Chapter 9
Ini
kenangan masa lalu. Kisah
masa-masa SMA-ku bersama Minase. Kelanjutan kenangan saat dia menangis. Minase menangis di pojokkan di sebelah kantor guru. Saat aku melihatnya, tanpa
kusadari, aku sudah menaiki tangga—
Dan aku memanggilnya.
“...Kamu baik-baik saja, Minase?”
Minase
mengangkat kepalanya begitu cepat hingga hampir mengeluarkan suara. Mungkin terdengar kurang pantas,
tetapi meskipun menangis, dia
tetap terlihat cantik.
Aku belum
pernah melihat teman sekelas menangis sebelumnya—apalagi seseorang seperti
Minase. Aku bahkan tak bisa membayangkannya.
Itulah sebabnya
rasanya begitu janggal—sebuah tanda yang jelas bahwa ada sesuatu yang salah. Tanpa kusadari, kata-kata itu
terucap begitu saja.
“...Apa ada yang bisa kubantu?”
Aku tidak
tahu mengapa ia menangis. Meski
begitu, aku ingin mengulurkan tangan padanya. Karena aku mengaguminya... dan
aku menyukainya.
Namun
sesaat kemudian, aku terdiam.
Apa
karena dia tiba-tiba berteriak haru?
Atau
karena dia berbalik dan lari?
Bukan—bukan
keduanya.
Itu
karena Minase tersenyum.
“Maaf ya, Horikoshi-kun. Kamu melihat sesuatu yang
memalukan.”
Dengan
tawa yang terdengar seperti biasa, Minase menenangkan diri dan berdiri. Dia menuruni tangga dengan tenang
dan melewatiku, tetapi aku tak bisa berkata sepatah kata pun.
Karena
aku tahu—
Bukan itu
yang dia inginkan dariku.
“Bisa kamu berpura-pura tidak melihatku
menangis?”
“…Ya.”
“Terima
kasih, Horikoshi-kun. Baiklah kalau begitu, sampai jumpa.”
Bahkan
ketika aku melihatnya dalam kondisi paling rapuh, Minase tetap mempertahankan
citra kesempurnaannya. Hal
itu, lebih dari segalanya, memperjelas bahwa ada tembok yang tak teratasi di
antara kami.
Dan aku
tak sanggup melewatinya.
Orang
sepertiku—apa yang bisa kulakukan untuknya?
Dan
sekarang, sepuluh tahun kemudian…
Aku
akhirnya menghadapi situasi yang sama lagi.
◇◇◇◇
Belakangan
ini, dengan semua yang terjadi, aku sepertinya melupakan sesuatu yang
penting—kehidupan sehari-hariku pada intinya merupakan
kehidupan yang sepi.
Pulang
kerja dalam keadaan lelah, hal pertama yang kulakukan adalah berganti dari
setelan jas menjadi hoodie polos dan celana olahraga. Lalu aku langsung menuju
kulkas, mengambil nasi beku, telur marinasi, salad kemasan, dan sekaleng bir.
Sebagai
hadiah untuk diriku sendiri karena
telah melewati hari, aku membuka kaleng bir itu. Bunyi
desisan yang menggema di dapur yang sunyi terasa anehnya
memuaskan. Mendengar suara itu saja membuat aku merasa seperti benar-benar di
rumah, dan entah kenapa, itu menenangkanku.
Aku
menyesap bir sambil memasukkan nasi beku ke dalam microwave.
Pengatur
waktu berjalan tiga menit sepuluh detik. Sambil menunggu, aku menyiapkan telur
marinasi dan salad. Telurnya dari resep yang kulihat dari YouTuber
populer—sedikit pedas karena cabai, dan bumbu kecap bawang putihnya cocok
sekali dengan nasi.
Setelah
semuanya siap, aku duduk di depan TV dan mulai melahap makanan.
Saus,
telur, nasi—kombinasi yang sempurna. Meneguknya dengan bir membuat semua
ketegangan menghilang dari tubuhku.
Fiuh.
Kira-kira
dua puluh menit sejak aku sampai di rumah. Beginilah rutinitas yang kubuat untuk
menikmati waktu pribadiku sepenuhnya.
Dengan
menetapkan pola tetap untuk apa yang kulakukan setelah pulang, aku bisa
benar-benar menikmati malamku. Bagi orang dewasa yang bekerja, seberapa besar
kita menikmati waktu setelah bekerja dapat sepenuhnya mengubah kualitas hidup
kita. Itulah sebabnya aku
sangat memikirkannya setiap hari.
Tapi—
Dulu, hanya begini saja sudah cukup
memuaskanku, tapi akhir-akhir
ini… ada sesuatu yang terasa berbeda.
“.............”
Dalam
keheningan singkat itu, samar-samar aku bisa mendengar suara langkah kaki yang
energik dan suara seorang wanita dari kamar sebelah. Aku tak mengerti apa yang
dia katakan, tapi dia terdengar seperti sedang bersenang-senang.
Dan di
saat yang sama, aku teringat dengan pedih bahwa aku sendirian.
“...Haa.”
Ya Tuhan,
seberapa menyedihkannya diriku ini?
Rupanya
aku pernah berkata kepada Minase dalam keadaan mabuk bahwa aku ingin seseorang
mengucapkan “selamat
datang di rumah” kepadaku.
Mungkin aku tidak sepenuhnya salah.
Sudah
beberapa minggu berlalu sejak
kejadian malam itu di sekolah, tapi aku
belum pernah benar-benar berbicara dengan Minase sejak itu. Tentu, kami akan bertukar sapa
ketika berpapasan di lorong apartemen. Tapi
kami tidak benar-benar berbicara, dan jumlah pertemuan kami telah menurun
drastis.
Aku tak
tahu apakah dia sengaja menghindariku, atau hanya kebetulan. Tapi tetap saja—
“...Maafkan
aku. Aku
menghargai perasaanmu, tapi... aku tak bisa mengandalkanmu lagi.”
Perkataan
Minase itu... Aku ragu semuanya tidak ada hubungannya.
Sederhananya—aku
telah ditolak.
Aku pasti
salah paham. Setelah menghabiskan waktu bersamanya baru-baru ini, aku mulai
percaya bahwa aku mendapatkan semacam tempat khusus di sisinya—bahwa dia
memandangku berbeda dari orang lain.
Hal itu
membuatku jadi besar kepala. Minase memang tidak pernah
membutuhkan bantuan dari siapa pun sejak awal.
Namun—
“Ma-Maaf. Mataku hanya gatal. Kurasa
aku menggosoknya terlalu keras tadi.”
Kalau
hanya itu, lantas...
kenapa dia menangis?
Saat itu,
kupikir dia telah menunjukkan sekilas ‘kelemahannya’ kepadaku. Itulah mengapa aku
ingin dia bergantung padaku—mengapa aku bilang ingin membantu.
Tapi dia
menolak. Jadi
mungkin dia memang tidak punya kelemahan sejak awal. Atau mungkin dia memang tidak
menginginkan bantuan dari orang sepertiku.
“...Aku
tidak mengerti.”
Kukira
aku mengerti perasaannya. Aku menafsirkan semuanya dengan cara yang cocok
untukku dan memaksakan perasaanku sendiri padanya. Aku tahu betul itu bukan hal yang
benar untuk dilakukan.
Tapi
kalau itu orang yang kamu sayangi... kamu hanya akan bertindak seperti
itu tanpa berpikir.
“…………”
Sejujurnya,
lebih baik aku melupakan semua itu.
Cinta
semasa SMA-ku cuma
kebetulan tinggal di sebelah. Dan
terus hidup seperti tetangga biasa—
Seolah-olah kita bahkan tidak tahu nama satu
sama lain. Seakan-akan kita
belum pernah bicara sebelumnya. Persis seperti kebanyakan orang yang tinggal di
perkotaan.
Namun,
meskipun aku memahaminya secara logis... aku tidak bisa melupakan Minase—atau
Airi—dari pikiranku.
◇◇◇◇
“Ah—”
“…Oh.”
Pada suatu
malam di hari kerja. Dalam
perjalanan pulang kerja, aku bertemu Minase di stasiun terdekat. Di bawah langit malam, stasiun
bersinar terang saat para pekerja melewati gerbang tiket dan berhamburan ke
kota. Minase
adalah salah satunya.
Mungkin
itu pertama kalinya aku melihatnya di stasiun pada malam hari di hari kerja.
Dia mengenakan baju olahraga dan ransel hitam besar di punggungnya. Dia tampak seperti berpakaian
praktis.
Ketika
Minase memperhatikanku, matanya melebar karena terkejut—tapi itu hanya berlangsung sesaat. Lalu dia
menunjukkan senyum ‘sempurna’ yang biasa, tenang, dan
bertanya,
“Kamu
selalu pulang sekitar jam segini, Horikoshi-kun?”
“...Ya,
kurang lebih.”
“Pasti
berat bekerja sampai larut malam. Kerja bagus hari ini.”
“Apa
kamu juga bekerja sampai larut malam, Minase? Jarang sekali.”
“Ya,
terkadang memang begitu.”
Karena
kami tinggal di kompleks apartemen yang sama, wajar saja kami berjalan ke arah
yang sama. Di bawah
cahaya biru pucat lampu jalan, kami bertukar kata-kata pelan.
Bukan
karena kami punya banyak hal untuk dibicarakan.
Justru
sebaliknya.
Rasanya
kami hanya mengisi keheningan dengan kata-kata—seolah-olah tidak pernah terjadi
apa-apa malam itu di sekolah.
“Hari
ini aku ada kegiatan klub, jadi aku pulang kerja sampai larut malam.”
Saat kami
hampir sampai di apartemen, dengan percakapan yang mulai mereda, Minase
tiba-tiba mengatakan itu. Dia
terus menghadap ke depan, berbicara dengan suara tenang dan mantap.
“Guru
pembimbing yang bertanggung jawab atas klub lari jatuh sakit, jadi peran itu
jatuh ke tanganku. Sudah lama sejak aku terakhir berolahraga, tapi ternyata
cukup menyenangkan.”
“Yah,
baguslah, tapi… kamu baik-baik saja?”
“Apa
maksudmu dengan ‘baik-baik saja’?”
Minase
sedikit memiringkan kepalanya. Tapi
aku yakin dia tahu persis apa yang kumaksud. Buktinya terpampang jelas di
wajahnya—Minase, yang tidak pernah menunjukkan kelelahan, justru kelihatan lelah.
Dia
selalu tipe orang yang tabah. Bahkan saat SMA dulu, dia tidak pernah membiarkan
siapa pun melihatnya kelelahan, dan dia hampir tidak pernah mengeluh.
Jadi,
jika aku bisa tahu dia lelah hanya dengan melihatnya sekilas… maka dia pasti
lelah.
Aku
menatapnya sejenak, dan mata kami bertemu. Akhirnya, seolah menyerah, Minase
mendesah kecil.
“…Aku
mengerti maksudmu. Kamu
bertanya-tanya apakah aku benar-benar sanggup menjadi guru pembimbing klub, ‘kan?”
“Tidak,
maksudku… aku tidak berpikir sampai sejauh
itu…”
“Tapi
tidak apa-apa. Menjadi penasihat itu hanya sementara—aku takkan melakukannya
selamanya. Aku hanya perlu bertahan sekitar sebulan. Guru-guru lain sedang
menjalankan tugas mereka masing-masing, jadi aku tidak mungkin satu-satunya
yang menghindarinya selamanya, kan?”
Dia
menambahkan dengan senyum lembut:
“Lagipula,
berlatih dengan anak-anak tim lari sebenarnya cukup menyenangkan. —Jadi jangan khawatir. Kurasa itu
tidak akan merepotkanmu.”
Senyum
yang cerah dan berseri-seri. Sangat
khas Minase—kuat dan tak tergoyahkan.
Menghadapi
senyum seperti itu, aku tak bisa berkata apa-apa lagi untuk mengungkapkan
kekhawatiranku. Aku
membuka mulut, setidaknya berniat menyangkal bahwa itu semacam ‘masalah’, tapi aku
tak pernah mendapat kesempatan.
Alasan
sederhananya karena kami
sudah sampai di apartemen.
“Sampai
jumpa lagi,”
katanya sambil melangkah masuk. Setelah pintu depannya tertutup, aku bisa
mendengar langkah kaki Airi yang bersemangat dan suara riangnya yang bergegas
menyambutnya.
“...Haa.”
Aku
melangkah masuk ke dalam tempatku
sendiri dan mendesah kecil.
Jelas
Minase semakin sibuk akhir-akhir ini. Meninggalkan Airi di rumah dan bekerja
sampai kira-kira waktu yang sama saat aku kembali—ini belum pernah terjadi
sebelumnya.
Namun,
jika dilihat secara objektif, itu bukan sesuatu yang ekstrem. Ada banyak ibu tunggal di luar
sana yang memiliki jadwal yang jauh lebih padat. Dan yang terpenting... aku hanya
seorang tetangga.
Itulah
alasannya—aku bahkan tidak tahu harus berkata apa.
—Tapi itu
baru permulaan.
◇◇◇◇
“Ah!
Kyouya-san!”
Beberapa
hari kemudian. Aku
sedang berada di balkon seraya
menatap pemandangan senja, ketika Airi
memperhatikanku dari sampingnya dan ikut keluar.
Hari itu
aku sedang bekerja jarak jauh dari rumah, di sela-sela tugas. Pembaruan sistem
dijadwalkan malam itu, jadi aku beristirahat sejenak sebelum itu.
Langit
diwarnai jingga tua saat matahari terbenam, dan kota berkilauan dalam
cahayanya.
Airi
sedang membuka buku sketsa di tangannya. Aku penasaran untuk apa dia
keluar ke balkon. Karena penasaran, aku jadi bertanya padanya.
“Kamu
lagi ngapain, Airi?”
“Aku lagi
ngerjain PR! Kita harus menggambar pemandangan favorit kita!”
Begitu
ya. Membawa
buku sketsa jauh-jauh ke sini pasti berarti dia berencana menggambar
pemandangan kota yang bersinar di bawah matahari terbenam.
“Hmm,
boleh aku melihatnya?”
“Enggak
mau!”
Saat aku
mencondongkan tubuh untuk mengintip, Airi buru-buru menyembunyikan buku sketsa
di balik punggungnya dengan gugup. Pipinya agak merah saat ia menatapku.
“Ini
benar-benar terlarang, bahkan untuk Kyouya-san! Aku berencana memberi kejutan
pada Aya-chan nanti. Dan kamu
tidak bisa menyimpan rahasia, kan?”
“Hei,
ayolah. Kalau memang tidak seharusnya kuceritakan, aku akan menyimpannya
sendiri.”
“Hmm… aku
tidak percaya padamu.”
Airi
menyipitkan mata curiga dan menggembungkan pipinya. Rupanya, aku tidak terlalu
dipercaya.
Lalu—
Tiba-tiba,
aroma makanan lezat tercium dari rumah Minase.
Seseorang
ada di dapur. Aku bahkan bisa mendengar suara mendesis daging yang menyenangkan
di penggorengan.
“Jadi
Minase sudah pulang hari ini.”
Akhir-akhir
ini, Minase sering pulang larut malam. Malam
itu kami bertemu di stasiun mungkin hanya salah satu contohnya. Tetap saja, apartemen ini tidak
terlalu dikenal kedap suara. Jadi rasanya cukup
mudah untuk tahu kapan tetanggamu pulang.
Tapi saat
aku menyebut Minase, raut wajah Airi berubah muram. Dia melirik ke arah ruangan di
belakangnya, suaranya terdengar khawatir.
“…Ya.
Aya-chan pulang lebih awal hari ini, tapi… sepertinya keadaannya semakin sulit
sejak minggu lalu. Dia juga ada kerjaan besok dan lusa.”
“Besok
dan lusa? Itu ‘kan akhir
pekan. Apa untuk kegiatan klub?”
“Kurasa
tidak. Rupanya, seorang guru di sekolahnya pingsan, dan sekarang Aya-chan
mengambil alih kelas dan mengerjakan ujian juga. Katanya… dia bahkan tidak tahu
sampai kapan ini akan berlangsung.”
Aku
terdiam mendengar kata-kata Airi. Jadi
dia tidak hanya melakukan kegiatan klub, tapi juga mengambil alih tugas guru
lain.
Minase
memang selalu cakap, bahkan sejak SMA dulu. Aku yakin dia bisa melakukannya.
Tapi tetap saja... dengan anak kecil yang harus diurus, bagaimana
mungkin seseorang bisa melakukan semua itu sekaligus?
“...Kamu
baik-baik saja, Airi? Kamu akan sendirian di rumah akhir pekan ini?"
Yang bisa
kulakukan hanyalah mengkhawatirkan gadis yang berdiri di depanku.
Airi
mengerjap beberapa kali, lalu tersenyum cerah.
“Tidak
apa-apa. Aku akan menginap di rumah Mei-chan!”
“Begitu ya.”
Setidaknya
untuk akhir pekan ini, tidak perlu khawatir.
Tetap
saja, jelas sekali—rasanya ada sesuatu yang tidak beres.
Aku bisa
merasakannya. Tapi aku
tidak bisa berbuat apa-apa. Dan waktu terus berlalu. Satu minggu berlalu.
◇◇◇◇
“...-chan.”
“…………”
“Aya-chan,
kamu baik-baik saja?"
“...Hah?
Apa?”
Saat aku
mendongak, Airi sedang duduk di seberang meja, alisnya terkulai khawatir. Dia tampak gelisah. Aku buru-buru memaksakan senyum.
“O-oh,
aku baik-baik saja. Ada apa? Apa aku sedikit melamun?”
“Memang.
Tapi... bukan cuma sedikit. Sudah sekitar tiga puluh menit.”
“Apa?”
Aku
melihat jam dinding. Seperti
yang dia katakan, aku sudah duduk di sini sekitar tiga puluh menit sejak kami
duduk di meja makan. Waktu
makan malam sudah lama lewat.
Aku
seharusnya kembali ke sekolah dan mengerjakan lebih banyak pekerjaan setelah
makan malam nanti.
“Ma-Maaf.
Aku akan mulai memasak sekarang, jadi tunggu sebentar, ya?”
Meminta
maaf sambil tersenyum, aku segera menuju dapur. Dan begitu aku menjauh dari Airi—
“...Apa sih yang kulakukan?”
Aku
bergumam pada diri sendiri, frustrasi dengan keadaanku yang menyedihkan. Sudah dua minggu sejak aku mengambil
alih sebagai penasihat klub dan mulai menggantikan guru yang lain.
Guru yang
kugantikan itu pingsan.
Sepertinya
karena terlalu banyak bekerja. Mereka butuh waktu untuk pulih, dan sementara
semuanya dibagi-bagi di antara guru-guru lain, aku akhirnya memikul sebagian
besar beban.
Tentu
saja. Guru-guru lain sudah bekerja keras. Bukan hanya aku yang
berjuang—semua orang berusaha sebaik mungkin. Itulah yang membuat segalanya
begitu sibuk akhir-akhir ini.
Meski
begitu, bukan berarti tanggung jawab rumah tangga rutinku menghilang. Memasak, membersihkan,
membalas pesan dari sekolah dasar—semuanya masih ada.
Inilah
jalan yang kupilih. Inilah tanggung jawabku. Aku tidak menyesalinya. Tidak ada ruang untuk keraguan. Kelelahan fisik itu bahkan tidak
sebanding dengan yang aku alami saat masih di tim lari SMA. Lagipula, tugas sebanyak ini— ibu mana pun bisa menanganinya.
Beberapa
temanku sendiri sudah menjadi ibu. Salah satu dari mereka bahkan merawat orang
tua yang sudah lanjut usia selain membesarkan anak.
Tidak ada
yang istimewa dengan situasiku. Jadi—
“…Aku
masih baik-baik saja. Aku bisa melakukan ini.”
Sambil bergumam
seolah meyakinkan diri sendiri, aku menepuk kedua pipiku dengan tangan untuk
menenangkan diri. Seharusnya
itu sudah cukup untuk membuatku bergerak seperti biasa.
Tapi—
…………Hah?
Tiba-tiba,
lututku lemas, dan aku jatuh terduduk di lantai. Saat aku mencoba bangun, lengan
dan kakiku terasa lemas. Aku
perlahan mengangkat tanganku ke dahi, dan panas yang terpancar darinya sungguh
mengejutkan.
Lebih parahnya
lagi, kesadaranku mulai kabur.
…Ini gawat.
Aku
takkan bisa bekerja besok seperti ini. Aku harus bangun. Tidak—sebelum itu, aku
harus memasak makan malam untuk Airi atau dia akan kelaparan. Lagipula, apa aku
sudah menyelesaikan revisi ujian yang diminta Tanaka-sensei? Dan besok ada hari pembakaran sampah. Airi
bilang dia ingin pergi ke suatu tempat, ‘kan?
Jam berapa sekarang? Apa yang sedang kulakukan? Ini bukan hal yang serius, ‘kan? Aku harus bangun. Bangun.
Bangun. Bangun, bangun, bangun, cepat, cepat, cepat—
Tapi—
Sekeras
apa pun aku menginginkannya, kesadaranku terus menjauh.
“Aya-chan,
untuk besok—tunggu, Aya-chan? Kamu
baik-baik saja, Aya-chan!?”
Hal
terakhir yang kudengar adalah suara Airi. Dan kemudian aku kehilangan
kesadaran.
Aku
bermimpi. Mimpi
dari masa lalu—saat aku jauh lebih lemah daripada sekarang. Rupanya, aku anak yang sangat
pemalu. Aku
selalu mengikuti kakak perempuanku dan tak pernah menjauh darinya. Sepulang
sekolah, aku akan mengubur diriku di antara buku-buku perpustakaan seperti kutu
buku sungguhan.
Sekarang,
sulit membayangkan aku pernah semanja itu pada kakakku.
Tapi meski begitu, ada satu kenangan yang masih kuingat dengan jelas.
Ya—saat
aku demam sewaktu
kecil.
Kurasa
saat itu musim kemarau. Aku sedang membaca di perpustakaan sekolah dasar. Tentu
saja hanya ada satu kompor di tengah ruangan, dan anak-anak yang berisik selalu
menempati tempat-tempat hangat di sekitarnya. Jadi, tempat dudukku yang biasa
terasa dingin—tersembunyi di balik pot tanaman besar di sudut ruangan yang
paling sunyi.
Tapi hari
itu terasa sangat dingin.
Meski
begitu, aku begitu asyik membaca cerita itu sampai-sampai aku terus
membalik-balik halamannya. Buku itu populer, dan akhirnya aku mendapatkan
giliran membacanya. Kurasa
itulah sebabnya aku tidak bisa berhenti.
Dan
akibatnya, aku terserang flu. Aku
akhirnya menghabiskan beberapa hari sakit dan sendirian di rumah. Aku masih mengingatnya dengan
jelas—bagaimana kakak
perempuanku dengan lembut mengelus keningku
dan berkata,
“Kalau
terjadi apa-apa, kamu boleh mengandalkanku, oke?”
“Aku
akan segera pulang sekolah. Oke, Ayana?”
Saat itu,
ibu kami bekerja keras sebagai orang tua
tunggal, jadi kakak perempuanku punya ponsel.
Itulah
sebabnya dia bilang aku bisa meneleponnya kapan saja. Perkataan itu membuatku sangat bahagia,
dan mengetahui ada seseorang yang bisa kuandalkan membuatku merasa aman.
Aku ingin
merasakan kehangatan itu lagi—ingin dimanja, sedikit saja.
“…Hei,
bisakah kamu
mengelus kepalaku sedikit lagi?”
Kalau kamu melakukannya, kurasa aku bisa
tertidur.
Bahkan
saat bermimpi, aku tahu itu mimpi, dan tetap saja aku menanyakan itu pada kakakku. Aku tahu itu tidak nyata. Karena mustahil suasana sedamai
dan sehangat ini masih ada dalam hidupku. Mustahil hal itu bisa
terulang.
Jadi,
untuk saat ini—hanya dalam mimpi ini—kupikir tak apa-apa untuk bertanya. Tapi kemudian—
Sentuhan
lembut mengusap kepalaku, dengan kehangatan yang begitu nyata dan nyata.
…………Hah?
Mustahil.
Ini
mimpi. Pasti begitu.
Jadi—siapa
yang mengelus kepalaku?
Aku perlahan-lahan membuka kelopak mataku.
“…………Hah?”
Hal
pertama yang kulihat adalah kamar tidur kami yang familiar—kamarku dan Airi.
Sinar
matahari pagi masuk, berkilauan saat menerangi ruangan.
Sepertinya
aku terbungkus futon. Ingatan terakhirku ialah
saat berada di dapur, jadi aku tidak tahu bagaimana aku bisa sampai di sini...
tapi itu tidak penting. Bagian itu tidak penting.
Masalah
sebenarnya adalah pemandangan di hadapanku—Horikoshi-kun duduk di sampingku,
mengelus kepalaku dengan lembut.
Hanya itu
yang kubutuhkan untuk memahami semuanya, dan saat suhu tubuhku naik tajam, aku
berbicara dengan suara gemetar.
“…Apa
aku… memintamu untuk… mengelus kepalaku…?”
Horikoshi-kun
mengalihkan pandangannya dengan canggung, lalu mengangguk kecil.
Aku ingin
menghilang dari muka bumi.
◇◇◇◇
“.............”
“.............”
Sudah
lama sejak terakhir kali aku mengunjungi rumah Minase, dan terakhir kali aku
melangkah ke unit apartemennya ialah… waktu itu.
Saat aku
melihatnya lagi untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun—setelah SMA, setelah
sekian lama—dan akhirnya merawatnya. Memikirkannya seperti itu, rasanya agak
sentimental.
Sudah
beberapa bulan berlalu sejak saat itu. Banyak hal telah terjadi dengan Minase.
Aku
pernah ke rumahnya, kami pergi ke festival musim panas bersama, makan siang
bersama di rumahnya, menyelinap ke sekolah di malam hari. Melalui semua itu,
aku mulai memahaminya sedikit demi sedikit. Dan kupikir... sebelum dia menjauh,
kami sudah semakin dekat.
Tapi
meski begitu—
Seandainya
itu benar—apa aku benar-benar salah karena mengelus kepalanya hanya karena dia
menatapku dengan ekspresi kesepian dan berkata, “Elus
kepalaku”?
Yah...
mungkin bukan itu inti dari hubungan kami.
“…………………………”
Sementara
itu, Minase duduk di hadapanku dengan punggung bersandar ke dinding, lututnya
ditarik ke dada. Futonnya ditarik setengah, menyembunyikan sebagian wajahnya
saat dia memelototiku dengan cemberut lembut yang setengah terbuka.
Pipinya
begitu merah sehingga tidak ada cara untuk menjelaskannya. Aku sudah
menjelaskan kenapa akhirnya aku mengelus kepalanya.
Sekarang,
aku hanya menunggu dia mengatakan sesuatu.
Aku ingin
mempercayai kalau aku
tidak salah, tapi...
Jantungku
berdebar kencang saat menunggunya dan
Minase memalingkan wajahnya sembari
bergumam,
“...L-Lupakan
saja.”
“Hah?”
“Ak-Aku
serius. Tolong lupakan saja. Aku hanya lelah,
atau, um... bukan apa-apa, oke? Bukan apa-apa, oke.”
“Ayolah,
kamu tiba-tiba bilang, 'Elus
kepalaku'. Mana mungkin bukan apa-apa.”
“Sudah
kubilang bukan apa-apa!”
Dia
memelototiku seolah-olah ingin
berkata ‘kamu keberatan dengan itu?’.
Seberapa
pun aku mendesak, sepertinya dia tidak akan mengatakan apa-apa lagi.
“...Tapi,
kenapa kamu ada di
rumahku...? Maksudku, kukira kaulah yang merawatku, tapi... tunggu, ini sudah
pagi? Bagaimana dengan pekerjaanmu...?”
“Aku
mengambil cuti. Aku tidak bisa langsung pergi bekerja karena tahu tetanggaku
pingsan.”
“Eh...”
Wajah
Minase langsung memucat. Lalu,
dia tiba-tiba duduk tegak dengan
kaget.
“Maafkan
aku! Aku tidak bermaksud merepotkanmu—aku akan bangun sekarang juga!”
“Woa,
woa, woa! Kamu
benar-benar pingsan beberapa jam yang lalu! Jadi berstirahatlah dulu!”
“Tapi—”
“Tidak
apa-apa. Aku punya simpanan cuti berbayar. Atasanku terus mendesakku untuk
menggunakannya.”
Akhir-akhir
ini, dengan semua pembicaraan tentang reformasi kehidupan kerja,
perusahaan-perusahaan mulai memeriksa berapa banyak hari libur yang kamu ambil.
Meski
begitu, mereka masih mengharapkan beban kerja yang sama meskipun sudah
memintamu untuk mengambil cuti, yang menurutku agak konyol.
Sementara
itu, Minase tampak tidak yakin, menggigit bibirnya.
“Tapi
tetap saja... aku tidak ingin terus merepotkanmu seperti ini...”
“Kalau
begitu menurutmu, semuanya sudah
terlambat. Aku sudah mengambil cuti.
Jadi, biarkan aku yang mengurusmu.”
“…Baiklah…
aku benar-benar minta maaf.”
Minase
menundukkan kepalanya, jelas-jelas
masih dibebani rasa bersalah. Aku
mungkin mengatakannya dengan nada agak tajam, tapi mau bagaimana lagi.
Minase
memang keras kepala. Kalau aku tidak mengatakannya dengan tegas, dia mungkin
akan memaksakan diri untuk bangun dan pergi bekerja. Dan kalau itu terjadi,
situasinya bisa jadi lebih buruk.
“…Tapi
bagaimana kmau tahu
aku pingsan…?”
Dia
bertanya dengan suara yang begitu lemah hingga mungkin menghilang sepenuhnya,
tatapannya masih tertunduk ke arah futon.
Bahkan
sekarang, dengan energinya yang terkuras, sepertinya dia tak bisa menahan diri
untuk bertanya-tanya.
Tapi
jawabanku sederhana.
“Airi
yang memberitahuku.”
Benar—tadi
malam, Airi datang menyerbu apartemenku.
—Kyouya-san!
Ada yang salah dengan Aya-chan!
—Kyouya-san…
tidak apa-apa kalau aku mengandalkanmu, kan?
Airi
pasti ingat apa yang pernah kukatakan padanya sebelumnya.
—Kamu bisa lebih mengandalkan orang
dewasa, Airi.
—Dan
kalau kamu
masih khawatir jadi beban…
—Datang
saja padaku. Lagipula, aku kan tetangga sebelahmu.
Itulah sebabnya Airi mendatangiku, dan kenapa aku langsung tahu
kalau Minase pingsan. Minase
tetap menundukkan kepalanya.
“…Jadi,
Airi… Tunggu—di mana Airi sekarang!? Sarapan! Dan sekolah—!”
“Aku
sudah mengurusnya. Tapi hasilnya tidak terlalu bagus.”
“…Maafkan
aku… untuk semuanya… Aku sudah merepotkanmu…”
Minase
mencengkeram futon erat-erat. Wajahnya
tampak seperti akan remuk di bawah beban sesuatu yang dalam dan berat—sesuatu
yang disebut tanggung jawab.
Bibirnya
tertutup rapat, gemetar karena
penyesalan, matanya tertunduk menatap selimut. Apa karena dia mengemban sesuatu yang bahkan tak bisa
kubayangkan?
Itulah sebabnya aku tak bisa menahan diri untuk
bertanya:
“…Kenapa
kamu tak ingin merepotkan siapa pun,
Minase?”
“…Hah…?”
Matanya
melirik ke arahku seolah hendak berkata, Bukankah itu sudah jelas?
Mulutnya
sedikit terbuka—
Tapi
bibir indah itu tak mampu membentuk kata-kata. Setelah terdiam lama, akhirnya dia menghela napas dengan senyum
tipis yang merendahkan diri.
“…Aku
ingin menjadi seorang ibu.”
“Seorang
ibu…?”
“Ya.
Seseorang yang kuat, bisa diandalkan—seseorang yang tak akan membuat Airi
khawatir. Dia kini
tampak ceria, tapi saat ibunya tiada… dia
terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri. Dia berpikir
kalau dirinya anak nakal—alasan kalau
ibunya menghilang karena
dirinya.”
“Itu…”
Mana mungkin
begitu. Aku tak pernah bertemu kakak perempuan Minase, tapi bahkan
sebagai orang luar, hanya dengan mendengarkan cerita mereka, aku tahu mereka
berdua tak akan pernah berpikir seperti itu.
“Keadaan mental Airi memang sedikit kacau waktu itu. Dia percaya
semua orang akan menghilang saat dia tidur. Dia tak bisa tidur di malam hari…
dia takkan pergi ke mana pun kecuali bersamaku.”
—Hei,
Aya-chan.
—Kamu juga tak akan menghilang, ‘kan?
Airi akan
menanyakan itu berulang kali.
“…Itulah sebabnya aku memutuskan—aku akan menjadi
ibunya. Seseorang seperti kakakku.
Seseorang yang akan membuatnya merasa aman. Supaya
dia bisa tersenyum lagi, seperti saat kecil dulu. Supaya dia bisa mengandalkanku dengan
bebas, tanpa ragu.”
Minase
tidak menjelaskan detailnya, tapi aku bisa dengan mudah membayangkan
momen-momen yang dia maksud.
—T-Tidak,
tidak apa-apa. Aya-chan sedang sibuk.
—Maaf aku
egois. Semoga sukses dengan pekerjaannya, Aya-chan!
Airi
selalu menahan diri, takut merepotkan Minase. Dan mungkin Minase melihat
keraguan itu… sebagai alasan Airi tak bisa benar-benar kembali seperti dulu.
“…Jadi
itu sebabnya kamu terus
bilang tak ingin menjadi beban bagi siapa pun?”
“…Ya.
Tapi sekarang lihat aku… padahal ada
begitu banyak ibu di luar sana yang melakukan semua ini dan lebih banyak lagi…
Aku sungguh menyedihkan.”
Aku tak
tahu apakah meminta bantuan—atau menjadi beban—mendiskualifikasi seseorang
untuk menjadi seorang ibu.
Tapi
mungkin, bagi Minase, begitulah
tekadnya. Demi bsia tetap
tegar agar Airi tak perlu khawatir, untuk menjadi seseorang yang bisa Airi
andalkan dengan bebas. Itulah
sebabnya dia
berusaha menjadi sempurna—agar dia
bisa menunjukkan kepada Airi bahwa dirinya
baik-baik saja.
Di dunia
saat ini yang dipenuhi dengan konten media sosial, mudah untuk
membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Orang-orang
yang lulus dari universitas elit dan menjalani kehidupan glamor di
perusahaan-perusahaan papan atas. Pengusaha kaya raya, yang terus-menerus
berpindah dari satu pesta ke pesta lainnya. Ibu tunggal yang membesarkan banyak
anak sambil mempertahankan karier yang gemilang. Selalu saja ada manusia super yang menonjol di
dunia maya—bukan yang biasa-biasa saja.
Jadi, rasanya tidak mengherankan jika kita akhirnya membandingkan diri
sendiri dan merasa kurang.
Meski itu
cuma lingkungan.
Meski itu
cuma keberuntungan.
Meski itu
bahkan tak nyata.
Hanya
tebakan. Hanya ilusi yang terasa nyata.
Tapi
tetap saja, Minase berkata, “Adan banyak
ibu yang melakukan ini.”
Lalu
mungkin dia membandingkan dirinya dengan manusia super itu—mendorong dirinya
sendiri hingga batasnya.
Dan...
—Karena
aku tidak bisa membiarkan Airi merasa ragu.
—Gadis
itu kuat.
Ada
banyak waktu di mana Minase terlalu menekan dirinya sendiri sebagai seorang
ibu. Jika
memang begitu, maka ada sesuatu yang harus kukatakan padanya.
Aku tidak
pernah tahu bagaimana mengatakannya. Aku
hanya orang luar. Teman
sekelas dari SMA yang tidak pernah kutemui selama sepuluh tahun. Sekarang, hanya pria yang tinggal
di sebelah.
Sejak dia
menolakku malam itu di sekolah, aku meyakinkan diri untuk tidak mencoba
mendekatinya lagi. Tapi
meskipun begitu—jika ada sesuatu yang hanya bisa kukatakan, karena aku
mengenalnya dulu dan sekarang—maka aku harus mengatakannya.
Bahkan
jika itu berarti aku akan dijauhi
lagi.
Jadi aku
berbicara padanya dengan
tulus.
Menatap
mata Minase lurus-lurus.
“...Aku
sudah memikirkan ini sejak lama, kamu
tahu. —Kamu sebenarnya agak sembrono, Minase.”
“………………Hah?”
Suasana
hati langsung berubah tak menentu.
…Atau
setidaknya, rasanya memang begitu.
Saat aku
mengatakannya, Minase mengerutkan kening bingung, seolah-olah ingin berkata, ‘Apa? Kamu mendadak ngomong apaan sih?’.
Mungkin
karena aku mengatakan sesuatu yang benar-benar di luar nalar. Tapi—meskipun pilihan kataku
mungkin buruk, aku rasa apa yang kukatakan tidak salah.
“…Maksudku,
ayolah. Ingin menjadi ibu bagi Airi—kupikir itu hal yang hebat. Tapi mencoba
melakukannya tanpa pernah menjadi beban bagi siapa pun? Itu mustahil.”
“Mustahil apanya… Tapi kalau aku tidak
melakukannya, maka Airi akan… Dan ada begitu banyak orang lain di luar sana
yang berhasil melakukannya—”
“Tapi
baru setahun.”
“…Apa?”
Mata
Minase terbelalak.
Tapi itu
benar.
Baru
setahun. Setahun sejak dia mengadopsi Airi. Mungkin bahkan kurang
sejak dia memutuskan untuk menjadi
ibunya. Hanya
sebatas itulah waktu yang berlalu.
“Aku
sudah cukup dewasa untuk menjadi orang tua, tentu saja… Tapi jika besok ada
yang bilang aku harus menjadi orang tua, aku bahkan tidak tahu harus mulai dari
mana. Aku sama sekali tidak bisa membayangkan diriku melakukannya dengan baik.
Tapi begitulah adanya, ‘kan?”
Seperti—apa kamu benar-benar dewasa saat berusia
delapan belas tahun?
Apa kamu langsung menjadi seorang
profesional saat baru
mendapatkan pekerjaan?
Apa kamu langsung bisa menjadi seorang
orang tua saat anakmu lahir?
Secara
teknis, tentu saja. Di atas kertas, begitulah
definisinya.
Tapi terlepas apa kamu
benar-benar menjadi orang tua merupakan
cerita yang berbeda. Tidak
ada orang yang secara ajaib menjadi orang tua sungguhan sehari setelah anak
mereka lahir.
“Menurutku…
menjadi orang tua bukanlah sesuatu yang kamu
inginkan—melainkan sesuatu yang kamu kembangkan.”
“Mengembangkan...”
“Itu
bukan sesuatu yang langsung 'ada' sejak awal. Kamu sampai di sana
melalui pengalaman. Kamu menyesuaikan diri, kamu berjuang, dan terkadang kamu
bergantung pada orang lain. Begitulah cara kerjanya, ‘kan?”
Kita tidak langsung menjadi dewasa saat berusia
delapan belas tahun. Kamu menjadi dewasa seiring waktu, melalui pengalaman.
Sama halnya dengan menjadi orang dewasa yang bekerja, begitu pula menjadi orang tua.
Itu
sesuatu yang baru kupahami sekarang, setelah aku sendiri menjadi dewasa.
“Jadi,
tidak aneh jika kamu membuat masalah di sepanjang jalan. Itu bukan berarti kamu
tidak berusaha. Itu hanya... normal.”
Sama
seperti Airi. Saat itu,
aku bilang padanya bahwa wajar bagi anak-anak untuk bergantung pada orang lain. Ini sama saja.
Jika kamu
baru menjadi orang tua, itu tidak jauh berbeda dengan menjadi anak sendiri. Tentu saja, ada orang yang bisa
melakukan semuanya sejak awal.
Ada orang
tua tunggal di luar sana yang membesarkan anak-anak, bekerja penuh waktu, dan mengurus
semuanya sendiri dengan sempurna.
Tapi
bukan berarti orang yang mengandalkan orang lain, yang menerima bantuan,
melakukan kesalahan. Bukan berarti mereka tidak berusaha.
Setiap
orang punya pengalaman pertama.
Dan aku
tidak menyalahkan orang yang tidak bisa mengatasinya sendirian. Aku tidak bisa menyalahkan
mereka.
Karena
aku bukan orang tua—tapi bagiku, kedua jenis orang itu sama-sama mengagumkan.
“Dan...
aku juga sudah dewasa, oke. Mungkin
butuh waktu, tapi... aku bisa melakukan lebih banyak sekarang daripada dulu.
Kalau cuma masalah kecil, aku bisa mengatasinya.....Jadi
kalau ada yang bisa kulakukan, kamu boleh
saja memintaku.”
Mata
Minase terbelalak kaget.
Seolah-olah
sesuatu baru saja kembali padanya. Dan di saat yang sama, sebuah ingatan muncul
kembali di benakku.
—Kamu baik-baik saja, Minase?
—Apa ada yang bisa kubantu?
Sepuluh
tahun yang lalu. Di ujung tangga kosong, tempat Minase terduduk sambil
menangis, aku memanggilnya seperti itu. Tapi saat itu, dia tidak
bergantung padaku.
Mungkin
ada banyak alasan. Tapi satu hal yang bisa kukatakan dengan pasti adalah—karena
aku sudah ‘dewasa’, karena aku sudah lebih dewasa
sejak SMA—aku kini mampu melakukan hal-hal yang dulu tak bisa kulakukan.
“...Jadi,
maksudmu... kamu tidak keberatan kalau
aku jadi bebanmu?"
Minase
bergumam pelan, ekspresi sedih terpancar di wajahnya. Saat dia mendongak, matanya dipenuhi
rasa bersalah—tak terelakkan dan berat.
“Itu
hanya… menipu diri sendiri, kan? Mengatakan tak apa-apa merepotkan seseorang…
Aku tak bisa membiarkan diriku bergantung pada orang seperti itu—”
“Itu
bukan ‘bergantung pada orang lain.’ Siapa pun yang melihat betapa
kerasnya kamu bekerja
tak akan pernah menyebutnya begitu.”
“Kamu tidak
pernah… mengetahuinya!”
“Aku
tahu. Setidaknya, aku memperhatikan.”
Mungkin
ada jeda sepuluh tahun. Tapi
aku sudah melihatnya.
Siapa dia
dulu di SMA—muda dan tak yakin. Dan siapa dia sekarang—kuat, dewasa, dan mampu
mengendalikan diri.
“Di SMA,
kamu selalu menjadi pusat perhatian
di kelas. Tampil modis
juga—tasmu, seragammu, caramu memakainya, semua itu. Tapi sekarang… semuanya
tentang kepraktisan, ‘kan?
Mungkin karena kamu seorang
ibu.”
Tidak
masalah jika pakaianmu kotor. Kamu pakai kaos dan celana jin polos. Mungkin karena kau harus selalu
siap, kamu bawa ransel yang tampak tangguh
itu ke mana-mana.
Sepatunya tak lagi berhak tinggi—dia
hanya mengenakan sesuatu yang membuatnya mudah
bergerak.
Semuanya
mungkin demi Airi.
“Dan
masakanmu... makanan yang kau buatkan untukku sewaktu
aku sakit—enak sekali. Waktu SMA dulu, kamu
payah sekali.”
Dia pasti
bekerja sangat keras. Semuanya demi Airi—demi menjadi ibunya.
Mana mungkin
orang yang sudah melihat semmua itu
tetap mengatakan kalau dia
belum cukup berusaha.
“……………”
Mata
Minase sedikit melebar. Aku
tak bisa membaca apa yang dia rasakan. Tapi
aku yakin itu bukan sesuatu yang buruk. Jadi aku terus melanjutkan.
“Dan...
bahkan sebagai tetangga sebelahmu, aku tahu seberapa besar usahamu. Kalau orang
sepertiku bisa melihatnya—pasti Airi juga bisa melihatnya.”
Setelah
itu, aku mengeluarkan sesuatu dari sakuku.
Airi
memintaku untuk memberikannya kepada Minase ketika dia bangun tidur.
Dia
ingin memberikannya langsung setelah menerimanya dari sekolah. Airi bilang dia merasa bangga akan hal itu. Tapi dia harus pergi ke sekolah.
Jadi dia memberikannya kepadaku,
memintaku untuk meneruskannya.
“Ini…
gambar yang Airi buat untuk PR-nya. Tugasnya adalah menggambar ‘adegan
favoritnya.’ Kurasa anak-anak melihat lebih dari yang kita kira.”
“………………Apa?”
Mata
Minase semakin terbelalak ketika melihat apa yang kuberikan. Tapi itu bisa dimaklumi.
Gambar
Airi ternyata bagus untuk anak kelas tiga. Bahkan sebagai seorang amatir, aku
terpikat olehnya. Dia bahkan
mungkin tumbuh dewasa dan memiliki karier yang berhubungan dengan seni—sebegitu indahnya pemandangan itu.
Tapi
bukan itu alasan Minase tampak begitu terkejut. Bukan karena itu hadiah. Bukan
karena betapa bagusnya gambar itu.
Melainkan
karena adegan yang digambar Airi—adalah sesuatu yang berusaha keras
disembunyikan Minase.
—Mungkin
larut malam. Setelah Airi tertidur.
Gambar
itu menunjukkan Minase di dapur, memasak di bawah cahaya redup, berusaha untuk
tidak membangunkan Airi.
Komposisinya
seolah-olah Airi mengintip melalui celah kecil di pintu, menangkap Minase dari
belakang. Kamu tidak
bisa melihat wajahnya—tetapi meja dapurnya dipenuhi segunung piring yang gagal.
Aku belum
pernah melihat momen itu sendiri. Tetapi
aku bisa membayangkannya dengan sangat jelas. Minase tidak pernah pandai
memasak—bahkan saat SMA dulu.
Dan
kemudian, dia menerima
Airi.
Mengingat kepribadian Minase,
dia mungkin ingin menjadi kuat,
menjadi tipe ibu yang pandai memasak—jadi dia
begadang, berlatih diam-diam.
Dan Airi
pasti tidak sengaja melihatnya sekilas.
Apa yang
dipikirkan Airi ketika
melihat Minase seperti itu?
Melihat
sisi canggung dan ceroboh Aya-chan kesayangannya,
yang selalu tampak bisa melakukan apa saja?
Dia
tak banyak bicara—tapi pesan yang Airi tulis di gambar itu sudah menjelaskan
semuanya.
[Aku
suka masakanmu, Aya-chan. Dan aku juga mencintaimu. Terima kasih untuk semuanya,
Aya-chan]
“──────”
Minase
tersentak. Dia menutup
mulutnya dengan tangan, dan mata indahnya berkaca-kaca, air mata perak yang
besar dan berkilauan. Bibirnya sedikit bergetar, dan kelopak matanya berkedip
seolah menahannya.
“…Maaf.
Aku mau pinjam toilet.”
Setelah
itu, aku berdiri dan membelakanginya.
Dia
mungkin tak ingin aku melihat apa yang terjadi selanjutnya. Jika peran kami
tertukar, aku pun akan merasakan hal yang sama.
Tapi—
“…Tunggu.”
Suaranya terdengar gemetar. Lalu, tiba-tiba, aku merasakan
tangan kecil mencengkeram lengan bajuku. Aku membeku di tengah gerakan,
masih berlutut di lantai.
Dan
kemudian—aku merasakan sesuatu menekan lembut punggungku.
Bajuku
perlahan menjadi basah.
“…Hanya
sebentar… hanya sebentar lagi. Biarkan aku tetap seperti ini.…Lalu kupikir… aku
akan bisa kembali baik-baik saja.”
Aku tak
berkata apa-apa.
Aku tak
bergerak.
Cuma itu saja,
jawabanku.
Aku terus
bicara, seolah-olah ada yang ingin kukatakan—tapi pada akhirnya, mungkin inilah
yang paling penting.
Airi
menahan diri demi Minase.
Minase
membebani dirinya sendiri demi Airi.
Mereka
berdua bekerja keras agar tidak menimbulkan masalah bagi siapa pun.
Sejujurnya— kalian berdua benar-benar seperti
ibu dan anak, bisikku
dalam hati.
