Chapter 2 — Si Protagonis yang Bernama Ryuzaki Ryouma
Aku
tertidur, lalu bangun—tapi pikiranku masih terasa seperti melayang-layang dalam dunia
mimpi.
“…Aku
berteman dengan Shimotsuki-san.”
Kejadian
kemarin
begitu menakjubkan, sampai-sampai rasanya seperti tidak nyata. Bahkan
sekarang, sehari kemudian, aku masih merasakan gelombang kebahagiaan itu.
“Baiklah!”
Pagi hari ini terasa lebih
menyegarkan dari biasanya. Hari ini benar-benar di luar
kebiasaanku, aku menepuk pipiku dengan keras demi menyemangati diriku. Entah
bagaimana,
aku merasa hari ini akan menjadi hari yang baik.
Sambil bersemangat
tinggi, aku bersiap-siap dan berangkat ke sekolah.
Sesampainya
di ruang
kelas, secara naluriah aku mendapati diriku mencari-carinya.
Shimotsuki-san…
dia masih belum
datang.
Sambil merasa
sedikit kecewa, aku duduk di tempat dudukku yang biasa—barisan paling belakang
dekat lorong, tempat dengan cahaya matahari paling sedikit di seluruh ruangan.
“Yo, Nakayama.
Selamat pagi.”
Seorang
anak cowok yang duduk di hadapanku menyapaku dengan santai.
Namanya
Hanagishi Soma. Berambut rapi dan baik hati, dengan kepala yang dicukur
plontos—ia
adalah anggota tim bisbol.
Dan salah
satu dari sedikit teman sejatiku.
“Selamat
pagi, Hanagishi. Belajar sepagi ini? Mengesankan.”
“Nah, aku
sedang mengerjakan tugas PR. Bukannya aku paham—aku hanya menatapnya
doang.”
Di meja
Hanagishi ada soal PR matematika. Sebagian besar isinya kosong, hanya
namanya yang ditulis acak di bagian atas.
“Mau aku bantu?”
Setelah
mengantar Shimotsuki-san pulang tadi malam—karena hari sudah larut dan jalanan
berbahaya—aku pulang dan benar-benar menyelesaikan tugas itu. Aku mungkin bisa
membantunya sedikit... atau bahkan membiarkannya menyalinnya,
jika dirinya mau.
Namun
Hanagishi hanya menggelengkan kepalanya seakan-akan dirinya sudah menyerah.
“Aku
menyerah. Mendingan aku kumpulin kertas kosong aja. Aku yakin guru
akan senang jika bisa benar-benar memarahiku sekali ini.”
“Begitu ya.”
Kalau ia sudah menguatkan tekadnya, kurasa
lebih baik jika aku tidak ikut campur. Tepat saat kami baru saja
mengakhiri obrolan santai di pagi hari, mereka masuk
ke kelas.
“Hei!
Cuacanya panas banget, jangan terlalu menempel padaku!”
“Ehh?
Biarkan aku menyentuhmu sedikit saja~”
“Tapi
Azusa-san, kamu terlalu suka memegang tangan. Rasanya tidak adil.”
“Azu-chan
benar-benar tahu cara bertingkah imut ya~ Sekarang giliranku , oke?”
“H-Hei,
bagaimana dengan opiniku!?”
Parade
Harem Ryuzaki memasuki ruangan kelas.
Seketika,
suasana kelas
menjadi lebih ramai. Seperti biasa, mereka menonjol seperti lampu sorot.
“Ya
ampun… memulai hari dengan liar, ya? Aku sangat iri,”
Hanagishi
bergumam pelan sambil melirik ke arah mereka.
“Ryuzaki
sangat populer, ya? Maksudku, dirinya memang tampan... tapi bukannya
ia setampan
model atau semacamnya. Apa yang membuat gadis-gadis tergila-gila padanya, ya?”
Sejujurnya
aku juga merasa penasaran.
Ryuzaki
jelas terlihat seperti orang baik. Dirinya tampak cukup
baik, cukup atletis, dan tampaknya berprestasi baik di kelas.
Tapi
tidak ada satu pun hal yang benar-benar membuatnya menonjol.
Dirinya
bukan tipe pria yang biasa diharapkan memiliki harem lengkap.
Pada
titik ini, aku lebih mempercayai ia mempunyai semacam
kekuatan tak kasat mata yang memanipulasi hati para gadis.
Mungkin
dirinya
benar-benar ‘tokoh utama’ dalam film komedi
romantis. Jika memang begitu, masuk akal jika semuanya berjalan sesuai rencana
baginya.
…Tetap
saja, bergosip diam-diam tidak akan mengubah apa pun. Jadi aku hanya
tersenyum samar pada Hanagishi dan membiarkan pembicaraan mengalir.
Dan saat itulah
semuanya terjadi.
“…Ah.”
Tiba-tiba
seorang gadis berambut perak muncul dalam pandanganku. Dia masuk melalui
pintu depan kelas—Shimotsuki-san.
“Hm?
Ada apa?”
Menyadari
tatapanku, Hanagishi pun menoleh untuk melihat juga.
“Oh, rupanya Shimotsuki. Astaga… dia memang
hidup di dunia berbeda dengan kita.”
Ia
menatapnya dan tertawa dengan sedikit rasa kagum.
“Paras
wajahnya
kelihatan tak
nyata… dia begitu cantik sampai-sampai kamu tak bisa membayangkan untuk mengungkapkan
perasaanmu padanya.”
Itulah
konsensus umum tentang Shimotsuki Shiho. Bagi laki-laki normal
seperti diriku dan Hanagishi, dia terlalu menakutkan untuk
didekati.
Tapi sekarang
aku berteman dengannya…
Sesaat,
aku berpikir untuk mengatakannya keras-keras—tapi aku
mengurungkan niatku.
Tidak...
itu cuma akan menarik perhatian. Membanggakan hal
itu bukan tampak seperti sifatku.
Aku
mengingatkan diriku untuk tetap merendah.
Kemarin,
dia bilang kalau dirinya orang yang pemalu. Dia mengatakan bahwa
diawasi
membuatnya sulit baginya untuk bertingkah secara alami.
Dan jika
seseorang seperti diriku—tokoh sampingan—terlihat
berbicara dengan Shimotsuki-san, kejadian itu saja pasti
akan
menimbulkan kehebohan. Aku harus berhati-hati.
Tentu
saja, kalau boleh, aku ingin sekali berbicara padanya dengan bebas... tapi
tidak jika itu berarti membuatnya tidak nyaman.
Mungkin
sebaiknya aku tidak berbicara dengannya di kelas.
Setelah
mengambil keputusan begitu, aku mengalihkan pandanganku darinya.
“…Hah.”
Sebuah
napas pelan keluar sebelum aku menyadarinya.
Pagi ini
dimulai dengan sangat baik… tapi sekarang, setelah dipikir-pikir secara
rasional, aku jadi teringat bahwa aku dan Shimotsuki-san
hidup di dunia yang sangat berbeda.
Kenyataan
itu kembali menghantamku, dan suasana hatiku mulai menurun.
Rasanya
hari ini hanyalah hari biasa dalam kehidupan seorang
karakter sampingan.
...Itulah
yang kukatakan pada diriku sendiri, meratapi nasib seperti biasa. Tapi
tampaknya dia takkan membiarkanku terjerumus dalam suasana
negatif terus.
◆◆◆◆
“U-Um…!”
Sewaktu
makan siang. Aku baru saja hendak memakan roti manis yang
kubeli dari kantin sekolah ketika aku mendengar suara dari lorong.
“Hah?
Oh—Shimotsuki-san?”
Dia
berdiri di sana, mulutnya terbuka dan tertutup seakan-akan ingin mengatakan
sesuatu.
“A-A-Ayo…
A-Ayo…! Ayo ikut aku.”
Setelah
berkata demikian, dia segera meninggalkan kelas dan mulai menuju ke suatu
tempat.
Aku menuruti
ajakannya,
dan mendapati Shimotsuki-san sudah menungguku di dekat
tangga, memegang kantong serut yang cukup besar untuk membawa kotak makan
siang.
Ini… jangan-jangan
ajakan
untuk makan siang bersama?
Mengingat
situasinya, tampaknya bisa aku asumsikan begitu.
Kupikir
dia tidak ingin terlihat makan bersama orang sepertiku, tetapi jarak di antara
kami terlalu jauh untuk memanggilnya.
Saat aku
berjalan mendekatinya, dia terus bergerak maju—mempertahankan jarak
yang tetap di antara kami. Tanpa sempat mengatakan apa pun, aku akhirnya
dituntun keluar tanpa suara.
Akhirnya,
kami tiba di belakang gedung sekolah, tempat yang cukup
sepi.
Kerikil menutupi tanah, dan itu bukanlah tempat yang nyaman. Tidak
seperti halaman yang penuh sesak dan terkena sinar matahari, area ini begitu
teduh
dan luar biasa sunyi.
Di tempat
seperti ini, mungkin kita berdua bisa makan bersama tanpa menarik perhatian.
Itulah yang ada di pikiranku ketika tiba-tiba aku menyadari sesuatu yang aneh
pada Shimotsuki-san.
“…………”
Dia tidak
mengatakan sepatah kata pun, dan menatapku dengan tatapan dingin dan berat.
“Eh… apa ada yang salah?”
“…………Oh, tentunya
ada
yang salah, oke.”
Jawabannya
begitu ketus
dan tanpa emosi. Kepolosan yang ditunjukkannya kemarin
tampak menghilang entah kemana. Sekarang, Shimotsuki-san kembali menjadi gadis
yang biasa, dingin, dan sulit dibaca.
Meski
begitu, karena tidak ada orang lain di sekitarnya, rasa malunya tampaknya tidak
muncul. Tidak seperti sebelumnya, ucapannya lancar dan tidak dibuat-buat.
“Nakayama-kun.
Aku merasa sedikit kesal.”
Suaranya
yang datar dan dingin bergema di belakang gedung sekolah, tempat tidak seorang
pun dapat mendengar.
“Kamu
tahu alasan
mengapa aku kesal?”
Nada
suaranya tenang, hampir mekanis—tetapi entah mengapa, itu membuatnya semakin
menakutkan. Dia memiliki wajah yang begitu memukau sehingga secara
naluriah membuatku takut membuatnya kesal.
“Nakayama-kun,
dengarkan baik-baik—kita berteman , bukan?”
Aku
mengangguk pelan. Itu memang benar.
Dan
kemudian, dia menghantamku dengan sesuatu yang sama sekali tidak terduga.
“Lalu
kenapa kamu tidak berbicara padaku?”
…Hah?
Tunggu, jadi itu sebabnya dia
marah?
“Kejam banget. Kita kan teman,
jadi setidaknya kamu bisa menyapa. Aku menunggumu menyapaku, tahu? Aku
benar-benar berharap kamu akan datang sambil mengibaskan ekormu seperti anak anjing
dan berkata, 'Selamat pagi, Shimotsuki-san!' Tapi sebaliknya, kamu
malah
mengabaikanku seperti orang asing. Nakayama-kun, bukannya kamu pikir kamu kurang memiliki
kepekaan
dasar sebagai teman?”
Dia
memarahiku dengan lembut—seperti dia sedang berbicara dengan anak yang nakal.
Sambil masih
tanpa ekspresi, Shimotsuki-san berbicara kepadaku dengan nada yang tenang dan
datar.
“Jadi?
Kenapa kamu bersikap seperti orang asing? Kamu ‘kan anak baik, jadi
katakan yang sebenarnya, oke?”
Untungnya,
dia tampak seperti tipe orang yang memberi orang kesempatan untuk menjelaskan
diri mereka sendiri.
Tentu
saja, aku tidak mengabaikannya tanpa alasan.
“Yah, kamu tahu… karena kamu orang
yang
pemalu, kupikir lebih baik kalau aku tidak berbicara denganmu
di depan umum.”
Aku tidak
ingin membuat keributan hanya karena berbicara kepadanya. Ketika aku
menjelaskan hal itu, dia cemberut sambil berpikir. Dia selalu berekspresi
sepanjang waktu, tetapi sekarang dia akhirnya mulai menunjukkan perasaannya
lagi.
“Be-Begitu ya… Kalau
kamu sampai memikirkanku segitunya, kurasa aku tidak
bisa marah lagi…”
Tampaknya
amarahnya mulai memudar. Sekalipun aku buruk dalam
menjelaskan sesuatu, dia tetap mengerti maksudku.
“Tapi asal kamu tahu
saja oke?
Meskipun menarik perhatian itu menakutkan… tapi tidak bisa berbicara
denganmu terasa lebih sepi. Jadi… jika kamu bisa, aku akan sangat senang jika
kamu mengatakan sesuatu.”
Saat dia
berbicara, ekspresinya perlahan-lahan melunak.
Beberapa
saat yang lalu, dia tampak dikuasai oleh kemarahan, tetapi saat dia mengerti
apa yang kurasakan, pipinya mengendur, membentuk senyum tipis.
“Tapi
syukurlah...
Aku sempat kepikiran apa kamu sudah tidak menyukaiku lagi,
meskipun kita baru saja berteman. Itulah mengapa aku bersikap aneh—aku takut.”
“Ya… aku tidak tahu kalau kamu menjadi
seperti ini
kalau sedang marah.”
Tanpa
ekspresi, tenang, dan sedingin es—persis seperti dirinya yang biasanya. Sejujurnya, perilakunya
yang begitu
membuatnya merasa agak jauh lagi.
Tapi
kemudian—
“M-Maaf, tingkahku
mungkin
agak sulit. Aku tidak tahu kenapa, tapi kalau sudah menyangkut dirimu, aku
tidak bisa menahan diri… Meski begitu, apa kamu mau tetap menjadi
temanku? Kamu tidak akan… membenciku, kan?”
Shimotsuki-san
hanya membiarkan dirinya menjadi rentan seperti ini saat dia bersamaku. Pada
saat itu, dia menjadi gadis yang normal, jujur, dan bahkan sedikit
kekanak-kanakan. Mana mungkin aku bisa membenci sisi dirinya yang itu.
“Tidak,
tentu saja tidak. Aku mungkin juga punya banyak kekurangan… tapi aku akan
sangat senang jika kita bisa tetap berteman, Shimotsuki-san.”
Aku
memastikan untuk mengatakannya dengan jelas melalui ucapanku sendiri.
Ketika
aku mengatakannya, Shimotsuki-san dengan malu-malu menempelkan
tangannya ke pipinya.
“ ── Lihat?
Kamu benar-benar manis dan baik, Nakayama-kun…
Menerima seseorang sepertiku saat aku bersikap egois—kamu
benar-benar cowok
yang baik.”
…Baiklah,
caranya berbicara sedikit merendahkanku itu memang
beda dari yang lain.
Tapi
bahkan hal itu—aktingnya seperti seorang Onee-san—terasa begitu tulus sebagai dirinya, sehingga aku tidak bisa menahan senyumku.
“Tapi...
karena kita sekarang berteman, bukannya menggunakan nama belakang
terasa seperti orang asing? Mungkin jika kita menggunakan nama depan,
kita akan menjadi lebih dekat?”
Kemarahannya
sudah lama hilang sekarang. Dia pelan-pelan
menarik
lengan bajuku, seakan-akan ingin mendapat perhatian.
“Nee, nee, Nakayama-kun.
Coba panggil aku dengan nama depanku—panggil aku Shiho, tanpa imbuhan kehormatan. Kedengarannya
bagus, ‘kan?
Seperti yang dilakukan teman dekat?”
“Nama
depan… yah, oke.”
Karena
dia sendiri yang memintaku duluan, jadi aku pun menuruti
kemauannya
dan memanggil namanya.
“Shiho.”
“ ──── Enggak jadi
deh.”
Tapi
karena suatu alasan, dia malah menolaknya.
Padahal
dia sendiri
yang menyarankannya.
“M-Mungkin
masih terlalu cepat… Wajahku terasa panas.”
Pipinya
yang putih pucat kini bersemu merah cerah.
“Kita
tunda dulu panggilan nama kita, oke? Setelah aku agak tenang—oke?”
Mendengar
namanya diucapkan saja sudah cukup membuatnya malu. Dia benar-benar
gadis yang berhati polos…
Ugh, gawat.
Bahkan aku
sampai ikutan
tersipu hanya dengan melihatnya.
◆◆◆◆
“Baiklah,
kalau gitu
ayo makan?
Aku sudah sangat lapar .”
Sekarang
suasana hatinya sudah membaik, jadi dia sepertinya mengingat
rasa laparnya. Shimotsuki-san mengeluarkan kotak bento kecil yang lucu dari tas
kain
yang dibawanya.
“Hah?
Nakayama-kun, makan siangmu cuma roti saja? Dan roti
melon—itu lebih seperti hidangan penutup daripada makanan sebenarnya!”
“Ya, aku
menyantap
makanan ini setiap hari.”
“Itu
tidak baik. Aku pernah melihatnya di TV bahwa gizi seimbang
itu sangat penting. Kalau kamu mulai tidak sehat, aku akan sangat sedih. Jadi,
tolong jaga kesehatanmu demi aku, oke? Sebagai temanmu.”
Dia duduk
di anak tangga yang nyaman, dan kemudian—hampir tanpa jeda—duduk tepat di
sebelahku.
Jarak di antara kami hampir
tidak ada.
Paha kami sampai saling bersentuhan. Mana mungkin aku tidak grogi karenanya.
“Lihat,
Nakayama-kun! Bukannya lauk ini terlihat lezat? Ibuku membuatkan makan siang
ini untukku!”
Tapi
Shimotsuki-san tampak sangat bahagia. Mungkin cuma aku yang terlalu
memikirkannya. Dia tampak sangat alami tentang hal itu. Jadi aku berusaha
sebisa mungkin bersikap tenang dan menjaga percakapan tetap berlanjut.
“Y-Ya…
kelihatannya luar biasa. Semua dagingnya terlihat sangat lezat.”
Aku
mengintip kotak bekalnya. Isiannya ditata dengan sangat
cantik—dengan potongan daging hamburger, bacon, dan sosis kecil berbentuk
gurita. Bekas-bekas hangusnya tampak sempurna. Jelas sekali
bahwa
itu
bukan makanan beku yang dibeli di toko.
Selain
itu, sayuran berwarna-warni seperti kacang polong dan paprika juga disertakan
dengan rapi. Semuanya bisa terlihat jelas bahwa ada seseorang yang
sudah
meluangkan waktu, perhatian, dan cinta untuk menyiapkannya.
“Ibuku
selalu mengemas daging ekstra karena aku sangat menyukainya… Oh! Mau
mencobanya, Nakayama-kun?”
“Tidak, aku
merasa sungkan.
Aku tidak pantas menerimanya.”
“Hmm?
Menolak makanan dari teman itu tidak sopan, loh? Apa maksudmu
masakan ibuku tidak enak? Aku takkan membiarkannya begitu saja!”
Dengan
nada pura-pura tegas, dia mengambil sepotong daging hamburger utuh
dan menyodorkannya ke dalam mulutku.
“Ini,
makanlah. Ayo bilang 'ahh~'?”
…Oke, sekarang aku
benar-benar dalam masalah. Apa yang seharusnya kulakukan?
Sekalipun
kami berteman, tindakannya terasa terlalu
dekat untuk membuat kami nyaman. Mungkin, baginya, hal
semacam ini hanyalah hal biasa di antara teman. Dan jika memang
demikian, menolaknya bisa saja menyakiti perasaannya.
Begitu
aku memikirkan hal itu, aku menyadari kalau aku tidak bisa
menolaknya—tidak peduli betapa malunya aku.
“Nakayama-kun,
ayo!”
Sumpitnya
mulai bergetar—mungkin karena dia tidak kuat menahan hamburgernya lebih lama
lagi.
Aku
benar-benar tidak bisa membuatnya menunggu lebih lama lagi.
Bersikap sewajarnya saja. Bersikaplah
normal…!
Sambil berusaha
untuk tetap memasang wajah datar meski jantungku berdebar kencang, aku
mencondongkan tubuh ke depan dan melahapnya.
“Bagaimana?
Enak, ‘kan?”
“T-Tentu
saja!”
Itu…
lezat—mungkin.
Sejujurnya,
aku begitu gugup sampai-sampai aku tidak bisa membedakan
rasanya.
Karena baru
pertama kalinya ada seorang gadis yang melakukan sesuatu seperti
ini untukku.
Meskipun
aku dulu dekat dengan Azusa, Kirari, dan Yuzuki, kami tidak pernah melakukan
hal seperti ini. Sesuatu yang mirip
seperti....sepasang kekasih.
“Ini
benar-benar, uh… ya. Agak terasa seperti… sesuatu yang istimewa, kurasa.”
Aku
mencoba membayangkan apa yang akan dikatakan oleh diriku yang tenang dan
normal, dan berusaha sebaik mungkin untuk menanggapinya.
Kalau
saja dia tahu seberapa gugupnya aku sebenarnya, dia mungkin akan menganggapku
aneh... dan pikiran itu saja membuatku makin berusaha menyembunyikannya.
Tapi
tentu saja, dia bisa melihat dengan jelas diriku.
“…Ahaha.
Nakayama-kun, kamu segembira itu hanya karena aku
menyuapimu? Apa kamu benar-benar segembira itu dengan melakukan 'ahh~'?”
Shimotsuki-san
tertawa cekikikan nakal.
“Ak-Aku tidak gugup atau
semacamnya kok!”
Aku
berusaha
mencoba membantahnya, tetapi—ya, itu tak ada gunanya terhadapnya.
“Kamu lupa? Aku punya
pendengaran yang sangat tajam, ingat? Aku bisa mendengar jantungmu berdebar
sepanjang waktu.”
…Benar.
Aku melupakannya. Sekarang setelah dia
menyebutkannya, pendengarannya menjadi luar biasa
tajam.
“Ya
ampun, Nakayama-kun… Kalau kamu bertingkah gugup seperti itu, bahkan aku jadi mulai
ikutan
merasa aneh, tau.”
Dia
menepuk bahuku pelan, pipinya memerah sembari tersenyum malu.
“Ahh~! Ini
benar-benar memalukan …”
Mungkin
menggodaku hanya sesuatu yang spontan. Sepertinya dia juga tidak
terbiasa berurusan dengan lawan jenis—karena wajahnya terlihat
merah
padam.
“Tapi… Aku
selalu memimpikan momen seperti ini, jadi aku sangat senang bisa mengalaminya.”
Meskipun berusaha
menggodaku,
dia kelihatan bahagia sekali, dan anehnya, aku tidak merasa jengkel sedikit pun.
“...Jika
kamu bisa bersikap sedikit lebih santai padaku, itu akan sangat
bagus.”
“Tidak,
tidak bisa. Aku punya banyak hal yang ingin kulakukan bersama seorang teman,
dan Nakayama-kun, kamu akan membantuku dengan semuanya , oke?”
Dan
dengan wajahnya yang masih merah padam, Shimotsuki-san melahap makan siangnya. Mulutnya
kecil, tetapi dia menggembungkan pipinya saat makan, persis seperti seekor
tupai.
Melihatnya
seperti itu, aku tidak dapat menahan senyum.
Ah,
aku tersenyum lagi.
Setiap
kali aku bersama Shimotsuki-san, segalanya terasa lebih ringan. Bahkan
seseorang seperti aku—yang hanya sekadar tokoh latar—bisa merasa bahagia.
Sejak
sekolah SMA dimulai, kehidupan sehari-hari selalu menjadi
rutinitas yang membosankan. Namun berkat dirinya… rasanya
segalanya akhirnya akan mulai berubah.
Aku juga
harus mencoba berbicara lebih banyak dengannya di kelas…
Jika aku
ingin persahabatan ini tetap terjalin, aku harus berusaha memastikan dia juga
bersenang-senang. Negatifnya yang suram yang kurasakan di kelas? Hilang sudah. Saat
ini, yang kurasakan hanyalah harapan. Dan itu semua berkat dirinya.
Aku ingin
menghargai Shimotsuki-san—gadis yang memilih berteman dengan seseorang
sepertiku.
◆◆◆◆
Saat kami
sampai di pertengahan jam istirahat makan siang, Shimotsuki-san sudah
menghabiskan makanannya.
“Terima
kasih atas makanannya.”
Bahkan
saat dia memasukkan kembali bekalnya ke dalam kantong, dia tidak bergerak
sedikit pun untuk berdiri. Sepertinya dia masih ingin mengobrol sebentar.
Sejujurnya,
aku tidak bisa membayangkan dia akan senang
bicara dengan orang sepertiku, tapi kalau memang itu yang diinginkannya,
aku akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa mengimbanginya.
“Terima
kasih, Nakayama-kun, hari ini adalah makan siang yang sangat istimewa bagiku.”
“Tidak,
tidak juga. Aku tidak melakukan apa pun kok.”
“Tidak,
tidak, jangan katakan itu. Kalau kamu tidak ada di sini, aku pasti akan makan sendirian lagi hari ini.
Tapi karena kamu ada di sini, aku tidak kesepian.
Terima kasih, Nakayama-kun.”
“──”
Ucapannya langsung menyentuh dadaku, hangat dan jelas.
Mungkin
apa yang selama ini kudambakan adalah dihargai—dikatakan bahwa keberadaanku
juga
penting.
“Saat
kamu merasa senang, suaramu terdengar sangat merdu,
Nakayama-kun. Kamu memang gampang dibaca... tapi itu bagian
lain yang menarik dari dirimu.”
Dia
tersenyum sembari memperhatikanku dengan canggung berusaha menyembunyikan
reaksiku yang bingung. Bahkan tanpa banyak bicara, dia selalu
tampak mengerti perasaanku.
Tapi
tetap saja—kalau aku mengungkapkannya dengan kata-kata, kalau
aku mengucapkannya dengan lantang, aku yakin itu akan membuatnya senang juga.
Jadi aku mencoba mengumpulkan keberanian untuk berterima kasih padanya—
Tapi
pada itulah ada sesuatu yang terjadi.
“──Suara
yang sangat mengerikan.”
Seolah-olah
mereka telah mengawasi kita sepanjang waktu. Seandainya saja aku bicara
sedetik lebih awal, mungkin hubungan kita akan membaik. Tetapi aku tidak
mendapat kesempatan itu.
“Rasanya
seperti... suara seseorang mencabik makanan. Mendengarnya saja sudah membuatku
mual.”
Pada saat
itu, wajah Shimotsuki-san seketika kelihatan pucat pasi.
Tidak ada
keceriaan dan kehangatannya.
Versi
dirinya yang ceria dan ekspresif menghilang, dan versi Shimotsuki-san yang
biasa, dingin, dan tak terbaca menggantikannya.
Dan saat
itu juga, aku mendengarnya.
Suara
langkah kaki menghantam kerikil, diikuti oleh suara-suara yang mendekat—satu
laki-laki, satu perempuan.
“Cih…
Menyeretku jauh-jauh ke sini. Ada apa sih, Azusa?”
“Maaf,
Ryo-nii… Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu.”
Kehadiran
mereka agak terlalu mendadak. Dan orang-orang yang
muncul di belakang gedung sekolah adalah—dua orang yang sangat kukenal.
Ryuzaki…
dan Azusa? Apa yang sedang mereka lakukan di sini…?
Salah
satunya adalah seorang gadis dengan rambut ekor kembar yang diikat dengan pita
hitam—adik tiriku, Nakayama Azusa.
Yang
lainnya, seorang anak laki-laki berambut hitam, bertubuh rata-rata dan bermata
gelap, adalah Ryuzaki Ryoma.
“Padahal
biasanya tidak
ada seorang pun yang pernah datang ke sini…”
Dengan
pendengarannya yang tajam, Shimotsuki-san telah merasakannya lebih awal
daripada aku. Bibirnya terkatup rapat saat dia menatap Ryuzaki dan Azusa,
ekspresinya kaku karena tegang.
“Kita
harus bersembunyi… Aku tidak bisa membiarkannya melihatku…!”
Dia
tiba-tiba berdiri sambil mengatakan itu. Namun karena tergesa-gesa,
kerikil di bawah kakinya berbunyi keras.
“Hah?
Suara tadi… Hei. Shiho? Apa yang kamu lakukan di sini—?”
Saat
Ryuzaki melihatnya, pandangan matanya beralih ke arahku. Dan
kemudian ekspresinya berubah total.
“Kamu
siapa?
Apa yang kamu lakukan pada Shiho? Membawanya ke tempat sepi seperti ini di
mana tidak ada orang sama sekali… apa yang kamu rencanakan untuk
dilakukan padanya!?”
Ryuzaki
bukanlah tipe orang yang emosional—bahkan saat gadis-gadis menyusahkannya, ia
biasanya hanya menghela nafas dan melupakannya.
Namun
saat ini, dirinya jelas-jelas sedang marah.
“Apa yang
kamu
lakukan pada teman masa kecilku yang berharga?”
Seolah
aku telah melakukan sesuatu yang mengerikan. Seolah-olah
Shimotsuki-san adalah korban dan aku adalah pelakunya.
A-Apa
yang terjadi? Kami baru saja duduk bersama di sini... jadi mengapa ia bersikap
seolah-olah sesuatu yang buruk telah terjadi padanya?
Reaksinya sangat
abnormal.
Persepsinya benar-benar menyimpang.
Ia
mengabaikan semua konteks dan mengambil kesimpulan berdasarkan asumsinya
sendiri.
Dan itu sungguh menyeramkan dan intens.
“Eh… ah…
ehm…”
Azusa
tampak benar-benar bingung dengan situasi ini. Bahkan rambut ekor
kembarnya yang biasanya mencolok, diikat hari ini dengan jepitan yang lebih
mencolok dari biasanya, tampak sedikit terkulai.
Azusa
adalah orang yang membawa Ryuzaki ke sini, kan…? Jangan bilang—dia berencana
untuk mengakui perasaannya?
Melihat
wajahnya, aku mempunyai firasat begitu.
Adik perempuan tiriku tidak ingin menjadi anggota harem Ryuzaki. Dia
berusaha menunjukkan perasaannya, untuk memenangkan hatinya.
Dan
melihat hal itu… jujur saja, itu menyakitkan.
Walaupun Azusa
sudah
berusaha keras—tapi Ryuzaki sekarang hanya memperhatikan Shimotsuki-san.
“Shiho,
kamu baik-baik saja? Kamu tidak dalam kondisi kesehatan yang baik—kamu
seharusnya tidak memaksakan diri seperti ini. Memangnya kamu tidak
bisa mengatakan tidak kepada orang ini? Aku tahu kamu terlalu baik untuk menolak
seseorang, tetapi tetap saja, kamu harus menjaga dirimu sendiri. Aku khawatir
padamu, tau? Sebagai teman masa kecilmu.”
Nada
bicara Ryuzaki membuatnya terdengar seperti aku telah melakukan sesuatu
yang menyeramkan,
dan aku tidak tahan. Namun, jika aku mulai berdebat sekarang, itu hanya akan
memperburuk keadaan Azusa.
“Mungkin
Onii-chan bukanlah kakak laki-laki yang ideal. Mungkin yang selama ini kucari
adalah... Ryoma-oniichan.”
Itulah
yang dikatakan Azusa padaku setelah upacara penerimaan siswa baru
SMA. Kami hampir tidak pernah bicara lagi sejak saat itu.
Dulu
waktu SMP, sejujurnya kupikir hubungan kami sebagai saudara cukup baik.
Tapi, mungkin itu hanya asumsi sepihakku saja. Azusa pasti punya
beberapa hal yang membuatnya frustrasi padaku, tapi cuma akunya
saja yang tidak menyadarinya.
Dan
akhirnya, hubungan kami mulai renggang.
Aku tidak
bisa menjadi “kakak ideal” yang diinginkannya. Meski begitu, dia
tetap keluarga yang berharga bagiku. Aku tidak ingin mengganggu
perasaannya.
Jadi aku memutuskan untuk
pergi bersama Shimotsuki-san supaya mereka bisa menikmati
waktu berdua. Kalau saja aku bisa menyingkirkan keberadaan kami dari sini—mungkin
aku masih bisa memperbaiki keadaan.
“Aku
tidak melakukan apa pun. Jangan khawatir… Kita akan kembali ke kelas sekarang.”
Kataku
sambil melangkah maju.
“Ayo
pergi, Shimotsuki-san.”
Tentu
saja, aku berharap dia ikut denganku—tetapi saat itulah aku akhirnya menyadari
ada sesuatu yang salah.
“…Ugh…”
Suara
samar dan tegang keluar dari bibirnya. Saking pelannya, bahkan
Ryuzaki yang hanya berjarak beberapa meter pun tidak dapat mendengarnya. Dan
saat aku mendengarnya—Shimotsuki-san tiba-tiba terhuyung.
“Shiho!?”
Ryuzaki
panik dan berusaha mendekatinya.
Tetapi
aku menangkapnya sebelum dirinya sempat.
“Shimotsuki-san,
kamu baik-baik saja?”
“…Tidak.
Aku tidak bisa. Orang itu … Aku tidak bisa berada di
dekatnya…”
Suaranya
kecil, linglung—seolah-olah sedang mengigau karena demam. Namun, aku langsung
memahami emosi di balik kata-katanya.
Shimotsuki-san…
benar-benar tidak bisa menangani Ryuzaki—!
Dan ini
bukan jenis ketidaknyamanan yang biasa. Sekadar berada di
dekatnya, sekadar merasakan kehadirannya, sudah cukup untuk membuatnya
benar-benar linglung.
Wajahnya
pucat, bibirnya pucat pasi, matanya gemetar ketakutan. Seluruh tubuhnya gemetar
tak terkendali.
Perubahan-perubahan
kecil yang tidak dapat diperhatikan dari jarak jauh… Aku dapat melihatnya
dengan jelas dari dekat.
Ini tidak
normal. Mungkin Shimotsuki-san tidak seharusnya berada di dekat Ryuzaki sama
sekali.
Mereka
mungkin sahabat masa kecil, tapi ada sesuatu dalam dinamika mereka yang terasa
sangat aneh—hampir beracun.
Tidak...
mungkin karena mereka merupakan teman masa kecil.
Shimotsuki-san mungkin pernah mengalami sesuatu yang menyakitkan di masa lalu
karena ulahnya. Mungkin itulah yang membuatnya trauma... dan
itulah yang menyebabkan dia bereaksi seperti ini.
“Aku akan
membawanya ke ruang UKS. Minggir.”
Aku
melangkah maju, menghalangi Ryuzaki saat ia mencoba meraih
Shimotsuki-san. Tetapi
sebaliknya, ia justru melotot ke arahku seakan-akan akulah yang menghalanginya.
“Kamu bertingkah
seperti pahlawan setelah membuat Shiho merasa sakit
begini?
Kamulah
yang seharusnya mundur. Jangan sentuh dia hanya karena dia lemah. Dasar
kurang ajar.”
Jelas sekali kalau ia menerjang ke arahku, matanya penuh permusuhan.
“...Cih.”
Dan
semakin dekat dirinya, Shimotsuki-san semakin menderita. Dia
menutup telinganya dengan kedua tangannya, seolah-olah berusaha keras untuk
mengusirnya.
Aku harus
menjauhkannya darinya— cepat .
“Ada
banyak hal yang ingin kutanyakan padamu… jangan berani-beraninya kamu kabur.”
“Memangnya sekarang waktunya untuk membahas hal itu!?”
Bahkan
sekarang, Ryuzaki memprioritaskan emosinya sendiri.
Kalau dia
memang peduli pada Shimotsuki-san, tidak peduli seberapa kesalnya dia
padaku, ia seharusnya lebih dulu fokus pada keselamatannya... tapi yang
bisa ia lakukan hanyalah melampiaskan amarahnya padaku.
“Kotaro-kun…
tidak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri.”
Mungkin
dia tidak ingin membuatku khawatir. Shimotsuki-san mulai berjalan sendiri,
kakinya masih goyah.
Aku ingin
pergi bersamanya—tetapi tatapan Ryuzaki menahanku.
Tetap
saja, ia pasti merasa tidak enak hati membiarkannya pergi sendirian juga.
“Azusa, apa kamu bisa membawa Shiho ke ruang
UKS?”
Dan
begitu saja… Ryuzaki menginjak-injak perasaan Azusa.
Dia
akhirnya memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya… dan akhirnya
malah jadi begini!?
Sudah
berapa lama dia merasa gelisah karena memikirkannya? Sudah berapa
kali dia meragukan dirinya sendiri?
Setelah memikirkan
semua itu—aku tidak bisa diam.
“Tunggu
sebentar, Ryuzaki. Kamu tidak mau berbicara dengannya? Aku akan membawa
Shimotsuki-san ke ruang perawat—jadi pergilah dan bicaralah padanya.”
“Berhentilah
mencoba melarikan diri. Aku bilang aku punya pertanyaan untukmu… Azusa, boleh
aku mengandalkanmu?”
“…Ya. Aku mengerti.”
Azusa
dengan patuh mengikuti instruksinya. Kupikir itu bukan hal yang
benar untuk dilakukan.
Namun dia
melakukan persis seperti yang diperintahkan—tanpa menoleh ke belakang, dia
mengejar Shimotsuki-san dan menghilang di balik gedung sekolah.
Jadi itu
pilihanmu, ya… Azusa?
Tentu
saja aku mengkhawatirkannya. Tapi ini jalan yang dipilihnya. Jika
aku mencoba ikut campur sekarang, aku hanya akan menghalanginya.
Jadi
tidak ada gunanya memikirkannya lebih jauh.
Saat ini…
Aku harus fokus melindungi Shimotsuki-san.
◆◆◆◆
Apa
yang bisa kulakukan untuk Shimotsuki-san?
Aku
menekan semua emosiku dan cuma fokus pada pertanyaan itu.
“Sekarang
kita sudah berdua, kita bisa bicara dengan baik-baik, kan? Tidak usah
menunda lagi—sudah, katakan saja padaku. Kenapa kamu berdua dengan
Shiho? Bagaimana kamu bisa mengajaknya ikut? Apa yang kamu coba lakukan
padanya? Cepat jawab aku!”
Caranya berbicara yang
mirip
seperti seorang pejuang sejati, betul-betul membuatku jengkel.
Melihat
Ryuzaki membenarkan tindakannya sendiri dengan begitu percaya diri… membuatku
bertanya-tanya apa
akulah yang salah.
“Aku
tidak melakukan apa pun yang perlu dikhawatirkan. Lagipula—kenapa kamu begitu
peduli?
Kamu
bukan pacarnya atau semacamnya, kan?”
Aku
memutuskan untuk menyelidiki niatnya terlebih dahulu.
“Kamu benar, aku tidak
berpacaran dengan Shiho… tapi aku teman masa kecilnya. Aku punya tanggung jawab
untuk melindunginya. Dia sakit-sakitan, gadis kuper, dan tidak ada
yang benar-benar memahaminya… tapi aku memahaminya. Cuma
aku
satu-satunya yang bisa memahaminya.”
Itulah
yang dikatakan Ryuzaki.
Rasa
tanggung jawabnya yang menyimpang, yang didasarkan pada asumsi belaka,
diucapkan seolah-olah itu adalah kebenaran mutlak.
“Itulah
sebabnya—cuma aku yang bisa menolongnya.”
Ryuzaki lebih
mempercayai delusinya sendiri dan
menggunakannya seolah-olah itu memberinya landasan moral yang tinggi.
Shimotsuki-san
gadis yang lemah?
Cuma dirinya satu-satunya yang dapat menolongnya?
…Omong
kosong sekali.
Dia bukan
gadis yang menyedihkan dan tak berdaya. Aku bisa mengatakannya dengan yakin.
Dia bukan tipe orang yang membutuhkan bantuan terus-menerus hanya untuk
bertahan hidup.
Hanya
saja... dia cuma pemalu. Penampilannya membuatnya lebih menonjol
dari yang diinginkannya, dan dia menjadi gugup di sekitar orang-orang.
Tapi
Shimotsuki-san adalah gadis biasa. Cuma
itu
saja.
Sejujurnya…
aku menyadari sesuatu. Ryuzaki membuatku takut.
Sifatnya
yang mementingkan dirinya sendiri—melihat segala sesuatu melalui sudut
pandangnya sendiri—ia benar-benar perwujudan dari protagonis komedi romantis harem.
Bayangkan
saja apa yang mungkin terjadi jika aku membantah dan akhirnya memicu
kesalahpahaman... bagaimana jika Shimotsuki-san semakin terjerat dengannya
karena itu? Cuma membayangkannya saja sudah
membuatku
merinding.
Ia
tidak tahan jika tidak menjadi pahlawan dalam cerita. Dunia berputar di
sekelilingnya, jadi ia memutarbalikkan kenyataan agar sesuai dengan narasinya
sendiri.
Akhirnya,
kupikir aku sedikit mengerti bagaimana perasaan
Shimotsuki-san.
Dia
benar-benar tidak ingin berurusan dengan Ryuzaki. Itulah yang sebenarnya dia
pikirkan.
“Karena
aku teman masa kecilnya… tugasku adalah melindunginya dari orang-orang
sepertimu. Shiho itu gadis yang lembut dan pemalu—dia tidak bisa membela
dirinya sendiri. Itulah sebabnya aku harus membelanya.”
Ia
benar-benar meyakini bahwa aku hanyalah orang
menjijikkan yang merayu teman masa kecilnya.
“Kamu mungkin
menyeretnya ke sini tanpa keinginannya, bukan? Aku yakin dia bahkan tidak mau
ikutan.
Tapi dia terlalu baik untuk menolak, jadi dia menurut saja. Dan itulah sebabnya dia tidak enak
badan sekarang. Dia sudah sakit-sakitan, dan berada di dekatmu mungkin
membuatnya cemas.”
Itu tidak
benar.
Senyumannya tidak bohong.
Tapi
tidak ada gunanya menjelaskan hal itu kepada Ryuzaki—pria
ini
takkan pernah mengerti.
“Dia
adalah tipe gadis yang suka menyendiri. Jangan seenaknya menyeretnya ke dalam sesuatu demi kenyamananmu
sendiri. Jangan manfaatkan kebaikan hatinya. Sebagai teman masa kecilnya, aku
memperingatkanmu: hanya karena dia pernah berkata ya bukan berarti kamu harus
salah paham.”
Apa
itu yang dimaksud dengan melindungi seseorang? Dengan
menyerang
orang lain?
Menentukan
siapa dirinya dan apa yang diinginkannya, tanpa perlu bertanya padanya
langsung?
Bagaimana
mungkin ia bisa melakukan itu?
Meskipun
aku hanya seorang ‘karakter sampingan,’ bukankah ini
sebuah penghinaan?
Tidak—yang
benar-benar menyinggung bukanlah apa yang dilakukannya
kepadaku.
Melainkan apa yang sudah ia lakukan pada Shimotsuki-san.
…Tidak. Ryuzaki mungkin tidak
menyadarinya.
Sekarang aku
meyakini
hal itu.
Ryuzaki
Ryoma, tanpa diragukan lagi merupakan seorang “protagonis”
yang terlahir secara alami.
Tidak ada
orang lain yang dapat bersikap seperti ini dan lolos begitu saja.
Ia
adalah tipe cowok yang mendapat perhatian tanpa alasan, yang tidak pernah
ditegur karena pemikirannya yang egois, dan berasumsi bahwa
menjadi pahlawan merupakan sesuatu yang alami.
Segala
sesuatunya berjalan sesuai keinginannya. Ia hidup di dunia di mana perilakunya
selalu dapat dibenarkan, di mana kenyataan itu sendiri memberinya keleluasaan.
Jadi apa
yang harus kulakukan sekarang?
Apa yang
harus kukatakan supaya Ryuzaki merasa puas?
Balasan
macam apa yang akan membuatnya menghentikan permusuhan ini?
…Aku akan
menghapus diriku sendiri. Aku akan menghilang dari dunia Ryuzaki.
Yang aku
inginkan hanyalah agar Shimotsuki-san memperoleh kedamaiannya. Jika
aku bisa membuat hari ini lenyap begitu saja—seolah tidak pernah
terjadi—mungkin itu sudah cukup.
Saat ini,
satu-satunya alasan Ryuzaki begitu gelisah adalah karena keberadaanku.
Karena diriku, Nakayama
Kotaro,
terlalu dekat dengan Shimotsuki Shiho, Ryuzaki Ryoma—yang sudah
merasa nyaman dengan statusnya sebagai teman masa kecil—mulai panik.
Bagaimana
jika Shiho menyukai orang lain?
Itulah
ketakutan yang menggerogoti dirinya. Dan cara terbaik untuk menghapus ketakutan
itu... adalah dengan menghapus diriku .
Jika aku
tidak ada di sini, Ryuzaki bisa kembali seperti semula.
Baginya,
Shimotsuki-san akan kembali menjadi “gadis pendiam yang suka
menyendiri”. Dia tidak akan merasa perlu ikut campur lagi.
Itu cukup
sederhana.
Aku tidak
merasa
bangga dengan hal itu, tapi aku adalah karakter sampingan sejati. Jika
aku punya satu kelebihan… kelebihanku ialah aku mudah dilupakan.
Dan jika
aku menggunakan kelebihan tersebut, akan mudah bagiku untuk menghilang dari
kesadaran Ryuzaki.
“Apa yang
coba kamu lakukan pada Shiho? Apa yang dia katakan? Katakan padaku!
Aku teman masa kecilnya—aku perlu mengetahuinya! Aku harus
melindunginya! Jadi jawab aku!”
— Klik.
Aku
mendengarnya di kepalaku. Seperti tombol yang dinyalakan.
Mulai
sekarang, aku hanyalah karakter sampingan sekali pakai yang terlalu dekat
dengan tokoh utama wanita.
Aku yang
menentukan parameternya. Aku membayangkan diriku sebagai karakter
sampingan
yang hanya ada untuk menunjukkan betapa kerennya tokoh utama dengan cara
dipukuli.
“Orang
ini tidak perlu dikhawatirkan.”
Jika aku
bisa membuat Ryuzaki berpikir seperti itu... gambaran permusuhan yang
dibangunnya terhadap ‘Nakayama Kotaro’ di benaknya akan menghilang.
Ini hanya
sekadar peristiwa umum di awal cerita.
Adegan
khas saat tokoh utama wanita diganggu oleh karakter sampingan, dan tokoh utama
datang untuk menyelamatkannya. Dan yang harus kulakukan…
adalah memainkan peran itu.
“Yah,
meskipun kamu bilang begitu... seriusan, tidak terjadi apa-apa,
oke? Dia imut, jadi kupikir sebaiknya aku mencoba menembaknya. Maksudku, dia
sangat waspada, jadi aku tidak bisa melakukan apa pun.”
Aku
menyeringai bodoh.
Aku
pastikan untuk bertindak dangkal dan tidak berpikir panjang—layaknya orang bodoh yang
tidak tahu apa-apa.
“Menembaknya? Tunggu, kamu menyukai Shiho?”
“Kata 'suka' mungkin
berlebihan... tapi maksudku, ayolah, dia manis, kan? Jadi kupikir kalau aku
punya kesempatan, aku akan mencobanya! Tapi ya, sepertinya tidak berhasil.”
Ryuzaki
tampak santai, seperti dia benar-benar lega.
“Oh, jadi
cuma
itu saja… kamu hanya penantang biasa lainnya.”
Sesuai
dengan dugaanku. Ia sama sekali tidak mengkhawatirkan Shimotsuki-san.
“Kalian
berdua sedang makan siang berdua dan berbisik-bisik seolah-olah kalian sudah
dekat atau semacamnya… jadi kupikir mungkin kalian mulai serius.”
Ya begitulah.
Dirinya
cuma
takut ada seseorang yang merebutnya.
“Andai saja seperti itu!
Astaga, aku tidak ingin kamu mengetahuinya... tapi
terserahlah. Ya, baiklah. Aku mencoba mengaku pada Shimotsuki-san dan dia
menolakku.”
── Bodohi dirinya.
── Berpura-puralah.
── Tipu dia.
Aku harus menghapus
setiap jejak ‘Nakayama Kotaro’ dan menulis ulang
diriku agar sesuai dengan versi realita Ryuzaki.
“Jadi,
seperti dugaanku—kamulah yang memanggilnya ke sini?”
“Ya.
Aku memohon padanya, dan dia setuju untuk makan siang bersamaku. Dia memang baik
hati seperti
itu... tidak senang, tapi dia tetap datang.”
Aku
memaksakan senyum kaku di wajahku.
Rasa
sakit di dadaku—mungkin itu hanya sisa harga diri, bagian diriku yang masih
ingin percaya bahwa aku tidak jauh berbeda dari Ryuzaki.
Tetapi
aku tidak membutuhkan kebanggaan seperti itu.
Jika mempertahankannya berarti
merepotkan Shimotsuki-san, maka aku akan dengan senang hati membuangnya.
“Maksudku,
dengan seorang gadis secantik itu di kelas kita, tentu saja aku ingin dekat
dengannya. Aku hanya mencoba untuk lebih banyak berbicara dengannya, oke? Lalu kamu muncul, dan
mungkin itu membuatnya kesal... dia tiba-tiba berkata bahwa dia tidak enak
badan dan kembali.”
Karakter sampingan klasik yang mudah
dilupakan, mencoba mengejar gadis yang jauh di luar jangkauannya.
Itulah
peran yang kupilih untuk dimainkan.
── Berhutang budi.
── Merendah.
── Kibaskan ekormu.
Yang
harus kulakukan hanyalah memainkan peran seorang anak SMA yang menyedihkan. Dan
anehnya, peran itu sangat cocok untukku.
Rasanya bahkan tidak aneh—itu sungguh nyaman.
“Meskipun
kurasa dia membenciku sekarang... yah, mau bagaimana lagi. Dia jauh di luar
jangkauanku. Aku sudah menduganya kalau aku bakal ditolak.”
Aku
menggambarkan diriku sebagai seseorang yang tidak relevan sama sekali hingga
tidak bisa disebut sebagai ancaman—hanya seorang NPC tanpa nama.
Ryuzaki
tampaknya tidak merasakan apa pun yang aneh. Dirinya justru tampak sangat
tenang sekarang.
“Begitu
ya....yah,
tentu saja. Mana mungkin Shiho akan memilih orang sepertimu. Aku
punya firasat buruk sesaat, tapi kurasa itu hanya imajinasiku. Aku tidak bisa
membayangkan dia memilih orang lain daripada aku—terutama pria sembarangan.”
Sempurna.
Ia
sudah mengisi kekosongan itu dengan versi kejadian yang cocok untuknya. Menata
ulang kenyataan sehingga masuk akal di kepalanya. Dan aku merasa
lega—lega karena dia begitu mudah ditipu.
Berkat sandiawa kecilku, Ryuzaki
mendengus merendahkan.
“Heh…
yah, semoga berhasil. Shiho memang sulit didekati, oke? Aku ragu
kamu
punya kesempatan. Banyak pria sepertimu yang pernah mencoba sebelumnya, dan
mereka semua ditolak. Kamu harus mundur sebelum kamu benar-benar terluka.”
Ia tiba-tiba
menjadi banyak bicara, mungkin karena suasana hatinya telah membaik.
“Cuma aku
satu-satunya yang benar-benar memahaminya—sebagai teman masa kecilnya. Tapi
hei, jatuh cinta bukanlah kejahatan. Itu semua bagian dari masa muda.”
Aku sudah
resmi diturunkan derajatnya di dalam pikirannya.
Ryuzaki bahkan
melemparkan sedikit pidato penyemangat yang simpatik, seolah-olah ia
sedang
membantuku.
“Tapi kamu tahu… aku tidak
membenci orang bodoh sepertimu.”
Lalu ia
mengulurkan tangannya dengan santai.
“Bagaimana?
Ayo
kita berteman.”
── Bohong rasanya jika aku bilang
aku tidak ragu untuk menjabat tangan itu.
Karena
persahabatan ini? Omong kosong.
Ikatan
yang dibangun atas rasa kasihan dan ejekan… siapa yang membutuhkannya?
Namun
satu-satunya bagian diriku yang keberatan adalah sebagian kecil harga diriku. Sisi
rasionalku tahu persis apa yang harus dilakukan.
Jabat
tangan ini—tindakan yang menyatakan, aku menerima statusku
yang lebih rendah.
Jadi aku memendam emosiku dan
menggenggam tangan Ryuzaki erat-erat.
“Ya! Tak
ada usaha, tak ada hasil… Lihat saja bagaimana aku menjalani kehidupanku!”
Aku berusaha
sekuat tenaga
menyembunyikan rasa malu yang mendidih dalam diriku. Menelan rasa
frustrasiku, aku memaksakan diri untuk tetap tersenyum. Dan berkat semua
usaha itu… Ryuzaki meleadeninya.
“Baiklah,
oke. Aku mungkin harus kembali ke dalam kelas—aku
juga sedikit
khawatir dengan Shiho. Kamu juga tidak ingin terlambat untuk pelajaran berikutnya, ya?”
Setelah
itu, Ryuzaki memunggungiku. Namun, hanya sesaat. Seolah ada sesuatu yang baru
saja terlintas di benaknya, dirinya menoleh lagi.
“Oh iya—siapa namamu
lagi? Aku tahu kamu sekelas denganku, tapi aku tidak pernah mendengarnya.”
—Ia bahkan tidak
ingat namaku.
Kurasa
aku benar-benar memerankan karakter sampingan yang sempurna.
“Ayolah, yang benar
saja.
Namaku
Nakayama. Nakayama Kotaro.”
Aku
tertawa bodoh saat mengatakannya. Ryuzaki mengangguk
ringan,
menyeringai tanpa sedikit pun rasa malu.
“Oh iya, benar. Nakagawa,
ya? Baiklah, aku mengerti.”
Yup, mana mungkin ia
benar-benar ‘mengerti’.
Bahkan
ketika dirinya salah, Ryuzaki tidak menyadarinya. Ia menghilang
begitu saja di balik gedung sekolah seolah tidak terjadi apa-apa. Baru
setelah sosoknya benar-benar hilang dari pandangan, aku akhirnya bisa rileks.
“...Haah.”
Aku
menghela napas panjang. Dan kemudian—lututku tiba-tiba tak berdaya,
dan aku terjatuh di tempatku berdiri.
“───”
Mungkin
karena sekarang aku sendirian. Ketegangan langsung menghilang dariku, dan
gelombang frustrasi membuncah. Aku bertindak berdasarkan dorongan hati dan menghantamkan
tinjuku ke tanah.
Trak.
Tanah
yang ditaburi kerikil mungkin terlalu kasar untuk melampiaskan emosiku.
“...Itu
menyakitkan.”
Aku
meringis menahan sakit—tapi anehnya, rasa sakit itu membantuku kembali
tersadar.
Aku
merendahkan diri. Ryuzaki menertawakanku…!
Saat aku
memutar ulang apa yang baru saja terjadi, aku hampir memukul tanah lagi.
Aku tidak
bisa memaafkan diriku sendiri. Aku merasa kasihan karena telah menundukkan
kepalaku kepada Ryuzaki. Aku tahu itu kesombongan
yang bodoh, tapi itu tidak mengurangi rasa sakitnya.
…Tapi itu tidak
masalah.
“Jika itu
demi
melindungi Shimotsuki-san, biarlah begitu.”
Perasaanku
tidak penting. Maksudku, orang sepertiku bahkan tidak punya hak untuk merasa
frustrasi sejak awal.
“Lagipula,
aku hanya karakter sampingan. Jadi aku tidak memerlukan emosi, kan?”
Aku
menggumamkan kalimat itu dengan getir, sambil memaksakan senyum miring.
Hah… Aku
tidak membutuhkan cermin untuk tahu—
Senyum
yang kutunjukkan saat ini mungkin sudah terdistorsi hingga tak bisa dikenali lagi.
