Chapter 4 — Cahaya
Hari
terakhir masa pemilihan. Para
siswa yang berkumpul di aula duduk di kursi dan menatap panggung.
(…Dengan hari ini, semuannya akan berakhir, huh)
Beberapa
menit lagi, Tennouji-san akan muncul di panggung dan pidato akan dimulai. Setelah pidato Jouto selesai, masa pemilihan yang
panjang ini akan berakhir.
Ini
adalah pertarungan yang membutuhkan kewaspadaan
terus-menerus dari awal hingga akhir. Meskipun aku merasa ingin
memikirkan apa ada yang terlewat, rasanya sudah
terlambat jika menyadarinya sekarang. Tennouji-san dan yang lainnya sudah
bersiap untuk pidato di belakang panggung.
“Tomonari,
kamu kelihatannya cukup tenang ya.”
Taisho memberi
komentar seraya duduk di sampingku.
“Iya, karena
sudah sampai sejauh ini,
aku hanya bisa mempercayai Tennouji-san.”
Itu
adalah perasaan jujurku bahwa aku
telah melakukan segalanya.
Tentu
saja ada kegagalan dan kekalahan, tetapi aku merasa telah melakukan semua yang
bisa kulakukan. Oleh karena itu, sekarang aku menatap panggung dengan perasaan
cerah.
“Dari kelihatannya, suasananya cukup
baik.”
“Aku juga
berpikir begitu. Sepertinya acara pengalaman janji sangat sukses!”
Asahi-san setuju dengan pernyataan Taisho.
Ketika aku melihat sekeliling, tampak ada suasana mendukung Tennouji-san
di antara para siswa.
Pada hari
terakhir, tidak ada laporan pemilihan yang dibagikan. Jadi, tidak ada yang tahu
seberapa besar perubahan dukungan yang terjadi selama acara pengalaman janji,
tetapi aku merasakan respons yang cukup bagus.
Aku
memperkirakan kami sedang membalikkan keadaan, atau setidaknya dalam kondisi
imbang.
“Ah…
Tuhan, kumohon berkati Tennouji-sama…!!”
Di kursi
depan, Suminoe-san sedang berdoa kepada Tuhan.
Para
siswa yang berkumpul di aula diinstruksikan untuk duduk berdasarkan kelas.
Namun, urutan tempat duduk bebas, jadi kami berkumpul dengan orang-orang yang
terlibat dalam pemilihan.
Di sini,
selain Taisho dan
Asahi-san, ada juga Suminoe-san, Kita, dan
Hinako.
“Menurutmu,
siapa yang akan menang, Konohana-san?”
Kita
bertanya kepada Hinako.
Saat itu
juga—semua siswa di sekitarnya menoleh ke arah Hinako secara bersamaan.
Sepertinya
semua orang penasaran dengan prediksi Hinako. Namun, dengan perhatian sebanyak
ini, jawaban Hinako bisa mempengaruhi hasil suara akhir. …Pemilihan kali ini
sangat ketat. Oleh karena itu, mungkin masih ada siswa yang ragu untuk
memberikan suara mereka.
Aku
menggelengkan kepala ke arah Hinako yang duduk di sebelah kiri.
Hinako
mengangguk pelan dan menjawab.
“Aku
punya jawabanku sendiri, tetapi untuk saat ini, aku akan menahan diri.”
Terima
kasih karena sudah membaca situasi...
Jika
Hinako menjawab “Tennouji-san” di sini, mungkin akan ada lebih banyak
siswa yang memilih Tennouji-san. Namun, Tennouji-san tidak akan menginginkan
itu. Bagi Tennouji-san, Hinako adalah rival terbesarnya. Jika dia tahu bahwa
dia menjadi ketua OSIS berkat dukungan dari rivalnya, bisa jadi dia akan
mempertimbangkan untuk mundur dari posisi ketua. Tennouji-san bisa saja
melakukan hal seperti itu tanpa bercanda.
Saat aku
merasa lega, tiba-tiba aku merasakan ada tatapan yang mengarah padaku.
Hmm...?
“Sepertinya,
Tomonari-kun juga diperhatikan, ya?”
“...Aku
juga berpikir begitu.”
Aku
mengangguk atas pernyataan Asahi-san.
Ini bukan
karena kesadaran diri yang berlebihan. Dari tatapan yang kupikir tertuju pada Hinako, beberapa di
antaranya entah kenapa mengarah padaku.
Wajah
siswa-siswa yang menatapku lebih banyak menunjukkan ekspresi negatif. Ada yang
terlihat cemas, ada pula yang tampak curiga...
Yang
paling banyak adalah tatapan penuh keraguan.
(…Mereka mungkin sudah menyadari sesuatu?)
Aku bisa
memikirkan satu alasan mengapa mereka menatapku. Namun, mengapa harus pada saat
seperti ini?
Aku berusaha mengingatnya, tapi tidak
ada jawaban yang muncul, jadi aku berhenti berpikir.
Aku
merasa menyesal karena telah menimbulkan keraguan di antara mereka. Namun,
keraguan itu seharusnya bisa teratasi dalam pidato terakhir yang akan
dimulai.
Meskipun
pada akhirnya aku tidak terpilih sebagai wakil ketua...
◇◇◇◇
(Sudut
Pandang Tennouji Mirei)
Tennouji
Mirei yang mengunjungi aula, langsung diarahkan oleh petunjuk para mantan
pengurus OSIS ke belakang panggung. Sepertinya, dia hanya perlu menunggu di
sini sampai pidato terakhir dimulai.
Di
belakang panggung, Jouto Ren
sudah ada, tetapi dirinya duduk
di tempat yang terpisah.
Di
samping Mirei, ada satu gadis lain yang duduk.
“Ap-Apa aku boleh berada di sini?”
“Karena
kamu sudah diarahkan kemari, jadi bersikaplah percaya diri
saja.”
Miyakojima Narika terlihat pucat dan
bergetar.
Astaga...
Mirei tersenyum pelan.
Dia
memiliki kepribadian yang sangat kontras sama
seperti sebelumnya. Meskipun biasanya dia menunjukkan sisi yang tidak dapat
diandalkan, saat momen penting, sikapnya yang anggun bahkan bisa membuat Mirei
terpukau. Dan yang lebih parahnya lagi, gadis
tersebut tidak menyadari bahwa dia menunjukkan kemampuan
yang tinggi.
Ketika dia mendengar bahwa Narika
mengundurkan diri sebagai ketua, dua perasaan muncul dalam diri Mirei.
Kesepian, dan ketegangan. Jika Mirei menjadi ketua, dia harus menjalankan OSIS
bersama Narika ke depannya. Melaksanakan tugas di bawah tatapan Narika yang
anggun akan terasa berat, bahkan bagi Mirei sekalipun.
Narika
yang dibawa ke belakang panggung juga merupakan hasil dari pengaruhnya.
Meskipun dia mengundurkan diri, Narika yang sebelumnya merupakan calon ketua
masih menarik perhatian banyak siswa. Jika dia duduk di kursi yang sama dengan
siswa biasa di sini, pasti suasana akan menjadi ramai.
Saat
duduk menunggu di kursi, Minato Maki
datang berjalan dari depan.
“Pidato
akan segera dimulai. Mohon persiapkan
dirimu.”
Persiapannya sudah siap. Jadi Mirei, Ren, dan
yang lainnya tidak melakukan apa-apa.
Mirei dan
Narika menatap Maki dengan tajam tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Kalian berdua menatapku seperti itu memang kurang baik buat jantungku.”
“Bukannya kamu sendiri yang jadi
penyebabnya?”
Memang, Maki membalas sambil tertawa.
“Jika dilihat dari keadaan, sepertinya suasana di
sini menguntungkan Tennouji-san. Itu acara pengalaman janji, ‘kan? Acara itu sangat meriah,
jadi rasanya tidak mengherankan.”
Maki
mengambil kursi yang ada di dekatnya, meletakkannya di depan Mirei,
dan duduk di sana.
“Tapi,
kamu memiliki bom.”
Maki
berkata demikian sambil bertatapan dengan Mirei.
Bom...?
“Keberadaan
Tomonari
Itsuki.”
Maki
melanjutkan.
“Sejauh yang kulihat, ia
bertindak adil terhadap kalian berdua. Namun, memang, mendukung dua calon ketua
sendirian merupakan sesuatu yang
belum pernah terjadi sebelumnya. Kurasa tidak semua siswa memahami pendiriannya.”
Sepertinya,
itu adalah peluang kami untuk menang, kata Maki
dalam nada tersirat.
Apa yang
ingin dia katakan? Dalam kebingungan Mirei,
Maki
kembali berkata,
"Tomonari
Itsuki sengaja mengambil peran sebagai asisten untuk
mendapatkan suara ketua. ...Tadi, aku sudah menyebarkan rumor semacam itu.”
Maki
berbicara demikian dengan mata yang menyala gelap.
Dalam
pemilihan OSIS di Akademi Kekaisaran,
calon ketua juga dapat berpartisipasi dalam pemungutan suara. Khususnya, suara
dari calon yang terpilih sebagai ketua disebut suara ketua, yang setara dengan
sepertiga dari seluruh siswa. Artinya, siswa yang terpilih sebagai ketua akan
lebih mudah memilih pengurus.
Kini ada
rumor yang beredar di antara siswa bahwa Tomonari
Itsuki mungkin mengincar suara ketua tersebut... karena
dia mendukung Tennouji Mirei dan Miyakojima Narika sendirian,
seolah-olah dia ingin menjadi wakil ketua terlepas dari siapa yang menjadi
ketua.
“Beberapa
siswa mungkin meragukannya. Mereka
mungkin berpikir ia bertindak seperti kelelawar yang licik hanya demi
mendapatkan suara ketua. ...Keraguan itu seharusnya juga ditujukan kepada
kalian. Kalian yang percaya pada pria seperti itu mungkin juga memiliki
kesalahan.”
Seperti
laba-laba yang mengamati mangsanya yang terjebak dalam perangkap, Maki
menatap Mirei dan yang lainnya.
Namun, Mirei
dan yang lainnya――.
“Fufufu.”
Mirei
tertawa. Begitu juga dengan Narika.
Maki
terkejut.
Mengapa
mereka tertawa, Maki tidak memahaminya.
“Sepertinya
kamu tidak memahami Tomonari-san.”
“Betul
sekali. Minato-senpai sama sekali tidak
memahami Itsuki.”
Karena
mereka waspada tentang rencana apa yang akan diungkapkan, mereka merasa
lega.
Oh, jadi
itu saja...?
Itu hanya
masalah sepele...?
“Jangan
khawatir. Bom itu akan gagal meledak.”
Mirei
berdiri. Sudah waktunya untuk
memulai pidato terakhir. Sambil
mengingat susunan pidato, dia memikirkan Itsuki
yang telah mendukungnya sejauh ini.
Maki
sama sekali tidak memahami Itsuki. ...Pria
yang seolah-olah berjalan mengenakan pakaian kejujuran
semacam dirinya mana mungkin tidak menyadari hal sepele ini.
◆◆◆◆
(Sudut
Pandang Itsuki)
“Mulai sekarang,
kami akan memulai pidato terakhir untuk pemilihan
OSIS periode ke-72.”
Mantan
wakil ketua OSIS berdiri di atas panggung dan
dengan singkat mengumumkan dimulainya pidato. Kebisingan yang sebelumnya berdengung kini mendadak lenyap. Tanpa
sadar, aku meluruskan punggungku dan menelan ludah dengan tegang sambil
menunggu kedatangan calon Ketua.
Dalam keheningan yang menyakitkan, seorang gadis dengan rambut emas gulung muncul di atas panggung. Tennouji
Mirei. Gadis yang selama ini aku anggap paling layak menjadi ketua OSIS, kini
berdiri di depan podium.
Sambil menerima tatapan para siswa dari Akademi Kekaisaran yang dijanjikan akan
menjadi politisi dan pengusaha di masa depan, Tennouji-san membuka mulutnya.
“Pertama-tama,
aku akan menjelaskan tentang pengunduran diri Miyakojima-san.”
Hal pertama
yang dibicarakan Tennouji-san adalah tentang Narika,
yang pernah bersaing dengannya.
“Aku
akan menyampaikan hal ini demi kehormatan dirinya, bahwa
dia melamarkan diri untuk posisi ini karena
dia merasa ada nilai dalam jalan ini. Miyakojima-san memiliki pemikirannya
sendiri. Mohon hargai itu.”
Tennouji-san
membungkuk sedikit.
Aku juga
tahu isi pidato terakhir Tennouji-san. Bahwa dia akan membahas hal ini di awal
sudah disampaikan sebelumnya. Sekali lagi, aku merasa bahwa membahas kehormatan
temannya di awal adalah cerminan kebanggaan Tennouji-san. Dia adalah orang yang
peduli pada kemenangan, tetapi bukan orang yang mengabaikan proses. Yang dia
cari adalah kemenangan yang bersih, bukan sekadar kemenangan biasa.
“Jadi,
mari kita mulai lagi.”
Setelah
menjaga kehormatan temannya, Tennouji-san melirik para siswa yang berkumpul di
auditorium. Dia membuka mulutnya lebar-lebar—.
“——————Aku!!
Tennouji Mirei!!”
Suara Tennouji-san
bergema. Segera setelah itu, sorakan keras menggema.
(Seluruh aula jadi
bergetar……)
Dipadukan dengan karakter dirinya yang
kuat, pengenalan Tennouji-san berhasil menarik perhatian hati para siswa.
Diterangi oleh lampu panggung, rambut pirang gulungngnya
tampak berkilau.
“Ketika
aku menjadi ketua OSIS, aku akan menjadikan Akademi Kekaisaran ini sebagai
tempat di mana semua orang dapat menjalani kehidupan dengan mulia!! Secara konkret,
seperti yang telah kutunjukkan kepada kalian baru-baru ini, aku akan mengadakan
kursus etiket agar kalian dapat belajar perilaku yang sesuai di dalam masyarakat!!”
Tennouji-san
sekali lagi memberi tahu semua orang apa yang telah dijelaskannya dalam
pidatonya sebelumnya.
“Namun,
kursus etiket hanyalah salah satu bentuk yang kupikirkan! Sesuai kebutuhan, aku
akan meningkatkan martabat kalian dengan berbagai cara! —Misalnya, seperti
salon yang dirancang oleh Miyakojima-san.”
Para
siswa mulai berbisik. Itu berarti…… Tennouji-san mungkin akan mewarisi visi
tentang pendirian salon yang dicetuskan
Narika.
“Tidak
ada yang aneh dengan itu. Etiket yang dipelajari takkan berarti jika tidak
diterapkan. …Entah itu baik atau buruk,
di akademi ini ada kesenjangan status sosial. Oleh karena itu, berdiskusi
dengan orang-orang yang memiliki kesenjangan adalah latihan yang benar untuk
masa depan.”
Bagus. Kupikir argumen yang diajukan saat
ini sangat luar biasa.
Masalah
kesenjangan status sosial yang sering dibahas dalam diskusi. Tennouji-san
menangkapnya dengan makna positif. Justru karena ada kesenjangan, akademi ini
dapat mencerminkan masyarakat. Lagipula, setelah lulus dari akademi ini, kita
tidak bisa menghindari kesenjangan status sosial.
“Dari mana anggaran untuk itu!!”
Seorang
siswa berteriak dari suatu tempat. Banyak siswa yang juga penasaran mengenai anggaran untuk kursus
etiket dan pendirian salon. Namun—.
“Tidak
perlu khawatir.”
Segera
setelah Tennouji-san mengatakannya, layar di belakangnya menyala. Di layer tersebut, ada materi yang disiapkan oleh Tennouji-san.
“Di
sini!! Ini adalah strategi manajemen OSIS yang aku
usung!!”
Berbagai
grafik ditampilkan di layar. Mulai dari anggaran OSIS, daftar biaya yang
diperlukan, hingga target jangka menengah, semua cara Tennouji-san membayangkan
gerakan OSIS menjadi sangat jelas. Ini akan menjadi sesuatu yang dapat
diperiksa oleh siapa saja setelah Tennouji-san menjadi ketua OSIS.
“Jika
aku menjadi ketua OSIS, penggunaan anggaran akan sepenuhnya transparan!! Dari
biaya outsourcing untuk mengundang pengajar etiket, biaya peralatan,
hingga biaya lainnya, semuanya akan dipublikasikan!!”
Tennouji-san
menjanjikan untuk bersikap sangat
jujur. Setelah aku menyelidiki hal ini
sebelumnya, tidak ada ketua OSIS sebelumnya yang mampu
membuat pergerakan uang menjadi setransparan ini. Siapa pun bisa memahami bahwa
ini merupakan jalan yang paling jujur. Namun,
meskipun begitu, tidak ada yang mau melakukannya
karena dianggap sebagai jalan yang penuh duri dan tidak berkelanjutan.
Jika
pergerakan uang menjadi transparan, siswa akan memiliki kesempatan untuk
mengeluh. ‘Apa biaya
ini benar-benar diperlukan?’ ‘Apa investasi ini akan berhasil?’ Pertanyaan-pertanyaan
semacam itu akan terus berdatangan. Sama seperti pemegang saham yang vokal.
Jika terlalu banyak keluhan, ada risiko pengambilan keputusan akan tertunda.
Meski
begitu, Tennouji-san memilih jalan penuh duri. Sebagai tipe pengusaha, Tennouji-san
percaya diri untuk menghadapi pemegang saham yang vokal.
Aku bisa menegaskannya. —Jouto tidak memiliki kekuatan ini.
“Sepertinya
ada yang meragukan apa hal ini
benar-benar dapat diwujudkan. Namun, apa kalian
lupa? Aku adalah putri tunggal dari grup Tennouji. Tidak ada orang yang bisa
mengalahkanku dalam manajemen—”
Tennouji-san
yang memegang mikrofon, sekilas menatap Hinako.
“—Tidak
banyak yang bisa!!”
Sebenarnya,
dia bisa saja mengatakannya lebih tegas… Namun, kemampuan Tennouji-san pasti
diakui oleh semua orang. Dalam permainan manajemen, Tennouji-san telah
menghasilkan hasil yang setara dengan Hinako.
Melihat
aula yang sunyi, Tennouji-san menggerakkan bibirnya dengan serius.
“Janji
Jouto Ren memang sesuatu yang revolusioner.”
Tennouji-san
mengucapkan pernyataan yang seolah mengakui rivalnya.
“Demokratisasi
Akademi Kekaisaran. Dengan itu, ada benarnya untuk menjadikan siswa-siswa
akademi ini sebagai manusia yang dapat berfungsi
di masyarakat luar. Namun—”
Tennouji-san
mengepalkan tinjunya.
“Aku
juga akan memberikan kekuatan yang dapat diterima di masyarakat luar kepada
kalian semua!”
Tatapan
kuatnya menembus siswa-siswa yang berkumpul di aula.
“Itulah
gunanya etika dan sopan santun! tu adalah pola pikir untuk
tidak bersikap kasar kepada orang lain!! Jika kalian memahami itu, tidak ada
alasan untuk takut pada kesenjangan!”
Di
sinilah letak perbedaan mendasar dengan strategi Jouto.
Jouto ingin menciptakan akademi di
mana tidak ada kesenjangan. Sebaliknya, Tennouji-san berusaha menciptakan
akademi di mana kesenjangan itu tidak menjadi masalah.
“Memang
penting untuk mendekati masyarakat umum! Namun, izinkan aku berkata dengan
tegas! Kami adalah siswa Akademi Kekaisaran!! Kami yang hidup di lembaga
pendidikan yang terhormat ini, harus beradaptasi dengan cara kami sendiri di
masyarakat!!"”
Semangat
yang berkobar dalam diri Tennouji-san disampaikan melalui kata-katanya. Tanpa sadar, siswa-siswa melihat Tennouji-san
dengan wajah bersemangat.
Dalam
tatapan mereka terpantul—cahaya
keemasan.
“Keanggunan,
karakter, martabat. Siswa Akademi Kekaisaran sering kali diharapkan memiliki hal-hal ini. Tentu
saja, ada yang mungkin merasa itu sebagai kompleks.”
Dari
sudut pandangku, semua siswa di akademi ini penuh dengan martabat. Namun, siswa-siswa Akademi
Kekaisaran yang serius merasakan bahwa mereka masih kurang setiap kali
mengalami dunia sosial atau makan bersama.
“Kalau
begitu, kita harus membuatnya!! —Kelas di mana kita bisa belajar tentang martabat!!”
Mata para
siswa terbelalak saat mereka mendengarkan pidato itu. Aku bisa memahami perasaan mereka.
Benar.
Jika dipikir-pikir, semuanya terasa tidak wajar.
Mengapa
tidak ada kelas seperti itu? Mengapa tidak ada pelajaran tentang etika? Semua
orang pasti tahu bahwa etika itu penting di akademi ini.
Demi
menjadi politisi dan pengusaha terkemuka, ada hal-hal yang harus dipelajari,
tetapi akademi ini tidak mengajarkannya. Akhirnya, semua orang menyadari
ketidaknormalan itu.
Tennouji-san
menunjukkan satu potongan teka-teki yang hilang. Dia mengisi kekosongan yang
bahkan tidak disadari oleh siapa pun. Karena
tidak ada kesempatan untuk belajar, perbedaan muncul dari kemampuan
bawaan.
Dengan
melemparkan batu pada
ketidakadilan itu, menciptakan lingkungan di mana kesenjangan status sosial
tidak menjadi perhatian.
“Dan,
berusahalah mencapainya!!”
Tennouji-san
mengumumkan.
Dengan
mata yang bersinar dan
rambutnya yang berkilau—.
“Untuk
menjadi seseorang yang lebih mulia daripada orang lain, sama seperti diriku——————!!”
Dengan
senyuman menantang, Tennouji-san menggemakan suaranya.
Dalam sekejap,
sorakan luar biasa menggelegar hebat.
Suara yang begitu keras membuat aku ingin menutup telinga, tapi aku memutuskan
untuk mendengarkan sorakan ini hingga akhir meskipun harus merusak telingaku.
Inilah
kekuatan Tennouji-san.
Inilah
manusia bernama Tennouji Mirei—!!
Berdiri
di atas panggung, Tennouji-san adalah cahaya. Dia adalah sinar yang memandu
siswa-siswa dengan cahayanya. Dialah penunjuk jalan mulia yang membawa harapan
akademi ini di pundaknya.
Sebuah
keberadaan yang lebih mulia dari siapa pun. Meskipun dia mencoba menyebut
dirinya demikian, tidak ada yang bisa membantah kekuatan argumennya. Tentu
saja, itu bukan hanya kilauab
saat ini. Hal itu mungkin
karena akumulasi dari semua yang telah dilaluinya.
Aku
melihat sekeliling. Siswa-siswa Akademi Kekaisaran yang biasanya sopan dan
tenang, kini bersuara keras. Pemandangan ini sangat mengesankan.
Seakan-akan mereka merasakan kegembiraan
seolah sedang menyaksikan momen bersejarah. Sebenarnya, di Akademi Kekaisaran,
ungkapan ini mungkin tidak berlebihan.
Ketika
sorakan mulai mereda, Tennouji-san mendekatkan mikrofon ke bibirnya lagi. Melihat sosoknya, siswa-siswa
menutup mulut mereka dan menunggu kata-kata berikutnya dari Tennouji-san.
“…Terakhir, aku ingin berbicara tentang
Tomonari Itsuki-san yang selama ini telah mendukungku.”
Tennouji-san
melanjutkan.
“Kali
ini, kandidat wakil ketua, Tomonari-san, melakukan sesuatu yang belum pernah
terjadi sebelumnya dengan mendukung dua kandidat ketua sekaligus. Namun, melihat cara dia
melakukannya, pasti ada yang meragukan niatnya untuk mendapatkan suara ketua. Aku
percaya banyak orang telah mengatasi kesalahpahaman tersebut setelah melihat
perilakunya selama masa pemilihan, tetapi mungkin masih ada yang meragukannya.”
Tennouji-san
sejenak melihat ke arahku.
“Tomonari-san…
ia sudah menyadari kemungkinan itu sejak
awal.”
Aku bisa
merasakan keributan siswa-siswa di sekelilingku.
Seperti
yang dikatakan Tennouji-san. Aku sudah menyadari
risiko itu sebelum masa pemilihan dimulai. Jika risiko itu diabaikan, kupikir
itu akan menjadi bom waktu yang merugikan bagi kami.
Aku ingat
sebelum pidato dimulai, semua mata
tertuju padaku. Aku sudah menduganya, perhatian itu mungkin
disebabkan oleh apa yang baru saja dibicarakan Tennouji-san.
Jika
demikian—maka tidak
masalah.
“Pada
hari sebelum masa pemilihan dimulai, Tomonari-san berjanji untuk mendukungku
dan Miyoshima-san, lalu dirinya mengajukan permintaan.”
Tennouji-san
mengucapkan kata-kata yang kukatakan pada mereka hari itu.
“Siapapun
yang menjadi Ketuanya—————— Ia meminta kami untuk jangan memberikan suara ketua kepadanya.”
Sepenjuru aula
menjadi gaduh.
Siswa-siswa
di sekitar serentak melihat ke arahku.
Taisho
yang duduk di sebelah juga terkejut dengan mata terbelalak.
“Tomonari...
kamu serius?”
“Iya.”
Taishou
menatapku dengan tatapan seolah-olah
tidak mempercayainya.
“Kami
akhirnya memutuskan untuk menghormati
keinginannya setelah berdebat panjang.”
Tennouji-san
mengatakannya dengan ekspresi yang rumit.
Pada awalnya,
Tennouji-san dan Narika juga menentangnya.
Meskipun begitu, aku bersikeras untuk tetap mempertahankan keinginanku. Pada akhirnya, kedua orang itu
menyerah, dan aku merasa inilah keputusan yang tepat.
Dengan begini, aku bisa menjaga cahaya di
atas panggung tetap bersih.
“Aku,
Tennouji Mirei, menyatakan pengunduran suara ketua. …Siapa yang seharusnya
menjadi wakil ketua? Tomonari-san menyerahkannya kepada kalian semua.”
Aku tidak
bisa menahan diri untuk mengangguk.
Suara
ketua telah hilang. Namun, bukannya
berarti aku dijamin pasti kalah.
Jika
memang aku layak menjadi wakil ketua—harusnya aku bisa menang meskipun tanpa adanya suara ketua.
“—Dengan
ini, pidatoku selesai!!”
Tennouji-san
mengakhiri pidatonya dengan suara yang lantang.
Sambutan
tepuk tangan yang meriah diarahkan padanya.
Tennouji-san meninggalkan panggung dengan dada membusung dan raut wajah percaya
diri, seolah-olah menjadi cahaya yang menarik perhatian siswa hingga
akhir.
Secara
perlahan, siswa-siswa mulai berdiskusi tentang pidato tersebut.
Aula
dengan cepat kembali dipenuhi suasana yang ramai.
“Kita
menang, kan!? Ini sudah pasti menang,
‘kan!?”
“Ini
sudah pasti menang!!”
Asahi-san
dan Taisho berkata dengan penuh semangat.
“Tennouji-samaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”
Suminoe-san
berteriak sambil meneteskan air mata.
Kali ini,
aku tidak bisa menyalahkan Suminoe-san atas kegilaannya. Melihat sekeliling,
meskipun tidak berteriak, banyak siswa yang sangat bersemangat.
“Pidato
Tennouji-san memang bagus, tapi… aku masih tidak bisa melupakan tentang perkara
Tomonari-kun.”
Kita
melihat ke arahku.
Mendengar
pernyataan itu, Asahi-san dan Taisho juga menoleh ke
arahku.
“Bener banget!! Tomonari-kun, kamu terlalu nekat!!”
“Bukannya
penyerahan suara ketua itu terlalu berlebihan?”
Ketika
mereka mendesak, aku jadi merasa
canggung.
“Tidak, yah,
aku juga merasa ragu, tapi…”
Sebelum
berkonsultasi dengan Tennouji-san dan Narika, aku sudah memikirkannya dengan
matang. Namun pada akhirnya, alasan utama mengapa aku tidak ingin menerima suara
ketua adalah—.
“Aku
tidak ingin terjebak pada hasil, aku
ingin menjadi seseorang
yang bisa membanggakan hasil tersebut…”
Ketika
memikirkan aku ingin menjadi orang yang seperti apa, aku menyadari
bahwa aku tidak seharusnya menerima suara ketua.
Menjadi
wakil ketua bukan berarti kita harus mengorbankan hal-hal penting. Hal itu sama saja dengan tidak ingin menyerahkan
kemenangan kepada Tennouji-san. Penumpukan hal-hal seperti ini akan mengarah
pada kepercayaan diri di masa depan.
“Ke... Keren banget...!!”
Mendengar
kalimat yang kukatakan, tatapan Taisho tampak bersinar.
“Tomonari...!!
Kamu benar-benar orang yang
keren...!!”
“Kalau
sampai dibilang sejelas itu, aku jadi merasa malu juga...”
Aku
mungkin telah mengucapkan sesuatu yang sedikit memalukan.
Saat aku
melihat ke arah Asahi-san sambil menggaruk pipi, dia tampak mengerang dengan wajah yang merah padam.
“Ahhhhhh~~~~... tidak boleh, tidak boleh, tidak boleh, tidak boleh, tidak boleh. Jika
aku sampai ikut campur segala, semuanya
akan menjadi rumit... Aku netral, aku netral, aku netralllllll~~~~~~...”
Sambil
memegang pipinya dengan kedua tangan, Asahi-san
mengoceh sesuatu dengan suara pelan.
...Akhir-akhir
ini, Asahi-san kadang-kadang bertingkah aneh.
Saat aku
berpikir seperti itu, aku menyadari bahwa Suminoe-san sedang menatapku.
Suminoe-san
menatap wajahku dengan begitu
tajam...
“...Yah,
jika kamu ingin berada di sisi Tennouji-sama,
sudah sewajarnya kamu bisa
mengatakan hal seperti itu.”
Aku tidak
begitu mengerti maksudnya,
tetapi sepertinya aku mendapatkan nilai
kelulusan darinya.
Asahi-san
mengibaskan tangannya untuk mendinginkan wajahnya yang merah.
“Sejujurnya,
itu benar-benar tekad yang luar
biasa. Konohana-san juga
berpikir begitu, ‘kan?”
“Benar sekali.”
Hinako
mengangguk pelan ketika Asahi-san memanggilnya.
Sambil mengenakan kedok
Ojou-sama yang sempurna, Hinako
berbicara dengan ekspresi tenang.
“Kita
harus mendirikan monumen di sini.”
“Konohana-san?”
Aku tidak
bisa menahan diri untuk berseru padanya.
Tolong
jangan lakukan, itu akan merepotkan semua orang.
“Sepertinya,
pidato berikutnya akan segera dimulai.”
Suminoe-san
berkata sambil melihat ke arah panggung. Pengaturan mikrofon dan pencahayaan
sudah selesai, sisanya tinggal
menunggu Jouto
muncul.
Sebelum
pidato Jouto
dimulai, aku mengamati siswa-siswa di sekitar. … Pidato
Tennouji-san memang sempurna
bahkan tanpa pilih kasih. Aku tidak lengah, tetapi suasana di aula terasa
mendukung Tennouji-san.
Dari sisi
panggung, Jouto
muncul.
Aku bisa
menebak setelah melihat wajahnya.
Pertarungan
pemilihan ini—sudah mendapat kejelasan.
◇◇◇◇
Ketika Jouto Ren muncul di panggung, dirinya melihat ekspresi para siswa yang berkumpul di
aula dan segera menyadarinya.
(Aku
kalah)
Ren
menyadari kekalahannya. Satu pidato saja
tidak akan mampu membalikkan suasana ini.
(Mungkin,
tingkat dukungan sudah berbalik pada pagi
ini. Ditambah lagi dengan pidato itu. Dalam situasi
seperti ini tanpa senjata pamungkas, mana mungkin aku bisa membalikkan
keadaan.)
Sambil
berdiri di depan mikrofon, dirinya
menarik napas dalam-dalam.
Pidato
dapat dimulai kapan saja sesuai keinginan, tetapi sekarang setelah kekalahan
dipastikan, tidak ada ruginya membuat siswa-siswa menunggu.
Ren merenungkan hasil akhir ini, memikirkan
penyebab kekalahan dengan seksama.
(Pengunduran
suara ketua menjadi dukungan terakhir yang menonjolkan ketulusan Tennouji-san
dan Tomonari-kun. ...Sungguh, apa ini alami atau memang direncanakan?)
Ren
tersenyum tipis.
Pada momen
yang sangat kebetulan sekali, pernyataan itu diumumkan pada
waktu seperti ini...
Jika
pengunduran suara ketua diumumkan segera setelah periode pemilihan dimulai,
mungkin tidak akan ada dampak pada tingkat dukunganNamun, situasi pidato
terakhir menambah drama bagi mereka berdua. Kebenaran yang begitu indah dan
menyegarkan terungkap di momen terakhir.
Siapa pun pasti akan bersemangat.
Rumor
yang disebarkan Maki juga menjadi bumerang. Dalam situasi di mana ada keraguan
terhadap Itsuki, pengumuman pengunduran suara ketua menghasilkan drama balikan
yang terlalu sempurna.
Cahaya...
Ren
teringat apa yang harus ditunjukkan oleh Tennouji Mirei kepada
siswa-siswa.
Mirei
yang sedang memberikan pidato di atas panggung memang terlihat bersinar. Namun, Ren tidak
merasa kalah dalam pidato. Jika hanya mempertimbangkan penampilan saat pidato,
justru dirinya lah yang lebih unggul.
Namun,
Ren menyadari sesuatu.
Hal itu
bukan berada di atas panggung.
Ada cahaya
ada di mata para siswa yang
menatap Tennouji Mirei. Melihat
pandangan para siswa yang menatap Mirei,
Ren akhirnya menyadari apa itu cahaya. Itu benar-benar seperti yang dikatakan
Mirei, kesegaran dan kesan cerah.
Namun, bukan
hanya Mirei yang memancarkan perasaan ini, setiap siswa memancarkannya satu per
satu.
Siswa-siswa
yang mendukung Tennouji Mirei tampak sangat senang. Segar, percaya diri, dan
penuh keyakinan. Orang-orang di sekitarnya juga demikian. Tomonari Itsuki,
Asahi Karen, Taisho Katsuya, Suminoe
Chika, Miyakojima Narika,
dan Konohana
Hinako... semuanya mendukung Mirei dengan wajah cerah.
Inilah yang kurang bagi Ren.
Ren
membayangkan wajah Rintaro. Dirinya membayangkan
wajah Maki. Di mata mereka yang menatap Ren, tidak ada cahaya yang bersinar.
Hanya ada tatapan yang gelap, tidak alami, dan bergetar yang melihat Ren.
Pada saat
dirinya tidak bisa memberikan cahaya
kepada mereka—Ren sudah kalah.
(...Bagaimana
caranya)
Bagaimana
caranya supaya dirinya bisa
menang?
Cahaya
yang ditunjukkan oleh Mirei adalah bidang yang kurang dikuasai Ren, tapi bukan
berarti itu sesuatu yang tidak bisa ditirunya.
Meskipun cara Mirei memberikan kesegaran kepada siswa-siswa berbeda, Ren
memiliki cara untuk menipu siswa-siswa dan menunjukkan cahaya. Bagi seorang
politisi, itulah taktik yang umum. Tidak perlu benar-benar bersih. Cukup
berpura-pura dan meyakinkan diri sendiri bahwa dirinya
bersih.
Namun,
saat ini, Ren tidak memiliki visi yang diharapkan oleh banyak siswa seperti
Mirei.
Ren
melihat ke arah mata para siswa.
H Kepercayaan mereka pada Mirei sangat kuat dan tak
tergoyahkan. Di dalamnya, sepertinya ada pemahaman yang mendalam terhadap
Mirei.
Saat itu,
Ren teringat.
Pada sesi acara
pengalaman janji yang diadakan beberapa hari lalu. Ren tidak hanya mengawasi
salon Narika, tetapi juga secara diam-diam mengamati Mirei.
Di tengah
pengamatan, Ren secara kebetulan mendengar percakapan.
“Ara,
sudah lama tidak bertemu, ya.”
“Oh,
kamu masih ingat ya. Tahun
lalu aku sekelas
denganmu...”
“Tentu saja
aku masih mengingatnya. Ayo, silakan duduk di sini.”
Alasan
mengapa Ren bisa
mengingat isi percakapan itu karena siswa yang menyapa Mirei
adalah teman sekelasnya.
Ren yang
berencana untuk menguatkan basisnya, menganggap lantai tiga gedung sekolah
sebagai wilayahnya, dan mencoba menarik siswa-siswa dari kelas 2-D sampai 2-F berpihak
pada kubunya.
Namun,
banyak siswa yang beralih dukungan di panggung.
Sebagian
besar siswa yang berpaling adalah kenalan Mirei dan Narika.
(...Begitu ya)
Ren merenungkan
percakapan mereka berdua dalam benaknya sekali lagi.
Tahun
lalu. Itu adalah masa-masa di mana
Ren tidak aktif.
Ren
sempat mengendurkan usaha sejak semester kedua kelas satu. Namun selama itu,
Mirei dan yang lainnya terus menjalani kehidupan mereka dengan serius. Setiap pelajaran,
ujian berkala, permainan manajemen, semuanya mereka jalani dengan sepenuh
hati.
Itulah
perbedaannya.
Ren tidak
memiliki akumulasi pengalaman di masa lalu.
Jadi rasanya
wajar saja jika para siswa
menunjukkan pemahaman yang lebih kepada Mirei dibandingkan Ren.
Ren
tersenyum.
Pada
akhirnya, cara berperilaku sehari-harilah yang membuat perbedaan.
Jika saja
dirinya telah berusaha sepenuh hati
sejak kelas satu————————mungkin hasilnya akan
berbeda.
Namun,
ini bukanlah dunia dalam perumpamaan.
Di
dunia ini————Ren telah
kalah.
“Namaku
Jouto Ren.”
Setelah keheningan yang panjang, Ren berbicara ke
mikrofon.
“Aku
berterima kasih kepada semua orang yang telah mendukungku sampai saat ini.”
Melihat
Ren yang menundukkan kepala dengan dalam, siswa-siswa merasa gelisah. Mereka mungkin merasakan suasana
yang berbeda dari pidato Ren yang biasanya penuh semangat.
Setelah
mengangkat wajahnya, Ren teringat pada orang-orang yang mendukungnya. Rintaro,
Maki... dalam hatinya, ia meminta maaf kepada mereka dan membuka mulutnya.
“Namun,
aku menyadari kekurangan kemampuanku.”
Auditorium
menjadi ramai.
“Aku
jadi mendapati diriku ingin
melihat visi yang digambarkan oleh Tennouji-san tentang akademi.”
Suara Ren
bergema di auditorium yang luas.
Ia ingin melihatnya... cara gadis yang terlalu
bersih dan murni itu dalam menjalani hidupnya.
Wujud
baru akademi yang mereka jalin.
“Oleh
karena itu, aku akan memberikan suara kepada Tennouji-san.”
Ia
meninggalkan panggung dan kembali ke sisi
panggung. Tidak
ada tepuk tangan. Mungkin mereka merasa bingung. Namun, setelah sedikit terlambat, para siswa menyadari bahwa Ren telah
mengangkat bendera putih.
Melihat
ke arah auditorium yang tiba-tiba ramai dan gaduh,
Ren menundukkan kepala kepada Maki yang berada di sisi panggung.
“Maaf,
aku tidak bisa memenuhi harapanmu.”
“Tidak, kamu tidak perlu meminta maaf.”
Maki
menatap Ren dan berkata,
“Jauh di
dalam lubuk hatimu, bukannya
kamu mengharapkan akhir seperti ini?”
Jantung
Ren berdebar.
Ia
teringat beberapa hari yang lalu. Saat Rintaro menjalankan kampanye negatif,
Ren memang sudah membayangkan masa depan ini. Demi
bertanggung jawab atas kesalahan yang dibuat oleh juniornya, satu-satunya cara
adalah mengundurkan dari mengincar posisi ketua. Bohong rasanya jika ia mengatakan tidak
pernah memikirkan hal itu.
Itulah
sebabnya, pada hari sebelum debat, ia mengizinkan rencana mencuri informasi
yang diajukan oleh Maki. Jika harus mundur, setidaknya ia ingin mengambil peran
untuk memberikan peringatan.
“...Mungkin
begitu.”
Ren
mengangguk pelan.
“Tapi,
aku bertarung dengan serius.”
Ren
mengatakannya dengan tegas. Di
suatu tempat dalam hatinya, ada perasaan bahwa ada
bagusnya dirinya kalah.
Namun, di
sisi lain, ia juga ingin menang. — Jika tidak, apa arti dari penyesalan ini?
Ketika menyadari bahwa dirinya
kalah, mengapa ia mencari penyebab kekalahan?
Ia ingin
menang.
Ia ingin
memimpin akademi ini.
“Jouto-senpai—!!"
Diiringin suara langkah kaki yang besar,
seorang siswa berlari masuk ke sisi panggung. Rintaro berlari mendekati Ren
yang terkejut.
“Rintaro—”
“—Apa
ini karena salahku!?”
Rintaro
berteriak.
Air mata
mengalir dari matanya.
“Apa
ini karena aku sudah
melakukan hal yang tidak perlu...!?”
“...Tidak,
bukan itu.”
Ia
bertarung dengan serius dan kalah.
Meskipun
di suatu tempat dalam hatinya ia menginginkan kekalahan, Ren tidak berniat untuk bersantai.
Ia telah mengeluarkan semua kekuatan yang bisa dikeluarkan. Itulah pertarungan
yang bisa ia banggakan.
“Rintaro.
...Sejak awal aku sudah menyerahkan semuanya kepada
orang lain.”
Ren
menjelaskan alasan kekalahannya yang ia pikirkan di atas panggung.
“Aku
ingin Konohana-san menjadi
ketua, dan setelah mengetahui bahwa dia
tidak akan ikut dalam pemilihan,
aku sempat berharap seseorang akan memahami niat kami.”
Namun,
selama waktu itu, Rintaro yang merasa tidak sabar malah beralih ke rencana. Ren pun sedikit demi sedikit menjadi
lebih positif dalam pemilihan, tetapi tetap saja sudah terlambat.
“Orang
yang selalu menyerahkan segalanya kepada orang lain, ingin menang di akhir... kupikir aku terlalu egois.”
Ini bukan
hanya tentang periode pemilihan.
Perbedaan
antara kemenangan dan kekalahan adalah seberapa tulus mereka menjalani hidup
selama berbulan-bulan menjelang hari ini.
Dari sisi
panggung, Ren melihat keadaan siswa-siswa.
Para siswa
yang sebelumnya bingung kini tenang dan merayakan kemenangan Mirei. Setelah Ren
mengumumkan kekalahannya, kemenangan Mirei sudah pasti.
Di tengah
kerumunan, Mirei yang disambut tepuk tangan berdiri dengan bangga.
Ren juga
memberikan tepuk tangan dari sisi panggung.
“Saat
ini, mari kita rayakan. ...Jangan khawatir,
hidup itu panjang. Pelajaran dari kali ini bisa kita gunakan di lain waktu.”
Hidup itu
panjang. Oleh karena itu, kita bisa membangun sesuatu.
Ren
merasa bersyukur bisa menyadari hal itu sebelum menjadi dewasa.
“Aku
tidak akan pernah melupakan hari ini.”
Ren menatap
Mirei dengan tatapan seolah melihat sesuatu yang cemerlang.
Di dalam matanya, ada cahaya yang
bersinar.
◆◆◆◆
(Sudut Pandang Itsuki)
Setelah Jouto menyelesaikan pidatonya, kami menuliskan nama kandidat yang ingin kami pilih pada kertas suara yang sudah dibagikan di kelas sebelumnya, lalu memasukkannya ke dalam kotak suara yang diletakkan di dekat dinding auditorium.
Setelah pemungutan suara selesai, kami kembali ke kelas dan menunggu hasil penghitungan.
Sementara Fukushima-sensei mengawasi para siswa, siaran dimulai.
“Mulai sekarang, kami akan mengumumkan hasil pemilihan OSIS angkatan ke-72.”
Siswa-siswa menutup bibir mereka rapat-rapat. Dalam suasana yang tegang, suara itu bergema.
“Ketua OSIS yang terpilih adalah Tennouji Mirei-san.”
Meskipun aku sudah menduganya, ―――― aku mulai mengendurkan bahuku yang tegang.
Para siswa dari Kelas 2-A memberikan tepuk tangan untuk Tennouji-san yang tidak ada di sini. Tepuk tangan yang terdengar dari kelas sebelah pun bisa dibilang sebagai ungkapan kepercayaan mereka kepada Tennouji-san. Melihat wajah teman-teman sekelas, aku bisa merasakan bahwa semua orang mengharapkan masa depan yang cerah.
Apa itu cuma imajinasiku saka kalau aku bisa mendengar suara tawa yang meriah, “Ohhhhhhohohoho!!”, dari jauh? ...Meskipun bukan hanya perasaanku saja, mungkin hari ini bisa dimaafkan.
Ketika tepuk tangan mereda, jantungku mulai berdebar kencang.
Ketua OSIS telah diumumkan. Jika memang begitu, selanjutnya — giliranku.
Sekilas, hatiku mengeluarkan suara lemah. ...Karena Tennouji-san sudah berhasil menjadi ketua OSIS, bukannya itu sudah cukup? Tujuanku telah tercapai. Aku masih bisa mendukung Tennouji-san tanpa menjadi wakil ketua OSIS, dan aku bisa menyerahkan sisanya kepada Rintaro.
Dengan cara berpikir seperti itu, aku mencoba untuk menguatkan diriku yang ingin merasa lega.
Tidak, aku tidak mau.
Aku ingin menang.
Bukan orang lain — akulah yang ingin mendukung Tennouji-san.
“Selanjutnya, kami akan mengumumkan anggota OSIS lainnya.”
Napasku terhenti.
Setelah jeda keheningan yang terasa selamanya, suara itu bergema.
“Wakil ketua OSIS, Tomonari Itsuki-san. Bendahara, Abeno Haruka-san. Sekretaris, Yodogawa Ryuji-san. Urusan umum, Miyakojima Narika-san.”
Kali ini — akhirnya aku bisa menyantaikan seluruh tubuhku.
Aku bersandar pada sandaran kursi dan menatap ke langit-langit. Jika Tennouji-san melihatku, mungkin dia akan marah dan berkata, “Jaga posturmu!” tetapi aku tidak bisa bergerak untuk sementara waktu.
Rasanya aku baru saja melakukan perjalanan yang pannjang...
Rasanya benar-benar sulit untuk sampai ke titik ini...
Saat aku mengingat semua kesulitan yang telah dilalui, tepuk tangan dari teman-teman sekelas memberkatiku. Semua orang melihat ke arahku. Dalam tatapan itu terdapat kepercayaan yang kuat...
“Para siswa yang terpilih sebagai anggota OSIS, silakan berkumpul ke ruang OSIS.”
Ah... benar juga.
Karena sudah terpilih, aku harus pergi ke ruang OSIS dulu untuk perkenalan. Tubuhku yang tiba-tiba terasa berat kembali aku gerakkan, dan aku berdiri menuju lorong.
Di tengah perjalanan —
“Selamat, ya!”
Seseorang menyapaku.
“Kerja bagus!”
“Aku berharap banyak padamu!”
“Semangat ya!”
“Aku mendukungmu!”
Semua orang menyemangatiku.
Ketika aku mendengar tepuk tangan dan suara dukungan yang menggema, mataku terasa panas, dan aku terhenti sejenak. Suara tawa kecil membuatku merasa malu. Sambil berpikir betapa menyedihkannya diriku, aku mengusap sudut mataku dengan punggung tangan.
Tanpa mengandalkan suara Ketua, aku bisa menjadi wakil ketua berkat dukungan semua orang.
Semua orang telah mempercayaiku.
“—Terima kasih, semuanya!!”
Sambil menahan air mata, aku membungkuk dalam-dalam. Di tengah tepuk tangan yang tak kunjung berhenti, aku mengangkat wajahku dan bertemu tatapan Hinako. Aku memahami kata-kata yang tersimpan dalam tatapannya dan membalasnya dengan tatapan yang sama.
—Selamat jalan.
—Aku pergi.
aku akan menjadi orang yang tidak akan diomeli oleh siapa pun meskipun berada di samping Hinako.
Hari ini, aku telah mendekati tujuan itu dengan signifikan. Mungkin aku belum sepenuhnya mencapainya. Namun, aku pasti sudah berada di jalur yang benar. Teruslah berjalan lurus. Instingku berkata demikian.
Dalam perjalanan menuju ruang OSIS, para siswa bertepuk tangan hanya dengan berjalan di sepanjang lorong. Rasanya seperti sedang dalam pawai kemenangan. Aku membungkukkan kepala beberapa kali sambil berjalan.
Didorong oleh sorakan dan tepuk tangan, aku akhirnya sampai di depan ruang OSIS, mengambil napas dalam-dalam, lalu mengetuk pintu.
“Masuklah.”
Suara yang familiar terdengar dari dalam ruangan, dan aku memiringkan kepalaku dengan bingung. Ketika membuka pintu, di depanku berdiri sosok yang memang seperti yang kubayangkan.
“Minato-senpai?”
“Aku sudah menunggumu, Tomonari-kun. ...Selamat, mulai hari ini kamu adalah wakil ketua OSIS.”
“......Terima kasih.”
Aku mengucapkan terima kasih dengan sedikit bingung. Aku mendengar bahwa pertemuan ini demi memperkenalkan anggota OSIS lainnya, tapi... apa anggota OSIS tahun lalu juga akan ikut hadir?
Sambil aku berpikir demikian, Minato-senpai tersenyum padaku.
“Untuk penyerahan tugas, ketua OSIS sebelumnya menyambut para pengurus yang baru terpilih di ruangan ini setiap tahun.”
“.........Begitu ya.”
Aku mengerti bahwa ini demi penyerahan tugas.
Namun, Tennouji-san dan yang lainnya masih belum datang.
...Mungkin aku datang terlalu cepat. Karena jumlah tepuk tangan dan sorakan yang luar biasa, aku merasa terkejut dan malu, sehingga terburu-buru datang kemari.
Seharusnya aku bisa datang dengan lebih santai.
“Sepertinya anggota lainnya masih membutuhkan waktu. ...Ini cukup menguntungkanku.”
Apa maksudnya dengan ‘menguntungkan’?
Minato-senpai menatapku.
“Tomonari-kun. Mari kita bicara sebentar.”
◇◇◇◇
(Sudut Pandang Minato Maki)
Sambil menatap Itsuki, Minato Maki teringat pada kenangan saat dia masih kelas satu SMA dulu.
Ketika dirinya baru saja masuk Akademi Kekaisaran, bisnisi grup Rakuou yang dikelola keluarganya mengalami stagnasi dalam kinerja. Meskipun bisnis penjualan adalah spesialisasi grup Rakuou, dalam sepuluh tahun terakhir, pasar telah matang, dan keuntungan mengalami kesulitan untuk tumbuh.
Demi memperbaiki kinerja yang stagnan, ayah Maki menanggapi permintaan para pemegang saham dengan merombak jajaran manajemen perusahaan terkait penjualan jarak jauh dan merumuskan langkah-langkah untuk meningkatkan keuntungan.
Pada saat itu, seorang monster yang bernama Konohana Takuma diundang sebagai penasihat eksternal.
Inilah yang menjadi awal pertemuan antara Maki dan Takuma.
“Hee, jadi kamu juga memikirkan hal yang sama?”
“Iya!”
Kejadiannya bermula saat Maki menghadiri jamuan makan malam bersama ayahnya dan Takuma.
Sejak kecil, Maki telah melihat grup Rakuou melalui punggung ayahnya dan memprediksi bahwa suatu saat divisi penjualan jarak jauh akan terpaksa menyusut, serta merumuskan langkah-langkahnya sendiri untuk mengatasinya.
Saat dia menjelaskan pemikirannya di meja makan, ayahnya terkejut, sementara Takuma menunjukkan ketertarikan.
Langkah-langkah yang dirumuskan Maki mirip dengan strategi yang diajukan Takuma sebagai penasihat kepada ayahnya.
Begitu menyadari hal itu, Maki merasa sangat bersemangat. — Kemampuannya sudah diakui di dunia orang dewasa. Nyatanya, orang yang memiliki nilai-nilai yang mirip dengannya telah berhasil di dunia orang dewasa.
Pada saat itu, Takuma menjadi penunjuk jalan bagi Maki. Meskipun Takuma mengajukan usulan yang mirip dengan Maki, isi dari proposal tersebut jauh lebih tajam dan detail dibandingkan milik Maki. Dengan kata lain, Takuma adalah sosok yang lebih unggul dari Maki dan merupakan perwujudan masa depan yang ingin dicapainya.
Maki bertekad untuk mengamati dan belajar dari taktik Takuma. Semakin banyak yang dia ketahui tentang pengetahuan dan pengalaman Takuma sebagai konsultan, semakin dirinya terkesan. Dan yang terpenting, Takuma memiliki kemampuan luar biasa dalam memotivasi orang. Dia mulai berharap ingin menjadi orang yang seperti itu suatu hari nanti.
Tak mampu menahan perasaannya yang berkembang, suatu hari Maki akhirnya meminta kepada Takuma.
“Tolong jadikan aku muridmu!!”
Melihat Maki yang membungkukkan kepala dalam-dalam, Takuma menghela napas kecil.
“Ya sudah, mau bagaimana lagi.”
Maki yang diakui sebagai murid merasakan kebahagiaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Namun, dia tidak menyadarinya. Pada saat itu, yang dipikirkan Takuma adalah seberapa kuat koneksi dengan grup Rakuou harus dibangun. Koneksi dengan grup Rakuou, yang telah menguasai industri dengan kecepatan yang luar biasa sejak pendiriannya, juga merupakan hal yang berharga bagi Takuma.
Takuma tidak memperlakukan Maki dengan sembarangan karena ingin menjaga hubungannya dengan grup Rakuou.
Ia mengizinkan Maki menjadi muridnya karena menilai bahwa hal itu akan memperkuat koneksinya dengan presiden perusahaan, ayah Maki.
Maki tidak menyadari bahwa Takuma sejak awal tidak tertarik pada kemampuannya. Oleh karena itu, akhir yang mengejutkan pun tiba.
“Takuma-san! Aku sudah mengatur dokumennya!”
“Ah, ya. Letakkan di sana.”
Maki menjalani studi sambil menjadi asisten Takuma.
Dia tidak hanya melakukan pekerjaan sepele. Terkadang ada pekerjaan yang lebih serius, dan mereka juga melakukan konsultasi bersama. Meskipun masih kurang pengalaman dibandingkan Takuma, terkadang dia merasa bisa memberikan pendapat yang tajam. Beberapa ide tersebut pernah diadopsi oleh Takuma, dan Maki merasa telah mencapai hasil dengan caranya sendiri. Dia tidak berniat meremehkan Akademi Kekaisaran, tetapi dia merasa apa yang dia lakukan sudah melampaui batasan seorang pelajar.
Namun, mengapa? Pandangan Takuma terhadap Maki tidak pernah berubah.
Sepertinya ia tidak tertarik pada apakah seseorang berguna atau tidak...
Pada suatu hari, Takuma memberikan beberapa dokumen kepada Maki.
“Sepertinya perusahaan ini sedang mengalami masalah dengan mitra bisnis.”
Karena perusahaan tersebut merupakan tempat yang pernah dia kunjungi bersama Takuma, Maki segera mengangguk. Mereka pasti sedang ragu untuk mengalihdayakan sebagian dari bisnis mereka, tapi mencari mitra baru menunjukkan bahwa mereka sudah mengambil keputusan.
“Bisa tolong carikan mitra potensial dari daftar ini?”
Maki terbelalak.
Ini adalah pekerjaan dengan tanggung jawab yang jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya.
Sebelumnya, dia hanya diizinkan untuk memberikan saran, tetapi kini dia akhirnya bisa memilih mitra bisnis sendiri. Maki merasa bahwa usahanya telah membuahkan hasil dan merasa senang di dalam hatinya.
Sambil memegang daftar yang diberikan oleh Takuma di tangannya, Maki bersinar penuh semangat.
“Baiklah!! Tolong beri aku waktu sekitar seminggu!!”
“Kamu ini bicara apa?”
Takuma menjawab dengan tenang.
“Kamu harus memilihnya sekarang.”
Tatapan matanya yang dingin seperti es menatap tajam ke arah Maki.
Beberapa saat kemudian, Maki akhirnya mengerti. Ini bukanlah pekerjaan dengan tanggung jawab besar. Usahanya selama ini bukan berarti bahwa dia telah mendapatkan kepercayaan.
Sebaliknya...
Takuma sedang menguji bakat Maki.
Waktu dan informasi yang diberikan. Apa dia bisa menggunakan semua itu untuk menghasilkan jawaban yang ideal?
Maki merasa itu mustahil. Daftar calon mitra bisnis yang tertulis ada lebih dari dua puluh. Seharusnya dia meneliti kekuatan dan kelemahan masing-masing perusahaan dengan teliti, dan jika perlu, mengunjungi perusahaan untuk mendengarkan penjelasan mereka, kemudian mempertimbangkan dengan matang sebelum akhirnya mendapatkan jawaban. Itulah yang dimaksud dengan konsultasi.
Namun, Takuma mungkin bisa mendapatkan jawaban hanya dengan informasi yang ada di tangannya.
Baru sekarang Maki akhirnya mengerti apa yang dicari oleh Takuma.
Hal yang dicari Takuma adalah bakat luar biasa yang setara dengan dirinya.
Dia mampu melakukan pekerjaan meskipun masih berstatus pelajar. — Kemampuan seperti itu tidak ada artinya bagi Takuma. Dirinya tidak tertarik pada keterampilan kecil atau trik-trik sederhana. Secara sederhana, Takuma tidak peduli pada hasil yang diperoleh melalui usaha. Hanya bakat alami yang menarik perhatian Takuma.
Pada akhirnya — Maki tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan bagi Takuma.
Melihat Maki yang tidak bisa menjawab dengan cepat, Takuma menguap ringan sebelum mulai bekerja di laptopnya. Maki yang masih memegang daftar itu berdiri diam selama beberapa saat, dan setelah sepuluh menit, dia merangkum jawabannya dan menyampaikannya kepada Takuma, tetapi yang dia dapatkan hanyalah sebuah desahan.
“Bagaimana kalau kita mengakhiri hubungan guru-murid ini?”
Pastinya kamu tidak berencana untuk terus bergantung pada hal itu, ‘kan?
Tatapan Takuma membuat Maki hanya bisa mengangguk. Dia menyadari bahwa sejak awal dia tidak pernah diharapkan, dan Maki merasa tidak memiliki kepercayaan diri untuk terus menjadi murid Takuma.
Takuma tampaknya telah berhasil membangun koneksi dengan grup Rakuou. Sejak saat itu, Takuma tidak lagi berhubungan dengan Maki, dan Maki pun mulai menghindari Takuma.
Maki menjadi ketua OSIS hanya karena keadaan. Selama menjadi murid Takuma, dia berusaha keras dalam studinya agar diakui lebih oleh Takuma, dan tanpa disadari, dia telah masuk ke jalur untuk menjadi ketua OSIS. Dengan dukungan dari orang-orang di sekelilingnya, Maki secara otomatis terpilih menjadi ketua.
Ketika terpilih menjadi ketua OSIS karena kebetulan, Maki merasa kecewa dengan Akademi Kekaisaran. Dia berpikir, jika hanya dengan kemampuan cetek dirinya bisa menjadi ketua, maka Akademi Kekaisaran hanyalah kumpulan siswa muda yang kekanak-kanakan.
Namun, Takuma bahkan sudah kehilangan harapan pada Maki.
Sepertinya tidak ada orang di akademi ini yang bisa memuaskan pria itu. Mungkin bahkan tidak ada di dunia orang dewasa.
Seorang gadis kecil yang ingin menjadi muridnya adalah impian yang mustahil.
Setidaknya, dia ingin bangga karena pernah menjadi muridnya, dan menjalani kehidupannya ke depan.
Dengan pemikiran itu, Maki memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Takuma.
——————Namun.
Namun, pria itu muncul.
Murid dari pria itu.
Anak yang bisa memuaskan Takuma.
Apalagi, ia terdaftar di Akademi Kekaisaran ini———.
(…………Aku sudah dibuang)
Sambil berusaha menahan perasaan yang bergejolak di dalam dirinya, Maki menatap laki-laki di depannya.
Tomonari Itsuki. …Dia menyadari bahwa Itsuki adalah murid Takuma ketika mendengar reputasinya di permainan manajemen dan menyelidiki kemampuan manajerialnya.
Saat itu, dia terkejut.
Manajemen Itsuki seperti salinan hidup Takuma.
Maki yang penasaran kemudian menyelidiki Itsuki lebih lanjut. Jika ia berteman baik dengan Konohana Hinako yang merupakan Ojou-sama sempurna, tidak heran jika ia ada hubungannya dengan Takuma. Semakin dia menyelidiki, semakin terlihat bahwa Takuma berada di belakang Izuki, dan sebelum pemilihan, dia menelepon Takuma untuk memastikan.
Tomonari Itsuki.
Murid orang itu.
Maki memiliki hak untuk menilai bakatnya.
“Sejujurnya, aku berusaha mematahkan semangatmu di debat,” kata Maki.
“Kupikir kamu tidak bisa bangkit kembali, atau mungkin kamu juga akan terjerumus ke jalan yang salah... tapi aku penasaran, alasan kamu tidak melakukannya mungkin karena kedua calon ketua itu?”
“……Benar. Jika tidak ada Tennouji-san dan Naruka, mungkin aku akan menggunakan cara yang sama sepertimu.”
Mendengar jawaban itu, Maki mengangguk puas.
Maki memiliki kecurigaan bahwa Tennouji Mirei dan Miyakojima Narika bergantung pada Itsuki. Jika Itsuki jatuh ke dalam keputusasaan, dia berpikir bahwa kedua orang itu juga akan jatuh bersamanya, tapi sepertinya itu hanya kekhawatiran yang tidak perlu.
“Pengalaman janji kampanye itu sangat mengesankan. …Murid-murid Akademi Kekaisaran sering memiliki pandangan yang realistis. Khususnya bagi siswa yang bercita-cita menjadi pengusaha, strategi untuk membangun kerangka bahkan hanya sebagai bentuk sangat efektif.”
Sambil berkata demikian, Maki mengambil dokumen yang ada di atas meja.
“Apa kamu tahu pekerjaan pertama OSIS?”
“……Mengelola festival budaya, bukan?”
“Benar sekali. Meskipun itu acara tahunan, karena ini adalah waktu di mana sistem belum sepenuhnya terbentuk, ada banyak yang harus dilakukan. Aku juga mengalami kesulitan, jadi aku berpikir untuk membantumu sedikit.”
Maki memberikan dokumen itu kepada Itsuki.
“Aku sudah merangkum daftar calon pemasok untuk perlengkapan yang akan digunakan di festival budaya. …Tomonari-kun, bisakah kamu memilih mitra bisnis yang potensial dari sini?”
“Memilih... maksudnya sekarang?”
“Iya.”
Maki mengangguk.
“Kamu harus memilihnya sekarang.”
Maki mengulangi kembali ujian yang pernah membuatnya gagal di sini.
Itsuki menerima dokumen dengan sedikit kebingungan dan membacanya.
Jawaban seperti apa yang akan diberikan?
Apa ia tidak bisa memberikan jawaban langsung seperti dirinya di masa lalu?
Apa ia akan memberikan jawaban yang sembarangan dengan keringat dingin mengalir, menggunakan pengetahuan seadanya seperti dirinya?
“Hmm benar juga...”
Sambil membaca-baca isi dokumen, Itsuki tiba-tiba membuat ekspresi bingung.
Ia memiringkan kepalanya dan kemudian melihat Maki dengan tatapan penuh rasa penasaran――.
“――Semuanya cukup bagus.”
Dia menjawab dengan seolah-olah itu hal yang biasa.
“Semua mitra bisnis yang tertera di sini cukup unggul, bukan? …Seperti yang diharapkan dari mantan ketua. Terima kasih banyak telah menemukan mitra yang dapat dipercaya.”
Jawaban yang diberikan sempurna.
Seperti yang dikatakan Itsuki. …Maki memang sudah mencantumkan hanya mitra yang unggul sejak awal. Ini adalah ujian yang dirancang sedemikian rupa sehingga memilih satu perusahaan saja bisa menjadi kesalahan.
Namun, jawaban yang kembali terdengar sempurna, bahkan sampai terasa sarkastis.
“Ahahahahahaha――!!”
Maki tertawa.
Itsuki terkejut dengan kejadian mendadak ini. Namun, yang benar-benar terkejut adalah Maki.
――Aku benar-benar kalah.
Maki menyadari. Dia benar-benar sudah dikalahkan oleh anak ini.
Tatapan Takuma tidak salah. Pria itu pasti memperhatikan anak ini.
Dirinya tidak merasa kecewa. Sebaliknya, dia justru merasa lega. Emosi yang telah terpendam dalam hatinya selama ini akhirnya mulai menghilang.
(Ahh, aku…………)
Sambil tertawa, Maki teringat pada Takuma.
Dia tidak ingin mengakuinya. Sebenarnya, dia ingin berdebat berkali-kali. Bahwa dia pantas menjadi murid Takuma. Jika dia dilepaskan, tidak akan ada murid yang seunggul dirinya lagi.
Namun, orang semacam itu tetap muncul.
Seseorang yang lebih pantas bagi pria itu daripada dirinya.
(Aku………… tidak diakui oleh orang itu)
Emosi yang dengan susah payah dipendam di dalam hatinya mulai mengalir keluar.
Mulai sekarang, sepertinya dia bisa melangkah maju ke depan.

