Shimotsuki-san Jilid 1 Bab 2 Bahasa Indonesia

Chapter 2 — Si Protagonis yang Bernama Ryuzaki Ryouma

 

 

Aku tertidur, lalu bangun—tapi pikiranku masih terasa seperti melayang-layang dalam dunia mimpi.

“…Aku berteman dengan Shimotsuki-san.”

Kejadian kemarin begitu menakjubkan, sampai-sampai rasanya seperti tidak nyata. Bahkan sekarang, sehari kemudian, aku masih merasakan gelombang kebahagiaan itu.

Baiklah!

Pagi hari ini terasa lebih menyegarkan dari biasanya. Hari ini benar-benar di luar kebiasaanku, aku menepuk pipiku dengan keras demi menyemangati diriku. Entah bagaimana, aku merasa hari ini akan menjadi hari yang baik.

Sambil bersemangat tinggi, aku bersiap-siap dan berangkat ke sekolah.

Sesampainya di ruang kelas, secara naluriah aku mendapati diriku mencari-carinya.

Shimotsuki-san… dia masih belum datang.

Sambil merasa sedikit kecewa, aku duduk di tempat dudukku yang biasa—barisan paling belakang dekat lorong, tempat dengan cahaya matahari paling sedikit di seluruh ruangan.

Yo, Nakayama. Selamat pagi.”

Seorang anak cowok yang duduk di hadapanku menyapaku dengan santai.

Namanya Hanagishi Soma. Berambut rapi dan baik hati, dengan kepala yang dicukur plontos—ia adalah anggota tim bisbol.

Dan salah satu dari sedikit teman sejatiku.

“Selamat pagi, Hanagishi. Belajar sepagi ini? Mengesankan.”

“Nah, aku sedang mengerjakan tugas PR. Bukannya aku paham—aku hanya menatapnya doang.”

Di meja Hanagishi ada soal PR matematika. Sebagian besar isinya kosong, hanya namanya yang ditulis acak di bagian atas.

Mau aku bantu?”

Setelah mengantar Shimotsuki-san pulang tadi malam—karena hari sudah larut dan jalanan berbahaya—aku pulang dan benar-benar menyelesaikan tugas itu. Aku mungkin bisa membantunya sedikit... atau bahkan membiarkannya menyalinnya, jika dirinya mau.

Namun Hanagishi hanya menggelengkan kepalanya seakan-akan dirinya sudah menyerah.

Aku menyerah. Mendingan aku kumpulin kertas kosong aja. Aku yakin guru akan senang jika bisa benar-benar memarahiku sekali ini.

“Begitu ya.

Kalau ia sudah menguatkan tekadnyakurasa lebih baik jika aku tidak ikut campur. Tepat saat kami baru saja mengakhiri obrolan santai di pagi hari, mereka masuk ke kelas.

“Hei! Cuacanya panas banget, jangan terlalu menempel padaku!”

“Ehh? Biarkan aku menyentuhmu sedikit saja~”

“Tapi Azusa-san, kamu terlalu suka memegang tangan. Rasanya tidak adil.”

“Azu-chan benar-benar tahu cara bertingkah imut ya~ Sekarang giliranku , oke?”

“H-Hei, bagaimana dengan opiniku!?”

Parade Harem Ryuzaki memasuki ruangan kelas.

Seketika, suasana kelas menjadi lebih ramai. Seperti biasa, mereka menonjol seperti lampu sorot.

“Ya ampun… memulai hari dengan liar, ya? Aku sangat iri,”

Hanagishi bergumam pelan sambil melirik ke arah mereka.

Ryuzaki sangat populer, ya? Maksudku, dirinya memang tampan... tapi bukannya ia setampan model atau semacamnya. Apa yang membuat gadis-gadis tergila-gila padanya, ya?

Sejujurnya aku juga merasa penasaran.

Ryuzaki jelas terlihat seperti orang baik. Dirinya tampak cukup baik, cukup atletis, dan tampaknya berprestasi baik di kelas.

Tapi tidak ada satu pun hal yang benar-benar membuatnya menonjol. Dirinya bukan tipe pria yang biasa diharapkan memiliki harem lengkap.

Pada titik ini, aku lebih mempercayai ia mempunyai semacam kekuatan tak kasat mata yang memanipulasi hati para gadis.

Mungkin dirinya benar-benar tokoh utama dalam film komedi romantis. Jika memang begitu, masuk akal jika semuanya berjalan sesuai rencana baginya.

…Tetap saja, bergosip diam-diam tidak akan mengubah apa pun. Jadi aku hanya tersenyum samar pada Hanagishi dan membiarkan pembicaraan mengalir.

Dan saat itulah semuanya terjadi.

…Ah.

Tiba-tiba seorang gadis berambut perak muncul dalam pandanganku. Dia masuk melalui pintu depan kelas—Shimotsuki-san.

Hm? Ada apa?”

Menyadari tatapanku, Hanagishi pun menoleh untuk melihat juga.

“Oh, rupanya Shimotsuki. Astaga… dia memang hidup di dunia berbeda dengan kita.”

Ia menatapnya dan tertawa dengan sedikit rasa kagum.

Paras wajahnya kelihatan tak nyata… dia begitu cantik sampai-sampai kamu tak bisa membayangkan untuk mengungkapkan perasaanmu padanya.”

Itulah konsensus umum tentang Shimotsuki Shiho. Bagi laki-laki normal seperti diriku dan Hanagishi, dia terlalu menakutkan untuk didekati.

Tapi sekarang aku berteman dengannya…

Sesaat, aku berpikir untuk mengatakannya keras-keras—tapi aku mengurungkan niatku.

Tidak... itu cuma akan menarik perhatian. Membanggakan hal itu bukan tampak seperti sifatku.

Aku mengingatkan diriku untuk tetap merendah.

Kemarin, dia bilang kalau dirinya orang yang pemalu. Dia mengatakan bahwa diawasi membuatnya sulit baginya untuk bertingkah secara alami.

Dan jika seseorang seperti diriku—tokoh sampingan—terlihat berbicara dengan Shimotsuki-san, kejadian itu saja pasti akan menimbulkan kehebohan. Aku harus berhati-hati.

Tentu saja, kalau boleh, aku ingin sekali berbicara padanya dengan bebas... tapi tidak jika itu berarti membuatnya tidak nyaman.

Mungkin sebaiknya aku tidak berbicara dengannya di kelas.

Setelah mengambil keputusan begitu, aku mengalihkan pandanganku darinya.

Hah.

Sebuah napas pelan keluar sebelum aku menyadarinya.

Pagi ini dimulai dengan sangat baik… tapi sekarang, setelah dipikir-pikir secara rasional, aku jadi teringat bahwa aku dan Shimotsuki-san hidup di dunia yang sangat berbeda.

Kenyataan itu kembali menghantamku, dan suasana hatiku mulai menurun.

