Koukou jidai ni Sukidatta Vol 1 Chapter 9 Bahasa Indonesia

Chapter 9

 

Ini kenangan masa lalu. Kisah masa-masa SMA-ku bersama Minase. Kelanjutan kenangan saat dia menangis. Minase menangis di pojokkan di sebelah kantor guru. Saat aku melihatnya, tanpa kusadari, aku sudah menaiki tangga—

Dan aku memanggilnya.

...Kamu baik-baik saja, Minase?

Minase mengangkat kepalanya begitu cepat hingga hampir mengeluarkan suara. Mungkin terdengar kurang pantas, tetapi meskipun menangis, dia tetap terlihat cantik.

Aku belum pernah melihat teman sekelas menangis sebelumnya—apalagi seseorang seperti Minase. Aku bahkan tak bisa membayangkannya.

Itulah sebabnya rasanya begitu janggal—sebuah tanda yang jelas bahwa ada sesuatu yang salah. Tanpa kusadari, kata-kata itu terucap begitu saja.

...Apa ada yang bisa kubantu?

Aku tidak tahu mengapa ia menangis. Meski begitu, aku ingin mengulurkan tangan padanya. Karena aku mengaguminya... dan aku menyukainya.

Namun sesaat kemudian, aku terdiam.

Apa karena dia tiba-tiba berteriak haru?

Atau karena dia berbalik dan lari?

Bukan—bukan keduanya.

Itu karena Minase tersenyum.

“Maaf ya, Horikoshi-kun. Kamu melihat sesuatu yang memalukan.”

Dengan tawa yang terdengar seperti biasa, Minase menenangkan diri dan berdiri. Dia menuruni tangga dengan tenang dan melewatiku, tetapi aku tak bisa berkata sepatah kata pun.

Karena aku tahu—

Bukan itu yang dia inginkan dariku.

“Bisa kamu berpura-pura tidak melihatku menangis?”

“…Ya.”

“Terima kasih, Horikoshi-kun. Baiklah kalau begitu, sampai jumpa.”

Bahkan ketika aku melihatnya dalam kondisi paling rapuh, Minase tetap mempertahankan citra kesempurnaannya. Hal itu, lebih dari segalanya, memperjelas bahwa ada tembok yang tak teratasi di antara kami.

Dan aku tak sanggup melewatinya.

Orang sepertiku—apa yang bisa kulakukan untuknya?

Dan sekarang, sepuluh tahun kemudian…

Aku akhirnya menghadapi situasi yang sama lagi.

 

◇◇◇◇

 

Belakangan ini, dengan semua yang terjadi, aku sepertinya melupakan sesuatu yang penting—kehidupan sehari-hariku pada intinya merupakan kehidupan yang sepi.

Pulang kerja dalam keadaan lelah, hal pertama yang kulakukan adalah berganti dari setelan jas menjadi hoodie polos dan celana olahraga. Lalu aku langsung menuju kulkas, mengambil nasi beku, telur marinasi, salad kemasan, dan sekaleng bir.

Sebagai hadiah untuk diriku sendiri karena telah melewati hari, aku membuka kaleng bir itu. Bunyi desisan yang menggema di dapur yang sunyi terasa anehnya memuaskan. Mendengar suara itu saja membuat aku merasa seperti benar-benar di rumah, dan entah kenapa, itu menenangkanku.

Aku menyesap bir sambil memasukkan nasi beku ke dalam microwave.

Pengatur waktu berjalan tiga menit sepuluh detik. Sambil menunggu, aku menyiapkan telur marinasi dan salad. Telurnya dari resep yang kulihat dari YouTuber populer—sedikit pedas karena cabai, dan bumbu kecap bawang putihnya cocok sekali dengan nasi.

Setelah semuanya siap, aku duduk di depan TV dan mulai melahap makanan.

Saus, telur, nasi—kombinasi yang sempurna. Meneguknya dengan bir membuat semua ketegangan menghilang dari tubuhku.

Fiuh.

Kira-kira dua puluh menit sejak aku sampai di rumah. Beginilah rutinitas yang kubuat untuk menikmati waktu pribadiku sepenuhnya.

Dengan menetapkan pola tetap untuk apa yang kulakukan setelah pulang, aku bisa benar-benar menikmati malamku. Bagi orang dewasa yang bekerja, seberapa besar kita menikmati waktu setelah bekerja dapat sepenuhnya mengubah kualitas hidup kita. Itulah sebabnya aku sangat memikirkannya setiap hari.

Tapi—

Dulu, hanya begini saja sudah cukup memuaskanku, tapi akhir-akhir ini… ada sesuatu yang terasa berbeda.

“.............”

Dalam keheningan singkat itu, samar-samar aku bisa mendengar suara langkah kaki yang energik dan suara seorang wanita dari kamar sebelah. Aku tak mengerti apa yang dia katakan, tapi dia terdengar seperti sedang bersenang-senang.

Dan di saat yang sama, aku teringat dengan pedih bahwa aku sendirian.

...Haa.

Ya Tuhan, seberapa menyedihkannya diriku ini?

Rupanya aku pernah berkata kepada Minase dalam keadaan mabuk bahwa aku ingin seseorang mengucapkan selamat datang di rumah kepadaku. Mungkin aku tidak sepenuhnya salah.

Sudah beberapa minggu berlalu sejak kejadian malam itu di sekolah, tapi aku belum pernah benar-benar berbicara dengan Minase sejak itu. Tentu, kami akan bertukar sapa ketika berpapasan di lorong apartemen. Tapi kami tidak benar-benar berbicara, dan jumlah pertemuan kami telah menurun drastis.

Aku tak tahu apakah dia sengaja menghindariku, atau hanya kebetulan. Tapi tetap saja—

 

...Maafkan aku. Aku menghargai perasaanmu, tapi... aku tak bisa mengandalkanmu lagi.

 

Perkataan Minase itu... Aku ragu semuanya tidak ada hubungannya.

Sederhananya—aku telah ditolak.

