Yuusha Alya-san Bab 3 Bahasa Indonesia

 Penerjemah: Maomao

Bab 3                                                                                             

 

Empat puluh menit kemudian.

"…"

Di depan toko senjata dan peralatan, berdirilah sosok Ayano yang terlihat agak tidak puas karena dipaksa mengenakan pakaian pelayan model terpisah dengan tambahan jubah di atasnya.

Meskipun begitu, itu adalah hasil dari pertimbangannya yang tegas menolak mengganti pakaian pelayan dengan baju zirah logam penuh. Namun, Ayano tetap saja terlihat gAlyah dan tidak tenang.

(Rasanya seperti seekor anjing yang dipakaikan baju yang tidak pas.)

Agar ekornya bisa keluar, ia memilih jubah yang memang dilubangi di bagian belakang. Namun, ekor yang muncul dari lubang itu tetap saja tidak bisa tenang dan terus bergoyang ke kiri dan ke kanan. Melihat ekor itu, Maria malah terkekeh dengan wajah sedikit malu.

"Ya ampun, Ayano-chan lucu sekali"

"Sudah, sudah, jangan malu-malu lagi. Sepertinya sudah waktunya kita berangkat, Ayano juga."

Alisa mendesak mereka begitu, tapi Ayano tetap saja menunduk dengan wajah gAlyah.

"Ayano-san?"

"Kamu lagi apa?"

Kalau diperhatikan lebih dekat, Ayano ternyata sedang sibuk menggerakkan tangannya berulang-ulang di dalam jubah. Melihat itu, ketiganya jadi bingung. Sesaat kemudian, Ayano membuka jubahnya cukup lebar, dan apa yang ia lakukan akhirnya terlihat jelas.

Di bagian dalam jubah, terdapat banyak kantong berbentuk tabung yang dijahit rapat-rapat, semuanya penuh dengan benda yang mirip pensil… dan jumlahnya luar biasa banyak.

"…"

Ketiga orang lainnya hanya bisa menatap Ayano dengan ekspresi tak bisa berkata-kata, sementara Ayano mendengus puas.

(Bukan, tapi, gimana ceritanya dia bisa menjahit semua itu? Dan kenapa benda mirip pensil itu jadi tambah banyak lagi?)

Namun, menyadari bahwa tidak ada jawaban yang bisa dimengerti dari pertanyaan itu, Masachika hanya menggelengkan kepala dan memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya.

"Baiklah, kalau begitu selanjutnya kita ke toko peralatan! Siapa tahu ada barang baru atau paling tidak barang-barang yang sama dengan yang dijual di kota sebelumnya."

"Itu sih boleh saja, asal jangan buang-buang uang lagi."

"Menyebutnya buang-buang itu keterlaluan, tau."

"Membeli barang yang sama sekali tidak jelas kegunaannya bukankah memang buang-buang?"

"Walaupun sekarang kelihatan tidak berguna, siapa tahu nanti ada gunanya. Kalau saat itu menyesal kan sudah terlambat."

"Hmm, pokoknya menurutku nggak ada salahnya beli banyak-banyak juga"

Karena item box hampir tidak terbatas, Masachika yang berpikir "kalau dari sudut pandang game, ya sudah, beli saja semuanya satu per satu" dan Maria yang memang sekadar suka belanja, keduanya tampak puas. Sementara itu, Alisa yang tipe hanya membelanjakan uang untuk hal-hal penting, entah sudah harus menghela napas berapa kali hari ini. Tapi karena selain ramuan dan kebutuhan pokok lainnya setiap orang membayar dengan uang masing-masing, dia juga tidak bisa banyak protes.

Ketika Alisa akhirnya memilih untuk mengikuti keputusan mayoritas, Masachika pun bersiap menuju toko peralatan. Namun, tiba-tiba lengannya ditarik sedikit.

"Tidak pergi ke toko sihir?"

Pertanyaan itu tertulis di papan tulis yang Ayano pegang. Masachika, Alisa, dan Maria saling bertukar pandang sebentar lalu memiringkan kepala.

"Toko sihir? Eh, bukannya tidak ada gunanya, ya? Soalnya aku kan tidak bisa pakai sihir."

“?”

“Aku ‘kan tidak bisa melakukan merapalkan sihir. Jadi otomatis tidak bisa pakai sihir."

Mendengar jawaban Masachika yang seolah sekadar bercanda, Ayano hanya memalingkan kepala, lalu membalik papan tulisnya.

"Kalau pakai gulungan sihir (scroll), tidak butuh merapalkan shir lagi."

"Apa?"

"Cukup dibuka gulungannya, sihirnya langsung aktif."

"Serius?"

Informasi mengejutkan dari Ayano membuat bukan hanya Masachika, tapi juga Kujou bersaudara menatap dengan wajah kaget.

"Beneran~? Itu artinya akhirnya Kuze juga bisa pakai sihir dong?"

"Iya, akhirnya kamu bisa menunjukkan potensi sebagai seorang sage."

"Terima kasih atas infonya yang berguna, Kimishima-san. Ngomong-ngomong, apa boleh aku panggil kamu Ayano-san saja, bukan nama keluarga?"

"Panggil Ayano saja tidak masalah kok. Nah, kalau sudah tahu begitu, ayo cepat ke toko sihir. Ayano, tolong tunjukkan jalannya, ya."

Begitulah, Masachika dan yang lainnya pun melangkah dengan gembira menuju toko sihir.

Namun sepuluh menit kemudian, setelah mendengar penjelasan singkat dari pemilik toko sihir, semangat Masachika langsung padam. Alasannya sederhana.

"Rasanya kok beda banget sama yang kubayangkan."

[Tapi memang gulungan sihir biasanya begitu, kan?]

"Kalau kamu sudah sadar dari awal, kenapa tidak bilang!?"

Masachika melemparkan tatapan penuh kekesalan ke arah Yuki, seolah ingin menimpakan kesalahannya.

Tapi meskipun begitu, lewat penjelasan Ayano, Masachika akhirnya paham bahwa gulungan sihir bukanlah alat untuk mempelajari sihir lalu bisa digunakan bebas selamanya. Lebih tepatnya, gulungan itu hanyalah alat sekali pakai: cukup dibuka, sihirnya akan aktif, tanpa perlu mengonsumsi MP—namun begitu digunakan langsung lenyap. Dia sudah menyiapkan diri untuk hal itu, tapi kenyataannya, gulungan sihir di dunia ini jauh lebih merepotkan dari yang dibayangkan.

Pertama, gulungan hanya bisa digunakan untuk sihir yang memang sudah dikuasai penggunanya. Untuk Masachika yang berprofesi sebagai Sage, hal ini bukan masalah. Tapi justru di sinilah letak kelemahannya: kekuatan sihir dari gulungan tidak dipengaruhi oleh kekuatan serangan sihir pengguna, melainkan memiliki kekuatan tetap. Dengan kata lain, baik Alisa maupun Masachika yang menggunakannya, hasilnya tetap sama saja. Apalagi, gulungan yang dijual di toko itu hanya setara dengan sihir tingkat menengah, dan harganya pun selangit. Intinya, gulungan hanyalah senjata pamungkas untuk penyihir yang sudah kehabisan MP dan siap bangkrut.

"Maaf karena tidak sesuai harapan anda."

"Bukan, Ayano tidak perlu minta maaf. Ini salahku sendiri yang kurang pengetahuan."

Pemilik toko—seorang wanita berpenampilan seperti penyihir tua dengan pipa di mulut—melirik Masachika yang sedang menenangkan Ayano yang merundukkan telinganya, sambil menatap gulungan di atas meja.

"Jadi, bagaimana? Mau beli yang mana?"

"Ah, kalau begitu, ambil gulungan serangan sihir tingkat menengah dari lima elemen… lalu ini, sama itu… terus tambahkan juga beberapa sihir pertahanan, kan?"

"Iya, buat jaga-jaga kalau terpaksa."

"Hmm~~ tapi sihir pertahanan kan aku bisa pakai juga, jadi mungkin prioritasnya bisa diturunkan."

"Benar juga. Lebih baik tambah gulungan serangan sihir yang Masha-san tidak bisa gunakan."

Karena harganya yang mahal, kali ini Masachika benar-benar hati-hati memilih sambil berdiskusi dengan teman-temannya. Hasilnya, selain Ayano yang memang tidak bisa menggunakan sihir, masing-masing dari ketiganya mendapatkan dua gulungan sihir pertahanan, sementara Masachika menambahkan tujuh gulungan sihir serangan untuk dirinya sendiri.

"Ugh, cuma beli sembilan gulungan ini saja sudah habis setengah uang kita."

"Kalau begitu biar aku tambahkan sedikit. Bagaimanapun juga, memperkuat kemampuan tempurmu itu juga tugas kita semua."

"Tidak perlu, tidak bisa pakai sihir itu kan masalahku sendiri."

"Jangan bilang begitu. Kita ini kan rekan satu tim, jelas harus saling membantu."

"Benarkah… boleh?"

Setelah tarik-ulur selama tiga menit, menghadapi bujukan Kujou bersaudara, akhirnya diputuskan Alisa dan Maria masing-masing menanggung dua gulungan sihir serangan untuk Masachika.

"Entah kenapa rasanya aku sedikit sungkan."

"Jangan dipikirkan. Dalam situasi seperti ini, bukannya kamu harus bilang ‘terima kasih’?"

"Ah, iya. Terima kasih banyak, Alya, Masha-san."

"Mm-hm."

"Tidak perlu berterima kasih."

Melihat Maria yang mengangguk puas dan Alisa yang menanggapinya dengan santai, Masachika tidak kuasa menahan senyum.

"Berkat kalian, aku masih bisa membeli barang-barang lain juga."

"Betul, ada banyak benda yang belum pernah kulihat sebelumnya"

"Kembalikan uangku."

Mengabaikan teriakan Alisa, Maria dan Masachika mulai melirik aneka benda aneh yang hanya dipajang di toko sihir.

"Oi, oi, lihat ini, ada arak yang dibuat dari seluruh tanaman mandragora."

"Menjijikkan. Lagipula, kita kan tidak boleh minum alkohol."

"Lihat, lihat, ini ada boneka… eh? Kok dari dalamnya ada suara gesekan, ya."

"Cepat taruh lagi. Sekarang juga, kembalikan ke tempat semula."

"Yang ini, ‘Boneka Gantung Mayat’, lumayan berguna, lho. Bisa menahan sekali serangan sihir elemen kegelapan dari iblis."

(TN: kalau dipikir-pikir, boneka penangkal hujan di Jepang juga kan digantung di leher begitu.)

"Kelihatannya terlalu menyeramkan. Mending tidak usah."

"Tidak, tidak, ini sungguh berguna. Walau mungkin Alya dengan baju zirahmu sudah punya resistensi terhadap sihir kegelapan."

"Jangan sambil mengangkat bagian jubahnya saat bicara! Cuma melihatnya saja sudah bikin sakit kepala."

Saat ini, giliran Alisa mengeluarkan omelan massal. Sebagai hati nurani kelompok, dia tegas menolak segala macam benda aneh yang diambil Maria dan Masachika (plus Yuki ikut-ikutan). Sementara itu, Ayano hanya diam seperti udara.

[Oh, bukannya ini bisa dipakai di saat-saat penentuan?]

"Hm?"

Masachika mengambil gelang ungu yang ditunjuk oleh Yuki, lalu memanggil Alisa.

"Oi, Alya, ini beneran bisa kepake, nih."

"Kamu sendiri yang ngaku kalau semua yang sebelumnya itu tidak ada gunanya, kan?"

Masachika hanya bisa menghela napas panjang, merasa agak bersalah karena ditatap dengan wajah jengkel oleh Alya. Dia lalu memperlihatkan gelang itu padanya.

"Ini ‘Gelang Teleportasi’. Kalau dua orang yang punya gelang ini mengaktifkannya bareng, mereka bisa langsung bertukar tempat seketika. Cuma ya, katanya ada batas jarak dan ini barang sekali pakai."

"Sekali pakai? Gila, mahal banget dong. Terus dipakenya di situasi apa coba? Kalau tukeran sesama barisan depan sih nggak ada gunanya. Kalau tukeran sama yang di belakang malah bahaya, kan?"

Masachika buru-buru kasih penjelasan sambil menanggapi tatapan Alya yang jelas-jelas bilang, ‘Serius mau buang duit lagi?’.

"Tidak, tidak, justru sesama barisan depan pun bisa kepake. Misalnya aku lagi luka, aku bisa tuker posisi sama kamu biar aku bisa ditolong Masha-san di belakang. Terus pas aku udah siap balik lagi ke depan, kita bisa tukeran lagi, jadi aku langsung bisa maju ke musuh di depannya kamu. Bisa bikin mereka kaget juga, kan?"

Setelah dengar penjelasan itu, wajah Alya langsung berubah jadi serius. Dia sempat mengedip pelan, lalu memalingkan muka sambil mulai menggulung rambutnya.

"...Oh, gitu, ya. Hmm, boleh juga, sih."

"Eh, seriusan? Boleh?"

"Yah, kalau emang kayak gitu… yaudah deh, aku juga beli."

"Ohh, mantap. Akhirnya nyambung juga."

Masachika agak kaget dengan perubahan sikap Alya yang tiba-tiba itu, tapi dia tetap manggil Masha dan Ayano.

"Masha-san, Ayano, ini item lumayan kepake. Mending kita semua beli saja, biar komplit."

Di detik itu juga, tangan Alya yang lagi menggulung rambut langsung berhenti. Mata biru esnya menatap tajam ke arah Masachika.

"Eh, a-ada apa?"

Mendadak, Masachika merasa seperti diselimuti hawa dingin yang bikin bulu kuduknya merinding. Tapi pas dia balik menatap Alya, Alya sudah buang muka.

Bodoh…

Suara lirih berbahasa Rusia itu membuat pundak Masachika terasa berat.

(Hah? Kok malah dimarahin? Eh, bentar… jangan-jangan maksudnya harus beli satu set? Dia ngarep kita couple gitu? Tidak mungkin, lah.)

Masachika buru-buru menepis dugaannya sendiri, yakin kalau tidak mungkin sikap Alya berubah drastis hanya karena hal sepele begitu.

[Yareyare, My Master ini bener-bener tidak tahu isi hati cewek, deh.]

Di udara, Yuki melayang sambil bengong, memperhatikan adegan itu dengan tatapan kosong.

"Baiklah, matahari sebentar lagi akan terbenam… jadi sebaiknya kita menginap di kota ini malam ini."

Setelah selesai berkeliling di toko sihir dan toko perlengkapan, Masachika mengajukan saran itu. Masha dan Alisa pun saling berpandangan lalu mengangguk setuju.

"Benar juga, berjalan di malam hari terlalu berbahaya."

"Setelah ini juga sudah tidak ada kota lagi. Daripada berkemah atau bermalam di benteng, menginap di sini jauh lebih baik. Aku rasa itu pilihan yang tepat. Oh iya! Sekalian saja kita menginap di penginapan terbaik di kota ini."

"Padahal tadi kita sudah menghabiskan banyak uang."

"Itu urusan lain~ lagipula kita masih punya cukup. Istirahat yang baik itu juga penting, kan?"

"Hah, baiklah, toh memang tidak buruk juga, kan?"

"Kalau begitu, ayo kita lakukan."

"Seperti perintah Anda."

Saat itu, rombongan Masachika kembali menemui penjaga ramah yang sebelumnya menunjukkan tempat penyewaan hewan tunggangan, lalu menanyakan kepadanya tentang tempat menginap di kota ini. Setelah itu mereka menuju penginapan paling mewah yang ditunjukkan. Dan hasilnya, mereka kini berdiri di depan sebuah bangunan yang jelas-jelas bergaya rumah Jepang.

"Eh, maksudnya, dunia ini sebenarnya seperti apa, sih."

"Yah, kalau dipikir-pikir, memang di sini sudah ada macam-macam hal."

"Wow~ halaman depannya indah sekali."

"…"

Masachika hanya bisa menatap Masha dengan campuran kagum sekaligus tidak habis pikir mendengar perkataan polosnya. Tiba-tiba, Yuki yang berada di pundaknya menunjuk ke arah atas.

[My Master, lihatlah ke atas.]

"Atas?"

Sesuai dengan yang dikatakan, ia mendongak dan melihat ke atas. Tepat di atas pintu tergantung sebuah papan besar, dan di situ tertulis dengan indah huruf-huruf Jalan Aneh.

[Kelihatannya kamu cukup terkejut, ya. Bukankah aku sudah bilang sebelumnya?]

"Berisik."

Masachika mendadak memberikan sebuah jitakan di kepala adiknya yang sedang mengoceh hal-hal tak penting, lalu masuk ke dalam. Di sana ia disambut oleh seorang pelayan, tidak, tepatnya seorang nyonya pemilik penginapan dengan kimono indah. Masachika yang sudah malas untuk berkomentar lebih jauh, langsung saja mengurus pemesanan kamar. Karena bila pria dan wanita tidur dalam satu kamar rasanya mustahil bisa benar-benar beristirahat, akhirnya ia memutuskan memesan satu kamar tunggal dan satu kamar untuk bertiga.

"Di penginapan ini, kami bangga dengan pemandian air panasnya. Kapan pun Anda mau, silakan digunakan untuk menghilangkan lelah setelah perjalanan."

"Oh, onsen ya, baiklah."

"Eh, ada onsen juga?"

"Waah~ onsen~!"

"……"

[Pemandian campur, ya? Pemandian campur, kan?]

Masachika, sambil kembali memberi jitakan di kepala adiknya yang asal bicara, meminta pelayan untuk menunjukkan jalan menuju kamar.

"Pertama, kamar untuk tamu pria ada di sisi ini, sedangkan kamar tamu wanita ada di sisi sana."

"Terima kasih banyak. Kalau begitu, sampai jumpa."

"Mm."

"Baiklah~"

"Saya pamit dulu."

Masachika pun berpamitan di depan kamar dengan pihak perempuan. Wajar saja ia merasa ada kejanggalan begitu masuk ke kamar bergaya Jepang itu, hingga akhirnya ia berguling-guling di atas tatami.

"Ah~ capek banget. Meski sebenarnya tidak, tapi secara mental rasanya lelah sekali."

Seperti biasa, rasa lelah fisiknya terasa samar-samar. Ia tidak merasa tubuhnya benar-benar letih, tapi kalau dihitung bersama waktu di dunia asalnya, ia sudah terjaga lebih dari dua puluh jam. Karena itu, kepalanya terasa sedikit berat—meski mungkin juga hanya perasaannya saja.

[Kamu lelah, My Master?]

"Bisa dibilang begitu."

Masachika menatap Yuki yang melayang di depannya sambil berpikir, "Padahal penyebab utamanya itu kamu juga," kemudian mengangguk. Setelah itu, Yuki turun (atau lebih tepatnya mendarat?) di wajah Masachika dan menepuk-nepuk hidungnya.

[Kalau begitu, ayo ke onsen! Onsen!]

"Eh? Tapi kalaupun aku masuk, kamu kan tidak bisa ikut berendam."

[Tidak masalah, aku hanya ingin memastikan apakah ini pemandian campur atau tidak.]

"Itu tujuanmu sebenarnya, ya?"

[Kenapa sih, Master? Bukankah kamu juga pasti tertarik?]

"Kalau ini dunia nyata sih, ya, pasti tertarik."

Ia menjawab lemas, penuh nada setengah pasrah. Bagaimanapun juga, ia tidak terpikir hal lain untuk dilakukan sekarang. Berlama-lama di kamar dengan jubah pun membuatnya sulit tenang, jadi Masachika mengambil yukata dari lemari lalu keluar kamar. Hampir bersamaan, ia berpapasan dengan kelompok perempuan yang juga keluar dari kamar mereka.

"Oh, kalian juga mau ke onsen, ya, Alya?"

"Eh, yah, semacam itu."

[Hoo, sepertinya bendera pemandian campur sudah ditegakkan, nih.]

Masachika langsung mengabaikan ocehan adiknya, lalu mengerutkan dahi melihat tiga gadis yang keluar tanpa membawa yukata.

"Eh? Yukata kalian mana?"

"Hm? Yukatanya ada di sana, kok."

"Eh?"

Saat menoleh ke arah yang ditunjuk Masha, Masachika melihat ada yukata untuk bertiga tersimpan di dalam kardus yang mengikuti di belakang Ayano. Ketika Ayano berbalik ke arah mereka, kardus itu pun ikut berputar, tetap berada di belakangnya sambil membawa yukata.

"Jadi barang itu bisa dipakai begitu, ya."

"Sangat praktis, loh~ bisa otomatis bawa barang bawaan."

"Asal praktis sih, ya sudah."

Masachika tidak bertanya lebih jauh dan bersama ketiganya menuju pemandian.

Mereka melewati lorong, menuruni tangga, lalu melalui lorong lain lagi… hingga akhirnya tampak tirai biru dan merah dengan tulisan besar Laki-laki dan Perempuan.

[Cih~]

Masachika mengabaikan suara kesal Yuki, pura-pura tidak mendengarnya, lalu masuk melewati tirai biru. Namun kemudian ia menoleh ke arah Yuki yang masih bertengger di pundaknya.

"Kamu juga mau masuk ke sini?"

[Tentu saja, aku tidak bisa jauh-jauh dari Master.]

"Bukannya… ini jelas-jelas pemandian pria, kan?"

[Diamlah! Aku juga mau lihat tubuh seksi Alya-san dan Masha-senpai. Dibandingkan pisang punyamu, aku lebih tertarik pada melon Alya-san dan semangka Masha-senpai, tahu!]

"Jangan bilang pisang segala macam, deh."

[Oh? Kenapa? Mau aku ganti sebutannya jadi pen*s, hah? Oi oi, bukannya kau terlalu percaya diri sama dirimu sendiri?]

"Pokoknya, minta maaf dulu sama para petani."

Menyadari tidak ada gunanya selain terus menimpali ocehan adiknya, Masachika dengan cepat melepas pakaiannya dan menaruhnya ke dalam keranjang. Setelah itu, ia melilitkan handuk di pinggangnya di depan Yuki.

"Ada apa?"

Saat wajahnya ditepuk (meski tanpa rasa apa-apa) oleh Yuki, Masachika menoleh. Yuki lalu menyilangkan tangan di dada dan mengangguk-angguk seolah kagum.

[Aku kalah, Master. Ternyata memang pen*s.]

"Diam kau!"

Dengan berteriak kesal, Masachika berlari membuka pintu dan masuk ke dalam pemandian.

"Tidak ada orang."

Ia mengamati sekeliling pemandian besar yang tampak kosong.

[Yah, kalau memang ada NPC justru lebih merepotkan, kan?]

"Ngomong-ngomong soal NPC… kapan kamu ganti baju?"

Masachika memelototi Yuki yang entah sejak kapan sudah berganti mengenakan baju renang sekolah.

[Demi menolong Master yang kecewa karena ini bukan pemandian campur, biarkan aku membantu sedikit, ya.]

"Huh~ kedengarannya mesum sekali."

[Kubutakan matamu, mau?]

“Hentikan.”

Menghadapi Yuki yang tiba-tiba menusukkan jarinya ke arah mata kanannya, Masachika hanya menoleh ke samping untuk menghindar. Lalu ia berjalan masuk ke area pemandian, duduk di bangku kayu, dan mulai membilas tubuhnya.

"Apa ini, ada shower juga?"

Masachika spontan mengomel begitu menyadari hal itu. Memang tidak ada sabun cair atau sampo, tapi setidaknya ada sabun batang, keran air, dan juga shower. Sementara cermin di depannya benar-benar lurus tanpa distorsi.

"Konsep dunia ini seenaknya banget, ya."

Entah kenapa Masachika malah merasa makin lelah. Ia cepat-cepat membersihkan tubuh, lalu masuk ke dalam kolam air panas.

"Ugh~ rasanya agak aneh."

Entah bagaimana, memang ada sensasi tubuhnya terendam dalam sesuatu yang hangat, tapi ia tidak bisa merasakan kontak dengan air panas maupun tekanan air sama sekali.

"Yah, wajar saja… toh ini cuma mimpi."

Ia bergumam begitu sambil menatap ke langit-langit, sempat kehilangan fokus sejenak. Lalu tanpa sengaja, ia membuka layar menu.

"Pfft—"

Tak mampu menahan diri, ia menyemburkan tawa.

Kenapa? Karena tampilan di sana sudah berubah total.

"Kenapa jadi telanjang bulat?"

Ia langsung mengomel, tapi setelah dipikir lagi, bagian model 3D di sisi kanan layar memang masih masuk akal. Kalau memang menampilkan kondisi peralatan nyata, wajar saja kalau model 3D dirinya tampil bugil.

Tapi kenapa atribut di sisi kiri juga ikut berubah? Saat ia menatapnya, Yuki berkomentar dengan nada sinis.

[Jumlah pengalaman = 0, huh. Lemah sekali. Jumlah pengalaman juga 0. Apa ini? Tingkat keterampilan—]

"Apa ini game dewasa?"

Masachika buru-buru melambaikan tangan kanannya untuk menutup jendela itu. Setelahnya, ia baru sadar: "Kalau ada yang mendengar ini, gawat banget."

[Master.]

"Jangan bicara. Jangan bilang apa pun."

Dengan suara tegas, Masachika menoleh menjauh. Namun Yuki tanpa peduli tetap melanjutkan.

[Ayo kita cek status Alya-san dan Masha-senpai!!]

"Dasar cabul."

Masachika tiba-tiba menoleh menatap Yuki tajam. Yuki malah menatapnya dengan ekspresi licik sambil menggosok-gosokkan kedua tangannya.

[Jangan pura-pura jaim deh, kau juga pasti penasaran, kan? Siapa tahu bahkan ukuran tiga lingkaran mereka juga ditampilkan.]

"Sssttt—"

Masachika terdiam, tidak tahu harus berkata apa, lalu tiba-tiba berdiri dari kolam.

"Ayo pergi."

[Tunggu! Setidaknya biarkan aku lihat tingkat perkembangan Ayano! Aku ingin cek sejauh mana perkembangan dadanya!]

"Mana mungkin aku lihat!!! Lagi pula, sekalipun kulihat, memangnya bisa apa?—ah tidak, sebaiknya jangan dibicarakan lagi."

Dari sudut pandang orang lain, yang tampak hanyalah Masachika berisik sendirian lalu keluar dari pemandian dan kembali ke kamarnya. Namun setelah itu, tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan. Ia sempat ingin memeriksa item di menu inventori, tapi karena pihak perempuan masih mandi, rasanya tidak tepat membuka menu sekarang. Jadi ia hanya mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar, sampai akhirnya matanya tertuju pada sesuatu di atas meja.

"Hm? Wah, ini nostalgia sekali."

Di sana ada sebuah puzzle kayu berbentuk balok kecil yang tersusun di dalam bingkai persegi.

"Masih ada benda seperti ini juga rupanya. Bisa dirakit jadi kapal atau hewan juga."

[Akhirnya muncul juga, satu-satunya hiburan saat studi wisata di mana HP dan TV dilarang…]

"Memang benar sih… tapi tetap saja rasanya bikin bersemangat."

Masachika teringat pada kenangan mengobrol sambil mengerjakan puzzle bersama Takeshi dan Hikaru, lalu mengulurkan tangannya.

"Hm?"

Di saat itu juga, pemandangan di depannya berubah.

"Ah, kalau dipikir-pikir, Ayano-chan kan setengah anjing, ya? Jadi ada makanan yang tidak bisa dimakan, misalnya bawang daun?"

"Tidak, sama sekali tidak ada."

"Oh, begitu, ya? Syukurlah."

"Soal itu, tinggal bilang saja pada nyonya penginapan."

"Iya juga sih. Oh iya, Alya-chan, kamu tidak apa-apa? Soalnya terus-terusan bertarung, kan?"

"Yah, aku sudah menganggap ini semacam wahana di taman hiburan. Meskipun aku sudah berkali-kali bilang, ini kan mimpi, ya? Tapi entah kenapa reaksinya agak lambat."

"Hm~ ada apa memangnya?~"

"Percuma juga kalau dijelaskan. Ngomong-ngomong…"

Alisa menatap ke langit-langit sambil berbisik lirih.

"Dia belum datang ya… si Kuze-kun."

"Hm~ padahal dia bilang boleh mulai duluan."

"Kalau begitu pun, tetap saja ini terlalu lama."

Setelah menikmati onsen, rombongan perempuan tengah bersantai di kamar. Lalu mereka dipanggil nyonya penginapan ke ruang makan. Sambil menunggu Masachika yang tak kunjung muncul, mereka berbincang-bincang. Waktu hendak berangkat tadi memang sudah menyapanya, tapi setelah itu hanya terdengar jawaban singkat dari balik pintu. Bahkan setelah 30 menit berlalu, Masachika masih juga belum keluar dari kamar.

"Yah, kalau begini terus juga percuma. Kita mulai saja makan duluan."

"Mm~ iya. Sepertinya dia sedang sibuk dengan sesuatu. Permisi, bisakah makanannya segera dihidangkan?"

Setelah itu, makan malam yang agak terlambat pun dimulai. Saat hampir sembilan puluh persen hidangan mewah penginapan sudah habis disantap, barulah Masachika muncul.

"Ah, akhirnya datang juga."

"Eh? Kuze-kun, ada apa? Kenapa kamu terlihat begitu lelah?"

"?"

Melihat Masachika yang jelas-jelas sudah berendam di pemandian air panas tapi malah terlihat makin lelah, Masha pun bertanya dengan nada khawatir.

Masachika, dengan wajah lesu, menjawab,

"Tidak ada apa-apa. Entah bagaimana tiba-tiba saja aku masuk ke dalam sebuah mini game."

"Mini game?"

"Karena efek hadiah setelah menamatkannya, aku langsung naik sampai level 99 dalam sekali jalan."

“???”

Berbeda dengan pihak perempuan yang sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi, Masachika justru mendapatkan sebuah pelajaran berharga—

Di dunia ini, benda-benda seperti puzzle sama sekali tidak boleh disentuh sembarangan.

"Baik, ayo menuju kota berikutnya."

"Hmm."

"Oh~."

[Oh.]

"Oh."

Keesokan harinya, setelah mengumpulkan informasi dari penginapan dan kota, rombongan Masachika berangkat menuju wilayah berikutnya. Pada akhirnya, mereka menunda pembelian hewan tunggangan. Kalau sampai timbul keterikatan aneh justru bisa merepotkan. Lagipula, karena Ayano sudah bergabung sebagai rekan, misi di toko hewan tunggangan otomatis dianggap selesai.

"Aku bisa bekerja seperti kuda penarik gerobak, kok."

"Bukan, kamu itu anjing, kan?"

Itu memang pernyataan dari Ayano sendiri. Tapi tentu saja, tidak ada yang benar-benar menganggap dia bisa menggantikan peran hewan tunggangan.

(Sekarang kalau dipikir-pikir, semua atribut Ayano masih lebih rendah dariku, ya.)

Tapi hal itu wajar saja. Sepertinya Masachika dan dua temannya mendapat perlakuan istimewa karena memiliki kelas khusus. Bahkan, untuk seorang maid yang jelas-jelas termasuk kelas non-tempur, nilai atribut Ayano sebenarnya sudah cukup tinggi. Meski agak mengkhawatirkan kalau dia bertindak sebagai pengintai sendirian, tapi untuk ikut serta dalam pertempuran kecil-kecilan seharusnya tidak masalah.

"Baru juga jalan, sudah muncul musuh, ya."

Saat mereka mendekati jalan pegunungan, empat ekor monyet berbulu merah melompat turun dari pepohonan. Masachika langsung berlari maju, diikuti setengah langkah oleh Alisa yang segera melancarkan serangan cepat pada monyet yang tampak bersiap menghadang.

"Hoo~."

"Haa."

Masachika mengayunkan buku sihirnya ke arah monyet di sisi kanan, sementara Alisa menebas monyet di sisi kiri.

"Oh?"

"Ah~."

Namun, tepat sebelum terkena serangan, monyet-monyet itu membatalkan gerakan mengancam mereka. Dengan lincah, mereka serentak mundur menghindar. Setelah itu, keempat monyet itu merenggangkan jarak, lalu meraih sesuatu dari kantong kecil yang tergantung di pinggang mereka.

"Serahkan padaku!"

Melihat tangan monyet kedua dari kanan mulai memancarkan cahaya energi, Masachika—yang sebelumnya sudah mendapat informasi—langsung berseru. Sesaat kemudian, keempat monyet itu serentak melempar benda yang mereka pegang—yakni biji pohon ek.

"Hup."

Masachika menggunakan buku sihirnya untuk menahan serangan biji ek hitam yang dipenuhi energi. Lalu, dengan tangan kirinya, dia berhasil menangkap satu biji ek merah yang dilempar sedikit lebih lambat.

"Nih, kukembalikan pada kalian."

Masachika segera melemparkannya kembali! Biji ek itu meluncur lurus menembus udara, lalu hilang di antara pepohonan.

"Yah, soalnya tadi pakai tangan kiri."

[Karena ada hubungannya sama bola, kan?]

Sambil mereka saling berkomentar, Alisa terus bergerak lincah—menghindari lemparan biji ek dari satu arah, lalu melemparkannya balik ke arah monyet lain. Tepat mengenai seekor monyet di sisi kiri. Biji ek hijau itu meledak, menyemburkan cairan dari dalamnya. Tubuh monyet yang terkena semburan langsung mengeluarkan suara berdesis, seolah-olah korosif.

"Gyaaahhh!"

"Wah, itu asam, ya? Sampai bisa menurunkan daya tahan peralatan juga."

Melihat pemandangan yang cukup mengerikan itu, Masachika pun mengerutkan dahi.

Itu memang sesuai dengan informasi tentang monster ini yang mereka dapatkan sebelumnya. Dari kantong kecil di pinggangnya, monyet-monyet itu bisa melempar berbagai macam biji ek. Kalau mereka menggunakan jurus, yang dilempar biasanya biji ek keras seperti kayu, dan kalau tidak, yang dilempar adalah biji ek dengan berbagai efek khusus. Untuk yang pertama, cukup ditangkis atau dihindari. Tapi untuk yang kedua, meskipun berhasil ditahan, cairan yang menyembur bisa menimbulkan status abnormal. Jadi pilihan terbaik adalah menghindar. Namun, kalau berhasil dilempar balik, justru bisa membuat lawan membuka celah sekaligus.

"Haaah!"

Alisa langsung menutup jarak dengan monyet yang terkena semburan cairan dan menebasnya. Kali ini monyet itu tidak sempat menghindar, tebasan pun mendarat tepat di tubuhnya dan terdengar suara khas saat menerima luka. Elisa melanjutkan serangan bertubi-tubi, dan dalam sekejap HP monyet di sisi kiri itu habis total.

Masachika menggumamkan itu sambil bergerak mendekati tiga monyet sisanya. Seperti yang diduga, mereka lagi-lagi menjaga jarak.

"Cih, lompatan mundur mereka cepat banget."

Masachika menggertakkan gigi, merasa kesal karena tidak bisa menyusul meskipun statusnya lebih tinggi. Saat tiga monyet itu kembali bersiap melempar, Masachika juga sudah bersiaga di depannya.

"Uwooh."

Tepat saat itu, dari belakang tiga monyet yang sedang bersiap, Ayano muncul tanpa suara. Dengan benda yang mirip pensil mekanik di tangannya, dia menusuk bagian belakang leher monyet-monyet yang sama sekali tidak waspada.

"!!!"

Monyet-monyet itu langsung terlonjak kaget. Dalam sekejap, satu monyet terjatuh kejang-kejang, satu lagi pingsan sambil mengeluarkan busa dari mulutnya, dan satu lainnya langsung tertidur di tempat.

"Ini… apa-apaan, menyeramkan sekali."

Masachika tanpa sadar bergumam melihat Ayano yang baru saja melumpuhkan tiga monyet sekaligus. Saat diperiksa lebih dekat, ketiganya ternyata terkena status abnormal berbeda: lumpuh, keracunan, dan tidur. Yang membuatnya semakin mengganjal, semua itu dilakukan dengan satu senjata (atau apapun benda itu).

"Senjata yang bisa memberikan status abnormal acak? Itu sih terlalu kuat."

Sambil memberikan serangan akhir dengan cepat, Masachika berkata begitu. Ayano kemudian membalik papan putih kecil yang tergantung di lehernya.

"Bukan selalu berhasil, kok."

"Bukan begitu. Kalau status abnormal yang muncul itu pasti, senjata ini levelnya udah kayak bug. Tapi, kemungkinan efeknya keluar tidak terlalu tinggi, kan?"

"Kalau menusuk ke pembuluh darah, kemungkinan efeknya akan meningkat."

"Ugh, itu penjelasan yang terlalu realistis, ya."

[Padahal tidak ada sistem darah, tapi tetap ada ‘pembuluh darah’ dalam sistemnya?]

Jadi itu sebabnya dia selalu mengincar kepala? Masachika sedikit tertegun. Dan itu sekaligus menjadi bukti bahwa Ayano benar-benar bisa jadi kekuatan tempur yang sangat besar.

Sejak saat itu, kemampuan Ayano dalam memberikan status abnormal berubah menjadi senjata yang tak terduga kuatnya.

Sementara Alisa dan Masachika bertugas menarik perhatian musuh dari depan, Ayano diam-diam menyelinap dari belakang untuk melancarkan serangan kejutan. Kalau gerakan musuh berhasil dilumpuhkan, serangan jarak dekat milik Alisa dan Masachika yang punya daya hancur berlebih bisa langsung menggerus HP musuh dalam sekejap. Belum pernah ada juga musuh yang senjatanya Ayano tidak bisa tembus. Begitu saja, keempat orang itu dengan mudah menaklukkan para musuh dan berhasil mencapai puncak gunung. Setelah itu, tinggal menuruni sisi lainnya—begitu kira-kira yang mereka pikirkan.

"Jangan-jangan… ini checkmate buat kita?"

Namun, rombongan Masachika justru terhenti di tempat yang sama sekali tak terduga.

Di depan mereka menjulang sebuah lereng penuh batu runcing besar-kecil yang tajam. Kemiringannya lebih dari 50 derajat dengan tinggi lebih dari 20 meter. Meski tidak bisa disebut tebing curam, bagi mereka ini sudah hampir sama saja.

Mendaki lereng seperti itu dengan tangan kosong jelas mustahil. Lebih buruk lagi, kalau ada musuh muncul di tengah jalan, mereka tidak mungkin bisa memegang senjata dengan baik. Salah langkah saja bisa jatuh ke jurang dan menerima luka parah. Dengan kondisi seperti ini, pertempuran sama sekali tidak bisa berjalan normal. Bahkan kalaupun tidak terjadi apa-apa, melihat Masha dengan pakaiannya mendaki tebing jelas terasa janggal. Begitu juga dengan Masachika, yang meskipun memakai jubah, tidak akan bisa dengan leluasa membantu orang lain saat memanjat.

"Jadi… inilah alasan kenapa hewan tunggangan itu sebenarnya penting."

"Iya, persis seperti yang dibilang penjaga gerbang waktu itu."

Alisa dan Maria sama-sama mengangguk, wajah mereka menunjukkan ekspresi menyerah.

"Aku rasa… inilah saatnya alat ini berguna."

Masachika mengeluarkan sebuah alat—barang yang ia beli di toko peralatan di wilayah ketiga. Alat itu bisa digunakan untuk mengaitkan diri pada dahan atau celah batu dan memanjat ke atas. Meskipun begitu, masih belum pasti apakah mereka bisa benar-benar menaklukkan tebing setinggi ini dengan alat itu.

"Kalau bisa dipasang ulang di tengah jalan… atau setidaknya satu tangan sudah cukup."

"Benar. Satu tangan pegang tali, tangan lain masih bisa bertarung. Itu tidak mustahil, tapi memang sulit."

"Kalau jubahnya lepas, orang di bawah bisa celaka."

Setelah berdiskusi seperti itu, akhirnya mereka memutuskan untuk tidak mengambil risiko dan memilih untuk kembali.

"Eh?"

Tiba-tiba Masachika merasakan lengannya ditarik-tarik. Saat menoleh, ia melihat Ayano menunjuk ke arah kardus besar di belakang mereka. Di papan putih yang tergantung di dadanya, tertulis kata-kata: "Silakan lewat sini."

"Lewat sini… maksudmu masuk ke dalam kotak itu?"

Menanggapi pertanyaan itu, Ayano mengangguk pelan. Saat itu juga, Masachika teringat kejadian di penginapan sebelumnya, dan langsung paham apa yang sebenarnya Ayano maksud.

"Jangan-jangan… maksudmu aku naik dengan itu?"

Menanggapi pertanyaan itu, Ayano kembali mengangguk. Benar juga, kalau bisa terbang, menyeberangi tebing curam ini jelas jadi jauh lebih mudah. Tapi masalahnya adalah…

"Eh, tunggu dulu. Apa ini benar-benar stabil?"

Ukuran alas kotaknya bahkan belum tentu cukup untuk duduk sambil melipat kaki. Tinggi dinding sampingnya pun sama sekali tidak bisa diandalkan. Kalau digunakan sebagai semacam platform angkut barang, rasanya lebih berbahaya daripada membantu.

Namun, Ayano tetap saja menunjuk ke papan tulis kecilnya, mendesak Masachika agar segera naik.

"Baiklah, baiklah…"

Karena merasa tertekan oleh desakan tanpa kata itu, Masachika pun akhirnya maju ke belakang Ayano dan perlahan meletakkan satu kakinya ke dalam kotak. Setelah memastikan dengan sedikit tekanan bahwa tidak ada masalah, ia pun memasukkan kaki satunya.

"Ohh…?"

Tiba-tiba, kotak itu membesar. Luas alas dan tingginya bertambah dua kali lipat, membuatnya terasa jauh lebih stabil.

"Apa-apaan ini, kok bisa begini?"

"Waaah, keren banget!"

"Teman kita Ayano memang di luar nalar, ya."

Ketiga orang itu setengah terkejut, setengah tidak percaya dengan apa yang baru mereka lihat. Tak berhenti di situ, Ayano kembali memberi isyarat agar Alisa dan Maria juga masuk. Setelah melihat pengalaman Masachika, rasa ragu mereka pun berkurang, dan keduanya dengan cepat naik ke dalam kotak. Begitu mereka masuk, ukuran kotak itu kembali bertambah, menjadi sekitar dua meter panjang sisinya—lebih mirip sebuah lift kecil daripada platform angkut barang.

"Serius deh, gimana cara kerja benda ini sebenarnya…"

Masachika mendongak ke atas sambil bergumam. Saat itu juga, penutup kotak tiba-tiba terangkat sendiri.

"Eh? Tunggu dulu—"

Pang! Dalam sekejap, penutup itu menutup rapat.

"Tidak mungkin. Kotak ini bisa menutup juga?"

Di dalam kegelapan kotak besar itu, Masachika secara refleks melontarkan komentar. Namun tak lama kemudian, kotak itu bergerak ke samping dengan kecepatan mengejutkan. Tubuh Masachika oleng tak terkendali.

"Uwoooah!"

"Kyaaah!"

"Aduh!"

Dalam kepanikan, Masachika berusaha meraih sesuatu untuk pegangan, tapi yang ada hanyalah dinding kotak yang licin. Saat mencoba berdiri untuk menyeimbangkan diri, tiba-tiba kotak itu berubah arah, kali ini meluncur miring ke atas. Masachika pun terjatuh ke depan. Dalam usahanya untuk menjaga keseimbangan dan tidak benar-benar tersungkur, entah bagaimana kakinya justru menginjak seseorang.

"Aduh, sakit."

"Ah, maaf! Kamu tidak apa-apa, kan?"

"Tidak apa-apa—iyaah!?"

"Kyaaah!"

"Waaah!"

Tak lama setelah itu, kotak tiba-tiba melaju lebih cepat sambil melintir. Dalam kegelapan total, tidak mungkin ada yang bisa menjaga posisi tetap stabil. Akibatnya, Masachika dan yang lain pun jatuh-bangun dengan derajat keparahan masing-masing.

[Di dalam ruang sempit nan gelap seperti ini, dengan tiga remaja laki-laki dan perempuan, mana mungkin tidak terjadi sesuatu.]

"Diam kau!!"

"Eh, tangan siapa ini? Jangan-jangan tangan Kuze-kun, ya?"

"Tangan yang mana? Lagi pula, aku merasa ada yang barusan nendang lututku cukup keras."

"Eh, tunggu! Aku masih berdiri, kok."

"Bukan, Masha-san. Kalau dalam kondisi begini kamu masih berdiri—"

"Kyaah!"

"Tuh kan."

"Masha, tolong diam sebentar! Dan ini, tangan ini beneran tangan Kuze-kun, kan?"

"Bukan, tapi… aku juga tidak tahu aku lagi megang bagian mana!"

"Aku juga pengen tahu!"

[Kyaaa! Bergumul di kegelapan begini, ini jelas mesum banget!]

"Mulutmu itu, MENDINGAN DIAM SAJA!!"

Begitulah, tiga orang dan satu Ayano yang ikut terhimpit di dalam kotak, bergelut dalam kekacauan besar. Tak disadari, kotak pun akhirnya berhenti. Tutup di atas mereka terbuka, membiarkan cahaya menyilaukan masuk.

"Ah, akhirnya sampai."

Masachika yang silau sampai tak bisa membuka mata mencoba menunduk untuk memahami situasi—

"Ugh!"

Namun sebuah tinju keras menghantam wajahnya, memaksa kepalanya kembali terangkat.

Dasar mesum…

Hinaan dalam bahasa Rusia membuat pundak Masachika terasa makin berat. Pada akhirnya, dia tetap tidak tahu sebenarnya bagian mana dari tubuh Alisa yang sudah ia sentuh tadi. Kebenaran itu akan terus tersembunyi dalam kegelapan.

[Halah, tidak perlu dipikirin terlalu panjang. Pasti bokong atau paha, deh.]

Dengan wajah penuh penyesalan, Masachika pun hanya bisa berlutut.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama