Chapter 8
Ini
kenangan masa lalu. Sebuah
cerita dari masa-masa SMA-ku dan Minase.
Tempatnya
di pojokan kantor guru. Sebuah tempat tersembunyi yang
tak pernah dilewati siswa mana pun.
Mungkin
karena letaknya begitu dekat dengan ruang guru, dan kita tak pernah tahu kapan
salah satu dari mereka akan muncul. Setidaknya begitulah kesan umum—tetapi
kenyataannya, para guru selalu begitu sibuk sehingga mereka tak pernah melirik
ke arah itu.
Yang
menjadikannya tempat yang sempurna untuk menyendiri. Itulah sebabnya aku tercengang ketika
menemukannya di sana—seseorang yang selalu dikelilingi orang.
Minase
Ayana. Mana mungkin ada murid di
sekolah yang tak tahu namanya. Baik
kepada semua orang, tenang, dan kalem—idola sekolah kami yang tak tersentuh. Selalu sempurna, dan karena itu,
ia terasa jauh. Seseorang di balik dinding.
Namun, di tangga yang remang-remang,
lembap, dan sepi itu, dia
menangis.
“────────”
Duduk
dengan berjongkok sambil memeluk lututnya,
dia membenamkan wajahnya di antara
lengan dan gemetar. Anehnya,
tak ada suara yang terdengar.
Meski
begitu, entah kenapa dia tampak
seperti sedang berteriak. Aku
hampir tak berinteraksi dengan Minase. Kami
sekelas, tapi kami jarang berbincang. Meski
begitu, aku tak bisa mengabaikannya.
Mana mungkin aku mengabaikannya. Karena dialah gadis yang kucintai
selama tiga tahun kami di SMA.
Itulah
kenapa aku menaiki tangga itu dan—
◇◇◇◇
Minase
sekarang bekerja di SMA lama kami sebagai guru. Itu hanya logika retrospektif,
tapi kalau dipikir-pikir lagi, ada petunjuknya. Mungkin asumsinya agak bias, tapi
ambil contoh bekerja di akhir pekan—beban kerja perusahaan kerja rodi semacam itu.
Aku tahu
tidak semua sekolah seperti itu, tetapi citra mengajar sebagai profesi yang
keras sulit dihilangkan. Bahkan terkadang muncul di berita.
Dan
sekarang setelah aku memikirkannya,
ada saat Minase sudah tahu sekolah lama kami tidak akan berpartisipasi dalam
festival kembang api.
Aku ingat
berpikir aneh bagaimana dia bisa mengetahuinya...
tetapi jika dia seorang guru, rasanya mulai
masuk akal. Namun,
yang terpenting, itu menjelaskan mengapa dia pindah ke daerah ini.
Satu-satunya
kesamaan kami adalah SMA kami.
Jadi, aku
seharusnya berpikir kepindahannya ke sebelah bukan hanya kebetulan—itu terkait
dengan sekolah.
Namun,
bahkan dengan hubungan itu, berakhir sebagai tetangga sebelah benar-benar
hampir seperti keajaiban. Dan
sekarang setelah aku tahu dia mengajar—
—aku mendapati diri aku kembali ke
sekolah lama kami untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun, dipandu ke sana
oleh Minase.
“...Boleh aku masuk?”
“Secara
teknis sih tidak diperbolehkan… tapi kalau
menunggu di luar, mungkin kamu kelihatan lebih mencurigakan
lagi, ‘kan?”
Gedung SMA.
Pintu masuk ruang guru.
Lampu
neon dimatikan, dan cahaya bulan menerobos jendela, memancarkan cahaya redup ke
lantai lorong. Karena terlalu gelap untuk melihat dengan jelas, Minase mengambil
senter yang tertinggal di pintu masuk dan menyalakannya.
Lalu dia menoleh ke arahku dan memberi
isyarat dengan lambaian kecil tangannya.
“Ayo.”
Sambil
mengikutinya dari belakang, aku teringat kembali kejadian sepuluh menit
sebelumnya.
Awalnya,
aku tidak berniat masuk ke dalam gedung. Meskipun aku sudah lulus, aku
tidak ada hubungannya dengan sekolah ini lagi. Masuk tanpa diundang bukanlah
hal yang pantas.
Tapi saat
aku menunggu Minase di luar gerbang depan, polisi menghampiriku.
.....Yah,
kurasa itu sudah bisa diduga.
Seorang
pria yang berkeliaran di depan gerbang sekolah pada malam hari pasti akan
terlihat mencurigakan.
Untungnya,
Minase segera menyadarinya dari dalam gedung dan kembali, menyelesaikan
kesalahpahaman dengan polisi.
Namun,
jika hal ini terus berlanjut, seseorang di lingkungan sekitar mungkin akan
melaporkanku—dan aku akan mengulangi kesalahan yang sama.
Itulah sebabnya aku sekarang berada di
dalam gedung sekolah bersama Minase.
“............”
“............”
Suara
sandal menggema di lorong-lorong sekolah yang tenang di malam hari. Bahkan saat SMA, aku belum pernah
merasakan berada di sekolah pada malam hari. Aku tidak pernah berpikir akan
melakukannya sepuluh tahun kemudian.
Pada waktu
itu, sekolah terasa sangat besar. Tapi sekarang, sebagai orang
dewasa, entah bagaimana terasa agak sempit. Apa ruang kelas selalu sekecil
ini…? Apa kita benar-benar menjejalkan tiga puluh orang ke dalam ruangan
seperti ini? Itu adalah tempat yang telah kuhabiskan lebih banyak waktu
daripada yang bisa aku hitung, namun, semuanya terasa aneh dan baru lagi.
Ketika aku
melihat ke depan, aku melihat Minase memimpin jalan, dengan senter di tangan.
Tetap saja—
“...A-Ada apa?”
Usai menyadari
tatapanku, Minase berbalik.
“Kalau
kamu terus menatapku seperti itu... rasanya jadi
agak susah jalan. Ada yang salah?”
“Bukan,
bukan begitu. Hanya saja...”
“Hanya saja?”
“Aku
cuma berpikir... kamu sudah terbiasa di sekolah malam-malam.”
Meskipun
cahaya bulan bersinar melalui jendela dan dia membawa senter, seluruh gedung
diselimuti kegelapan total.
Namun,
Minase sama sekali tidak ragu. Dia
pasti sudah terbiasa. Ketika
aku menambahkan penjelasan itu, Minase berbalik dan melanjutkan jalannya.
“...Yah,
aku sudah lama bekerja di sini. Sejak lulus kuliah. Aku sudah terbiasa
sekarang.”
“Kamu
juga sering datang di akhir pekan?”
“Kalau
aku ada kerjaan, ya. Tapi bukan cuma aku saja,
tau? Guru-guru yang bertugas di kegiatan klub bahkan lebih parah lagi. Aku jadi
lebih mudah diurus karena ada Airi.”
“B-Begitukah...”
Aku jadi
berpikir, Benarkah? Dengan semua itu? Tapi kalau Minase bilang begitu, aku akan
percaya saja padanya.
Lagipula,
kita selalu mendengar betapa sulitnya menjadi guru. Itulah tepatnya kenapa aku harus
bertanya.
“…Kenapa
kamu jadi guru?”
“Apa ini?
Semacam wawancara?”
“Bukan
wawancara, maksudku… kamu pasti tahu betapa sulitnya mengajar, ‘kan? Maksudku, meski kamu bisa memilih jalan lain,
tapi kenapa memilihnya? Kamu bisa melakukan apa saja, Minase.”
“…Menurutmu
aku ini orang seperti apa, Horikoshi-kun?”
“Setidaknya,
seseorang yang bekerja keras untuk mencapai apa pun yang diinginkannya.”
“Kamu
melebih-lebihkanku.”
Minase
tampak agak malu, meskipun tidak sepenuhnya tidak senang, dengan senyum lembut
tersungging di bibirnya.
“Yah… aku
mengerti maksudmu. Sebenarnya tidak ada alasan besar, tapi…”
Dia
mengawalinya seperti itu, lalu mulai menjelaskan.
“Kurasa
awalnya, aku hanya menginginkan pekerjaan tetap. Dan… karena SMA menyenangkan
bagiku. Tentu, ada masa-masa sulit, tapi aku punya banyak kenangan berharga.
Seperti festival sekolah, karyawisata… dan, yah, ada juga beberapa kenangan bersamamu.”
“… ‘Beberapa’?
Benarkah?”
“Ada!
Dulu kita sering ikut ujian, ‘kan?
Pergi karaoke setelah festival olahraga. Kita juga satu kelompok di kelas
ekonomi rumah tangga, ingat?”
“Oh,
insiden ledakan itu.”
“Kamu seharusnya melupakan itu!”
Minase
memasang wajah kesal yang berlebihan, lalu tertawa terbahak-bahak. Mungkin karena kami berdua saja
di sekolah yang sepi di malam hari. Mungkin karena alkohol. Tapi setiap hal
kecil yang dia lakukan tampak… sangat menggemaskan.
…Tidak.
Itu bukan
satu-satunya alasan.
Kembali
ke SMA lama kita, melewatinya bersama mantan teman sekelas, membangkitkan
sesuatu dalam diriku.
Perasaan
yang dulu kurasakan—untuk gadis tercantik di angkatan kami.
—Horikoshi-kun,
kamu juga membaca
buku itu, ya?
—Aku
nggak jago karaoke... oke? Rahasiakan itu.
—T-Tidak
apa-apa, kan? Aku menyukainya,
jadi...
Saat kami
berjalan menyusuri lorong, kenangan masa-masa SMA-ku bersama Minase kembali
membanjiri pikiran.
Ruang
kelas.
Sudut
lorong itu.
Perpustakaan.
Mesin
penjual otomatis di depannya.
Tapi yang
kuingat bukan cuma kenangan masa SMA kita.
—Jadi itu
benar-benar kamu, Horikoshi-kun?
—Kalau
kamu ingin mendengar ucapan ‘selamat
datang kembali’,
mungkin lain kali kita harus pergi minum-minum.
—Ada apa,
Hori—
“Ada apa,
Horikoshi-kun?”
“Eh—”
“Jangan bilang
'eh'. Kamu melamun terus… Kamu demam? Wajahmu merah. Kamu baik-baik saja?”
Tanpa
kusadari, Minase menatapku dengan cemas, alisnya berkerut.
“A-Ah...
Maaf. Aku hanya sedang berpikir.”
“Astaga,
yang benar saja? Tenangkan diri, oke? Meskipun sekolah, gelap dan lantainya
tidak rata—kamu bisa tersandung. Ayo,
kita pergi. Atau mau bergandengan tangan denganku?”
Dengan
senyum menggoda, Minase mulai berjalan lagi, memimpin jalan menyusuri koridor.
Aku tidak
tahu mengapa ingatan itu tiba-tiba muncul kembali.
Bukan hanya
masa lalu—mengapa aku juga mengingat Minase versi ini, sepuluh tahun kemudian?
Hanya ada
satu kesimpulan yang bisa kuambil dari itu. Meskipun aku sendiri tidak
menyadarinya... atau mungkin aku hanya berpura-pura tidak melihatnya.
Tapi aku
tahu apa nama perasaan itu. Karena
aku pernah melewati jalan yang sama sebelumnya.
◇◇◇◇
“Ketemu.
Syukurlah.”
Tak lama
kemudian, kami tiba di ruang guru. Tampaknya
hampir sama seperti saat aku masih pelajar
dulu. Tumpukan
buku pelajaran, tumpukan lembaran tugas,
meja-meja yang secara teknis tertata rapi tetapi masih penuh dengan barang.
Jika ada
yang berubah, mungkin itu adalah tablet yang sedang diisi dayanya di sudut
ruangan—tablet itu belum ada di zaman kita dulu.
Minase
mengangkat tas jinjing berisi laptopnya dari samping meja dan menoleh ke arahku
sambil tersenyum.
“Baiklah,
ayo kembali.”
“O-Oh.
Sudah selesai?”
“Ya,
ini saja yang kubutuhkan sejak awal. Aku akan mengunci pintu sekarang—bisakah
kamu menunggu di luar?”
Atas
perintahnya, aku melangkah keluar dari ruang guru. Aku sebenarnya tidak mengharapkan
apa-apa, tapi tetap saja terasa antiklimaks. Lagipula, kurasa ini lebih baik
daripada terjadi kesalahan.
“…………Hm?”
Aku
tiba-tiba berhenti, tertarik pada suatu tempat.
Tangga di
dekat ruang guru.
Cahaya
bulan menyusup melalui jendela dan menerangi lantai seperti lampu sorot
panggung. Saat aku melangkah di atasnya, debu samar yang beterbangan berkilauan
seperti salju di bawah sinar lampu.
Dan
kemudian semuanya beres, hanya sedetik terlambat.
Di
sinilah kejadiannya.
Ya. Waktu
itu—Minase—
“Kamu mengingatnya, ya.”
Aku tidak
menyadari kepulangannya, tapi Minase sekarang berdiri di sampingku.
“...Tentu
saja. Tapi... apa sebenarnya yang terjadi saat itu?”
“Benar.
Aku tidak pernah menjelaskannya, kan?”
Kata-katanya
membangkitkan sebuah kenangan.
Sewaktu
SMA dulu, aku hampir tidak pernah berinteraksi secara nyata dengan Minase. Dan
kenangan ini bahkan tidak terhitung sebagai interaksi—terlalu singkat, terlalu
aneh, dan begitu surealis sampai-sampai aku pernah meyakinkan diri sendiri
bahwa aku hanya membayangkannya.
Merunut
kembali kenangan lama itu, aku bergumam pelan:
“…Kamu
menangis… ‘kan,
Minase?”
“…Ya.”
“…Apa
yang terjadi?”
“Itu
pertama kalinya.”
Jawabnya
lugas.
“Pertama
kalinya seseorang menghilang dari hidupku. Kedua kalinya adalah kakakku. Tapi yang pertama kalinya…
adalah orang tuaku. Itulah yang terjadi hari itu.”
Dan pengantar begitu, Minase mulai bercerita
tentang hari itu.
Minase
mengadopsi Airi. Ketika dia menceritakan hal itu
sebelumnya, aku tidak berkata apa-apa saat itu—tetapi dalam hati, aku
bertanya-tanya:
—Apa yang
terjadi dengan orang tua Minase?
Dan
sekarang, dari apa yang dia katakan…
“…Saat
aku SMA.”
“Ya.”
Minase
mengangguk kecil.
“Orang
tuaku bercerai, dan saat aku cukup dewasa untuk mengingat semuanya, hanya ibuku
yang ada di sana... Tapi dia selalu sakit-sakitan. Dia sering keluar masuk
rumah sakit, bahkan saat SMA.”
Lalu,
suatu hari semasa kelas 3 kami,
kondisinya tiba-tiba memburuk. Minase
berbicara dengan tenang dan acuh tak acuh.
“Aku
selalu tahu hari itu akan tiba. Aku dan kakakku
sering membicarakannya. Tapi ketika itu benar-benar terjadi... aku tidak bisa
bergerak. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku bahkan tidak bisa sampai ke rumah
sakit... Aku hanya duduk di sana, menangis sendirian di tempat ini. Dan... saat
itulah kamu
menemukanku.”
“...Begitu ya.”
—Kamu baik-baik saja, Minase?
—Apa ada yang bisa kulakukan?
Tangga
yang sunyi dan remang-remang itu tersembunyi di tepi gedung sekolah, tempat
yang tak pernah dilewati siapa pun.
Di
sanalah aku mememanggilnya saat
itu, dan mengucapkan kata-kata itu. “…Aku sangat terkejut,” kata Minase. “Aku
tidak menyangka akan ada yang menemukanku di sini. Letaknya tepat di sebelah
kantor fakultas, dan terhubung ke atap. Tidak ada siswa yang pernah
menggunakannya.”
“…Mungkin
itu sebabnya aku melakukannya.”
Aku ingat
aku sedang mencari tempat di sekolah di mana aku bisa menyendiri dan bersantai. Saat makan siang, mejaku sering
diambil alih oleh gadis-gadis dari kelompok
lain—gadis kasta tinggi, tetapi
tidak satu kelompok dengan Minase atau Kuraki. Salah satu dari mereka duduk di
depanku.
Karena
itu, teman-temannya akan berkumpul dan membuatku sulit untuk tetap berada di
tempat itu. Aku masih ingat betapa tidak nyamannya itu. Mungkin itu sebabnya aku berakhir
di tangga tersembunyi itu juga.
“Tapi
berkatmu… aku bisa berdiri hari itu.”
Minase
sedikit menoleh, rambut hitamnya berkibar saat dia tersenyum kecil padaku.
“Aku
hampir hancur… tapi kau bicara padaku, memberiku kekuatan untuk berdiri, dan
aku berhasil sampai ke rumah sakit. Itulah sebabnya
aku mengingatmu. Kenapa aku mulai memperhatikanmu… diam-diam, dari jauh.”
—Karena, asal kamu tahu saja, aku
dulu sering memperhatikanmu waktu SMA dulu.
—Kalau
tidak, mustahil aku bisa mengenalimu secepat ini setelah sepuluh tahun.
Aku
selalu bertanya-tanya kenapa Minase mengingat orang sepertiku. Kini, pertanyaan itu akhirnya
terjawab.
“Itulah
kenapa aku selalu merasa… suatu hari nanti, aku harus memberitahumu. Aku tak
bisa mengatakannya saat itu—terlalu memalukan.”
Minase mulai menaiki tangga. Lalu, dengan rambutnya yang
bergoyang saat dia
berbalik menghadapku, dia
berbicara.
Dengan
rembulan yang melayang di belakangnya melalui jendela-jendela gedung sekolah,
ia berdiri dengan siluetnya yang bermandikan cahaya rembulan sambil berkata:
“──Terima
kasih. Sudah membantuku hari itu. Dan… sekarang juga. Aku sendirian sekarang,
tapi berkatmu, aku bisa bertahan hidup.”
Dia
tersenyum. Senyuman sempurna—kuat, tak tergoyahkan, tak
menunjukkan kelemahan.
Rasanya…
terlalu kuat.
Dia
selalu sempurna—Minase Ayana. Mempunyai kepercayaan
diri yang tinggi, pantang menyerah, seolah mampu berdiri
sendiri apa pun yang terjadi.
Bahkan
sekarang, saat menceritakan kenangan menyakitkan itu, dia tetap tenang.
...Mungkin
dia memang tak pernah benar-benar membutuhkan bantuanku sejak awal.
Begitulah
rasanya. Karena Minase Ayana, seperti saat SMA dulu, tetaplah idola yang
sempurna dan tak tersentuh yang tak pernah bisa kugapai.
“Bagaimana
kalau kita pulang?”
Minase
berbicara sambil tersenyum sambil menuruni tangga, melewatiku.
Setiap
gerakannya—anggun, tenang—sempurna hingga akhir.
Atau
begitulah yang kupikirkan.
Tapi—
“...Eh?”
“...Huh,
tunggu...”
Hanya
setetes air mata. Hanya
setetes, tapi dari sudut mata kirinya, setetes air mata mengalir.
“M-Maaf.
Mataku hanya gatal, kurasa. Mungkin aku menggosoknya terlalu keras tadi.”
Sambil
tertawa, Minase mengusap matanya dengan sapu tangan. Tak ada lagi air mata yang
mengalir. Dia kembali menjadi Minase yang
sempurna.
“Baiklah,
serius kali ini—ayo pergi,”
kata Minase sambil terus menuruni tangga.
Tapi saat
aku menatapnya balik, aku tak kuasa menahan diri untuk mengutuk diriku sendiri.
—Memangnya aku bodoh apa?
Tentu,
Minase memang selalu kuat dan sempurna.
Aku yang
dulu—yang dulu sebelum kami bertemu lagi—pasti akan setuju tanpa ragu.
Cantik,
anggun, perhatian pada semua orang, sangat kompetitif, dengan jiwa yang
kokoh... dia begitu
utuh, dia membuat gagasan untuk
menawarkan bantuannya terasa tak berarti.
Dulu
kupikir begitu.
Tapi—
Sekarang,
aku lebih mengetahuinya.
Sejak
bertemu kembali dengan Minase sepuluh tahun kemudian—berbicara dengannya, menghabiskan
waktu bersamanya—aku jadi sadar bahwa dia
hanyalah seorang gadis biasa.
Seorang
gadis yang tak pernah kubayangkan saat SMA dulu.
—Aku tak
bisa membuat Airi cemas. Jika terjadi sesuatu—seperti makan siang yang
berantakan—dia mungkin akan mulai menahan diri.
Dia
mengkhawatirkan putrinya yang diasuhnya.
—Airi, kamu di mana!?
Dan
ketika Airi menghilang, dia membuang ketenangannya yang biasa dan berlari ke
mana-mana mencarinya.
—Dulu
waktu SMA, kamu
menyukai Utaha, ‘kan?
Dia
ternyata sangat tidak tahu apa-apa soal percintaan.
Dia
tertawa, menangis, marah—dia gadis biasa.
Dan gadis
itu terus tersenyum dan berdiri tegar, berpura-pura semuanya baik-baik saja
seolah tidak terjadi apa-apa.
Tapi apa
boleh aku mengabaikannya begitu saja?
Meski
tahu sisi dirinya yang ini... bolehkah aku terus berpura-pura tidak tahu?
Tidak.
Tentu saja tidak.
Karena
kita tetangga?
—Tidak.
Bukan itu.
Karena
aku menyukainya sepuluh tahun yang lalu?
—Tidak.
Bukan itu juga.
Lebih
dari itu. Itu
karena aku mencintainya sepuluh tahun yang lalu—
—dan aku
masih mencintainya.
Maka aku
bicara. Aku
menyingkirkan rasa takut yang selalu menjauhkanku. Aku mengulurkan tangan, meraih
lengannya sebelum dia pergi, dan menahannya.
“Kamu tidak sendirian, Minase. Kamu
tidak perlu menanggung semuanya sendiri. Maksudku… kita tetangga, kan? Kau bisa
bersandar padaku sedikit.”
Suaraku
bergetar. Jantungku
berdebar kencang seperti drum di dadaku. Keringat mengucur deras di
kulitku, merembes dari setiap pori-pori. Meski begitu, aku menatap mata
Minase langsung dan mengatakannya—tepat di sini, di lorong SMA ini.
Kata-kata
yang bahkan tak terbayangkan untuk kuucapkan saat itu. Emosi yang tak pernah berani
kuungkapkan hingga sekarang. Namun—
“…Maafkan
aku.”
Minase
dengan lembut menepis tanganku.
◇◇◇◇
“Maafkan aku.”
Sambil
melepaskan tangannya pelan-pelan, aku membalasnya.
Kata-kata
Horikoshi-kun membuatku senang. Kupikir dirinya
sebagai pria yang baik.
Tapi… aku
tak bisa menerima kebaikan itu.
Dia
selalu terlalu baik hati—bahkan sepuluh tahun yang lalu.
Dan aku
tak bisa terus-menerus menerima kebaikan hati seseorang seperti itu. Aku tak
bisa terus-menerus membebaninya. Aku tak akan memaafkan diriku sendiri
karenanya.
Aku harus
lebih kuat. Aku harus menjadi seorang ibu sekarang.
Tapi
dengan Horikoshi-kun di dekatku, aku tak bisa melakukan itu.
Karena…
saat ada dirinya, aku tahu aku akan bergantung
padanya.
Itulah
mengapa aku tak bisa menerima uluran tangan itu.
Jika aku
menerimanya, aku akan tetap lemah.
Maka aku
bicara.
Menatap
lurus ke matanya.
“Aku
sangat menghargainya, tapi... kurasa aku tidak bisa mengandalkanmu lagi. Aku
sudah terlalu bergantung padamu. Aku akan membalas semua yang telah kau lakukan
selama ini—tapi mulai sekarang, hanya aku dan Airi. Kita berdua, bersama. ──Terima kasih untuk semuanya.
Sungguh. Aku sangat berterima kasih.”
Aku
memasang senyum sempurnaku yang biasa dan mengucapkan kata-kata itu.
◇◇◇◇
Dan
begitulah, minggu-minggu berlalu.
Tapi
sejak itu, aku dan Minase... hampir tidak pernah berbicara sama sekali.