Rasanya hari ini hanyalah hari biasa dalam kehidupan seorang karakter sampingan.

...Itulah yang kukatakan pada diriku sendiri, meratapi nasib seperti biasa. Tapi tampaknya dia takkan membiarkanku terjerumus dalam suasana negatif terus.

 

◆◆◆◆

 

“U-Um…!”

Sewaktu makan siang. Aku baru saja hendak memakan roti manis yang kubeli dari kantin sekolah ketika aku mendengar suara dari lorong.

Hah? Oh—Shimotsuki-san?

Dia berdiri di sana, mulutnya terbuka dan tertutup seakan-akan ingin mengatakan sesuatu.

“A-A-Ayo… A-Ayo…! Ayo ikut aku.

Setelah berkata demikian, dia segera meninggalkan kelas dan mulai menuju ke suatu tempat.

Aku menuruti ajakannya, dan mendapati Shimotsuki-san sudah menungguku di dekat tangga, memegang kantong serut yang cukup besar untuk membawa kotak makan siang.

Ini… jangan-jangan ajakan untuk makan siang bersama?

Mengingat situasinya, tampaknya bisa aku asumsikan begitu.

Kupikir dia tidak ingin terlihat makan bersama orang sepertiku, tetapi jarak di antara kami terlalu jauh untuk memanggilnya.

Saat aku berjalan mendekatinya, dia terus bergerak maju—mempertahankan jarak yang tetap di antara kami. Tanpa sempat mengatakan apa pun, aku akhirnya dituntun keluar tanpa suara.

Akhirnya, kami tiba di belakang gedung sekolah, tempat yang cukup sepi. Kerikil menutupi tanah, dan itu bukanlah tempat yang nyaman. Tidak seperti halaman yang penuh sesak dan terkena sinar matahari, area ini begitu teduh dan luar biasa sunyi.

Di tempat seperti ini, mungkin kita berdua bisa makan bersama tanpa menarik perhatian. Itulah yang ada di pikiranku ketika tiba-tiba aku menyadari sesuatu yang aneh pada Shimotsuki-san.

“…………”

Dia tidak mengatakan sepatah kata pun, dan menatapku dengan tatapan dingin dan berat.

“Eh… apa ada yang salah?”

“…………Oh, tentunya ada yang salah, oke.”

Jawabannya begitu ketus dan tanpa emosi. Kepolosan yang ditunjukkannya kemarin tampak menghilang entah kemana. Sekarang, Shimotsuki-san kembali menjadi gadis yang biasa, dingin, dan sulit dibaca.

Meski begitu, karena tidak ada orang lain di sekitarnya, rasa malunya tampaknya tidak muncul. Tidak seperti sebelumnya, ucapannya lancar dan tidak dibuat-buat.

“Nakayama-kun. Aku merasa sedikit kesal.”

Suaranya yang datar dan dingin bergema di belakang gedung sekolah, tempat tidak seorang pun dapat mendengar.

Kamu tahu alasan mengapa aku kesal?”

Nada suaranya tenang, hampir mekanis—tetapi entah mengapa, itu membuatnya semakin menakutkan. Dia memiliki wajah yang begitu memukau sehingga secara naluriah membuatku takut membuatnya kesal.

“Nakayama-kun, dengarkan baik-baik—kita berteman , bukan?”

Aku mengangguk pelan. Itu memang benar.

Dan kemudian, dia menghantamku dengan sesuatu yang sama sekali tidak terduga.

 

“Lalu kenapa kamu tidak berbicara padaku?”

 

…Hah?

Tunggu, jadi itu sebabnya dia marah?

Kejam banget. Kita kan teman, jadi setidaknya kamu bisa menyapa. Aku menunggumu menyapaku, tahu? Aku benar-benar berharap kamu akan datang sambil mengibaskan ekormu seperti anak anjing dan berkata, 'Selamat pagi, Shimotsuki-san!' Tapi sebaliknya, kamu malah mengabaikanku seperti orang asing. Nakayama-kun, bukannya kamu pikir kamu kurang memiliki kepekaan dasar sebagai teman?”

Dia memarahiku dengan lembut—seperti dia sedang berbicara dengan anak yang nakal. Sambil masih tanpa ekspresi, Shimotsuki-san berbicara kepadaku dengan nada yang tenang dan datar.

“Jadi? Kenapa kamu bersikap seperti orang asing? Kamu ‘kan anak baik, jadi katakan yang sebenarnya, oke?”

Untungnya, dia tampak seperti tipe orang yang memberi orang kesempatan untuk menjelaskan diri mereka sendiri.

Tentu saja, aku tidak mengabaikannya tanpa alasan.

“Yah, kamu tahu… karena kamu orang yang pemalu, kupikir lebih baik kalau aku tidak berbicara denganmu di depan umum.”

Aku tidak ingin membuat keributan hanya karena berbicara kepadanya. Ketika aku menjelaskan hal itu, dia cemberut sambil berpikir. Dia selalu berekspresi sepanjang waktu, tetapi sekarang dia akhirnya mulai menunjukkan perasaannya lagi.

“Be-Begitu ya… Kalau kamu sampai memikirkanku segitunya, kurasa aku tidak bisa marah lagi…”

Tampaknya amarahnya mulai memudar. Sekalipun aku buruk dalam menjelaskan sesuatu, dia tetap mengerti maksudku.

“Tapi asal kamu tahu saja oke? Meskipun menarik perhatian itu menakutkan… tapi tidak bisa berbicara denganmu terasa lebih sepi. Jadi… jika kamu bisa, aku akan sangat senang jika kamu mengatakan sesuatu.”

Saat dia berbicara, ekspresinya perlahan-lahan melunak.

Beberapa saat yang lalu, dia tampak dikuasai oleh kemarahan, tetapi saat dia mengerti apa yang kurasakan, pipinya mengendur, membentuk senyum tipis.

Tapi syukurlah... Aku sempat kepikiran apa kamu sudah tidak menyukaiku lagi, meskipun kita baru saja berteman. Itulah mengapa aku bersikap aneh—aku takut.

“Ya… aku tidak tahu kalau kamu menjadi seperti ini kalau sedang marah.”

Tanpa ekspresi, tenang, dan sedingin es—persis seperti dirinya yang biasanya. Sejujurnya, perilakunya yang begitu membuatnya merasa agak jauh lagi.

Tapi kemudian—

“M-Maaf, tingkahku mungkin agak sulit. Aku tidak tahu kenapa, tapi kalau sudah menyangkut dirimu, aku tidak bisa menahan diri… Meski begitu, apa kamu mau tetap menjadi temanku? Kamu tidak akan… membenciku, kan?”

Shimotsuki-san hanya membiarkan dirinya menjadi rentan seperti ini saat dia bersamaku. Pada saat itu, dia menjadi gadis yang normal, jujur, dan bahkan sedikit kekanak-kanakan. Mana mungkin aku bisa membenci sisi dirinya yang itu.