Aku pasti salah paham. Setelah menghabiskan waktu bersamanya baru-baru ini, aku mulai percaya bahwa aku mendapatkan semacam tempat khusus di sisinya—bahwa dia memandangku berbeda dari orang lain.

Hal itu membuatku jadi besar kepala. Minase memang tidak pernah membutuhkan bantuan dari siapa pun sejak awal.

Namun—

 

Ma-Maaf. Mataku hanya gatal. Kurasa aku menggosoknya terlalu keras tadi.

 

Kalau hanya itu, lantas... kenapa dia menangis?

Saat itu, kupikir dia telah menunjukkan sekilas kelemahannya kepadaku. Itulah mengapa aku ingin dia bergantung padaku—mengapa aku bilang ingin membantu.

Tapi dia menolak. Jadi mungkin dia memang tidak punya kelemahan sejak awal. Atau mungkin dia memang tidak menginginkan bantuan dari orang sepertiku.

...Aku tidak mengerti.

Kukira aku mengerti perasaannya. Aku menafsirkan semuanya dengan cara yang cocok untukku dan memaksakan perasaanku sendiri padanya. Aku tahu betul itu bukan hal yang benar untuk dilakukan.

Tapi kalau itu orang yang kamu sayangi... kamu hanya akan bertindak seperti itu tanpa berpikir.

“…………”

Sejujurnya, lebih baik aku melupakan semua itu.

Cinta semasa SMA-ku cuma kebetulan tinggal di sebelah. Dan terus hidup seperti tetangga biasa—

Seolah-olah kita bahkan tidak tahu nama satu sama lain. Seakan-akan kita belum pernah bicara sebelumnya. Persis seperti kebanyakan orang yang tinggal di perkotaan.

Namun, meskipun aku memahaminya secara logis... aku tidak bisa melupakan Minase—atau Airi—dari pikiranku.

 

◇◇◇◇

 

“Ah—”

“…Oh.”

Pada suatu malam di hari kerja. Dalam perjalanan pulang kerja, aku bertemu Minase di stasiun terdekat. Di bawah langit malam, stasiun bersinar terang saat para pekerja melewati gerbang tiket dan berhamburan ke kota. Minase adalah salah satunya.

Mungkin itu pertama kalinya aku melihatnya di stasiun pada malam hari di hari kerja. Dia mengenakan baju olahraga dan ransel hitam besar di punggungnya. Dia tampak seperti berpakaian praktis.

Ketika Minase memperhatikanku, matanya melebar karena terkejut—tapi itu hanya berlangsung sesaat. Lalu dia menunjukkan senyum sempurna yang biasa, tenang, dan bertanya,

Kamu selalu pulang sekitar jam segini, Horikoshi-kun?

...Ya, kurang lebih.

Pasti berat bekerja sampai larut malam. Kerja bagus hari ini.

Apa kamu juga bekerja sampai larut malam, Minase? Jarang sekali.

Ya, terkadang memang begitu.

Karena kami tinggal di kompleks apartemen yang sama, wajar saja kami berjalan ke arah yang sama. Di bawah cahaya biru pucat lampu jalan, kami bertukar kata-kata pelan.

Bukan karena kami punya banyak hal untuk dibicarakan.

Justru sebaliknya.

Rasanya kami hanya mengisi keheningan dengan kata-kata—seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa malam itu di sekolah.

Hari ini aku ada kegiatan klub, jadi aku pulang kerja sampai larut malam.

Saat kami hampir sampai di apartemen, dengan percakapan yang mulai mereda, Minase tiba-tiba mengatakan itu. Dia terus menghadap ke depan, berbicara dengan suara tenang dan mantap.

Guru pembimbing yang bertanggung jawab atas klub lari jatuh sakit, jadi peran itu jatuh ke tanganku. Sudah lama sejak aku terakhir berolahraga, tapi ternyata cukup menyenangkan.”

“Yah, baguslah, tapi… kamu baik-baik saja?”

“Apa maksudmu dengan ‘baik-baik saja’?”

Minase sedikit memiringkan kepalanya. Tapi aku yakin dia tahu persis apa yang kumaksud. Buktinya terpampang jelas di wajahnya—Minase, yang tidak pernah menunjukkan kelelahan, justru kelihatan lelah.

Dia selalu tipe orang yang tabah. Bahkan saat SMA dulu, dia tidak pernah membiarkan siapa pun melihatnya kelelahan, dan dia hampir tidak pernah mengeluh.

Jadi, jika aku bisa tahu dia lelah hanya dengan melihatnya sekilas… maka dia pasti lelah.

Aku menatapnya sejenak, dan mata kami bertemu. Akhirnya, seolah menyerah, Minase mendesah kecil.

“…Aku mengerti maksudmu. Kamu bertanya-tanya apakah aku benar-benar sanggup menjadi guru pembimbing klub, kan?”

“Tidak, maksudku… aku tidak berpikir sampai sejauh itu…”

“Tapi tidak apa-apa. Menjadi penasihat itu hanya sementara—aku takkan melakukannya selamanya. Aku hanya perlu bertahan sekitar sebulan. Guru-guru lain sedang menjalankan tugas mereka masing-masing, jadi aku tidak mungkin satu-satunya yang menghindarinya selamanya, kan?”

Dia menambahkan dengan senyum lembut:

“Lagipula, berlatih dengan anak-anak tim lari sebenarnya cukup menyenangkan. —Jadi jangan khawatir. Kurasa itu tidak akan merepotkanmu.”

Senyum yang cerah dan berseri-seri. Sangat khas Minase—kuat dan tak tergoyahkan.

Menghadapi senyum seperti itu, aku tak bisa berkata apa-apa lagi untuk mengungkapkan kekhawatiranku. Aku membuka mulut, setidaknya berniat menyangkal bahwa itu semacam masalah, tapi aku tak pernah mendapat kesempatan.

Alasan sederhananya karena kami sudah sampai di apartemen.

Sampai jumpa lagi, katanya sambil melangkah masuk. Setelah pintu depannya tertutup, aku bisa mendengar langkah kaki Airi yang bersemangat dan suara riangnya yang bergegas menyambutnya.

...Haa.

Aku melangkah masuk ke dalam tempatku sendiri dan mendesah kecil.

Jelas Minase semakin sibuk akhir-akhir ini. Meninggalkan Airi di rumah dan bekerja sampai kira-kira waktu yang sama saat aku kembali—ini belum pernah terjadi sebelumnya.

Namun, jika dilihat secara objektif, itu bukan sesuatu yang ekstrem. Ada banyak ibu tunggal di luar sana yang memiliki jadwal yang jauh lebih padat. Dan yang terpenting... aku hanya seorang tetangga.

Itulah alasannya—aku bahkan tidak tahu harus berkata apa.

—Tapi itu baru permulaan.

 

◇◇◇◇

 

“Ah! Kyouya-san!”

Beberapa hari kemudian. Aku sedang berada di balkon seraya menatap pemandangan senja, ketika Airi memperhatikanku dari sampingnya dan ikut keluar.

Hari itu aku sedang bekerja jarak jauh dari rumah, di sela-sela tugas. Pembaruan sistem dijadwalkan malam itu, jadi aku beristirahat sejenak sebelum itu.

Langit diwarnai jingga tua saat matahari terbenam, dan kota berkilauan dalam cahayanya.

Airi sedang membuka buku sketsa di tangannya. Aku penasaran untuk apa dia keluar ke balkon. Karena penasaran, aku jadi bertanya padanya.

“Kamu lagi ngapain, Airi?”

“Aku lagi ngerjain PR! Kita harus menggambar pemandangan favorit kita!”

Begitu ya. Membawa buku sketsa jauh-jauh ke sini pasti berarti dia berencana menggambar pemandangan kota yang bersinar di bawah matahari terbenam.

“Hmm, boleh aku melihatnya?”

“Enggak mau!”

Saat aku mencondongkan tubuh untuk mengintip, Airi buru-buru menyembunyikan buku sketsa di balik punggungnya dengan gugup. Pipinya agak merah saat ia menatapku.

“Ini benar-benar terlarang, bahkan untuk Kyouya-san! Aku berencana memberi kejutan pada Aya-chan nanti. Dan kamu tidak bisa menyimpan rahasia, kan?”

“Hei, ayolah. Kalau memang tidak seharusnya kuceritakan, aku akan menyimpannya sendiri.”

“Hmm… aku tidak percaya padamu.”

Airi menyipitkan mata curiga dan menggembungkan pipinya. Rupanya, aku tidak terlalu dipercaya.

Lalu—

Tiba-tiba, aroma makanan lezat tercium dari rumah Minase.

Seseorang ada di dapur. Aku bahkan bisa mendengar suara mendesis daging yang menyenangkan di penggorengan.

“Jadi Minase sudah pulang hari ini.”

Akhir-akhir ini, Minase sering pulang larut malam. Malam itu kami bertemu di stasiun mungkin hanya salah satu contohnya. Tetap saja, apartemen ini tidak terlalu dikenal kedap suara. Jadi rasanya cukup mudah untuk tahu kapan tetanggamu pulang.

Tapi saat aku menyebut Minase, raut wajah Airi berubah muram. Dia melirik ke arah ruangan di belakangnya, suaranya terdengar khawatir.

“…Ya. Aya-chan pulang lebih awal hari ini, tapi… sepertinya keadaannya semakin sulit sejak minggu lalu. Dia juga ada kerjaan besok dan lusa.”

“Besok dan lusa? Itu ‘kan akhir pekan. Apa untuk kegiatan klub?”

“Kurasa tidak. Rupanya, seorang guru di sekolahnya pingsan, dan sekarang Aya-chan mengambil alih kelas dan mengerjakan ujian juga. Katanya… dia bahkan tidak tahu sampai kapan ini akan berlangsung.”

Aku terdiam mendengar kata-kata Airi. Jadi dia tidak hanya melakukan kegiatan klub, tapi juga mengambil alih tugas guru lain.

Minase memang selalu cakap, bahkan sejak SMA dulu. Aku yakin dia bisa melakukannya. Tapi tetap saja... dengan anak kecil yang harus diurus, bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan semua itu sekaligus?

...Kamu baik-baik saja, Airi? Kamu akan sendirian di rumah akhir pekan ini?"

Yang bisa kulakukan hanyalah mengkhawatirkan gadis yang berdiri di depanku.

Airi mengerjap beberapa kali, lalu tersenyum cerah.

Tidak apa-apa. Aku akan menginap di rumah Mei-chan!

Begitu ya.

Setidaknya untuk akhir pekan ini, tidak perlu khawatir.

Tetap saja, jelas sekalirasanya ada sesuatu yang tidak beres.

Aku bisa merasakannya. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Dan waktu terus berlalu. Satu minggu berlalu.

 

◇◇◇◇

 

...-chan.

…………

Aya-chan, kamu baik-baik saja?"

...Hah? Apa?

Saat aku mendongak, Airi sedang duduk di seberang meja, alisnya terkulai khawatir. Dia tampak gelisah. Aku buru-buru memaksakan senyum.

O-oh, aku baik-baik saja. Ada apa? Apa aku sedikit melamun?

Memang. Tapi... bukan cuma sedikit. Sudah sekitar tiga puluh menit.

Apa?

Aku melihat jam dinding. Seperti yang dia katakan, aku sudah duduk di sini sekitar tiga puluh menit sejak kami duduk di meja makan. Waktu makan malam sudah lama lewat.

Aku seharusnya kembali ke sekolah dan mengerjakan lebih banyak pekerjaan setelah makan malam nanti.

Ma-Maaf. Aku akan mulai memasak sekarang, jadi tunggu sebentar, ya?

Meminta maaf sambil tersenyum, aku segera menuju dapur. Dan begitu aku menjauh dari Airi—

...Apa sih yang kulakukan?

