Chapter 2 — Tipe Pengusaha
Setelah
pelajaran pertama di sore hari selesai, sewaktu
istirahat, Taisho dan Asahi-san datang mendekati
mejaku.
“Nah,
Tomonari. Apa maksud dari selebaran yang dibagikan hari ini?”
“Aku
juga penasaran. Isinya berbeda dari biasanya, ya~”
Mereka
berdua tampak mempertanyakan isi selebaran yang berbeda
dari biasanya. Meskipun aku ingin jujur kepada mereka yang telah membantu,
…
“…
Maaf. Saat ini aku ingin menjaga kerahasiaan sebisa mungkin.”
“Eh~~!!
Padahal aku sangat penasaran~~!!”
“Aku
sampai tidak bisa konsentrasi di kelas saking penasarannya.”
“Taisho-kun, bukannya kamu biasanya juga begitu?”
Asahi-san
dengan tenang menimpali Taisho.
Seperti
yang mereka katakan, isi selebaran yang dibagikan pagi ini benar-benar berbeda.
Pada selebaran dari Tennouji-san, hanya ada satu kalimat pendek yang
tertulis.
Di
selebaran Tennouji-san tertulis:
[Sepulang sekolah,
di lapangan]
Dan di
selebaran Narika tertulis:
[Sepulang sekolah,
di halaman tengah.]
Keduanya
tidak mencantumkan apa yang akan dilakukan.
Dengan
hanya menyebutkan waktu dan tempat secara singkat, selebaran tersebut
menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan siswa, dan menjadi topik pembicaraan
setiap kali istirahat. Bukan hanya Asahi-san dan Taisho yang langsung bertanya
padaku tentang apa yang akan dilakukan.
Istirahat
berakhir, dan pelajaran terakhir hari ini dimulai.
Setelah
pelajaran itu selesai dan waktunya pulang
sekolah —aku melompat keluar dari kelas.
Dengan
cara yang sama, Tennouji-san dan Narika melompat keluar dari kelas di lantai
dua gedung sekolah. Kami bertukar tatapan sejenak, lalu masing-masing
mengangguk dan segera menuju tempat kami.
Inti dari
rencana ini adalah sensasi langsung.
Jika
tidak dilakukan dengan cepat… dan tiba-tiba, maka
semuanya jadi tidak ada artinya.
Aku
berlari ke ruang ganti yang biasa digunakan untuk pelajaran olahraga, mengambil
kostum dari tas, dan segera mulai berganti pakaian. Setelah memeriksa
penampilanku di cermin, aku segera menuju ke tempat pertama di lapangan. Aku
harus siap sebelum siswa-siswa pulang.
Sesampainya
di lapangan, Suminoe-san sedang menyiapkan panggung. Aku mengucapkan terima
kasih singkat kepada Suminoe-san yang dengan cekatan menyiapkan peralatan pengeras suara, lalu
segera membantunya.
Setelah
beberapa saat kemudian,
Tennouji-san datang ke lapangan.
Tennouji-san
yang mengenakan gaun biru berjalan anggun di lapangan. Banyak siswa yang pasti terpikat oleh
penampilannya. Siswa-siswa yang seharusnya keluar dari kelas untuk pulang pasti
langsung memutuskan untuk mampir setelah melihat sosok cantik Tennouji-san
melintas di depan mereka. Apa yang akan terjadi selanjutnya… dengan penuh
harapan, mereka mengikuti langkah Tennouji-san.
Dengan
demikian, Tennouji-san datang ke lapangan diiringi banyak siswa. Pada saat yang
bersamaan, seorang pria dewasa yang mengenakan jas tuxedo muncul dari gerbang
sekolah. … Ia datang tepat
waktu. Aku merasa sangat bersyukur.
Persiapan
sudah selesai.
Perhatian
para siswa pun sudah terfokus.
Aku
memberi isyarat kepada Tennouji-san dan mengangguk.
Tennouji-san
tersenyum dengan percaya diri.
“Baiklah—kita
mulai.”
Saat pria
berpakaian tuxedo mendekati Tennouji-san, musik mulai mengalun dari speaker. Di tengah kejutan siswa, Tennouji-san
mulai menari dansa sosial dengan pria di depannya.
Waltz
lambat yang lembut menonjolkan gerakan elegan Tennouji-san, dan dalam sekejap memikat siswa-siswa yang terkejut. Suara
riuh segera tenggelam dalam keheningan. Ruang yang suci dan tak terjamah
terbentuk di tengah lapangan.
—Pemasaran
Gerilya.
Sebuah
strategi iklan yang berani, tidak konvensional, dan bersifat mendadak. Itulah
yang disebut pemasaran gerilya, dan itulah rencana yang kami jalankan.
Ketika
aku memutuskan untuk melawan tipe politikus Jouto
dengan cara bertarung tipe pengusaha, aku memikirkan strategi untuk memasarkan
Tennouji-san dan Narika sebagai produk. Dua produk ini harus lebih diminati
daripada produk Jouto Ren.
Itulah syarat kemenangan kami.
Nilai
jual Tennouji-san adalah sikapnya yang mulia. Demi
memperkenalkan hal itu kepada lebih banyak siswa, aku memutuskan untuk menyarankannya
menari.
Keanggunan
Tennouji-san tidak bisa disampaikan hanya melalui pidato. Mungkin teman sekelas
sudah mengenal keanggunan Tennouji-san dari pelajaran sehari-hari, tapi pasti
banyak bagian yang tidak tersampaikan kepada siswa junior dan senior. Oleh
karena itu, memperagakan hal ini di depan umum memiliki nilai yang besar.
Janji
Tennouji-san adalah menjadikan akademi tempat di mana siapa pun bisa menjalani kehidupan dengan mulia.
Lantas, apa
artinya menjalani kehidupan dengan mulia?
Jawabannya,
sekarang ditunjukkan oleh Tennouji-san.
(…………Luar
biasa. Lapangan ini terasa seperti ruang dansa.)
Aku
hampir melupakan bahwa ini adalah tempat terbuka, karena saking begitu terpesonanya aku
dengan tarian Tennouji-san. Gerakannya yang lembut sangat artistik, membuatku
tidak bisa menahan decak kagum.
Pasangan
dansa Tennouji-san tampaknya adalah instruktur tari sosial yang dekat dengan
keluarga Tennouji. Jika Tennouji-san menjadi ketua OSIS, pertunjukan ini juga
sekaligus sebagai promosi untuk mengundang orang itu sebagai instruktur di
akademi.
Dalam isi kampanye negatif, ada desas-desus
bahwa pendapatan instruktur etiket akan masuk ke saku Tennouji-san, tetapi itu
takkan terjadi. Meskipun mereka akrab, instruktur etiket adalah orang luar. Sejak awal tidak pernah ada hubungan
keuangan yang tidak sehat.
Setelah
tiga lagu selesai, Tennouji-san dan pasangan menarinya
sama-sama membungkuk.
Ketika Tennouji-san
menerima tepuk tangan meriah, dia menatap ke arahku dengan mata
yang berkilau.
“Tomonari-san!!”
Butiran
keringat kecil yang terkena sinar matahari senja membuat Tennouji-san terlihat
bersinar memukau.
Setelah dipanggil
oleh Tennouji-san, aku merapikan kerah tuxedo-ku.
Selanjutnya,
aku akan menari dengan Tennouji-san.
Bukan
hanya seorang penari profesional, tetapi Tennouji-san sendiri yang memutuskan
untuk menari denganku. Setelah aku menjelaskan rencanaku pada malam sebelumnya,
Tennouji-san menekankan bahwa dia ingin siswa-siswa belajar etika, dan model
kasusnya juga diperlukan.
Dengan
kata lain—aku yang hanya seorang siswa pindahan biasa, akan menunjukkan bahwa
aku bisa menari dengan layak bersama Tennouji-san.
Menampilkan
pemandangan itu kepada semua orang merupakan
cara untuk memberikan kredibilitas pada janji Tennouji-san.
Huu,
aku menghela napas kecil, mencoba menenangkan ketegangan di dalam tubuhku.
(…………Ayo!!)
Dengan
semangat, aku menghadapi Tennouji-san.
Aku
meletakkan tangan kananku di bahu Tennouji-san dan membentuk posisi pegangan.
Musik mulai mengalun, jadi aku perlahan memutar tubuhku ke kanan.
Saat aku
mulai berputar secara alami, tubuhku mulai bergerak sendiri.
Aku
teringat saat-saat sebelum liburan musim panas ketika Tennouji-san
mengajarkanku menari. Teknik yang diajarkan pada hari itu sepertinya masih
melekat dalam tubuhku. Menari dengan Tennouji-san membuat ingatan itu semakin
jelas.
Aku tidak
merasa takut. Ketegangan yang kurasakan sebelumnya tiba-tiba
menghilang.
Waktu
yang aku habiskan untuk belajar menari dari Tennouji-san tidak terlalu lama.
Namun, aku merasa seolah-olah sudah menari bersamanya ribuan kali. Kenangan saat menari bersama
Tennouji-san terukir kuat di dalam
ingatanku.
“Itsuki-san.”
Tennouji-san
memanggilku dengan suara lembut.
“Kamu benar-benar sudah banyak berkembang.”
“……Semuanya berkat Tennouji-san.”
Dia benar-benar orang yang pemberani. … Aku sedikit terkejut
ketika dia memanggil nama depanku di hadapan banyak siswa, tapi
dalam situasi ini, berbicara secara pribadi memang tidak
akan didengar oleh siapa pun.
Tempat
ini adalah suaka kami.
Sebuah
panggung cahaya yang paling mencolok, di mana tidak ada orang lain yang bisa
masuk.
“Seberapa
banyak keberanian yang aku dapatkan dari usahamu……”
Tennouji-san
menatapku langsung sambil berbisik demikian.
Dengan gerakan Reverse Turn, kami kembali ke
tengah lapangan.
“Demi dirimu juga, aku akan menjadi ketua OSIS.”
Tennouji-san
tampak sangat berwibawa saat dia
mencurahkan keyakinannya yang mendalam.
Tatapan
matanya berbeda dari tatapan biasanya
yang penuh semangat untuk bertanding. Tatapan mata
Tennouji-san bagaikan danau tenang yang tidak
bergelombang. Bagi Tennouji-san, tujuan untuk menjadi ketua OSIS mungkin bukan
hanya sesuatu yang dikejarnya,
tetapi sebuah misi yang harus dia capai.
“Silakan
bantu kami dengan kuesioner!!”
Aku
mendengar suara Suminoe-san. Saat aku melirik ke arah sana
sambil menari, Suminoe-san sedang membagikan kuesioner
kepada siswa-siswa sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.
Daya
tarik pemasaran gerilya terletak pada kesenangan dari acara yang tidak
konvensional. Kali ini, aku tidak ingin merusak konsep acara mendadak, jadi aku
memutuskan untuk membatasi jumlah kolaborator seminimal mungkin untuk
meningkatkan kerahasiaan.
Aku sedikit ragu untuk melibatkan Taisho dan
Asahi-san sebagai kolaborator, tetapi
akhirnya tidak melakukannya. Alasannya adalah karena mereka merupakan model ideal siswa. Aku merasa lebih baik jika mereka
menikmati acara ini dari sudut pandang yang sama dengan semua orang daripada
dijadikan kolaborator.
Dan dugaanku
ternyata benar. Asahi-san
terlihat menonton tarian kami bersama teman-teman sekelasnya. Sikap Asahi-san yang murni menikmati acara ini
pasti memberikan pengaruh positif kepada siswa lainnya.
Aku tidak
melihat sosok Taisho, tetapi mungkin dirinya
pergi ke tempat Narika.
Setelah
melihat Suminoe-san membagikan kuesioner
kepada Asahi-san, aku
kembali fokus pada tarian dengan Tennouji-san. Aku tidak akan lengah di akhir
pertunjukan dan akan menari dengan sempurna.
Analisis
data dari kuesioner juga
merupakan strategi yang dikuasai oleh tipe pengusaha. Meskipun hanya tersisa
beberapa hari untuk masa pemilihan, mulai hari ini hingga hari terakhir, aku
memutuskan untuk melakukan survei setiap kali. Aku akan secara rutin menanyakan
kepada siswa tentang apa yang mereka harapkan dari Tennouji-san dan Narika.
Setelah
tarian selesai, kami mendapatkan tepuk tangan yang meriah.
“Sepertinya
ini sukses, ya?”
Di tengah
hujan tepuk tangan, Tennouji-san tersenyum puas. Kupikir
aku juga memiliki ekspresi serupa.
Ketika
aku merancang pemasaran gerilya, aku merasa pandanganku semakin luas.
Kegiatan
pemilihan tidak hanya tentang pidato. Ada lebih banyak hal yang bisa dicoba.
Tipe politisi seperti Jouto mungkin
mahir dalam pidato dan akan terus melakukannya, tetapi kami, tipe pengusaha,
memiliki cara bertarung yang berbeda. Justru menciptakan
medan perang itu sendiri adalah keahlian kami.
Aku
berpikir bahwa pasar yang disebut pemilih mungkin sudah merasa bosan dengan
kegiatan pemilihan yang hanya berisi pidato. Itulah sebabnya, acara seperti ini
menyentuh hati mereka.
Di pasar
saat ini, pidato sudah terlalu banyak.
Maka, sampai
kami memberikan pasokan baru.
“Tennouji-san.
Aku akan segera pergi…”
“Kamu mau pergi ke tempatnya Miyakojima-san, ‘kan? Aku juga mendoakan kesuksesan di
sana.”
Aku juga
melaksanakan strategi yang serupa di pihak Narika. Meskipun,
isinya sangat berbeda.
Aku
berusaha menuju Narika yang berada di halaman tengah.
Tepat
sebelum itu—Tennouji-san berkata,
“Jangan
ragu untuk membusungkan dada.”
Tennouji-san
menatapku dengan
wajah yang sedikit berkeringat.
“Kamu
sudah setara denganku.”
Kata-kata
itu menggema dalam hatiku.
Tidak ada
waktu. Aku sedikit melonggarkan kerah tuxedo dan berlari menuju halaman
tengah.
Di tengah
perjalanan, pandanganku mulai kabur.
(…………Gawat.)
Aku
hampir menangis.
Tennouji-san
mengucapkan kata-kata yang paling aku inginkan.
Rasanya
sungguh tidak adil dia mengatakan itu di tempat dan waktu
seperti ini. Kata-kata itu sangat menyentuhku, mengingat kembali diriku yang
masih awam saat belajar menari dari Tennouji-san.
Sambil
berlari, ada banyak
kenangan yang muncul
kembali. Saat pertama kali aku ditegur untuk menjaga postur, saat belajar
pelajaran dan etika, saat belajar bersama di kelas musim panas, dan saat dia
menemaniku dalam permainan manajemen.
Aku
memberi tahu Tennouji-san bahwa aku ingin setara dengannya saat dia membantuku
beristirahat sejenak selama permainan
manajemen. Saat itu, kami juga
menari bersama seperti
sekarang.
Sejak
saat itu, aku tampaknya sudah berkembang dengan baik.
Aku tahu.
… Ini bukan tujuanku.
Aku belum
benar-benar setara dengan Tennouji-san. Pandangan bahwa kami setara hanya
berlaku pada momen ini, dalam situasi tertentu saja.
Meski begitu,
aku merasa sangat senang karena upayaku diakui sampai-sampai membuatku
hampir menangis.
…Masih ada banyak pekerjaan yang harus
kulakukan.
Aku tidak
bisa menangis di sini.
Setibanya
di halaman tengah, ada banyak
siswa yang sudah berkumpul. Seperti di pihak
Tennouji-san, orang-orang juga berkumpul di pihak Narika, yang membuatku merasa
tenang. Selain itu, ini adalah kejutan yang menyenangkan, ada beberapa siswa
yang mengikuti dari lapangan seolah-olah mengejarku. Karena tidak sempat
berganti pakaian, aku berlari dengan tuxedo ini, tetapi tampaknya ini menjadi
promosi yang baik.
Setelah
melewati kerumunan, aku sampai di tengah halaman, dan Kita sedang mempersiapkan
sesuatu.
“Kita-kun, maaf. Aku jadi menyerahkan persiapan ini
padamu.”
“Tidak
masalah, kok.”
Jawaban
Kita disertai dengan keringat yang mengalir di dahinya. Namun, Kita melanjutkan dengan
senyum yang penuh semangat.
“Aku juga
mendukung Miyakojima-san, dan aku
ingin membantu.”
Perasaan
murni itu pasti sudah tersampaikan pada Narika.
Berkat
persiapan yang dilakukan Kita, aku hampir tidak perlu membantu. Terakhir, aku
menyesuaikan posisi tatami yang terhampar di lantai, lalu mengambil
mikrofon.
“Baiklah sekarang, kami—”
Aku
melirik Narika yang menunggu di tengah tatami.
Narika
mengangguk singkat.
“—Kami
akan mempersembahkan teknik iai-jutsu
oleh calon ketua OSIS, Miyakojima Narika.”
Narika
yang mengenakan kimono
hitam menatap tajam ke arah tiang bambu di depannya.
Jika dilihat
secara sekilas, siswa-siswa yang berkumpul di sekeliling juga ikut menahan napas.
Dulu,
tatapan itu dianggap menakutkan. Namun, setelah kompetisi, Narika secara
perlahan menghapus kesalahpahaman, dan kini sikapnya yang anggun telah menjadi
senjata yang tak tertandingi.
Dalam
pemasaran gerilya kali ini, aku ingin menyampaikan pesona Narika dan
Tennouji-san sebagai manusia kepada semua orang. Namun, meskipun tujuan
keduanya sama, aku berpikir untuk memisahkan arah strategi.
Tennouji-san
telah merancang strategi untuk menyampaikan pesonanya yang sudah dikenal dengan
lebih konkret. Hasilnya adalah pertunjukkan tarian
itu.
Bagi
siswa Akademi Kekaisaran, pesta
dansa adalah acara yang sangat akrab. Ketika Tennouji-san
menjadi ketua, berbagai kelas akan diadakan, dan suatu hari mereka mungkin bisa
menari dengan anggun seperti itu. Memberikan visi konkret seperti itu kepada
siswa merupakan tujuan dari strateginya.
Di sisi
lain, aku merasa pesona Narika belum sepenuhnya tersampaikan.
Lebih
tepatnya, aku merasa apa yang disampaikan saat ini kurang cukup.
Seperti
yang telah disampaikan Kita dalam pidatonya, pesona terbesar Narika adalah
kemampuannya untuk terus berkembang. Namun, pesona itu hanya dapat dirasakan
oleh orang-orang yang selalu melihatnya, tapi hal itu
sulit dipahami bagi yang lain. Jika pun mereka memahami, daya
tarik untuk terus berkembang bisa saja ditafsirkan sebagai tidak ada apa-apa sekarang.
Karena Narika telah menunjukkan hasil dalam permainan manajemen, sebagian besar
siswa tidak akan terlalu pesimis, tetapi menyerahkan diri kepada orang asing
terasa seperti harapan yang tidak pasti.
Oleh
karena itu, aku ingin menunjukkan salah satu
pesona Narika yang bisa diperlihatkan sekarang.
Aku sudah
memberi tahu siswa-siswa lain seperti Nishi-san
dan Abeno-san serta yang lainnya,
bahwa Narika adalah ahli dalam seni bela diri dan seni bunga. Di bidang ini,
bisa dibilang dia tidak memiliki saingan.
“Su—”
Narika
menarik napas dengan tenang. Pada saat itu, aku merasakan konsentrasinya
semakin tajam seperti pedang yang diasah.
Naruka
terus berkonsentrasi, dalam-dalam, dengan tenang,
seolah-olah membenamkan dirinya tanpa henti.
Meskipun ada begitu banyak orang berkumpul,
tiba-tiba muncul keheningan yang sempurna. Suara daun yang bergoyang oleh angin
pun terdengar.
“Ha――――!!”
Dalam sekejap.
Narika mengayunkan pedangnya.
Ayunan
pedangnya terlihat begitu sangat indah sehingga semua
orang terpesona. Namun, aku tidak bisa melihat pedang Narika. Meskipun aku
merasa sudah memperhatikan dengan seksama, mungkin aku sempat berkedip tepat
sebelum itu.
Tetapi,
aku merasakan ada yang aneh.
Bambu
yang seharusnya sudah dipotong tetap tidak berubah bentuknya.
Jangan-jangan...
dia memotongnya dari udara? Tidak, biasanya Narika memang terlihat tidak
percaya diri, tapi dalam hal seni bela diri, dia memiliki bakat yang luar
biasa. Mana mungkin dia melakukan kesalahan seperti itu
di depan orang banyak...
Sementara
rasa cemasku semakin
menguat, Narika menyimpan pedangnya dan membungkuk dengan anggun.
Kemudian,
Narika menyentuh bambu dengan sarung pedangnya.
Bambu itu
bergetar, dan setengah bagian atasnya jatuh ke tanah.
“..........................
Hah?”
Apa
maksudnya?
Artinya, Narika
benar-benar telah memotong bambu itu. Namun, karena gerakan pedangnya terlalu
tajam, bambu itu tidak jatuh, dan tetap berada di tempatnya meskipun sudah
dipotong?
..........................
Hah?
Memangnya
manusia bisa melakukan hal seperti itu...?
Setelah
sedikit tertunda, tepuk tangan mulai terdengar. Beberapa detik kemudian, tepuk
tangan yang meriah diberikan kepada Narika. Sepertinya semua orang membutuhkan
waktu untuk memahami situasi ini.
Narika
tampak bangga seolah semuanya berjalan sesuai rencana, tetapi aku melihat
dengan jelas. Sebelum dia mendapatkan tepuk tangan, wajahnya terlihat panik seakan menyiratkan, “Apa
aku melakukan kesalahan?”
Ngomong-ngomong,
Narika memang selalu seperti ini. Di permainan manajemen pun, dia tanpa sadar
mengalahkan pesaing lain... Dia adalah orang yang hanya bisa melakukan nol atau
seratus.
(... Yah,
bisa dibilang ini
berhasil.)
Dengan
tepuk tangan sebanyak ini, mana
mungkin pertunjukkan ini disebut
gagal.
Bagian
yang terpotong dari bambu yang jatuh di tatami terlihat sangat indah. Tidak
mungkin itu adalah hasil karya manusia. Saking hebatnya, aku hampir
terkejut.
Bagaimanapun,
dengan ini aku bisa menunjukkan bahwa Narika memiliki sesuatu yang unik.
Fakta
bahwa dia memiliki keahlian yang tidak kalah dengan siapa pun di akademi yang
dihuni oleh siswa-siswa unggul pasti akan menarik perhatian mereka.
Saat aku
merasa lega atas keberhasilan pemasaran gerilya ini, tepuk tangan yang sangat
meriah menggema.
Aku
berbalik dan melihat Jouto
berdiri di sana.
“Sungguh gerakan yang luar biasa,” katanya
sambil mendekati Narika.
“Mumpung ada kesempatan seperti ini,
boleh aku mencobanya
juga?”
“Eh...?”
Setelah
mengambil pedang dari Narika, Jouto berdiri di depan
bambu cadangan.
Jouto memejamkan matanya, menarik
napas dalam-dalam dan dengan cepat mengeluarkan pedangnya dari sarung.
“Fu――!”
Pedang
tersebut diayunkan dengan penuh tekad, memotong
bambu secara miring.
Bambu
yang terpotong jatuh ke tatami.
“Hmm...
Seperti yang kuduga, aku tidak bisa
mengalahkan Miyakoima-san.”
Setelah
menyimpan pedangnya, Jouto mengelus bagian yang terpotong dari bambu dan
berkata.
Tepuk
tangan kembali menggema. Namun, kali ini yang menjadi sasaran tepuk tangan
adalah Jouto, bukan Narika.
(...........
Kita kecolongan.)
Seharusnya
aku sudah menyelidikinya terlebih dulu.
Tak kusangka
kalau
Jouto juga memiliki pengetahuan tentang iaijutsu.
Tentu saja,
kemampuannya tidak sebanding dengan Narika. Namun, Jouto memiliki keterampilan
yang lebih dari cukup untuk seseorang yang tiba-tiba muncul.
Pemasaran
gerilya adalah strategi iklan yang bersifat dadakan. Aku berniat menggunakan
sifat ini untuk menciptakan pertunjukan yang membuat Jouto dan timnya tidak
dapat merespons tepat waktu, tetapi... dalam arti tertentu, Jouto justru
melakukan intervensi yang paling mendadak.
Kedatangan
Jouto yang tiba-tiba membuat penonton bersorak.
Setelah
mengembalikan pedang kepada Narika, Jouto menerima mikrofon dari Rintarou yang
berdiri di sampingnya.
“Miyakojima-san, aku punya saran.”
Suara Jouto
menggema di halaman tengah melalui mikrofon dan speaker.
“Bagaimana
kalau kita bersaing dengan otak selanjutnya?”
“O-Otak...?”
Wajah Narika
menjadi pucat.
...
Bodoh. Jangan menunjukkan ketidakpercayaan dirimu secara jelas di depan semua
orang.
Bukan
berarti nilai Narika sangat buruk, tetapi jika dibandingkan dengan Tennouji-san
dan Jouto, dia pasti akan terlihat kurang.
Namun,
melihat wajah Narika yang tegang, Jouto menambahkan, “Ini bukan tentang
nilai.”
“Bagaimana
kalau kita mengadakan debat antara tiga calon ketua OSIS setelah pelajaran
besok? Temanya adalah tentang tradisi Akademi
Kekaisaran.”
Reaksi
pertama terhadap saran Jouto datang bukan dari aku atau Narika, tetapi dari
para pendengar.
“Woahh...!” Melihat siswa-siswa yang
bersemangat, aku merasakan kekecewaan di dalam hati.
(... Mana mungkin kami bisa menolaknya.)
Jika aku
menolak di sini, itu akan mengecewakan harapan siswa dan mengurangi daya tarik Narika.
Sejak
awal, Jouto tidak berniat membiarkan kami menolak. Ia memanfaatkan penampilan Narika
untuk menarik perhatian siswa dan dengan cerdik mengusulkan bentuk kompetisi
yang membuat siswa bersemangat. Seorang entertainer yang sangat cerdik.
Aku
mengangguk tanpa suara kepada Narika yang mengarahkan pandangannya
kepadaku.
Walaupun Narika
terlihat sedikit cemas, tapi dia menghadapi Jouto dan berkata,
“...
Baiklah, aku terima tantangan ini.”
“Kalau
begitu, sampai besok. Sampaikan salamku kepada Tennouji-san.”
Setelah
berkata demikian, Jouto akhirnya pergi.
...
Tennouji-san sepertinya juga tidak berniat untuk mundur dari tantangan
ini.
Mungkin Jouto
sudah memperhitungkan hal itu dan mengajak Narika terlebih dahulu. Narika yang
mungkin akan ditolak harus disusun sedemikian rupa agar tidak bisa menolak
dengan memanfaatkan suasana di sekitarnya.
Di belakang
Jouto, aku merasa seolah melihat sosok Minato-senpai yang seharusnya tidak ada di
sini sekarang.
◆◆◆◆
Aku
segera memberitahu undangan
debat dari Jouto kepada Tennouji-san. Seperti yang diharapkan, Tennouji-san
memutuskan untuk ikut dalam tantangan tersebut. Debat akan diadakan setelah
pelajaran besok, jadi kami memutuskan untuk mengadakan rapat strategi di
akademi.
Setelah
menghubungi Shizune-san, aku
meminta Hinako untuk pulang lebih awal, lalu mengikuti petunjuk Tennouji-san
berjalan di koridor gedung sekolah.
“Ini
adalah ruang belajar mandiri.”
Tennouji-san
membukakan pintu, dan aku masuk bersama Narika.
Dia
mengatakan bahwa dia tahu tempat yang bisa digunakan untuk rapat strategi, dan ruangan ini memang sangat nyaman. Di ruang belajar
mandiri terdapat banyak komputer,
dan di depan ada papan tulis besar.
“Rupanya ada juga tempat yang seperti ini, ya?”
“Ya.
Namun, seperti yang terlihat, tempat ini tidak terlalu sering digunakan. Banyak
siswa di akademi ini pulang segera setelah pelajaran selesai.”
Ruang
belajar mandiri itu sepi. Karena kami akan membahas hal-hal penting, jadi aku merasa beruntung tidak
ada orang di sekitar, tetapi rasanya agak
sepi juga menggunakan ruangan
sebesar ini untuk kami sendiri.
Ruang ini
sepertinya tidak digunakan untuk pelajaran. Ini tampaknya adalah ruangan yang
disediakan hanya untuk belajar mandiri, tetapi semua siswa di Akademi Kekaisaran sangat
sibuk, jadi mereka biasanya langsung pulang
setelah pelajaran.
“... Jika
aku menjadi ketua, aku ingin memanfaatkan tempat seperti ini dengan baik.”
Tennouji-san
bergumam demikian. Melihat pemandangan di
ruang belajar mandiri, sepertinya dia mendapatkan petunjuk tentang apa yang
harus dilakukan.
Karena
ruangan ini cukup sepi,
mari kita gunakan tempat duduk di tengah dengan percaya diri. Aku menghidupkan
PC yang ada di tengah ruang belajar dan duduk di depannya.
“Baiklah,
mari kita adakan rapat strategi untuk memenangkan debat.”
Tennouji-san
dan Narika duduk di sebelahku.
“Tema
debat adalah tentang tradisi Akademi Kekaisaran,
bukan?”
“Ya. ...
Bagaimanapun juga, tema ini jelas-jelas
menguntungkan pihak lawan, tetapi sebaliknya, jika kita bisa mengeluarkan
pendapat yang berguna, kita bisa meningkatkan tingkat dukungan dengan
cepat.”
Debat tersebut kemungkinan akan dilakukan dalam
format yang mirip dengan debat formal. Setiap calon ketua OSIS akan
mempresentasikan pandangan mereka tentang tradisi Akademi Kekaisaran,
kemudian diskusi akan berkembang dari sana. Kita harus memperingatkan diri kita
sebelumnya tentang kemungkinan bahwa pandangan itu mungkin tidak benar atau ada
siswa yang tidak terbantu dengan pandangan tersebut.
Setidaknya,
tidak mungkin bagi tiga calon ketua hanya menyampaikan pendapat mereka dan
selesai begitu saja; itu tidak akan menjadi perkembangan yang tenang. Jika
begitu, semuanya itu tidak ada bedanya dengan
pidato.
“Pertama-tama,
apa sebenarnya yang dimaksud dengan tradisi Akademi
Kekaisaran?”
Narika
bertanya, matanya memantulkan cahaya monitor yang menyala.
Itu
adalah pertanyaan yang mendalam karena kepolosannya. Seperti yang dikatakan Narika,
kita harus memikirkan hal itu terlebih dahulu.
“Baiklah,
mari kita buat daftar semua yang terpikirkan.”
Aku
membuka aplikasi notepad yang sudah terinstal di PC sejak awal dan mulai
merangkum tentang tradisi Akademi Kekaisaran
dalam beberapa poin. Di balik itu, aku juga memikirkan kegiatan lain selain
debat. Mungkin sulit untuk berpidato setelah pelajaran besok jika ada debat.
Namun...
(...
Strategi melawan kampanye negatif dengan menyampaikan detail janji kampanye
ternyata berhasil. Sekarang, prioritas pidato sudah rendah.)
Untuk
mengatasi kampanye negatif yang diluncurkan oleh Rintarou, kami merangkum isi
janji kampanye dan menyediakan lingkungan di mana semua orang bisa memeriksanya
secara bebas di web. Berkat itu, janji kampanye Tennouji-san dan Narika
dipahami lebih dalam oleh para siswa.
Aku sempat
merasa cemas saat kampanye negatif menyebar, tetapi sekarang,
setelah segalanya teratasi, hal itu malah
menjadi angin segar bagi kami. Akhirnya, kampanye negatif itu justru membantu
menyebarkan janji kampanye kami.
“...
Secara umum, kurang lebihnya seperti ini.”
Tennouji-san
menatap monitor dan berkata.
Pertama-tama,
aku menuliskan empat hal yang aku anggap sebagai tradisi Akademi Kekaisaran.
- Banyak
orang tua siswa adalah pengusaha atau politisi.
- Materi
pelajaran di sini jauh lebih unggul
dibandingkan dengan sekolah SMA umum.
- Ada
pelajaran khas bernama permainan manajemen.
-
Terdapat kesenjangan yang tidak sedikit berdasarkan latar belakang keluarga.
Baik
tradisi yang baik maupun yang buruk, aku mencantumkan apa yang kurasakan
belakangan ini.
Melihat
tulisan di monitor, aku tiba-tiba merasa ragu.
“Apa
sebaiknya data ini dihapus sebelum selesai?”
“Tidak
masalah jika dibiarkan. Komputer di sini akan direset saat dinyalakan
kembali.”
Kalau memang begitu, kurasa aku harus membiarkannya seperti
ini.
“Aku juga
memikirkan empat hal ini, tetapi sepertinya pihak mereka
juga sudah mengetahuinya.”
“Benar sekali. Semua yang tertulis di sini
sudah disebutkan oleh Jouto dalam pidatonya.”
Jika keempat hal ini menjadi pokok
bahasan yang diperdebatkan, yang penting adalah bagaimana menggali lebih dalam.
“Poin
keempat... harus ditangani dengan hati-hati.”
Narika
berkata dengan suara pelan.
Kesenjangan
berdasarkan latar belakang keluarga. Melihat tulisan
tersebut, Narika mungkin menyadari kembali bahwa latar
belakang keluarganya lebih tinggi dibandingkan siswa lain.
Namun,
aku tidak setuju dengan sikapnya yang merasa sebagai pihak yang bersalah.
“Kurasa kalian berdua tidak perlu merasa
terbebani.”
Melihat Narika
yang tampak kebingungan, aku melanjutkan
penjelasan.
“Kesenjangan
berdasarkan latar belakang keluarga bukan hanya dirasakan oleh yang di bawah,
tetapi juga oleh yang di atas. ... Narika, kamu juga pasti sudah lama merasa
salah paham dan menderita, ‘kan?
Salah satu alasan mengapa orang menjauh darimu adalah karena latar belakang
keluargamu yang tinggi.”
“... Jika
dipikir-pikir lagi, itu memang benar.”
Karena
mereka berasal dari keluarga terpandang, mereka tidak bisa sembarangan bicara.
...Siapa yang menjadi korban dengan cara berpikir seperti ini? Selalu saja
siswa dari keluarga terpandang yang memutuskan untuk menjauhkan diri. Siswa
dari keluarga terpandang sering kali dijauhkan secara sepihak.
Jika mereka
dijauhkan, mereka juga kehilangan pengertian dari orang-orang di sekitar mereka.
(...
Dalam arti tertentu, Hinako juga menderita karena hal itu.)
Meskipun
mungkin sedikit berbeda dari diskriminasi, tapi tidak
diragukan lagi bahwa orang yang paling menderita akibat tingginya latar belakang
keluarga adalah Hinako. Beban mental yang harus ditanggung Hinako sebagai
seorang Ojou-sama yang sempurna sangatlah berat.
Itulah sebabnya ada posisi pengurus yang mengurusnya.
“Dalam
menghadapi masalah kesenjangan akibat latar belakang keluarga ini, aku memiliki
pendekatan yang bertolak belakang dengan Jouto-san.”
“Begitu
ya.”
Entah
kenapa, aku merasa bahwa pemikiran di sekitar sini akan menjadi pokok bahasan dalam
debat. Demi merapikan masing-masing
ideologi, aku mengonfirmasi pemahamanku dengan mengucapkannya.
“Sekarang,
ada kesenjangan akibat latar belakang keluarga di
Akademi Kekaisaran. Jadi, pemikiran Jouto-kun ialah supaya semua orang menyesuaikan
diri dengan yang di bawah.”
Mengundang
orang biasa ke akademi ini dan belajar berperilaku agar siswa dengan latar
belakang tinggi dapat menyesuaikan diri dengan yang di bawah. Itulah tujuan
mereka.
“Di sisi
lain, Tennouji-san berpikir bahwa seharusnya semua orang bisa menyesuaikan diri
dengan yang di atas.”
Tennouji-san
berpikir bahwa seharusnya siswa dengan latar belakang rendah dilatih agar dapat
beradaptasi dengan lingkungan kelas atas.
“Dan Narika
berpikir bahwa seharusnya akademi ini tidak perlu mempermasalahkan latar
belakang keluarga sama sekali.”
Narika
berusaha menciptakan akademi yang memudahkan orang untuk berubah melalui
interaksi dengan orang lain. Jika orang yang menderita karena kesenjangan latar
belakang keluarga bisa mengubah diri mereka, itu akan mengarah pada pembebasan
dari kesenjangan tersebut.
Sebenarnya,
Narika telah dibebaskan dari kesepian akibat latar belakang keluarganya dengan
mengubah dirinya.
“Ketiga
pendekatan ini sangat berbeda, ya.”
Tennouji-san
berkata demikian.
Tiga
pendekatan yang berbeda ini sepertinya akan menjadi pemicu perdebatan.
“Tomonari-san,
aku ingin menyerang dengan pembicaraan yang sekarang.”
“Baiklah.
... Narika, apa kamu setuju dengan ini?”
“Ya. Aku
juga merasa lebih mudah berbicara tentang pengalaman di bidang ini.”
Narika
yang bangkit dari keterpurukan kini berada dalam posisi di mana dia bisa
memanfaatkan ketenaran akibat keterpurukannya. Mereka yang dulu takut pada Narika
kini akan menerima kata-katanya dengan serius.
Jika ada
masalah...
“... Narika,
sepertinya kamu akan berbicara di depan umum lagi kali ini, apa kamu akan baik-baik saja?”
“Ak-Aku baik-baik saja. Jika
dibandingkan sebelumnya, aku sudah lebih baik. ... Setidaknya, kupikir
begitu.”
Sikapnya
tampak kurang meyakinkan.
“Kalau
begitu, coba berdiri di sana dan berpidato secara acak.”
“Hmm...
Baiklah. Aku akan membuktikan bahwa aku juga
bisa melakukannya jika mau mencoba.”
Narika
berdiri di depan papan tulis.
Aku tahu
dia bisa melakukannya jika dia mencobanya.
Tapi aku
juga mengetahui betul seberapa
besar perbedaan saat dia tidak bisa melakukannya.
“Yang
ingin kusampaikan tentang tradisi Akademi Kekaisaran
adalah—”
Narika
mulai berpidato.
Namun di
tengah jalan, Narika berhenti berbicara dan melihat ke arahku.
“... I-Itsuki?
Kenapa kamu menatapku seperti itu?”
“Ini
adalah cara untuk mengatasi kegugupanmu.
Silakan lanjutkan.”
Aku ingin
memastikan apa dia sudah terbiasa dengan tatapan orang.
“Me-Menurutku, tentang tradisi Akademi Kekaisaran adalah…”
“...”
“Umm... jika kita membahas kesenjangan latar belakang
keluarga…”
“...”
Seperti yang kuduga, dia masih belum terbiasa
dengan tatapan, karena Narika
tampak gelisah.
“Tu-Tunggu!!”
Narika
berteriak dengan wajahnya yang memerah.
“Jika
kamu menatapku seperti itu, aku tidak bisa berbicara dengan baik!”
“Bukankah
kamu bilang kalau kamu takkan merasa gugup?”
“Ak-Aku tidak merasa gugup Hanya saja, ada hal lain yang
menggangguku…!!”
Hal
lain?
“Jangan
membuat alasan.”
“U-uhh...
uhh...!!”
Narika
mulai gemetaran.
Hmm,
aneh. Kupikir dia sudah sedikit lebih
baik, tetapi sepertinya dia malah terlihat lebih mencemaskan
daripada sebelumnya.
Saat
melihat Narika yang mengalihkan pandangannya, pintu ruang belajar mandiri terbuka.
“Permisi.
... Tomonari-san, pengelompokan kuesioner sudah selesai.”
Suminoe-san
masuk ke ruang belajar mandiri
dengan membawa kertas kuesioner.
Di
belakangnya ada Kita. Aku meminta keduanya untuk mengumpulkan dan
mengelompokkan kuesioner. Meskipun jumlah yang dibagikan cukup banyak, mereka
bisa menyelesaikannya dengan cepat, jadi aku
merasa sangat terbantu.
“Terima
kasih, Suminoe-san, Kita-kun.”
Aku
menerima tumpukan kertas kuesioner dari keduanya.
Aku melihat
Narika sekilas, dia tampak menghela napas lega sambil berkata, “Aku terselamatkan…” … Jika
ada waktu, aku akan memeriksanya lagi nanti.
“Miyakojima-san, semangat ya.”
“Ya.
Kita-kun, terima kasih seperti biasa.”
Kita
mendukung Narika sebelum meninggalkan ruang belajar mandiri. Meskipun kami bisa mengobrol
sedikit lebih lama, sepertinya ia memperhatikan bahwa kami tidak punya banyak
waktu sebelum debat.
“Tennouji-sama,
aku mendukungmu sepenuh hati.”
Suminoe-san
juga memberikan semangat kepada Tennouji-san.
“Terima
kasih. ... Ngomong-ngomong, kenapa kamu memanggil namaku
dengan imbuhan 'sama'?”
“Itu
kebiasaan. Aku tidak
bisa mengubahnya.”
Suminoe-san
tersenyum manis. Namun, senyuman Tennouji-san tampak tegang.
... Dia sudah di tahap kritis.
Siapa saja, tolong bawa Suminoe-san ke
rumah sakit.
Orang
ini, sebelumnya dikenal dengan kesan yang bersih dan anggun...
“Tomonari-san.”
Sebelum
meninggalkan ruang belajar, Suminoe-san memberi
isyarat kepadaku.
Apa ini
akan menjadi pembicaraan rahasia? Dengan rasa penasaran, aku keluar dari ruang
belajar bersama Suminoe-san.
“Jika
Tennouji-sama tidak menang, aku
tidak akan memaafkanmu, oke?”
“... Aku akan berusaha sebaik
mungkin.”
“Jika keadaannya sudah sangat darurat, kita
bisa menyisipkan obat ke dalam makanan pria bernama Jouto Ren itu. Jika kamu
tidak memiliki keberanian untuk melakukannya, aku
bisa melakukannya untukmu.”
“Tolong
jangan.”
Sebelum
bertemu Rintarou, kupikir tidak ada orang di akademi ini yang bergantung pada
strategi licik...
Nyatanya
ada. Apalagi orangnya berada di dekatku.
“Seriusan, tolong jangan, oke?”
“... Cih.”
Hei, apa kamu baru saja mendecakkan lidah?
Untung saja
aku langsung memastikannya.
Setelah
Suminoe-san pergi, aku menghela napas dalam-dalam dan kembali ke ruang belajar.
... Dia seperti badai. Dalam arti mental.
“Apa yang kalian berdua bicarakan?”
“... Dia
mengusulkan sebuah strategi, tetapi caranya
terlalu ekstrem, jadi aku menolaknya.”
Setelah
menjelaskan dengan berbagai cara, aku memeriksa kuesioner yang telah disortir
oleh keduanya.
Isi
kuesionernya sederhana, menanyakan jenis ketua seperti apa yang mereka inginkan dari Tennouji-san dan Narika.
Sejujurnya, aku belum pernah melakukan kuesioner sederhana seperti ini
sebelumnya. Aku pernah mengumpulkan kuesioner untuk mengetahui pendapat
sebenarnya dari kelompok yang mendukung Hinako.
Sekarang,
aku harus mulai memikirkan tentang pidato terakhir.
Hari
terakhir kampanye pemilihan adalah hari Senin minggu depan. Hari ini adalah
hari Rabu, jadi jika kita mengabaikan hari ini dan akhir pekan, hanya ada tiga
hari tersisa untuk menentukan hasilnya.
Jika aku
segera menerapkan isi kuesioner dan mengeluarkan pernyataan yang berbeda dari
sebelumnya, ada berisiko
menyebabkan kebingungan. Hal ini juga berlaku sebelumnya, tetapi karena hanya
ada tiga hari tersisa, sekarang tidak ada waktu untuk menenangkan kebingungan
itu. Sampai sejauh ini, perubahan harus dilakukan dengan hati-hati.
Aku
berencana untuk memahami semua hasil kuesioner hari ini, tapi aku akan mempertimbangkan
bagaimana cara menerapkannya hingga hari terakhir. Jika terburu-buru, itu bisa
menjadi bencana.
(…………
Hmm?)
Saat
memeriksa jawaban kuesioner, aku merasakan ketidaknyamanan.
Ini
mungkin...
“Itsuki,
ada apa?”
“Hmm...
tidak, bukan apa-apa.”
Saat aku
mengernyitkan dahi, Narika menengok ke arahku, tetapi aku memutuskan untuk
tetap diam.
(… Sepertinya aku tidak perlu mengungkapkannya sekarang.)
Hal ini
tidak ada hubungannya dengan debat.
Dalam
beberapa keadaan, mungkin ini adalah sesuatu yang sebaiknya kusimpan
sendiri.
◆◆◆◆
Hari
kesebelas masa pemilihan,
sepulang sekolah.
Debat
yang direncanakan oleh Jouto akan segera dimulai.
“...
Tempatnya lumayan megah
ya.”
Sesampainya di aula, mau tak mau aku bergumam
demikian setelah melihat
pemandangan di depanku.
Aula
digunakan sebagai tempat untuk debat. Persiapannya dilakukan oleh Jouto dan
kawan-kawannya, seperti
yang diberitahukan Rintarou saat istirahat siang, jadi aku menyerahkannya
kepada mereka, tetapi persiapannya jauh lebih serius dari yang aku
bayangkan.
Ada
tiga meja yang ditempatkan dengan jarak yang sama di
tengah aula, masing-masing saling berhadapan. Ada meja dan kursi yang disusun di
setiap sudut segitiga. Ketiga calon Ketua OSIS akan
duduk di sana.
Kursi
penonton disiapkan mengelilingi area tersebut.
Kupikir
para calon ketua akan berdiskusi di atas panggung, tetapi sepertinya
pertandingan yang disebut debat akan berlangsung di tengah aula, mirip seperti di arena tinju atau
gulat.
(Mereka
semua ditatap dari segala arah....
Apa ini semacam taktik yang tidak biasa?)
Panggung
yang tidak menyenangkan telah disiapkan. Mana
mungkin lingkungan yang tidak nyaman seperti ini terjadi secara kebetulan.
Dari
pidato-pidato sebelumnya, aku tahu Jouto sudah terbiasa dengan tatapan orang.
Oleh karena itu, dirinya sengaja
membuat panggung yang memudahkan audiens untuk memperhatikan. Meskipun tidak
menjadi masalah bagi Jouto, bagi Tennouji-san dan... terutama Narika, ini
adalah lingkungan yang sulit.
“Tomonari-san, aku pergi
sekarang.”
“Aku
juga... akan pergi.”
Mereka
berdua sudah memsiapkan diri secara mental. Tennouji-san
tersenyum percaya diri, sementara Narika menunjukkan ekspresi tegang.
“Aku akan
mengawasi dari sini. Mari kita bertarung sesuai rencana.”
Tennouji-san
dan Narika mengangguk, lalu menuju ke tengah aula tempat Jouto menunggu.
Sayangnya,
dalam waktu yang terbatas, aku tidak bisa menyiapkan langkah pasti untuk
menang. Namun, aku bisa menyiapkan strategi untuk meningkatkan peluang menang.
Tema
tentang tradisi Akademi Kekaisaran telah dibagi ke dalam beberapa kategori, dan
aku telah menyiapkan argumen yang difokuskan pada salah satu kategori yang
paling mudah untuk dibicarakan. Setelah debat dimulai, aku ingin mengarahkan
pembicaraan ke kategori ini. Dengan begitu, kita seharusnya mendapatkan angin
segar.
“Mulai sekarang, kami akan memulai debat
antara tiga calon ketua OSIS. Saya,
Asahi Rintarou, selaku calon wakil Ketua akan menjadi moderator dalam
debat kali ini.”
Di tengah
aula, Rintarou memegang mikrofon dan memberikan sambutan.
“Tema
kita adalah tentang tradisi Akademi Kekaisaran. Tiga calon ketua akan
mendiskusikan tema ini selama satu jam ke depan.”
Aku dan
penonton lainnya melihat ketiga calon ketua yang duduk di kursi. Jouto,
Tennouji-san, dan Narika... ketiganya berdiri dengan wajah serius.
“Baiklah, kalau begitu————silakan mulai.”
Rintarou
mengumumkan dimulainya debat.
Aula seketika menjadi sunyi. Tidak ada tepuk
tangan atau sorakan. Tatapan para siswa yang akan menjadi pemimpin negara di
masa depan tertuju lurus ke tengah aula.
“Sebagai
pengusul debat, aku akan mengawali debat ini.”
Orang
pertama yang berbicara adalah Jouto.
“Menurutku, ada banyak tradisi
Akademi Kekaisaran yang
justru memperburuk kompleks para siswa. Misalnya, sistem yang hanya
memperbolehkan siswa dari keluarga terpandang untuk masuk. Karena dari awal
masuk saja sudah ada penilaian berdasarkan
latar belakang, semua orang menerima adanya kesenjangan yang disebabkan oleh
latar belakang keluarga setelah masuk.
Atmosfer yang membuat masalah ini sulit muncul ke permukaan adalah tradisi
buruk, bukan? Karena itulah aku
ingin mendorong proses demokratisasi Akademi Kekaisaran
dan akhirnya menghapus syarat latar belakang keluarga dari persyaratan masuk. Aku ingin mengatasi secara
fundamental kompleks yang disembunyikan semua orang di dalam hati mereka, yang
bernama latar belakang keluarga.”
Seperti yang
diharapkan... pendapat Jouto menusuk hatiku sebagai orang
biasa.
Meskipun
aku menyembunyikannya di permukaan, identitas
asliku adalah orang yang biasa-biasa
saja. —Itulah sebabnya aku harus berusaha, pikirku, tetapi tidak semua
orang bisa seperti itu. Mungkin ada siswa yang patah semangat karena perbedaan
latar belakang. Aku pun mungkin bisa saja berada dalam situasi yang sama jika
salah langkah.
Namun,
solusi untuk masalah ini tidak hanya dengan mendemokratisasi Akademi Kekaisaran.
“Mengenai
kesenjangan itu,”
Tennouji-san mulai membalas.
“Aku ingin menyelesaikannya dengan
cara yang bertolak belakang dengan Jouto-san.”
“...
Ngomong-ngomong, Tennouji-san juga menyebutkan tentang latar belakang di pidato
pertamanya, kan?”
“Ya,”
jawab Tennouji-san sambil mengangguk.
Seperti
yang dikatakan Jouto, Tennouji-san juga sudah memperhatikan masalah kesenjangan
yang disebabkan oleh latar belakang keluarga sejak tahap yang cukup awal.
Namun, meskipun mereka memperhatikan masalah yang sama, solusi yang mereka
ajukan berbeda.
“Aku juga telah mendengar pidatomu beberapa kali, jadi kurasa aku mulai memahami tentang
demokratisasi Akademi Kekaisaran
yang kamu usulkan. ... Aku tidak berniat menentang gagasan
untuk mengetahui masyarakat luar. Namun, aku
merasa bahwa ide untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat luar itu terlalu memaksa. Jika kita harus menyesuaikan
diri, kita harus menyesuaikan diri dengan karakteristik Akademi Kekaisaran, jika tidak, tidak ada artinya
berada di akademi ini.”
“Karakteristik
Akademi Kekaisaran,
ya?”
Jouto
tersenyum dingin.
“Tidak
semua orang berada di akademi ini karena keinginan mereka sendiri.”
Usai
mengatakan itu, Jouto melihat sekeliling penonton yang mengelilingi mereka.
“Aku ingin bertanya kepada semua yang
ada di sini. ... Apa kalian memiliki pilihan lain selain masuk ke Akademi Kekaisaran?”
Tidak ada
siswa yang mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Jouto.
Meskipun
Akademi Kekaisaran adalah
lingkungan yang luar biasa, tidak berarti semua siswa menginginkannya. Fakta itu kini menjadi jelas.
Mungkin
di sini ada siswa yang.... terpaksa
masuk ke akademi ini.
“Kamu mengatakannya seolah-olah
semua orang di sini merasa bangga menjadi siswa Akademi Kekaisaran, tapi
kenyataannya seperti ini. ... Tennouji-san, kamu
berbicara dengan asumsi bahwa budaya sekolah di Akademi Kekaisaran adalah yang
benar, tetapi apa dasar dari asumsi itu? Kamu dengan
tegas menolah untuk mengubah sistem yang ada sekarang. Itulah
sebabnya kamu disebut
sebagai pihak konservatif, bukan?”
“... Ugh.”
Dengan
satu penggunaan kata, dirinya bisa menempatkan
dirinya dalam posisi yang lebih unggul.
Jouto
memanfaatkan sepenuhnya kesan energik yang dimiliki kata reformis. Pihak
konservatif seharusnya tidak buruk, tetapi suasana seolah-olah kami adalah
orang-orang yang malas.
Namun,
suasana itu diubah oleh Narika.
“Kami
juga bukannya menganggap bahwa
akademi ini tidak memerlukan perubahan. Faktanya, jika aku menjadi ketua, aku ingin menciptakan akademi di
mana setiap siswa bisa mengubah diri mereka sendiri.”
Narika
tidak membela Tennouji-san secara khusus.
Pertarungan
pemilihan ini adalah tentang tiga pihak yang saling bersaing. Seolah
menunjukkan hal itu, ketiga kursi terpisah dengan jarak yang sama. Namun, yang
pertama kali mengelompokkan Tennouji-san dan Narika sebagai pihak konservatif
adalah Jouto.
Situasi
yang bisa dianggap dua lawan satu ini diciptakan oleh Jouto itu sendiri. Jadi, seharusnya pihak mereka tidak bisa mengeluh juga.
Dengan pemikiran itu, aku dengan percaya diri menyaksikan perdebatan ketiga
orang tersebut—.
“Miyakojima-san,
argumenmu bergantung pada kemandirian
siswa.”
Sanggahan
Jouto jauh lebih tajam daripada yang kami bayangkan.
“Para
siswa Akademi Kekaisaran yang sudah lama tidak memiliki kesempatan untuk
mengubah diri mereka, jika tiba-tiba diberitahu bahwa mereka boleh mengubah
diri, mereka justru akan merasa kebingungan. Bahkan jika kamu menjadi ketua dan mewujudkan
janjimu, aku hanya bisa melihat masa
depan yang tidak berarti.”
“Ti-Tidak mungkin begitu...”
“Aku tahu
Miyakojima-san pernah ditakuti karena kesalahpahaman. Tapi pemikiranmu, yang
membantumu keluar dari itu, dipengaruhi oleh bias penyintas.”
Jouto
berbicara dengan semangat seolah-olah merasa tergerak oleh keadilan.
“Kamu
sudah memiliki kemampuan untuk mengubah dirimu sendiri
sejak awal. Dengan kata lain, kamu
memiliki latar belakang keluargamu!”
“—!”
Narika
terkejut.
Intinya, Jouto
ingin mengatakan bahwa sebenarnya, di akademi ini ada banyak siswa lain yang
ingin mengubah diri mereka selain Narika. Namun, sebagian besar dari mereka
gagal. Hanya Narika yang berhasil, tetapi itu bukan karena usaha pribadinya,
melainkan karena latar belakang keluarganya yang baik? Itulah maksudnya.
Sebenarnya,
pendapat ini bisa membuat kami marah,
tetapi baik aku maupun Narika terdiam.
Ini
adalah hal yang memalukan, tetapi—pemikiran itu tidak terlintas di benak
kami.
Narika
bisa mengubah dirinya karena dia terus berusaha meskipun mengalami banyak
kegagalan.
Aku yang
berada di samping Narika sangat mengetahui
itu. Namun, banyak orang di akademi ini yang tidak mengetahuinya. Kata-kata Jouto
pasti sangat menggema di telinga mereka.
“Jika kamu
ingin menciptakan akademi di mana siswa bisa mengubah diri mereka sendiri, maka kamu harus mengubah akademi itu
sendiri. Itulah pemikiranku tentang
mendemokratisasi Akademi Kekaisaran.”
Narika
tidak bisa mengatakan apa-apa kepada Jouto yang mengungkapkan pendapatnya
dengan percaya diri.
Ini
adalah alur yang buruk. ... Namun, aku merasakan ketidaknyamanan lebih dari
sekadar kegugupan.
(... Apa
ini?)
Rasanya ada
yang janggal.
Mengapa
kami bisa terdesak sampai sejauh ini?
Kami
tidak merasa sombong bisa menang dengan mudah. Kekuatan Jouto memang nyata, dan
debat ini merupakan ide yang
diusulkannya sendiri.
Mengingat kami bertarung di arena yang disiapkan oleh mereka, baik aku,
Tennouji-san, maupun Narika tahu bahwa kemungkinan kalah tidak sedikit.
Namun,
meskipun begitu...
(... Mau dilihat bagaimanapun juga, kenapa
sanggahan selalu tepat?)
Debat
kali ini, temanya adalah tentang tradisi Akademi Kekaisaran. Kesenjangan yang
disebabkan oleh latar belakang keluarga hanyalah salah satu topik yang muncul
dari tema tersebut, dan masih banyak ruang untuk berdiskusi.
Pembicaraan
tentang orang tua siswa, pembicaraan tentang pelajaran, pembicaraan tentang
permainan manajemen... Dari banyak topik, kami memilih untuk membahas
kesenjangan yang disebabkan oleh latar belakang keluarga dan berencana untuk
menyerang dari sudut ini. Oleh karena itu, kami telah menyiapkan argumen untuk
topik ini sebelumnya.
Jadi,
ketika debat dimulai dan topik beralih ke kesenjangan latar belakang keluarga,
aku diam-diam merasa senang dan berpikir, “Bagus!”. Karena
kami bisa berdiskusi tentang topik yang paling kami
persiapkan.
Namun, Jouto
mampu mengikuti argumen yang telah kami siapkan secara improvisasi. Dirinya bahkan memberikan informasi yang
lebih banyak daripada kami.
Dilihat dari
sudut pandang manapun, argumennya
terlalu bagus.
Meskipun Jouto
adalah tipe pria politikus yang memiliki bakat langka, ini sudah terlalu
berlebihan.
“Aku keberatan!!”
Tennouji-san
melontarkan suaranya yang tinggi.
“Jouto-san,
apa yang kamu tuju
bukanlah reformasi. Melainkan scrap & build
yang membawa kehancuran besar. Janji-janjimu
pasti akan menciptakan lebih banyak kekacauan dibandingkan janji Miyakojima-san!”
Jika
menciptakan kekacauan adalah masalah, maka Jouto justru memiliki masalah yang
lebih besar. Tennouji-san mengajukan argumen seperti itu.
“Lagipula,
kamu baru saja mengatakannya beberapa
saat yang lalu, bukan? Apa dasar bahwa tradisi Akademi Kekaisaran itu benar?”
“Ah, aku memang mengatakannya.”
“Dasarnya
adalah—prestasi para lulusan.”
Jouto
sedikit mengerutkan alisnya.
Kepemimpinan
dalam pembicaraan berpindah ke tangan Tennouji-san.
(...
Bagus. Tennouji-san berhasil membawa pembicaraan ke arah yang telah dia
siapkan.)
Jika memungkinkan, aku ingin menghancurkan
momentum Jouto di sini.
Tennouji-san
mengungkapkan kritik yang telah dia pikirkan sebelumnya untuk Jouto.
“Para
lulusan Akademi Kekaisaran adalah orang-orang yang sangat berprestasi di
masyarakat saat ini. Kejayaan yang mereka capai membuktikan kebenaran akademi
ini. Rencanamu untuk
mendemokratisasi Akademi Kekaisaran justru akan meruntuhkan kejayaan tersebut. Meskipun terdengar baik sebagai
reformis, apa reformasimu dapat menjamin masa depan
siswa-siswa yang ada di sini?”
Apakah hati siswa-siswa di sini dapat
mengikuti reformasi Jouto?
Seperti
yang dikatakan Tennouji-san, reformasi Jouto berskala
cukup besar dan bisa dibilang merupakan scrap & build.
Reformasi sebesar ini pasti disertai dengan risiko yang sepadan.
Jika
reformasi gagal, tidak ada cara untuk kembali ke sistem lama... Jouto
mengusulkan mendemokratisasi Akademi Kekaisaran adalah sebuah kapal yang hanya
memiliki dua pilihan: mencapai tanah baru atau tenggelam di tengah jalan.
Begitu kapal ini berlayar dari daratan, tidak akan ada jalan untuk kembali seperti dulu.
Apa
siswa-siswa di sini benar-benar memiliki keberanian untuk naik kapal itu?
Jika
mereka memiliki keberanian itu, apa Jouto memiliki kemampuan untuk memenuhi
harapan mereka?
Ribuan
tatapan menusuk Jouto.
Namun, Jouto
tetap tegak.
“Coba lihatlah ini.”
Ketika Jouto
mengatakannya, materi ditampilkan di layar panggung. Sepertinya ia telah
menyiapkan materi sebelumnya.
Pandangan
mata kami terbelalak saat melihat isi materi itu.
“Ini...!!”
“Ini
adalah hasil survei mengenai jalur karir lulusan yang telah digrafikkan.”
Ada
diagram lingkaran besar yang ditampilkan di layar.
Kami bisa melihat dengan jelas persentase lulusan yang memilih jalur karir
mana.
Sebagian
besar siswa di tingkat SMA memilih untuk melanjutkan pendidikan, tetapi
masalahnya ada di tahap selanjutnya, setelah lulus universitas.
“Lulusan Akademi
Kekaisaran, pada akhirnya, sebagian besar akan mewarisi bisnis orang tua
mereka, atau menjadi politisi atau pegawai negeri yang serupa dengan orang tua
mereka. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kecenderungan ini mulai runtuh.
Seperti yang ditunjukkan oleh grafik ini, jumlah lulusan yang memulai usaha
dari nol semakin meningkat.”
Apa iya begitu...?
Pasti ada banyak siswa yang baru mengetahui
fakta ini, sama seperti diriku. Semua
orang terlihat tertarik dan memperhatikan materi Jouto dengan seksama.
“Seiring perkembangan teknologi, cara
kerja semakin bervariasi. Hambatan untuk menjalankan bisnis pribadi juga
menurun, dan jumlah pasar itu sendiri meningkat dibandingkan dengan dulu.
Meskipun Akademi Kekaisaran tidak berubah, zaman terus berubah. Maka, bukankah seharusnya akademi ini juga
berubah sesuai dengan zaman?”
Aku
hampir mengangguk setuju. Namun, sebelum itu terjadi, aku tersadar oleh
kekurangan yang tersembunyi dalam materi tersebut.
(Materi
itu memang menyesatkan, tapi jika dilihat dengan seksama, isinya lumayan dangkal...?)
Untuk
materi yang ditunjukkan kepada begitu banyak siswa, kualitasnya tidak terlalu
tinggi. Mungkin, ini adalah sesuatu yang dibuat tergesa-gesa kemarin atau hari
ini.
Namun,
jika demikian... mengapa?
Mengapa
materi ini dibuat dengan terburu-buru?
Seolah-olah
tiba-tiba materi ini menjadi sangat diperlukan...
(... Ini
bukan kebetulan.)
Ketidaknyamanan
yang aku rasakan sebelumnya dan ketidaknyamanan baru yang aku rasakan sekarang
saling terhubung.
Argumen sanggahan yang terlalu tepat. Dan materi
yang seolah-olah disiapkan sebagai tanggapan terhadap argumen
Tennouji-san.
(Strategi
kami... telah bocor.)
Cuma
kemungkinan itu yang bisa kupikirkan.
“Jumlah
siswa yang keluar dari jalur yang disiapkan oleh orang tua mereka semakin
meningkat. Oleh karena itu, bukankah seharusnya kita mengenal dunia luar? Apa
yang kuinginkan bukanlah scrap & build
yang hanya menciptakan kekacauan! Inilah strategi kelangsungan hidup baru bagi
akademi ini!”
Jouto
melontarkan kata-kata yang terdengar manis.
Namun,
dengan keyakinan akan apa yang menyebabkan ketidaknyamanan itu, aku menatap Jouto
dengan tajam.
Di tengah
aula, Tennouji-san dan Narika tampak pucat. Mereka berada dalam keadaan yang
tidak bisa berkata-kata akibat kekalahan telak.
Aku ingin
segera berlari menghampiri
mereka dan mengatakan bahwa mereka tidak kalah.
Namun,
bagaimana pandangan siswa-siswa di sekitar?
“――Cukup sampai di situ!!”
Suara
Rintarou menggema di aula.
“Karena kita sudah menghabiskan banyak waktu,
jadi kita akan mengakhiri debat ini.
Jika ada sesuatu yang
ingin disampaikan, silakan disampaikan sekarang.”
Meskipun
begitu, mana mungkin bagi Tennouji-san dan Narika
untuk mengatakan apa pun.
Jouto
berdiri dan mengambil mikrofon.
“Diskusi
ini bukan untuk menentukan kemenangan atau kekalahan dalam pemikiran.”
Sambil
memandang siswa-siswa, Jouto melanjutkan,
“Namun...
kurasa aku telah menunjukkan siapa yang
paling dapat diandalkan.”
Setelah
mengatakannya, Jouto duduk kembali.
Tepuk
tangan pelan mulai terdengar. Tepuk tangan tersebut kemudian menjadi gelombang besar
yang mengguncang aula. Tepuk
tangan yang tak kunjung reda itu seolah-olah ingin
menghancurkan Tennouji-san dan Narika.
“Dengan
ini, diskusi berakhir. Terima kasih atas perhatian kalian.”
Rintarou
menutup diskusi. Aku
ingin segera mendekati
dan menghibur Tennouji-san dan yang lainnya. Namun, aku memiliki hal yang harus
dilakukan.
Ketika
siswa-siswa mulai beranjak pergi, aku menuju ke arah Rintarou.
“Rintarou.”
“Tomonari-senpai?”
“Datanglah
sebentar ke sini.”
Rintarou
tampak bingung, tetapi menuruti perkataanku
dengan patuh.
Kami
keluar dari aula bersama dan langsung bergerak ke belakang gedung sekolah. Sebenarnya,
aku ingin mengungkap kebenaran di depan banyak orang, tetapi jika itu yang terjadi, kemungkinan Rintaro akan
menutup mulutnya. Saat ini, yang terpenting adalah memastikan fakta.
“Bagaimana
caranya kamu bisa mencurinya?”
Ketika
aku bertanya, Rintaro memiringkan
kepalanya.
“Mencuri
itu, maksudnya apa?”
“Kamu
memiliki kumpulan jawaban yang kami siapkan untuk debat, ‘kan?”
Rintaro
terkejut dengan matanya yang membelalak. Reaksinya membuatku juga terkejut. Dia
tidak terlihat berpura-pura.
“...
kamu tidak mengetahuinya, Rintarou?”
“Ya.
... Setidaknya, aku tidak
tahu.”
Rintarou menjawab dengan ekspresi serius.
Pada saat itu, suara langkah kaki
mendekat ke arah kami.
“――Demi alasan keamanan, PC Akademi selalu direset
setiap kali dinyalakan ulang.”
Seorang gadis muncul dari sudut gedung.
“Tapi,
bagaimana jadinya jika
pengaturan itu sudah dinonaktifkan sebelumnya?”
Gadis
itu tersenyum dengan berani. Jika pengaturan reset dinonaktifkan, data yang
dibuat di PC itu akan tetap ada meskipun direset. Artinya, data yang diinginkan
bisa diambil kemudian. Dengan cara itulah, dia mungkin telah mencuri rencana
yang kami siapkan.
“Kamu tidak
boleh begitu, Tomonari-kun. Masa
kamu membiarkan informasi penting bisa dicuri dengan gampang?”
“...
Minato-senpai.”
Mantan
ketua OSIS, Minato-senpai, muncul di depan kami dengan tenang. Mengenai hal
ini, mungkin Rintarou berusaha
untuk tidak terlibat. Dari nada bicaranya sekarang, tampaknya dialah otak di
balik semua ini.
“Bagaimana
kamu bisa tahu... bahwa kami menggunakan
ruang belajar mandiri?”
“Haha,
kamu masih menganggapku lebih hebat dari yang sebenarnya, ya?”
Minato-senpai
tertawa.
“Sudah
kubilang, aku berbeda dari orang itu. ...
Aku tidak tahu bahwa kalian akan menggunakan ruang belajar mandiri. Namun, aku bisa memprediksi bahwa kalian yang
dipaksa untuk berpartisipasi dalam debat akan melakukan rapat strategi di
akademi untuk menghemat waktu. Oleh karena itu, aku mengoperasikan keamanan
semua PC di akademi ini, dan setelah kalian pergi, aku merestart satu per satu
untuk memeriksa jejaknya. ... Berkat itu, aku tidak bisa tidur.”
Kami
tidak mempunyai banyak waktu setelah kami
memutuskan untuk berpartisipasi dalam debat. Minato-senpai mungkin telah
mengoperasikan PC di seluruh akademi sebelum Jouto
mengajukan ide debat... saat kami melaksanakan pemasaran gerilya.
Namun, aku
tidak pernah menyangka dia akan melakukannya dengan cara yang begitu memaksa......
“Terlihat
kotor, bukan? Tidak keren, ‘kan?
Tapi, itulah aku. Kamu berhubungan dengan orang-orang yang berbakat secara
alami, jadi kamu takkan bisa memahami tekadku yang dalam. Sangat disayangkan, tapi kamu sendiri juga adalah orang
dari pihak itu.”
“Hal
seperti itu...”
“Jangan
bilang tidak benar.
Lagipula, kamu diakui oleh orang itu.”
Minato-senpai
tidak lagi berusaha menyembunyikan perasaannya yang terpendam. Emosi yang gelap berputar-putar di balik pandangan matanya. Saat
kami bertukar kata, aku merasa seolah akan tersedot ke dalam kegelapan yang
dalam itu.
Aku telah
salah paham. Ketakutan Minato-senpai bukanlah karena kemampuan membaca situasi
yang dia sebutkan. Pasti orang ini hanya bisa melakukan pembacaan situasi
seperti orang biasa. Namun, dengan tekad yang luar biasa, dia bisa menutupi
kekurangan itu.
Meskipun
ada perbedaan bakat, dia akan menutupi dengan semangat yang gigih. Itulah cara Minato Maki-senpai berjuang. Dia telah berperang
seperti itu di Akademi Kiekaisaran
yang dipenuhi dengan jenius.
“Tomonari-kun.
Kamu mungkin tidak mengetahuinya, tetapi di akademi ini, ada
siswa yang mencalonkan diri sebagai anggota OSIS dengan menggunakan suap.”
Aku tidak
tahu tentang itu. Namun, sekarang aku merasakan bahwa ada orang yang
menggunakan taktik seperti itu di akademi ini, jadi hal semacam itu sudah tidak terasa aneh bagiku.
Mungkin ada siswa seperti itu di akademi ini, hanya saja aku tidak
mengetahuinya.
“...
Lalu, apa yang terjadi pada siswa itu?”
“Aku
membuatnya mengundurkan diri. Syukurlah aku menyadarinya sebelum pemilihan
dimulai.”
Minato-senpai
menghela napas lega, seolah membayangkan masa depan yang mungkin terjadi.
“Ada
orang-orang yang melakukan hal-hal curang dan licik di akademi ini. Dan
OSIS harus memiliki kemampuan untuk menghentikan rencana jahat seperti itu.”
Setelah
mendengar kata-kata itu, aku akhirnya mengerti apa yang ingin disampaikan Minato-senpai.
Jika tidak bisa melihat rencana jahat, maka tidak layak untuk menjadi ketua
OSIS. Itulah yang ingin dia katakan.
“...
Jadi, apa kamu juga mengatakan bahwa kami boleh menggunakan cara-cara curang?”
“Ya.
Aku setuju dengan pendapat Ren-kun. ... Kalian terlalu bersih.”
Kalian
terlalu bersih dan tidak cocok untuk OSIS. — Hanya
untuk menyampaikan itu, Minato-senpai dengan sopan menjelaskan semuanya.
Ketahuilah
tempatmu. Dia datang untuk merobohkan semangat kami.
Sekalipun
kami adalah orang-orang bersih dan polis yang
tidak tahu kotoran, itu bukan alasan bagi Minato-senpai untuk menggunakan
cara-cara kotor. Dia pasti sangat memahaminya.
Orang ini
melakukan semua itu dengan pemahaman penuh. Dia menggunakan cara-cara curang
dengan kesadaran akan keburukannya.
“Apa
Jouto-kun tahu tentang hal ini?”
“Tentu saja. Ia
sudah menitipkan pesan untuk saat pertanyaan itu
diajukan."
Pesan...?
“'Kali ini adalah kehendakku
sendiri'... begitu katanya.”
Setelah
mengucapkan itu, Minato-senpai pergi dari hadapanku.
Rintarou juga dengan singkat meminta
maaf, “Maaf,” dan mengikuti Minato-senpai.
…Aku pikir itu memang benar. Kampanye negatif dijalankan atas keputusan Rintarou sendiri. Namun, di balik
niatnya, ada rasa semangat yang mendalam terhadap Joto yang tampaknya tidak
menunjukkan keinginan untuk menang.
Jouto pasti sangat menyesal karena
Rintarou terpaksa mengotori tangannya karena kelemahan
dirinya. Maka, dirinya pasti
berpikir bahwa kali ini harus berbeda. Kali ini, ia akan menjatuhkan kami dengan kehendaknya sendiri—begitu pikirnya.
“………………huh.”
Ketika
aku sendirian, aku menghela napas pelan. Setelah beberapa saat, aku berpikir
bahwa seharusnya aku melaporkan kejadian ini. Kenapa aku tidak langsung
memikirkan hal yang sangat jelas ini?
Aku bisa
saja memberitahu guru tentang semua ini. ………………………Bagaimana caranya aku harus
mengatakannya? Tidak ada bukti yang tersisa. Mereka yakin bisa menutupi
semuanya, itulah sebabnya mereka berani mengungkapkan rencananya seperti itu.
(Apa
seharusnya aku merekamnya…?)
Jika aku
merekam pembicaraan ini dengan smartphone, pengakuan
mereka bisa menjadi bukti. Karena Jouto juga terbukti sebagai komplotan, jika aku bisa melaporkannya,
keduanya bisa dijatuhkan sekaligus.
Setelah
itu, sisanya tinggal aku, Tennouji-san, dan Narika
saja untuk bertarung dengan cara yang bersih…
“…………haha.”
Entah
kenapa, tiba-tiba segala sesuatu terasa sangat konyol. Bukti, laporan, rekaman,
dan kehilangan kekuasaan. Apa yang sedang kupikirkan…? Apa ini sesuatu yang harus dipikirkan dalam
pemilihan?
“Hahaha…”
Tawa
keringku tak bisa berhenti. Sepertinya aku tidak bisa tetap waras tanpa
melakukan itu.
“……………………sialan.”
Memangnya
hal semacam ini bisa diterima?
◆◆◆◆
Setelah kembali dari belakang gedung sekolah ke aula, aku disambut oleh Tennouji-san dan Narika yang khawatir, “Apa ada sesuatu yang terjadi?”. Di situ aku baru menyadari bahwa wajahku terlihat sangat buruk. Aku merasa bersalah telah membuat mereka khawatir karena suasana hatiku yang suram.
Namun, saat ini aku butuh waktu untuk menenangkan pikiranku. Jika aku mulai bercerita kepada mereka tentang apa yang terjadi, aku merasa kepalaku bisa mendidih.
“…Maaf. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri, jadi mari kita bubar untuk hari ini.”
Membubarkan pertemuan karena keinginanku sendiri terasa menyakitkan, tetapi saat ini aku tidak berada dalam kondisi mental yang bisa berbicara dengan tenang. Tennouji-san dan Narika pun menuruti tanpa mengeluh.
Aku keluar dari gerbang sekolah dan berjalan sebentar sebelum dijemput oleh mobil keluarga Konohana. Setelah duduk di kursi belakang, Hinako yang duduk di sampingku menatapku dengan tajam.
“Itsuki... apa ada sesuatu yang terjadi?”
Aku merasa bisa menjelaskan situasinya dengan tenang kepada Hinako. Karena dia bukan pihak yang terlibat dalam pemilihan, aku menceritakan apa yang terjadi dengan terbuka.
“Sebenarnya...”
Aku yakin jauh di dalam lubuk hatiku, aku juga ingin mengungkapkan semuanya. Aku menjelaskan semuanya kepada Hinako, bahwa kami dijebak oleh Minato-senpai. Dan Jouto juga menyetujui rencana itu.
“...Keji sekali.”
Setelah mendengar semuanya, Hinako bergumam pelan.
Iya, memang keji. ...Bagian dalam diriku mengangguk keras.
Namun, meskipun aku mengatakannya, hasil debat tetap tidak akan berubah.
“...Kalau begitu, aku akan kembali ke kamar.”
Setelah sampai di rumah, aku segera berusaha kembali ke kamarku.
Keadaan hatiku masih sulit untuk dibilang tenang, tetapi waktu terus berjalan tanpa memperhatikan perasaanku. Aku harus segera memikirkan bagaimana cara memperbaiki semuanya mulai besok.
“Aku juga ikut.”
Hinako menarik bajuku dan berkata demikian.
“...Yah, baiklah.”
Sebenarnya, dia selalu ikut bersamaku. Ketika dia tertekan karena tugas yang diberikan oleh Kagen-san, dia sering dibawa oleh Shizune-san, tapi belakangan ini kejadian begitu mulai semakin jarang.
“Hari ini aku lumayan sibuk, jadi aku tidak bisa banyak bicara, loh?”
“Mm. Aku senang bisa berada di samping Itsuki."
Jika ini adalah diriku yang biasa, mungkin aku akan merasa malu.
Namun, dalam keadaan cemas yang tak berujung, aku menjawab dengan suara tenang, “Begitu ya” sampai-sampai mengejutkan diriku sendiri.
Setelah kembali ke dalam kamarku, aku segera menyalakan laptop.
(Aku harus segera melaporkan situasi ini kepada Tennouji-san dan Narika.)
Sudah satu jam sejak aku berpisah dengan mereka. Meskipun aku tidak yakin apakah aku masih bisa tetap tenang, tapi aku memilih untuk mengirim pesan daripada melakukan panggilan.
Minato-senpai telah menjebak kami. Aku menyampaikan fakta itu sebisa mungkin tanpa melibatkan perasaan pribadi kepada mereka berdua.
Setelah mengirim pesan kepada mereka, aku menghela napas pelan.
“Itsuki, kamu baik-baik saja...?”
“...Ah, aku sudah mulai tenang.”
Itu bohong. Aku masih belum bisa mengatakan kalau diriku sudah tenang.
Aku harus berpura-pura tenang hanya dengan kata-kata, jika tidak, kepalaku tidak akan bisa mendingin.
(...Aku harus menyusun hasil kuesioner.)
Kuesioner yang dibagikan saat pemasaran gerilya belum sepenuhnya terkonfirmasi karena ada rapat strategi debat yang menyela.
Aku melanjutkan membaca kuesioner yang telah dipisahkan oleh Kita dan Suminoe-san. Di tengah jalan, aku merasakan ketidaknyamanan yang kuat dari salah satu lembar kuesioner yang kupegang. Ketidaknyamanan ini sama persis dengan yang kurasakan saat rapat strategi debat.
(Ini, benar-benar――――)
Kemarahan yang mendidih di dalam dadaku terhubung dengan ketidaknyamanan yang berasal dari kuesioner tersebut. Kemarahan yang hampir tenggelam itu kini muncul kembali karena ketidaknyamanan ini.
“Sialan!!”
Karena terlalu frustrasi, aku berteriak dan merobek kuesioner itu.
Hinako yang duduk di tepi tempat tidur terkejut dan tubuhnya gemetaran. Aku menangkap sosoknya di sudut pandangku, dan rasanya seperti disiram air dingin di kepala.
“Maaf, Hinako. Aku benar-benar minta maaf...”
“Tidak apa-apa... aku hanya sedikit terkejut.”
Aku sendiri juga terkejut melihat betapa marahnya diriku.
Melihat kuesioner yang robek, aku meletakkan tangan di dahiku. Mungkin baru pertama kalinya aku semarah ini. Bahkan saat orang tuaku melarikan diri di malam hari, aku tidak pernah semarah sekarang.
“...Apa yang terjadi?”
Hinako bertanya. Setelah mengejutkannya dan menakutinya, aku merasa memiliki kewajiban untuk menjelaskan. Aku menjawab sambil tetap memegang dahi.
“...Sebenarnya, aku sudah menyadarinya sejak pulang sekolah kemarin, tapi ada beberapa jawaban dalam kuesioner yang hanya bertujuan untuk membingungkan kita.”
Sekilas, isinya terlihat mendukung kami. Namun jika dibaca dengan seksama, isinya secara halus mengarahkan kami menuju kehancuran.
Sebuah jebakan yang sangat cerdik telah dipasang dalam kuesioner itu.
“Pengaruh kubu Jouto sudah sampai sejauh ini...”
Ini adalah kelompok yang bisa merusak komputer di akademi untuk mencuri data. Mungkin aku seharusnya sudah mengantisipasi bahwa mereka akan memanipulasi hasil penghitungan kuesioner.
Hinako terdiam. Aku juga tercengang ketika menyadarinya.
Mereka benar-benar sampai sejauh itu――.
Meskipun aku menyadarinya, tidak ada gunanya jika aku tidak bisa menghentikannya. Meskipun aku menganggapnya sepele, jika diperhatikan baik-baik, strategi Jouto telah memberi celah pada mentalitasku. Mungkin semua ini adalah taktik luar biasa untuk membebani mental kami.
(...Karena aku tidak ingin merepotkan semua orang, jadi aku tidak ingin menggunakan cara seperti itu.)
Jika aku menggunakan taktik licik, itu akan mencemari wajah Tennouji-san dan Narika. Lagipula, mengingat sifat mereka, aku yakin mereka akan menolaknya jika aku meminta bantuan.
Tapi...
(...Apa aku terlalu naif?)
Ap aini pilihan yang benar-benar bijak untuk tetap diam saja setelah diperlakukan begini?
Jika aku mencoba menggunakan taktik licik, Tennouji-san dan Narika pasti akan menghentikanku. Jika begitu, sebaiknya aku melakukannya dengan cara yang tidak diketahui oleh kedua orang itu, sama seperti yang dilakukan Rintarou.
Pilihan yang sebelumnya kuhapus karena ada risikonya. Namun sekarang, aku merasa bodoh jika takut pada risiko.
Aku telah kalah dari Minato-senpai yang mengambil risiko. Aku merasakan kekalahan yang menyakitkan.
―――― Mata dibalas mata, gigi dibalas gigi.
Saat Minato-senpai berbalik menjadi musuh, aku menjaga keseimbangan dukungan dengan bantuan Hinako.
Jika mereka menggunakan taktik yang tercela, mengapa aku tidak bisa menggunakan cara yang sama?
Aku tidak ingin mencoreng nama baik Tennouji-san dan Narika. Dengan tekad dan pemikiran seperti itu, aku menjauhkan diri dari taktik licik sampai sekarang.
Tetapi jika aku memikirkannya secara objektif, bukankah sudah terlalalu terlambat sekarang?
Karena aku telah mencoreng nama baik mereka berdua. Hal yang paling membuatku marah adalah diriku sendiri yang telah mempermalukan Tennouji-san dan Narika.
“……Aku tidak bisa merepotkan mereka lebih jauh lagi.”
Kata-kata itu keluar dari bibirku.
Aku tidak perlu melindungi diriku sendiri lagi. Pada titik ini, aku akan mengesampingkan apa yang orang lain pikirkan tentangku untuk saat ini.
Aku akan fokus pada jalur tercepat untuk membuat mereka menang.
Jika dipikir-piki lagi, Takuma-san sudah menyarankan taktik serupa padaku sejak awal. Meskipun Hinako dan Shizune-san tidak menyukai Takuma-san, kemampuannya memang nyata. Faktanya, aku mendapatkan hasil baik dalam permainan manajemen berkat saran dari orang itu.
Seandainya aku mengikuti semua yang dikatakannya sejak awal...
(Aku akan coba memikirkannya.... cuma sekali saja.)
Aku mencoba merencanakan strategi.
Tidak hanya menggunakan metode serangan yang benar seperti sebelumnya, tapi juga termasuk cara yang mengabaikan moral.
Kemudian――――.
(Ha, ha...)
Setelah menemukan strategi dengan syarat apa pun boleh, aku tidak bisa menahan senyum.
Mengapa ya? ――Aku bisa memikirkan banyak hal.
Bagaimana jika menyiapkan janji palsu? Menyiapkan janji yang hanya menguntungkan siswa. Bahkan jika janji itu tidak bisa diwujudkan, aku bisa membuat alasan yang sesuai nanti untuk menutupi semuanya.
Bagaimana jika kita memalsukan bukti bahwa kelompok Jouto melakukan kecurangan? Insiden di debat tidak bisa dilaporkan karena tidak ada bukti, tetapi jika tidak ada bukti, kita bisa membuatnya. Membuat bukti yang sulit dibantah oleh kubu Jouto dan mengacaukan suasana sampai hari pidato terakhir sepertinya adalah strategi yang efektif.
Menemukan siswa dari kubu Jouto yang mengisi kuesioner dengan jawaban palsu dan menjadikannya mata-mata ganda juga bisa menjadi pilihan bagus. Jika kita mengancam mereka dengan alasan mengganggu kampanye pemilihan, mereka mungkin akan menurut. Meskipun tidak melanggar sesuatu, siswa itu pasti tidak ingin reputasinya jatuh di akademi. Meskipun perlu mencari pelakunya, aku merasa ini adalah bidang yang menjadi keahlianku.
Ide-ide ini muncul. ――Banyak ide yang muncul. Cara-cara yang mengabaikan moral. Rencana licik yang tidak akan muncul dari orang yang bersih dan jujur.
Kemampuan untuk melihat di balik data. Takuma-san pernah mengatakan bahwa aku memiliki kemampuan itu.
Jika aku memiliki kemampuan untuk melihat di balik data――aku juga pasti memiliki kemampuan untuk memalsukan data.
Karena aku mengerti. Ketika orang melihat data, bagaimana mereka berusaha membaca di baliknya. Latar belakang pembuatnya, filosofi yang terkandung, poin-poin penting, angka-angka yang mudah disesatkan... Aku mengerti bagaimana orang berusaha membaca data.
Jika begitu, aku bisa memanfaatkan itu untuk membuat data yang tidak akan terungkap oleh siapa pun.
Aku pasti bisa menemukan cara untuk berbohong yang tidak akan pernah ketahuan.
Jika aku memiliki kemampuan untuk mengintip, adalah wajar jika aku juga memiliki kemampuan untuk menghindari dari diintip.
(Itulah yang disarankan Takuma-san.)
Aku teringat saat mendengar Takuma-san berbicara tentang tipe politisi dan tipe pengusaha. Orang itu juga mengatakan bahwa merencanakan taktik licik adalah bidang di mana bakatku paling bersinar.
Meskipun begitu, aku merasa tidak terlalu senang mendengarnya. Aku bahkan berpikir seandainya aku memiliki bakat yang berbeda.
Tapi, bukannya ini berbeda?
Bakatku ada――untuk momen ini, bukan?
“Itsuki.”
Saat namaku dipanggil, aku merasa seolah-olah jantungku dicengkeram.
Maaf――aku hampir mengatakan itu secara refleks dan menutup mulutku. Padahal, seharusnya aku belum melakukan kesalahan apapun, tetapi aku merasa sangat tidak nyaman.
Pikiranku sedang kacau balau, dan keringat dingin mengalir dari dahiku.
Hinako menatapku dengan tajam saat aku berusaha menyamarkan kegelisahanku.
“Apa yang kamu pikirkan?”
“…Aku sedang memikirkan rencana berikutnya. Aku baru saja mendapatkan ide yang bagus.”
Aku tidak berbohong.
Namun, Hinako tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun,
“Apa benar cuma itu?”
Mata Hinako yang polos menangkapku dan tidak mau melepaskanku.
“Ekspresi wajah Itsuki tadi… sama seperti kakak saat ia memikirkan hal-hal yang tidak menyenangkan.”
Sama dengan Takuma-san…
Aku tahu siapa Takuma-san bagi Hinako. Artinya, Hinako telah melihat melalui diriku. Bahwa aku berniat untuk menggunakan taktik licik.
“…………… Apa itu terlihat di wajahku?”
“Ya. Itsuki memang tetaplah Itsuki, kamu tidak berusaha menutupinya dariku.”
Hinako tersenyum lembut, seolah merasa lega.
“Itsuki, diamlah di situ.”
“Eh…?”
Hinako berdiri dan berjalan mendekatiku.
Apa yang ingin dia lakukan? Apa dia ingin melihat layar komputer yang ada di meja?
Saat aku berpikir begitu――Hinako tiba-tiba memelukku dengan erat.
Dia memegang bagian belakang kepalaku dan dengan lembut menarikku mendekat. Aku membenamkan wajahku di kedalaman dadanya yang lembut dan anggun.
“Hi-Hinako!?”
“――Tidak apa-apa.”
Suara yang sangat… sangat lembut itu terdengar dari atas kepalaku.
“Itsuki. …Semuanya akan baik-baik saja.”
Tangan Hinako dengan lembut mengelus kepalaku.
“Jangan sampai kamu merasa putus asa hanya karena satu kegagalan.”
Hati yang sedang kacau ini, anehnya mulai mendadak tenang.
Keberadaan hangat dari tubuh manusia mengalir ke dalam diriku, perlahan-lahan melelehkan kebencian yang bersarang di dalam diriku.
Gadis yang seharusnya telah berjuang ratusan kali lebih keras dariku, memelukku seperti ini, membuat rasa bersalah dan malu berputar-putar di dalam diriku.
“Tapi...”
Kata-kata itu keluar begitu saja dari tenggorokanku.
“Tapi… aku tidak boleh gagal, walaupun itu hanya satu kali…”
Itu adalah kegagalan besar.
Tennouji-san dan Narika telah menciptakan pemandangan di mana mereka menyerah kepada Jouto. Mengubah citra kekalahan yang dihasilkan di sini dalam waktu beberapa hari tersisa adalah tugas yang sangat sulit.
Aku tidak masalah jika itu hanya kekalahanku. Tapi aku telah membebani dua orang yang aku hormati dari lubuk hatiku dengan kekalahan.
Itu adalah satu kali kegagalan yang tidak boleh terjadi――.
“Tidak ada hal yang semacam itu.”
Hinako menatapku dengan serius dan berkata.
“Ingatlah saat aku gagal dengan aturan tiga detik.”
Aku tidak mengerti apa yang ingin dia sampaikan, tetapi seperti yang dia katakan, aku mulai mengingatnya.
Itu adalah kejadian ketika Hinako secara tidak sengaja mengambil sepotong kue yang telah dia jatuhkan karena aturan tiga detik saat makan malam dengan seorang klien dan dimarahi karenanya. Sekarang kedengarannya sangat konyol, tetapi saat itu Hinako baru saja bertemu denganku dan sangat tertarik dengan budaya orang biasa. Mungkin saat dia lengah, kebiasaannya muncul begitu saja.
“Siapa yang membantuku saat itu…?”
Setelah sedikit berpikir, aku menjawab.
“…………Shizune-san.”
“Fufu… Tidak menyebutkan dirimu sendiri, memang khas dari Itsuki.”
Hinako tertawa.
Tidak, aku mengerti. Aku juga merasa kalau akulah salah satu yang membantu Hinako. Tapi berkaitan dengan hal itu, aku merasa aku adalah penyebabnya, jadi aku tidak bisa dengan mudah menyebut namaku.
“Orang yang membantuku adalah Itsuki, Shizune. Lalu, Tennouji-san, Miyakojima-san, Asahi-san dan Taisho-kun.”
Satu per satu, Hinako dengan hati-hati menyebutkan nama orang-orang yang membantunya. Seolah-olah dia sedang mengucapkan doa.
“Tapi, kurasa orang yang benar-benar membantuku hanya Itsuki dan Shizune.”
Apa maksudnya?
“Kurasa Tennouji-san dan yang lainnya hanya ingin membantu Itsuki.”
“Aku…?”
“Ya. Itsuki telah membantu aku. …Dan Itsuki yang seperti itu, dibantu oleh Tennouji-san dan yang lainnya.”
Hinako mengatakannya dengan senyuman bahagia.
“Itsuki… jangan terburu-buru. Di sekelilingmu, selalu ada banyak orang yang siap membantumu.”
Sorot matanya yang dipenuhi kebaikan itu memantulkan wajahku yang terpuruk.
“Tidak ada yang menganggap Itsuki merepotkan.”
Begitu Hinako mengatakan itu, tiba-tiba suara elektronik kecil dari komputer terdengar, memberi tahu bahwa ada panggilan video masuk.
Penelponnya adalah Tennouji-san.
“Lihat?”
Hinako tersenyum seolah-olah dia sudah mengetahui perkembangan ini akan terjadi.
Aku memulai panggilan tersebut dalam diam.
“Tomonari-san!!”
Suara keras Tennouji-san terdengar dari speaker komputer.
“Di kesempatan berikutnya, kita pasti akan menang――!!”
Tennouji-san berkata dengan semangat yang tinggi.
Aku tidak bisa mengikuti semangatnya dan terdiam sejenak.
“…………Eh?”
“Eh, bukan begitu!! Rasa malu dan penghinaan yang kualami di debat itu… hanya mengingatnya saja sudah membuat tanganku bergetar!! Aku akan segera membalas dendam!!”
Setelah mendengar itu, akhirnya aku memahami pemikiran Tennouji-san.
Orang ini sudah memikirkan langkah berikutnya.
“U-Umm…”
“Apa!?”
“Jadi… memangnya kamu tidak merasakan apa-apa tentang itu? Kita dijebak dalam perangkap yang dipasang oleh Minato-senpai…”
“Hal seperti itu—tentu saja membuat perutku mendidih!!”
Suara marah terdengar.
“Lantas, memangnya kenapa!!”
Suara marah itu setengah ditujukan kepada Tennouji-san sendiri.
“Sayangnya, aku sudah terbiasa dengan kekalahan. Sejak datang ke akademi ini, aku terus-menerus mengalami kekalahan.”
Hanya ada satu orang yang telah mengalahkan Tennouji-san berkali-kali.
Seorang Ojou sempurna. ――Konohana Hinako. Dia adalah gadis yang duduk di sampingku.
“Aku telah mengalami penghinaan yang tak terhitung jumlahnya yang membuat tubuhku gemetar. Oleh karena itu, menghadapi rintangan seperti ini tidak perlu dibicarakan!!”
Pasti ada rasa menyesal di dalam hatinya. Namun, itu bukan sesuatu yang perlu dibicarakan. Bagi Tennouji Mirei, penyesalan merupakan sesuatu yang selalu ada dalam kehidupannya.
Saat aku tertekan oleh semangat Tennouji-san, komputer kembali memberi tahu bahwa ada panggilan masuk.
“…Narika?”
“Oh? Waktunya pas sekali.”
Narika meminta untuk bergabung dalam panggilan video kami. Karena aplikasi panggilan ini juga digunakan dalam permainan manajemen, aku, Tennouji-san, dan Narika sudah terbiasa menggunakannya.
Setelah memberi izin untuk bergabung, wajah Narika muncul di monitor, dan suaranya terdengar.
“Maaf, aku mengganggu panggilan kalian.”
“Tidak apa-apa. …Umm, ada keperluan apa?”
“Ah, ya. Sebenarnya, aku ingin mengumumkan sesuatu.”
Pengumuman?
Ketika aku memandangnya dengan keheranan, Narika menatapku dengan ekspresi serius.
“Itsuki.――Kita harus menang.”
Dengan sikap bermartabat, Narika menunjukkan tekad yang kuat.
“Sepertinya Minato-senpai juga memiliki maksud tertentu, tetapi terlepas dari situasi apa pun, menjatuhkan orang dengan cara yang licik merupakan tindakan yang tidak bisa diterima. Orang yang membiarkan cara seperti itu, seperti Jouto-kun, juga bertanggung jawab.”
Narika melanjutkan.
“Ketika aku menerima pesan dari Itsuki, aku teringat saat sedang memperlihatkan teknik iai. …Gerakan pedang Jouto-kun sangat mengesankan. Oleh karena itu, kita perlu mengoreksinya. Mungkin ini hanya pikiranku saja, tetapi bukannya ia sebenarnya memiliki sifat yang jujur? Jika pria seperti itu menggunakan cara yang menyimpang, maka seharusnya kita segera memberikan pelajaran padanya. Seseorang yang bercita-cita menjadi ketua seharusnya tidak melarikan diri dari jalan yang benar.”
“…Kamu berbicara seperti seorang samurai.”
“Apa kamu lupa? Keluarga Miyakojima adalah keturunan samurai.”
Kalau diingat-ingat lagi, itu memang benar.
Meskipun terdengar agak berlebihan, itu terasa pas karena aura yang selalu dibawa Narika mengingatkan pada seorang samurai.
Aku teringat ketika dalam permainan manajemen, aku menerima gulungan yang berisi lima prinsip keluarga Miyakojima. Pasti ada kalimat seperti ini di dalamnya.
[Kita harus memiliki budaya perusahaan yang menegakkan keadilan]
Menegakkan keadilan… Di hadapan Narika yang memiliki keyakinan itu, aku tidak berani mencoba rencana yang licik. Jika aku menggunakan cara yang sama seperti Jouto, aku bisa saja ditebas oleh Narika.
“…Begitu ya.”
Iya, benar.
Mengapa aku merasa terpojok sendirian?
Padahal, aku memiliki orang-orang yang sangat bisa diandalkan di sekitarku...
Ketika aku melihat Hinako, dia tersenyum dan mengangguk perlahan.
Apa yang dikatakan Hinako memang benar. Di sekitarku, ada banyak orang yang siap membantuku.
Setelah menghela napas perlahan, aku—menghantamkan kedua pipiku dengan keras.
“To-Tomonari-san!?”
“I-Itsuki!?”
Mungkin karena aku memukulnya dengan sedikit serius, Tennouji-san dan Narika terlihat khawatir.
“Maaf, aku membutuhkan semangat.”
“Se-Semangat? Tapi wajahmu sampai kelihatan bengkak begitu loh...?”
“Masih kurang. Aku bahkan berpikir untuk memukul dengan kepalan tangan.”
Namun, dengan ini, aku merasa seperti diriku yang sebelumnya sudah mati.
Jika suatu saat aku merasa terpuruk lagi... saat itu, aku akan meminta bantuan lagi.
“Ayo kita menangkan pemilihan ini. Aku ingin memikirkan strategi untuk itu sekarang.”
“Iya...!”
“Tidak perlu dikatakan lagi aku sudah berniat begitu!”
Melihat semangat kedua orang itu, aku menemukan harapan. Belum. Kita belum kalah. Kita masih bisa bangkit dari sini.
“Karena diskusi kita akan memakan waktu lama, jadi aku akan mengambil minuman dulu!”
Setelah mengatakannya, Aku berdiri dan meninggalkan ruangan untuk pergi ke dapur. Saat aku meninggalkan ruangan, aku berpapasan dengan Shizune-san, yang sedang membawa troli teh.
“Shizune-san?”
“Karena sepertinya akan berlangsung lama, jadi aku membawakan minuman.”
“...Kamu benar-benar mengerti diriku.”
“Tentu saja. Karena aku sudah lama mengawasimu.”
Begitu dia mengatakannya, aku merasa jadi sedikit malu.
Di troli tersebut ada minuman untuk Hinako juga. Kira-kira di teko itu ada teh hitam? Rasanya sungguh menyenangkan bisa menikmati minuman mewah di waktu seperti ini. Hal itu bisa meningkatkan suasana hati.
“Itsuki-san.”
Shizune-san memanggilku dengan nada serius.
“Jangan terlalu besar kepala. Tennouji-sama dan Miyakojima-sama tidak bergantung padamu. Jika kamu merasa terpuruk, bukannya berarti kedua orang itu akan terhenti.”
“...Benar juga. Mungkin aku sedikit terlalu sombong.”
Setelah kesalahan kali ini, aku merasa seolah-olah kami telah hancur.
Namun, itu hanyalah kesombongan semata. Meskipun itu kehancuranku, tapi itu mungkin tidak sama bagi Tennouji-san dan Narika. Tidak peduli seberapa dalam aku terpuruk dalam keputusasaan, mungkin bagi kedua orang itu, kesulitan ini masih bisa diatasi.
Aku telah mengabaikan kemungkinan yang begitu jelas.
“Yang perlu kamu lakukan ialah tidak perlu terlalu tegang.”
Shizune-san tersenyum lembut.
“Melalui upayamu yang tak kenal lelah, kamu sudah tumbuh menjadi seseorang yang mampu memikul nasib seseorang. Namun, memikul bukanlah selalu hal yang benar. Meskipun kamu memiliki kekuatan itu, terkadang lebih baik untuk tidak memikulnya.”
Itu adalah nasihat yang sangat berharga.
Setelah melalui permainan manajemen dan melewati beberapa rintangan dalam pemilihan kali ini, aku merasakan pertumbuhanku, meskipun sedikit.
Karena itulah, mungkin aku sedikit terlalu percaya diri.
Apa aku dijebak oleh Minato-senpai? Apa aku dikecohkan oleh rencana kubu Jouto? —Sejak kapan aku menjadi orang yang mudah terpengaruh oleh hal-hal sepele seperti itu? Minato-senpai, mantan ketua OSIS, adalah sosok yang jauh lebih unggul dariku. Jouto pun adalah pria yang sangat luar biasa. Sejak awal ada kemungkinan besar aku akan kalah.
Memang ada perasaan ingin mengkritik cara yang salah. Namun, tidak ada gunanya merasa terpuruk dengan perasaan “aku sudah kalah”.
Aku sangat menyesali telah mencemarkan reputasi baik Tennouji-san dan Narika. Namun, wajah kedua orang ini tidak akan mudah suram.
Aku kembali ke ruangan bersama Shizune-san. Shizune-san membungkuk kepada Hinako yang menoleh, lalu meletakkan troli minuman di tengah ruangan.
Aku mengambil cangkir dan tatakannya, meletakkannya di atas meja, dan duduk.
“Maaf sudah membuat kalian menunggu.”
“Oh, kamu sudah membawanya?”
“Ya. Shizune-san yang membawakannya.”
Tennouji-san tahu tentang keberadaan Shizune-san. Ketika aku mengungkapkan identitasku yang sebenarnya, dia pernah meminta saran kepada Shizune-san, bukan kepada Kagen-san.
Aku meneguk teh yang disediakan. Rasanya sedikit pedas dari jahe. Tubuhku terasa hangat dan energiku meningkat.
Ngomong-ngomong, selama aku pergi mengambil teh, sosok Narika menghilang dari monitor. Dia pergi ke mana? Saat aku berpikir begitu, terdengar suara langkah kaki yang bergegas, dan Narika kembali muncul di layar monitor.
“Aku sudah mendapatkan izin dari Ibu!! Hari ini katanya aku boleh begadang!!”
“Tidak, begadang sepertinya akan berdampak pada hari berikutnya, jadi aku tidak ingin melakukannya...”
“Eh!? Padahal aku sudah sangat menantikannya...”
Melihat Narika yang terlihat kecewa seperti anak kecil, aku hanya bisa tersenyum kecut. Aku tidak ingin begadang, tetapi semangat untuk begadang bisa meningkatkan moral kami.
Saat suasana mulai ramai, tiba-tiba...
“Kalau begitu, aku juga akan memberikan sedikit bantuanku."
“Hi――Ko-Konohana-san!?"
Karena hampir memanggilnya dengan Hinako seperti biasa, aku buru-buru mengganti sebutannya. Aku terkejut sampai hampir melompat mendengar suara tiba-tiba dari Hinako, tetapi...
(...Ya, mungkin tidak apa-apa jika kedua orang ini tahu.)
Berbeda dengan orang-orang di akademi, Tennouji-san dan Narika tahu bahwa identitasku hanyalah seorang rakyat biasa, dan mereka juga tahu bahwa aku tinggal di rumah Hinako.
Aku menyadari bahwa tidak perlu panik, dan menenangkan diri, tetapi....
“Kuh...!”
“Mmm...!”
Entrah mengapa, Tennouji-san dan Narika tiba-tiba tampak murung.
“Umm... aku tahu bahwa kalian berdua menghabiskan waktu di tempat yang sama, tetapi...”
“Ketika melihat pemandangan seperti ini... ada sesuatu yang menggetarkan di hati...”
Tennouji-san membuat wajah seperti sedang mengunyah sesuatu yang pahit, sementara Narika meletakkan tangan di dada.
Memang, jika dipikir-pikir, pemandanganku yang mengenakan pakaian santai dan Hinako yang juga mengenakan pakaian santai berada di satu ruangan pasti terasa berbeda dari yang biasanya terlihat di akademi.
Melihat tingkah kedua orang itu, Hinako sejenak tersenyum bangga,
“Tomonari-san. Mau aku pijat bahumu?”
“Eh? Ah, ya. Tolong...”
Mengapa dia tiba-tiba melakukan hal seperti itu?
Aku merasa senang, jadi tidak masalah...
Lengan Hinako yang ramping lembut menyentuh bahuku.
“Ah――――ahhhhhhhh!? Ko-Konohana Hinako!? Apa yang kamu lakukan!?”
“Itsuki!! Kenapa kamu malah mengizinkannya!? Itu tidak adil――eh, maksudku, itu kotor banget!!”
“Tidak, ini bukannya kotor atau semacamnya.”
Bahuku bersih.
“Hehe... bahu Tomonari-san terasa kaku sekali ya.”
“Tu-Tu-Tu-Tu-Tunggu sebentar!? Bukannya kamu terlalu banyak menyentuhnya!?”
“Betul banget, betul banget!! Kamu bukan hanya sekadar memijatnya, tapi kamu malah mengelus-elusnya!!"
Itu juga yang kupikirkan.
Bukannya memijatnya, aku merasa seperti dibelai di sekujur tubuhku, dan itu membuatku geli.
Setelah beberapa saat, Hinako melepaskan tangannya dari bahuku.
“Fyuh... maaf, aku jadi sedikit mengantuk. Tomonari-san, boleh aku meminjam tempat tidurmu?”
“Iy-Iya, tidak masalah...”
Oi...?
Bukannya dia tadi bilang akan ikut membantu...?
“T-T-T-T-Te-Tempat tidurnya Tomonari-sannnnnnnnn!?!”
“It-It-It-It-It-Itu sangat kotor! Itu tidak boleh sama sekali!!”
Tennouji-san terkejut dan Narika menunjuk dengan kuat.
Mungkin karena mereka berdua bersuara keras, pintu kamar mereka terbuka dengan suara berderit, dan pelayan masing-masing muncul. “Ojou-sama!?” “Apa yang terjadi!?” terdengar, tetapi Tennouji-san dan Narika terpaku menatap monitor.
Sementara itu, Hinako berguling di tempat tidurku dan bergumam dengan bahagia.
“Hehe... aku bisa mencium bau Tomonari-san.”
“Aku merasa akan gila~~~~~~!!”
“Hah... hah, hah...!! Entah kenapa, aku tiba-tiba ingin memegang pedang...!!”
Tennouji-san menggaruk kepalanya, sementara Narika tampak gemetaran. Pelayan di belakang mereka tampak khawatir dengan wajah pucat. Aku mendengar kata-kata seperti “Apa beliau mulai gila?”, tetapi apakah semuanya baik-baik saja?
Hari ini, aku belum tidur maupun berbaring di atas kasur sejak pulang, dan mungkin bau tempat tidur itu adalah bau deterjen atau pelembut. Karena musim dingin mendekat, perlengkapan tidur pelayan telah diganti dengan selimut bulu, jadi mungkin itu bau deterjen. Selimut bulu tidak bisa menggunakan pelembut.
Aku yakin bau yang sama berasal dari tempat tidur Hinako...
Hinako tersenyum geli saat dia melihat Tennouji-san dan yang lainnya menggeliat kesakitan.
“Hehehehehehe...”
Hinako...?
Kok rasanya seperti dia sedang bermain-main...?
“Permisiiiiiii...”
Tiba-tiba, pintu kamarku terbuka.
Yuri masuk ke dalam ruangan dengan suara riang.
“Aku membawakan beberapa kue hangat untuk menemani minum teh kalian.”
“Terima kasih, Hirano-san.”
Hinako, sebagai seorang Ojou-sama yang sempurna, menundukkan kepala dengan anggun.
Sementara itu, aku baru tahu bahwa Yuki ada di rumah ini hari ini, jadi reaksiku sedikit terlambat.
“Hina... Konohana-sana, apa kamu sudah tahu sejak awal kalau Yuri ada di sini?”
“Ya. Dia bilang akan berlatih memasak hingga larut malam.”
“...Kenapa kamu tidak memberitahuku?”
“Aku merasa kamu sedang memikirkan sesuatu.”
Itulah sebabnya dia memilih untuk diam. Yuri tersenyum padaku yang tidak bisa berkata apa-apa.
“Kalau kamu masih terus seperti ini, berarti kamu masih mempunyai jalan yang panjang.”
“...Iya, aku masih jauh.”
“Ya. Ambil gula, dan cepatlah pulih.”
Yuri meletakkan nampan di atas troli teh. Di atas nampan itu terdapat berbagai bentuk kue kering. Aku mengambil satu dan memasukkannya ke dalam mulutku.
...Rasanya menyentuh hati.
Kebaikan semua orang begitu menyentuh hatiku.
Setelah menikmati manisnya kue kering, aku kembali fokus pada komputer.
“---Ayo kita mulai.”
Meskipun seharusnya menjadi ucapan untuk diriku sendiri, Tennouji-san dan Narika yang muncul di monitor juga mengangguk serius. Istirahat sudah berakhir. Malam ini sepertinya akan panjang.
“Boleh aku menonton di sini?”
Yuri bertanya dengan ragu.
“Tentu saja. Meskipun kurasa ini tidak akan menarik...”
“Rasanya menarik kok.”
Yuri mengatakannya seolah-olah itu sudah pasti.
“Melihat Itsuki itu menarik. Iya ‘kan, Konohana-san?”
“Iya. Aku tidak pernah merasa bosan.”
“Aku juga setuju.”
“Aku bisa terus menontonnya.”
Kenapa mereka semua setuju seperti ini...?
Sambil merasakan tatapan Yuri, aku memeriksa kertas kuesioner.
“Periode pemilihan tinggal dua hari lagi. Kegiatan di hari terakhir hanya berupa pidato pagi, jadi satu-satunya kesempatan kita untuk melakukan sesuatu adalah besok.”
Di hari terakhir, setelah para calon ketua memberikan pidato di aula pada pagi hari, pemungutan suara dan pengumuman hasil akan segera dilakukan.
Besok adalah satu-satunya hari untuk menjalankan strategi yang berani, tetapi situasi baru saja kalah dalam debat tidak memungkinkan untuk melakukan rencana yang ceroboh. Pada titik kemarin, dukungan tampaknya sedikit lebih menguntungkan untuk kubu Jouto. Meskipun tidak ada perbedaan besar karena sebelumnya ada keunggulan, mempertimbangkan bahwa dukungan kemungkinan akan turun besok, sangat mungkin bahwa rencana yang biasa-biasa saja tidak akan mengubah keadaan.
“Aku ingin melakukan sesuatu yang berani sama seperti saat pemasaran gerilya,” kata Tennouji-san.
“Itu mungkin menjadi risiko tinggi dengan imbalan tinggi... tapi, kamu yakin ingin melakukannya?”
“Ya. Jika kita melakukan sesuatu yang cukup mencolok, orang-orang akan melupakan hasil hari ini. Meskipun aku tidak suka menyembunyikan kekalahan, berdasarkan apa yang kudengar, kali ini bukanlah cara kalah yang bisa diterima.”
Kupikir itu adalah pendapat yang rasional karena pemikiran positifnya. Jika ada sesuatu yang cukup untuk membuat orang melupakan kekalahan dalam debat, kita bisa menemukan peluang untuk menang.
“Apa kamu setuju dengan strategi itu, Narika?”
“Ya, aku juga setuju.”
“Oke. ... Kalau begitu mari kita buat strategi berdasarkan itu.”
Setelah kami mulai saling berbagi ide, kami kembali fokus pada kuesioner. Sambil memikirkan apakah ada ide bagus, aku membayangkan wajah Takuma-san.
(...Maaf, Takuma-san)
Aku meminta maaf dalam hati kepada mentorku.
Dari kejadian ini, aku menyadari satu hal.
(Aku tidak mampu melakukan strategi tipu muslihat.)
Ketika aku berpikir tentang hal yang membuatku merasa bersalah, Hinako memanggil namaku, dan aku hampir meminta maaf secara refleks. Hatiku begitu takut sehingga membuatku hampir menangis.
Mungkin, meskipun aku bisa memikirkan strategi licik, aku tidak memiliki keberanian untuk melaksanakannya.
Aku bukanlah orang yang memiliki keberanian untuk menjebak orang lain.
Aku sangat takut jika kejahatan terlihat oleh orang lain. Aku merasa tidak bisa berbicara dengan orang-orang dekatku. Tanganku dan suaraku akan terus bergetar, dan aku pasti takkan bisa tidur nyenyak di malam hari.
(Jadi, jika aku memiliki bakat... aku akan menggunakannya hanya untuk hal yang benar)
Aku mungkin akan mengecewakan harapan Takuma-san. Hubungan guru-murid yang terjalin secara tidak resmi ini mungkin akan berakhir. Namun, aku memutuskan untuk menjauh dari satregi licik.
Bakat untuk melihat di balik data.
Aku akan menggunakannya demi hal yang benar.
Aku berkonsentrasi dan membaca kuesioner. ...melihat suara jujur para siswa yang mengisi survei ini. Di balik selembar kertas ini, pasti tersembunyi suara hati para siswa.
Konsentrasi, konsentrasi, konsentrasi――――tiba-tiba aku menyadari sesuatu.
Awalnya, aku menganggap itu sebagai sesuatu yang sepele. Namun, setelah melihat hal-hal serupa satu demi satu, aku mulai menyadari bahwa itu bisa menjadi senjata yang sangat berharga.
Setelah mengumpulkan kertas kuesioner menjadi satu tumpukan, aku melihat ke arah Hinako.
“Konohana-san, bisakah kamu membantuku untuk menyortir kertas kuesioner ini seperti yang kukatakan?”
“Baiklah.”
Hinako yang tampak bersantai dengan bergembira bersama Yuri, berkata, “Ufufufu, enak sekali, ya?” “....Memang enak...” Aku meminta bantuannya. Kedua orang ini tampaknya sudah cukup akrab.
Setelah menerima tumpukan kertas, aku menjelaskan cara pengelompokan.
“Tolong pisahkan antara yang berkaitan dengan pemilihan dan yang berkaitan dengan masa depan pemilihan.”
Hinako sedikit melebarkan matanya.
Instruksi yang aneh. Namun, ada kepastian yang jelas. Jadi...
“...Apa kamu melihat sesuatu?”
“Iya. Aku harus memikirkan solusinya nanti...”
Hinako mungkin menyadari bahwa aku memiliki tujuan tertentu. Dia tidak bertanya lebih lanjut dan mulai menyortir kertas kuesioner.
“Aku punya pertanyaan sederhana, tapi kira-kira pekerjaan apa saja yang dilakukan OSIS sekolah kalian?”
Aku menjawab pertanyaan Yuri setelah berpikir sejenak.
“Ada banyak hal. Misalnya saja seperti membeli barang, pembagian anggaran, pemilihan tamu untuk berbagai acara...”
“Ngomong-ngomong mengenai acara, apa itu sesuatu yang mirip seperti festival budaya?”
“Iya. Tugas pertama OSIS adalah mengelola festival budaya.”
“Heh~~”
Yuri menunjukkan minat yang mendalam.
“Festival budaya di Akademi Kekaisaran itu bersifat undangan, ‘kan? Pastikan kamu mengundangku, ya!”
“Aku tahu.”
“Kalau begitu, baiklah... Aku menantikannya.”
Yuri tersenyum dengan ekspresi sedikit malas.
Melihat sikapnya, aku yakin bahwa pikiranku tidak salah.
“Benar.”
Tiba-tiba aku mengiyakan, dan Yuri memiringkan kepalanya dengan bingung.
“Memang, aku sangat menantikannya. Festival budaya.”
Yuri semakin memiringkan kepalanya dengan lebih dalam.
Dalam interaksi yang baru saja terjadi, terdapat petunjuk tentang solusi yang aku cari. Setelah Hinako menyelesaikan pengelompokan kuesioner, aku ingin memeriksa kembali isi survei tersebut, tetapi bisa dibilang bahwa kebijakan selanjutnya sudah hampir diputuskan.
Aku melihat ke arah Tennouji-san dan Narika yang muncul di monitor.
“Aku sudah memikirkan sebuah strategi.”
Aku menjelaskan isi strategi tersebut kepada keduanya. Mereka awalnya terkejut, tetapi seiring mendengarkan penjelasanku, ekspresi mereka berubah menjadi paham. Keduanya menunjukkan pemahaman terhadap respons yang kurasakan.
Setelah memikirkannya, cuma itu adalah satu-satunya rencana yang bisa kutemukan.
Karena tidak ada ide lain yang muncul, aku memutuskan untuk merinci detailnya. Setelah memeriksa kembali survei yang telah dikelompokkan oleh Hinako, aku menyadari bahwa rencana ini memang efektif, dan aku berniat untuk tetap terjaga hingga batas waktu yang membuatku kurang tidur sambil terus merencanakan.
Perasaan semangat yang muncul karena merasakan kemajuan mendorongku untuk terus bergerak maju.
Namun, justru karena itulah, aku tidak menyadari hal yang paling penting.
Setelah mengetahui apa yang dilakukan Minato-senpai kepada kami, Narika berkata, “Kita harus menang”. Dia juga mengatakan, “Ia adalah orang yang harus kita hadapi.”
Dia tidak pernah menyebutkan kata ‘aku’.
Aku tidak menyadari hal itu hingga akhir.
◇◇◇◇
Setelah video call berakhir, Narika menghela napas pelan.
Sekarang sudah larut malam. Dia harus cepat tidur. Ketika mulai berbicara, dia sangat bersemangat untuk begadang, tetapi saat rasa kantuk melanda, pikirannya menjadi tidak fokus, dan dia menyadari bahwa itu tidak efisien.
“Masih ada dua hari lagi, ya...”
Itsuki menggumamkan sisa hari pemilihan yang tersisa. Hari ini adalah Kamis, besok Jumat, dan Senin minggu depan. Dalam dua hari ini, pemilihan akan berakhir.
Sebelum hari Senin, dia harus mengambil kesimpulan.
“Aku juga harus menyelesaikan masalah ini...”


