Chapter 1 — Si Heroine Teman Masa Kecil Hanya Terbuka Padaku
Hari itu
pun, sebelum aku menyadarinya, jam pelajaran sekolah telah usai. Aku
pulang sendirian, merebahkan diri ke atas tempat tidur, dan
memejamkan mata. Aku sempat berpikir untuk melakukan kegiatan membaca seperti
biasa, tetapi aku sedang tidak ingin larut dalam cerita.
Kepalaku
masih dipenuhi pikiran tentang gadis-gadis itu—aku tidak bisa beristirahat.
Azusa dan
yang lainnya… mungkin sedang berkencan dengan Ryuzaki sekarang…
Rupanya,
hari ini merupakan hari mereka pergi berbelanja baju renang, seperti
yang dibicarakan mereka sebelumnya. Aku tidak sengaja mendengarnya
di kelas.
Dan bukan
hanya adik perempuan tiriku. Kirari, yang dulunya adalah temanku, dan
Yuzuki, teman masa kecilku—mereka semua mungkin sedang berbelanja bersama
Ryuzaki.
…Tidak,
bukan hanya mereka bertiga. Ada gadis keempat juga.
Teman
masa kecil Ryuzaki, Shimotsuki-san, mungkin juga sedang bersama mereka.
Saat ini,
mereka mungkin sedang mencoba pakaian renang bersama, tertawa dan
bersenang-senang.
“Ryoma
Onii-chan, bagaimana pendapatmu tentang ini?”
“Ryoma-san…
Bukannya ini agak terlalu mencolok?”
“Ryu-kun,
bagaimana menurutmu? Aku tahu kamu suka hal seperti ini~”
Aku dapat
membayangkan mereka bertiga mencoba menarik perhatian Ryuzaki dengan pakaian
renang mereka.
Meskipun...
Aku belum pernah berbicara dengan Shimotsuki-san sebelumnya, jadi aku tidak
bisa membayangkan bagaimana dia akan bersikap dalam situasi itu.
Tidak... tidak ada gunanya memikirkan hal ini. Kalau dipikir-pikir, bukannya ada tugas
matematika yang cukup sulit?
Berusaha
menepis pikiran negatif, aku memaksakan diri bangun dari tempat tidur. Aku
membuka tasku untuk mengeluarkan lembar kerjaku… tapi tidak menemukannya di
mana pun.
“Jangan
bilang aku melupakannya… Apa yang sebenarnya kulakukan…”
Aku
merasa jijik dengan diriku sendiri karena tidak bisa membawa pulang PR-ku. Aku menggerutu
entah kepada siapa dan menatap langit-langit dengan frustrasi.
Apa
aku harus
pergi ke sekolah lebih awal besok dan menyelesaikannya saat itu? Hmm… tapi
jujur saja, tinggal di rumah sekarang mungkin hanya akan membuatku semakin
tenggelam dalam kesuraman ini.
Jika
memang begitu, mungkin lebih baik kalau aku kembali ke sekolah untuk
mengambilnya sekalian demi menghabiskan waktu.
◆◆◆◆
Ketika aku
tiba di sekolah, waktunya sudah hampir pukul enam sore.
Karena sudah menjelang pertengahan Mei. Hari-hari semakin panjang, tetapi
hari mulai gelap sekitar waktu itu. Langit akan segera berubah menjadi merah,
lalu memudar menjadi hitam.
“…………”
Aku
berjalan menyusuri lorong sekolah dalam diam.
Bahkan
setelah memasuki gedung sekolah, tidak ada tanda-tanda orang lain.
Satu-satunya gerakan hanya berasal dari beberapa siswa klub yang terlihat
melalui jendela.
Setelah
berjalan beberapa menit dan menaiki tangga, aku akhirnya mencapai ruang kelas
1-2— ruang kelasku.
“Akhirnya…”
Butuh
waktu hampir satu jam hanya untuk sampai di sini. Memikirkan kalau
aku harus
melakukan perjalanan itu lagi membuatku ingin menghela napas.
“────”
Namun,
tidak ada desahan yang keluar. Sebaliknya, napasku tercekat di tenggorokan. Tanpa
sadar aku menahan napasku.
Karena di
dalam kelas yang kukira kosong… rupanya ada seorang gadis yang
terkulai di atas meja.
“Sh-Shimotsuki-san…?”
Aku
memanggil namanya tanpa berpikir. Gadis berambut perak yang
menonjol dengan jelas adalah gadis yang masih berada di dalam kelas.
Dia tidak
pergi berkencan dengan mereka…!
Aku
benar-benar terkejut. Aku tidak menyangka ada orang di sini. Pada
saat yang sama, keinginan tiba-tiba untuk melarikan diri segera
menyelimutiku.
Berada di
dekatnya saja sudah terasa terlalu berlebihan—dan sekarang, kami hanya berdua?
Rasanya benar-benar tidak nyata. Kesenjangan antara seseorang seperti dirinya dan seseorang
seperti aku terlalu lebar.
Kalau
saja aku bisa lolos, aku akan langsung berbalik dan pergi.
Namun,
aku sudah memanggilnya. Aku tidak bisa lari sekarang. Namun, aku juga tidak
bisa mengatakan apa pun lagi.
“Eh,
baiklah… Aku, eh…!”
Pada
akhirnya, yang bisa kulakukan hanyalah diam mematung di tempat,
menunggu dengan gugup akan reaksi Shimotsuki-san. Tetapi tidak ada
jawaban darinya, tidak peduli berapa lama aku menunggu.
“Hmm…”
Hanya
suara napasnya yang damai yang mencapai telingaku—dan saat itulah aku menyadarinya.
Dia
tertidur, tubuhnya merosot di atas mejanya.
“Fiuh…”
Aku menghembuskan nafas lega. Aku menutup mulutku agar tidak bergumam
keras-keras dan berisiko membangunkannya.
Dia tidak
menyadari kehadiranku.
Tidak
apa-apa, tapi... ekspresi damai dan rileks di wajah tidurnya sangat kontras
dengan ekspresi dingin dan tak terbaca yang selalu dia tunjukkan. Aku
merasa seperti melihat sesuatu yang tidak seharusnya kulihat.
Aku tidak
melakukan kesalahan apa pun, namun perasaan bersalah yang aneh mulai merayapi
sekujur tubuhku.
Kurasa sebaiknya aku
harus segera
meninggalkan kelas.
Dengan
mengingat hal itu, aku mengambil cetakan tugas matematika dari mejaku dan
memunggungi Shimotsuki-san… tapi kemudian, aku tiba-tiba berhenti.
Tunggu…jam
berapa sekarang?
Aku memeriksa
jam. Sekarang baru lewat pukul 6 sore.
Waktunya memang
belum terlalu larut, tapi mungkin bukan saat yang aman bagi seorang gadis untuk
pulang
sendirian.
Bagaimana
jika… seseorang yang berniat jahat kebetulan bertemu dengannya dan mencoba
menyakitinya—
Aku
selalu punya kebiasaan buruk, membiarkan pikiranku langsung
membayangkan
skenario terburuk seperti ini. Namun, kemunculan
Shimotsuki Shiho benar-benar menarik perhatian. Hal itu membuatku cukup
khawatir.
Itulah
sebabnya… Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja seperti ini.
Aku harus
membangunkannya, ‘kan? Tapi bagaimana kalau dia takut kalau aku tiba-tiba mulai
berbicara padanya? …Ugh, berpikir berputar-putar seperti ini tidak akan
membantu!
Aku mulai
lelah karena selalu bersikap pemalu dan mencari-cari alasan untuk menghindari
sesuatu. Mungkin sikap itulah yang membuatku menjauh
dari
gadis-gadis itu.
Aku harus
berubah. Sudah saatnya aku berhenti berlari. Dengan tekad
itulah aku mengumpulkan keberanianku.
“H-Hei!”
Aku
berjalan menuju meja Shimotsuki-san dan memanggilnya dari jarak yang cukup
dekat.
“...Suuu...nyaa...”
Namun
suaraku tak sampai padanya. Yang kudapatkan hanyalah dengkuran yang lebih
keras.
“Shimotsuki-san!”
Kali ini
aku memanggil dengan sedikit lebih keras. Mungkin aku terlalu bersemangat—melakukan
sesuatu yang sama sekali tidak seperti karakterku.
Tanpa
berpikir panjang, aku mengulurkan tangan dan mengguncang bahunya dengan
pelan. Biasanya,
aku tidak akan pernah menyentuh orang lain seperti itu.
Ah gawat…
Aku menyentuhnya tanpa berpikir panjang…
Menyadari
hal itu, aku buru-buru berusaha menarik tanganku. Namun sebelum aku
sempat melakukannya, matanya tiba-tiba terbuka lebar—dan aku tertegun.
“...Hah?”
Mata biru
langitnya menggambarkan wajah bodoh dan tercengang dari karakter
sampingan. Tidak
salah lagi—dia pasti telah melihatku.
Pandangan kami bertemu.
“M-Maaf—!”
Aku
mencoba meminta maaf—karena melihat wajahnya saat tidur, karena menyentuhnya,
karena mendengarnya bicara saat tidur, karena memanggilnya tadi—tetapi
kata-kataku tersangkut di tenggorokanku dan tidak bisa keluar dengan baik.
Sementara
itu, Shimotsuki-san hanya menatapku, berkedip perlahan saat aku mencari-cari
alasan.
“Um...Nakayama
Kotaro-kun?”
Mendengarnya mengucapkan
namaku entah dari mana hampir membuat jantungku berdebar kencang.
Dia
tahu namaku?
Meski
sangat terkejut, kupikir aku perlu menjelaskan situasi ini entah bagaimana,
jadi aku dengan canggung menjawabnya.
“Y-Ya! Namaku Nakayama, teman
sekelasmu, tapi bukan berarti aku ingin mengganggumu saat kamu sedang tidur
atau semacamnya—aku hanya ingin membangunkanmu, dan…!”
Namun, aku
tidak dapat mengendalikan diri. Aku terlalu panik, dan penjelasanku malah jadi semakin
membingungkan.
Aku tidak
ingin membuatnya takut, tapi yang kulakukan justru sebaliknya.
“J-Jadi
begitulah, aku minta maaf!”
Dan
satu-satunya hal yang bisa kulakukan setelah itu… ialah
melarikan diri.
Shimotsuki-san
sudah bangun sekarang. Jadi aku tidak perlu melakukan pembicaraan lebih lanjut.
Karena waktunya masih belum terlalu gelap, jadi jika dia segera pulang, kemungkinan
terjadinya sesuatu yang berbahaya mungkin kecil.
Lagipula,
seseorang sepertiku—karakter sampingan—bukanlah tipe
orang yang seharusnya berbicara dengannya. Dan bahkan jika kami tidak
berbicara, hal tersebut takkan berarti apa-apa baginya.
Itulah
yang kukatakan pada diriku sendiri saat aku berbalik untuk berlari keluar dari
kelas—
“T-Tunggu!”
Namun
anehnya, Shimotsuki-san memanggil untuk menghentikanku. Kakiku terasa
goyah
sesaat.
Aku hampir berhenti. Namun kemudian aku ingat siapa diriku, mengingat kastaku
sendiri—dan
memutuskan untuk tetap berlari.
Atau aku berusaha
mencoba.
Rasanya
seperti ada kekuatan tak terlihat yang menarikku kembali. Aku tidak tahu
mengapa, tetapi aku merasa lebih takut dari biasanya. Dan kemudian,
tepat pada saat itu—
“Hei—ah!”
Gedebuk!
Suara
benturan keras bergema di belakangku. Menyadari bahwa suara itu
adalah Shimotsuki-san yang terjatuh, aku pun menghentikan langkahku.
Gawat!
Aku
berbalik dan melihatnya meringkuk di lantai dekat mejanya. Dia pasti
terburu-buru berdiri dan tersandung kakinya sendiri. Dengan kata lain…
dia jatuh karena diriku. Aku tidak bisa
meninggalkannya begitu saja.
“Kamu
baik-baik saja!?”
Aku langsung
berlari kembali dan berjongkok untuk menolongnya—hanya untuk mendapati dirinya menggenggam
tanganku erat-erat dan mengatakan sesuatu yang sama sekali tak terduga.
“──Kena
kamu.”
“Hah?”
Aku hanya
berdiri di sana dengan mulut ternganga karena dibuat terkejut dengan
kata-katanya.
“Ke-Kenapa?”
“Karena
kamu mencoba kabur sih, jadi aku menangkapmu. Berpura-pura jatuh seperti
itu… Sepertinya aku cocok jadi ahli strategi, ya?”
“Jadi
tunggu, kamu jatuh… dengan sengaja?”
“...Y-Ya,
benar! Rasanya memang sedikit sakit, tapi akhirnya aku berhasil
menangkapmu, Nakayama-kun. Jadi, menurutku semuanya berjalan sesuai rencana,
bukan?”
“Eh…
kurasa mungkin begitu…?”
—Tidak,
tunggu dulu. Itu tidak menjelaskan apa pun.
Apa yang
sebenarnya terjadi?
Kenapa
Shimotsuki-san malah berbicara padaku !?
Rasanya
tidak masuk akal.
Sejujurnya,
aku belum pernah melihatnya berbicara sebanyak ini sebelumnya.
“Sebentar dulu, oke? Ada sesuatu
yang
ingin aku periksa.”
Selain itu,
tangannya yang kecil dan pucat masih memegang tanganku karena suatu alasan, dan
aku tidak tahu mengapa.
“Hmmm…
hmmhmm… Ohhh, begitu. Ya, kurasa aku benar.”
“...Be-Benar soal apa?”
“Kamu tahu… aku tidak gugup sama sekali!”
“Grogi?”
“Ya!
Aku bisa bicara baik-baik saja denganmu, Nakayama-kun!”
Jangan-jangan…
Shimotsuki-san sebenarnya senang karena bisa berbicara tanpa merasa gugup?
Kalau aku
terima perkataannya apa adanya, memang seperti itu kedengarannya.
◆◆◆◆
Shimotsuki
Shiho dikenal karena satu hal di atas segalanya—sifat pendiamnya.
Bahkan
saat teman masa kecilnya, Ryuzaki Ryoma, berbicara
padanya, dia hanya menjawab dengan hal-hal seperti “Ya,” “Tidak,” atau
“Apa?”—tidak lebih dari tiga kata tersebut.
Dan
terlebih lagi, Shimotsuki-san tidak pernah tersenyum.
Sepertinya
ekspresi default-nya adalah ekspresi kosong sepenuhnya.
Dia
memiliki kecantikan mencolok yang menarik perhatian bahkan saat dia tidak
melakukan apa pun, dan sikapnya yang begitu tenang dan kalem membuat
orang-orang merasa sulit untuk mendekatinya. Semua orang melihatnya sebagai
gadis dingin yang hatinya tidak bisa dihangatkan, tidak peduli seberapa banyak
kebaikan yang mereka berikan padanya.
Namun—ternyata,
semuanya tidak benar.
“Nakayama-kun!
Ada sesuatu yang sangat ingin kukatakan padamu. Apa kamu mau mendengarkannya?”
Sebelumnya,
dia tersandung dan jatuh, tapi sepertinya dia tidak
terluka—untungnya.
Dia
tampaknya juga tidak merasakan sakit apa pun, dan sekarang dia berbicara
kepadaku seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“Sebenarnya,
aku punya sifat yang membuatku sangat gugup di sekitar orang-orang, jadi di sekolah
aku tidak bisa berbicara atau tersenyum dengan baik. Tapi entah kenapa, saat
aku bersamamu, Nakayama-kun, aku tidak merasa gugup sama sekali!”
Ke mana
perginya si gadis cantik yang dingin dan pendiam itu?
Shimotsuki-san
mengobrol ceria dengan ekspresi yang belum pernah kulihat
sebelumnya.
Wajahnya
bahkan sedikit tersipu, pipinya agak menunjukkan rona merah dan dahinya
agak basah oleh keringat—mungkin karena kegembiraan.
“Rasanya
aneh
banget… Hah? Nakayama-kun, mukamu aneh banget. Kamu kelihatan kaget banget. Apa
ada yang terjadi?”
“Ah, um…
Aku hanya tidak menyangka kamu akan banyak bicara seperti ini, cuma itu saja.”
“Y-Yah,
ya, aku tidak banyak bicara di sekolah… tapi itu karena aku tidak
punya teman, jadi aku tidak punya kesempatan untuk berbicara. Dan juga, kurasa
aku agak pemalu. Tapi sebenarnya aku suka mengobrol
seperti ini tau!”
“Begitu
ya… Wah. Rasanya agak mengejutkan.”
Jadi dia
pemalu, tetapi begitu dia terbuka pada seseorang, dia menjadi sangat banyak
bicara. Namun jika memang begitu… ada satu hal yang membuatku sangat
penasaran.
“Tapi
Ryuzaki sering bicara padamu, bukan? Kenapa kamu tidak pernah benar-benar
berbicara dengannya? Maksudku, ia sepertinya orang yang lebih mudah diajak
bicara daripada aku.”
Sejujurnya,
setiap kali aku melihat Shimotsuki-san, mau tak mau aku jadi langsung memikirkan
Ryuzaki.
Mereka berdua
merupakan
teman masa kecil, dan mereka tampak seperti pasangan serasi sehingga mana
mungkin aku tidak menyadarinya.
Bahkan
jika mereka tidak resmi berpacaran atau semacamnya... mereka mungkin memiliki
hubungan yang cukup dekat. Dan jika itu benar, mungkin Ryuzaki takkan
menyukai
jika dia berduaan dengan pria lain seperti ini...
Aku
senang dia berbicara padaku.
Tapi
kalau sampai hal itu berakhir dengan membuat hubungannya dengan Ryuzaki, teman
masa kecilnya, menjadi tegang hanya karena keberadaanku—maka aku akan
merasa sangat bersalah.
Jadi kupikir
mungkin sudah waktunya untuk mengakhiri pembicaraan ini.
“Ryuzaki
Ryoma.”
Tapi… apa
yang kudapat sebagai balasannya adalah sesuatu yang sama sekali tak terduga.
“────”
Saat aku
mengucapkan namanya, seluruh warna menghilang dari wajah Shimotsuki-san.
Sedetik
yang lalu dia tersenyum—dan sekarang, dalam sekejap, dia kembali ke ekspresi
dingin dan kosong yang selalu kulihat di sekolah.
“Sebenarnya…
aku benar-benar tidak menyukai pria itu. Ia terlalu banyak bicara
padaku, ia selalu ada di dekatku sejak kami masih kecil, dan jujur saja? Ia membuatku
merinding.”
“Hah?
A-Apa maksudmu dengan itu?”
Mereka seharusnya
teman
masa kecil. Mereka sudah bersama selama bertahun-tahun. Ryuzaki selalu
tampak begitu dekat dan ramah dengannya—menurutku hubungan mereka baik-baik
saja.
Tapi
tampaknya aku sepenuhnya salah.
“Ia membuat… 'suara'
yang mengerikan.”
Di ruang
kelas yang tenang sepulang sekolah, gadis berambut perak itu berbicara lembut.
Pada saat
itu, sinar matahari sudah benar-benar terbenam, dan suasana
langit
di luar sudah gelap. Aku datang ke sini untuk memastikan Shimotsuki-san pulang
sebelum itu terjadi, tetapi di tengah perjalanan... aku sudah lupa sama sekali
tentang tujuan itu.
Sebegitu tertariknya aku dengan apa yang dikatakannya.
“Lihat,
aku punya pendengaran yang sangat bagus. Aku terlahir seperti itu. Aku bisa
mendengar suara yang biasanya tidak bisa didengar orang normal.”
Selagi berbicara
begitu,
dia menyentuh telinganya dengan tangannya. Bahkan gerakan sederhana itu tampak
begitu anggun hingga aku hampir mendapati diriku menatapnya.
Aku
menepis pikiran itu dan fokus mendengarkannya.
“Suara
yang tidak dapat didengar oleh orang normal…? Suara yang seperti apa?”
“Hmm,
bagaimana ya aku menjelaskannya…? Setiap orang mengeluarkan 'suara' yang
berbeda. Orang baik mengeluarkan suara yang jelas dan indah, sedangkan orang
menakutkan mengeluarkan suara aneh—mirip seperti paku yang
disayatkan di
papan tulis.”
Nada
bicaranya datar dan acuh tak acuh, sama sekali tanpa emosi. Sangat kontras
dengan sebelumnya—hampir seperti dia berbicara melalui suara sintetis.
“Saat
aku berada di dekat Ryuzaki-kun, aku mendengar suara yang terdistorsi dan memekik yang bahkan sulit
dijelaskan. Suara itu sangat tidak menyenangkan sehingga aku berusaha untuk
tidak mendengar apa pun saat berada di dekatnya.”
Penjelasannya
sangat berakar pada kepekaan pribadi yang unik sehingga orang biasa seperti diriku tidak dapat
memahaminya sepenuhnya.
(Jadi pada
dasarnya... dia memiliki indera pendengaran yang tajam, dan dapat menangkap
hal-hal yang tidak dapat ditangkap oleh orang lain. Dan baginya, 'suara' itu
seperti 'ekspresi' atau 'bahasa tubuh'—sesuatu yang bisa dia gunakan untuk
menilai orang lain.)
Ada
istilah untuk itu,
kalau tidak salah namanya—sinestesia.
Salah
satu contoh yang terkenal adalah kromestesia —di mana
mendengar suara memicu persepsi warna.
Mungkin kelebihannya
merupakan
sesuatu seperti itu juga.
Shimotsuki-san
mungkin menggunakan ‘suara’ sebagai caranya memahami
dan menilai orang lain.
“Dan
juga… kamu tahu sendiri bagaimana ia sangat populer di kalangan
gadis-gadis, ‘kan? Tapi meskipun begitu, pria
itu
tidak pernah menyadari perasaan mereka. Sebaliknya, dirinya terus berusaha
berbicara
denganku … dan karena itulah, aku jadi sering
dihinggapi rasa cemburu. Rasanya seperti mimpi buruk.”
“…Ya,
Ryuzaki memang cukup populer sih.”
Namun ia
sama sekali tidak menyadari semua perhatian itu.
Adik perempuan tiriku Azusa, mantan temanku Kirari, dan teman masa
kecil kami Yuzuki semuanya jatuh cinta padanya—tetapi tidak ada satu pun dari
mereka yang perasaannya berbalas. Semuanya karena Ryuzaki bodoh.
Dirinya
tidak pernah mengakui kasih sayang mereka, dan sebaliknya
hanya melemparkan kebaikan hatinya yang tidak dipikirkan.
Layaknya protagonis harem pada umumnya.
Entah sudah berapa
banyak gadis yang jatuh cinta—dan patah hati—karena perilakunya? Dari apa yang
kudengar tadi, sepertinya ada banyak sekali.
“Karena
telingaku cukup bagus... aku bisa mendengar apa
yang orang lain rasakan. Aku juga bisa tahu kapan mereka menganggapku
menyebalkan.”
“Itu…
kedengarannya merepotkan banget.”
“Rasanya
memang sulit. Aku sudah seperti ini
sejak berusia tiga tahun. Rumah kami berdekatan, kami bersekolah di sekolah
yang sama, dan entah mengapa, ia selalu berada di dekatku. Itu membuatku merasa
tidak nyaman.”
Dia pasti
sudah memendam rasa frustrasi itu untuk waktu yang lama. Begitu
dia mulai berbicara tentang Ryuzaki, mulutnya tidak mau berhenti.
“Karena
memang selalu seperti itu, akhirnya aku benci dipandang orang lain.
Sebelum aku menyadarinya, aku jadi begitu pemalu. Saat aku
merasakan tatapan seseorang padaku, aku membeku... Sungguh melelahkan.”
Sekarang
jelas—Shimotsuki-san tidak memiliki perasaan hangat terhadap Ryuzaki.
“Tentu
saja, aku mencoba menunjukkan perasaanku dengan caraku sendiri. Saat ia
berbicara padaku, aku bersikap menjaga jarak. Aku hampir tidak pernah tersenyum
di dekatnya. Reaksiku dingin dan tidak tertarik. Aku tidak bisa mengatakan
sesuatu yang kuat seperti 'Tinggalkan aku sendiri,' tapi kupikir sikapku
sudah mewakili perasaanku dengan jelas.”
“…Aku
selalu mengira kalian berdua dekat karena kalian adalah teman masa kecil.”
“Gelar
'teman masa kecil' tidak berarti
apa-apa. Cuma kebetulan saja kami tinggal
berdekatan. Kebetulan saja kami bersekolah
di TK,
SD,
SMP,
dan SMA yang sama. Kebetulan saja kami
selalu mendapat tempat duduk yang berdekatan. Hanya
itu
saja.”
Sejujurnya,
menyebut semua itu sebagai “hanya kebetulan” membuatnya terdengar
seperti takdir.
Namun,
fakta bahwa Shimotsuki-san tidak menyukai Ryuzaki yang superpopuler benar-benar
mengejutkan.
“Itulah
sebabnya—meskipun aku sedikit malu—kehadiranmu,
seseorang yang membuatku benar-benar santai… terasa seperti takdir bagiku.”
Dan
begitu saja, aku dikejutkan lagi dengan kejadian lainnya.
“Aku
sangat sensitif terhadap kehadiran sampai-sampai bisa dikira pembunuh bayaran
atau semacamnya, loh? Aku tertidur dengan orang lain di kamar? Aku
tidak pernah membayangkannya. Dan bukan hanya itu—aku bahkan tidak bergeming
saat kamu menyentuhku. Hal semacam ini tidak pernah
terjadi sebelumnya. Kalau itu bukan takdir, lalu apa?”
“T-Tidak,
menyebutnya sebagai takdir rasanya sedikit... ekstrem, ‘kan?”
“Tidak
terlalu
ekstrem kok. Maksudku, 'suara'-mu sama sekali tidak
membuatku gugup... kedengarannya benar-benar menenangkan. Seperti kicauan
burung, atau suara sungai yang mengalir... kira-kira seperti itu. Membuatku
jadi begitu damai.”
Saat dia
berkata demikian, warna samar akhirnya kembali ke pipi Shimotsuki-san. Saat
dia mulai berbicara tentangku , wajah pucatnya berubah
menjadi merah muda lembut.
Cahaya
kembali ke matanya—sekarang berkilauan dengan kehidupan.
“Suaramu seperti suara
yang dikeluarkan ibu atau ayahku. Namun, tetap saja sedikit berbeda… Rasanya
sulit
dijelaskan, tetapi rasanya sangat istimewa.”
Baru
pertama kalinya ada seseorang menunjukkan ketertarikan sebesar itu
pada Nakayama Kotaro—seseorang seperti diriku
.
Dan fakta
bahwa itu adalah Shimotsuki-san… Aku masih tidak dapat mempercayainya.
“Lagipula,
kamu
merasa gugup selama ini, bukan, Nakayama-kun? Setiap kali aku bergerak atau
berbicara, detak jantungmu meningkat... Rasanya menggemaskan
sekali.”
Shimotsuki-san
memiliki telinga yang tajam.
Dia
mungkin menangkap emosiku melalui detak jantung dan napasku.
“Tapi
meskipun begitu... kamu tidak tampak membenciku. Sebenarnya, aku merasa... kamu
agak senang dengan semua ini. Dan aku menyukai orang yang menerimaku apa
adanya.”
Aku
menyukai —satu kata itu
tepat menusuk dadaku.
“Jadi,
Nakayama-kun… apa kamu mau menjadi temanku?”
“Te-Teman!?”
Permintaannya
membuatku sangat bahagia—
“Ah, umm…!”
Namun,
aku tak dapat mengungkapkannya dengan baik. Aku hanya tergagap dalam
kebingungan... dan kemudian, suara-suara lama dari masa lalu bergema di
kepalaku:
“Onii-chan,
terkadang kamu sulit dibaca.”
“Ko-kun,
kamu agak seperti robot, ya?”
“Nakayama-san…
rasanya sulit
untuk mengatakan apa yang kamu rasakan.”
Rasanya
seperti udara telah meninggalkan paru-paruku.
Aku harus
mengatakan sesuatu. Kalau tidak—sama seperti gadis-gadis itu—Shimotsuki-san
mungkin akan kecewa padaku juga.
“…………”
Namun
pikiran itu malah membuatku semakin membeku. Aku tidak bisa bicara.
Sekali
lagi. Sekali lagi, aku lumpuh dan—
“Aku
takkan membiarkanmu berkata tidak. Aku sudah bisa mendengarnya—suara
kebahagiaanmu, Nakayama-kun.”
Namun, dia
bisa
mengerti perasaanku bahkan tanpa memerlukan kata-kata.
Dia
mengulurkan tangan kecilnya.
Dan tanpa
memberiku kesempatan untuk menolak, dia mencengkeram tanganku erat-erat.
“Ayo
berteman, Nakayama-kun!”
…Dengan
kalimat itu,
aku merasakan semua ketegangan di tubuhku mencair. Kegembiraan yang
tak terlukiskan ini menggelegak dari dalam diriku.
Saat aku
menatap senyum polosnya, aku akhirnya mampu mengungkapkan perasaanku dengan
kata-kata.
“…Ya. Ayo
berteman juga.
Shimotsuki-san.”
Kali ini
aku menggenggam tangannya erat-erat.
…Dan
begitu saja, aku mendapat seorang teman.
Sejujurnya,
seseorang sepertiku—seorang tokoh sampingan—mungkin merupakan orang terakhir yang pantas mendapatkan teman seperti dirinya.
Tetapi
semuanya tidak penting bagi Shimotsuki-san.
Dia
menemukan nilai dalam diriku.
“Hehe…
akhirnya kamu tersenyum.”
Rupanya,
wajahku secara alami melembut dan tersenyum. Baru pertama kalinya setelah
sekian lama… aku tersenyum seperti ini—dari lubuk hatiku.