Aku bergumam pada diri sendiri, frustrasi dengan keadaanku yang menyedihkan. Sudah dua minggu sejak aku mengambil alih sebagai penasihat klub dan mulai menggantikan guru yang lain.

Guru yang kugantikan itu pingsan.

Sepertinya karena terlalu banyak bekerja. Mereka butuh waktu untuk pulih, dan sementara semuanya dibagi-bagi di antara guru-guru lain, aku akhirnya memikul sebagian besar beban.

Tentu saja. Guru-guru lain sudah bekerja keras. Bukan hanya aku yang berjuang—semua orang berusaha sebaik mungkin. Itulah yang membuat segalanya begitu sibuk akhir-akhir ini.

Meski begitu, bukan berarti tanggung jawab rumah tangga rutinku menghilang. Memasak, membersihkan, membalas pesan dari sekolah dasar—semuanya masih ada.

Inilah jalan yang kupilih. Inilah tanggung jawabku. Aku tidak menyesalinya. Tidak ada ruang untuk keraguan. Kelelahan fisik itu bahkan tidak sebanding dengan yang aku alami saat masih di tim lari SMA. Lagipula, tugas sebanyak ini— ibu mana pun bisa menanganinya.

Beberapa temanku sendiri sudah menjadi ibu. Salah satu dari mereka bahkan merawat orang tua yang sudah lanjut usia selain membesarkan anak.

Tidak ada yang istimewa dengan situasiku. Jadi—

“…Aku masih baik-baik saja. Aku bisa melakukan ini.”

Sambil bergumam seolah meyakinkan diri sendiri, aku menepuk kedua pipiku dengan tangan untuk menenangkan diri. Seharusnya itu sudah cukup untuk membuatku bergerak seperti biasa.

Tapi—

…………Hah?

Tiba-tiba, lututku lemas, dan aku jatuh terduduk di lantai. Saat aku mencoba bangun, lengan dan kakiku terasa lemas. Aku perlahan mengangkat tanganku ke dahi, dan panas yang terpancar darinya sungguh mengejutkan.

Lebih parahnya lagi, kesadaranku mulai kabur.

…Ini gawat.

Aku takkan bisa bekerja besok seperti ini. Aku harus bangun. Tidak—sebelum itu, aku harus memasak makan malam untuk Airi atau dia akan kelaparan. Lagipula, apa aku sudah menyelesaikan revisi ujian yang diminta Tanaka-sensei? Dan besok ada hari pembakaran sampah. Airi bilang dia ingin pergi ke suatu tempat, kan? Jam berapa sekarang? Apa yang sedang kulakukan? Ini bukan hal yang serius, kan? Aku harus bangun. Bangun. Bangun. Bangun, bangun, bangun, cepat, cepat, cepat—

Tapi—

Sekeras apa pun aku menginginkannya, kesadaranku terus menjauh.

“Aya-chan, untuk besok—tunggu, Aya-chan? Kamu baik-baik saja, Aya-chan!?”

Hal terakhir yang kudengar adalah suara Airi. Dan kemudian aku kehilangan kesadaran.

 

Aku bermimpi. Mimpi dari masa lalu—saat aku jauh lebih lemah daripada sekarang. Rupanya, aku anak yang sangat pemalu. Aku selalu mengikuti kakak perempuanku dan tak pernah menjauh darinya. Sepulang sekolah, aku akan mengubur diriku di antara buku-buku perpustakaan seperti kutu buku sungguhan.

Sekarang, sulit membayangkan aku pernah semanja itu pada kakakku. Tapi meski begitu, ada satu kenangan yang masih kuingat dengan jelas.

Ya—saat aku demam sewaktu kecil.

Kurasa saat itu musim kemarau. Aku sedang membaca di perpustakaan sekolah dasar. Tentu saja hanya ada satu kompor di tengah ruangan, dan anak-anak yang berisik selalu menempati tempat-tempat hangat di sekitarnya. Jadi, tempat dudukku yang biasa terasa dingin—tersembunyi di balik pot tanaman besar di sudut ruangan yang paling sunyi.

Tapi hari itu terasa sangat dingin.

Meski begitu, aku begitu asyik membaca cerita itu sampai-sampai aku terus membalik-balik halamannya. Buku itu populer, dan akhirnya aku mendapatkan giliran membacanya. Kurasa itulah sebabnya aku tidak bisa berhenti.

Dan akibatnya, aku terserang flu. Aku akhirnya menghabiskan beberapa hari sakit dan sendirian di rumah. Aku masih mengingatnya dengan jelas—bagaimana kakak perempuanku dengan lembut mengelus keningku dan berkata,

Kalau terjadi apa-apa, kamu boleh mengandalkanku, oke?

Aku akan segera pulang sekolah. Oke, Ayana?

Saat itu, ibu kami bekerja keras sebagai orang tua tunggal, jadi kakak perempuanku punya ponsel.

Itulah sebabnya dia bilang aku bisa meneleponnya kapan saja. Perkataan itu membuatku sangat bahagia, dan mengetahui ada seseorang yang bisa kuandalkan membuatku merasa aman.

Aku ingin merasakan kehangatan itu lagi—ingin dimanja, sedikit saja.

“…Hei, bisakah kamu mengelus kepalaku sedikit lagi?”

Kalau kamu melakukannya, kurasa aku bisa tertidur.

Bahkan saat bermimpi, aku tahu itu mimpi, dan tetap saja aku menanyakan itu pada kakakku. Aku tahu itu tidak nyata. Karena mustahil suasana sedamai dan sehangat ini masih ada dalam hidupku. Mustahil hal itu bisa terulang.

Jadi, untuk saat ini—hanya dalam mimpi ini—kupikir tak apa-apa untuk bertanya. Tapi kemudian—

Sentuhan lembut mengusap kepalaku, dengan kehangatan yang begitu nyata dan nyata.

…………Hah?

Mustahil.

Ini mimpi. Pasti begitu.

Jadi—siapa yang mengelus kepalaku?

Aku perlahan-lahan membuka kelopak mataku.

“…………Hah?”

Hal pertama yang kulihat adalah kamar tidur kami yang familiar—kamarku dan Airi.

Sinar matahari pagi masuk, berkilauan saat menerangi ruangan.

Sepertinya aku terbungkus futon. Ingatan terakhirku ialah saat berada di dapur, jadi aku tidak tahu bagaimana aku bisa sampai di sini... tapi itu tidak penting. Bagian itu tidak penting.

Masalah sebenarnya adalah pemandangan di hadapanku—Horikoshi-kun duduk di sampingku, mengelus kepalaku dengan lembut.

Hanya itu yang kubutuhkan untuk memahami semuanya, dan saat suhu tubuhku naik tajam, aku berbicara dengan suara gemetar.

“…Apa aku… memintamu untuk… mengelus kepalaku…?”

Horikoshi-kun mengalihkan pandangannya dengan canggung, lalu mengangguk kecil.

Aku ingin menghilang dari muka bumi.

 

◇◇◇◇

 

“.............”

“.............”

Sudah lama sejak terakhir kali aku mengunjungi rumah Minase, dan terakhir kali aku melangkah ke unit apartemennya ialah… waktu itu.

Saat aku melihatnya lagi untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun—setelah SMA, setelah sekian lama—dan akhirnya merawatnya. Memikirkannya seperti itu, rasanya agak sentimental.

Sudah beberapa bulan berlalu sejak saat itu. Banyak hal telah terjadi dengan Minase.

Aku pernah ke rumahnya, kami pergi ke festival musim panas bersama, makan siang bersama di rumahnya, menyelinap ke sekolah di malam hari. Melalui semua itu, aku mulai memahaminya sedikit demi sedikit. Dan kupikir... sebelum dia menjauh, kami sudah semakin dekat.

Tapi meski begitu—

Seandainya itu benar—apa aku benar-benar salah karena mengelus kepalanya hanya karena dia menatapku dengan ekspresi kesepian dan berkata, Elus kepalaku?

Yah... mungkin bukan itu inti dari hubungan kami.

…………………………

Sementara itu, Minase duduk di hadapanku dengan punggung bersandar ke dinding, lututnya ditarik ke dada. Futonnya ditarik setengah, menyembunyikan sebagian wajahnya saat dia memelototiku dengan cemberut lembut yang setengah terbuka.

Pipinya begitu merah sehingga tidak ada cara untuk menjelaskannya. Aku sudah menjelaskan kenapa akhirnya aku mengelus kepalanya.

Sekarang, aku hanya menunggu dia mengatakan sesuatu.

Aku ingin mempercayai kalau aku tidak salah, tapi...

Jantungku berdebar kencang saat menunggunya dan Minase memalingkan wajahnya sembari bergumam,

...L-Lupakan saja.

Hah?

Ak-Aku serius. Tolong lupakan saja. Aku hanya lelah, atau, um... bukan apa-apa, oke? Bukan apa-apa, oke.

Ayolah, kamu tiba-tiba bilang, 'Elus kepalaku'. Mana mungkin bukan apa-apa.

Sudah kubilang bukan apa-apa!

Dia memelototiku seolah-olah ingin berkata kamu keberatan dengan itu?.

Seberapa pun aku mendesak, sepertinya dia tidak akan mengatakan apa-apa lagi.

...Tapi, kenapa kamu ada di rumahku...? Maksudku, kukira kaulah yang merawatku, tapi... tunggu, ini sudah pagi? Bagaimana dengan pekerjaanmu...?

Aku mengambil cuti. Aku tidak bisa langsung pergi bekerja karena tahu tetanggaku pingsan.

Eh...

Wajah Minase langsung memucat. Lalu, dia tiba-tiba duduk tegak dengan kaget.

Maafkan aku! Aku tidak bermaksud merepotkanmu—aku akan bangun sekarang juga!

Woa, woa, woa! Kamu benar-benar pingsan beberapa jam yang lalu! Jadi berstirahatlah dulu!

Tapi—

Tidak apa-apa. Aku punya simpanan cuti berbayar. Atasanku terus mendesakku untuk menggunakannya.

Akhir-akhir ini, dengan semua pembicaraan tentang reformasi kehidupan kerja, perusahaan-perusahaan mulai memeriksa berapa banyak hari libur yang kamu ambil.

Meski begitu, mereka masih mengharapkan beban kerja yang sama meskipun sudah memintamu untuk mengambil cuti, yang menurutku agak konyol.

Sementara itu, Minase tampak tidak yakin, menggigit bibirnya.

Tapi tetap saja... aku tidak ingin terus merepotkanmu seperti ini...

Kalau begitu menurutmu, semuanya sudah terlambat. Aku sudah mengambil cuti. Jadi, biarkan aku yang mengurusmu.”

“…Baiklah… aku benar-benar minta maaf.”

Minase menundukkan kepalanya, jelas-jelas masih dibebani rasa bersalah. Aku mungkin mengatakannya dengan nada agak tajam, tapi mau bagaimana lagi.

Minase memang keras kepala. Kalau aku tidak mengatakannya dengan tegas, dia mungkin akan memaksakan diri untuk bangun dan pergi bekerja. Dan kalau itu terjadi, situasinya bisa jadi lebih buruk.

“…Tapi bagaimana kmau tahu aku pingsan…?”

Dia bertanya dengan suara yang begitu lemah hingga mungkin menghilang sepenuhnya, tatapannya masih tertunduk ke arah futon.

Bahkan sekarang, dengan energinya yang terkuras, sepertinya dia tak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya.

Tapi jawabanku sederhana.

“Airi yang memberitahuku.”

Benar—tadi malam, Airi datang menyerbu apartemenku.

—Kyouya-san! Ada yang salah dengan Aya-chan!

—Kyouya-san… tidak apa-apa kalau aku mengandalkanmu, kan?

Airi pasti ingat apa yang pernah kukatakan padanya sebelumnya.

—Kamu bisa lebih mengandalkan orang dewasa, Airi.

—Dan kalau kamu masih khawatir jadi beban…

—Datang saja padaku. Lagipula, aku kan tetangga sebelahmu.

Itulah sebabnya Airi mendatangiku, dan kenapa aku langsung tahu kalau Minase pingsan. Minase tetap menundukkan kepalanya.

“…Jadi, Airi… Tunggu—di mana Airi sekarang!? Sarapan! Dan sekolah—!”

“Aku sudah mengurusnya. Tapi hasilnya tidak terlalu bagus.”

“…Maafkan aku… untuk semuanya… Aku sudah merepotkanmu…”

Minase mencengkeram futon erat-erat. Wajahnya tampak seperti akan remuk di bawah beban sesuatu yang dalam dan berat—sesuatu yang disebut tanggung jawab.

Bibirnya tertutup rapat, gemetar karena penyesalan, matanya tertunduk menatap selimut. Apa karena dia mengemban sesuatu yang bahkan tak bisa kubayangkan?

Itulah sebabnya aku tak bisa menahan diri untuk bertanya:

“…Kenapa kamu tak ingin merepotkan siapa pun, Minase?”

“…Hah…?”

Matanya melirik ke arahku seolah hendak berkata, Bukankah itu sudah jelas?

Mulutnya sedikit terbuka—

Tapi bibir indah itu tak mampu membentuk kata-kata. Setelah terdiam lama, akhirnya dia menghela napas dengan senyum tipis yang merendahkan diri.

“…Aku ingin menjadi seorang ibu.”

“Seorang ibu…?”

“Ya. Seseorang yang kuat, bisa diandalkan—seseorang yang tak akan membuat Airi khawatir. Dia kini tampak ceria, tapi saat ibunya tiada… dia terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri. Dia berpikir kalau dirinya anak nakal—alasan kalau ibunya menghilang karena dirinya.”

“Itu…”

Mana mungkin begitu. Aku tak pernah bertemu kakak perempuan Minase, tapi bahkan sebagai orang luar, hanya dengan mendengarkan cerita mereka, aku tahu mereka berdua tak akan pernah berpikir seperti itu.

Keadaan mental Airi memang sedikit kacau waktu itu. Dia percaya semua orang akan menghilang saat dia tidur. Dia tak bisa tidur di malam hari… dia takkan pergi ke mana pun kecuali bersamaku.”

—Hei, Aya-chan.

—Kamu juga tak akan menghilang, kan?

Airi akan menanyakan itu berulang kali.

“…Itulah sebabnya aku memutuskan—aku akan menjadi ibunya. Seseorang seperti kakakku. Seseorang yang akan membuatnya merasa aman. Supaya dia bisa tersenyum lagi, seperti saat kecil dulu. Supaya dia bisa mengandalkanku dengan bebas, tanpa ragu.”

Minase tidak menjelaskan detailnya, tapi aku bisa dengan mudah membayangkan momen-momen yang dia maksud.

—T-Tidak, tidak apa-apa. Aya-chan sedang sibuk.

—Maaf aku egois. Semoga sukses dengan pekerjaannya, Aya-chan!

Airi selalu menahan diri, takut merepotkan Minase. Dan mungkin Minase melihat keraguan itu… sebagai alasan Airi tak bisa benar-benar kembali seperti dulu.

“…Jadi itu sebabnya kamu terus bilang tak ingin menjadi beban bagi siapa pun?”

“…Ya. Tapi sekarang lihat aku… padahal ada begitu banyak ibu di luar sana yang melakukan semua ini dan lebih banyak lagi… Aku sungguh menyedihkan.”

Aku tak tahu apakah meminta bantuan—atau menjadi beban—mendiskualifikasi seseorang untuk menjadi seorang ibu.

Tapi mungkin, bagi Minase, begitulah tekadnya. Demi bsia tetap tegar agar Airi tak perlu khawatir, untuk menjadi seseorang yang bisa Airi andalkan dengan bebas. Itulah sebabnya dia berusaha menjadi sempurna—agar dia bisa menunjukkan kepada Airi bahwa dirinya baik-baik saja.

Di dunia saat ini yang dipenuhi dengan konten media sosial, mudah untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain.

Orang-orang yang lulus dari universitas elit dan menjalani kehidupan glamor di perusahaan-perusahaan papan atas. Pengusaha kaya raya, yang terus-menerus berpindah dari satu pesta ke pesta lainnya. Ibu tunggal yang membesarkan banyak anak sambil mempertahankan karier yang gemilang. Selalu saja ada manusia super yang menonjol di dunia maya—bukan yang biasa-biasa saja.

Jadi, rasanya tidak mengherankan jika kita akhirnya membandingkan diri sendiri dan merasa kurang.

Meski itu cuma lingkungan.

Meski itu cuma keberuntungan.

Meski itu bahkan tak nyata.

Hanya tebakan. Hanya ilusi yang terasa nyata.

Tapi tetap saja, Minase berkata, “Adan banyak ibu yang melakukan ini.

Lalu mungkin dia membandingkan dirinya dengan manusia super itu—mendorong dirinya sendiri hingga batasnya.

Dan...

—Karena aku tidak bisa membiarkan Airi merasa ragu.

—Gadis itu kuat.

Ada banyak waktu di mana Minase terlalu menekan dirinya sendiri sebagai seorang ibu. Jika memang begitu, maka ada sesuatu yang harus kukatakan padanya.

Aku tidak pernah tahu bagaimana mengatakannya. Aku hanya orang luar. Teman sekelas dari SMA yang tidak pernah kutemui selama sepuluh tahun. Sekarang, hanya pria yang tinggal di sebelah.

Sejak dia menolakku malam itu di sekolah, aku meyakinkan diri untuk tidak mencoba mendekatinya lagi. Tapi meskipun begitu—jika ada sesuatu yang hanya bisa kukatakan, karena aku mengenalnya dulu dan sekarang—maka aku harus mengatakannya.

Bahkan jika itu berarti aku akan dijauhi lagi.

Jadi aku berbicara padanya dengan tulus.

Menatap mata Minase lurus-lurus.

“...Aku sudah memikirkan ini sejak lama, kamu tahu. —Kamu sebenarnya agak sembrono, Minase.”

“………………Hah?”

Suasana hati langsung berubah tak menentu.

…Atau setidaknya, rasanya memang begitu.

Saat aku mengatakannya, Minase mengerutkan kening bingung, seolah-olah ingin berkata, Apa? Kamu mendadak ngomong apaan sih?’.

Mungkin karena aku mengatakan sesuatu yang benar-benar di luar nalar. Tapi—meskipun pilihan kataku mungkin buruk, aku rasa apa yang kukatakan tidak salah.

“…Maksudku, ayolah. Ingin menjadi ibu bagi Airi—kupikir itu hal yang hebat. Tapi mencoba melakukannya tanpa pernah menjadi beban bagi siapa pun? Itu mustahil.”

“Mustahil apanya… Tapi kalau aku tidak melakukannya, maka Airi akan… Dan ada begitu banyak orang lain di luar sana yang berhasil melakukannya—”

“Tapi baru setahun.”

“…Apa?”

Mata Minase terbelalak.

Tapi itu benar.

Baru setahun. Setahun sejak dia mengadopsi Airi. Mungkin bahkan kurang sejak dia memutuskan untuk menjadi ibunya. Hanya sebatas itulah waktu yang berlalu.

“Aku sudah cukup dewasa untuk menjadi orang tua, tentu saja… Tapi jika besok ada yang bilang aku harus menjadi orang tua, aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana. Aku sama sekali tidak bisa membayangkan diriku melakukannya dengan baik. Tapi begitulah adanya, kan?”

Seperti—apa kamu benar-benar dewasa saat berusia delapan belas tahun?

Apa kamu langsung menjadi seorang profesional saat baru mendapatkan pekerjaan?

Apa kamu langsung bisa menjadi seorang orang tua saat anakmu lahir?

Secara teknis, tentu saja. Di atas kertas, begitulah definisinya.

Tapi terlepas apa kamu benar-benar menjadi orang tua merupakan cerita yang berbeda. Tidak ada orang yang secara ajaib menjadi orang tua sungguhan sehari setelah anak mereka lahir.

“Menurutku… menjadi orang tua bukanlah sesuatu yang kamu inginkan—melainkan sesuatu yang kamu kembangkan.”

“Mengembangkan...

Itu bukan sesuatu yang langsung 'ada' sejak awal. Kamu sampai di sana melalui pengalaman. Kamu menyesuaikan diri, kamu berjuang, dan terkadang kamu bergantung pada orang lain. Begitulah cara kerjanya, kan?

Kita tidak langsung menjadi dewasa saat berusia delapan belas tahun. Kamu menjadi dewasa seiring waktu, melalui pengalaman. Sama halnya dengan menjadi orang dewasa yang bekerja, begitu pula menjadi orang tua.

Itu sesuatu yang baru kupahami sekarang, setelah aku sendiri menjadi dewasa.

Jadi, tidak aneh jika kamu membuat masalah di sepanjang jalan. Itu bukan berarti kamu tidak berusaha. Itu hanya... normal.

Sama seperti Airi. Saat itu, aku bilang padanya bahwa wajar bagi anak-anak untuk bergantung pada orang lain. Ini sama saja.

Jika kamu baru menjadi orang tua, itu tidak jauh berbeda dengan menjadi anak sendiri. Tentu saja, ada orang yang bisa melakukan semuanya sejak awal.

Ada orang tua tunggal di luar sana yang membesarkan anak-anak, bekerja penuh waktu, dan mengurus semuanya sendiri dengan sempurna.

Tapi bukan berarti orang yang mengandalkan orang lain, yang menerima bantuan, melakukan kesalahan. Bukan berarti mereka tidak berusaha.

Setiap orang punya pengalaman pertama.

Dan aku tidak menyalahkan orang yang tidak bisa mengatasinya sendirian. Aku tidak bisa menyalahkan mereka.

Karena aku bukan orang tua—tapi bagiku, kedua jenis orang itu sama-sama mengagumkan.

Dan... aku juga sudah dewasa, oke. Mungkin butuh waktu, tapi... aku bisa melakukan lebih banyak sekarang daripada dulu. Kalau cuma masalah kecil, aku bisa mengatasinya.....Jadi kalau ada yang bisa kulakukan, kamu boleh saja memintaku.

Mata Minase terbelalak kaget.

Seolah-olah sesuatu baru saja kembali padanya. Dan di saat yang sama, sebuah ingatan muncul kembali di benakku.

—Kamu baik-baik saja, Minase?

Apa ada yang bisa kubantu?

Sepuluh tahun yang lalu. Di ujung tangga kosong, tempat Minase terduduk sambil menangis, aku memanggilnya seperti itu. Tapi saat itu, dia tidak bergantung padaku.

Mungkin ada banyak alasan. Tapi satu hal yang bisa kukatakan dengan pasti adalah—karena aku sudahdewasa, karena aku sudah lebih dewasa sejak SMA—aku kini mampu melakukan hal-hal yang dulu tak bisa kulakukan.

...Jadi, maksudmu... kamu tidak keberatan kalau aku jadi bebanmu?"

Minase bergumam pelan, ekspresi sedih terpancar di wajahnya. Saat dia mendongak, matanya dipenuhi rasa bersalah—tak terelakkan dan berat.

“Itu hanya… menipu diri sendiri, kan? Mengatakan tak apa-apa merepotkan seseorang… Aku tak bisa membiarkan diriku bergantung pada orang seperti itu—”

“Itu bukan ‘bergantung pada orang lain.’ Siapa pun yang melihat betapa kerasnya kamu bekerja tak akan pernah menyebutnya begitu.”

“Kamu tidak pernahmengetahuinya!”

“Aku tahu. Setidaknya, aku memperhatikan.”

Mungkin ada jeda sepuluh tahun. Tapi aku sudah melihatnya.

Siapa dia dulu di SMA—muda dan tak yakin. Dan siapa dia sekarang—kuat, dewasa, dan mampu mengendalikan diri.

“Di SMA, kamu selalu menjadi pusat perhatian di kelas. Tampil modis juga—tasmu, seragammu, caramu memakainya, semua itu. Tapi sekarang… semuanya tentang kepraktisan, kan? Mungkin karena kamu seorang ibu.”

Tidak masalah jika pakaianmu kotor. Kamu pakai kaos dan celana jin polos. Mungkin karena kau harus selalu siap, kamu bawa ransel yang tampak tangguh itu ke mana-mana.

Sepatunya tak lagi berhak tinggidia hanya mengenakan sesuatu yang membuatnya mudah bergerak.

Semuanya mungkin demi Airi.

Dan masakanmu... makanan yang kau buatkan untukku sewaktu aku sakit—enak sekali. Waktu SMA dulu, kamu payah sekali.

Dia pasti bekerja sangat keras. Semuanya demi Airi—demi menjadi ibunya.

Mana mungkin orang yang sudah melihat semmua itu tetap mengatakan kalau dia belum cukup berusaha.

……………

Mata Minase sedikit melebar. Aku tak bisa membaca apa yang dia rasakan. Tapi aku yakin itu bukan sesuatu yang buruk. Jadi aku terus melanjutkan.

Dan... bahkan sebagai tetangga sebelahmu, aku tahu seberapa besar usahamu. Kalau orang sepertiku bisa melihatnya—pasti Airi juga bisa melihatnya.

Setelah itu, aku mengeluarkan sesuatu dari sakuku.

Airi memintaku untuk memberikannya kepada Minase ketika dia bangun tidur.

Dia ingin memberikannya langsung setelah menerimanya dari sekolah. Airi bilang dia merasa bangga akan hal itu. Tapi dia harus pergi ke sekolah.

Jadi dia memberikannya kepadaku, memintaku untuk meneruskannya.

“Ini… gambar yang Airi buat untuk PR-nya. Tugasnya adalah menggambar ‘adegan favoritnya.’ Kurasa anak-anak melihat lebih dari yang kita kira.”

“………………Apa?”

Mata Minase semakin terbelalak ketika melihat apa yang kuberikan. Tapi itu bisa dimaklumi.

Gambar Airi ternyata bagus untuk anak kelas tiga. Bahkan sebagai seorang amatir, aku terpikat olehnya. Dia bahkan mungkin tumbuh dewasa dan memiliki karier yang berhubungan dengan seni—sebegitu indahnya pemandangan itu.

Tapi bukan itu alasan Minase tampak begitu terkejut. Bukan karena itu hadiah. Bukan karena betapa bagusnya gambar itu.

Melainkan karena adegan yang digambar Airi—adalah sesuatu yang berusaha keras disembunyikan Minase.

—Mungkin larut malam. Setelah Airi tertidur.

Gambar itu menunjukkan Minase di dapur, memasak di bawah cahaya redup, berusaha untuk tidak membangunkan Airi.

Komposisinya seolah-olah Airi mengintip melalui celah kecil di pintu, menangkap Minase dari belakang. Kamu tidak bisa melihat wajahnya—tetapi meja dapurnya dipenuhi segunung piring yang gagal.

Aku belum pernah melihat momen itu sendiri. Tetapi aku bisa membayangkannya dengan sangat jelas. Minase tidak pernah pandai memasak—bahkan saat SMA dulu.

Dan kemudian, dia menerima Airi.

Mengingat kepribadian Minase, dia mungkin ingin menjadi kuat, menjadi tipe ibu yang pandai memasak—jadi dia begadang, berlatih diam-diam.

Dan Airi pasti tidak sengaja melihatnya sekilas.

Apa yang dipikirkan Airi ketika melihat Minase seperti itu?

Melihat sisi canggung dan ceroboh Aya-chan kesayangannya, yang selalu tampak bisa melakukan apa saja?

Dia tak banyak bicara—tapi pesan yang Airi tulis di gambar itu sudah menjelaskan semuanya.

 

[Aku suka masakanmu, Aya-chan. Dan aku juga mencintaimu. Terima kasih untuk semuanya, Aya-chan]

 

“──────”

Minase tersentak. Dia menutup mulutnya dengan tangan, dan mata indahnya berkaca-kaca, air mata perak yang besar dan berkilauan. Bibirnya sedikit bergetar, dan kelopak matanya berkedip seolah menahannya.

“…Maaf. Aku mau pinjam toilet.”

Setelah itu, aku berdiri dan membelakanginya.

Dia mungkin tak ingin aku melihat apa yang terjadi selanjutnya. Jika peran kami tertukar, aku pun akan merasakan hal yang sama.

Tapi—

“…Tunggu.”

Suaranya terdengar gemetar. Lalu, tiba-tiba, aku merasakan tangan kecil mencengkeram lengan bajuku. Aku membeku di tengah gerakan, masih berlutut di lantai.

Dan kemudian—aku merasakan sesuatu menekan lembut punggungku.

Bajuku perlahan menjadi basah.

“…Hanya sebentar… hanya sebentar lagi. Biarkan aku tetap seperti ini.…Lalu kupikir… aku akan bisa kembali baik-baik saja.”

Aku tak berkata apa-apa.

Aku tak bergerak.

Cuma itu saja, jawabanku.

Aku terus bicara, seolah-olah ada yang ingin kukatakan—tapi pada akhirnya, mungkin inilah yang paling penting.

Airi menahan diri demi Minase.

Minase membebani dirinya sendiri demi Airi.

Mereka berdua bekerja keras agar tidak menimbulkan masalah bagi siapa pun.

Sejujurnya— kalian berdua benar-benar seperti ibu dan anak, bisikku dalam hati.

 


 

Sebelumnya  |   Daftar isi  |  Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama