa melirikku sedikit pun, Minase berbicara dengan gumaman pelan.

Aku mengundangmu untuk mentraktirmu, tapi rasanya aku malah membuatmu melakukan semua hal yang melelahkan.

Aku baik-baik saja. Itu tidak cukup membuatku lelah.

Aku sama sekali tidak bohong. Biasanya aku hanya menghabiskan akhir pekanku dengan berdiam diri di kamar. Dibandingkan dengan itu, kegiatan hari ini terasa seperti cara yang jauh lebih sehat untuk menghabiskan hari.

Begitu. Terima kasih. Sejujurnya, mendengar itu membuatku merasa lebih baik.

Minase tersenyum lembut yang menyilaukan kepadaku. Entah kenapa, perkataan Kuraki masih terngiang di benakku saat itu.

—Tapi aku jadi bertanya-tanya apa itu benar.

—Caramu bicara dengan Ayana... rasanya seperti waktu SMA dulu.

Persis seperti waktu SMA dulu. Hal tersebut menyiratkan bahwa sampai sekarang pun, aku masih punya perasaan untuk Minase. Tapi sejujurnya, aku sendiri pun tidak yakin. Tentu saja, aku tidak menyimpan perasaan negatif apa pun padanya.

Tapi apakah aku masih menyukainya seperti dulu... aku tidak tahu.

“Ah.”

“…Ada apa?”

Saat pikiranku melayang tanpa tujuan, Minase tiba-tiba bicara. Aku mengerutkan kening dan berhenti. Dia mendesah getir.

“Aku punya beberapa pekerjaan yang harus kulakukan... tapi laptopku ketinggalan di kantor.”

“Meskipun besok hari Minggu, kamu masih ada pekerjaan?”

Aku harus kembali dan mengambilnya. Kamu bisa pulang, Horikoshi-kun.

Tunggu—tunggu, kamu mau pergi sekarang?

Ya. Semua dataku ada di laptop itu, jadi aku tidak bisa bekerja dari rumah tanpanya... Aku benar-benar tidak punya pilihan."

Sikap Minase sudah berubah. Dia mungkin sedang memikirkan logistik untuk pergi ke tempat kerjanya. Tapi hari sudah cukup larut. Setelah berdebat sejenak, akhirnya aku bertanya dengan lantang:

“Umm... apa tempat kerjamu jauh dari sini?

Eh? Ti-Tidak, sekitar dua puluh menit jalan kaki dari sini.

Minase menatapku dengan kebingung seolah-olah berkata, Kenapa kau bertanya begitu?”.

Tapi sekarang setelah aku menyinggungnya, aku tidak bisa mundur. Aku lalu memberitahunya.

...Kalau begitu aku akan pergi denganmu. Setidaknya sampai depan gedung.

Eh? T-Tunggu sebentar. Kenapa kamu—

Airi bilang padaku untuk tidak membiarkan perempuan berjalan sendirian di malam hari. Lagipula... aku merasa tidak enak pulang sendirian sekarang.

Logika macam apa itu?

Minase tertawa kecil dengan nada terperangah. Tapi, aku tidak menawarkan diri karena suatu motif tersembunyi... mungkin.

Kota ini terasa lebih gelap setelah kau keluar dari jalan utama. Ini bukan tempat yang ingin kau kunjungi sendirian sebagai seorang wanita.

Tentu saja, kemungkinan terjadi sesuatu jika aku membiarkan Minase pergi sendirian sangat kecil—tapi aku mungkin menyesal tidak mengatakan apa pun nanti.

Itulah mengapa aku menawarkan diri untuk pergi bersamanya. Karena rasanya itu hal yang tepat untuk dilakukan.

“…………”

Minase menatap lurus ke mataku, seolah mencari sesuatu.

Satu detik, dua detik... setiap kali waktu berlalu, entah kenapa jantungku mulai berdebar kencang.

Setelah apa yang terasa seperti selamanya, dia menghela napas pelan.

“…Yah, aku sebenarnya tidak suka berutang budi lagi, tapi… aku memang ingin bicara lebih banyak denganmu.──Kalau kamu tidak keberatan, bolehkah aku mengajakmu ikut?”

Dengan senyum cerah yang tiba-tiba muncul, Minase berbalik menghadapku.

Ekspresinya itu—entah bagaimana rasanya seperti ia menunjukkan sekilas perasaannya yang sebenarnya. Mau tak mau aku terpikat olehnya.

Dan, tentu saja, aku tak mungkin menolak.

Saat Minase mulai berjalan menuju tempat kerjanya, aku menyamakan langkahnya dan mengajukan pertanyaan yang sudah lama kupikirkan.

Yaitu—

“Ngomong-ngomong, pekerjaanmu apa, Minase?”

Sampai saat ini, rasanya agak canggung untuk bertanya, tetapi karena aku sedang menuju ke tempat kerjanya, sekarang terasa seperti waktu yang tepat.

Atau begitulah yang kupikirkan saat bertanya.

“Hah, aku belum memberitahumu?”

Minase menjawab pertanyaanku dengan santai.

Yah, bukannya aku menyembunyikannya atau semacamnya... dan kamu akan langsung tahu begitu kita sampai di sana, karena kamu cukup mengenal tempat itu.

Tempat yang kukenal?

Mhm.

Minase mengangguk, lalu memberikan jawabannya.

Karena aku menjadi guru SMA. ──Aku bekerja di sekolah lama kita.

 

 

Sebelumnya  |   Daftar isi  |  Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama