Chapter 5
Mari kita
membicarakan sedikit tentang masa lalu. Waktu kecil dulu, tak ada sapaan sambutan di rumahku. Ibuku seorang ibu tunggal. Dia selalu bekerja di luar, jadi
saat aku pulang sekolah, dia tidak ada di rumah.
Tak
sekali pun aku merasa hal itu membuatku tak bahagia.
Saat aku
cukup dewasa untuk memahami banyak hal, itu sudah biasa bagiku. Di festival
olahraga, aku hanya berpikir, Ohh,
jadi ayah anak-anak lain juga datang ke sini. Meski
memalukan untuk mengakuinya, kurasa ibuku masih mencurahkan kasih sayangnya
kepadaku.
Tapi
baginya, itu tak terasa begitu ‘normal’.
—Maaf ya, Kyouya.
Bagiku,
ibuku selalu tenang dan memiliki kekuatan yang tak tergoyahkan.
Aku tak
pernah melihatnya mengeluh atau menunjukkan kelemahan. Tapi ketika dia terlalu sibuk
bekerja untuk datang ke acara sekolah, atau ketika dia tidak bisa mengajakku ke
festival lokal, dia akan menepuk-nepuk kepalaku berulang kali seraya meminta maaf—
Seolah-olah
dia telah gagal menjadi seorang ibu.
Meski
begitu, aku ingat di saat yang sama, dalam hatiku, aku juga meminta maaf
padanya.
—Maaf.
Untuk apa
sebenarnya aku meminta
maaf…
Aku sudah
lama melupakannya. Sampai baru-baru ini.
◇◇◇◇
Untungnya,
hari Sabtu ternyata cerah.
Aku
menunggu di depan apartemen. Tempat
diadakannya pertunjukkan kembang
api berjarak sekitar beberapa puluh menit dengan kereta api dan kemudian
berjalan kaki. Acara itu berfokus pada komunitas, jadi sudah banyak siswa SMA
dan keluarga yang lewat, kemungkinan besar menuju ke sana.
Beberapa
mengenakan yukata, sementara yang lain, sama
sepertiku, tidak berdandan. Aku mengenakan kemeja putih polos dan celana jin
hitam—penampilan sederhana.
Lalu—
“Maaf sudah membuatmu menunggu.”
“Terima
kasih untuk hari ini, Horikoshi-san!”
Seorang
wanita cantik dan seorang gadis kecil cantik
melangkah keluar dari apartemen.
Si
cantik—Minase—mengenakan yukata.
Kainnya
biru tua, dihiasi model bunga
lili putih bersih. Sebaliknya, obi-nya berwarna hitam, menonjolkan pinggang
rampingnya. Dia hanya membawa tas serut kecil,
sehingga terlihat cukup ringan di bagasi. Kesan yang dia berikan adalah kecantikan
Jepang yang murni.
Sementara
itu, si cantik kecil—Airi—juga mengenakan yukata.
Gayanya
sama dengan Minase. Mungkin mereka memilih yang senada? Rambutnya disanggul—mungkin
hasil karya Minase.
Keduanya
mengenakan geta. Pletak, pletak—suara
merdu bakiak kayu bergema. Mendengarnya membuatku merasa seperti benar-benar
berada di sebuah festival.
Minase
menghampiriku dan berbicara dengan suara rendah.
“Maaf
soal hari ini. Aku pasti akan membalasmu nanti.”
“Sudah
kubilang, tidak apa-apa.”
“Tapi bukan
begitu cara kerjanya.”
Dia
menatapku tajam dengan raut
sedikit jengkel. Entah
kenapa, rasanya seperti aku sedang dimarahi. Padahal
seharusnya aku sedang melakukan
sesuatu yang baik di sini...
Tak tahan
dengan tatapannya, aku memalingkan muka. Saat melihat
ke arahnya, Airi merentangkan tangannya, memamerkan
yukata-nya.
Sembari memiringkan
kepalanya dengan imut, dia bertanya,
“Um,
Horikoshi-san. Apa Airi imut? Imut banget?”
“Ya,
kamu imut. Penampilanmu kelihatan lucu.”
“Muu,
apa kamu serius?”
“Aku
serius, aku serius.”
Aku
menjawab agak asal-asalan, tapi memang benar—yukata Airi memang terlihat
menggemaskan.
Usai mendengar
jawabanku, wajah Airi berseri-seri dengan senyum bak malaikat.
Tapi
kemudian, sesaat kemudian, senyum itu berubah menjadi sesuatu yang lebih nakal.
“Kalau gitu,
apa Aya-chan juga imut?”
“…………………………………………………………”
Hei,
tunggu dulu, bocah SD.
Apa yang baru saja kamu pikirkan?
Minase
mendesah kecil dan menarik lengan Airi.
“Ayolah,
Airi. Jangan bicara aneh-aneh seperti itu. Kamu
membuat Horikoshi-kun tidak nyaman.”
“Eeh,
tapi bukannya kamu juga penasaran,
Aya-chan? Padahal kamu sudah
bekerja keras sekali untuk berdandan.”
“Bukannya
aku melakukannya untuk Horikoshi-kun.”
“Tapi kau
kesulitan sekali memilih yukata yang lucu itu.”
“Karena sudah lama tidak memakainya,
jadi aku butuh waktu untuk memastikan aku tidak terlihat canggung. Itu sopan
santun yang paling rendah, kan?”
Ketika
dia mengatakannya seperti itu, pilihanku yang ceroboh untuk pakaian yang aman
dan membosankan itu terlihat buruk.
Sementara
itu, Airi menatapku dengan tatapan penuh harap. Tak mampu menahan tekanan tatapan
itu, aku pun dengan enggan membuka mulutku.
“…Minase,
yukata-mu juga terlihat bagus.”
“Terima
kasih, Horikoshi-kun.”
Dia
tersenyum padaku dengan tenang. Seperti
dugaanku, dia tahu
persis bagaimana cara bersikap sopan dalam interaksi sosial.
Di
sisi lain, Airi tampak
tidak senang—mungkin karena ia belum berhasil mengucapkan kata imut dariku.
“.... Horikoshi-san, itu membosankan.”
Maaf
kalau membosankan. Tapi begitulah menjadi dewasa. Bertukar kata-kata kosong,
menjaga penampilan di permukaan—
Hal-hal
seperti itulah yang membuat orang-orang mulai menyebutmu dewasa.
◇◇◇◇
“Airi,
kemarilah agar kau tidak tersesat.”
Kereta
itu penuh sesak dengan keluarga dan pasangan yang kemungkinan besar akan pergi
ke festival kembang api. Kerumunan
itu begitu padat hingga bahu mereka saling bersentuhan.
Minase
dan Airi berdiri di sudut dekat pintu, sementara aku berdiri di depan mereka
seperti dinding yang menghalangi kerumunan.
Setiap
kali kereta bergoyang, seseorang dari belakang akan mendorong punggungku, mau
tak mau mendesakku lebih dekat ke Minase dan Airi. Aku menguatkan diri seperti
pilar manusia agar tidak meremukkan mereka, tetapi kontak mata tak
terhindarkan.
Saat aku
mengangkat pandanganku, mata Minase bertemu dengan mataku. Biasanya aku tidak menatapnya
atau apa pun. Namun
hari ini, riasan Minase lebih menonjol
dari biasanya.
Wajahnya
cantik, kulitnya bersih, bibirnya berkilau dengan warna mengilap, dan aroma
lembut yang samar tercium di udara. Yang
memenuhi pandanganku adalah wajah dewasa dari gadis yang pernah kusukai saat SMA dulu. Sisa-sisa
perasaan masa lalu yang masih tersisa membuat jantungku berdebar kencang tanpa
izin.
Persis
seperti kata pepatah, cinta itu seperti penyakit, dan memang
benar—emosi yang kupikir sudah lama hilang, tiba-tiba muncul kembali tanpa
persetujuanku.
Tapi ini
hanya fatamorgana. Penyakit
lama itu seharusnya sudah lama sembuh. Mungkin
masa muda memang lebih ngotot
daripada yang kukira.
Lalu
Minase mendekatkan diri ke telingaku dan berbisik pelan,
“Kamu boleh bersandar padaku sedikit
lagi. Masih ada ruang.”
“Horikoshi-san,
Airi juga tidak keberatan kalau kau mendekat.”
Airi
menarik-narik celanaku di bagian kakiku. Tergoda untuk menerima tawaran
mereka, tapi kalau aku benar-benar bersandar pada mereka, aku malah akan
meremukkan mereka. Jelas, aku tidak bisa melakukan itu.
“Aku
baik-baik saja. Sebentar
lagi juga kita akan sampai kok.”
“...Benarkah?
Jangan terlalu memaksakan diri, ya.”
“Ya,
aku tahu.”
“Apa iya?”
Entah
kenapa, Minase terdengar tidak puas.
...Rasanya
seperti aku dimarahi seharian ini.
Yah,
tidak benar-benar dimarahi, tapi tatapannya membuatnya terasa seperti itu. Demi menghindarinya, aku mengganti
topik.
“Ngomong-ngomong,
kamu yakin tidak apa-apa untuk rapatmu?”
Aku sudah
tahu intinya sebelumnya, tapi Minase menurutiku dengan jawaban pelan.
“Seharusnya
tidak apa-apa. Aku sudah memesan salah satu ruang kerja kotak di stasiun.
Seperti yang kamu sarankan, aku berencana untuk bergabung melalui ponselku.”
“Ah,
benda itu.”
Aku tidak
tahu nama resminya, tapi akhir-akhir ini aku lebih sering melihatnya di
stasiun. Tempat itu pasti memungkinkan untuk bekerja
jarak jauh. Aku pernah melihat bilik-bilik gelap gulita itu dipasang di
stasiun-stasiun di sana-sini.
Benar—Minase
ada di sini bukan berarti rapatnya sudah selesai.
Dia
berencana untuk menyelinap pergi selama festival kembang api untuk bergabung
dengan rapat jarak jauh.
Itulah saranku. Kalau rapatnya jarak
jauh, dia bisa bergabung dari luar rumah. Asalkan aplikasinya terpasang, dia
bahkan bisa terhubung dari ponsel pintarnya. Untungnya, sepertinya rapat
seperti itu tidak mengharuskannya banyak bicara.
Kalau
begitu, dia masih bisa berpartisipasi dari dekat lokasi festival.
Masalahnya—kalau
Minase datang sendiri, semuanya tidak
akan semudah itu. Kalaupun
dia tidak banyak bicara, dia tidak akan bisa mengawasi Airi secara bersamaan.
Itulah
kenapa aku menyarankannya—selama dia rapat, aku akan mengawasi Airi.
Awalnya,
Minase menggelengkan kepalanya secara refleks, tapi... akhirnya, dia setuju
untuk mengabulkan keinginan Airi. Dan begitulah akhirnya aku pergi ke festival kembang
api bersama mereka.
“Maaf,
aku selalu merepotkanmu.”
“Sudah
kubilang, tidak apa-apa.”
Entah
sudah berapa kali kita melakukan percakapan yang sama seperti ini.
Kita baru
saja melakukannya beberapa saat yang lalu.
“Tapi—”
Minase
mulai membantah.
Namun,
pada saat itu, kereta mengeluarkan derit melengking saat melambat hingga
berhenti. Di luar jendela, aku bisa melihat nama stasiun terdekat dengan lokasi
kembang api. Kami sudah sampai.
“...Kita
selesaikan pembicaraan ini nanti.”
Dia
mengatakannya dengan pelan namun jelas. Tetap saja—mengapa dia begitu
ngotot untuk tidak merepotkanku?
Walaupun aku
merasa penasaran, tetapi tak sanggup bertanya.
◇◇◇◇
“Oke,
Airi, jadilah gadis yang baik ya.”
Di ruang
terbuka di depan gerbang tiket—di tempat yang tak akan menghalangi siapa
pun—Airi dan aku berdiri menghadap Minase.
Dia
mengalihkan pandangan matanya yang indah ke arahku.
“Aku
harus kembali tepat sebelum festival berakhir... tapi aku akan menghubungimu
jika terjadi sesuatu. Kamu juga
harus melakukan hal yang sama jika terjadi sesuatu, oke?”
“Ya,
serahkan saja padaku.”
Info
kontaknya sudah lama tak terpakai di ponselku. Aku tak pernah menyangka akan
mendapat kesempatan untuk menggunakannya lagi.
“Baiklah,
aku pergi rapat.”
Melambaikan
tangannya, Minase menghilang ke dalam stasiun. Yang tertinggal hanya aku dan
Airi. Sampai
Minase kembali, tugasku adalah menghibur Airi. Kurasa aku tidak terlalu cocok
menghibur orang, tapi untuk hari ini saja, aku harus menyelesaikannya.
Saat aku
sedang menguatkan diri—
“Ehm, Horikoshi-san!"
Saat
Minase menghilang dari pandangan, Airi tiba-tiba berbalik ke arahku. Matanya
berbinar, seolah ia hampir tak bisa menahan rasa ingin tahunya yang meluap. Ada
apa ini?
Saat aku
mengerutkan kening, ia melirik ke arah Minase pergi, lalu berbicara kepadaku
dengan nada berbisik dan penuh konspirasi.
“Eh,
eh, Airi punya sesuatu yang sudah lama ingin ditanyakan pada Horikoshi-san.”
“Ada
sesuatu yang ingin kamu tanyakan? Apa itu?”
“Umm...
Horikoshi-san pasti menyukai
Aya-chan, ‘kan?”
“………………”
Bagaimana
dia bisa sampai pada kesimpulan itu?
Aku punya
banyak hal untuk dikomentari,
tetapi hal pertama yang terlintas di pikiranku adalah kebingungan.
Seperti
yang pernah kukatakan sebelumnya, Airi sepertinya sudah berada di usia di mana dia menyukai romansa, mungkin
karena membaca manga shoujo. Jadi
ini mungkin hanya sebagian dari itu.
Tapi
kalau dipikir-pikir lagi—ketika aku kelas tiga, apa aku pernah memikirkan
tentang romansa? Rasanya pikiranku dulu jauh lebih sederhana.
Penasaran
dengan kehidupan cinta anak kelas tiga, aku bertanya,
“Jadi,
Airi, apa kamu sudah punya seseorang yang kamu suka?”
“Ya,
aku punya! Juen-kun!”
Dari
semua hal, dia malah menyukai
anggota grup boyband Korea.
Aku tidak
familiar dengan idola K-pop pria, tapi aku juga tahu yang satu ini. Mereka
adalah grup yang terkenal di dunia, aktif di skala global.
Begitu
ya... anak-anak zaman sekarang suka idola asing, ya. Global, ya? Aku bahkan
tidak mengerti bahasa Inggris sama sekali.
“Jadi
Airi tidak tertarik pada laki-laki di kelasmu?”
“Karena
laki-laki seusiaku sangat kekanak-kanakan. Semua orang bilang begitu, tau?”
...Menakutkan.
Katanya
perempuan lebih cepat dewasa, tapi tetap saja.
Kekanak-kanakan,
ya... Aku yakin perempuan juga bilang begitu di generasiku. Aku bahkan pernah
dengar rumor kalau di SMA, gadis-gadis
lebih menyukai [ria kampus, dan di kampus,
mereka lebih suka cowok pekerja. Mungkin memang begitulah adanya.
“Ngomong-ngomong,
kamu tidak bisa mengelak pertanyaannya!
Kita lagi ngomongin Aya-chan nih!”
Airi
menggembungkan pipinya dan memasang pose marah, bibirnya cemberut.
“Horikoshi-san
menyukai Aya-chan, kan? Mata Airi enggak bisa dibohongi!”
“Dan
apa yang akan kamu lakukan dengan informasi itu?”
“Airi
akan membantu Horikoshi-san akrab dengan Aya-chan!”
Dia
mendengus dan mengangguk penuh semangat serta
percaya diri.
Membantu,
ya. Apa sebenarnya yang dia rencanakan?
Karena
merasa penasaran, aku jadi
bertanya lagi.
“Dan
apa sebenarnya arti 'membantu'?”
"Airi
akan dengan santainya menceritakan hal-hal baik tentang Horikoshi-san pada
Aya-chan setiap hari! Begitulah cara Micchan dari kelas sebelah mendapatkan pacar, tahu?”
“Benarkah?
Mengesankan sekali.”
“Ya!
Itu strategi bawah sadar!”
Itu sih cuma cuci otak. Tetap saja, aku heran mengapa dia bisa mengetahui soal efek bawah sadar. Kurasa Minase benar—Airi memang
pintar.
“Jadi,
hal baik apa yang akan kamu katakan
tentangku?”
“Um...
yah... eh…………………………………… Horikoshi-san, apa kamu
punya uang?”
“…………”
Kita
mulai dari uang?
Tunggu—apa
itu berarti aku tidak punya poin bagus kecuali aku punya kekayaan yang
sebenarnya tidak ada? Itu terlalu menyedihkan.
"T-Tidak
masalah! Asalkan
kamu punya uang, kamu
akan populer! Temanku bilang dia ingin seseorang yang mapan dan berpenghasilan
tinggi!”
“...Itu
obrolan yang mengerikan untuk anak kelas tiga SD.”
Dia sudah
menatap kenyataan dengan mata kepala sendiri. Pantas saja dia tidak cocok
dengan teman sekelas yang pekerjaan impiannya adalah YouTuber.
Tapi
tetap saja—
“Kenapa
kamu begitu ngotot
ingin
menjodohkanku dan Minase?”
Berapa
kali pun aku bertanya, hanya itu yang tidak kumengerti, jadi aku bertanya lagi. Sepertinya dia tidak mengobrol
hanya karena dia suka obrolan romantis.
Usai mendengar
kata-kataku, Airi tersenyum canggung. Tapi
ketika aku terus menatapnya, dia akhirnya berbicara dengan suara yang hampir
seperti bisikan.
“…Karena
Aya-chan selalu pulang kerja cepat.”
“Dan itu
buruk?”
“I-Itu
bukan hal buruk! Bukan hal buruk sih, tapi…Aya-chan… mungkin dia
sebenarnya ingin lebih banyak bermain. Itulah
yang dipikirkan Airi.”
Suaranya
bergetar, seolah-olah dia akan menangis. Jelas siapa yang dia pikir harus
disalahkan karena Minase tidak punya waktu untuk bersenang-senang.
“…Airi,
kurasa itu tidak benar.”
Aku tak
bisa menahan diri untuk mengatakannya. Sebagai
orang dewasa, cuma satu hal itu yang harus kutegaskan.
“Minase
mana mungkin berpikir seperti itu.
Dia tidak pulang lebih awal karenamu. Dia melakukannya karena dia mau.”
“Ya,
kamu benar. Aya-chan tidak akan
berpikir seperti itu.”
Airi
tersenyum kesepian padaku.
Dari
ekspresinya, tak perlu menebak-nebak apa kata-kataku benar-benar sampai
padanya. Kami baru
saja bertemu dan sekedar orang
asing, hubungan kami sebatas
tetangga—
Dan ‘orang dewasa’ yang hanya bicara omong kosong
bukanlah orang yang bisa dipercaya.
◇◇◇◇
“Horikoshi-san,
ayo pergi. Enaknya kita mulai
dari mana ya?”
Airi
memasang senyum malaikat yang sempurna. Dan dia tidak membiarkanku
melihat isi hatinya lagi.
“Ah,
Horikoshi-san! Ada apa?”
“Horikoshi-san,
kamu mau es serut? Airi dapat uang saku dari Aya-chan!”
“Horikoshi-san,
ayo kita cari tempat segera!”
Sudah
berapa jam berlalu sejak itu?
Di bawah
langit malam, tepi sungai—yang akan menjadi lokasi kembang api—dipenuhi keriuhan dan kehangatan. Kios-kios berjejer di sepanjang
tanggul, seluruh area berkilauan cahaya. Keluarga dan pasangan berlalu-lalang,
memenuhi udara dengan kebisingan dan gerakan saat Airi dan aku berjalan untuk
mengamankan tempat.
Seiring
festival yang akan segera dimulai, kerumunan semakin ramai. Itulah sebabnya, meskipun aku
tidak memegang tangannya, aku terus menatapnya setiap beberapa detik.
Jika
sesuatu terjadi padanya setelah aku setuju untuk menontonnya, aku tidak akan
pernah memaafkan diriku sendiri.
Bukan
berarti Airi tahu apa pun tentang kekhawatiranku—tubuhnya yang mungil tampak
meliuk-liuk dengan mudah di antara kerumunan. Meskipun berjalan dengan yukata
pasti sulit, dia tidak menunjukkan tanda-tanda itu.
Aku
hampir tidak bisa mengimbanginya.
“H-Hei,
Airi, tunggu! Kalau kamu secepat
itu, kamu akan tersesat!”
“Ya ampun, Horikoshi-san, menurutmu Airi sudah umur berapa sih? Airi sudah kelas tiga SD, tau?”
Wajahnya
yang seperti malaikat menggembung kesal. Yah, setelah dia menyebutkannya,
anak kelas tiga SD sudah cukup dewasa.
Itulah
usia di mana kamu mulai
merasa malu terlihat bersama orang tuamu.
Dulu sewaktu aku kelas tiga SD, kurasa
aku sudah bisa pergi keluar dengan teman-teman tanpa orang dewasa yang
menemani.
Tapi,
untuk pria berusia tiga puluhan sepertiku, anak kelas satu dan tiga SD tidak
jauh berbeda. Meski demikian, rasanya akan jadi masalah kalau dia lari
duluan sendirian.
Ketika
kerumunan menipis sejenak, aku membungkuk untuk menatapnya.
“Maaf,
aku tidak terbiasa dengan keramaian. Aku tahu kamu
sudah besar, tapi bisakah kamu berjalan sedikit lebih lambat
untukku?”
Aku
menuntunnya tanpa membantah kata-katanya. Sewaktu kecil dulu, aku benci dibungkam
mentah-mentah, meskipun orang lain benar. Mengingat itu, aku mencoba
pendekatan ini—tapi...
“...Muu.
Apa kau benar-benar berpikir Airi akan tertipu oleh kebohongan seperti itu?”
Airi
menatapku dengan tatapan jengkel yang berlebihan, dengan mata setengah
terpejam. Caranya
membawa diri mengingatkanku pada Minase—mungkin itu hanya imajinasiku.
Tetap
saja, aku tidak bisa mundur. Aku terus berbicara.
“Tidak,
sungguh. Aku tidak sering pergi ke tempat ramai. Biasanya aku hanya di rumah
saat libur.”
“Eh...
Horikoshi-san tidak keluar bahkan di hari liburmu? Lantas apa saja yang kamu lakukan
di rumah?”
“Apa
yang kulakukan? Macam-macam. Salah satunya aku
sering tidur sampai siang.”
“Horikoshi-san…
apa kamu tidak punya teman?”
“…………”
Aku baru
saja dikasihani—benar-benar dikasihani—oleh seorang anak SD.
Meski
begitu, mungkin sulit bagi anak SD untuk membayangkan gaya hidup orang dewasa
seperti itu. Karena memang begitulah
akhir pekan bagi orang dewasa yang bekerja… ‘kan?
…Tunggu, itu wajar, kan? Bukan cuma aku yang benar-benar tidak punya teman, ‘kan?
Saat aku
mulai merasa tidak nyaman, Airi menepuk dadanya dengan pon dan tersenyum
padaku.
“Baiklah!
Demi Horikoshi-san yang malang, Airi akan menyesuaikan diri untukmu.”
“O-Oh,
begitu.”
“Kalau
Horikoshi-san khawatir, bagaimana kalau
kita berpegangan tangan?”
“…Bergandengan
tangan?”
“Kalau
kita berpegangan tangan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, ‘kan? Dengan begitu, Horikoshi-san
yang tertutup dan lemah tidak akan kalah dari orang banyak!”
Seolah-olah
mendapat ide cemerlang, Airi mengutarakannya dengan penuh semangat. Dia tidak salah sih... jadi kenapa kata-katanya
begitu menyakitkan? Apa aku benar-benar terlihat selemah itu?
Meski
begitu, tawaran itu sendiri cukup membantu, jadi aku memutuskan untuk
menerimanya.
“…Ya.
Baiklah, kalau begitu, maukah kamu
memegang tanganku?”
“Ya,
tentu saja. Tapi jangan lepaskan, oke? Kalau kamu
melepaskannya, Horikoshi-san yang selalu di
rumah akan tersesat.”
“…………”
Inilah
hasil yang kuinginkan, jadi kenapa aku merasa ingin menangis?
Tapi jika
aku ingin memastikan dia tidak tersesat, inilah cara terbaik.
Saat aku
menggenggam tangannya, dia tersenyum lebar. “Ehehe, astaga, mau bagaimana lagi,” katanya,
sambil menarikku dengan gembira. Entah bagaimana, rasanya seperti dialah yang
menjagaku.
Lalu—
“Ah,
Airi-chan!”
Ada suara
yang tiba-tiba memanggil dari
belakang, dan aku menoleh. Di sana berdiri tiga perempuan
SD.
Mereka
semua mengenakan yukata yang lucu, dan mereka tampak seumuran dengan Airi.
Mungkin teman—Airi langsung mengobrol riang dengan mereka.
“Eh,
rencana yang kamu
sebutkan itu untuk festival kembang api ini!?”
“Apa
Aya-chan ada di sini hari ini? Kakak perempuan yang cantik itu!”
“…Airi-chan,
tahun depan kita pasti pergi bersama.”
Mereka
bertiga melontarkan pertanyaan satu demi satu, dan Airi, dengan bersemangat,
menjawab satu per satu. Dari potongan percakapan yang kudengar, mereka
sepertinya teman sekelas dari sekolah yang sama.
Tapi
Minase dan Airi baru saja pindah ke sini.
Itu
berarti Airi pasti pindah sekolah pada saat yang sama.
Kudengar kakak Minase tinggal di suatu tempat
di pinggiran kota Tokyo. Aku tidak tahu daerah tepatnya, tapi tidak ada alasan
untuk pergi dari sana ke sekolah di sini, jadi pasti dia pindahan.
Meski
begitu, Airi sepertinya sudah berbaur dengan teman-teman sekelasnya. Mungkin
karena anak SD cepat berteman—tapi sebagai tetangga pun, aku lega melihatnya
beradaptasi dengan baik.
"Ngomong-ngomong... pria di sebelahmu itu ayahmu?”
Mungkin
mereka sudah kehabisan bahan obrolan, tapi tiba-tiba mereka mengalihkan
pembicaraan ke arahku.
Aku tak
bisa menjawabnya sendiri. Saat
aku melirik ke samping, Airi tersenyum cerah dan menjawab,
“Bukan,
ia bukan ayah Airi! Ia
Horikoshi-san yang merupakan tetangga sebelah!”
“Tetangga sebelah...?
Lalu kenapa kamu
berpegangan tangan dengannya?"
Kurasa
mereka sudah memikirkan hal itu sejak lama. Tatapan mereka bertiga langsung
tertuju pada tangan kami yang bergandengan.
Ya,
bahkan setelah teman-temannya memanggilnya, Airi dan aku masih berpegangan
tangan.
Kami
hanya belum punya waktu yang tepat untuk melepaskannya.
Jadi...
apa sebenarnya yang akan dia katakan? Saat jantungku berdebar kencang, Airi tersenyum
bak malaikat dan berkata,
“Horikoshi-san
itu penyendiri dan tidak terbiasa dengan keramaian, jadi Airi menggandeng
tangannya dan menuntunnya. Benar, Horikoshi-san?”
“…………”
“Iya ‘kan, Horikoshi-san?”
Tolong,
jangan libatkan aku dalam hal ini.
Senyumnya
yang murni dan berkilau ditujukan tepat padaku, tapi yang bisa kulakukan
hanyalah mengalihkan pandangan ke arah yang sama sekali berbeda. Hentikan,
jangan menatapku. Itu jelas bohong.
Namun—
“Begitu
ya… pasti sulit.”
“Lakukan
yang terbaik, oji-san penyendiri!”
“…Oji-san
penyendiri, apa kamu mau berpegangan tangan dengan kami
juga?”
Mungkin
karena Airi disukai, mereka menerima penjelasannya tanpa ragu sedikit pun. Mereka bahkan mengucapkan
kata-kata yang baik kepadaku. Bukan
berarti itu menghentikan hatiku untuk semakin hancur setiap kali.
Tak
disangka aku akan dikhawatirkan oleh anak-anak SD... Apa aku benar-benar
terlihat seputus asa itu?
Tapi
penyerangan empat gadis SD itu tidak berakhir di situ.
“Sudahlah—ayo
kita ajak oji-san berkeliling!”
“Kamu
jarang keluar, ‘kan?!”
“Tidak
apa-apa, kami akan melindungimu! Guru kami bilang kita harus bersikap baik kepada siapa pun yang
terlihat sedang dalam masalah.”
“Horikoshi-san,
bukannya menyenangkan semua orang
bersikap baik padamu?"
Mereka
semua berbicara kepadaku dengan ramah. Namun,
setiap kata terasa menusuk hatiku saat aku
terpuruk.
Pada
akhirnya, hatiku terus-menerus diremukkan oleh keempat gadis kecil ini—
Dan
kemudian, di atas kepala, kembang api meledak di langit malam, mengundang
sorak-sorai dari mana-mana.
Itu
adalah tembakan pertama, yang mengumumkan dimulainya festival kembang api.
◇◇◇◇
“Maaf.
Dan terima kasih sudah mengawasi,
Airi, Horikoshi-kun.”
Entah
sudah berapa lama waktu berlalu sejak saat itu. Setelah akhirnya terbebas dari
ketiga gadis itu, Airi dan aku duduk di atas terpal biru, menyaksikan kembang
api.
Di atas
terpal itu terhampar berbagai macam makanan dari kios-kios makanan—yakisoba, es
serut, kentang goreng—hanya hamparan makanan festival.
Pertunjukan
kembang api tersebut masih
dalam tahap awal, belum lama berlalu sejak dimulai. Butir-butir keringat membasahi
dahi Minase. Mungkin dia langsung lari ke sini dari stasiun setelah
menyelesaikan rapat jarak jauhnya.
“Tapi
kamu sampai di sini lumayan cepat.”
Persis
seperti yang dia katakan sebelumnya, seharusnya butuh
setidaknya satu setengah jam.
Kalau
begitu, ini terlalu cepat.
Minase
tersenyum tipis, tatapannya menerawang.
“Aku
sudah bilang begitu saja pada
seseorang di kantor, dan mereka bilang aku boleh pergi hari ini saja.”
“Oh
begitu.”
Kedengarannya
seperti tempat kerja yang ternyata sangat perhatian.
Tapi,
kalau dipikir-pikir, aku sebenarnya tidak tahu pekerjaan macam apa yang dilakukan Minase. Mungkin setidaknya agak nyaman
bekerja di sana... meskipun mereka memang ada rapat di hari Sabtu. ...Sebenarnya,
mungkin itu memang perusahaan kerja rodi.
Lalu—
Minase
yang duduk di terpal, tiba-tiba mengangkat pandangannya menatapku.
“Jadi?
Apa terjadi sesuatu?”
“Hah?”
“Ekspresimu
terlihat mengerikan... Jangan bilang Airi melakukan sesuatu?"
Dia
melirik Airi sekilas, bertanya dengan suara rendah.
Mata Airi
berbinar saat dia
menatap kembang api, mungkin terlalu teralihkan—dan dengan suara ledakannya, dia kemungkinan besar tidak bisa
mendengar kami.
Itu cara
Minase untuk memastikan Airi tidak mendengar.
Tapi kali
ini, Airi tidak bersalah.
Jadi aku
menceritakan dengan jujur tentang
apa yang terjadi pada ketiga gadis tadi. Minase menghela napas lega,
diikuti helaan napas yang terdengar.
“Ahhhhhhh~~~~~~~~~~ syukurlah~~~~~~~~.”
“S-Syukurlah?”
“Oh—tidak,
bukan soal kamu. Sejujurnya, itu salahmu sendiri. Kamu yang berbohong dan
membuat segalanya semakin rumit.”
Aku tidah bisa membantah perkataannya.
“Bukan
itu maksudku… Maksudku, senang rasanya tahu Airi bisa beradaptasi dengan baik
di sekolah barunya.”
Mata
Minase melembut karena kasih sayang. Dalam pandangannya, di bawah
langit malam, kembang api terus meledak saat Airi memperhatikannya dengan mata terbelalak dan mulut
ternganga gembira.
“Airi
banyak bercerita tentang sekolah… tapi dia tak pernah mengatakan hal-hal yang
benar-benar penting.”
“Benarkah…?”
Dari
sudut pandangku, sepertinya tidak begitu.
Tapi
kemudian—
—Mm-hmm.
Lagipula, Aya-chan sibuk.
—Maaf,
Airi yang egois.
Aya-chan, berusahalah yang terbaik di tempat kerjamu!
Kalau
dipikir-pikir lagi, mungkin ada saat-saat Airi mundur selangkah seperti itu.
“Itulah
kenapa aku senang. Karena dia bisa menyesuaikan diri… Akulah yang
memindahkannya karena pekerjaanku.”
Minase
menggigit bibirnya, ekpsresi penyesalan
terpancar di wajahnya. Dia
mungkin sama sekali tidak ingin membuatnya
pindah sekolah.
“Terima kasih,
Horikoshi-kun. Sudah memberitahuku.”
“Tidak,
aku…”
Aku tidak
melakukan apa-apa. Aku hanya berada di sisinya dan menceritakan apa yang
terjadi. Namun, di
bawah langit malam yang diterangi kembang api, senyum Minase lebih cerah dari
yang pernah kulihat sebelumnya.
Itu
berbeda dari senyum sempurna biasanya—senyum ini terasa seperti tercurah
langsung dari hatinya.
Aku tak
bisa menahan diri untuk tidak menatapnya. Ledakan kembang api menggema di
sekujur tubuhku. Aku
tidak tahu apakah debaran yang kurasakan berasal dari kembang api atau detak
jantungku.
Dan
kemudian—
“...Wow. Aya-chan, lihat, lihat!”
Airi
bersorak kecil. Dengan
siulan tajam dan ledakan keras, sekuntum bunga api menyala menerangi langit
malam.
Bahkan
sebelum sempat bernapas, bunga-bunga berwarna-warni nan lembut bermekaran
dengan cepat. “Ooooh!” Sorak sorai penonton
menggetarkan udara, dan pada saat itu, lebih banyak kembang api terus
diluncurkan satu demi satu.
Sebuah
tambang bintang.
Puncak
festival kembang api ini.
Aku
melirik ke samping—Airi menatap langit malam dengan mulut sedikit terbuka. Dan
di sampingnya, Minase tersenyum santai. Melihat pemandangan ini saja membuatku
merasa semua ini sepadan untuk melangkah maju.
Aku
mengeluarkan ponselku dan mengarahkan kamera ke langit.
Di
sebelahku, Minase melakukan hal yang sama.
Kami
berdua bukanlah tipe orang yang hobi memotret.
Namun
entah mengapa, aku merasa terdorong untuk mengabadikan momen ini.
◇◇◇◇
Di depan
mataku, langit malam bermekaran bak menjadi
karangan bunga. Berkilauan.
Berkobar-kobar. Seperti sesuatu yang langsung diambil dari dongeng. Tapi bukan hanya aku saja yang terpikat.
Aya-chan
dan Horikoshi-san juga menatap langit malam, terengah-engah.
Begitulah
ajaibnya pemandangan itu—
“Ayah,
Ibu, sungguh menakjubkan!”
Di dekatku, ada seorang
anak laki-laki berteriak kegirangan. Ia tampak sedikit lebih muda dari Airi,
menarik-narik lengan orang tuanya dengan antusias. Ayah dan ibunya tersenyum
hangat dan menjawab, “Iya, menakjubkan sekali, iya ‘kan?”
Tapi
setiap kali melihat pemandangan seperti itu, aku tak bisa berhenti berpikir—
Ah… aku memang sudah tidak punya ayah dan ibu
lagi, ya?
Ini
mendadak, tapi… aku ingin bercerita sedikit tentang masa lalu.
Mungkin
ini egois, tapi kuharap kalian
mau mendengarkan sebentar.
Setahun
yang lalu—hampir tepat di waktu ini—ayah dan ibuku
pergi ke luar negeri dan tak pernah kembali.
Keberadaan mereka
‘menghilang’ atau begitulah kata kerabatku, tapi semua bibi dan pamanku
langsung bilang mereka pasti sudah meninggal. Bukan hanya itu—mereka justru menyalahkan Ayah dan Ibu sembari mengatakan
kalau mereka tidak bertanggung jawab.
