Koukou jidai ni Sukidatta Vol 1 Chapter 5 Bahasa Indonesia

Chapter 5

 

Mari kita membicarakan sedikit tentang masa lalu. Waktu kecil dulu, tak ada sapaan sambutan di rumahku. Ibuku seorang ibu tunggal. Dia selalu bekerja di luar, jadi saat aku pulang sekolah, dia tidak ada di rumah.

Tak sekali pun aku merasa hal itu membuatku tak bahagia.

Saat aku cukup dewasa untuk memahami banyak hal, itu sudah biasa bagiku. Di festival olahraga, aku hanya berpikir, Ohh, jadi ayah anak-anak lain juga datang ke sini. Meski memalukan untuk mengakuinya, kurasa ibuku masih mencurahkan kasih sayangnya kepadaku.

Tapi baginya, itu tak terasa begitu normal.

—Maaf ya, Kyouya.

Bagiku, ibuku selalu tenang dan memiliki kekuatan yang tak tergoyahkan.

Aku tak pernah melihatnya mengeluh atau menunjukkan kelemahan. Tapi ketika dia terlalu sibuk bekerja untuk datang ke acara sekolah, atau ketika dia tidak bisa mengajakku ke festival lokal, dia akan menepuk-nepuk kepalaku berulang kali seraya meminta maaf—

Seolah-olah dia telah gagal menjadi seorang ibu.

Meski begitu, aku ingat di saat yang sama, dalam hatiku, aku juga meminta maaf padanya.

—Maaf.

Untuk apa sebenarnya aku meminta maaf…

Aku sudah lama melupakannya. Sampai baru-baru ini.

 

◇◇◇◇

 

Untungnya, hari Sabtu ternyata cerah.

Aku menunggu di depan apartemen. Tempat diadakannya pertunjukkan kembang api berjarak sekitar beberapa puluh menit dengan kereta api dan kemudian berjalan kaki. Acara itu berfokus pada komunitas, jadi sudah banyak siswa SMA dan keluarga yang lewat, kemungkinan besar menuju ke sana.

Beberapa mengenakan yukata, sementara yang lain, sama sepertiku, tidak berdandan. Aku mengenakan kemeja putih polos dan celana jin hitam—penampilan sederhana.

Lalu—

“Maaf sudah membuatmu menunggu.”

“Terima kasih untuk hari ini, Horikoshi-san!”

Seorang wanita cantik dan seorang gadis kecil cantik melangkah keluar dari apartemen.

Si cantik—Minase—mengenakan yukata.

Kainnya biru tua, dihiasi model bunga lili putih bersih. Sebaliknya, obi-nya berwarna hitam, menonjolkan pinggang rampingnya. Dia hanya membawa tas serut kecil, sehingga terlihat cukup ringan di bagasi. Kesan yang dia berikan adalah kecantikan Jepang yang murni.

Sementara itu, si cantik kecil—Airi—juga mengenakan yukata.

Gayanya sama dengan Minase. Mungkin mereka memilih yang senada? Rambutnya disanggul—mungkin hasil karya Minase.

Keduanya mengenakan geta. Pletak, pletak—suara merdu bakiak kayu bergema. Mendengarnya membuatku merasa seperti benar-benar berada di sebuah festival.

Minase menghampiriku dan berbicara dengan suara rendah.

“Maaf soal hari ini. Aku pasti akan membalasmu nanti.”

“Sudah kubilang, tidak apa-apa.”

“Tapi bukan begitu cara kerjanya.

Dia menatapku tajam dengan raut sedikit jengkel. Entah kenapa, rasanya seperti aku sedang dimarahi. Padahal seharusnya aku sedang melakukan sesuatu yang baik di sini...

Tak tahan dengan tatapannya, aku memalingkan muka. Saat melihat ke arahnya, Airi merentangkan tangannya, memamerkan yukata-nya.

Sembari memiringkan kepalanya dengan imut, dia bertanya,

Um, Horikoshi-san. Apa Airi imut? Imut banget?

Ya, kamu imut. Penampilanmu kelihatan lucu.

Muu, apa kamu serius?

Aku serius, aku serius.”

Aku menjawab agak asal-asalan, tapi memang benar—yukata Airi memang terlihat menggemaskan.

Usai mendengar jawabanku, wajah Airi berseri-seri dengan senyum bak malaikat.

Tapi kemudian, sesaat kemudian, senyum itu berubah menjadi sesuatu yang lebih nakal.

“Kalau gitu, apa Aya-chan juga imut?

…………………………………………………………”

Hei, tunggu dulu, bocah SD.

Apa yang baru saja kamu pikirkan?

Minase mendesah kecil dan menarik lengan Airi.

“Ayolah, Airi. Jangan bicara aneh-aneh seperti itu. Kamu membuat Horikoshi-kun tidak nyaman.”

“Eeh, tapi bukannya kamu juga penasaran, Aya-chan? Padahal kamu sudah bekerja keras sekali untuk berdandan.”

“Bukannya aku melakukannya untuk Horikoshi-kun.”

“Tapi kau kesulitan sekali memilih yukata yang lucu itu.”

Karena sudah lama tidak memakainya, jadi aku butuh waktu untuk memastikan aku tidak terlihat canggung. Itu sopan santun yang paling rendah, kan?”

Ketika dia mengatakannya seperti itu, pilihanku yang ceroboh untuk pakaian yang aman dan membosankan itu terlihat buruk.

Sementara itu, Airi menatapku dengan tatapan penuh harap. Tak mampu menahan tekanan tatapan itu, aku pun dengan enggan membuka mulutku.

“…Minase, yukata-mu juga terlihat bagus.”

“Terima kasih, Horikoshi-kun.”

Dia tersenyum padaku dengan tenang. Seperti dugaanku, dia tahu persis bagaimana cara bersikap sopan dalam interaksi sosial.

Di sisi lain, Airi tampak tidak senang—mungkin karena ia belum berhasil mengucapkan kata imut dariku.

“.... Horikoshi-san, itu membosankan.”

Maaf kalau membosankan. Tapi begitulah menjadi dewasa. Bertukar kata-kata kosong, menjaga penampilan di permukaan—

Hal-hal seperti itulah yang membuat orang-orang mulai menyebutmu dewasa.

 

◇◇◇◇

 

Airi, kemarilah agar kau tidak tersesat.

Kereta itu penuh sesak dengan keluarga dan pasangan yang kemungkinan besar akan pergi ke festival kembang api. Kerumunan itu begitu padat hingga bahu mereka saling bersentuhan.

Minase dan Airi berdiri di sudut dekat pintu, sementara aku berdiri di depan mereka seperti dinding yang menghalangi kerumunan.

Setiap kali kereta bergoyang, seseorang dari belakang akan mendorong punggungku, mau tak mau mendesakku lebih dekat ke Minase dan Airi. Aku menguatkan diri seperti pilar manusia agar tidak meremukkan mereka, tetapi kontak mata tak terhindarkan.

Saat aku mengangkat pandanganku, mata Minase bertemu dengan mataku. Biasanya aku tidak menatapnya atau apa pun. Namun hari ini, riasan Minase lebih menonjol dari biasanya.

Wajahnya cantik, kulitnya bersih, bibirnya berkilau dengan warna mengilap, dan aroma lembut yang samar tercium di udara. Yang memenuhi pandanganku adalah wajah dewasa dari gadis yang pernah kusukai saat SMA dulu. Sisa-sisa perasaan masa lalu yang masih tersisa membuat jantungku berdebar kencang tanpa izin.

Persis seperti kata pepatah, cinta itu seperti penyakit, dan memang benar—emosi yang kupikir sudah lama hilang, tiba-tiba muncul kembali tanpa persetujuanku.

Tapi ini hanya fatamorgana. Penyakit lama itu seharusnya sudah lama sembuh. Mungkin masa muda memang lebih ngotot daripada yang kukira.

Lalu Minase mendekatkan diri ke telingaku dan berbisik pelan,

Kamu boleh bersandar padaku sedikit lagi. Masih ada ruang.

Horikoshi-san, Airi juga tidak keberatan kalau kau mendekat.

Airi menarik-narik celanaku di bagian kakiku. Tergoda untuk menerima tawaran mereka, tapi kalau aku benar-benar bersandar pada mereka, aku malah akan meremukkan mereka. Jelas, aku tidak bisa melakukan itu.

Aku baik-baik saja. Sebentar lagi juga kita akan sampai kok.

...Benarkah? Jangan terlalu memaksakan diri, ya.

Ya, aku tahu.

“Apa iya?

Entah kenapa, Minase terdengar tidak puas.

...Rasanya seperti aku dimarahi seharian ini.

Yah, tidak benar-benar dimarahi, tapi tatapannya membuatnya terasa seperti itu. Demi menghindarinya, aku mengganti topik.

Ngomong-ngomong, kamu yakin tidak apa-apa untuk rapatmu?

Aku sudah tahu intinya sebelumnya, tapi Minase menurutiku dengan jawaban pelan.

Seharusnya tidak apa-apa. Aku sudah memesan salah satu ruang kerja kotak di stasiun. Seperti yang kamu sarankan, aku berencana untuk bergabung melalui ponselku.

Ah, benda itu.

Aku tidak tahu nama resminya, tapi akhir-akhir ini aku lebih sering melihatnya di stasiun. Tempat itu pasti memungkinkan untuk bekerja jarak jauh. Aku pernah melihat bilik-bilik gelap gulita itu dipasang di stasiun-stasiun di sana-sini.

Benar—Minase ada di sini bukan berarti rapatnya sudah selesai.

Dia berencana untuk menyelinap pergi selama festival kembang api untuk bergabung dengan rapat jarak jauh.

Itulah saranku. Kalau rapatnya jarak jauh, dia bisa bergabung dari luar rumah. Asalkan aplikasinya terpasang, dia bahkan bisa terhubung dari ponsel pintarnya. Untungnya, sepertinya rapat seperti itu tidak mengharuskannya banyak bicara.

Kalau begitu, dia masih bisa berpartisipasi dari dekat lokasi festival.

Masalahnya—kalau Minase datang sendiri, semuanya tidak akan semudah itu. Kalaupun dia tidak banyak bicara, dia tidak akan bisa mengawasi Airi secara bersamaan.

Itulah kenapa aku menyarankannya—selama dia rapat, aku akan mengawasi Airi.

Awalnya, Minase menggelengkan kepalanya secara refleks, tapi... akhirnya, dia setuju untuk mengabulkan keinginan Airi. Dan begitulah akhirnya aku pergi ke festival kembang api bersama mereka.

Maaf, aku selalu merepotkanmu.

Sudah kubilang, tidak apa-apa.

Entah sudah berapa kali kita melakukan percakapan yang sama seperti ini.

Kita baru saja melakukannya beberapa saat yang lalu.

Tapi—

Minase mulai membantah.

Namun, pada saat itu, kereta mengeluarkan derit melengking saat melambat hingga berhenti. Di luar jendela, aku bisa melihat nama stasiun terdekat dengan lokasi kembang api. Kami sudah sampai.

...Kita selesaikan pembicaraan ini nanti.

Dia mengatakannya dengan pelan namun jelas. Tetap saja—mengapa dia begitu ngotot untuk tidak merepotkanku?

Walaupun aku merasa penasaran, tetapi tak sanggup bertanya.

 

◇◇◇◇

 

Oke, Airi, jadilah gadis yang baik ya.

Di ruang terbuka di depan gerbang tiket—di tempat yang tak akan menghalangi siapa pun—Airi dan aku berdiri menghadap Minase.

Dia mengalihkan pandangan matanya yang indah ke arahku.

Aku harus kembali tepat sebelum festival berakhir... tapi aku akan menghubungimu jika terjadi sesuatu. Kamu juga harus melakukan hal yang sama jika terjadi sesuatu, oke?

Ya, serahkan saja padaku.

Info kontaknya sudah lama tak terpakai di ponselku. Aku tak pernah menyangka akan mendapat kesempatan untuk menggunakannya lagi.

Baiklah, aku pergi rapat.

Melambaikan tangannya, Minase menghilang ke dalam stasiun. Yang tertinggal hanya aku dan Airi. Sampai Minase kembali, tugasku adalah menghibur Airi. Kurasa aku tidak terlalu cocok menghibur orang, tapi untuk hari ini saja, aku harus menyelesaikannya.

Saat aku sedang menguatkan diri—

Ehm, Horikoshi-san!"

Saat Minase menghilang dari pandangan, Airi tiba-tiba berbalik ke arahku. Matanya berbinar, seolah ia hampir tak bisa menahan rasa ingin tahunya yang meluap. Ada apa ini?

Saat aku mengerutkan kening, ia melirik ke arah Minase pergi, lalu berbicara kepadaku dengan nada berbisik dan penuh konspirasi.

Eh, eh, Airi punya sesuatu yang sudah lama ingin ditanyakan pada Horikoshi-san.

Ada sesuatu yang ingin kamu tanyakan? Apa itu?

“Umm... Horikoshi-san pasti menyukai Aya-chan, kan?

………………

Bagaimana dia bisa sampai pada kesimpulan itu?

Aku punya banyak hal untuk dikomentari, tetapi hal pertama yang terlintas di pikiranku adalah kebingungan.

Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya, Airi sepertinya sudah berada di usia di mana dia menyukai romansa, mungkin karena membaca manga shoujo. Jadi ini mungkin hanya sebagian dari itu.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi—ketika aku kelas tiga, apa aku pernah memikirkan tentang romansa? Rasanya pikiranku dulu jauh lebih sederhana.

Penasaran dengan kehidupan cinta anak kelas tiga, aku bertanya,

Jadi, Airi, apa kamu sudah punya seseorang yang kamu suka?

Ya, aku punya! Juen-kun!

Dari semua hal, dia malah menyukai anggota grup boyband Korea.

Aku tidak familiar dengan idola K-pop pria, tapi aku juga tahu yang satu ini. Mereka adalah grup yang terkenal di dunia, aktif di skala global.

Begitu ya... anak-anak zaman sekarang suka idola asing, ya. Global, ya? Aku bahkan tidak mengerti bahasa Inggris sama sekali.

Jadi Airi tidak tertarik pada laki-laki di kelasmu?

Karena laki-laki seusiaku sangat kekanak-kanakan. Semua orang bilang begitu, tau?

...Menakutkan.

Katanya perempuan lebih cepat dewasa, tapi tetap saja.

Kekanak-kanakan, ya... Aku yakin perempuan juga bilang begitu di generasiku. Aku bahkan pernah dengar rumor kalau di SMA, gadis-gadis lebih menyukai [ria kampus, dan di kampus, mereka lebih suka cowok pekerja. Mungkin memang begitulah adanya.

Ngomong-ngomong, kamu tidak bisa mengelak pertanyaannya! Kita lagi ngomongin Aya-chan nih!

Airi menggembungkan pipinya dan memasang pose marah, bibirnya cemberut.

Horikoshi-san menyukai Aya-chan, kan? Mata Airi enggak bisa dibohongi!

Dan apa yang akan kamu lakukan dengan informasi itu?

Airi akan membantu Horikoshi-san akrab dengan Aya-chan!

Dia mendengus dan mengangguk penuh semangat serta percaya diri.

Membantu, ya. Apa sebenarnya yang dia rencanakan?

Karena merasa penasaran, aku jadi bertanya lagi.

Dan apa sebenarnya arti 'membantu'?

"Airi akan dengan santainya menceritakan hal-hal baik tentang Horikoshi-san pada Aya-chan setiap hari! Begitulah cara Micchan dari kelas sebelah mendapatkan pacar, tahu?

Benarkah? Mengesankan sekali.

Ya! Itu strategi bawah sadar!

Itu sih cuma cuci otak. Tetap saja, aku heran mengapa dia bisa mengetahui soal efek bawah sadar. Kurasa Minase benar—Airi memang pintar.

Jadi, hal baik apa yang akan kamu katakan tentangku?

Um... yah... eh…………………………………… Horikoshi-san, apa kamu punya uang?

…………

Kita mulai dari uang?

Tunggu—apa itu berarti aku tidak punya poin bagus kecuali aku punya kekayaan yang sebenarnya tidak ada? Itu terlalu menyedihkan.

"T-Tidak masalah! Asalkan kamu punya uang, kamu akan populer! Temanku bilang dia ingin seseorang yang mapan dan berpenghasilan tinggi!

...Itu obrolan yang mengerikan untuk anak kelas tiga SD.

Dia sudah menatap kenyataan dengan mata kepala sendiri. Pantas saja dia tidak cocok dengan teman sekelas yang pekerjaan impiannya adalah YouTuber.

Tapi tetap saja—

Kenapa kamu begitu ngotot ingin menjodohkanku dan Minase?

Berapa kali pun aku bertanya, hanya itu yang tidak kumengerti, jadi aku bertanya lagi. Sepertinya dia tidak mengobrol hanya karena dia suka obrolan romantis.

Usai mendengar kata-kataku, Airi tersenyum canggung. Tapi ketika aku terus menatapnya, dia akhirnya berbicara dengan suara yang hampir seperti bisikan.

“…Karena Aya-chan selalu pulang kerja cepat.”

“Dan itu buruk?”

I-Itu bukan hal buruk! Bukan hal buruk sih, tapi…Aya-chan… mungkin dia sebenarnya ingin lebih banyak bermain. Itulah yang dipikirkan Airi.”

Suaranya bergetar, seolah-olah dia akan menangis. Jelas siapa yang dia pikir harus disalahkan karena Minase tidak punya waktu untuk bersenang-senang.

“…Airi, kurasa itu tidak benar.”

Aku tak bisa menahan diri untuk mengatakannya. Sebagai orang dewasa, cuma satu hal itu yang harus kutegaskan.

Minase mana mungkin berpikir seperti itu. Dia tidak pulang lebih awal karenamu. Dia melakukannya karena dia mau.

Ya, kamu benar. Aya-chan tidak akan berpikir seperti itu.

Airi tersenyum kesepian padaku.

Dari ekspresinya, tak perlu menebak-nebak apa kata-kataku benar-benar sampai padanya. Kami baru saja bertemu dan sekedar orang asing, hubungan kami sebatas tetangga—

Dan orang dewasa yang hanya bicara omong kosong bukanlah orang yang bisa dipercaya.

 

◇◇◇◇

 

Horikoshi-san, ayo pergi. Enaknya kita mulai dari mana ya?

Airi memasang senyum malaikat yang sempurna. Dan dia tidak membiarkanku melihat isi hatinya lagi.

“Ah, Horikoshi-san! Ada apa?”

“Horikoshi-san, kamu mau es serut? Airi dapat uang saku dari Aya-chan!”

“Horikoshi-san, ayo kita cari tempat segera!”

Sudah berapa jam berlalu sejak itu?

Di bawah langit malam, tepi sungai—yang akan menjadi lokasi kembang api—dipenuhi keriuhan dan kehangatan. Kios-kios berjejer di sepanjang tanggul, seluruh area berkilauan cahaya. Keluarga dan pasangan berlalu-lalang, memenuhi udara dengan kebisingan dan gerakan saat Airi dan aku berjalan untuk mengamankan tempat.

Seiring festival yang akan segera dimulai, kerumunan semakin ramai. Itulah sebabnya, meskipun aku tidak memegang tangannya, aku terus menatapnya setiap beberapa detik.

Jika sesuatu terjadi padanya setelah aku setuju untuk menontonnya, aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri.

Bukan berarti Airi tahu apa pun tentang kekhawatiranku—tubuhnya yang mungil tampak meliuk-liuk dengan mudah di antara kerumunan. Meskipun berjalan dengan yukata pasti sulit, dia tidak menunjukkan tanda-tanda itu.

Aku hampir tidak bisa mengimbanginya.

“H-Hei, Airi, tunggu! Kalau kamu secepat itu, kamu akan tersesat!”

Ya ampun, Horikoshi-san, menurutmu Airi sudah umur berapa sih? Airi sudah kelas tiga SD, tau?

Wajahnya yang seperti malaikat menggembung kesal. Yah, setelah dia menyebutkannya, anak kelas tiga SD sudah cukup dewasa.

Itulah usia di mana kamu mulai merasa malu terlihat bersama orang tuamu.

Dulu sewaktu aku kelas tiga SD, kurasa aku sudah bisa pergi keluar dengan teman-teman tanpa orang dewasa yang menemani.

Tapi, untuk pria berusia tiga puluhan sepertiku, anak kelas satu dan tiga SD tidak jauh berbeda. Meski demikian, rasanya akan jadi masalah kalau dia lari duluan sendirian.

Ketika kerumunan menipis sejenak, aku membungkuk untuk menatapnya.

Maaf, aku tidak terbiasa dengan keramaian. Aku tahu kamu sudah besar, tapi bisakah kamu berjalan sedikit lebih lambat untukku?

Aku menuntunnya tanpa membantah kata-katanya. Sewaktu kecil dulu, aku benci dibungkam mentah-mentah, meskipun orang lain benar. Mengingat itu, aku mencoba pendekatan ini—tapi...

...Muu. Apa kau benar-benar berpikir Airi akan tertipu oleh kebohongan seperti itu?

Airi menatapku dengan tatapan jengkel yang berlebihan, dengan mata setengah terpejam. Caranya membawa diri mengingatkanku pada Minase—mungkin itu hanya imajinasiku.

Tetap saja, aku tidak bisa mundur. Aku terus berbicara.

Tidak, sungguh. Aku tidak sering pergi ke tempat ramai. Biasanya aku hanya di rumah saat libur.

Eh... Horikoshi-san tidak keluar bahkan di hari liburmu? Lantas apa saja yang kamu lakukan di rumah?

Apa yang kulakukan? Macam-macam. Salah satunya aku sering tidur sampai siang.

Horikoshi-san… apa kamu tidak punya teman?”

“…………”

Aku baru saja dikasihani—benar-benar dikasihani—oleh seorang anak SD.

Meski begitu, mungkin sulit bagi anak SD untuk membayangkan gaya hidup orang dewasa seperti itu. Karena memang begitulah akhir pekan bagi orang dewasa yang bekerja… kan? …Tunggu, itu wajar, kan? Bukan cuma aku yang benar-benar tidak punya teman, kan?

Saat aku mulai merasa tidak nyaman, Airi menepuk dadanya dengan pon dan tersenyum padaku.

“Baiklah! Demi Horikoshi-san yang malang, Airi akan menyesuaikan diri untukmu.”

“O-Oh, begitu.”

“Kalau Horikoshi-san khawatir, bagaimana kalau kita berpegangan tangan?”

“…Bergandengan tangan?”

“Kalau kita berpegangan tangan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kan? Dengan begitu, Horikoshi-san yang tertutup dan lemah tidak akan kalah dari orang banyak!”

Seolah-olah mendapat ide cemerlang, Airi mengutarakannya dengan penuh semangat. Dia tidak salah sih... jadi kenapa kata-katanya begitu menyakitkan? Apa aku benar-benar terlihat selemah itu?

Meski begitu, tawaran itu sendiri cukup membantu, jadi aku memutuskan untuk menerimanya.

“…Ya. Baiklah, kalau begitu, maukah kamu memegang tanganku?”

“Ya, tentu saja. Tapi jangan lepaskan, oke? Kalau kamu melepaskannya, Horikoshi-san yang selalu di rumah akan tersesat.”

“…………”

Inilah hasil yang kuinginkan, jadi kenapa aku merasa ingin menangis?

Tapi jika aku ingin memastikan dia tidak tersesat, inilah cara terbaik.

Saat aku menggenggam tangannya, dia tersenyum lebar. “Ehehe, astaga, mau bagaimana lagi,” katanya, sambil menarikku dengan gembira. Entah bagaimana, rasanya seperti dialah yang menjagaku.

Lalu—

“Ah, Airi-chan!”

Ada suara yang tiba-tiba memanggil dari belakang, dan aku menoleh. Di sana berdiri tiga perempuan SD.

Mereka semua mengenakan yukata yang lucu, dan mereka tampak seumuran dengan Airi. Mungkin teman—Airi langsung mengobrol riang dengan mereka.

“Eh, rencana yang kamu sebutkan itu untuk festival kembang api ini!?”

“Apa Aya-chan ada di sini hari ini? Kakak perempuan yang cantik itu!”

“…Airi-chan, tahun depan kita pasti pergi bersama.”

Mereka bertiga melontarkan pertanyaan satu demi satu, dan Airi, dengan bersemangat, menjawab satu per satu. Dari potongan percakapan yang kudengar, mereka sepertinya teman sekelas dari sekolah yang sama.

Tapi Minase dan Airi baru saja pindah ke sini.

Itu berarti Airi pasti pindah sekolah pada saat yang sama.

Kudengar kakak Minase tinggal di suatu tempat di pinggiran kota Tokyo. Aku tidak tahu daerah tepatnya, tapi tidak ada alasan untuk pergi dari sana ke sekolah di sini, jadi pasti dia pindahan.

Meski begitu, Airi sepertinya sudah berbaur dengan teman-teman sekelasnya. Mungkin karena anak SD cepat berteman—tapi sebagai tetangga pun, aku lega melihatnya beradaptasi dengan baik.

"Ngomong-ngomong...  pria di sebelahmu itu ayahmu?

Mungkin mereka sudah kehabisan bahan obrolan, tapi tiba-tiba mereka mengalihkan pembicaraan ke arahku.

Aku tak bisa menjawabnya sendiri. Saat aku melirik ke samping, Airi tersenyum cerah dan menjawab,

Bukan, ia bukan ayah Airi! Ia Horikoshi-san yang merupakan tetangga sebelah!

“Tetangga sebelah...? Lalu kenapa kamu berpegangan tangan dengannya?"

Kurasa mereka sudah memikirkan hal itu sejak lama. Tatapan mereka bertiga langsung tertuju pada tangan kami yang bergandengan.

Ya, bahkan setelah teman-temannya memanggilnya, Airi dan aku masih berpegangan tangan.

Kami hanya belum punya waktu yang tepat untuk melepaskannya.

Jadi... apa sebenarnya yang akan dia katakan? Saat jantungku berdebar kencang, Airi tersenyum bak malaikat dan berkata,

“Horikoshi-san itu penyendiri dan tidak terbiasa dengan keramaian, jadi Airi menggandeng tangannya dan menuntunnya. Benar, Horikoshi-san?”

“…………”

Iya ‘kan, Horikoshi-san?”

Tolong, jangan libatkan aku dalam hal ini.

Senyumnya yang murni dan berkilau ditujukan tepat padaku, tapi yang bisa kulakukan hanyalah mengalihkan pandangan ke arah yang sama sekali berbeda. Hentikan, jangan menatapku. Itu jelas bohong.

Namun—

“Begitu ya… pasti sulit.”

“Lakukan yang terbaik, oji-san penyendiri!”

“…Oji-san penyendiri, apa kamu mau berpegangan tangan dengan kami juga?”

Mungkin karena Airi disukai, mereka menerima penjelasannya tanpa ragu sedikit pun. Mereka bahkan mengucapkan kata-kata yang baik kepadaku. Bukan berarti itu menghentikan hatiku untuk semakin hancur setiap kali.

Tak disangka aku akan dikhawatirkan oleh anak-anak SD... Apa aku benar-benar terlihat seputus asa itu?

Tapi penyerangan empat gadis SD itu tidak berakhir di situ.

Sudahlah—ayo kita ajak oji-san berkeliling!

Kamu jarang keluar, kan?!

Tidak apa-apa, kami akan melindungimu! Guru kami bilang kita harus bersikap baik kepada siapa pun yang terlihat sedang dalam masalah.

Horikoshi-san, bukannya menyenangkan semua orang bersikap baik padamu?"

Mereka semua berbicara kepadaku dengan ramah. Namun, setiap kata terasa menusuk hatiku saat aku terpuruk.

Pada akhirnya, hatiku terus-menerus diremukkan oleh keempat gadis kecil ini—

Dan kemudian, di atas kepala, kembang api meledak di langit malam, mengundang sorak-sorai dari mana-mana.

Itu adalah tembakan pertama, yang mengumumkan dimulainya festival kembang api.

 

◇◇◇◇

 

Maaf. Dan terima kasih sudah mengawasi, Airi, Horikoshi-kun.

Entah sudah berapa lama waktu berlalu sejak saat itu. Setelah akhirnya terbebas dari ketiga gadis itu, Airi dan aku duduk di atas terpal biru, menyaksikan kembang api.

Di atas terpal itu terhampar berbagai macam makanan dari kios-kios makanan—yakisoba, es serut, kentang goreng—hanya hamparan makanan festival.

Pertunjukan kembang api tersebut masih dalam tahap awal, belum lama berlalu sejak dimulai. Butir-butir keringat membasahi dahi Minase. Mungkin dia langsung lari ke sini dari stasiun setelah menyelesaikan rapat jarak jauhnya.

Tapi kamu sampai di sini lumayan cepat.

Persis seperti yang dia katakan sebelumnya, seharusnya butuh setidaknya satu setengah jam.

Kalau begitu, ini terlalu cepat.

Minase tersenyum tipis, tatapannya menerawang.

Aku sudah bilang begitu saja pada seseorang di kantor, dan mereka bilang aku boleh pergi hari ini saja.

Oh begitu.

Kedengarannya seperti tempat kerja yang ternyata sangat perhatian.

Tapi, kalau dipikir-pikir, aku sebenarnya tidak tahu pekerjaan macam apa yang dilakukan Minase. Mungkin setidaknya agak nyaman bekerja di sana... meskipun mereka memang ada rapat di hari Sabtu. ...Sebenarnya, mungkin itu memang perusahaan kerja rodi.

Lalu—

Minase yang duduk di terpal, tiba-tiba mengangkat pandangannya menatapku.

Jadi? Apa terjadi sesuatu?

Hah?

“Ekspresimu terlihat mengerikan... Jangan bilang Airi melakukan sesuatu?"

Dia melirik Airi sekilas, bertanya dengan suara rendah.

Mata Airi berbinar saat dia menatap kembang api, mungkin terlalu teralihkan—dan dengan suara ledakannya, dia kemungkinan besar tidak bisa mendengar kami.

Itu cara Minase untuk memastikan Airi tidak mendengar.

Tapi kali ini, Airi tidak bersalah.

Jadi aku menceritakan dengan jujur ​​tentang apa yang terjadi pada ketiga gadis tadi. Minase menghela napas lega, diikuti helaan napas yang terdengar.

Ahhhhhhh~~~~~~~~~~ syukurlah~~~~~~~~.

S-Syukurlah?

“Oh—tidak, bukan soal kamu. Sejujurnya, itu salahmu sendiri. Kamu yang berbohong dan membuat segalanya semakin rumit.”

Aku tidah bisa membantah perkataannya.

“Bukan itu maksudku… Maksudku, senang rasanya tahu Airi bisa beradaptasi dengan baik di sekolah barunya.”

Mata Minase melembut karena kasih sayang. Dalam pandangannya, di bawah langit malam, kembang api terus meledak saat Airi memperhatikannya dengan mata terbelalak dan mulut ternganga gembira.

“Airi banyak bercerita tentang sekolah… tapi dia tak pernah mengatakan hal-hal yang benar-benar penting.

“Benarkah…?”

Dari sudut pandangku, sepertinya tidak begitu.

Tapi kemudian—

Mm-hmm. Lagipula, Aya-chan sibuk.

Maaf, Airi yang egois. Aya-chan, berusahalah yang terbaik di tempat kerjamu!

Kalau dipikir-pikir lagi, mungkin ada saat-saat Airi mundur selangkah seperti itu.

“Itulah kenapa aku senang. Karena dia bisa menyesuaikan diri… Akulah yang memindahkannya karena pekerjaanku.”

Minase menggigit bibirnya, ekpsresi penyesalan terpancar di wajahnya. Dia mungkin sama sekali tidak ingin membuatnya pindah sekolah.

“Terima kasih, Horikoshi-kun. Sudah memberitahuku.”

“Tidak, aku…”

Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya berada di sisinya dan menceritakan apa yang terjadi. Namun, di bawah langit malam yang diterangi kembang api, senyum Minase lebih cerah dari yang pernah kulihat sebelumnya.

Itu berbeda dari senyum sempurna biasanya—senyum ini terasa seperti tercurah langsung dari hatinya.

Aku tak bisa menahan diri untuk tidak menatapnya. Ledakan kembang api menggema di sekujur tubuhku. Aku tidak tahu apakah debaran yang kurasakan berasal dari kembang api atau detak jantungku.

Dan kemudian—

“...Wow. Aya-chan, lihat, lihat!”

Airi bersorak kecil. Dengan siulan tajam dan ledakan keras, sekuntum bunga api menyala menerangi langit malam.

Bahkan sebelum sempat bernapas, bunga-bunga berwarna-warni nan lembut bermekaran dengan cepat. Ooooh! Sorak sorai penonton menggetarkan udara, dan pada saat itu, lebih banyak kembang api terus diluncurkan satu demi satu.

Sebuah tambang bintang.

Puncak festival kembang api ini.

Aku melirik ke samping—Airi menatap langit malam dengan mulut sedikit terbuka. Dan di sampingnya, Minase tersenyum santai. Melihat pemandangan ini saja membuatku merasa semua ini sepadan untuk melangkah maju.

Aku mengeluarkan ponselku dan mengarahkan kamera ke langit.

Di sebelahku, Minase melakukan hal yang sama.

Kami berdua bukanlah tipe orang yang hobi memotret.

Namun entah mengapa, aku merasa terdorong untuk mengabadikan momen ini.

 

◇◇◇◇

 

Di depan mataku, langit malam bermekaran bak menjadi karangan bunga. Berkilauan. Berkobar-kobar. Seperti sesuatu yang langsung diambil dari dongeng. Tapi bukan hanya aku saja yang terpikat.

Aya-chan dan Horikoshi-san juga menatap langit malam, terengah-engah.

Begitulah ajaibnya pemandangan itu—

 

Ayah, Ibu, sungguh menakjubkan!

 

Di dekatku, ada seorang anak laki-laki berteriak kegirangan. Ia tampak sedikit lebih muda dari Airi, menarik-narik lengan orang tuanya dengan antusias. Ayah dan ibunya tersenyum hangat dan menjawab, “Iya, menakjubkan sekali, iya ‘kan?

Tapi setiap kali melihat pemandangan seperti itu, aku tak bisa berhenti berpikir—

Ah… aku memang sudah tidak punya ayah dan ibu lagi, ya?

Ini mendadak, tapi… aku ingin bercerita sedikit tentang masa lalu.

Mungkin ini egois, tapi kuharap kalian mau mendengarkan sebentar.

Setahun yang lalu—hampir tepat di waktu ini—ayah dan ibuku pergi ke luar negeri dan tak pernah kembali.

Keberadaan mereka ‘menghilang’ atau begitulah kata kerabatku, tapi semua bibi dan pamanku langsung bilang mereka pasti sudah meninggal. Bukan hanya itu—mereka justru menyalahkan Ayah dan Ibu sembari mengatakan kalau mereka tidak bertanggung jawab.

Sejujurnya, aku merasa takut.

Karena semua orang selalu baik pada Airi. Mereka memberiku uang Tahun Baru, mereka memperlakukanku dengan baik. Namun, mereka semua membicarakan hal-hal buruk tentang ibuku, satu demi satu.

Saat itulah aku akhirnya menyadari—

Ah… mereka semua membenci Ibu.

Semua orang menahannya, tetapi jauh di lubuk hati, mereka selalu membencinya. Mereka tidak bisa mengatakannya langsung padanya, jadi ketika kesempatan itu datang, semuanya langsung terbongkar.

Orang yang menyelamatkanku dari tempat itu adalah Aya-chan.

Aya-chan selalu keren!

Aya-chan adalah pangeran Airi. Dia yang paling keren kedua setelah Juan-kun, dan terlebih lagi, super imut! Airi sebenarnya berusaha keras untuk menjadi seperti Aya-chan, tetapi tidak pernah berhasil. Muu… Aku penasaran apa ada semacam rahasia.

Meskipun ibu dan ayahku telah tiada, Aya-chan tetap bersamaku.

Aku sering menangis, banyak khawatir, banyak berjuang—tetapi Aya-chan selalu ada di sana. Dia mencintaiku. Dia memelukku erat. Dan setelah setahun berlalu, kurasa... akhirnya aku bisa sedikit melupakannya.

Bahkan sekarang, terkadang aku masih menangis diam-diam.

Tapi ketika aku mengingat Ibu dan Ayah, aku tak lagi menangis sesering dulu.

Tetap saja—

Tapi, kamu tahu—

Di saat-saat seperti ini, aku tak bisa berhenti bertanya-tanya.

…Apa aku hanya menjadi beban bagi Aya-chan?

Mungkin Aya-chan benar-benar ingin bersenang-senang, tapi dia menahan diri. Mungkin dia tak bisa pergi ke mana pun karena keberadaanku. Mungkin dia tinggal bersamaku hanya karena rasa tanggung jawab—karena dia baik, karena dia setenang pangeran.

Ibu pernah bilang kalau usia Aya-chan adalah usia primadona seorang wanita.

Ibu bilang orang dewasa seperti Aya-chan pergi ke tempat gemerlap bernama Kolam Malam dan bermain dengan pria dewasa berkulit cokelat, berotot, dan berambut pirang. Ibu yang bilang begitu, jadi pasti benar. Aya-chan bilang, Itu bukan kesukaanku, tapi mungkin dia benar-benar menahan diri untuk tidak pergi. Saat aku menatap langit malam, aku melihat Horikoshi-san dan Aya-chan di samping kembang api.

Aya-chan tampak bersenang-senang.

Matanya menyipit, bibirnya mengendur—dan bahkan tanpa kata-kata, aku tahu dia sedang menikmati dirinya sendiri.

Melihat lebih jauh ke depan, ada begitu banyak keluarga.

Seorang gadis duduk di pundak ayahnya. Seorang anak laki-laki memegang tangan ibunya. Seorang pria dan wanita yang tampak seperti pasangan suami istri. Dan—Aya-chan dan Horikoshi-san. Mereka bukan keluarga, tapi mereka terlihat serasi.

Tapi Airi bukan bagian dari lingkaran itu.

Airi satu-satunya yang tersisih.

Karena ibu dan ayah Airi telah tiada.

Aya-chan sering berkata, Maafkan aku.

Tapi sebenarnya—Airi juga selalu meminta maaf dalam hatinya.

Maafkan aku, Aya-chan.

Maafkan aku karena berada di sini.

Tanpa kusadari, aku telah berlari pelan-pelan. Segala sesuatu di sekitarku terlalu menyilaukan.

 

◇◇◇◇

 

!”

Saat ledakan kembang api berlanjut, kerumunan tiba-tiba berdiri serentak.

Mereka mungkin ingin pemandangan yang lebih baik. Dalam hitungan detik, lebih banyak orang berdatangan dari tempat lain, berdesakan dengan Minase dan diriku. Orang tua yang menggendong anak-anak di bahu mereka menghalangi pandangan depan sepenuhnya, sehingga hampir mustahil untuk melihat kembang api.

Hah? Minase di sampingku?

...Bukankah ada yang hilang?

“Airi!”

“Ah—Airi!?”

Aku dan Minase menyadarinya hampir bersamaan dan mulai mencarinya—tapi dia sudah pergi. Airi tidak terlihat di mana pun.

Kami berdua sedang menggunakan ponsel untuk mengambil gambar.

Karena itu, kami melepaskan tangannya.

“Airi!?”

“Airi, kamu di mana!?”

Minase meninggalkan ekspresi tenangnya yang biasa dan berteriak putus asa.

Aku juga berteriak, tapi tidak ada jawaban dari Airi.

Beberapa pasangan di dekat kami menoleh untuk melihat apa yang terjadi, tetapi aku tak peduli. Kami keluar dari kerumunan dan mencarinya di wilayah sekitar.

Namun, keberadaan sama sekali Airi tak terlihat.

 

 

 

Sebelumnya  |   Daftar isi  |  Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama