
Chapter 10
Seminggu
telah berlalu sejak saat itu.
Setelah
malam itu, Minase tampaknya telah pulih sepenuhnya dan semuanya kembali normal.
Dia
kembali berperan sebagai penasihat klub dan terus menggantikan guru yang lain
tanpa tertinggal apa pun. Rupanya, dia
bahkan terus merawat Airi seperti biasa. Tunggu sebentar—seberapa kuat dirinya? Apa dia benar-benar membutuhkanku untuk memperingatinya?
...Meskipun,
fakta bahwa dia
menyempatkan diri untuk memberi kabar menunjukkan betapa telitinya Minase—atau semacamnya.
Untuk
saat ini, Minase tampak
tidak terlalu kewalahan seperti sebelumnya, jadi kupikir dia baik-baik saja.
Dan
kemudian—hari ini.
Minase
dan aku pergi minum-minum, hanya kami berdua, untuk pertama kalinya.
◇◇◇◇
“Horikoshi-kun,
sebelah sini!”
Setelah
bekerja. Aku
bertemu Minase di restoran Cina dekat stasiun kami.
Dialah
yang mengundangku. Rupanya, Airi pergi bermalam di rumah keluarga Kuraki lagi,
jadi dia tidak akan pulang malam ini. Itulah
sebabnya Minase mengajakku minum bersamanya.
Ketika
aku melangkah masuk ke dalam restoran,
aku melihat Minase sudah duduk dan jelas sudah minum beberapa gelas.
Saat
seorang staf datang untuk membersihkan gelasnya yang kosong, dia menatapku dan
menggeser menu.
“Ini.
Kamu minum apa? Setidaknya mulai dengan minuman selamat datang.”
“Hah?”
“Kamu
datang terlambat, jadi adil, kan? Atau kamu mau hukuman tiga minuman yang
semestinya? Kamu sepertinya bersemangat.”
“Tidak,
tidak! Tunggu... Minase, apa kamu selalu seperti ini?”
Mungkin
tidak perlu dijelaskan, tapi ‘minuman
selamat datang’ sering
merujuk pada semacam minuman hukuman main-main untuk seseorang yang datang
terlambat ke suatu pertemuan.
Secara
teknis, tradisi itu disebut kake-tsuke sanbai—tiga minuman, bukan satu. Jadi
secara teknis dia salah menggunakan frasa tersebut. Tetap saja, Minase
memaksaku minum—yah, mungkin bukan memaksa, tapi menyemangati—agak mengejutkan.
“...Tunggu.
Minase, jangan bilang kamu sudah
mabuk?”
“Tentu
saja tidak. Aku tidak mabuk.”
Itulah
yang dia katakan—tapi pipinya merah padam, dan tatapannya jelas-jelas kurang fokus. Dari sudut pandang mana pun, dia
benar-benar terlihat mabuk.
Sampai
baru-baru ini, rasanya Minase selalu menjaga jarak di antara kami. Tapi akhir-akhir ini, tembok itu
terasa mulai menipis. Bisa
dibilang lebih santai—atau kurang sopan, sedikit lebih kasar.
Bahkan
selama sesi minum-minum ini—aku tidak tahu kenapa.
Minase
baru saja bilang, “Ayo minum
bareng aku,” dan
begitulah.
Yah...
dan aku menurutinya tanpa ragu, jadi mungkin aku juga sama buruknya.
Tapi apa
yang dia pikirkan? Setelah kami bersulang dan aku meneguk ludah, aku bersiap,
menunggunya mengatakan sesuatu—
“Jadi,
akhirnya—siapa gadis yang
kamu suka sewaktu
SMA?”
“…Hah?”
Tiba-tiba,
Minase melontarkan topik yang tak pernah kuduga.
“Ada apa
dengan tatapan mata merpati yang tertegun itu? Apa itu pertanyaan yang aneh
atau semacamnya?”
“Ti-Tidak,
hanya saja… Kamu tidak pernah menanyakan hal seperti itu, Minase.”
Yah—secara
teknis, dia pernah menanyakan hal seperti itu waktu makan siang di rumahnya…
Minase
menggembungkan pipinya dengan cemberut kecil yang manis.
“Memangnya aku tidak bertanya? Enggak boleh ya kalau aku mengetahuinya?”
Iya!
Ya iyalah!
Karena gadis yang dulu kusukai itu kamu!
…Seandainya
saja aku bisa mengatakan itu dan menyelesaikannya.
Tapi aku
tidak bisa mengatakannya waktu SMA—dan sekarang setelah aku menyadari perasaan
itu lagi, rasanya aku tidak bisa begitu saja mengungkapkannya sekarang.
Akhirnya, malam itu berlalu tanpa ada yang istimewa.
◇◇◇◇
Sesi
minum-minum berakhir tanpa kejadian penting. Sekarang, aku sedang berjalan
pulang menuju kompleks apartemen kami. Malam
semakin larut, dan di atas kepalaku, bulan bersinar lembut di langit.
...Apa-apaan ini? Topik-topik di pesta minum
bersama Minase itu macam-macam. Pekerjaan,
Airi, hobi—kami mengobrol, minum, dan makan seperti teman biasa.
Tapi
hanya itu saja. Tidak ada lagi yang terjadi. Hubunganku dengan Minase mungkin
tampak sederhana di permukaan, tetapi sebenarnya rumit.
Kami
tetangga dan mantan teman sekelas, tetapi tidak cukup dekat untuk pergi minum
bersama. Itulah sebabnya aku terus bertanya-tanya apakah
dia punya alasan atau agenda tertentu.
Atau
mungkin... mungkin pertemuan biasa ini memang yang dia inginkan.
Jika
memang begitu, lalu apa yang diinginkan Minase
sebenarnya—
Saat aku
berjalan pulang, agak mabuk dan tenggelam dalam pikiran, Minase, yang berjalan
di sampingku, angkat bicara.
“…Jadi,
bagaimana hari ini?”
“Hari
ini? Maksudmu pesta minum?”
“Ya.”
“Baiklah,
hmmm… Ah, kurasa aku hanya terkejut mengetahui
kamu menyukai
tempat seperti restoran Cina itu.”
“Nyaman,
kan? Kalau begitu… aku berhasil mencapai tujuanku.”
“Tujuan?”
“Ya.”
Di tengah
kesunyian malam, Minase berhenti di depan sebuah taman yang terletak di area
perumahan dan berbalik menghadapku.
“Hari ini,
aku ingin kamu mengenalku.”
“…Maksudmu,
mengenalmu, Minase?”
“Ya. Kamu
selalu bilang aku luar biasa atau apalah… tapi aku ingin kamu mengetahui bahwa
aku hanyalah orang biasa.”
“‘Biasa,’ ya.”
“Aku ini
sebenarnya wanita yang lemah, tau?”
Minase tidak
tersenyum dengan senyumnya yang sempurna seperti biasanya. Malahan, agak
canggung, hampir malu-malu.
“Kupikir aku
bisa menangani semuanya sendiri… tapi ternyata, aku tidak bisa. Seriusan.”
“Kamu sangat
penurut hari ini.”
“Benarkah?
Mungkin inilah diriku yang sebenarnya.”
Dia menengadah
ke atas langit. Aku mengikuti tatapannya, dan di atas kami, langit malam
berkilauan dengan bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya.
“Aku selalu
berpura-pura kuat, berusaha bersikap tegar... tapi kenyataan bahwa aku harus
melakukan itu justru membuktikan betapa lemahnya aku sebenarnya, bukan?”
“Yah, itu...”
“Tapi
sekarang tidak apa-apa. Aku sudah memutuskan untuk mengakuinya. Aku lemah. Aku
tidak bisa melakukan semuanya sendirian."
Ucapan itu
sama sekali tidak terdengar seperti ucapan orang lemah.
Meski
begitu, Minase mengatakannya dengan yakin. Lalu, dengan langkah ringan, dia
berbalik dan berjalan mundur hingga berdiri tepat di depanku.
“Itulah
sebabnya... itulah sebabnya aku ingin bergantung padamu. Maksudku, kita ini
tetangga dan mantan teman sekelas, tapi... aku merasa bisa bergantung padamu.
Dan jika aku terus terpuruk seperti ini, aku hanya akan semakin merepotkanmu.
Aku tahu aku egois mengatakan semua ini sekarang, tapi...”
“—Kalau kamu
tak keberatan, aku ingin sekali bersandar padamu."
Mata Minase
menatap lurus ke arahku. Dia tetap memancarkan kecantikan tanpa cela seperti
biasanya. Namun di matanya, aku bisa melihat secercah keraguan yang samar-samar
bergetar.
“…Akulah
yang pertama mengatakannya. Tentu saja aku tak akan menolak.”
Aku membalas
tatapannya dan mengangguk.
“…Aku mengerti.
Terima kasih.”
Minase
menghela napas lega dan tersenyum kecil.
Hanya
melihat senyum itu saja sudah cukup untuk membuat semuanya sepadan—sungguh
manis—
Namun sesaat
kemudian, dia segera kembali ke ekspresi tenangnya yang biasa.
“Tapi aku
tak berencana untuk terus berhutang budi padamu.”
“Hutang
budiku?”
“Bantuan
tetaplah bantuan. Aku ingin bersandar padamu, tapi kurasa tak adil untuk
bergantung sepenuhnya padamu. Jadi, izinkan aku melakukan sesuatu untukmu
juga.”
“Melakukan
sesuatu?”
“Apa ada
sesuatu yang kamu ingin aku lakukan?”
Minase
sedikit mencondongkan tubuh ke depan, menatapku dengan mata melotot.
Tatapannya
yang lebar dan ekspresif. Pipinya memerah, mungkin karena alkohol, tapi dia
tidak tampak terlalu mabuk. Dia tampak sangat serius.
Tapi meski
begitu, apa yang bisa kuminta dari Minase untukku—
“…Kamu tidak
berpikir aneh-aneh, ‘kan?”
“Tentu saja
tidak!!”
Sembarangan
saja kalau menuduh. Bukannya hal itu tidak sempat terlintas di benakku sih…
“Kalau
begitu aku akan memutuskan sendiri.”
Saat itu,
Minase menyatakannya, seolah-olah dia telah menunggu kesempatan. Atau
mungkin... dia memang sudah merencanakannya sejak awal.
Dengan
senyuman menawan, Minase mengumumkannya.
“—Akulah
yang akan mengatakan, 'Selamat datang di rumah.' Bagaimana menurutmu?”
Di bawah
sinar rembulan, Minase menatapku tajam.
Wajahnya
penuh tekad. Pipinya memerah, dan matanya bahkan lebih berbinar daripada saat
dia memintaku untuk membiarkannya bergantung padaku. Rasanya seperti dia telah
membuat keputusan yang mengubah hidupnya—
“...Tunggu, jadi
maksudnya... kamu akan membuatkan sup miso untukku setiap hari atau semacamnya
begitu?”
“Apa sih
yang kau bicarakan? Tentu saja tidak.”
Mungkin
karena efek alkohol, tapi aku langsung mengatakannya, dan dia langsung
menatapku dengan mata setengah terbuka dan jengkel.
Ekspresi itu
jelas-jelas menyiratkan, ‘Jangan bodoh’.
Jadi aku
salah? Aku yakin begitukag yang dia maksud. Maksudku, apa lagi maksudnya? (TN: Buat yang kagak sadar, si MC mengira Minase nawarin diri
jadi pacar/istrinya, makanya si MC bilang apa Minase bakalan membuat sup miso
setiap hari untuknya. Buat yang belum tahu, ungkapan ngebuatin sup miso setiap
hari itu bisa diartikan sebagai lamaran)
“...Kamu
tahu, waktu aku pertama kali merawatmu, kamu terus mengoceh tentang hal-hal
semacam itu. Jadi kupikir itu pasti hal yang paling kamu inginkan dariku... Apa
aku salah?”
Apa sih yang
sebenarnya sudah kulakukan...?
Seandainya
aku bisa memutar waktu ke saat dia pertama kali merawatku, aku ingin memukul
diriku sendiri. Seberapa berantakannya aku sampai pantas diberi tahu hal
seperti ini?
“...Bukan,
maksudku, yang lebih penting—apa sebenarnya maksudmu dengan 'selamat datang
di rumah'? Aku tidak begitu mengerti apa yang ingin kamu katakan.”
“Seharusnya
itu kalimatku. Padahal kamu sendiri yang pertama mengatakannya, ingat?”
Minase menghela
napas dan menyentuh dagunya yang elegan dengan jari-jarinya sambil berbicara
dengan tatapan penuh pertimbangan.
"Tapi
ya, kamu benar. Aku mencoba memikirkannya lebih konkret sendiri, tapi aku tidak
bisa menjelaskannya dengan tepat. Jadi aku menguraikan keinginanmu untuk 'selamat
datang di rumah' dan menganalisisnya. Aku juga mempertimbangkan hal-hal
yang kamu gumamkan saat kau benar-benar mabuk. Aku hanya... ingin memahami apa
yang sebenarnya kamu inginkan.”
“Hah?”
“Dan
berdasarkan itu, kurasa aku punya ide yang cukup bagus. Kamu ingin makanan
hangat menunggumu saat kau pulang. Kmau ingin makan malam dengan seseorang—”
“Tunggu,
tunggu, tunggu! Aku benar-benar mengatakannya dengan lantang?!”
“Tidak. Tapi
mudah untuk mengetahuinya jika kau menganalisis apa yang kamu katakan.”
“…………”
Mendingan bunuh
aku sekarang jugaaaa!!!
Aku tidak
percaya aku ditelanjangi secara emosional seperti ini di depan gadis yang
kusuka.
Siksaan
macam apa ini?!
“—Makanya
aku akan menyediakannya untukmu.”
“Hah?”
“Intinya,
kurasa ini seperti layanan kebersihan... Aku akan memasak makan malam di
hari-hari ketika jadwal kita cocok, dan kita bisa makan bersama. Mungkin di
akhir pekan juga, kalau kamu setuju.”
“T—Tunggu,
tunggu dulu! Maksudku, aku akan sangat menghargainya, tapi bukankah itu hanya
akan menambah pekerjaanmu, Minase?”
Lagipula,
Minase pingsan justru karena dia terlalu memaksakan diri. Bukannya ini hanya
akan membawanya ke jalan yang sama?
Itulah
kenapa aku bertanya—tapi Minase perlahan menggelengkan kepalanya.
“Kamu tidak
perlu khawatir tentang itu. Aku akan memasak makan malam... Sebagai balasannya,
aku mungkin akan meminta beberapa bantuanmu. Seperti menjaga Airi sebentar,
mungkin.”
“Kalau
begitu, boleh. Tidak masalah sama sekali...”
“Benarkah?
Lalu bagaimana kalau mulai minggu depan?”
Setelah itu,
Minase mengulurkan tangannya padaku. Aku merasa ragu sejenak, menatap
tangannya, dan dia memiringkan kepalanya sedikit dengan gestur yang manis.
Tapi tidak
semudah itu untuk menjabat tangannya.
Karena
dialah gadis yang kusuka sejak SMA... dan dia bilang akan mengucapkan 'selamat
datang di rumah'.
Dia
menawarkan untuk memasak makan malam untukku, untuk makan bersamaku. Itulah
gambaran yang kuinginkan malam itu, ketika aku duduk di kereta terakhir, muak
dengan segalanya.
Namun—aku
tidak punya alasan untuk menolak.
“...Ya.
Mengerti. Aku sangat menantikannya.”
“Mm. Aku
juga.”
Saat aku
menjabat tangan Minase yang indah, dia tersenyum manis padaku. Aku penasaran
apa yang akan dipikirkan orang lain jika mereka melihat kami sekarang. Apa
mereka akan mengatakan hubungan ini berantakan, atau kami berdua terlalu keras
kepala?
Kurasa...
mereka benar dalam kedua hal itu.
Waktu kecil
dulu, aku selalu membaca situasi agar bisa bertahan. Menavigasi kehidupan
sekolah dengan mematuhi aturan hierarki sosial yang tak terucapkan.
Namun pada
akhirnya, struktur yang sama juga ada di dunia orang dewasa.
Faksi,
senioritas, hubungan perusahaan yang telah lama terjalin—Kamu terus-menerus
dipaksa untuk membaca situasi. Setiap kali itu terjadi, kamu harus belajar
menghindari pernyataan yang jelas, mengandalkan ungkapan yang samar,
menyembunyikan pikiranmu yang sebenarnya, dan terikat oleh formalitas yang
sopan.
Itulah
sebabnya, pada akhirnya, satu-satunya cara orang-orang seperti kami dapat
terhubung... ialah melalui kontrak seperti ini.
Karena kami
tidak jujur. Karena kami tidak bisa begitu saja mengungkapkan perasaan kami dan
berbicara dari lubuk hati. Namun untuk saat ini, hal semacam itu tidak masalah.
Romansa yang
impulsif dan menguras tenaga terlalu berlebihan bagi orang-orang yang terbebani
oleh realitas kedewasaan. Dan begitulah, kontrak kecil yang aneh antara Minase
dan diriku pun terjalin.
—Lalu.
“...Satu hal
terakhir. Katakan padaku.”
Setelah
jabat tangan kami berakhir. Minase sedikit mencondongkan tubuh, menatapku
dengan ekspresi penasaran.
“Kenapa kamu
membantuku?”
“Itu...”
“Kalau itu
tetangga sembarang orang, apa kamu juga akan melakukan ini untuk mereka?”
Apa yang
ingin dia cari tahu dengan pertanyaan itu?
Tatapan
Minase tajam, intens dan tak tergoyahkan.
Aku berpikir
sejenak, tapi akhirnya, aku hanya mengatakan hal pertama yang terlintas di
pikiranku.
“...Yah, itu
karena kamu berusaha keras, Minase. Aku takkan melakukannya untuk sembarang
orang.—Aku hanya ingin orang-orang yang berusaha sebaik mungkin diberi
penghargaan. Itu sebabnya aku ingin mendukungmu.”
Sewaktu SMA
dulu, Minase selalu memberikan segalanya. Dia adalah jagoan tim lari, dan
bahkan selama masa ujian, ketika semua orang sudah pulang, dia tetap tinggal
untuk berlatih. Bahkan saat itu, nilai ujiannya selalu mendekati nilai
tertinggi.
Dan
sekarang, dia bekerja keras untuk membesarkan Airi dan menjalani hidupnya. Melihatnya
di ambang kehancuran... itu sesuatu yang tidak tega didiamkan terus.
Aku bukan
orang yang pantas dipuji. Aku belum melakukan apa pun yang bisa disebut kerja
keras, dan aku tak punya apa pun untuk dibanggakan. Mungkin itulah mengapa aku
ingin orang-orang yang berusaha keras diakui.
Dan—karena
aku mengaguminya.
Minase
memiliki sesuatu yang mungkin tak akan pernah kumiliki.
“────────”
Sementara
itu, Minase tiba-tiba membelalakkan matanya karena terkejut.
Lalu,
seluruh wajahnya—bahkan ujung telinganya—memerah padam saat dia menggumamkan
sesuatu yang hampir terlalu pelan untuk didengar.
“T–Tapi itu...
maksudku, bukannya kamu bilang sebelumnya... kamu menyukai...”
“Hah? Apa kamu
bilang sesuatu?”
“...Tidak.
Tidak sama sekali?”
Rasanya aku
baru saja mengatakan sesuatu yang sangat kritis. Tapi otakku yang mabuk alkohol
tidak bisa merangkai logika untuk mencari tahu apa.
Sementara
itu, Minase cemberut, sedikit merajuk.
“Aku cuma
berpikir... kamu ternyata pandai bicara, ya?”
“Hah? Apa
maksudnya—”
“Aku takkan
memberitahumu. Rasanya tidak adil kalau hanya aku yang tahu."
Setelah itu,
dia tertawa kecil nakal.
“—Jadi, ini
rahasia.”
Minase menempelkan
jari ke atas bibirnya dan memamerkan senyum sempurnanya yang biasa.