“Tidak, tentu saja tidak. Aku mungkin juga punya banyak kekurangan… tapi aku akan sangat senang jika kita bisa tetap berteman, Shimotsuki-san.”

Aku memastikan untuk mengatakannya dengan jelas melalui ucapanku sendiri.

Ketika aku mengatakannya, Shimotsuki-san dengan malu-malu menempelkan tangannya ke pipinya.

── Lihat? Kamu benar-benar manis dan baik, Nakayama-kun… Menerima seseorang sepertiku saat aku bersikap egois—kamu benar-benar cowok yang baik.”

…Baiklah, caranya berbicara sedikit merendahkanku itu memang beda dari yang lain.

Tapi bahkan hal itu—aktingnya seperti seorang Onee-san—terasa begitu tulus sebagai dirinya, sehingga aku tidak bisa menahan senyumku.

Tapi... karena kita sekarang berteman, bukannya menggunakan nama belakang terasa seperti orang asing? Mungkin jika kita menggunakan nama depan, kita akan menjadi lebih dekat?

Kemarahannya sudah lama hilang sekarang. Dia pelan-pelan menarik lengan bajuku, seakan-akan ingin mendapat perhatian.

Nee, nee, Nakayama-kun. Coba panggil aku dengan nama depanku—panggil aku Shiho, tanpa imbuhan kehormatan. Kedengarannya bagus, ‘kan? Seperti yang dilakukan teman dekat?”

“Nama depan… yah, oke.”

Karena dia sendiri yang memintaku duluan, jadi aku pun menuruti kemauannya dan memanggil namanya.

“Shiho.”

──── Enggak jadi deh.”

Tapi karena suatu alasan, dia malah menolaknya.

Padahal dia sendiri yang menyarankannya.

“M-Mungkin masih terlalu cepat… Wajahku terasa panas.”

Pipinya yang putih pucat kini bersemu merah cerah.

Kita tunda dulu panggilan nama kita, oke? Setelah aku agak tenang—oke?

Mendengar namanya diucapkan saja sudah cukup membuatnya malu. Dia benar-benar gadis yang berhati polos

Ugh, gawat.

Bahkan aku sampai ikutan tersipu hanya dengan melihatnya.

 

◆◆◆◆

 

“Baiklah, kalau gitu ayo makan? Aku sudah sangat lapar .”

Sekarang suasana hatinya sudah membaik, jadi dia sepertinya mengingat rasa laparnya. Shimotsuki-san mengeluarkan kotak bento kecil yang lucu dari tas kain yang dibawanya.

“Hah? Nakayama-kun, makan siangmu cuma roti saja? Dan roti melon—itu lebih seperti hidangan penutup daripada makanan sebenarnya!”

“Ya, aku menyantap makanan ini setiap hari.”

“Itu tidak baik. Aku pernah melihatnya di TV bahwa gizi seimbang itu sangat penting. Kalau kamu mulai tidak sehat, aku akan sangat sedih. Jadi, tolong jaga kesehatanmu demi aku, oke? Sebagai temanmu.”

Dia duduk di anak tangga yang nyaman, dan kemudian—hampir tanpa jeda—duduk tepat di sebelahku.

Jarak di antara kami hampir tidak ada. Paha kami sampai saling bersentuhan. Mana mungkin aku tidak grogi karenanya.

“Lihat, Nakayama-kun! Bukannya lauk ini terlihat lezat? Ibuku membuatkan makan siang ini untukku!”

Tapi Shimotsuki-san tampak sangat bahagia. Mungkin cuma aku yang terlalu memikirkannya. Dia tampak sangat alami tentang hal itu. Jadi aku berusaha sebisa mungkin bersikap tenang dan menjaga percakapan tetap berlanjut.

“Y-Ya… kelihatannya luar biasa. Semua dagingnya terlihat sangat lezat.”

Aku mengintip kotak bekalnya. Isiannya ditata dengan sangat cantik—dengan potongan daging hamburger, bacon, dan sosis kecil berbentuk gurita. Bekas-bekas hangusnya tampak sempurna. Jelas sekali bahwa itu bukan makanan beku yang dibeli di toko.

Selain itu, sayuran berwarna-warni seperti kacang polong dan paprika juga disertakan dengan rapi. Semuanya bisa terlihat jelas bahwa ada seseorang yang sudah meluangkan waktu, perhatian, dan cinta untuk menyiapkannya.

“Ibuku selalu mengemas daging ekstra karena aku sangat menyukainya… Oh! Mau mencobanya, Nakayama-kun?”

“Tidak, aku merasa sungkan. Aku tidak pantas menerimanya.”

“Hmm? Menolak makanan dari teman itu tidak sopan, loh? Apa maksudmu masakan ibuku tidak enak? Aku takkan membiarkannya begitu saja!”

Dengan nada pura-pura tegas, dia mengambil sepotong daging hamburger utuh dan menyodorkannya ke dalam mulutku.

“Ini, makanlah. Ayo bilang 'ahh~'?”

Oke, sekarang aku benar-benar dalam masalah. Apa yang seharusnya kulakukan?

Sekalipun kami berteman, tindakannya terasa terlalu dekat untuk membuat kami nyaman. Mungkin, baginya, hal semacam ini hanyalah hal biasa di antara teman. Dan jika memang demikian, menolaknya bisa saja menyakiti perasaannya.

Begitu aku memikirkan hal itu, aku menyadari kalau aku tidak bisa menolaknya—tidak peduli betapa malunya aku.

“Nakayama-kun, ayo!”

Sumpitnya mulai bergetar—mungkin karena dia tidak kuat menahan hamburgernya lebih lama lagi.

Aku benar-benar tidak bisa membuatnya menunggu lebih lama lagi.

Bersikap sewajarnya saja. Bersikaplah normal…!

Sambil berusaha untuk tetap memasang wajah datar meski jantungku berdebar kencang, aku mencondongkan tubuh ke depan dan melahapnya.

“Bagaimana? Enak, ‘kan?”

“T-Tentu saja!”

Itu… lezat—mungkin.

Sejujurnya, aku begitu gugup sampai-sampai aku tidak bisa membedakan rasanya.

Karena baru pertama kalinya ada seorang gadis yang melakukan sesuatu seperti ini untukku.

Meskipun aku dulu dekat dengan Azusa, Kirari, dan Yuzuki, kami tidak pernah melakukan hal seperti ini. Sesuatu yang mirip seperti....sepasang kekasih.

“Ini benar-benar, uh… ya. Agak terasa seperti… sesuatu yang istimewa, kurasa.”

Aku mencoba membayangkan apa yang akan dikatakan oleh diriku yang tenang dan normal, dan berusaha sebaik mungkin untuk menanggapinya.

Kalau saja dia tahu seberapa gugupnya aku sebenarnya, dia mungkin akan menganggapku aneh... dan pikiran itu saja membuatku makin berusaha menyembunyikannya.