Sejujurnya,
aku merasa takut.
Karena
semua orang selalu baik pada Airi. Mereka memberiku uang Tahun Baru, mereka
memperlakukanku dengan baik. Namun, mereka semua membicarakan hal-hal buruk
tentang ibuku, satu demi satu.
Saat itulah
aku akhirnya menyadari—
Ah…
mereka semua membenci Ibu.
Semua
orang menahannya, tetapi jauh di lubuk hati, mereka selalu membencinya. Mereka tidak bisa mengatakannya
langsung padanya, jadi ketika kesempatan itu datang, semuanya langsung
terbongkar.
Orang
yang menyelamatkanku dari tempat itu adalah Aya-chan.
Aya-chan
selalu keren!
Aya-chan
adalah pangeran Airi. Dia yang paling keren kedua setelah Juan-kun, dan
terlebih lagi, super imut! Airi sebenarnya berusaha keras untuk menjadi seperti
Aya-chan, tetapi tidak pernah berhasil. Muu… Aku penasaran apa ada semacam
rahasia.
Meskipun
ibu dan ayahku telah tiada, Aya-chan tetap bersamaku.
Aku sering menangis, banyak khawatir,
banyak berjuang—tetapi Aya-chan selalu ada di sana. Dia mencintaiku. Dia memelukku
erat. Dan setelah setahun berlalu, kurasa... akhirnya aku bisa sedikit
melupakannya.
Bahkan
sekarang, terkadang aku masih menangis diam-diam.
Tapi
ketika aku mengingat Ibu dan Ayah, aku tak lagi menangis sesering dulu.
Tetap
saja—
Tapi, kamu tahu—
Di saat-saat
seperti ini, aku tak bisa berhenti bertanya-tanya.
…Apa aku
hanya menjadi beban bagi Aya-chan?
Mungkin
Aya-chan benar-benar ingin bersenang-senang, tapi dia menahan diri. Mungkin dia
tak bisa pergi ke mana pun karena keberadaanku.
Mungkin dia tinggal bersamaku hanya karena rasa tanggung jawab—karena dia baik,
karena dia setenang pangeran.
Ibu
pernah bilang kalau usia Aya-chan adalah usia primadona seorang wanita.
Ibu
bilang orang dewasa seperti Aya-chan pergi ke tempat gemerlap bernama Kolam
Malam dan bermain dengan pria dewasa berkulit cokelat, berotot, dan berambut
pirang. Ibu yang bilang begitu, jadi pasti benar. Aya-chan bilang, “Itu bukan kesukaanku,” tapi
mungkin dia benar-benar menahan diri untuk tidak pergi. Saat aku menatap langit
malam, aku melihat Horikoshi-san dan Aya-chan di samping kembang api.
Aya-chan
tampak bersenang-senang.
Matanya
menyipit, bibirnya mengendur—dan bahkan tanpa kata-kata, aku tahu dia sedang
menikmati dirinya sendiri.
Melihat
lebih jauh ke depan, ada begitu banyak keluarga.
Seorang
gadis duduk di pundak ayahnya. Seorang anak laki-laki memegang tangan ibunya.
Seorang pria dan wanita yang tampak seperti pasangan suami istri. Dan—Aya-chan
dan Horikoshi-san. Mereka bukan keluarga, tapi mereka terlihat serasi.
Tapi Airi
bukan bagian dari lingkaran itu.
Airi
satu-satunya yang tersisih.
Karena
ibu dan ayah Airi telah tiada.
Aya-chan
sering berkata, “Maafkan
aku.”
Tapi
sebenarnya—Airi juga selalu meminta maaf dalam hatinya.
Maafkan
aku, Aya-chan.
Maafkan
aku karena berada
di sini.
Tanpa kusadari,
aku telah berlari pelan-pelan. Segala sesuatu di sekitarku terlalu menyilaukan.
◇◇◇◇
“—!”
Saat
ledakan kembang api berlanjut, kerumunan tiba-tiba
berdiri serentak.
Mereka
mungkin ingin pemandangan yang lebih baik. Dalam hitungan detik, lebih banyak
orang berdatangan dari tempat lain,
berdesakan dengan Minase dan diriku.
Orang tua yang menggendong anak-anak di bahu mereka menghalangi pandangan depan
sepenuhnya, sehingga hampir mustahil untuk melihat kembang api.
Hah?
Minase di sampingku?
...Bukankah ada yang hilang?
“Airi!”
“Ah—Airi!?”
Aku dan
Minase menyadarinya hampir bersamaan dan mulai mencarinya—tapi dia sudah pergi.
Airi tidak terlihat di mana pun.
Kami
berdua sedang menggunakan ponsel untuk mengambil gambar.
Karena
itu, kami melepaskan tangannya.
“Airi!?”
“Airi, kamu di mana!?”
Minase
meninggalkan ekspresi tenangnya yang biasa dan berteriak putus asa.
Aku juga
berteriak, tapi tidak ada jawaban dari Airi.
Beberapa
pasangan di dekat kami menoleh untuk melihat apa yang
terjadi, tetapi aku tak peduli. Kami
keluar dari kerumunan dan mencarinya
di wilayah sekitar.
Namun, keberadaan sama sekali Airi tak
terlihat.

