Chapter 1 — Tipe Politisi
Setelah
selesai membagikan selebaran di pagi hari, aku masuk ke dalam kelas dan menghela napas.
“……Fyuh”
Kulitku
belakangan ini terasa dingin di pagi hari.
Saat membagikan selebaran, aku tidak merasakannya karena selalu bergerak, tetapi saat kembali ke
kelas, tubuhku sudah sepenuhnya kedinginan. Rasanya suhu udara telah turun
drastis sejak November dimulai. Sekarang bukan saatnya untuk terkena flu, jadi
aku harus menjaga kesehatan.
“Tomonari-kun,
terima kasih atas kerja kerasmu!”
Saat aku
mengeluarkan alat tulis dari dalam tas,
Asahi-san memanggilku. Sapaan selamat pagi sudah disampaikan sebelumnya.
Asahi-san juga membantuku membagikan selebaran pagi ini.
“Terima
kasih, Asahi-san, sudah mau
membantuku hari ini.”
“Tidak
perlu khawatir. Tomonari-kun, kamu mau melakukan apa saat istirahat siang nanti?”
“Hari ini
aku berencana untuk mendengarkan pidato Jouto-kun.”
Aku memiliki firasat kalau Jouto
akan melakukan sesuatu yang istimewa mulai hari ini.
Aku ingin
melihatnya secepat mungkin.
“Namun,
untuk memastikan pengumpulan kampanye negatif, aku juga ingin jika mungkin
pergi melihat pidato Tennouji-san dan Narika… aku jadi sedikit bimbang.”
“Kalau
begitu, mau aku yang menggantikanmu untuk
pergi ke tempat mereka berdua?”
“Kamu yakin?”
“Tentu
saja! Lagipula, Tomonari-kun adalah orang yang berjasa bagiku!”
Asahi-san berseru sambil menepuk dadanya sendiri.
“Kupikir kamu terlalu melebih-lebihkannya.”
“Itu
bukan berlebihan!”
Asahi-san
meletakkan kedua tangannya di mejaku dan membungkuk ke depan saat
berbicara.
Karena
semangatnya, aku membelalakkan mataku karena terkejut.
“Semalam,
aku dan Rintarou makan malam bersama di rumah. Selama ini Rintarou selalu makan sendirian di waktu yang berbeda, jadi aku sangat senang. Rasanya
seperti kami kembali memiliki waktu bersama keluarga setelah sekian lama.
…Semua ini berkat Tomonari-kun.”
Asahi-san
sedikit menahan air mata.
Aku
mendengar bahwa hubungan antara kakak beradik ini tidak baik, tetapi sepertinya Rintarou
memiliki perasaan memberontak terhadap keluarganya.
“Jadi,
aku sangat bersyukur! Aku akan mendengarkan hampir semua yang kamu katakan, Tomonari-kun!”
Asahi-san
berkata dengan semangat. Entah
kenapa, aku merasa dia baru saja mengatakan
sesuatu yang luar biasa.
Aku
sedikit terkejut karena tidak menyangka akan mendapatkan rasa terima kasih
sebesar itu, tapi aku senang bahwa hubungan kakak beradik itu tampaknya telah
diperbaiki. Mengingat sifat Rintarou, mungkin dirinya
tidak akan kembali seperti dulu dengan cepat, tapi melihat keadaannya sejauh ini, waktu
akan menyelesaikannya.
Saat aku
merasa sedikit senang mendengar situasi Asahi-san dan lainnya, Taisho
mendekat.
“Hey,
kalian berdua, terima kasih atas kerja kerasnya.”
“Oh,
Taisho-kun.”
Taisho
juga membantu membagikan selebaran pagi ini.
Saat
kembali ke dalam kelas,
aku menyadari bahwa keberadaannya
tidak terlihat sama sekali, tetapi
mungkin ia sedang berbicara dengan siswa dari kelas lain. Taisho juga tidak
kalah luas pergaulannya dibandingkan Asahi-san.
Tiba-tiba,
Taisho menatap wajahku dan Asahi-san secara bergantian dengan serius,
“Tomonari
dan Asahi tuh belakangan
ini sangat akrab sekali, ya. …Apa jangan-jangan kaliab berdua mulai bepacaran?”
“Eh!?”
Jeritan
kecil muncul dari mulut Asahi-san.
Sepertinya
itu adalah pernyataan yang sangat tidak terduga. Wajah Asahi-san langsung
memerah—.
“Tidak,
tidak, ini sama sekalli bukan seperti itu!?”
“Kamu jelas-jelas kelihatan sangat
panik. Justru itu jadi semakin
mencurigakan, lho?”
“Ugh!! Habisnya, karena Taisho-kun
bilang hal aneh seperti itu sih!!”
Asahi-san
memukul-mukul bahu Taisho.
Dari
sudut pandangku, justru
mereka berdualah yang terlihat
seperti sepasang kekasih…
Jika dilihat
baik-baik, wajah Asahi-san yang
sedang memukul bahu Taisho, tampak memerah sampai ke telinganya.
Tanpa sadar, aku menatap wajahnya yang sedikit berkeringat, dan saat dia
menyadari tatapanku, Asahi-san menatap ke arahku.
Saat tatapan mata kami bertemu, tiba-tiba aku
merasa malu dan mengalihkan pandanganku.
Begitu
juga dengannya, Asahi-san juga mengalihkan
pandangannya dan menjadi diam.
Ra-Rasanya
sangat canggung…
Taisho…!!
Ini semua karena salahmu…!!
“……”
“Eh?”
Pada saat
itu, aku merasakan tatapan tajam yang membuatku merinding, dan secara refleks
aku menoleh.
Di sana,
dengan jarak sedikit jauh, ada Hinako yang sedang menatap ke arah kami.
“Ko-Konohana-san?”
“Iya? Ada apa?”
Hinako
yang dalam mode Ojou-sama,
tersenyum ceria.
Sementara
Taisho tampak santai, keringat dingin mengalir di pipiku.
Eh…? Apa
tatapan barusan bukan dari Hinako?
“Tapi,
ya, aku memang berterima kasih kepada Tomonari-kun!”
Asahi-san
membersihkan tenggorokannya untuk menghilangkan kecanggungan.
“Tomonari-kun,
katakan apa saja padaku!
Sekarang aku akan menjadi tangan dan kakimu!”
“Y-Ya”
Aku
mengangguk setuju terhadap perkataan Asahi-san yang pipinya masih dipenuhi rona memerah.
“……”
“Eh?”
Aku
merasakan tatapan lagi!
Namun
saat aku menoleh, yang ada di sana adalah—.
“…………Konohana-san?”
“Ada
apa?”
Hinako
tersenyum lembut.
Sepertinya,
ini cuma perasaanku saja?
…Apa aku masuk angin?
◆◆◆◆
Istirahat
makan siang.
Setelah
selesai makan siang, aku memanfaatkan kebaikan hati Asahi-san dan memutuskan
untuk pergi mendengarkan pidato Jouto.
Namun,
saat kembali dari gedung bekas siswa ke gedung sekolah, aku berhenti di tengah jalan.
“Hmm?”
Ngomong-ngomong,
di mana Jouto menyampaikan pidatonya?
Setelah kuingat-ingat lagi, pagi ini aku tidak melihat tim Jouto
membagikan selebaran di lapangan. Tempat pidatonya
selalu berbeda-beda,
jadi seharusnya mereka mengumumkannya melalui selebaran. Meskipun mereka tidak
ada di lapangan, aku pikir mungkin mereka sedang membagikan selebaran di tempat lain, tetapi pada akhirnya aku
tidak bertemu dengan mereka sama sekali pagi ini.
(Kurasa sebaiknya aku mencoba mencarinya dengan berjalan kaki)
Tempat
yang diizinkan untuk berpidato cukup
terbatas. Di antara tempat-tempat itu, aku sudah memesan
tempat seperti lapangan yang mudah terlihat dan depan aula
olahraga yang bisa menampung banyak orang. Jadi sekarang,
seharusnya Tennouji-san dan Narika sudah memulai pidato di dua lokasi
tersebut.
Ada juga
beberapa tempat lain yang memiliki kondisi baik, tetapi meskipun aku sudah mencarinya semua, aku tidak
melihat sosok Jouto. Aku berjalan cepat di depan kantin dan belakang gedung
sekolah, tapi suara Jouto sama sekali tidak terdengar.
Apa yang
terjadi?
Apa ia
tidak akan berpidato hari ini?
Pidato
saat istirahat makan siang
biasanya jauh lebih
kecil dibandingkan dengan pidato sepulang
sekolah karena ada batasan waktu. Jadi aku bisa memahami jika mereka memutuskan
untuk mengabaikannya… tetapi aku tidak berpikir Jouto akan membuang kesempatan penting seperti itu
meskipun dilakukan dalam skala kecil.
Sebaliknya,
aku merasakan firasat buruk.
Jouto
yang bersemangat mungkin akan melampaui ekspektasiku.
Oleh
karena itu, aku ingin melihatnya sekarang. Apa yang akan dilakukan Jouto. Jika
ia merencanakan sesuatu di luar pandanganku, aku mungkin tidak akan punya cara
untuk menghadapinya saat saat-saat penting.
Ketika
perasaan cemasku
semakin meningkat, aku melihat sosok yang familiar di depanku.
“Ikuno-kun.”
Saat aku
memanggil Ikuno yang sedang berjalan di koridor, dirinya segera menoleh.
“Tomonari-kun, ada apa?”
“Apa kamu
melihat Jouto-kun? Aku
tidak tahu ia sedang berpidato di mana hari ini…”
Seharusnya
aku sudah mencari di semua tempat yang mungkin, tapi tetap saja aku tidak bisa menemukannya sama sekali.
“Kalau kamu sedang mencari Jouto-kun, ia ada di lantai tiga.”
“Di
lantai tiga?”
Jadi, ia berada di kelasnya sendiri?
Ruang kelas
bagi murid kelas 2-A sampai 2-C
berada di lantai dua, sedangkan dari
2-D sampai 2-F berada
di lantai tiga. Teman-temanku yang biasanya dekat
denganku seperti Hinako, Tennouji-san, dan Narika semuanya
berada di lantai dua, jadi
sebenarnya aku tidak terlalu tahu tentang siswa di lantai tiga. Namun, aku tahu
bahwa Jouto adalah siswa kelas 2-E.
“Mau
pergi bersama?”
“……Ya.”
Ikuno,
yang menjalin hubungan denganku melalui permainan manajemen, adalah siswa kelas
2-F. Kami tidak bertemu setiap
hari, tetapi kebaikannya saat ia mengizinkanku untuk menawarkan perusahaan
e-commerce khusus hadiah yang aku buat, Tomonari Gift, dan pada akhirnya ia
setuju untuk mewarisi bisnis tersebut, pasti akan tetap menjadi kenangan yang
tidak akan pudar. Secara pribadi, aku ingin bertemu dengannya di luar akademi
suatu saat nanti.
Saat aku
naik ke lantai tiga bersama Ikuno, di sana sudah ada kerumunan orang.
Jouto
sedang berpidato di koridor lantai tiga gedung sekolah.
“Di depan
kelas…?”
Memang,
berpidato di koridor tidak dilarang. Namun, pada saat istirahat makan siang, area koridor biasanya sangat ramai, dan aku berpikir
bahwa berpidato di sini akan mengganggu. Tennouji-san dan Narika juga telah
merundingkan hal ini sebelumnya dan kami berbagi kesimpulan yang sama.
Namun
sekarang, tidak ada lalu lintas di koridor lantai tiga.
Semua
orang mendengarkan pidato Jouto dengan tenang di
dalam kelas mereka masing-masing. Hanya aku dan Ikuno yang
berdiri di koridor.
“Jouto-kun sudah mempersiapkan ini sejak
pagi,”
Ikuno mulai menjelaskan.
“Dia
pergi ke setiap kelas dan meminta izin untuk berpidato di koridor saat
istirahat siang ini.”
“……Jadi ia melakukan itu.”
Pantas saja aku tidak melihat tim Jouto di
lapangan pagi ini. Ternyata, ia mengorbankan waktu
untuk membagikan selebaran demi menciptakan lingkungan untuk pidato ini.
Tapi,
untuk apa…?
Apa aku
akan mengerti setelah mendengarkan pidato ini?
Aku masuk
ke dalam kelas F bersama Ikuno dan
mendengarkan pidato Jouto.
“Aku yakin pasti di antara kalian ada yang merasa sakit hati
karena perbedaan latar belakang keluarga!”
Suara
penuh semangat Jouto bergema di telingaku dan menyentuh relung hatiku.
“Aku yakin di antara kalian ada yang menekan pendapat kalian sendiri! Aku ingin menghilangkan orang-orang
seperti itu!”
Suara dan
tatapannya sangat berbeda dari Jouto yang biasanya.
Dengan
rambut yang disisir rapi, Jouto terus melontarkan kata-kata dengan percaya
diri. Dirinya menatap tajam ke arah siswa di
kelas. Hanya dengan satu detik menatap tatapannya, aku hampir terjebak dalam
pidato Jouto.
“Seperti
yang kalian katakan, aku adalah
seorang reformis! Aku memiliki
keyakinan untuk mengubah akademi ini ke arah yang lebih baik! Meskipun aku tidak mengusung janji-janji yang
kaku seperti kaum konservatif, bagi mereka yang menginginkan perubahan di
akademi yang terhormat ini, silakan dukung aku!”
Suara
sorakan bergemuruh dari tiga ruang
kelas.
Aku juga
hampir melupakan posisiku dan ingin bertepuk tangan.
(……Bagus
sekali)
Jika aku
hanya seorang siswa yang tidak mencalonkan diri sebagai anggota OSIS, mungkin aku akan terpengaruh
oleh pidato ini. Pidato Jouto benar-benar mampu membangkitkan semangat banyak orang.
Jouto menyebut dirinya sebagai seorang reformis
dan menyebut kandidat ketua lainnya sebagai konservatif, dengan begitu ia
berhasil menarik dukungan siswa-siswa Akademi Kekaisaran
yang penuh semangat. Ketika kata-kata seperti konservatif dan praktis
diucapkan, citra kelompok kami tentu saja menjadi membosankan.
Pidato Jouto
secara cerdas mengarahkan pemikiran audiens.
Dan,
karisma yang dimilikinya membuat hal itu hampir tidak terasa.
“Aku berjanji! Aku tidak akan membuat kalian
menyesal!!”
Tanpa
menggunakan mikrofon, suara Jouto menggema. Suaranya keras tetapi jelas dan
mudah dipahami. Volume suaranya seperti penyanyi profesional.
Bagaimana
aku harus mengungkapkannya? Mungkin ini bisa dinilai sederhana: pidatonya
sangat bagus. Penguasaan kata, gerak
tubuh, cara menatap, semuanya berkualitas tinggi dan tanpa cela. Hanya dengan
melihatnya saja, aku
tidak merasa bosan, dan hanya dengan mendengarnya, aku merasa bersemangat. Aku
ingin berjuang bersamanya. Aku merasa seolah kami adalah pasukan resmi.
Selama
pidato, Jouto terasa lebih karismatik dibandingkan siapa pun—bahkan
Hinako.
“Demikian, aku mengakhiri pidato ini.”
Sambutan
tepuk tangan yang meriah diberikan kepada Jouto.
Jika aku
mendengarkan dengan seksama, suara-suara dukungan
padanya juga terdengar. …Tidak heran. Jouto memiliki
penampilan yang menarik dan tampan. Sebelumnya, ia
memberikan kesan yang membosankan dari gaya rambutnya,
tetapi sekarang dirinya
tiba-tiba berubah, dan banyak siswa yang pasti terpesona oleh
perubahannya.
Setelah
menerima tepuk tangan dari siswa-siswa, Jouto membuka mulutnya dengan senyuman
percaya diri.
“Silakan
datang untuk mendengarkan pidatoku
sepulang sekolah. Hari ini, ada satu
pengumuman penting.”
Pengumuman
penting…?
Ketika
aku memiringkan kepalaku, pandangan mataku bertemu dengan Rintarou
yang berdiri di dekat Jouto.
Rintarou
menepuk bahu Jouto ringan, memberitahunya
bahwa aku ada di sini.
“Tomonari-kun, rupanya
kamu datang kemari
ya.”
Jouto
mendekat dan berkata padaku.
Seperti yang
kuduga, kesan Jouto sekarang sangat berbeda dari
sebelumnya. Jouto saat ini tampak berapi-api dan bersemangat. Namun, dirinya juga memiliki aura intelektual
yang mencerminkan siswa Akademi Kekaisaran.
“Tunggu
sebentar. Aku perlu membasahi
tenggorokanku.”
Rintarou
mengeluarkan botol air dari tasnya dan menuangkan cairan ke dalam cangkir.
Jouto
menerima cangkir itu dan langsung meminum isinya.
“Itu…?”
“Minuman
dengan madu. Ini bisa menjaga suhu, membunuh kuman, dan mencegah
dehidrasi.”
Sambil
mengembalikan cangkir kepada Rintarou, Jouto menjelaskan.
Dirinya sangat teliti dengan kesehatannya seperti
seorang atlet.
Di
sekolah biasa, mungkin ini akan dianggap berlebihan dan akan ditertawakan.
Namun, di Akademi Kekaisaran,
Jouto mempertahankan sikap yang sangat serius.
Aku
merasa merinding.
Ada
perbedaan mendasar dalam cara menghadapi pidato.
“Jadi,
kali ini apa itu pengintaian musuh?”
“……Kurang
lebih seperti itu.”
Sambil
berusaha tidak menunjukkan rasa kalah, aku mengangguk setuju.
“Kenapa
kamu berpidato di sini?”
“Seharusnya
kamu bisa memperkirakan ini setelah melihat pemandangan ini.”
Persis yang
dikatakan Jouto.
Awalnya
aku tidak mengerti, tetapi seiring mendengarkan pidato, aku mulai memahami maksudnya.
Tepatnya, bukan dari isi pidato itu sendiri, tapi dengan melihat bagaimana
reaksi siswa-siswa yang mendengarkan...
“Meski kelihatan begini, aku
berasal dari keluarga politisi, jadi aku tahu banyak tentang pemilihan.”
Jouto
menjelaskan.
“Pemilihan
tidak bisa dimenangkan tanpa dukungan lokal. Oleh karena itu, aku memutuskan
untuk menjadikan lantai tiga ini sebagai basis lokalku.”
Setelah
mendengar penjelasan itu, aku memahami maksud Jouto secara umum.
Jadi, ia
telah menciptakan basis lokal...
Demi
memenangkan pemilihan, dukungan lokal sangat penting. Namun, berbeda dengan
pemilihan politik, dalam
pemilihan OSIS, konsep
basis lokal menjadi kurang penting.
Maka, ia
menciptakannya.
Itulah
strategi pertama Jouto yang serius.
Siswa-siswa
di lantai tiga sudah bersatu dalam mendukung Jouto. Tentu saja, bukan hanya
pidato saat istirahat siang. Sebelum pelajaran pagi atau selama waktu
istirahat, ia mungkin telah menanam benih persatuan sedikit demi sedikit.
Ketika dirinya
mendapatkan izin untuk berpidato di koridor, posisi mereka pasti sudah mulai terbentuk. Pidato
yang baru saja disampaikan adalah serangan pamungkas.
(...Apa
yang harus kita lakukan?)
Kami
harus merumuskan strategi.
Apa kami
juga harus menyatukan siswa-siswa di lantai dua?
“Kalian
tidak bisa meniruku.”
Ucap Jouto
seolah-olah bisa membaca pikiranku.
“Di
lantai dua ada dua kandidat ketua. Tennouji-san dan Miyakojima-san... Dengan
adanya dua orang ini, suara para siswa
sudah pasti terbagi. Meskipun kalian meniruku, kalian tidak akan mendapatkan
kekuatan persatuan seperti ini.”
Dengan
adanya dua kandidat ketua, persatuan di tiga kelas tidak akan tercapai.
Persatuan
ini... hanyalah keunggulan yang bisa didapat oleh Jouto dan timnya.
“Jarak
fisik merupakan hal terpenting dalam mendapatkan
kepercayaan. Hanya dengan saling mengenal, jumlah orang yang mau mendengarkan
akan meningkat. Dan yang
terpenting, kedekatan jarak memudahkan penyampaian.”
Penyampaian...?
Aku baru
memahami makna kata itu setelah sedikit terlambat.
Aku
terdiam. — Ini gawat.
“Apa kamu
mengerti? Apa yang terbentuk di depan kita sekarang adalah komunitas.”
Siswa-siswa
di lantai tiga sangat antusias membicarakan pidato Jouto. Antusiasme itu melampaui
batas kelas dan menyebar sampai ke
kelas sebelah.
Siswa-siswa
berbicara dengan riang tentang seorang pria bernama Jouto Ren.
Karena
jaraknya dekat. — Kelasnya bersebelahan, jadi lebih mudah untuk berbagi cerita.
Di kanan dan kiri, semua siswa membicarakan Jouto, dan tanpa disadari,
lingkaran itu menjadi komunitas yang mengelilingi seluruh lantai tiga.
Seolah-olah,
ini adalah semacam klub penggemar...
Tidak,
perbandingan seperti itu tidak diperlukan. Dalam dunia pemilihan, ada istilah
untuk kelompok seperti ini.
Ini
adalah—komite dukungan.
Jouto
berusaha untuk membentuk komite dukungan.
“Jadi begitulah adanya,
bagaimana?”
Jouto
berkata kepadaku yang berkeringat dingin.
“Sambil
meminta maaf atas yang terjadi sebelumnya, aku menjelaskan dengan sopan. Apa
ada hal lain yang ingin kamu tanyakan?”
“Ah...
tidak, semuanya baik-baik saja.”
Jika
dipikirkan dengan tenang, tidak ada alasan bagi Jouto untuk menjelaskan dengan
begitu rinci.
Ini
tampaknya adalah itikad baik dari Jouto.
“Terima
kasih juga atas penarikan rumornya.
Ketika aku datang ke akademi pagi ini, suasananya
hampir tenang.”
“Aku
meminta seorang kenalan untuk menyebarkan bahwa rumor itu tidak benar semalam. Rintarou
juga ikut membantu.”
Jouto
melirik ke belakangnya.
Di sana, Rintarou
yang berdiri dengan ragu-ragu maju ke depan seolah menjawab isyarat Jouto.
“Tomonari-senpai, terima kasih atas bantuanmu
terkait masalah dengan Nee-san.”
Rintarou
membungkuk dalam-dalam.
“Aku sudah merenungkannya semalaman, tapi
aku tetap akan mendukung Jouto-senpai.”
“...Begitu
ya.”
Sebenarnya,
kedua orang ini memiliki visi yang sejalan mengenai Akademi Kekaisaran. Jadi,
kesimpulan itu terasa wajar.
Jika
ditelusuri, Rintarou mulai mencari kehidupan yang tidak terikat oleh status
keluarganya karena ketidakpercayaan terhadap usaha keluarganya. Pemikiran itu
pasti tidak akan berhenti hanya dengan masalah keluarga Asahi. Masalah keluarga
Asahi hanyalah pemicu. Rintarou sekarang telah mendapatkan kembali pemikirannya
yang tenang dan setuju dengan prinsip Jouto.
Aku tidak tahu apakah tindakan
Rintarou seharusnya bisa
dimaafkan atau tidak. Kampanye negative juga
merupakan strategi yang cukup masuk akal meskipun
aku merasa enggan melakukannya.
Jika
harus memutuskan apakah akan memaafkan atau tidak, kupikir hal itu adalah peran Tennouji-san dan
Narika. Dan jika kedua orang itu terlibat, mereka pasti akan memaafkan Rintarou.
Lebih
tepatnya... mereka tidak akan memaafkan diri mereka sendiri jika memilih untuk
tidak memaafkan di sini.
“Baiklah—mulai
sekarang, kita bisa bersaing tanpa rasa sungkan.”
Segera
setelah Jouto mengatakannya, bel pun berbunyi.
Sekarang,
kami tidak tahu apakah bel itu tanda
atau gong. Putaran istirahat
siang telah berakhir. Pertarungan berikutnya adalah setelah sekolah.
“Jouto-kun.”
Aku
memanggil Jouto yang hendak kembali ke dalam kelas
2-E.
“Apa maksudmu dengan pengumuman penting sepulang sekolah nanti?”
Jouto
tersenyum dengan percaya diri saat menanggapi
pertanyaanku.
“Jika
kamu penasaran, kamu bisa datang
untuk mendengarnya.”
Kebaikan
yang penuh rasa syukur sebelumnya sudah tidak ada lagi.
Mulai
sekarang, kita bisa bersaing tanpa rasa sungkan—perkataan Jouto itu terngiang-ngiang
di kepalaku.
◆◆◆◆
Sepulang sekolah, aku langsung pergi ke lapangan untuk
mendengarkan pidato Jouto. Di lapangan sudah berkumpul banyak orang,
menunjukkan betapa populernya tim Jouto.
Demi
menyampaikan suasana dramatis Jouto kepada Tennouji-san dan yang lainnya, aku
memutuskan untuk merekam pidato tersebut dengan smartphone. Sebenarnya, aku
ingin mereka mendengarkan pidato ini secara langsung, tetapi pagi ini kami
sudah mengumumkan di selebaran bahwa mereka akan berpidato pada waktu ini. Jika
mereka membatalkannya, hal itu akan berdampak buruk pada
tingkat dukungan, jadi kali ini aku datang sendirian.
“Namaku Jouto Ren. Terima kasih telah
menunggu.”
Jouto
muncul di hadapan
audiens dengan mikrofon di tangannya.
Seperti
yang diduga, tampaknya sulit untuk menyampaikan pidato secara langsung dengan jumlah
orang sebanyak ini.
Begitu Jouto
muncul, sorakan langsung menggema.
Seolah-olah tanah bergetar sedikit.
Aku
mengenali sosok-sosok siswa yang berteriak mendukung Jouto. Mereka adalah siswa
di lantai tiga yang mendengarkan pidato saat istirahat.
(Kekuatan
persatuan lokal ini menghidupkan pidatonya...)
Ini bisa
dianggap sebagai dukungan yang sah.
Dengan
mengumpulkan komunitas lokal, Jouto mampu
mendapatkan sorakan di mana pun dirinya
berpidato. Selalu ada jaminan suasana yang meriah, yang pasti membuat Jouto
lebih mudah dalam berpidato.
Tentu
saja, siswa-siswa di sekitarnya juga terpengaruh oleh suasana ini.
Melihat ada
banyak orang yang begitu bersemangat mendukungnya, Jouto Ren
mungkin akan menjadi ketua OSIS yang luar biasa...atau itulah yang dipikirkan siswa lainnya.
Setelah
itu, Jouto memulai pidatonya. Isi pidatonya sebagian besar sesuai dengan yang
diperkirakan. Ia
mempresentasikan komitmennya untuk menjadikan Akademi
Kekaisaran lebih merakyat dan bagaimana janji tersebut akan
berkontribusi pada pembangunan akademi yang lebih baik. Kadang-kadang dirinya akan menggunakan data objektif,
kadang-kadang menyisipkan argumen yang penuh semangat, Jouto menarik perhatian
orang-orang dengan kemampuan berbicaranya yang luar biasa.
Ketika
siswa-siswa sudah siap untuk mendengarkan, Jouto mengambil napas sejenak.
“Hari
ini, aku memiliki pengumuman penting
untuk kalian semua.”
Setelah
mengatakan itu, Jouto menyerahkan mikrofon kepada seorang siswi yang berdiri di
sampingnya.
Karena
terlalu terfokus pada pidato, aku tidak menyadari keberadaan siswi itu sampai
sekarang. Sejak kapan dia berdiri di sana?
(...Yang benar saja.)
Aku dibuat
terdiam saat melihat siswi yang memegang mikrofon itu.
Gadis
itu, meskipun diperhatikan oleh banyak siswa, membuka mulutnya tanpa rasa
tegang sedikit pun.
“Aku adalah mantan ketua OSIS angkatan lalu, Minato Maki.”
Suaranya yang tegas menggema di lapangan. Sikapnya yang jelas menunjukkan
pengalaman langsung merebut kepercayaan para hadirin
dalam sekejap. Kehadiran
gadis itu di tengah pidato Jouto
berarti――――.
Seolah
ingin memenuhi harapan siswa-siswa, Minato-senpai
mengumumkan,
“Aku mendukung Jouto Ren sebagai
ketua OSIS berikutnya.”
Sorakan
paling meriah hari itu terdengar.
Meskipun
suasana di sekelilingku semakin
meriah, aku merasa sangat gelisah. ――Mantan
ketua OSIS, Minato Maki, telah
mendukung Jouto Ren. Berita ini pasti akan menyebar dengan cepat di seluruh
akademi.
Pada saat
ini, di momen ini…… aku merasakan dengan jelas bahwa opini publik telah berubah secara drastis.
◇◇◇◇
(Sudut
Pandang Minato Maki)
Itsuki
meninggalkan tempat itu dalam keadaan gelisah.
Ren mengawasi punggungnya dengan
diam.
Meskipun
mereka baru bertemu sebentar, Ren lumayan memahaminya.
Anak itu tidak akan mudah patah semangat. Meskipun terlihat panik dan bingung……
setelah beberapa saat, ia akan melakukan langkah yang tepat. Sama seperti saat dirinya berhasil
mengatasi kegelapan yang dibawa Rintarou.
Ren tidak
bisa lengah.
Ia
meyakinkan dirinya bahwa Tomonari Itsuki tidak akan mundur begitu saja.
Kemudian Ren mengajak Maki yang berdiri di
sampingnya berbicara.
“Terima
kasih, Minato-senpai. Berkat dirimu, suasananya jadi semakin meriah.”
“Ini semua bukan karena diriku saja. Keberhasilan ini merupakan hasil
dari kemampuanmu.”
Maki balas menjawab ketika melihat
kumpulan siswa yang masih belum ingin pulang.
“Minato-senpai, mengapa kamu memihak
padaku?”
Ren
bertanya.
“Walaupun aku yang meminta dukunganmu,
tetapi rasanya keputusanmu sangat cepat. Seolah-olah kamu sudah berniat mendukungku dari awal.”
Maki
berpikir sejenak sebelum menjawab menanggapi
pertanyaan Ren.
“Singkatnya, karena kita memiliki kepentingan yang sama.”
Maki
melanjutkan.
“Perusahaan
keluargaku, Rakuou Group, telah meraih kesuksesan
melalui kegiatan bisnis yang menyasar keluarga biasa… yang disebut
masyarakat umum. Jadi, aku bisa banyak berempati dengan pemikiranmu.”
“……Begitu
ya.”
Ren
menunjukkan sikap yang seolah-olah
memahami, tapi jelas sekali kalau dirinya
tidak sepenuhnya yakin.
Kepentingan
yang sejalan. Maki berpikir bahwa jika dia menyampaikan bahwa dirinya tidak ada niatan untuk berkhianat, maka tidak
akan ada masalah.
(Meski ada satu alasan lagi.... tapi menjelaskannya terasa
canggung.)
Alasan
kedua adalah karena perasaan pribadi yang berlebihan.
Ren baru
saja mengatakan bahwa Maki seolah-olah
sudah berniat begitu dari
awal――.
Sebenarnya,
bukan seolah-olah lagi. Maki memang sudah berniat untuk bergabung dengan kubu Ren sejak awal.
Maki
pernah belajar di bawah bimbingan
seseorang. Sebagai muridnya, Maki terus berusaha untuk mencapai hasil yang
memuaskan. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil dan dia pun segera ditelantarkan.
Setelah
itu, orang tersebut menemukan murid baru.
Anak
laki-laki yang terpilih sebagai murid barunya, Tomonari Itsuki, entah bagaimana pindah ke Akademi Kekaisaran di mana
dia menjabat sebagai ketua OSIS,
dan kini sedang berusaha untuk menjadi anggota OSIS.
Maki
berpikir―――― Aku
ingin memastikannya.
Mengapa
aku ditinggalkan?
Mengapa
anak ini diakui?
Tidak
masalah dirinya menang atau kalah. Jika Maki menang, dia bisa
membuktikan bahwa mantan gurunya tidak memiliki pandangan yang baik, dan itu
akan menghilangkan beban di hatinya. Jika Maki kalah, dia akan memahami bahwa
pemikiran gurunya benar dan bisa menerima kenyataan.
Aku ingin
menerima kenyataan
bahwa aku ditinggalkan.
Itulah
alasan kedua mengapa Maki menjadi sekutu Ren.
Minato Maki ingin berhadapan dengan Tomonari
Itsuki.
“Tapi,
kamu tiba-tiba bergerak pada waktu seperti ini. Jika kamu ingin meminta
bantuanku, bukankah seharusnya
kamu melakukannya lebih
awal?”
Berkat itulah,
aku sudah menunggu cukup lama――Itu
adalah perasaan yang sebenarnya, yang dia sembunyikan.
Jika
sedikit lebih lambat, Maki mungkin sudah memulai usulan
dukungannya terlebih dahulu.
“……Baru-baru
ini, aku mendapatkan alasan untuk bersemangat.”
Ren
menjawab dengan wajah serius.
Ada
api yang menyala di kedalaman matanya.
Lawan yang tidak ingin ia kalahkan, lawan yang harus ia kalahkan. Jelas sekali bahwa ada sosok
seperti itu telah muncul di dalam dirinya.
“Lagipula,
kupikir mengandalkan Minato-senpai mungkin sedikit kotor.”
“Apa yang
kamu katakan sekarang?”
Maki
tertawa.
“Bukannya kubumu yang menyebarkan kampanye
negatif?”
“Itu……”
“Itu masih sama saja bahkan
jika kamu tidak terlibat secara langsung.……
Kamu sudah melakukan apa yang perlu dilakukan. Memangnya sekarang kamu ada alasan untuk pilih-pilih cara?”
Pertanyaan
Maki yang terasa menantang membuat Ren
menutup bibirnya.
Namun, ia
segera mengangkat wajahnya yang tegas.
“……Tidak,
aku sudah bertekad. Itulah sebabnya aku meminta bantuanmu.”
Ren
sudah menyadari bahwa dirinya telah tercemar.
“Seorang politisi rela melakukan apa saja demi mendapatkan suara.”
“Bagus.”
Melihat
semangat itu, Maki memutuskan untuk menjadi sekutu Ren.
Meskipun
Maki ingin menghadapi Tomonari Itsuki, dia tahu bahwa hanya menjadi penghalang
kecil tidak ada artinya. Maki percaya bahwa dengan bekerja sama dengan Ren, dia bisa menjadi penghalang
besar bagi Itsuki.
“Boleh
aku memanggilmu Ren-kun? Meskipun dalam waktu singkat, kita akan membentuk
aliansi bersama.”
“Kalau
begitu, aku akan memanggilmu Maki-senpai. Dengan saling memanggil nama depan,
kita bisa menunjukkan bahwa hubungan kita cukup akrab,
baik di dalam maupun di luar.”
Pikiran
strategis yang langsung mengaitkan hal itu dengan perhitungan adalah ciri khas
siswa tipe politisi.
Maki tahu
bahwa politisi yang sudah bertekad merupakan
sosok yang sangat merepotkan.
◆◆◆◆
(Sudut
Pandang Itsuki)
Setelah
pulang sekolah, aku kembali ke kediaman Konohana
dan berkonsultasi dengan Takuma-san mengenai situasi terkini.
Sejak
permainan manajemen, aku dan Takuma-san secara rutin melakukan panggilan untuk
melaporkan keadaan, dan ia selalu bersedia membantu dengan tulus. Meskipun
sepertinya dia masih tidak akur dengan Hinako dan Shizune-san, orang ini sebenarnya cukup
perhatian, bukan?
“Jika
bertanding dengan tipe politisi dalam berpidato, bahkan aku pun akan kalah.”
Aku tidak
pernah menyangka Takuma-san akan mengatakan hal seperti itu, sehingga aku
terkejut.
Aku
mendengar suara Takuma-san yang tenang melalui panggilan video lewat laptop.
“Mereka
itu jenius dalam mengipasi
semangat orang. Mereka bisa mendeteksi kata-kata dan sikap yang dibutuhkan
dalam sekejap, dan bahkan bisa mengimprovisasi untuk menyampaikan pesan
tersebut dengan cara yang lebih efektif. Struktur pemikiran mereka berbeda
secara fundamental dari orang biasa. Ini seperti perbedaan antara orang biasa
dan atlet.”
“……Begitu
ya.”
Ketika Jouto
sedang merawat tenggorokannya, aku berpikir dirinya
mirip atlet, dan ternyata penilaian itu benar.
Namun,
Takuma-san bukan berarti menyuruhku untuk putus asa.
Aku
mengerti apa yang ingin disampaikan Takuma-san.
“Jadi,
maksudnya kita tidak seharusnya bertarung di arena yang sama, kan?”
“Tepat
sekali.”
Jouto sudah terbangun. Pidatonya semakin
dramatis dan baik. Oleh karena itu, aku juga harus meminta Tennouji-san dan Narika
untuk berusaha keras dalam berpidato. ――Pemikiran
bahwa hanya berfokus pada pidato adalah ide yang bodoh,
kata Takuma-san.
Jika kami terus-menerus menghabiskan waktu
untuk berpidato, kami tidak
akan pernah bisa keluar dari arena Jouto.
“Tipe
politisi juga mahir dalam strategi yang licik. Apa kamu sudah mempersiapkan
langkah-langkah untuk menghadapi konspirasi
mereka?”
Aku tidak
bisa berkata apa-apa ketika Takuma-san bertanya demikian.
Walaupun
diberitahu kalau aku harus menghadapi strategi licik mereka....
Apa yang
harus aku lakukan untuk menghadapinya?
“Kamu
juga harus mencoba menggunakan taktik semacam itu sesekali.”
Takuma-san
berkata begitu seolah-olah dapat membaca perasaanku yang
diam,
“Bukankah
cara terbaik mencegah strategi licik adalah memahami
strategi itu sendiri? Lalu, bagaimana cara memahaminya? …Dengan mempraktikkannya. Pikirkan strategi licikmu sendiri dan menjalankannya. Itu akan menjadi pertahanan
terbaik yang bisa kamu miliki.”
Apa yang
dikatakan Takuma-san memang masuk akal.
Namun…
“Maaf.
Aku ingin bertarung secara adil.”
“Walaupun
ada kemungkinan bahwa Tennouji-san dan Miyakojima-san yang
kamu dukung bisa kalah?”
Seolah-olah
Takuma-san sudah memperkirakan jawabanku, ia menyampaikan pertanyaannya tanpa
ragu.
Namun,
ketika aku membayangkan wajah kedua orang itu, aku justru semakin yakin dengan
jawabanku.
“Sekalipun
aku berpikir untuk melakukan hal yang curang, mereka berdua tidak akan
memaafkanku.”
Setelah
aku mengatakan itu, Takuma-san terdiam sejenak.
“Yah,
asalkan kamu tidak terlalu keras kepala, kurasa itu tidak
masalah.”
Suara
Takuma-san sangat tenang, dan penjelasannya sangat tepat.
Karena
itulah, aku merasa sedikit goyah.
Jika
dipikirkan dengan tenang, sebenarnya tidak perlu menjelaskan kepada Tennouji-san
dan Narika dengan cara yang formal. Meskipun tidak diizinkan, aku masih bisa
bertindak. Apa aku tidak melakukannya hanya karena bersikap keras kepala...?
Tidak…
seharusnya bukan itu.
Jika aku
menggunakan cara yang curang, ada risiko bahwa orang-orang di sekitarku juga
akan terpengaruh. Itulah mengapa Rintarou bersedia mengambil peran jahat sambil
berusaha mundur dari posisi wakil ketua. Namun, apa itu yang diinginkan Jouto?
Jika aku melakukan hal yang sama seperti Rintarou… bagaimana perasaan Tennouji-san
dan Narika? Yang paling penting, apa yang akan dipikirkan Hinako?
Bahkan
jika aku pergi tanpa mengatakan apa-apa, mereka tidak akan merasa puas.
Memikirkan
hal-hal seperti itu, aku tetap tidak ingin menggunakan cara yang kotor.
“Tidak
apa-apa. Ini bukan soal prinsip.”
Aku
menyampaikan kesimpulan setelah berpikir panjang kepada Takuma-san.
“Ada satu
masalah besar lagi…”
“Apa
itu?”
Ada hal
lain yang ingin aku diskusikan dengan Takuma-san.
Mungkin
masalah inilah yang
harus dihadapi terlebih dahulu.
“Ketua
OSIS sebelumnya, Minato-senpai,
telah bergabung dengan pihak Jouto.”
“…”
Ada
keheningan sejenak.
“Kalau
dipikir-pikir lagi, aku belum memberi tahu Itsuki-kun
tentang ini.”
Takuma-san
mengatakannya dengan tenang.
“Minato Maki adalah mantan muridku.”
“Eh…?”
“Yah,
dia berada dalam posisi yang sama seperti Itsuki-kun sekarang. …Perbedaannya
adalah, dia yang meminta untuk menjadi muridku. Karena aku menerimanya dengan
enggan, aku merasa perlakuanku agak kasar.”
Setelah
dipikir-pikir lagi, saat aku menjadi murid Takuma-san, dirinya lah
yang menawarkan untuk menjadikanku muridnya.
Eh…? Tapi
aku ingat, ia pernah bilang itu hanya untuk selama permainan manajemen. …Tapi tidak
apa-apa. Berbicara dengan Takuma-san selalu membuatku belajar banyak. Jika ia
masih memperlakukanku sebagai murid didikannya,
aku akan dengan senang hati menerima manfaat itu.
“Apa Minato-senpai sudah tidak menjadi muridmu lagi?”
“Iya.
Aku membuangnya karena dia tidak memiliki bakat.”
Cara
mengatakannya sangat kasar.
“Mungkin
dia menyimpan dendam padamu.”
“Eh…?”
Jadi,
bergabungnya Maki-senpai dengan pihak Jouto adalah karena Takuma-san…?
Aku
merasa Takuma-san tersenyum lebar di balik monitor.
“Aku
berharap kamu bisa mengatasi ini dengan baik. Jika tidak, kamu tidak akan bisa
berkembang lagi.”
“Haah…”
Aku
merasa terjebak dalam suatu takdir yang aneh…
“Meskipun aku
tidak merasa bertanggung jawab, tapi aku akan memberikan satu petunjuk tentang
cara menghadapi Minato Maki.”
Aku
berharap ia sedikit merasa bertanggung jawab. Namun, aku merasa berterima kasih jika Takuma-san mau memberi petunjuk, jadi aku akan diam saja.
“Mata
dibalas mata, gigi dibalas
gigi. Itu saja yang perlu kamu lakukan.”
Takuma-san
mengucapkan kata-kata yang sangat sederhana.
“Kamu
mengerti maksudku, kan?”
“Aku
mengerti, tapi itu…”
“Gunakan
apa pun yang bisa digunakan. Itulah dunia bisnis.”
Aku
mendengar nada dering
dari monitor. Sepertinya smartphone Takuma-san berbunyi. “Mari kita akhiri
sampai di sini,” kata Takuma-san, dan panggilan berakhir.
Aku
bersandar ke sandaran kursi dan menghela napas pelan.
(…Kali
ini, perbedaan prinsip kami cukup
mencolok.)
Takuma-san
memberikan dua saran konkret. Yang pertama adalah mencoba merencanakan
strategiku sendiri untuk mencegah strategi licik
lawan. Yang kedua adalah mengambil tindakan balasan
terhadap Maki-senpai yang menjadi lawanku.
Aku tahu
kedua cara itu efektif.
Aku memahaminya, tetapi… aku tidak
menyukainya.
“Sepertinya
situasinya cukup sulit.”
“Benar sekali…”
Ketika
Shizune-san memanggilku dari belakang, aku mengangguk.
“—Eh!?
Shizune-san!? Kamu ada di sini!?”
“Iya. Aku sengaja diam dari tadi supaya tidak
dikenali oleh Takuma-sama.”
Sambil
berkata demikian, Shizune-san membawa troli berisi pelatan teh dari koridor. Troli bergerak
ini disebut sebagai troli teh.
Di atas troli teh, Shizune-san dengan anggun
menyeduh teh dan menyodorkannya padaku.
“Sepertinya
kamu masih menghadapi dinding besar seperti biasa.”
“……Iya,
benar.”
Segera,
aku meneguk teh yang ditawarkan.
Kelembutan
rasa manis menyebar di mulutku. Rasanya
pas sekali karena aku ingin mengurangi ketegangan. Bagaimana Shizune-san bisa
tahu rasa yang sangat aku inginkan saat ini? Jika aku ingin berkonsentrasi, dia pasti akan menyajikan teh herbal
yang menyegarkan.
“Belakangan
ini, aku berpikir…”
Aku
meletakkan cangkir di meja dan berkata.
“Sepertinya,
kehidupanku tidak pernah berjalan dengan
lancar dari awal hingga akhir…”
“……Kamu
menjalani kehidupan yang cukup berat, ya.”
Shizune-san
menatapku dengan tatapan penuh simpati.
Aku tidak
menginginkan kemewahan. Namun, sesekali, bagaimana kalau semua berjalan dengan
baik…?
“Namun,
itu karena kamu menghadapi tantangan, bukan?”
Shizune-san
berkata sambil duduk di tepi tempat tidur.
“Jika
kamu memilih untuk hidup aman sebagai pengurus biasa, kamu tidak akan pernah
berada dalam situasi sulit seperti ini. …Aku menghargai pilihanmu.”
Aku
menatap wajah Shizune-san yang mengatakannya dengan cara seperti itu.
“Ada
apa?”
“Tidak…
Shizune-san, kurasa belakangan
ini kamu jadi lebih sering memujiku.”
“Begitukah?
Aku hanya mengucapkan apa yang kupikirkan.”
Artinya,
dia benar-benar memujiku dari dalam lubuk hatinya.
Kebahagiaan
mengalir dalam diriku. …Seperti yang dikatakan Shizune-san. Aku yang memilih
untuk menghadapi kesulitan ini. Mungkin penderitaan ini merupakan hak istimewa bagi orang-orang
yang berani mencoba.
“Baiklah,
sepertinya pembicaraan kita sudah selesai…”
Shizune-san
berdiri dan membuka laci troli teh.
Dari
dalamnya, muncul sebuah pakaian.
“Ini
adalah kostum pelayan yang aku pesan langsung dari Inggris. Untuk memastikan
cara memakainya, aku ingin meminta bantuanmu untuk pemotretan seperti
sebelumnya.”
“……………………………………Iya.”
Orang
ini, jangan-jangan dia sengaja
memujiku untuk membuatku merasa terpengaruh, ‘kan?
◆◆◆◆
Keesokan
harinya.
Setelah
meninggalkan kediaman keluarga Konohana,
aku berangkat menuju akademi bersama Hinako
seperti biasa dengan mobil.
(……Pemotretan kemarin, rasanya cukup lama juga ya.)
Semalam,
pemotretan kostum pelayan yang diminta Shizune-san memakan waktu lebih dari
satu jam dari yang direncanakan. Kostum tersebut memiliki fungsi yang sangat
tinggi sebagai pakaian kerja, dan tampaknya akan digunakan di keluarga Konohana di masa mendatang.
Berkat
pemotretan yang berlangsung lama, pengetahuanku tentang kostum pelayan jadi meningkat cukup banyak. …Apa kalian tahu? Kostum pelayan dapat
dibagi menjadi dua jenis: tipe pelayan Victoria
dan tipe pelayan Prancis. Tipe kostum pelayan gaya Victoria
adalah kostum pelayan yang digunakan sebagai pakaian kerja, sederhana dan
sedikit dekorasi, biasanya berupa gaun panjang. Sedangkan
gaya Prancis adalah kostum pelayan yang lebih mirip cosplay,
biasanya dihiasi dengan rumbaian
dan dekorasi mencolok lainnya. Kali ini, yang dipotret adalah kostum pelayan gaya Victoria.
(Sepertinya
Shizune-san mulai menunjukkan sisi aslinya setelah aku mengetahui hobi cosplay-nya…)
Selama
ini, Shizune-san yang berhubungan denganku sebagai kepala pelayan. Dia terlihat
sempurna, anggun, dan memiliki standar yang tinggi baik untuk dirinya sendiri
maupun orang lain. Namun, belakangan ini, Shizune-san lebih sering bersantai di
hadapanku. Misalnya, ketika dia datang ke kamar kemarin, Shizune-san duduk di
tepi tempat tidur. Sikap seperti itu pasti takkan dia tunjukkan saat pertama
kali kami bertemu.
“Hmm…”
Hinako
yang duduk di sampingku mengeluarkan suara mengantuk.
“Maaf ya.
Aku membuatmu berangkat lebih awal dari biasanya.”
“……Tidak
apa-apa. Kamu ada urusan dengan Tennouji-san dan lainnya,
‘kan?”
Tepat
sekali. Hari ini, aku ingin datang lebih awal untuk mengadakan rapat strategi
dengan Tennouji-san dan Narika. Sepertinya Asahi-san dan Taisho juga akan
membantu, dan mereka sudah berjanji untuk datang pada waktu yang sama.
“Jika
Itsuki menjadi wakil ketua, aku juga ikutan
senang… jadi aku akan membantu.”
“Hinako….”
Aku merasa terharu mendengar Hinako yang
mengatakannya sambil mengedipkan mata.
Setelah
pemilihan selesai, aku akan memberinya waktu tidur yang cukup. Aku akan
menciptakan waktu santai di mana dia bisa tidak melakukan apa-apa seharian.
Keripik dan es krim sepuasnya. Tentu saja tanpa
diketahui Shizune-san.
“Tapi…
belakangan ini, aku merasa kamu terlalu
dekat.”
Hinako
menatapku dan berkata.
“Dekat
dalam hal apa?”
“……………………Hmm…”
Hinako memelototiku. Kemudian, dengan kepalan tangan kecilnya, dia mulai memukul-mukul
pahaku.
“Aduh.”
“Dasar Itsuki bodoh!”
“Ah, itu
sakit!”
“Bodoh,
bodoh, bodoh…”
Sebenarnya,
itu sama sekali tidak sakit.
Aku
mengerti ada ketidakpuasan, tetapi aku merasa bingung karena tidak tahu
alasannya.
Dekat
itu, maksudnya apa ya...?
“…………Aku
mendukungmu.”
“……Terima
kasih.”
Aku
berterima kasih kepada Hinako yang sudah meredakan kepalan tangannya.
“Tapi,
jika kamu mengkhianatiku…………………… mati.”
“Mati!?”
Akhir-akhir
ini, sepertinya cara bicara Hinako mulai berubah.
Apa ini
juga karena pengaruh dari manga shoujo?
…Syukurlah tidak ada Kagen-san di
sini.
◆◆◆◆
Setelah
tiba di akademi, aku mengambil laporan pemilihan yang dibagikan di lantai satu
gedung sekolah.
(……Akhirnya,
hasilnya terbalik juga, ya)
Tennouji-san
dan Narika mendapatkan dukungan sekitar 30%, sedangkan Jouto mendapatkan 40%. Jouto,
yang hanya mendapatkan 20% dalam survei publik pertama, kini didukung dua kali
lipat dan akhirnya menduduki posisi teratas.
Masa
pemilihan, jika tidak dihitung akhir pekan, tersisa lima hari lagi termasuk hari ini. Sekarang kami sudah memasuki paruh kedua, jadi
pergerakan dukungan harus diamati dengan lebih hati-hati dari sebelumnya.
“Tomonari-san!”
“Itsuki!”
Saat
menuju tempat berkumpul, aku disapa oleh keduanya secara bersamaan.
“Tennouji-san,
Narika…”
Tennouji
Mirei dan Miyakojima Narika. Kedua kandidat ketua OSIS itu menatapku dengan serius.
“Aku
sudah melihat video yang kamu kirim kemarin. Jouto Ren… kesan dirinya cukup banyak berubah
ya.”
“Bahkan
melalui video pun, kemampuan berpidatonya bisa terlihat.
Meskipun menyebalkan untuk mengakuinya,
kurasa itu sulit untuk ditiru.”
Kemarin,
aku sudah membagikan video yang aku rekam kepada keduanya. Sepertinya mereka
juga memahami betapa besar ancaman Jouto bagi kami.
Di
belakang mereka, ada Asahi-san dan Taisho juga. Aku sangat berterima kasih
karena mereka mau berkumpul sepagi
ini. Mari kita sampaikan rencana dengan cepat.
“Kupikir rasanya sulit untuk mengalahkan Jouto
dalam pidato saat ini. Namun, bukan berarti kita tidak bisa melakukan strategi pembalasan. Jika mereka berusaha
memperluas kekuatan, kita juga harus melakukan hal yang sama.”
Serangan
adalah pertahanan terbaik. Jika Jouto berusaha memperluas kekuatannya, kita juga harus melakukan hal
yang sama dan mengubahnya menjadi persaingan untuk merebut suara para siswa.
Jouto
pasti mengincar suara yang masih mengambang.
Jika demikian, kita juga harus mengincar hal yang sama.
“Kita
akan mengubah posisi pembagian selebaran. Aku akan pergi ke pintu
belakang.”
“Pintu
belakang?”
Tennouji-san
memiringkan kepalanya dengan keheranan.
“Karena
jumlah siswa yang masuk sekolah
melalui pintu belakang cukup
sedikit, jadi kita tidak terlalu memperhatikannya
sebelumnya, tetapi justru karena itulah,
kupikir ini akan efektif. Dengan mendekati mereka, kurasa akan ada banyak orang
yang mulai tertarik pada pemilihan.”
“Ada
benarnya…”
Narika
setuju.
Pertama-tama,
kita harus dengan hati-hati mengumpulkan suara yang sebelumnya terlewatkan. Ini
mungkin terlihat sederhana, tetapi seharusnya menjadi strategi pertahanan yang
menyeluruh terhadap Jouto.
“Tennouji-san
dan Narika juga, hari ini silakan bagikan selebaran di tempat lain. Tempatnya—”
Aku
memberitahu mereka lokasi untuk mengincar suara yang terlewatkan.
“Asahi-san
dan Taisho, silakan tetap di lapangan seperti biasa.”
“Baik!”
“Serahkan
saja padaku!”
Pembagian
selebaran di lapangan yang ramai akan terus berlangsung. Jumlah selebaran yang
dibagikan akan langsung berkaitan dengan banyaknya siswa yang datang untuk
mendengarkan pidato, jadi kita tidak boleh lupa untuk membagikan sebanyak
mungkin.
Setelah
memberikan instruksi, kami masing-masing bergerak ke tempat yang telah
ditentukan. Aku berjalan cepat dengan membawa selebaran menuju pintu belakang
seperti yang telah aku sampaikan kepada mereka.
Namun di
sana, aku bertemu dengan seseorang yang tidak terduga.
“Minato-senpai…”
“Oh, rupanya Tomonari-kun, toh?”
Minato-senpai yang sedang membagikan selebaran
kepada siswa yang baru saja tiba di akademi,
menoleh ke arahku dan tersenyum.
“Aku
sudah menduga kamu akan datang. Targetmu pasti untuk mengumpulkan suara
mengambang, ‘kan?”
Rasanya
seperti jantungku dicengkeram erat-erat.
Dia
membaca pikiranku…
“Tempat
lain yang mungkin kamu incar adalah lantai satu gedung utama dan koridor
penghubung. Apa Tennouji-san dan Miyakojima-san ada di sana?”
“……”
“Tebakanku tepat sasaran, ya? Jika
iya, kamu sudah terlambat. Kami sudah menggunakan tempat itu.”
Minato-senpai langsung menebak lokasi di mana aku mengarahkan Tennouji-san dan Narika.
Aku
mengenali perasaan dingin ini.
Ternyata
dia bukan sembarang orang yang hanya menjadi murid didikan. Aku merasakan aura yang mirip
dengan Takuma-san dari Minato-senpai.
Namun—.
“Aku
berbeda dari orang itu.”
Sepertinya
dia bisa membaca pikiranku, Minato-senpai membantahnya,
“Dilihat dari reaksimu, kamu pasti sudah mendengar aku ini muridnya siapa di masa
lalu.”
“……Ya.”
Aku
merasa menyesal karena telah mendengarkan tanpa izin.
Minato-senpai tersenyum sinis.
“Aku
berbeda dari orang itu. Apa yang bisa kulakukan hanyalah membuat prediksi.
Pengamatan yang teliti, pengalaman, dan membaca situasi berdasarkan itu. Ini hanyalah kemampuan biasa yang bisa
dimiliki siapa saja dengan usaha.”
Minato-senpai mengejek dirinya sendiri.
Namun, pada saat berikutnya, matanya menatapku
dengan serius.
“Tapi
dengan itu, aku akan mengalahkanmu.”
Tekad
yang kuat menghantamku dan membuatku
terdiam.
“Jika aku
menang… kira-kira bagaimana ekspresi orang itu,
ya?”
Usai
mengucapkan hal itu, Minato-senpai
kembali membagikan selebaran.
Siluet
terakhir Minato-senpai yang terlihat sangat rapuh dan penuh kesedihan.
Pasti ada
emosi yang campur aduk di balik
pernyataan perangnya itu. Aku
mengerti itu. Aku mengerti, tetapi aku tidak memiliki waktu santai untuk bersimpati dengannya.
Aku
segera kembali ke lapangan. Tak lama kemudian, Tennouji-san dan yang lainnya
juga kembali dengan tampak panik.
“Tomonari-san,
maaf. Tempat untuk membagikan selebaran sudah diambil.”
“Di tempatku juga. Maaf, Itsuki…”
Aku
menggelengkan kepala pada kedua orang yang meminta maaf.
“Ini
kesalahanku, jadi jangan meminta
maaf. …Hari ini kita akan membagikan selebaran di lapangan seperti biasa.”
Kami tidak
bisa menghentikan pembagian selebaran.
Karena
itulah, kami akan membagikannya di
lapangan.
Namun,
meskipun aku merasa harus beralih haluan,
perasaan cemas di dalam hatiku tidak bisa
ditekan.
Minato-senpai
merendahkan dirinya sendiri sebagai orang biasa, tetapi itu tidak mungkin.
Karena dia adalah ketua OSIS. Dia adalah orang yang berhasil memenangkan pemilihan yang sedang kami
jalani saat ini. Bagaimana mungkin seseorang yang diharapkan oleh sebagian
besar siswa di Akademi Kekaisaran
untuk memimpin para murid, dan mampu memenuhi harapan itu selama
setahun, dicap sebagai orang biasa-biasa
saja?
Aku tidak
bisa menahan kecemasan karena orang seperti itu telah berpihak pada musuh.
“—Tomonari-kun!”
Pipiku
tiba-tiba dijepit oleh kedua tangan.
....Dengan
telapak tangan kecil yang menjepitku, aku menatap wajah gadis yang berdiri di
depanku dengan terkejut.
“Ahyahi, han…?”
“Kalau
kamu terus melakukannya dengan
wajah murung seperti itu, kamu akan semakin tidak beruntung!”
Aku
tersadar.
Setelah
mulai membagikan selebaran di lapangan, aku sama sekali tidak membagikan satu
pun selebaran. Karena
terlalu cemas, tanpa sadar aku menunjukkan wajah yang membuat orang enggan
mendekat.
Asahi-san
melepaskan tangannya dari pipiku.
“Aku juga
akan mendukungmu, jadi ayo kita berjuang bersama-sama,
oke?”
“…………Ya.”
Aku telah
melupakan hal yang paling mendasar. Yang paling dihargai dalam
pemilihan bukanlah janji, melainkan kepribadian seseorang. Jika aku membagikan
selebaran dengan wajah cemberut, hal itu
justru akan berdampak buruk.
“Terima
kasih, Asahi-san.”
“Sama-sama!”
Aku
berterima kasih kepada Asahi-san yang telah mengingatkanku tentang hal
penting.
Wajahnya
yang ceria membuatku ikut
tersenyum juga.
“Eh?”
Saat itu,
aku merasakan tatapan dari belakang dan menoleh.
Di sana,
ada Narika dan Tennouji-san yang menatapku dengan tatapan yang sangat
tajam.
“Umm… ada apa?”
“…Tidak
ada apa-apa.”
“…Tidak
ada yang penting, kok.”
Mereka
jelas-jelas terlihat seperti ingin mengatakan
sesuatu, tetapi…
Untuk
saat ini, mari kita lanjutkan membagikan selebaran.
◇◇◇◇
Itsuki
tidak mengetahuinya…
Saat itu—Tennouji
Mirei, Miyakojima Narika, dan Konohana Hinako yang diam-diam mengintip dari
gedung sekolah, ketiganya memikirkan hal yang sama.
Itsuki
dan Asahi-san.
Dua orang
ini… bukannya belakangan ini jarak di antara
mereka berdua terlalu
dekat?
Kecurigaan
yang mereka miliki perlahan-lahan semakin meningkat.
◇◇◇◇
(Sudut Pandang Konohana Hinako)
Setelah jam pelajaran pertama selesai, Hinako menghela napas pelan.
(Fyuhh… pelajarannya selesai juga.)
Bagi Hinako, pelajaran di akademi tidak terasa sulit. Dia lebih sering dipaksa belajar materi yang jauh lebih sulit di rumahnya, sehingga dia tidak merasa lelah dengan pelajaran sehari-hari.
Kalau boleh dibilang, lebih tepatnya, berpura-pura sempurna itu sangat merepotkan.
Hinako selalu bersiap-siap agar tidak dipanggil oleh guru kapan saja. Kebiasaan ini sudah ada sejak kecil, jadi dia sudah terbiasa, tetapi jika diberi izin, dia bisa tertidur dalam waktu kurang dari lima detik, karena Hinako suka bermalas-malasan.
(Semoga tidak ada yang memanggilku…)
Sambil mempertahankan kedok Ojou-sama yang sempurna, Hinako berharap waktu yang tenang bisa berlalu begitu saja.
Namun saat itu—dia mendengar suara percakapan dari belakang.
“Tomonari-kun, ada yang terjadi di pidato kemarin…”
“…Oh, itu bisa jadi referensi.”
Ketika mencuri pandang ke belakang, dia melihat kalau Itsuki dan Karen sedang berdiskusi.
Mungkin karena ingin menghindari gangguan dari obrolan di sekeliling mereka, jadi mereka mendekatkan wajah untuk berbicara.
(Su-Sudah kuduga… jarak mereka sangat dekat sekali…!!)
Akhir-akhir ini, keduanya tampak sangat dekat. Saking dekatnya sampai-sampai tidak aneh jika mereka berdua dianggap memiliki hubungan khusus.
Itsuki dan yang lainnya tidak menyadari hal ini. Namun, justru karena mereka tidak menyadarinya, jarak itu terlihat seperti jarak alami antara mereka.
Saat Hinako merasa cemas, percakapan teman-teman sekelasnya terdengar di dekatnya.
“Akhir-akhir ini, mereka berdua kelihatan sangat akrab, ya?”
“Sudah kuduga, sepertinya mereka mulai berpacaran, bukan?”
“Kalau begitu, kita harus merayakannya.”
“Keduanya pekerja keras dan serasi satu sama lain.”
Bukan hanya Hinako, siswa lainnya juga memperhatikan hubungan antara Itsuki dan Karen.
Ini buruk.
Jika dibiarkan seperti ini, situasinya akan semakin rumit…
(…!! )
Hinako berdiri dengan semangat.
Teman-teman sekelas di sekitarnya terkejut, tetapi Hinako berjalan tanpa ragu menuju Itsuki dan yang lainnya—.
“—Apa kalian sedang membahas tentang pemilihan?”
Sambil berakting sebagai gadis sempurna, dia menyapa keduanya.
Itsuki dan Karen sedikit terkejut. Namun, Itsuki segera mengangguk.
“Ya. Saat ini kami sedang memikirkan isi pidato…”
“Sebagai teman, sekali-sekali biarkan aku ikut membantu juga.”
Saat Hinako mengatakan itu, wajah Karen langsung cerah dengan senyuman.
“Bagus sekali, Tomonari-kun! Pendapat Konohana-san sangat berharga!”
“Benar… aku sangat berterima kasih.”
Itsuki terlihat sedikit bingung karena Hinako, yang biasanya ingin istirahat, menawarkan bantuan padanya, tapi ia tetap merasa senang dan mengucapkan terima kasih.
Hinako tersenyum lembut sambil diam-diam menatap tajam Karen.
(Hmph… Itsuki yang sebenarnya tidak berbicara seperti itu…!)
Aku lebih mengenal Itsuki.
(Aku bahkan tahu pola piyama Itsuki…!!)
Kemarin ia memakai piyama motif kotak-kotak, dan sehari sebelumnya warna biru polos.
Hanya karena aku merahasiakannya dari semua orang, sebenarnya aku lebih dekat dengan Itsuki. …Hinako diam-diam dipenuhi semangat persaingan.
◇◇◇◇
(Sudut Pandang Miyakojima Narika)
Setelah jam pelajaran kedua selesai, waktu istirahat pun tiba di akademi.
Narika sedang berbicara dengan seorang gadis kelas satu di koridor dekat pintu kelas.
“Maaf telah merepotkanmu. Padahal ini waktu istirahat yang singkat.”
“Tidak apa-apa, aku juga ingin berbicara dengan Miyakojima-senpai, jadi tidak masalah.”
Teman bicara Narika adalah seorang gadis bernama Nishi.
Dia adalah siswa yang bercita-cita menjadi pengurus administrasi di OSIS. Sebelumnya, saat mengadakan pertemuan teh untuk calon pengurus, Narika bertemu dengannya dan saling bertukar kontak.
“Kalau tidak salah, kamu ingin mendengar lebih lanjut tentang pekerjaan administrasi, ‘kan?”
“Ah, ya. Ada beberapa hal yang ingin kuketahui secara pribadi. Pertama-tama…”
Nishi menjelaskan bahwa dia ingin menjadi pengurus administrasi karena kakak perempuannya juga pernah menjabat hal yang sama. Oleh karena itu, Nishi tampaknya sering mendengarkan kakak perempuannya tentang pekerjaan administrasi. Narika meminta Nishi untuk membagikan informasi itu.
(Ternyata, pekerjaan administrasi mirip dengan pemasaran…)
Narika berpikir demikian sambil mendengarkan cerita Nishi.
Di OSIS Akademi Kekaisaran tidak ada jabatan yang bertanggung jawab untuk hubungan eksternal. Peran hubungan eksternal, yang bernegosiasi dengan organisasi luar untuk melaksanakan berbagai acara, akan diambil alih oleh pengurus administrasi.
Meskipun jabatan pengurus administrasi biasanya terkesan sebagai pekerjaan kecil, di antara pengurus OSIS yang berkualitas tinggi di Akademi Kekaisaran, mungkin pekerjaan kecil tidak terlalu banyak muncul. Penghitungan dilakukan oleh bendahara sendirian, dan pencatatan dilakukan oleh sekretaris sendirian. Jadi, secara alami, pekerjaan utama pengurus administrasi di Akademi Kekaisaran adalah bernegosiasi dengan orang lain. Satu-satunya jabatan yang memiliki banyak tugas adalah ketua, tetapi tugas tersebut biasanya diselesaikan oleh wakil ketua.
(…Hmm?)
Sambil mendengarkan cerita Nishi, Narika tiba-tiba melihat sosok yang dikenalnya di sudut pandangnya.
Itsuki dan Karen berjalan di koridor dengan suasana akrab dan menenangkan.
“Jadi, sebenarnya tidak ada alasan bagi kita untuk merasa sungkan…”
“Hmm… sepertinya tidak ada salahnya untuk mencobanya.”
Narika tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan, tetapi keduanya menunjuk ke berbagai tempat seperti bagian belakang koridor atau gedung kelas satu yang terlihat dari jendela, sambil berdiskusi.
Sepertinya mereka berdua tampak bersenang-senang…
(Keduanya… bukannya jarak di antara mereka terlalu dekat…!?)
Karena mereka sedang membicarakan pemilihan OSIS, jadi mereka tidak bisa berbicara terlalu keras.
Namun, meskipun begitu, Narika merasa keheranan mengapa jarak wajah mereka begitu dekat? Mereka sudah beberapa kali bersentuhan bahu dan siku… Ah, sekarang, jari mereka juga sempat bersentuhan!
Melihat suasana di antara mereka berdua, Narika mulai merasa cemas.
Gelagat mereka berdua mirip seperti sepasang kekasih.
“Miyakojima-senpai?”
“Ah, tidak, bukan apa-apa!?”
Ketika penasaran dengan pembicaraan Itsuki dan Karena, perhatian Narika jadi teralihkan. Dia mencoba mengalihkan fokusnya dan kembali berkonsentrasi pada cerita Nishi. Namun, setelah berpisah dengan Nishi, Narika segera mengintip ke ruang kelas sebelah. Di sana, dia menemukan Itsuki yang berdiri di dekat pintu masuk kelas.
“……………………Itsukii.”
Narika memanggil Itsuki dengan suara kecil, menyentuh punggungnya.
“Ap-Apa?”
“Tadi… kamu sedang membicarakan apa dengan Asahi-san…?”
Narika menatap Itsuki dengan tajam. Namun, Itsuki menjelaskan dengan santai.
“Kami sedang mempertimbangkan lokasi untuk membagikan selembaran. Sekarang setelah masalah dengan Rintarou teratasi, Asahi-san mengusulkan agar kita bisa beraktivitas di gedung kelas satu.”
Karena dia adalah kakak perempuannya Rintarou, jadi ada banyak bahan pembicaraan, lanjutnya.
Narika terus menatap Itsuki dengan tajam.
“Hmmmmm…”
“Ke-Kenapa kamu menatapku seperti itu?”
“……Bukan apa-apa. Aku hanya berpikir kalau kamu terlihat bersenang-senang.”
Narika memalingkan wajahnya dengan bibir yang cemberut.
Meskipun sikapnya jelas menunjukkan rasa cemburu, Itsuki dengan bingung membuka mulutnya.
“Tentu saja aku senang. Jika semuanya berjalan lancar, aku bisa membantumu.”
“Hmmmm!!”
Wajah Narika mendadak merah.
(Ti-Tidak adil…!!)
Itu adalah serangan mendadak. Tak disangka, dia akan dibilang seperti itu untuk dirinya sendiri…
“……Jika kamu membuatku jatuh cinta lebih jauh, aku tidak tahu apa yang akan terjadi.”
“Jatuh cinta…!”
Itsuki jugaikut tersipu saat melihat wajah Narika yang memerah hingga telinga.
“……Ak-Aku akan hati-hati.”
Bel berbunyi.
Sambil menundukkan kepala untuk menyembunyikan kemerahan di wajah mereka berdua, keduanya kembali ke kelas masing-masing.
◇◇◇◇
(Sudut Pandang Tennouji Mirei)
Saat istirahat makan siang.
Setelah menghabiskan makan siangnya dengan cepat, Mirei memberikan pidato di depan halaman sekolah.
“Kami akan menjadi pemimpin di masa depan. Oleh karena itu, kami ingin kalian tahu. Karisma yang memikat orang-orang bukanlah sesuatu bawaan dari lahir!!”
Pertarungan pemilihan sudah memasuki tahap akhir. Mirei, yang semakin terbiasa berbicara di depan banyak siswa, terus melontarkan kata-kata sambil mengamati reaksi mereka.
(Pidato Jouto Ren sangat mengesankan. Namun—aku tidak boleh goyah.)
Pada malam sebelumnya, Mirei merasa terpukul setelah menonton video yang dikirim Itsuki. Meskipun menjengkelkan, pidato Ren memang sempurna. Saat ini, ia bukanlah lawan yang bisa dihadapi Mirei. Dalam situasi yang tersisa hanya beberapa hari ini, Mirei segera menyadari bahwa meniru hanya akan membuatnya semakin tertinggal.
Namun, pemilihan bukan hanya tentang kemampuan berpidato.
Tanpa goyah, percaya pada diri sendiri, dan terus melakukan kampanye dengan tenang. Mirei berpikir bahwa itulah yang harus dia lakukan saat ini.
Sambil menyampaikan perasaannya kepada para siswa, Mirei menyadari keberadaan Itsuki yang mengawasinya.
Di sampingnya, ada Asahi Karen.
(………………)
Bukannya mereka terlalu dekat?
Tidak, dia memahami bahwa mereka tidak bisa disalahkan. Para siswa berkumpul dengan rapat di depan Mirei, dan Itsuki serta Karen berdiri di pusat kerumunan tersebut. Mungkin mereka tertekan oleh kerumunan di sekitar.
Jika kamu menenangkan pikiranmu, bahkan api akan terasa sejuk—.
Mirei berusaha menenangkan hatinya. Sekarang saatnya untuk fokus pada pidato.
“Ketika aku menjadi ketua OSIS, aku akan memastikan bahwa kalian bisa belajar bagaimana berperilaku sebagai pemimpin di akademi ini! Dan—”
Saat Mirei berbicara dengan penuh semangat, tiba-tiba, Itsuki dan Karen terpaksa berada dalam posisi pelukan karena didorong oleh para siswa di sekitar mereka.
“A-Asahi-san…?”
“Ma-ma-ma-ma-ma-maaaf! Tadi ada yang mendorongkku! Aku akan segera menjauh!”
“Ti-Tidak apa-apa kok. Jangan khawatir…”
“A-Ahaha… rasanya agak memalukan, ya.”
Keduanya saling menatap dalam jarak yangdekat, pipi mereka dipenuhi rona memerah.
Cahaya kehidupan dari mata Mirei langsung memudar.
“――――Aku juga akan menegakkan aturan tentang pergaulan yang tidak sehat.”
Tanpa sadar, Mirei mengucapkan janji baru.
Para hadirin memiringkan kepala mereka dengan kebingungan.
Pada saat itu, Mirei tersadar.
(Gawat—!! Aku keceplosan!!)
Dia telah mengucapkan sesuatu yang aneh.
Sambil berkeringat dingin yang mengalir deras, pikirannya berputar. Otak jenius yang terus diasahnya, sebanding dengan Konohana Hinako, tiba-tiba terlintas ide.
“――Tapi, itu cuma bercanda!!”
Mirei berkata dengan nada suara yang sedikit tinggi.
“Setelah permainan manajemen berakhir, tampaknya banyak siswa yang sedikit lengah. Aku berharap bisa menggunakan pemilihan ini sebagai kesempatan untuk menunjukkan perilaku yang tidak memalukan sebagai siswa Akademi Kekaisaran.”
Dengan semangat yang tinggi, siswa-siswa bertepuk tangan untuk memuji sikap santunnya.
Mirei yang berhasil keluar dari situasi sulit, mulai menghela napas lega.
(Jika boleh dikatakan, itu adalah cara yang brilian untuk menyamarkannya...)
Setelah pidato selesai, para pendengar kembali ke kelas.
Ketika Mirei melihat ke arah Itsuki, ia juga sedang menatapnya. Begitu pandangan mata mereka bertemu, Itsuki menunjukkan ekspresi sedikit meminta maaf dan pergi ke suatu tempat. Mungkin dia pergi untuk melihat Narika. Atau mungkin ia pergi untuk mengawasi kubu Jouto Ren.
Saat siswa-siswa mulai menyebar, Mirei menemukan sosok Karen.
Dia merasa ragu untuk memanggilnya. Ada sesuatu yang ingin dia tanyakan. Namun, jika dia bertanya, hubungan baik yang dia miliki saat ini mungkin akan hancur.
Setelah merenungkannya dalam-dalam dan berjuang dengan perasaannya…………………… Mirei akhirnya mengingat siapa dirinya.
Aku adalah Tennouji Mirei. Putri satu-satunya dari grup Tennouji.
Aku bukan wanita yang takut dengan kegagalan.
“――Asahi-san!”
“Ya!?”
Saat dia memanggil namanya dengan penuh tekad, suaranya menjadi lebih keras dari yang diharapkan.
Kedua bahu Karen tersentak kaget dan menoleh.
“Eh, ah, rupanya Tennouji-san, ya. Aku sangat terkejut saat tiba-tiba mendengar suara keras itu.”
“Ma-maaf. Aku sedikit terlalu bersemangat.”
Mirei meminta maaf.
Karen memiringkan kepalanya ke arah Mirei, yang tampak gugup.
“A-A-A-A-Apa boleh aku blak-blakan menanyakan sesuatu padamu…?”
Mirei menatap Karen dengan serius dan bertanya.
“Ap-Apa pendapatmu.... tentang Tomonari-san?”
Mirei bertanya dengan wajah memerah, dan Karen terkejut dengan matanya yang terbuka lebar.
Beberapa detik berlalu—waktu yang terasa seperti beberapa menit bagi Mirei.
Karen, yang terkejut sampai kehilangan kata-kata, akhirnya tersenyum dengan tenang, seolah-olah dia sepenuhnya memahami perasaan Mirei.
Karen perlahan membuka mulutnya.
“……Sejujurnya, kurasa aku mungkin mulai menyukainya.”
“Menyukainyaaaaaa!?”
Mirei mengeluarkan suara aneh.
Dia buru-buru menutup mulutnya dengan kedua tangan. Mirei tidak pernah menyangka bahwa dirinya telah mengeluarkan suara yang sama sekali tidak sesuai dengan citra dirinya yang anggun.
“Tapi, aku merasa ada orang lain yang lebih cocok untuk berdiri di samping Tomonari-kun. Jadi, mungkin perasaan sukaku ini hanya sebatas suka sebagai teman. …Aku akan menganggapnya seperti itu.”
Karen menjelaskan dengan singkat dan jelas, tetapi Mirei merasakan bahwa di balik perkataannya terdapat kerumitan masalah yang dia alami. Pasti itulah kesimpulan yang dia dapat setelah berjuang dengan pikirannya sendiri.
“Ja-Jadi, begitu ya……………”
Mirei tidak tahu ekspresi wajah seperti apa yang harus ditunjukkan, sehingga dia hanya menutup erat bibirnya.
Apa dia sudah menyerah? Atau mungkin dia mundur karena alasan yang tidak jelas atau tidak memuaskan?
Setidaknya, Mirei bukanlah gadis rendahan di mana dirinya merasa senang setelah mendengar perkataan Karen. Fakta bahwa temannya mundur lebih menyakitkan daripada berkurangnya jumlah saingan.
“……Apa kamu tidak menyesal dengan keputusan itu?”
Mirei bertanya dengan serius.
Namun, Karen tampak agak santai meski sedang berpikir.
“Hmm, yah… kalau aku sampai merasa menyesal, saat itu berarti aku akan benar-benar menyukainya sebagai pria.”
“Eh?”
“Kurasa aku tidak perlu terburu-buru dalam hal ini.”
Dia ternyata memiliki pemikiran yang lebih kuat daripada yang Mirei duga.
“Be-Be-Be-Begitu ya……”
Mirei mulai merasa panik.
Jika dia tidak benar-benar merenungkan hal ini, satu-satunya masalah yang tersisa adalah bertambahnya jumlah rival.
“Ngo-Ngomong-ngomong....”
Mirei bertanya dengan hati-hati.
“Menurutmu siapa orang yang pantas untuk berada di samping Tomonari-san...?”
Jika nama Konohana Hinako disebutkan di sini, dia mungkin akan mengeluarkan suara aneh lagi.
Mirei mempersiapkan dirinya untuk tetap tenang tidak peduli nama siapa saja yang disebutkan.
Karen lalu menjawab Mirei sambil tersenyum,
“Misalnya saja, mungkin Tennouji-san?”
Setelah berkata demikian, Karen kembali ke gedung sekolah terlebih dulu.
Senyum dan sikapnya itu…
Karen jelas-jelas bisa melihat perasaan Mirei dan membuatnya terdiam sejenak,
“……………………Fuee....”
Wajahnya memerah, dan dia menunduk.
Dia sudah ketahuan――――.
◆◆◆◆
(Sudut Pandang Itsuki)
Saat istirahat makan siang.
Setelah memastikan pidato Tennouji-san, aku menuju ke arah gedung bekas OSIS. Taisho dan Kita sedang mendengarkan pidato Narika. Jika ada sesuatu, kedua orang itu pasti akan melaporkannya padaku.
“Hinako, maaf sudah membuatmu menunggu.”
“Hmm… terima kasih buat kerja kerasmu.”
Ketika aku membuka pintu atap, Hinako melihat ke arahku dan melambaikan tangannya dengan lesu. Matanya terlihat mengantuk. Mungkin dia baru saja tidur siang.
Alasan aku kembali ke gedung bekas OSIS bukanlah untuk bersantai dengan Hinako―――― juga bukan untuk mengantarnya ke dalam kelas, karena dia sering tersesat jika sendirian.
Sebenarnya, aku memang harus mengantarnya ke kelas, tetapi hari ini ada urusan penting yang lain.
Aku menutup pintu dan mendekati Hinako. Pada saat yang sama, ponselku berdering.
“Padahal aku baru saja datang…… tolong tunggu sebentar, ya.”
Aku mengeluarkan ponselku yang bergetar dan menjawab panggilan itu.
Setelah berbicara sebentar di depan Hinako yang memiringkan kepalanya, aku menyimpan kembali ponselku ke dalam saku.
“Itsuki…… kamu tadi berbicara dengan siapa?”
“Ayahnya Asahi-san.”
“Eh………………”
Entah kenapa wajah Hinako tampak berkedut.
“Ap-Apa kamu, menyapa orang tuanya……………………!?”
“Yah, bisa dibilang aku memang menyapanya.”
“―――”
Wajah Hinako seketika terlihat pucat.
Padahal itu bukan sesuatu yang perlu membuatnya terkejut.
“Sebenarnya, aku sedang memikirkan strategi.”
Aku menjelaskan karena dia mungkin salah paham.
“Aku membicarakannya terlebih dahulu karena mungkin melibatkan banyak orang. Aku juga membicarakannya dengan orang tua Taisho pagi ini.”
“Ah…… begitu……”
Hinako menunjukkan bahwa dia mengerti.
“Alasan kenapa kamu ingin membicarakan sesuatu padaku juga terkait dengan hal itu…?”
“……Iya.”
Aku sudah memberi tahu Hinako sebelumnya bahwa ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengannya saat istirahat makan siang.
Aku mulai menceritakan detailnya.
“Pagi ini, peringkat dukungan terbalik dan kami kalah dari kubu Jouto. Kamu sudah mengetahuinya, ‘kan?”
“Hmm.”
Hinako balas mengangguk.
“Baru pertama kalinya peringkat dukungan terbalik selama periode pemilihan ini. Tapi menurutku, fakta bahwa kita sudah terbalik sekali saja sudah cukup berbahaya.”
“Memang…… mungkin begitu.”
Seperti biasa, dia memang Ojou-sama yang sempurna.
Pembicaraan kami bisa langsung sejalan. Dia segera mengerti apa yang ingin aku sampaikan.
“Tennouji-san dan Narika sudah menjadi sosok yang sangat dominan sejak awal. Semua orang pasti berpikir bahwa taring kedua orang itu tidak akan menghancurkan Jouto. Namun, sekarang peringkat dukungan terbalik untuk pertama kalinya, semua orang mulai meragukan. Mungkin Tennouji-san dan Narika akan kalah…… mungkin juga pria bernama Jouto Ren memang orang yang sangat luar biasa.”
Benteng yang dianggap sempurna. Namun di sana, muncul retakan kecil sebesar satu milimeter. Begitu ada retakan, itu tidak lagi menjadi benteng.
Pembalikan peringkat dukungan memberikan kemungkinan kemenangan kepada pihak Jouto. Para siswa mulai memperhatikan kemungkinan ini. Siswa-siswa yang sebelumnya tidak berharap pada Jouto kini mulai memiliki harapan.
Artinya, aku―――― merasa tertekan.
Setelah Asahi-san memperingatkanku pagi ini, aku berusaha untuk tidak menunjukkannya di wajahku. Namun, perasaan cemasku tidak kunjung hilang.
Aku sudah memikirkan langkah untuk membalikkan keadaan sejak berbicara dengan Takuma-san.
Tetapi langkah itu bisa dibilang sebagai pilihan terpaksa bagiku.
“……Baiklah.”
Hinako tersenyum lembut.
“Seperti yang kukatakan pagi ini, aku mendukungmu, Itsuki…… jadi aku akan membantu apapun yang diperlukan.”
Mungkin Hinako sudah mengerti semua yang akan kuminta darinya.
Aku akan memanfaatkan niat baiknya sekarang.
“Hinako, tolong pinjamkan aku kekuatanmu.”
◆◆◆◆
Sepulang sekolah. Aku sedang mengamati pidato Jouto.
“――Maka dari itu, hari ini kami juga mengundang dukungan, jadi mari kita dengarkan pembicaraan ini.”
Setelah menyelesaikan pidatonya, Jouto menyerahkan mikrofon kepada seorang siswi yang berdiri di belakangnya dan melangkah mundur.
“Aku Minato Maki. Dari sini, aku akan menjelaskan janji-janji yang diusung oleh Ren-kun.”
Minato-senpai mulai berbicara dengan percaya diri.
Sepertinya hubungan mereka sudah pada titik untuk saling memanggil dengan nama depan. Apa mereka memang sudah dekat itu sebelumnya, atau mungkin mereka secara strategis mengubah sebutan satu sama lain?
Tampaknya Jouto berencana untuk terus memanfaatkan sebaik-baiknya senjata berupa Minato-senpai.
Jika demikian, kami tidak punya pilihan lain selain melaksanakan rencana ini.
Aku keluar dari kerumunan siswa yang terpesona oleh pembicaraan Minato-senpai dan menuju tempat Tennouji-san. Kali ini, tempat Tennouji-san berpidato adalah lounge. Tempat luas di mana Hinako mengadakan pertemuan untuk permainan manajemen.
“Aku Tennouji Mirei. Semuanya, terima kasih telah berkumpul di sini hari ini.”
Begitu aku masuk ke dalam ruangan, aku mendengar suara Tennouji-san. Tepat waktu, sepertinya acara akan segera dimulai.
Sesuai rencana, Tennouji-san mulai dengan pidato biasa.
Mendengarkan pidato Tennouji-san yang stabil membuat perasaanku menjadi tenang. Aku yakin bukan hanya aku yang merasa tertekan terhadap Jouto yang berhasil membalikkan peringkat dukungan. Namun, Tennouji-san tidak menunjukkan sedikitpun rasa cemas, dia memberikan pidato yang selalu percaya diri.
“Hari ini, aku mengundang tamu spesial yang mendukungku.”
Saat pidato mencapai titik akhir, Tennouji-san berkata.
Sekarang…… ini adalah langkah untuk membalikkan keadaan.
Setelah Tennouji-san mundur, dua siswa maju ke depan.
“Namaku Asahi Karen.”
“Aku Taisho Katsuya.”
Setelah mereka berdua memperkenalkan diri, terdengar kata-kata “Murid dari pertemuan pesta teh yang mulia” dari suatu tempat.
Seperti biasa, keduanya memiliki banyak koneksi. Pertama-tama, aku akan memanfaatkan kekuatan mereka.
“Dari pandangan kami, Tennouji-san selalu terlihat anggun dan keren. Mungkin di antara kalian juga ada yang mengagumi Tennouji-san.”
“Karena itulah, kami berharap jika Tennouji-san menjadi ketua, kami juga bisa hidup dengan cara yang tidak memalukan bagi akademi ini.”
Asahi-san dan Taisho, yang dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa membedakan, menyampaikan kata-kata yang sangat berkaitan dan mengundang empati dari siswa-siswa.
Di tengah banyak siswa yang mengangguk, keduanya melanjutkan pembicaraan.
“Bahkan dalam permainan manajemen, Tennouji-san telah melakukan banyak M&A, tapi semua orang yang terlibat selalu mendapatkan hasil yang memuaskan. Tennouji-san adalah orang yang berani mengambil tantangan, tapi dia tidak akan mengabaikan siapa pun.”
Asahi-san menyampaikan bahwa itulah sebabnya mereka bisa mempercayai Tennouji-san.
“Ngomong-ngomong, sebagai tambahan, kami telah memutuskan untuk mencoba bisnis penjualan barang elektronik yang kami kerjakan dalam permainan ini di dunia nyata!”
Siswa-siswa bereaksi dengan “Ohh~.”
Permainan manajemen adalah materi pelajaran khas di Akademi Kekaisaran, dan itu adalah acara khusus di mana kemampuan siswa muncul secara langsung. Hasil yang dicapai dalam acara tersebut, dan lebih jauh lagi, penerapannya dalam kenyataan, merupakan prestasi yang langka dan menjadi objek pujian dan kekaguman bagi siswa-siswa.
Demi mendapatkan izin berbicara tentang hal ini di depan umum, aku telah berbicara dengan ayah Asahi-san selama istirahat siang. Aku juga telah mendapatkan izin dari orang tua Taisho. Keduanya dengan senang hati menyetujuinya karena ini bisa menjadi promosi.
“Sejujurnya, tahun lalu kami tidak pernah berpikir bisa mencapai hasil seperti ini dalam permainan manajemen. Tapi tahun ini, setelah berhubungan dengan orang-orang seperti Tennouji-san, kurasa kami mengalami perubahan pola pikir.…… Kami mulai bisa berpikir bahwa kami ingin menjadi orang yang terhormat seperti dirinya.”
Orang yang paling merasakan empati terhadap pernyataan Taisho adalah aku.
Meski akulah yang meminta keduanya untuk berkolaborasi dalam pidato, tetapi naskahnya ditulis sendiri oleh mereka. Setelah membaca naskah yang selesai sebelum pidato, aku sangat merasakan empati terhadap kalimat Taisho ini.
Ketika ada orang mulia di sampingku, perasaan untuk menjadi orang yang pantas muncul.
Aku tidak tahu bagaimana menyebut perasaan ini. Aku tidak mengerti, tetapi Tennouji-san ingin menyebarkan perasaan ini ke seluruh akademi.
Ingin menjadi orang yang pantas.
Demi orang mulia yang berdiri di sampingku――.
Demi AAkademi Kekaisaran――.
“Terima kasih banyak, kalian berdua.”
Sambil mengucapkan terima kasih kepada Asahi-san dan Taisho, Tennouji-san maju lagi ke depan.
“Hanya satu hal yang ingin aku tambahkan.”
Sambil mengatakan itu, entah kenapa Tennouji-san malah menatapku.
“Bisnis yang dimaksud dan hubungan kami, semuanya dimulai dari teman kita di sana, Tomonari Itsuki-san. Tanpa keberadaannya, kami tidak akan ada di sini sekarang.…… Tanpa diragukan lagi, orang yang paling berkontribusi adalah Tomonari-san.”
Di sudut panggung, Asahi-san dan Taisho tersenyum dan menunjukkan persetujuan dengan “Benar” dan “Ya, itu benar.”
……Aku tidak menyangka namaku akan disebut.
Ketika aku terkejut mendengar sesuatu yang tidak ada dalam naskah, siswa-siswa di sekelilingku memberikan tepuk tangan dengan tatapan hangat. Meskipun sedikit malu, aku akan menerima dan berterima kasih dengan tulus.
Ketika Asahi-san dan Taisho pindah ke sisi panggung, seorang siswi lain muncul secara bergantian.
“Namaku Suminoe Chika.”
Aku bisa melihat para penonton terpesona sejenak oleh sikapnya yang anggun. Namun, di detik berikutnya, suara kuat Suminoe-san menggema di seluruh area lounge.
“Menurutku, daya tarik Tennouji-sama adalah――――!!”
Suminoe-san yang menggenggam tinjunya dengan semangat berbicara seolah-olah dia adalah penyanyi enka.
(Padahal sudah kuperingati untuk jangan berlebihan, tapi……)
Aku teringat percakapan kami saat aku meminta bantuan Suminoe-san.
――Aku mohon padamu, tolong berpidato dengan biasa saja, ya.
――Hah? Memangnya kamu pikir aku akan melakukan kesalahan di depan Tennouji-sama?
Mungkin itu memang bukan kesalahan, tetapi sekitar setengah siswa tampak terkejut.
Yah, mungkin tidak apa-apa jika ada satu orang yang seperti penggemar fanatik seperti ini. Ini mungkin bisa menunjukkan popularitas Tennouji-san.…… Tapi, aku berharap itu tidak menjadi seperti sekte baru.
(……Sepertinya sudah saatnya untuk mengakhiri ini.)
Karena semangat Suminoe-san kelihatan tidak mau berhenti, aku memberi isyarat kepada Taisho dan Asahi-san untuk membawanya keluar dari panggung dengan paksa.
“Terakhir, aku ingin memperkenalkan orang ini!”
Tennouji-san memanggil tamu terakhir.
Siswa-siswa pasti sudah menyadari semua rencana yang kami ambil.
Dari balik panggung, seorang gadis yang dikenal semua orang muncul.
“Salam sejahtera, semuanya.”
Hanya dengan berdiri di atas panggung, suasana langsung terasa tegang.
Gadis yang memiliki julukan sebagai Ojou-sama sempurna itu tersenyum lembut.
“Aku Konohana Hinako.”
Sorakan para siswa pun meledak.
Ruangan lounge bergetar. Pemandangan itu mirip ketika Minato-senpai muncul saat pidato Jouto. Tidak, suasananya justru lebih meriah.
Hinako sudah lama bungkam selama masa pemilihan OSIS, sehingga kemunculannya di sini mengejutkan semua murid.
Namun, di balik antusiasme siswa-siswa, aku merasa campur aduk.
Takuma-san berkata begini kemarin.
“Mata dibalas mata, gigi dibalas gigi.” — Jika kubu lawan menyiapkan dukungan berupa Minato Maki, kita juga harus membalasnya dengan dukungan berupa Konohana Hinako.
Meskipun Takuma-san yang mengusulkan rencana ini, aku merasa ragu untuk melaksanakannya hingga pagi ini ketika melihat pergeseran dukungan. Ada dua alasan untuk keraguanku.
Pertama, keberadaan Hinako terlalu mencolok. Hinako merupakan siswa yang paling menarik perhatian di Akademi Kekaisaran. Jika aku meminta bantuannya, dia bukan hanya sekadar dukungan, tapi justru bisa menjadi kekuatan utama. Dengan adanya keberadaan Hinako di garis depan, ada risiko bayangan Tennouji-san dan Narika menjadi redup. Itulah sebabnya kami berusaha semaksimal mungkin untuk tidak melibatkan Hinako. Aku merasa Hinako juga sedikit berhati-hati agar tidak terlibat lebih jauh karena dia tidak berpartisipasi dalam pemilihan.
Alasan kedua adalah aku tidak ingin membebani Hinako. Dia tidak suka berdiri di depan umum seperti ini. Aku merasa berat hati untuk meminta Hinako, yang merasa kesulitan dengan akting sehari-hari, untuk membantu dalam cara seperti ini.
Namun, situasinya berubah ketika Minato-senpai bergabung dengan tim Jouto.
Kami tidak punya pilihan lain selain melawan dengan strategi serupa, memanfaatkan ketenaran pihak ketiga. Meskipun kami berusaha keras untuk melawan sendiri, siswa-siswa akan berpikir, “Memangnya tidak ada orang seperti Minato Maki di tim ini?” Jika terus begini, Tennouji-san dan Narika akan dianggap kurang dihormati dibandingkan Jouto.
Masalah ini segera muncul dalam bentuk pergeseran dukungan.
Jadi aku memutuskan untuk meminta bantuan Hinako.
Itu adalah keputusan yang pahit dan sulit. Berbeda dengan Minato-senpai yang akan segera lulus, Hinako adalah murid kelas dua yang seumuran dengan Tennouji-san dan Narika.
Dengan karisma aslinya, ada kekhawatiran yang tidak bisa diabaikan bahwa dia akan selalu dibandingkan.
“……Terima kasih, Konohana Hinako!”
Tennouji-san mengucapkan terima kasih kepada Hinako.
Hinako hanya menyampaikan kelebihan Tennouji-san. Namun, hal itu sudah cukup untuk membuat suasana di ruangan menjadi sangat kompak, jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pernyataan Hinako mewujudkan cita-cita Akademi Kekaisaran.
Sekarang, aku berharap para pendengar di sini tidak lebih tertarik pada Hinako daripada pada Tennouji-san……
(……Sepertinya itu hanya kekhawatiran yang tidak perlu.)
Melihat reaksi siswa-siswa di sekitarku, aku menyadari bahwa kecemasan ini tidak beralasan. Hinako bersembunyi di balik panggung, dan Tennouji-san melangkah maju.
Kekhawatiran terbesarku ialah siswa-siswa di sini akan berpikir, “Mungkin lebih baik jika Hinako yang menjadi ketua OSIS.”
Namun, jika dipikirkan dengan baik, itu sudah tidak mungkin terjadi.
Meskipun di awal pemilihan mungkin tidak ada masalah, dengan hanya beberapa hari tersisa, hampir semua siswa sudah memutuskan kepada siapa mereka akan memberikan suara. Dalam hal ini, mereka pasti sudah mantap dalam keputusan mereka. Mereka percaya pada orang ini.
(Semua orang…… benar-benar melihat Tennouji-san.)
Tidak ada satu pun siswa yang mengikuti Hinako yang turun ke panggung dengan tatapan mata mereka. Semua siswa yang berkumpul di sini hanya menatap Tennouji Mirei.
Awalnya, semua orang mungkin bingung ketika mengetahui bahwa Hinako tidak mencalonkan diri sebagai ketua OSIS. Mereka mungkin bingung siapa yang harus didukung dalam pemilihan OSIS tanpa kehadiran Hinako.
Namun, sekarang mereka tidak berada dalam tahap itu lagi. Semua orang sudah menghadapi kenyataan.
Ketua OSIS berikutnya akan dipilih dari antara Tennouji Mirei, Miyakojima Narika, dan Jouto Ren.
“Dengan demikian, aku akan menutup pidato hari ini!!”
Sambutan meriah menghujani Tennouji-san.
Dengan hasil yang memuaskan, aku merasa lega dan menuju ke belakang panggung.
Ketika membuka pintu dan masuk ke dalam ruang tunggu, Hinako sedang duduk sendiri di kursi dan beristirahat. Sepertinya Asahi-san dan yang lainnya sedang mengobrol dengan Tennouji-san di atas panggung.
“Hinako.”
Aku memanggil Hinako yang sedang beristirahat.
“Maaf ya, aku sudah membuatmu berdiri di depan umum.”
Apa dia sudah merasa lelah?
Namun, Hinako menggelengkan kepala dan berkata “Tidak apa-apa”,
“……Mungkin ini yang pertama.”
“Eh?”
Hinako berkata sambil tersenyum kecil,
“Ini mungkin pertama kalinya aku berperan sebagai Ojou-sama yang sempurna untuk seseorang……”
Setelah mendengar perkataannya, aku jadi teringat ketika Hinako mengalami demam selama liburan musim panas.
Hinako telah berubah. Sedikit demi sedikit, terus-menerus, sejak pertama kali kami bertemu……
Meskipun dia masih merasa kelelahan karena harus berakting, dia sudah jarang mengalami demam. Meskipun sebelumnya dia sangat mengutamakan tidur, kini dia semakin sering bangun pagi untuk menyesuaikan dengan jadwalku. Ketika datang ke kamarku di malam hari, dia tidak langsung tidur, tetapi lebih suka mengobrol.
Hinako jauh lebih tangguh daripada yang kubayangkan.
Kekhawatiranku ternyata tidak beralasan. Dengan Hinako yang sekarang, semua ini terasa mudah baginya.
“Apa kamu bisa membantu sekali lagi untuk pidato Narika?”
“Hmm…… serahkan padaku.”
Hinako mengangguk, dan kami kembali ke lounge.
Ketika aku membuka pintu, Jouto sudah berdiri di depanku.
“Jouto-kun.... rupanya kamu datang, ya?”
“Ya. Aku melihat pidato tadi.”
Usai mengatakan itu, Jouto menatap Hinako dengan tajam.
“Kamu baru muncul di waktu sekarrang?”
Jouto berkata dengan nada yang penuh kebencian.
“Kamu benar-benar egois sekali. Kamu tidak akan menjadi ketua OSIS, tapi tetap ingin memengaruhi hasil pemilihan?”
Akulah yang meminta bantuan Hinako. Jouto seharusnya menyadari hal itu, tetapi dia mengabaikanku dan hanya menatap Hinako.
Pernyataan Jouto bisa saja dibalas dengan perkataan yang sama. Jouto tidak seharusnya mengeluarkan komentar seperti itu setelah memanfaatkan Minato-senpai.
Namun, karena merasakan perasaan Jouto yang campur aduk, aku hanya bisa terdiam. Mungkin, Jouto lebih menginginkan Hinako menjadi ketua OSIS daripada siapa pun.
“Awalnya, aku tidak berniat untuk berdiri di depan umum.”
Hinako yang diserang dengan kemarahan yang tidak berdasar menjawab dengan tenang.
“Namun, setelah melihat kegiatan Tennouji-san dan Miyakojima-san, aku berubah pikiran.”
“Berubah pikiran……?”
Hinako mengangguk sambil tersenyum pada JouTo.
“Akulah yang dipengaruhi.”
Hinako menunjuk dirinya sendiri dan melanjutkan,
“Yang memberikan pengaruh adalah Tennouji-san dan Miyakojima-san.”
Hinako menatap Tennouji-san yang berdiri di atas panggung dan berkata,
“Jika hanya melihatku, kalian akan terjebak, lho?”
Hinako menatap Jouto dengan tegas.
Dia menyatakan bahwa dirinya bukan lagi pihak yang memberikan pengaruh. Hinako mengungkapkan bahwa orang yang berdiri di atas panggung bukanlah dirinya.
Jouto menggigit bibirnya, dan akhirnya membuka mulut dengan ekspresi penuh penyesalan.
“……Aku tidak akan kalah dari siapapun kecuali kamu.”
Kami hanya bisa diam dan melihat Jouto yang mulai berjalan pergi.
◆◆◆◆
Setelah itu, kami melaksanakan strategi serupa dalam pidato Narika.
Orang yang ikut serta dalam dukungan adalah Asahi-san, Taisho, dan Hinako, ditambah dengan Kita. Kita menggantikan Suminoe-san.
Kita tampaknya belum terbiasa berbicara di depan umum, tetapi saat saatnya tiba, ia dengan semangat menjelaskan pesona Narika.
“Miyakojima-san adalah orang yang terus berubah. Hingga setahun yang lalu, dirinya banyak disalahpahami, tetapi meskipun menghadapi kesalahpahaman itu, dia berjuang dengan sepenuh hati dan akhirnya menjadi seseorang yang mampu berpartisipasi dalam pemilihan OSIS ini.…… Aku percaya tidak ada orang yang lebih kuat daripada mereka yang mampu mengubah diri mereka sendiri. Aku mendukung Miyakojima-san yang terus berusaha untuk menjadi versi dirinya yang lebih baik dari lubuk hatiku.”
Aku merasa terharu saat mendengar pidato Kita.
Aku sudah mengenal Narika sejak kecil. Itulah sebabnya aku tahu betapa kerasnya dia berusaha untuk mengubah dirinya.
Apa yang dikatakan Kita memang benar.
Narika kuat, lebih kuat dari siapa pun.…… Tidak ada manusia yang lebih kuat daripada mereka yang mampu mengubah diri mereka sendiri.
Saat mengusap air mata yang mulai menggenang di sudut mataku, pidato Narika pun selesai. Kegiatan pemilihan hari ini pun berakhir. Setelah memberi ucapan terima kasih kepada Narika, kami bersiap untuk pulang.
Setelah membereskan mikrofon yang digunakan untuk pidato, aku berbicara pelan kepada Hinako yang menunggu di lapangan.
“Hinako, bisakah kamu pulang lebih dulu hari ini?”
“Bisa-bisa saja sih, tapi…… bagaimana denganmu, Itsuki?”
“Aku akan tinggal sedikit lebih lama di akademi. Ada sesuatu yang ingin kulakukan.”
Melihat Hinako yang memiringkan kepalanya, aku melanjutkan.
“Sejak kami diserang dengan kampanye negatif, kami selalu berada di posisi bertahan. Kali ini, aku ingin mengambil inisiatif.”
Aku sudah merencanakan hal itu, tetapi untuk melaksanakannya, aku perlu izin dari pihak akademi, jadi aku ingin berkonsultasi dengan para guru sekarang.
“……Baiklah. Aku akan pulang lebih dulu agar tidak mengganggu.”
“Bukan berarti kamu mengganggu.”
“Ehm…… kalau begitu, aku akan terus menempel padamu.”
“……Maaf, itu mungkin mengganggu.”
Ditempel terus-menerus rasanya sedikit……
Bukan berarti aku tidak menyukainya, tapi……
Setidaknya, Hinako setuju, jadi aku memutuskan agar dia pulang lebih dulu. Setelah berpisah dengan Tennouji-san, Asahi-san, dan Taisho di depan gerbang sekolah, aku kembali menuju gedung sekolah.
Ternyata, ada satu orang lagi yang menuju gedung sekolah seperti diriku.
“Narika?”
“Eh, Itsuki?”
Sepertinya Narika juga belum pulang.
Kami berjalan berdampingan menuju gedung sekolah.
“Itsuki, kamu juga tidak pulang?”
“Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengan guru.…… Apa kamu juga ada keperluan, Narika?”
“Iya, apa kamu ingat Nishi-san yang kita bicarakan di acara teh kemarin? Aku berencana untuk mendengarkan tentang pekerjaan sekretarisnya. Aku sudah janjian untuk bertemu di kafe sekarang.”
“Jika diingat-ingat lagi, saat acara teh itu, Narika sangat tertarik dengan pekerjaan sekretaris, ya?”
“Memang! Tak kusangka kalau perannya jauh lebih beragam daripada yang kubayangkan! Ini pekerjaan yang menarik!”
Narika mengatakannya dengan senyuman tulus.
“Aku juga berpikir untuk mengubah sedikit isi pidato. Selain ketua dan wakil ketua, sepertinya semua anggota lainnya sudah ditentukan, jadi kurasa tidak ada salahnya membicarakan mereka.”
“Begitu ya. Kalau begitu, apa aku boleh menyebutkan nama-nama mereka dan meminta izin dari semua orang? Narika tinggal meminta izin dari Nishi-san. Sisanya biar aku yang meminta izin langsung pada Abeno-san dan Yodogawa-kun.”
“Terima kasih!”
Menyertakan informasi tentang anggota lainnya dalam pidato adalah ide yang bagus. Sepertinya hal itu bisa menarik perhatian siswa. Ini juga sejalan dengan janji Narika yang mengutamakan hubungan dengan orang lain.
Aku segera mengeluarkan smartphone dan menghubungi Abeno-san yang akan menjadi bendahara dan Yodogawa yang akan menjadi sekretaris berikutnya.
Belum sampai satu menit, aku menerima pesan balasan salah satu dari mereka.
“Baiklah, aku sudah mendapat izin dari Abeno-san.”
“Wah, cepat sekali. Eh, Itsuki, sejak kapan kalian bertukar kontak?”
“Ketika acara teh itu selesai. Aku tahu hal seperti ini akan terjadi.”
Sepertinya Yodogawa akan memerlukan sedikit lebih banyak waktu, tapi aku mendapat kesan bahwa ia juga orang yang sangat sopan. Aku mungkin akan mendapat balasan dalam sehari.
“Namun, Abeno-san…… tak disangka kalau tulisan pesannya cukup imut juga, ya?”
“……Benarkah?”
“Ya.”
Pada awalnya Abeno-san mempunyai kesan yang kaku, tetapi dalam pesan balasan yang dikirimkan padaku, ada emoji kucing yang imut. Mungkin dia menyukai hal-hal yang imut.
Saat berpikir demikian, aku tiba-tiba menyadari bahwa Narika diam-diam menutup mulutnya.
“.....”
“……Narika?”
Entah kenapa, Narika yang mengerutkan bibirnya sambil menatapku dengan tajam.
“…………Aku berharap kamu jangan terlalu sering menyebut perempuan lain imut di depanku.”
Narika berkata demikian sambil tersipu.
Aku tidak menyangka dia akan merasa cemburu sejelas ini, dan aku terdiam sejenak.
Tanpa sadar…… tanpa sadar, aku memang menganggap Narika sekarang ini imut.
“……………………………………iya.”
Jawaban yang berhasil aku keluarkan terasa tidak bisa menyembunyikan kegugupan.
Namun, Narika masih berkata dengan nada cemberut.
“Belakangan ini juga, kamu tampaknya cukup akrab dengan Asahi-san…”
“Tidak, aku tidak menjalin hubungan semacam itu dengan Asahi-san…”
“Tapi, kita tidak pernah tahu bagaimana perasaannya, ‘kan?”
Setelah mendengar itu, aku tidak bisa membalas apa-apa.
Tidak, tapi, mana mungkin Asahi-san menganggapku sebagai orang yang seperti itu.…… Meskipun aku mengatakan itu, mungkin itu tidak ada artinya.
Narika berhenti sejenak.
“Itsuki, dengarkan baik-baik.”
Narika berkata dengan tatapan serius yang menatap wajahku.
“Aku juga manusia loh. Jadi, suatu saat, mungkin aku akan mencapai batas kesabaranku.”
Aku merasakan tekanan yang sulit dijelaskan, dan aku hanya bisa mengangguk tanpa berkata apa-apa.
“Jika aku sudah tidak bisa menahan diri…”
“Ji-Jika kamu sudah tidak bisa menahan diri…?”
Ketika aku bertanya kembali, Narika perlahan-lahan bergerak mendekatiku. Sesaat berikutnya, Narika menjepit pipiku dengan kedua tangannya—
“Aku akan mencium bibirmu.”
Dia mengungkapkan sesuatu yang sangat memalukan dengan sangat serius.
“Ma-Maafkan aku…”
Mulai sekarang, aku harus berhati-hati supaya Narika tidak sampai mencapai batas kesabarannya.
Namun, meskipun aku sudah meminta maaf, Narika tidak melepaskan wajahku.
“……Narika?”
“……”
“……Narika? Tu-Tunggu sebentar!? Kamu terlalu dekat! Terlalu dekat!”
Apa jangan-jangan dia sekarang sudah mencapai batas kesabarannya!?
Melihat wajah Narika yang semakin mendekat, berbagai risiko terlintas di benakku. Sekarang adalah masa pemilihan. Ditambah lagi, saat ini merupakan masa-masa genting dengan waktu yang tinggal beberapa hari lagi. Jika skandal terungkap di sini, dan orang-orang salah memahami bahwa Narika yang merupakan calon ketua dan aku yang merupakan calon wakil ketua adalah sepasang kekasih—
(Semuanya akan berakhir…!!)
Bukan hanya tingkat dukungan saja yang menurun. Di dalam pikiranku, terbayang pemandangan di mana para siswa akademi ini berteriak, “Jangan bawa-bawa hubungan percintaan dengan pemilihan OSIS!” sambil melakukan protes. Jika melihat hal seperti itu, aku pasti akan menangis. Demi Narika, di sini aku harus tetap tenang dan menegurnya.
Saat aku berpikir begitu――.
“Miyakojima... senpai?”
Ada suara yang terdengar dari samping, dan aku menoleh.
Di sana sudah ada Nishi-san, yang seharusnya akan diajak bicara dengan Narika.
“Ah, ehmm, jadi, kalian berdua, memang memiliki hubungan yang seperti itu...?”
“Tidak―――― tidak, mungkin lebih baik jika kita menganggapnya seperti itu dan menjadikannya sebagai kenyataan...”
“Tidak benar! Itu sama sekali tidak benar! Aku dan Narika tidak memiliki hubungan yang seperti itu!!”
Aku berusaha keras untuk menghalangi Narika yang tampaknya akan mencapai kesimpulan yang mengerikan.
“Eh, jadi, mana yang benar? Siapa yang harus aku percayai!?”
“Aku! Aku! Aku aku aku!! Percayalah padaku!”
“Kalau Senpai mengatakannya sampai sepanik, rasanya malah jadi mencurigakan...”
Lalu, apa yang harus kulakukan!!
“Ngomong-ngomong, ada gosip kalau Tomonari-senpai memang suka bermain-main dengan wanita....”
“Benarkah!?”
Ini adalah kejutan terbesar tahun ini.
“Ah, tapi sekarang ada cerita bahwa itu semua cuma kesalahpahaman. ...Sebenarnya, sampai baru-baru ini, kabarnya Tomonari-senpai berasal dari keluarga kaya terkenal, dan menggunakan kekayaan untuk selalu dikelilingi oleh wanita cantik.”
Itu adalah rumor yang beredar hingga baru-baru ini, dan sekarang sudah mereda. Aku memiliki pengetahuan tentang serangkaian hal itu.
(Rintarou............)
Secara tidak sadar, aku menggenggam tinju. Mungkin aku harus benar-benar marah padanya. Sepertinya ia sudah menyebarkan kampanye negatif yang sangat parah.
“Tapi, melihat penampilan kalian berdua sekarang, rumor itu jadi memiliki kredibilitas...”
“Tidak ada!! Benar-benar tidak ada!!”
Aku menggelengkan kepala dengan sekuat tenaga, dan Narika kembali membuat wajah lesu.
“..................Padahal kamu tidak perlu menyangkal sekeras itu.”
“Narika, tolong diam sebentar...!!”
Karena situasinya akan menjadi semakin rumit...!!
◆◆◆◆
Keesokan harinya, kesalahpahaman Nishi-san entah bagaimana bisa teratasi.
Pagi ini, setelah membagikan selebaran seperti biasa, aku bertemu dengan Tennouji-san dan Narika sepuluh menit sebelum pelajaran dimulai. Kami berencana untuk melakukan sedikit pembicaraan.
“…I-Itsuki?”
"…"
“Ma-Maaf. Kemarin aku terlalu berlebihan. Jadi, tolong jangan abaikan aku…!!”
Narika yang menangis meminta maaf membuatku menghela napas. Ya, sepertinya dia benar-benar menyesalinya, jadi aku memutuskan untuk memaafkannya. Lagipula, aku juga memiliki andil dalam masalah ini karena kurangnya kepekaan.
Tennouji-san tampak bingung dengan percakapan kami, jadi aku menggelengkan kepala dan memberi isyarat bahwa “Tidak ada apa-apa.”
“Tomonari-san. Rencana yang kita bicarakan akan dilaksanakan sepulang sekolah hari ini, ‘kan?”
“Ya.”
Saat aku balas mengangguk, Tennouji-san tersenyum dengan percaya diri.
“Aku terkejut dengan rencana yang kamu bagikan padaku tadi malam. ...Untuk Tomonari-san, itu langkah yang sangat beraniTapi itulah yang membuatnya begitu menarik.”
Aku yakin Tennouji-san akan mengatakan itu.
“…Aku bisa melampiaskan semuanya setelah melihat pidato Jouto-kun.”
Pidato Jouto yang serius memiliki kekuatan luar biasa dan membuat kami merasa sedikit terbebani. Namun, justru karena itulah, aku bisa memutuskan dengan cepat bahwa kami tidak boleh bertarung di arena yang sama.
Masalahnya, di arena mana yang seharusnya kami bertarung… Setelah memikirkan itu, aku kembali menyadari perbedaan antara kami dan Jouto.
Takuma-san pernah berkata. Di dalam Akademi Kekaisaran, ada siswa tipe politikus dan ada juga yang tipe pengusaha.
Jouto adalah tipe politikus.
Dan kami adalah―― tipe pengusaha.
“Kita akan bertarung dengan cara kita sendiri.”
Kami tidak bisa menang melawannya dalam bidang politik. Jika memang begitu, kami akan menerima tantangannya dalam bidang bisnis.