Tapi tentu saja, dia bisa melihat dengan jelas diriku.

“…Ahaha. Nakayama-kun, kamu segembira itu hanya karena aku menyuapimu? Apa kamu benar-benar segembira itu dengan melakukan 'ahh~'?”

Shimotsuki-san tertawa cekikikan nakal.

“Ak-Aku tidak gugup atau semacamnya kok!”

Aku berusaha mencoba membantahnya, tetapi—ya, itu tak ada gunanya terhadapnya.

Kamu lupa? Aku punya pendengaran yang sangat tajam, ingat? Aku bisa mendengar jantungmu berdebar sepanjang waktu.”

…Benar. Aku melupakannya. Sekarang setelah dia menyebutkannya, pendengarannya menjadi luar biasa tajam.

“Ya ampun, Nakayama-kun… Kalau kamu bertingkah gugup seperti itu, bahkan aku jadi mulai ikutan merasa aneh, tau.”

Dia menepuk bahuku pelan, pipinya memerah sembari tersenyum malu.

“Ahh~! Ini benar-benar memalukan …”

Mungkin menggodaku hanya sesuatu yang spontan. Sepertinya dia juga tidak terbiasa berurusan dengan lawan jenis—karena wajahnya terlihat merah padam.

“Tapi… Aku selalu memimpikan momen seperti ini, jadi aku sangat senang bisa mengalaminya.”

Meskipun berusaha menggodaku, dia kelihatan bahagia sekali, dan anehnya, aku tidak merasa jengkel sedikit pun.

“...Jika kamu bisa bersikap sedikit lebih santai padaku, itu akan sangat bagus.”

“Tidak, tidak bisa. Aku punya banyak hal yang ingin kulakukan bersama seorang teman, dan Nakayama-kun, kamu akan membantuku dengan semuanya , oke?”

Dan dengan wajahnya yang masih merah padam, Shimotsuki-san melahap makan siangnya. Mulutnya kecil, tetapi dia menggembungkan pipinya saat makan, persis seperti seekor tupai.

Melihatnya seperti itu, aku tidak dapat menahan senyum.

Ah, aku tersenyum lagi.

Setiap kali aku bersama Shimotsuki-san, segalanya terasa lebih ringan. Bahkan seseorang seperti aku—yang hanya sekadar tokoh latar—bisa merasa bahagia.

Sejak sekolah SMA dimulai, kehidupan sehari-hari selalu menjadi rutinitas yang membosankan. Namun berkat dirinya… rasanya segalanya akhirnya akan mulai berubah.

Aku juga harus mencoba berbicara lebih banyak dengannya di kelas…

Jika aku ingin persahabatan ini tetap terjalin, aku harus berusaha memastikan dia juga bersenang-senang. Negatifnya yang suram yang kurasakan di kelas? Hilang sudah. Saat ini, yang kurasakan hanyalah harapan. Dan itu semua berkat dirinya.

Aku ingin menghargai Shimotsuki-san—gadis yang memilih berteman dengan seseorang sepertiku.

 

◆◆◆◆

 

Saat kami sampai di pertengahan jam istirahat makan siang, Shimotsuki-san sudah menghabiskan makanannya.

“Terima kasih atas makanannya.”

Bahkan saat dia memasukkan kembali bekalnya ke dalam kantong, dia tidak bergerak sedikit pun untuk berdiri. Sepertinya dia masih ingin mengobrol sebentar.

Sejujurnya, aku tidak bisa membayangkan dia akan senang bicara dengan orang sepertiku, tapi kalau memang itu yang diinginkannya, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa mengimbanginya.

“Terima kasih, Nakayama-kun, hari ini adalah makan siang yang sangat istimewa bagiku.”

“Tidak, tidak juga. Aku tidak melakukan apa pun kok.”

“Tidak, tidak, jangan katakan itu. Kalau kamu tidak ada di sini, aku pasti akan makan sendirian lagi hari ini. Tapi karena kamu ada di sini, aku tidak kesepian. Terima kasih, Nakayama-kun.”

“──”

Ucapannya langsung menyentuh dadaku, hangat dan jelas.

Mungkin apa yang selama ini kudambakan adalah dihargai—dikatakan bahwa keberadaanku juga penting.

Saat kamu merasa senang, suaramu terdengar sangat merdu, Nakayama-kun. Kamu memang gampang dibaca... tapi itu bagian lain yang menarik dari dirimu.

Dia tersenyum sembari memperhatikanku dengan canggung berusaha menyembunyikan reaksiku yang bingung. Bahkan tanpa banyak bicara, dia selalu tampak mengerti perasaanku.

Tapi tetap saja—kalau aku mengungkapkannya dengan kata-kata, kalau aku mengucapkannya dengan lantang, aku yakin itu akan membuatnya senang juga. Jadi aku mencoba mengumpulkan keberanian untuk berterima kasih padanya—

Tapi pada itulah ada sesuatu yang terjadi.

“──Suara yang sangat mengerikan.”

Seolah-olah mereka telah mengawasi kita sepanjang waktu. Seandainya saja aku bicara sedetik lebih awal, mungkin hubungan kita akan membaik. Tetapi aku tidak mendapat kesempatan itu.

“Rasanya seperti... suara seseorang mencabik makanan. Mendengarnya saja sudah membuatku mual.”

Pada saat itu, wajah Shimotsuki-san seketika kelihatan pucat pasi.

Tidak ada keceriaan dan kehangatannya.

Versi dirinya yang ceria dan ekspresif menghilang, dan versi Shimotsuki-san yang biasa, dingin, dan tak terbaca menggantikannya.

Dan saat itu juga, aku mendengarnya.

Suara langkah kaki menghantam kerikil, diikuti oleh suara-suara yang mendekat—satu laki-laki, satu perempuan.

“Cih… Menyeretku jauh-jauh ke sini. Ada apa sih, Azusa?”

“Maaf, Ryo-nii… Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu.”

Kehadiran mereka agak terlalu mendadak. Dan orang-orang yang muncul di belakang gedung sekolah adalah—dua orang yang sangat kukenal.

Ryuzaki… dan Azusa? Apa yang sedang mereka lakukan di sini…?

Salah satunya adalah seorang gadis dengan rambut ekor kembar yang diikat dengan pita hitam—adik tiriku, Nakayama Azusa.

Yang lainnya, seorang anak laki-laki berambut hitam, bertubuh rata-rata dan bermata gelap, adalah Ryuzaki Ryoma.

Padahal biasanya tidak ada seorang pun yang pernah datang ke sini…”

Dengan pendengarannya yang tajam, Shimotsuki-san telah merasakannya lebih awal daripada aku. Bibirnya terkatup rapat saat dia menatap Ryuzaki dan Azusa, ekspresinya kaku karena tegang.

“Kita harus bersembunyi… Aku tidak bisa membiarkannya melihatku…!”

Dia tiba-tiba berdiri sambil mengatakan itu. Namun karena tergesa-gesa, kerikil di bawah kakinya berbunyi keras.

“Hah? Suara tadi… Hei. Shiho? Apa yang kamu lakukan di sini—?”

Saat Ryuzaki melihatnya, pandangan matanya beralih ke arahku. Dan kemudian ekspresinya berubah total.

Kamu siapa? Apa yang kamu lakukan pada Shiho? Membawanya ke tempat sepi seperti ini di mana tidak ada orang sama sekali… apa yang kamu rencanakan untuk dilakukan padanya!?”

Ryuzaki bukanlah tipe orang yang emosional—bahkan saat gadis-gadis menyusahkannya, ia biasanya hanya menghela nafas dan melupakannya.

Namun saat ini, dirinya jelas-jelas sedang marah.

“Apa yang kamu lakukan pada teman masa kecilku yang berharga?”

Seolah aku telah melakukan sesuatu yang mengerikan. Seolah-olah Shimotsuki-san adalah korban dan aku adalah pelakunya.

A-Apa yang terjadi? Kami baru saja duduk bersama di sini... jadi mengapa ia bersikap seolah-olah sesuatu yang buruk telah terjadi padanya?

Reaksinya sangat abnormal. Persepsinya benar-benar menyimpang.

Ia mengabaikan semua konteks dan mengambil kesimpulan berdasarkan asumsinya sendiri.

Dan itu sungguh menyeramkan dan intens.

“Eh… ah… ehm…”

Azusa tampak benar-benar bingung dengan situasi ini. Bahkan rambut ekor kembarnya yang biasanya mencolok, diikat hari ini dengan jepitan yang lebih mencolok dari biasanya, tampak sedikit terkulai.

Azusa adalah orang yang membawa Ryuzaki ke sini, kan…? Jangan bilang—dia berencana untuk mengakui perasaannya?

Melihat wajahnya, aku mempunyai firasat begitu.

Adik perempuan tiriku tidak ingin menjadi anggota harem Ryuzaki. Dia berusaha menunjukkan perasaannya, untuk memenangkan hatinya.

Dan melihat hal itu… jujur saja, itu menyakitkan.

Walaupun Azusa sudah berusaha keras—tapi Ryuzaki sekarang hanya memperhatikan Shimotsuki-san.

“Shiho, kamu baik-baik saja? Kamu tidak dalam kondisi kesehatan yang baik—kamu seharusnya tidak memaksakan diri seperti ini. Memangnya kamu tidak bisa mengatakan tidak kepada orang ini? Aku tahu kamu terlalu baik untuk menolak seseorang, tetapi tetap saja, kamu harus menjaga dirimu sendiri. Aku khawatir padamu, tau? Sebagai teman masa kecilmu.”

Nada bicara Ryuzaki membuatnya terdengar seperti aku telah melakukan sesuatu yang menyeramkan, dan aku tidak tahan. Namun, jika aku mulai berdebat sekarang, itu hanya akan memperburuk keadaan Azusa.

Mungkin Onii-chan bukanlah kakak laki-laki yang ideal. Mungkin yang selama ini kucari adalah... Ryoma-oniichan.

Itulah yang dikatakan Azusa padaku setelah upacara penerimaan siswa baru SMA. Kami hampir tidak pernah bicara lagi sejak saat itu.

Dulu waktu SMP, sejujurnya kupikir hubungan kami sebagai saudara cukup baik. Tapi, mungkin itu hanya asumsi sepihakku saja. Azusa pasti punya beberapa hal yang membuatnya frustrasi padaku, tapi cuma akunya saja yang tidak menyadarinya.

Dan akhirnya, hubungan kami mulai renggang.

Aku tidak bisa menjadi “kakak ideal” yang diinginkannya. Meski begitu, dia tetap keluarga yang berharga bagiku. Aku tidak ingin mengganggu perasaannya.

Jadi aku memutuskan untuk pergi bersama Shimotsuki-san supaya mereka bisa menikmati waktu berdua. Kalau saja aku bisa menyingkirkan keberadaan kami dari sini—mungkin aku masih bisa memperbaiki keadaan.

“Aku tidak melakukan apa pun. Jangan khawatir… Kita akan kembali ke kelas sekarang.”

Kataku sambil melangkah maju.

“Ayo pergi, Shimotsuki-san.”

Tentu saja, aku berharap dia ikut denganku—tetapi saat itulah aku akhirnya menyadari ada sesuatu yang salah.

“…Ugh…”

Suara samar dan tegang keluar dari bibirnya. Saking pelannya, bahkan Ryuzaki yang hanya berjarak beberapa meter pun tidak dapat mendengarnya. Dan saat aku mendengarnya—Shimotsuki-san tiba-tiba terhuyung.

Shiho!?

Ryuzaki panik dan berusaha mendekatinya.

Tetapi aku menangkapnya sebelum dirinya sempat.

“Shimotsuki-san, kamu baik-baik saja?”

“…Tidak. Aku tidak bisa. Orang itu … Aku tidak bisa berada di dekatnya…”

Suaranya kecil, linglung—seolah-olah sedang mengigau karena demam. Namun, aku langsung memahami emosi di balik kata-katanya.

Shimotsuki-san… benar-benar tidak bisa menangani Ryuzaki—!

Dan ini bukan jenis ketidaknyamanan yang biasa. Sekadar berada di dekatnya, sekadar merasakan kehadirannya, sudah cukup untuk membuatnya benar-benar linglung.

Wajahnya pucat, bibirnya pucat pasi, matanya gemetar ketakutan. Seluruh tubuhnya gemetar tak terkendali.

Perubahan-perubahan kecil yang tidak dapat diperhatikan dari jarak jauh… Aku dapat melihatnya dengan jelas dari dekat.

Ini tidak normal. Mungkin Shimotsuki-san tidak seharusnya berada di dekat Ryuzaki sama sekali.

Mereka mungkin sahabat masa kecil, tapi ada sesuatu dalam dinamika mereka yang terasa sangat aneh—hampir beracun.

Tidak... mungkin karena mereka merupakan teman masa kecil. Shimotsuki-san mungkin pernah mengalami sesuatu yang menyakitkan di masa lalu karena ulahnya. Mungkin itulah yang membuatnya trauma... dan itulah yang menyebabkan dia bereaksi seperti ini.

“Aku akan membawanya ke ruang UKS. Minggir.”

Aku melangkah maju, menghalangi Ryuzaki saat ia mencoba meraih Shimotsuki-san. Tetapi sebaliknya, ia justru melotot ke arahku seakan-akan akulah yang menghalanginya.

“Kamu bertingkah seperti pahlawan setelah membuat Shiho merasa sakit begini? Kamulah yang seharusnya mundur. Jangan sentuh dia hanya karena dia lemah. Dasar kurang ajar.”

Jelas sekali kalau ia menerjang ke arahku, matanya penuh permusuhan.

...Cih.

Dan semakin dekat dirinya, Shimotsuki-san semakin menderita. Dia menutup telinganya dengan kedua tangannya, seolah-olah berusaha keras untuk mengusirnya.

Aku harus menjauhkannya darinya— cepat .

“Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu… jangan berani-beraninya kamu kabur.”

“Memangnya sekarang waktunya untuk membahas hal itu!?”

Bahkan sekarang, Ryuzaki memprioritaskan emosinya sendiri.

Kalau dia memang peduli pada Shimotsuki-san, tidak peduli seberapa kesalnya dia padaku, ia seharusnya lebih dulu fokus pada keselamatannya... tapi yang bisa ia lakukan hanyalah melampiaskan amarahnya padaku.

“Kotaro-kun… tidak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri.”

Mungkin dia tidak ingin membuatku khawatir. Shimotsuki-san mulai berjalan sendiri, kakinya masih goyah.

Aku ingin pergi bersamanya—tetapi tatapan Ryuzaki menahanku.

Tetap saja, ia pasti merasa tidak enak hati membiarkannya pergi sendirian juga.

“Azusa, apa kamu bisa membawa Shiho ke ruang UKS?”

Dan begitu saja… Ryuzaki menginjak-injak perasaan Azusa.

Dia akhirnya memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya… dan akhirnya malah jadi begini!?

Sudah berapa lama dia merasa gelisah karena memikirkannya? Sudah berapa kali dia meragukan dirinya sendiri?

Setelah memikirkan semua itu—aku tidak bisa diam.

“Tunggu sebentar, Ryuzaki. Kamu tidak mau berbicara dengannya? Aku akan membawa Shimotsuki-san ke ruang perawat—jadi pergilah dan bicaralah padanya.”

“Berhentilah mencoba melarikan diri. Aku bilang aku punya pertanyaan untukmu… Azusa, boleh aku mengandalkanmu?”

“…Ya. Aku mengerti.”

Azusa dengan patuh mengikuti instruksinya. Kupikir itu bukan hal yang benar untuk dilakukan.

Namun dia melakukan persis seperti yang diperintahkan—tanpa menoleh ke belakang, dia mengejar Shimotsuki-san dan menghilang di balik gedung sekolah.

Jadi itu pilihanmu, ya… Azusa?

Tentu saja aku mengkhawatirkannya. Tapi ini jalan yang dipilihnya. Jika aku mencoba ikut campur sekarang, aku hanya akan menghalanginya.

Jadi tidak ada gunanya memikirkannya lebih jauh.

Saat ini… Aku harus fokus melindungi Shimotsuki-san.

 

◆◆◆◆

 

Apa yang bisa kulakukan untuk Shimotsuki-san?

Aku menekan semua emosiku dan cuma fokus pada pertanyaan itu.

“Sekarang kita sudah berdua, kita bisa bicara dengan baik-baik, kan? Tidak usah menunda lagi—sudah, katakan saja padaku. Kenapa kamu berdua dengan Shiho? Bagaimana kamu bisa mengajaknya ikut? Apa yang kamu coba lakukan padanya? Cepat jawab aku!”

Caranya berbicara yang mirip seperti seorang pejuang sejati, betul-betul membuatku jengkel.

Melihat Ryuzaki membenarkan tindakannya sendiri dengan begitu percaya diri… membuatku bertanya-tanya apa akulah yang salah.

Aku tidak melakukan apa pun yang perlu dikhawatirkan. Lagipula—kenapa kamu begitu peduli? Kamu bukan pacarnya atau semacamnya, kan?

Aku memutuskan untuk menyelidiki niatnya terlebih dahulu.

“Kamu benar, aku tidak berpacaran dengan Shiho… tapi aku teman masa kecilnya. Aku punya tanggung jawab untuk melindunginya. Dia sakit-sakitan, gadis kuper, dan tidak ada yang benar-benar memahaminya… tapi aku memahaminya. Cuma aku satu-satunya yang bisa memahaminya.”

Itulah yang dikatakan Ryuzaki.

Rasa tanggung jawabnya yang menyimpang, yang didasarkan pada asumsi belaka, diucapkan seolah-olah itu adalah kebenaran mutlak.

“Itulah sebabnya—cuma aku yang bisa menolongnya.”

Ryuzaki lebih mempercayai delusinya sendiri dan menggunakannya seolah-olah itu memberinya landasan moral yang tinggi.

Shimotsuki-san gadis yang lemah?

Cuma dirinya satu-satunya yang dapat menolongnya?

…Omong kosong sekali.

Dia bukan gadis yang menyedihkan dan tak berdaya. Aku bisa mengatakannya dengan yakin. Dia bukan tipe orang yang membutuhkan bantuan terus-menerus hanya untuk bertahan hidup.

Hanya saja... dia cuma pemalu. Penampilannya membuatnya lebih menonjol dari yang diinginkannya, dan dia menjadi gugup di sekitar orang-orang.

Tapi Shimotsuki-san adalah gadis biasa. Cuma itu saja.

Sejujurnya… aku menyadari sesuatu. Ryuzaki membuatku takut.

Sifatnya yang mementingkan dirinya sendiri—melihat segala sesuatu melalui sudut pandangnya sendiri—ia benar-benar perwujudan dari protagonis komedi romantis harem.

Bayangkan saja apa yang mungkin terjadi jika aku membantah dan akhirnya memicu kesalahpahaman... bagaimana jika Shimotsuki-san semakin terjerat dengannya karena itu? Cuma membayangkannya saja sudah membuatku merinding.

Ia tidak tahan jika tidak menjadi pahlawan dalam cerita. Dunia berputar di sekelilingnya, jadi ia memutarbalikkan kenyataan agar sesuai dengan narasinya sendiri.

Akhirnya, kupikir aku sedikit mengerti bagaimana perasaan Shimotsuki-san.

Dia benar-benar tidak ingin berurusan dengan Ryuzaki. Itulah yang sebenarnya dia pikirkan.

“Karena aku teman masa kecilnya… tugasku adalah melindunginya dari orang-orang sepertimu. Shiho itu gadis yang lembut dan pemalu—dia tidak bisa membela dirinya sendiri. Itulah sebabnya aku harus membelanya.”

Ia benar-benar meyakini bahwa aku hanyalah orang menjijikkan yang merayu teman masa kecilnya.

“Kamu mungkin menyeretnya ke sini tanpa keinginannya, bukan? Aku yakin dia bahkan tidak mau ikutan. Tapi dia terlalu baik untuk menolak, jadi dia menurut saja. Dan itulah sebabnya dia tidak enak badan sekarang. Dia sudah sakit-sakitan, dan berada di dekatmu mungkin membuatnya cemas.”

Itu tidak benar.

Senyumannya tidak bohong.

Tapi tidak ada gunanya menjelaskan hal itu kepada Ryuzaki—pria ini takkan pernah mengerti.

“Dia adalah tipe gadis yang suka menyendiri. Jangan seenaknya menyeretnya ke dalam sesuatu demi kenyamananmu sendiri. Jangan manfaatkan kebaikan hatinya. Sebagai teman masa kecilnya, aku memperingatkanmu: hanya karena dia pernah berkata ya bukan berarti kamu harus salah paham.”

Apa itu yang dimaksud dengan melindungi seseorang? Dengan menyerang orang lain?

Menentukan siapa dirinya dan apa yang diinginkannya, tanpa perlu bertanya padanya langsung?

Bagaimana mungkin ia bisa melakukan itu?

Meskipun aku hanya seorang karakter sampingan, bukankah ini sebuah penghinaan?

Tidak—yang benar-benar menyinggung bukanlah apa yang dilakukannya kepadaku.

Melainkan apa yang sudah ia lakukan pada Shimotsuki-san.

…Tidak. Ryuzaki mungkin tidak menyadarinya.

Sekarang aku meyakini hal itu.

Ryuzaki Ryoma, tanpa diragukan lagi merupakan seorang “protagonis” yang terlahir secara alami.

Tidak ada orang lain yang dapat bersikap seperti ini dan lolos begitu saja.

Ia adalah tipe cowok yang mendapat perhatian tanpa alasan, yang tidak pernah ditegur karena pemikirannya yang egois, dan berasumsi bahwa menjadi pahlawan merupakan sesuatu yang alami.

Segala sesuatunya berjalan sesuai keinginannya. Ia hidup di dunia di mana perilakunya selalu dapat dibenarkan, di mana kenyataan itu sendiri memberinya keleluasaan.

Jadi apa yang harus kulakukan sekarang?

Apa yang harus kukatakan supaya Ryuzaki merasa puas?

Balasan macam apa yang akan membuatnya menghentikan permusuhan ini?

…Aku akan menghapus diriku sendiri. Aku akan menghilang dari dunia Ryuzaki.

Yang aku inginkan hanyalah agar Shimotsuki-san memperoleh kedamaiannya. Jika aku bisa membuat hari ini lenyap begitu saja—seolah tidak pernah terjadi—mungkin itu sudah cukup.

Saat ini, satu-satunya alasan Ryuzaki begitu gelisah adalah karena keberadaanku.

Karena diriku, Nakayama Kotaro, terlalu dekat dengan Shimotsuki Shiho, Ryuzaki Ryoma—yang sudah merasa nyaman dengan statusnya sebagai teman masa kecil—mulai panik.

Bagaimana jika Shiho menyukai orang lain?

Itulah ketakutan yang menggerogoti dirinya. Dan cara terbaik untuk menghapus ketakutan itu... adalah dengan menghapus diriku .

Jika aku tidak ada di sini, Ryuzaki bisa kembali seperti semula.

Baginya, Shimotsuki-san akan kembali menjadi gadis pendiam yang suka menyendiri. Dia tidak akan merasa perlu ikut campur lagi.

Itu cukup sederhana.

Aku tidak merasa bangga dengan hal itu, tapi aku adalah karakter sampingan sejati. Jika aku punya satu kelebihan… kelebihanku ialah aku mudah dilupakan.

Dan jika aku menggunakan kelebihan tersebut, akan mudah bagiku untuk menghilang dari kesadaran Ryuzaki.

“Apa yang coba kamu lakukan pada Shiho? Apa yang dia katakan? Katakan padaku! Aku teman masa kecilnya—aku perlu mengetahuinya! Aku harus melindunginya! Jadi jawab aku!”

Klik.

Aku mendengarnya di kepalaku. Seperti tombol yang dinyalakan.

Mulai sekarang, aku hanyalah karakter sampingan sekali pakai yang terlalu dekat dengan tokoh utama wanita.

Aku yang menentukan parameternya. Aku membayangkan diriku sebagai karakter sampingan yang hanya ada untuk menunjukkan betapa kerennya tokoh utama dengan cara dipukuli.

“Orang ini tidak perlu dikhawatirkan.”

Jika aku bisa membuat Ryuzaki berpikir seperti itu... gambaran permusuhan yang dibangunnya terhadap Nakayama Kotaro di benaknya akan menghilang.

Ini hanya sekadar peristiwa umum di awal cerita.

Adegan khas saat tokoh utama wanita diganggu oleh karakter sampingan, dan tokoh utama datang untuk menyelamatkannya. Dan yang harus kulakukan… adalah memainkan peran itu.

“Yah, meskipun kamu bilang begitu... seriusan, tidak terjadi apa-apa, oke? Dia imut, jadi kupikir sebaiknya aku mencoba menembaknya. Maksudku, dia sangat waspada, jadi aku tidak bisa melakukan apa pun.”

Aku menyeringai bodoh.

Aku pastikan untuk bertindak dangkal dan tidak berpikir panjang—layaknya orang bodoh yang tidak tahu apa-apa.

Menembaknya? Tunggu, kamu menyukai Shiho?”

“Kata 'suka' mungkin berlebihan... tapi maksudku, ayolah, dia manis, kan? Jadi kupikir kalau aku punya kesempatan, aku akan mencobanya! Tapi ya, sepertinya tidak berhasil.

Ryuzaki tampak santai, seperti dia benar-benar lega.

“Oh, jadi cuma itu saja… kamu hanya penantang biasa lainnya.”

Sesuai dengan dugaanku. Ia sama sekali tidak mengkhawatirkan Shimotsuki-san.

“Kalian berdua sedang makan siang berdua dan berbisik-bisik seolah-olah kalian sudah dekat atau semacamnya… jadi kupikir mungkin kalian mulai serius.”

Ya begitulah. Dirinya cuma takut ada seseorang yang merebutnya.

“Andai saja seperti itu! Astaga, aku tidak ingin kamu mengetahuinya... tapi terserahlah. Ya, baiklah. Aku mencoba mengaku pada Shimotsuki-san dan dia menolakku.”

── Bodohi dirinya.

── Berpura-puralah.

── Tipu dia.

Aku harus menghapus setiap jejak Nakayama Kotaro dan menulis ulang diriku agar sesuai dengan versi realita Ryuzaki.

“Jadi, seperti dugaanku—kamulah yang memanggilnya ke sini?”

Ya. Aku memohon padanya, dan dia setuju untuk makan siang bersamaku. Dia memang baik hati seperti itu... tidak senang, tapi dia tetap datang.

Aku memaksakan senyum kaku di wajahku.

Rasa sakit di dadaku—mungkin itu hanya sisa harga diri, bagian diriku yang masih ingin percaya bahwa aku tidak jauh berbeda dari Ryuzaki.

Tetapi aku tidak membutuhkan kebanggaan seperti itu.

Jika mempertahankannya berarti merepotkan Shimotsuki-san, maka aku akan dengan senang hati membuangnya.

“Maksudku, dengan seorang gadis secantik itu di kelas kita, tentu saja aku ingin dekat dengannya. Aku hanya mencoba untuk lebih banyak berbicara dengannya, oke? Lalu kamu muncul, dan mungkin itu membuatnya kesal... dia tiba-tiba berkata bahwa dia tidak enak badan dan kembali.”

Karakter sampingan klasik yang mudah dilupakan, mencoba mengejar gadis yang jauh di luar jangkauannya.

Itulah peran yang kupilih untuk dimainkan.

Berhutang budi.

── Merendah.

── Kibaskan ekormu.

Yang harus kulakukan hanyalah memainkan peran seorang anak SMA yang menyedihkan. Dan anehnya, peran itu sangat cocok untukku.

Rasanya bahkan tidak aneh—itu sungguh nyaman.

Meskipun kurasa dia membenciku sekarang... yah, mau bagaimana lagi. Dia jauh di luar jangkauanku. Aku sudah menduganya kalau aku bakal ditolak.

Aku menggambarkan diriku sebagai seseorang yang tidak relevan sama sekali hingga tidak bisa disebut sebagai ancaman—hanya seorang NPC tanpa nama.

Ryuzaki tampaknya tidak merasakan apa pun yang aneh. Dirinya justru tampak sangat tenang sekarang.

“Begitu ya....yah, tentu saja. Mana mungkin Shiho akan memilih orang sepertimu. Aku punya firasat buruk sesaat, tapi kurasa itu hanya imajinasiku. Aku tidak bisa membayangkan dia memilih orang lain daripada aku—terutama pria sembarangan.”

Sempurna. Ia sudah mengisi kekosongan itu dengan versi kejadian yang cocok untuknya. Menata ulang kenyataan sehingga masuk akal di kepalanya. Dan aku merasa lega—lega karena dia begitu mudah ditipu.

Berkat sandiawa kecilku, Ryuzaki mendengus merendahkan.

“Heh… yah, semoga berhasil. Shiho memang sulit didekati, oke? Aku ragu kamu punya kesempatan. Banyak pria sepertimu yang pernah mencoba sebelumnya, dan mereka semua ditolak. Kamu harus mundur sebelum kamu benar-benar terluka.”

Ia tiba-tiba menjadi banyak bicara, mungkin karena suasana hatinya telah membaik.

“Cuma aku satu-satunya yang benar-benar memahaminya—sebagai teman masa kecilnya. Tapi hei, jatuh cinta bukanlah kejahatan. Itu semua bagian dari masa muda.

Aku sudah resmi diturunkan derajatnya di dalam pikirannya.

Ryuzaki bahkan melemparkan sedikit pidato penyemangat yang simpatik, seolah-olah ia sedang membantuku.

“Tapi kamu tahu… aku tidak membenci orang bodoh sepertimu.”

Lalu ia mengulurkan tangannya dengan santai.

“Bagaimana? Ayo kita berteman.”

── Bohong rasanya jika aku bilang aku tidak ragu untuk menjabat tangan itu.

Karena persahabatan ini? Omong kosong.

Ikatan yang dibangun atas rasa kasihan dan ejekan… siapa yang membutuhkannya?

Namun satu-satunya bagian diriku yang keberatan adalah sebagian kecil harga diriku. Sisi rasionalku tahu persis apa yang harus dilakukan.

Jabat tangan ini—tindakan yang menyatakan, aku menerima statusku yang lebih rendah.

Jadi aku memendam emosiku dan menggenggam tangan Ryuzaki erat-erat.

“Ya! Tak ada usaha, tak ada hasil… Lihat saja bagaimana aku menjalani kehidupanku!”

Aku berusaha sekuat tenaga menyembunyikan rasa malu yang mendidih dalam diriku. Menelan rasa frustrasiku, aku memaksakan diri untuk tetap tersenyum. Dan berkat semua usaha itu… Ryuzaki meleadeninya.

“Baiklah, oke. Aku mungkin harus kembali ke dalam kelas—aku juga sedikit khawatir dengan Shiho. Kamu juga tidak ingin terlambat untuk pelajaran berikutnya, ya?”

Setelah itu, Ryuzaki memunggungiku. Namun, hanya sesaat. Seolah ada sesuatu yang baru saja terlintas di benaknya, dirinya menoleh lagi.

“Oh iya—siapa namamu lagi? Aku tahu kamu sekelas denganku, tapi aku tidak pernah mendengarnya.”

Ia bahkan tidak ingat namaku.

Kurasa aku benar-benar memerankan karakter sampingan yang sempurna.

Ayolah, yang benar saja. Namaku Nakayama. Nakayama Kotaro.

Aku tertawa bodoh saat mengatakannya. Ryuzaki mengangguk ringan, menyeringai tanpa sedikit pun rasa malu.

Oh iya, benar. Nakagawa, ya? Baiklah, aku mengerti.”

Yup, mana mungkin ia benar-benar mengerti.

Bahkan ketika dirinya salah, Ryuzaki tidak menyadarinya. Ia menghilang begitu saja di balik gedung sekolah seolah tidak terjadi apa-apa. Baru setelah sosoknya benar-benar hilang dari pandangan, aku akhirnya bisa rileks.

“...Haah.”

Aku menghela napas panjang. Dan kemudian—lututku tiba-tiba tak berdaya, dan aku terjatuh di tempatku berdiri.

“───”

Mungkin karena sekarang aku sendirian. Ketegangan langsung menghilang dariku, dan gelombang frustrasi membuncah. Aku bertindak berdasarkan dorongan hati dan menghantamkan tinjuku ke tanah.

Trak.

Tanah yang ditaburi kerikil mungkin terlalu kasar untuk melampiaskan emosiku.

“...Itu menyakitkan.”

Aku meringis menahan sakit—tapi anehnya, rasa sakit itu membantuku kembali tersadar.

Aku merendahkan diri. Ryuzaki menertawakanku…!

Saat aku memutar ulang apa yang baru saja terjadi, aku hampir memukul tanah lagi.

Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Aku merasa kasihan karena telah menundukkan kepalaku kepada Ryuzaki. Aku tahu itu kesombongan yang bodoh, tapi itu tidak mengurangi rasa sakitnya.

…Tapi itu tidak masalah.

“Jika itu demi melindungi Shimotsuki-san, biarlah begitu.”

Perasaanku tidak penting. Maksudku, orang sepertiku bahkan tidak punya hak untuk merasa frustrasi sejak awal.

Lagipula, aku hanya karakter sampingan. Jadi aku tidak memerlukan emosi, kan?

Aku menggumamkan kalimat itu dengan getir, sambil memaksakan senyum miring.

Hah… Aku tidak membutuhkan cermin untuk tahu—

Senyum yang kutunjukkan saat ini mungkin sudah terdistorsi hingga tak bisa dikenali lagi.

 

 


Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama