Chapter 1 — Semuanya Bermula Dari Satu Permintaan
Semenjak
pesta ulang tahunnya, Mahiru mulai secara rutin melakukan panggilan dengan
Koyuki. Sampai sekarang, Mahiru berpikir bahwa menghubungi Koyuki terlalu
sering mungkin akan mengganggunya, karena hubungan mereka hanyalah hubungan majikan
dan pekerja.
Setelah
berjuang dengan pikirannya, Mahiru akhirnya cuma mengirimkan surat setiap enam
bulan sekali untuk memberikan kabar keadaannya. Namun, Koyuki berkata, “Aku
tidak pernah merasa terganggu, jadi sesekali izinkan aku mendengar suaramu,
Mahiru-san.” dengan tatapan penuh kasih, dan interaksi mereka pun dimulai
kembali.
Meski
demikian, saat ini mereka sepakat untuk menelepon sekali atau dua kali sebulan.
Tentu saja, meminta lebih dari itu terlalu berlebihan. Mahiru sudah puas hanya
bisa bertukar kata, jadi dia tidak berniat untuk meningkatkan frekuensi
komunikasi.
Dengan
demikian, setelah menyesuaikan dengan jadwal Koyuki, Mahiru melakukan panggilan
video pada siang hari libur untuk bertemu Koyuki setelah sekitar sebulan.
“Sudah lama
tidak bertemu, Koyuki-san.”
“Fufu, memang
sudah lama ya. Meskipun sebenarnya tidak terlalu lama.”
Koyuki
menjawab sembari menunjukkan senyum lembut yang tidak pernah pudar. Koyuki lalu
berseru dengan suara ceria saat melihat Mahiru,
“Aku senang melihatmu sehat-sehat saja.
Bagaimana kabarmu belakangan ini Mahiru-san? Tidak ada perubahan?”
“Ya. Hmm,
sebenarnya aku tidak bisa melaporkan banyak hal, jadi aku minta maaf.”
“Oh, kamu tidak
perlu merasa terikat dengan formalitas laporan. Jika ada yang ingin kamu
katakan, silakan saja, dan jika tidak, tidak apa-apa. Tidak ada perubahan
adalah tanda kehidupan sehari-hari yang damai.”
“......
Terima kasih.”
“Kenapa kamu
malah berterima kasih segala? Akulah yang ingin berbicara denganmu, jadi tidak
perlu merasa sungkan, Mahiru-san.”
Koyuki
tersenyum tenang seperti biasa di sisi lain layar. Mahiru selalu berpikir bahwa
sifat Koyuki yang seperti ini sangat indah dan ingin menirunya. Kali ini, dia
tidak mengucapkan terima kasih, tetapi membayangkan rasa syukurnya dan
tersenyum lembut karena kebaikan tulus Koyuki yang bahkan bukan bentuk
perhatian.
“Kira-kira,
apa ada hal menyenangkan yang terjadi padamu, Mahiru-san?”
“Aku lupa
memberitahumu sebelumnya, tapi aku mengadakan pesta Natal bersama Amane-kun dan
teman-teman pada hari Natal.”
Mahiru
mencari topik pembicaraan yang tidak akan menyinggung perasaannya, dan teringat
bahwa dia belum menceritakan tentang kejadian di Natal kepada Koyuki.
Setahun
yang lalu, Mahiru merayakan pesta Natal kecil-kecilan bersama dengan Amane,
tetapi tahun lalu situasinya berbeda. Amane telah menjadi pacarnya, dan dia
juga bisa menjalin hubungan persahabatan dengan Itsuki dan yang lainnya. Natal
kali ini terasa lebih menggembirakan dibandingkan Natal-Natal sebelumnya dalam
hidupnya.
“Ara,
syukurlah kalau begitu. Dulu,
Mahiru-san pernah mengatakan bahwa kamu
ingin mengadakan pesta Natal dengan teman-temanmu, bukan?”
Koyuki
mengungkapkan sesuatu yang sangat nostalgia, membuat Mahiru yang ingat pernah
mengatakannya hanya bisa tersenyum kecut. Memang, semasa kecil dulu, Mahiru pernah memimpikan hal
itu. Namun, untuk mewujudkannya, dia tidak memiliki teman yang cukup dekat
untuk diundang, dan tidak mudah juga untuk mengundang orang lain ke rumah.
Tanggung jawab seorang anak untuk mengundang orang lain ke rumah juga menjadi
masalah, apalagi rumah yang ditinggali Mahiru pada waktu itu jelas terlalu
besar untuk seorang anak tinggal sendirian.
Mahiru
tidak ingin membocorkan
informasi yang tidak perlu kepada orang lain, dan Koyuki yang berperan sebagai
pengganti orang tua pun tampak tidak menyetujuinya,
sehingga pesta Natal itu tetap menjadi angan-angan
belaka. Dia sempat berpikir bahwa mungkin hal itu takkan pernah terwujud, tapi yang namanya kehidupan memang tidak
bisa diprediksi.
“Sebenarnya,
mana mungkin bisa mengadakan acara pesta tanpa adanya wali di rumah, dan umm, aku tidak berani mengadakannya karena takut orang-orang akan
mengatakan kalau aku sedang menyombongkan keluargaku.”
“Tapi
itu bukan salah Mahiru-san, ‘kan?
Selain itu, menjaga diri juga penting. Sebaiknya kita menghindari kecemburuan yang
tidak perlu. ... Tapi, salah satu
impianmu sudah terwujud, bukan?”
“Ya.
Selain itu, aku juga menerima hadiah Natal dari orang tua Amane-kun.”
Koyuki biasanya tidak pernah memberikan sesuatu kepada Mahiru. Meskipun Mahiru
merasakan kasih sayang Koyuki,
dia tahu bahwa Koyuki tidak memberikan hadiah dalam bentuk apapun karena
posisinya. Mahiru tidak merasa sedih tentang hal itu.
Setelah
menginjak usia tertentu, Mahiru memahami
bahwa rasanya sulit bagi Koyuki untuk
melakukan sesuatu dari posisinya. Pada perayaan seperti ulang tahun, Halloween,
dan Natal, selalu ada hidangan yang disajikan. Mahiru menyadari kalau itu merupakan salah satu bentuk perayaan yang disampaikan Koyuki.
Mahiru
tahu bahwa dia dicintai dan dipedulikan,
tapi dia tetap menyimpan harapan kecil untuk ‘mendapatkan
hadiah dari Sinterklas’.
Meskipun dia berpikir bahwa harapannya tidak akan terwujud, Mahiru yang masih
kecil terus berharap. Setelah dia memahami bahwa Santa tidak ada dan bahwa
hadiah itu sebenarnya diletakkan diam-diam oleh orang tuanya, harapan itu tetap
tersembunyi di dalam hatinya. Dan saat itu, harapannya terwujud. Meskipun dia
tidak bisa mendapatkan hadiah dari orang tua kandungnya, dia menerimanya dari
orang tua pacarnya yang memiliki ikatan hati.
“Apa
Mahiru-san mengenal orang tuanya
Fujimiya-san?”
Koyuki
yang berkali-kali berkedip dengan ekspresi terkejut membuat Mahiru teringat
bahwa dia memang pernah membicarakan tentang hubungannya dengan Amane, tapi
tidak sampai mengatakan bahwa dia juga akrab dengan orang tuanya.
“Ya.
Mereka pernah beberapa kali datang ke sini, dan aku juga, ehm, pernah pulang kampung bersama Amane-kun ke rumah orang tuanya.”
“Fufu,
jadi kalian sudah saling berkenalan. Sepertinya hubunganmu dengan orang tuanya baik-baik
saja, jadi tidak perlu khawatir, ya?”
“Masalah
itu sudah tidak perlu dikhawatirkan. Umm, mereka
sangat mirip dengan Amane-kun, dan
benar-benar baik kepadaku...”
“Kalau
mereka mirip dengannya,
sepertinya tidak ada masalah. Ia
menunjukkan cinta kepada Mahiru-san baik dari wajah maupun sikapnya.”
“…Ya.”
Ketika
Koyuki mengatakan hal itu, Mahiru merasa sangat malu dan menundukkan
pandangannya, tapi perkataan
Koyuki adalah hal yang paling dirasakan Mahiru, jadi dia tidak bisa membantah.
Meskipun
merasa malu untuk mengatakannya secara blak-blakkan, Amane benar-benar mencintai Mahiru
dari segala hal yang dia tunjukkan. Entah itu
dari suara, tatapan, ekspresi, suasana, sikap, dan
tindakan semuanya dengan jelas menyampaikan bahwa ia menyukai Mahiru.
Mahiru
tidak bisa membayangkan bahwa Amane
akan menjadi sejujur ini sejak pertama kali mereka bertemu, tapi bahkan saat
mereka baru mengenal, Amane sudah menyampaikan perasaannya yang tulus tanpa
basa-basi. Dalam arti tertentu, mungkin itulah hal yang wajar. Sepertinya
Koyuki juga merasakannya, dan dengan nada yang agak bahagia, dia berkata, “Ia adalah pria yang jarang ditemui
saat ini, tulus dan setia.”.
“Amane-kun tuh, umm, sangat
menghargaiku dan menunjukkan cinta sepenuh hati, jadi tidak perlu khawatir.”
“Aku
tidak mengkhawatirkannya sama sekali, kok?
Melihat seberapa
seriusnya anak itu,
esensi dari perasaannya akan terlihat. Sepertinya ia sudah siap untuk
berkomitmen denganmu.”
“Haee!?”
Pernyataan
yang sangat tidak terduga itu membuat Mahiru terkejut dan suara yang tidak
terduga pun keluar dari mulutnya.
(Berkomitmen)
Dengan kata
lain, menjalin pernikahan. Meskipun Mahiru belum
mendengar pernyataan langsung dari Amane, dia merasakan bahwa hubungan ini
bukanlah sesuatu yang sementara, dan dia juga merasakan bahwa Amane ingin
selalu berada di sampingnya di masa depan.
Ketika
hal itu disebutkan oleh orang lain, Mahiru merasa seolah-olah sesuatu yang lembut tiba-tiba
memiliki bentuk yang jelas, dan berbagai kata berputar-putar di dalam
kepalanya, muncul dan menghilang.
“Aduh,
aduh.”
“…Ma-Maafkan
aku.”
“Tidak,
tidak, tidak masalah.
…Meskipun tidak baik untuk menggali terlalu dalam, apa pembicaraan semacam ini
berasal dari ia duluan?”
“…Umm, Amane-kun tidak secara eksplisit
menyatakannya. Hanya saja, ehm, ia berencana untuk selalu
bersamaku di masa depan.”
Amane
bukanlah orang yang mengatakan hal-hal sembarangan atau membuat janji yang
samar. Karena dia memahami hal itu dengan baik, sedikit ketidakpastian muncul
di tengah kebingungan.
“Begitu
ya. Maka aku mungkin telah mengucapkan hal yang tidak perlu.”
“Tidak
perlu…?”
“Pria itu
pasti memiliki pemikirannya sendiri, dan rasanya
akan tidak sopan jika aku membayangkan dan
mengatakannya di sini. Aku tidak akan mengatakan lebih dari ini.”
“…Ya.”
Mahiru
tahu bahwa tidak mungkin mengetahui apa yang dipikirkan
Amane hanya dengan bertanya kepada Koyuki. Sekalipun Koyuki bisa membaca pikiran, mana mungkin dia bisa mengetahuinya karena Amane
tidak ada di sini.
“Jangan
khawatir, kurasa
ia jauh lebih penyayang
daripada yang dibayangkan Mahiru-san.
Meskipun, memang benar, orang yang belum pernah kutemui dan berbicara langsung
bisa mengatakan hal seperti itu.”
Koyuki
tampaknya lebih memahami sifat dasar Amane daripada yang diduga Mahiru, tetapi sebenarnya, Koyuki
hampir tidak pernah berbicara dengan Amane. Dia hanya tahu bahwa Amane pernah
mengirim pesan atau menelepon saat ulang tahun Mahiru, dan itu saja. Hubungan
Amane dengan Koyuki hampir tidak ada.
“…Kurasa Koyuki-san memiliki
kemampuan untuk melihat esensi seseorang, dan aku juga mengikuti ajaran
Koyuki-san, jadi aku tahu bahwa Amane-kun
adalah orang yang sangat baik.”
“Fufufu, aku
senang mendengarnya. Aku juga sangat senang
Mahiru-san menemukan orang yang dicintainya sampai-sampai bisa memamerkannya seperti
ini.”
“Me-Memamerkannya…
aku tidak sedang memamerkannya.”
“Baiklah,
aku akan menganggapnya begitu.”
Mahiru
tidak bermaksud untuk memamerkan hubungannya,
tetapi sepertinya Koyuki tidak mendengarnya seperti itu dan tampak tersenyum ke
arah Mahiru di layar.
“Sebenarnya,
aku juga ingin bertemu langsung dengan Fujimiya-san dan berbicara dengan orang
tuanya, tetapi sepertinya kesempatan itu tak
kunjung datang.”
“Koyuki-san
juga pasti sibuk, dan aku tidak ingin membebani kesehatanmu. Hanya berbicara
seperti ini saja sudah sangat memuaskanku.”
“Aku
yang mengatakan ingin berbicara denganmu,
bukan? Jadi kamu tidak
perlu memusingkannya, Mahiru-san.”
Koyuki
tertawa dengan lembut sambil mengeluarkan suara dari tenggorokannya, tetapi
melihat Mahiru yang merasa bersalah, dia sedikit mengerutkan alisnya.
“Benar juga… Jika aku tidak bisa menemuinya, aku ingin foto kalian berdua.”
“Foto…?”
Mahiru
terbelalak kaget dengan usulan yang tidak
terduga itu, dan Koyuki mengangguk dengan suara dan ekspresi lembut, “Ya.”
“Aku
tidak bisa pergi menemuimu sekarang, dan kurasa Mahiru-san juga sulit untuk meluangkan waktu seperti itu, ‘kan? Fujimiya-san harus
mempertimbangkan jadwalnya juga,
ditambah lagi kalian
berdua akan segera mengikuti ujian masuk, jadi mungkin sulit bagi kalian untuk pergi mengunjungi prefektur lain.”
Amane
juga pernah mengatakan bahwa dirinya
ingin berkunjung dan menyapanya suatu
saat nanti, tetapi sulit untuk mewujudkannya. Tempat tinggal Koyuki berada di daerah lain, dan ketika Mahiru mencari
alamatnya, ternyata lokasi tersebut tidak begitu mudah dijangkau. Tentu saja,
waktu perjalanannya akan
memakan waktu yang cukup lama.
Amane
sering memiliki pekerjaan paruh waktu, jadi dirinya
tidak bisa melakukan tur singkat yang berdampak pada hari berikutnya, dan
dengan semakin banyaknya jadwal persiapan ujian yang akan datang, rasanya jadi semakin sulit untuk
menyisihkan waktu luang.
Tahun ini, sepertinya Amane tidak berniat pulang kampung untuk fokus belajar
ujian, jadi Mahiru juga akan memiliki rencana yang sama.
Masalahnya,
meskipun bisa pergi untuk berkenalan, kemungkinan besar itu baru bisa dilakukan
setelah ujian selesai.
“Oh,
aku tidak khawatir tentang kalian berdua. Hanya dengan melihat bagaimana
Mahiru-san berbicara, aku bisa tahu bahwa kamu sangat bahagia dan menikmati kehidupanmu saat ini.
Hanya saja, aku ingin tahu bagaimana kamu menghabiskan waktu sekarang, itu hanyalah keinginan egoisku. Sebagai seseorang yang
tinggal jauh, aku merasa penasaran.”
Koyuki
benar-benar peduli pada Mahiru, dan perasaan itu terasa jelas, membuat Mahiru
merasakan sensasi aneh yang menyenangkan di dalam hatinya, seolah-olah pipinya
dielus lembut.
Sekarang
Mahiru menyadari bahwa dia mungkin tidak sepenuhnya
mengharga kasih sayang
ini dengan tepat ketika masih kecil. Dia tahu bahwa dia dicintai dan diperlakukan
dengan kasih sayang seperti
anak sendiri oleh Koyuki, tetapi
sekarang dia bisa menegaskan bahwa ada kasih sayang
yang hanya bisa dipahami saat sudah dewasa.
“Tentu
saja, jika Mahiru-san atau Fujimiya-san tidak mau, tolong anggap saja seolah-olah kamu tidak pernah mendengarkan
permintaan egoisku.
Lagipula, itu hanya keinginanku saja.”
Mahiru
merasa bahwa Koyuki menganggap tidak adanya jawaban sebagai penolakan, dan dia
segera menggelengkan kepala untuk keluar dari perasaan nyaman dan geli yang
dirasakannya.
“Tidak,
bukannya begitu! Bukannya aku tidak
menyukainya atau semacamnya! Kurasa
Amane-kun juga tidak akan menolak… Tapi itu bukan sesuatu yang bisa kupastikan,
jadi aku akan menanyakannya saat Amane-kun pulang
kembali.”
“Ya,
tolong lakukan itu. …meskipun begitu....”
“Ya?”
“Ketika
ia pulang kembali,
ya.”
Usai mendengar
kalimat itu, Mahiru menyadari bahwa dia telah mengatakan sesuatu yang tampaknya
sangat biasa baginya, tetapi bisa terdengar aneh bagi orang lain, dan dia langsung dibuat panik sambil mengayunkan kedua tangannya.
“…It-Itu, maksudnya! Memang benar aku akan melakukan panggilan dari rumah
Amane-kun! Tidak ada yang tidak senonoh
sama sekali!”
“Aku
tidak meragukannya. Lihat, Fujimiya-san terlihat sangat jujur, jadi kurasa ia takkan memaksamu melakukan sesuatu tanpa
persetujuanmu. Ia
tipe yang akan meminta izin secara langsung, ‘kan?”
“…Ya.”
Jika Koyuki bisa melihatnya sampai
sejauh itu, rasanya bukan lagi sekedar memalukan,
tetapi juga menakutkan. Amane bukanlah tipe orang
yang memaksakan kehendaknya secara paksa. Ketimbang dibilang bersikap
pasif, ia justru sangat perhatian dan selalu
bertanya apa dirinya boleh melakukan sesuatu pada Mahiru.
Belakangan
ini, Amane kadang-kadang
langsung menciumnya tanpa bertanya dulu, tapi itu karena ketika dirinya tahu bahwa Mahiru sudah menerimanya berkat suasana tersebut. Amane takkan melakukan sesuatu lebih dari itu tanpa izin.
Bahkan
ketika ingin menyentuh kekasihnya
sendiri, Amane
akan bertanya dengan jujur, “Aku ingin menyentuhmu, boleh?” dan Mahiru
menerimanya sambil menanggung rasa malu.
Meskipun Mahiru berpikir bahwa seharusnya Amane bisa mengerti tanpa bertanya
setelah disentuh, tapi Amane justru
berkata, “Jika
kamu tidak suka, aku akan menjadi
orang yang brengsek, dan aku tidak ingin membuatmu
merasa tidak nyaman,”
yang merupakan jawaban yang sangat jantan,
jadi ini mungkin masalah karakter Amane.
(Aku menyukai sisi lembut dan perhatiannya seperti itu.)
Mengesampingkan
hal itu, Mahiru sebenarnya ingin Amane juga merasakan
bagaimana rasanya berada di posisinya. Setiap kali Amane menyentuhnya,
seolah-olah dia mengakui bahwa dirinya suka disentuh, yang sangat
memalukan bagi Mahiru. Mahiru sesekali pernah
berpikir kalau tidak ada
salahnya jika Amane bisa lebih berani dan sedikit
memaksakan diri, tapi itu merupakan
pemikiran yang sangat tidak pantas,
jadi Mahiru segera mengusirnya dari
kepalanya.
Apa
Koyuki menyadari bahwa Mahiru memikirkan berbagai hal dalam sekejap?
Setidaknya, Koyuki tidak menggali lebih dalam dan melanjutkan dengan ekspresi
tenang.
“Aku
senang bahwa kamu akhirnya menemukan tempat yang bisa kamu sebut rumah.
Mahiru-san menganggap rumah Fujimiya-san
sebagai tempatmu, jadi itulah sebabnya kamu berbicara seperti itu, kan?”
“Ya.”
Tempat
Mahiru adalah tempat di mana Amane berada.
Kalau
dipikir-pikir kembali, sudah
lebih dari setahun sejak Mahiru
mulai datang ke rumah ini, dan dia tidak mempercayai
bahwa dia telah beradaptasi dengan rumah ini. Kunci
cadangan diberikan padanya pada
tahap yang cukup awal. Mulanya Mahiru merasa bimbang
dan berpikir apa itu keputusan yang tepat, tapi itu juga bukti
bahwa Amane mempercayainya, yang membuatnya merasa geli.
Setelah
setahun tinggal di rumah ini, keberadaannya di sini menjadi hal yang biasa.
Mahiru merasa bahwa rumah Amane, tepatnya sebelah rumah Amane, tiba-tiba
menjadi tempatnya.
Tempat
yang dibangun bersama, tempat yang sangat berharga.
“Aku
senang kamu telah menemukan tempat di mana kamu
benar-benar bisa menemukan kedamaian.”
“……Ya.”
“Kita
harus memastikan tidak kehilangan tempat tersebut.
Untuk mencegah hal itu terjadi, khususnya...”
“Aku
sudah menguasai perutnya.”
“Fufu,
baguslah.”
Mahiru
sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan Koyuki
, jadi dia mengatakannya lebih dulu, dan Koyuki tertawa geli. Mungkin Koyuki
juga ingat saat dia berkata, “Kamu
harus menangkap perut orang yang akan membuatmu bahagia.”
Berkat
ajaran-ajaran tersebut, Mahiru bisa menemukan seseorang yang ingin dia curahkan
seumur hidupnya, jadi Koyuki memang mentor kehidupannya.
Berkat
ajaran itu, Mahiru bisa menemukan orang yang ingin dia curahkan seumur
hidupnya, jadi dia merasa Koyuki adalah lawan yang sangat kuat.
“Ajaran
itu tidak salah,” imbuh Koyuki tertawa, dan Mahiru pun
ikut tertawa. Saat kecemasan yang dia
rasakan karena sendirian saat itu lenyap, Mahiru
membayangkan kekasihnya yang sedang tidak bersamanya.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
“Jadi,
boleh aku mengirimkan fotomu,
Amane-kun?”
Karena
Amane baru saja pulang dari kerja paruh waktu, Mahiru menyampaikan isi pembicaraan
hari ini dengan singkat setelah makan malam sekaligus
permintaannya. Seperti
yang dia duga, Amane tidak
menunjukkan tanda-tanda keberatan dan dengan mudah mengangguk.
“Aku tidak
keberatan kalau kamu mau mengirimkannya, tapi
kamu mau mengirimkan foto yang apa?”
Dia belum
memutuskan sampai sejauh itu, jadi Mahiru berpikir tentang foto apa yang akan
dikirim.
“Bagian
keren dari Amane-kun.”
“Kumohon jangan,
tolong jangan.”
“Aku
hanya bercanda. Tapi kenapa kamu kelihatan begitu
tidak menyukainya?”
“Habisnya, jelas-jelas
itu memalukan! Mari kita pilih yang biasa-biasa
saja, oke? Yang normal-normal saja.”
“Yang
biasa itu yang seperti
apa?”
“Yah,
Kujigawa-san
pasti ingin melihat bagaimana kehidupan Mahiru
sehari-hari, ‘kan? Bukan
penampilan yang dibuat-buat, tetapi bagaimana kamu menjalani hari-hari biasa.”
“Aku paham
sih, tapi…”
Hal yang
diinginkan Koyuki ialah foto Mahiru dan
Amane yang menghabiskan waktu bersama. Mahiru sedang
mempertimbangkan tentang foto seperti apa yang seharusnya diambil, tetapi dia sadar bahwa ketika
mereka bersama, mereka selalu menunjukkan wajah bahagia. Koyuki pasti akan
merasa tenang jika melihatnya.
“…Masalahnya, aku tidak mempunyai banyak foto Mahiru di folderku.
Aku jarang mengambil foto, dan lebih baik minta orang lain untuk mengambil foto
kita bersama.”
Amane
pada dasarnya bukan orang yang sering memainkan ponselnya, dan dirinya juga jarang melakukan hal-hal
seperti mengambil foto kenangan, jadi wajar saja jika ia
tidak mempunyai banyak foto.
“Beberapa
foto yang kumiliki cuma foto-fotomu saat tidur, atau saat memakai
piyama, atau saat berkumis busa.”
“Kenapa
kamu masih menyimpan foto-foto seperti itu, sih!?”
“Foto yang
memakai piyama sih
bukan salahku, dan foto kumis busa di wajah itu sudah diizinkan
kamu sendiri, Mahiru.”
Fotonya yang memakai piyama kemungkinan besar
adalah foto yang dikirim Chitose saat acara
menginap, dan kumis busa di
wajahnya mungkin saat kencan di kafe
kucing. Mahiru memang sudah memberinya izin waktu itu,
tapi dia tidak menyangka bahwa foto itu masih disimpan sampai sekarang, jadi
dia menatap Amane dengan tatapan tajam.
“Kalau gitu,
maksudnya foto wajah tidur....”
“Maaf,
karena kamu kelihatan sangat imut jadi
aku tidak bisa menahan diri. …Lalu, Mahiru juga tidak
bisa menghakimi orang lain,
‘kan?”
Sambil menunjukkan senyuman yang sangat baik,
Mahiru tidak bisa langsung membantah perkataan
Amane.
Mahiru
cukup sering mengambil foto kenangan atau momen-momen spontan, sehingga folder gambarnya
cukup berisi. Namun, jika ditanya apa itu bisa dikirimkan kepada Koyuki,
jawabannya adalah tidak. Dia memiliki berbagai foto, mulai dari momen ketika
Amane terlihat keren, hingga saat-saat lucu, bahkan wajah tidurnya sekalipun. Tentu saja, dia kadang-kadang
meminta izin kepada Amane untuk mengambil fotonya,
tapi mungkin Mahiru sendiri tidak menyadari seberapa banyak foto yang telah
diambilnya.
“…U-Ughh,
sayang sekali tidak ada banyak foto Amane-kun yang bisa
kutunjukkan kepada Koyuki-san. Padahal semua
foto itu jelas-jelas menakjubkan.”
“Jangan
bilang koleksi itu makin bertambah
tanpa sepengetahuanku?”
“…Itu
hanya perasaanmu saja.”
“Tapi yah, foto yang diambil oleh Mahiru juga baik-baik saja, ‘kan? Selama itu diambil oleh
Mahiru.”
Dengan
nada yang menyiratkan bahwa mungkin ada foto-foto yang dibagikan Itsuki atau Chitose padanya, Mahiru hanya mengalihkan
pandangannya dan menutup erat
bibirnya.
“Kamu
mengakui itu dengan sikapmu. Tapi, aku tidak berniat untuk menyelidiki lebih
jauh. Jika itu sesuatu yang ingin kamu sembunyikan, aku tidak berniat mengungkapnya.”
“…Terima
kasih.”
“Jadi kamu
ingin menyembunyikannya, ya.”
“Ak-Aku
tidak bermaksud menyembunyikannya,
lebih tepatnya, itu…”
“Baiklah,
baiklah, aku mengerti, kamu tidak
perlu panik begitu. …Kamu
sangat menyukaiku dan ingin mengabadikan berbagai penampilan, ‘kan?”
“…I-Iya benar.”
“Kalau
begitu, baiklah, kumaafkan.”
Fakta bahwa
Amane dengan mudah memaafkannya hampir membuat Mahiru
berpikir bahwa orang ini sangat memanjakannya. Dia memiliki pengalaman dan
kepercayaan bahwa setiap kali Mahiru meminta sesuatu, Amane akan dengan senang
hati memenuhinya. Meskipun Mahiru
memahami dengan baik bahwa dirinya
dicintai, tapi sebagai seseorang yang dimanja, mau tak mau dia jadi bertanya-tanya apakah itu diperbolehkan.
“Kalau
begitu, sepertinya kita tidak
mempunyai banyak foto kita berdua yang bisa
dikirim. Aku meyakini dia mungkin menyukai foto
kita berdua, jadi bagaimana kalau kita mengambil beberapa foto baru saja?”
“Mengambil
foto baru?”
“Kurasa
jika kita meminta Chitose, dia bisa
mengambil foto dengan baik. Dia suka mengambil foto dan sering memotretmu, ‘kan, Mahiru?”
“Beberapa
foto itu diambil untuk menggodaku supaya
mengirimkannya kepada Amane-kun.”
“Tapi
dia hampir tidak pernah mengirimkannya loh?
Karena aku sudah memperingatinya untuk
mengambil izin dari Mahiru terlebih dahulu.”
Bagian
ini menunjukkan bahwa Amane sangat patuh, sehingga selama Mahiru tidak memberi
izin, dirinya tidak akan meminta foto tersebut. Hal ini membuat Mahiru merasa
sangat bersalah karena menerima foto-foto dari Amane.
Chitose
juga memahami hal itu dan dengan sengaja menggoda Mahiru dengan mengatakan “Mungkin aku harus mengirimkannya~,” jadi Mahiru merasa tidak
nyaman setiap kali itu terjadi,
seolah-olah dia dihadapkan dengan rasa malu karena tidak bisa menahan
keinginannya.
“Bagaimana
kalau kita meminta bantuan Chitose atau Itsuki? Kurasa
mereka tidak akan menolak, dan mereka sudah terbiasa mengambil foto, jadi mereka pasti bisa mengambil foto dengan
baik.”
“…Baiklah,
aku akan meminta mereka besok di sekolah.”
“Ya,
mari kita lakukan itu. …Jangan lupa untuk memberi tahu agar tidak mengambil
foto yang tidak perlu.”
“Aku
penasara, apa mereka akan mendengarkan peringatanmu, Amane-kun?”
“Pada
akhirnya, aku akan melakukan penyaringan, jadi aku akan menolak foto-foto yang
tidak sesuai.”
“Sepertinya
mereka berdua akan sangat bersemangat mengetahui hal itu.”
“Kamu
juga mulai memahami mereka dengan baik akhir-akhir ini ya, Mahiru.”
Setelah
setahun berinteraksi dengan Chitose dan yang lainnya, dia mulai bisa
memperkirakan pemikiran dan tindakan mereka.
Jika dia
meminta mereka untuk mengambil foto kali ini, mereka pasti akan setuju dengan
cepat. Mereka akan menjalankan misi untuk mengambil foto diri mereka sendiri
seperti biasanya, sesuai permintaan Amane. Mungkin mereka juga akan menambahkan
beberapa momen ceria atau situasi yang menyenangkan berdasarkan penilaian mereka
sendiri, tetapi Mahiru tidak menganggap itu sebagai hal yang buruk.
Meskipun
begitu, dia masih merasa
malu jika ada orang lain yang melihat momen ketika dia dan Amane ditangkap
dalam keadaan yang tidak terduga. Dia menyadari bahwa terkadang dia terlalu
terbawa perasaan di hadapan
Amane, dan Chitose sering mengatakan bahwa dia terlihat sangat manja. Amane
juga sering memberikan senyuman manis yang membuat Mahiru merasa terpesona,
jadi dia merasa ragu untuk ditangkap dalam momen seperti itu.
(Karena
hanya aku yang boleh melihat itu)
Senyuman
yang membuatnya merasa meleleh juga, senyuman tanpa kata-kata yang menyampaikan
bahwa seberapa besar Amane benar-benar mencintai Mahiru.
“Setidaknya,
aku akan meminta agar mereka untuk
tidak berlebihan.”
“Aku
berharap mereka mau mendengarkan.”
“Ya,
betul.”
Mereka
berdua tahu bahwa Chitose dan yang lainnya mungkin akan mengambil beberapa foto yang berlawanan dengan
keinginan Mahiru, tetapi karena tidak ada pilihan lain,
mereka saling memandang dan tertawa dengan wajah pasrah.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
Keesokan
harinya sepulang, Mahiru
memutuskan untuk membawa mereka berdua ke taman terdekat
untuk membicarakan hal yang telah diputuskan
kemarin. Amane tidak sedang bersamanya
karena ia harus bekerja paruh waktu, tapi Mahiru berpikir sepertinya tidak ada
masalah untuk meminta bantuan dari kedua orang ini.
“Eh, apa, apa, foto? Enggak masalah sih, tapi tumben banget?”
Seperti
yang diperkirakan, Chitose dan Itsuki tampak tidak keberatan dengan permintaan
itu, tetapi wajah mereka menunjukkan rasa penasaran
mengapa Mahiru yang biasanya tidak suka difoto mengajukan permintaan tersebut.
Amane dan
Mahiru, terutama Amane, tidak membenci difoto, tetapi mereka tidak terlalu aktif melakukannya, jadi mungkin
mereka khawatir ada sesuatu yang terjadi
dengan permintaannya.
“Jadi,
umm, begini... aku punya semacam orang
tua angkat, dan aku ingin mengirimkan beberapa foto
sebagai laporan kepadanya.
Dia bilang ingin melihat beberapa foto kami berdua.”
“Ah,
begitu rupanya. Ini sih tanggung jawab yang besar, ya!?”
“Ka-Kamu
tidak perlu seformal itu! Dia
hanya ingin mengetahui tentang
bagaimana kehidupan sehari-hari kami!”
Karena
Chitose kelihatan ingin membesar-besarkannya,
jadi Mahiru buru-buru menggelengkan kepala
untuk menyangkalnya.
Ketika
diminta untuk mengambil foto yang akan ditunjukkan kepada orang tua, wajar jika
pihak yang diminta merasa tertekan. Mahiru juga tidak menyadari hal ini. Dirinya harus menegaskan
bahwa dia hanya ingin foto biasa, jika
tidak, beban psikologis bagi fotografer bisa menjadi masalah.
“Aku
sama sekali tidak bermaksud untuk mengambil foto yang seperti di studio atau
yang terlihat bagus. Aku hanya ingin memperlihatkan
momen ketika kami berdua
bersama, atau bagaimana kami
menghabiskan waktu sehari-hari.”
“Aku
mengerti bagian itu, tapi kamu beneran yakin mau
foto biasa-biasa saja? Seriusan?”
“Ya.
Sebenarnya, aku tidak punya teman dekat selama SD
dan SMP, jadi kurasa aku sudah membuatnya
khawatir. Sepertinya beliau
penasaran tentang bagaimana kehidupanku.”
Ini
adalah cerita dari masa lalu ketika Mahiru berjuang tanpa hasil, ada masa-masa di mana dia ingin diperhatikan oleh orang tua kandungnya, dan
berusaha bersikap baik agar orang dewasa menganggapnya sebagai anak yang
baik.
Bukan
berarti bahwa sekarang tidak demikian, tetapi selama masa
sekolah SD dan SMP, Mahiru
menjalani kehidupan sebagai ‘anak baik’ yang berlebihan, dan setelah mengingatnya kembali, Mahiru merasa geli dengan seberapa baik dia berusaha
menyembunyikan diri.
Walaupun
sering diejek sebagai gadis yang ingin disukai semua orang, tapi Mahiru tidak membantahnya karena itu memang benar. Dia bersikap ramah kepada semua
orang tetapi tetap menjaga jarak, sehingga Mahiru
tidak memiliki hubungan dekat seperti Chitose atau Ayaka saat ini.
Dari
sudut pandang Mahiru, ada juga kecemburuan dari ketenaran di kalangan lawan
jenis yang tidak perlu, dan ada juga orang-orang yang mendekatinya karena
melihat nilai dalam dirinya, sehingga bisa dibilang dia tidak menemukan orang
yang bisa dia percayai dari lubuk hatinya.
Karena
mengetahui masa-masa seperti itu, mau tak mau
Koyuki merasa terganggu dengan lingkungan yang terlalu ideal
dan bahagia yang berhasil didapatkan
Mahiru.
“Ah,
begitu. Saat Mahirun dalam
mode bidadari sempurna.”
“Apa-apaan dengan
keadaan yang mencurigakan dan memalukan itu?”
“Nama
julukan yang sangat konyol.”
“Ikkun,
diamlah. Tentu saja, aku sedang membicarakan saat Mahirun masih menjadi bidadari. Saat dia tidak punya teman sama
sekali.”
“Ugh...
Se-Sekarang sih, aku
sudah mempunyai Chitose-san dan Kido-san.”
Sekarang
Mahiru memiliki teman dekat seperti Chitose dan Ayaka, jadi seharusnya tidak
ada masalah. Rasa kesepian yang dulu begitu mencolok karena dikelilingi
orang-orang seperti itu sudah tidak ada lagi.
“Ya,
ya! Kita memang berteman!
Kita sahabatan!”
“Kenapa
kamu jadi berbicara seperti itu?”
“Itu
hanya bercanda. Jangan bersedih, ya. Aku juga yang paling akrab dengan Mahirun!”
Chitose,
yang terus menepuk-nepuk
bahu Mahiru, memiliki begitu banyak teman karena kepribadiannya, tetapi dia tetap menempatkan Mahiru sebagai
yang terpenting di antara mereka.
“Jadi, umm, aku ingin membuatnya merasa tenang... Aku ingin memberitahunya bahwa aku sudah menemukan tempat untuk diriku sendiri, dan
ada orang yang memahamiku”
“Jadi begitu,
begitu ya. Kamu sangat perhatian, ya.”
“...Dia bukan orang tua kandungku, sih.”
Alangkah
indahnya jika Koyuki adalah orang tua kandungnya. Sebenarnya, pernah terbesit di benak Mahiru bahwa
Koyuki mungkin adalah orang tuanya, tetapi kenyataannya hanya ada orang tua
yang tidak terlalu peduli dan bahkan meragukan apakah mereka mengenali
dirinya.
Dia sudah
menyerah pada kenyataan itu dan tidak berniat untuk bergantung pada mereka
lagi. Hanya orang-orang yang jauh yang
kebetulan memiliki ikatan darah.
Mahiru
tersenyum sambil menelan sedikit kegetiran yang
dirasakannya, dan Chitose memperhatikan dengan seksama.
“Kupikir itu tidak masalah? Menurutku, hubungan darah bukanlah segalanya. Dan kalau kita bicara
soal ikatan darah atau semacamnya,
suami istri tidak memiliki hubungan darah.”
Dia
mengatakan itu dengan santai.
“Malahan,
fakta bahwa mereka bisa membangun hubungan yang begitu peduli satu sama lain
meskipun tidak ada hubungan darah adalah hal yang luar biasa, bukan? Bukankah
itu sesuatu yang patut dibanggakan?”
Mahiru
merasa beruntung karena memiliki
teman-teman yang bisa mengatakan hal-hal seperti itu.
Dia ingin
menyampaikan kebahagiaan memiliki teman-teman yang luar biasa kepada Koyuki.
Dengan pemikiran seperti itu, Mahiru memeluk Chitose
dengan erat yang menunjukkan senyum cerah.
“...Aku
menyukaimu, Chitose-san.”
“Mm-hm.
Mahiru sekarang jadi lebih
ekspresif, ya.”
“Semuanya
berkat kalian semua. Oleh karena
itu, aku ingin memberitahunya
bahwa aku telah berubah ke arah yang lebih baik.”
“Tentu
saja dia ingin melihat Mahirun yang tumbuh begitu cantik.”
“Bukannya
sekarang waktu yang pas untuk berfoto?”
“Benar!
Ikkun, ambil foto, ayo!”
“Siap.”
Melihat
Itsuki, yang tidak menegur
pacarnya yang terlalu menempel dengan Mahiru, tapi justru menyemangatinya, juga
merupakan salah satu teman yang luar biasa bagi Mahiru.
Sambil merasa sedikit malu melihat Itsuki yang cepat-cepat memotret dengan smartphone-nya, Chitose juga merangkul Mahiru dengan erat, membuatnya merasa sulit untuk menjauh dan mencoba menyembunyikan rasa geli dengan menempelkan wajahnya di bahu Chitose.
Memeluk
seseorang secara langsung seperti ini, bahkan memeluknya terlebih dahulu,
adalah sesuatu yang tak pernah terbayangkan oleh Mahiru di masa lalu.
Rasa
malu, kebahagiaan, dan perasaan bahagia yang seolah-olah dimasak dalam satu
panci, mengalir hangat dan lembap ke dalam hatinya. Seolah-olah ingin menyampaikan
perasaan yang terpendam dari kesepian yang pernah ada di dalam dirinya.
Chitose
memeluk Mahiru untuk sementara waktu, tampak puas, lalu menepuk punggungnya
sebelum perlahan melepaskan pelukan.
“Pokoknya,
aku sudah ditugaskan hal ini.
Intinya, aku
hanya perlu memotretmu saat kamu
sedang bermesraan dengan Amane atau kemesraan kita, ‘kan?”
“Di-Dibilang
mesra-mesraan
sih agak...”
“Eh,
jadi kamu tidak mau bermesraan denganku?”
“Itu
sih menyenangkan.”
“Kalau
begitu, kita harus terus
memotretnya!”
“...Kamu
tidak sedang merujuk pada Amane-kun,
‘kan?”
“Apa
maksudmu?”
“Sudahlah.”
Chitose
berpura-pura tidak tahu, tetapi Mahiru merasa tenang karena tahu bahwa dia
takkan memotret hal-hal yang tidak menyenangkan atau membuatnya merasa
canggung.
Dengan
sedikit harapan tentang bagaimana dirinya terlihat di depan teman-teman yang
luar biasa ini, Mahiru memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada mereka.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
“Jadi begitulah, aku
akan mengambil foto kalian dalam beberapa hari ke depan,
tapi jangan khawatir!”
Keesokan
harinya di sekolah, ketika Chitose mengumpulkan orang-orang yang dekat
dengannya, kata-kata itu pun muncul dari
mulutnya.
Karena Amane
sudah mendengar tentang persetujuan mereka berdua, jadi sepertinya ia tidak terlalu terkejut,
tetapi Ayaka dan Yuuta yang
tiba-tiba mendengar pembicaraan itu tampak terkejut.
“Jadi,
maksudnya kita akan memotret Shiina-san dalam kesehariannya, ya?”
“Ya.
Bukan hanya aku saja, tetapi juga saat kalian semua
bersenang-senang atau saat Amane melakukan sesuatu. Yang penting ialah menunjukkan bagaimana Mahirun menjalani kehidupannya
sekarang.”
“Oke~,
aku mengerti. Tapi rasanya agak gugup juga memikirkan ada orang yang memperhatikanku.”
“Ah,
tentu saja, kamu bisa memberitahuku
jika ada yang tidak ingin difoto.”
“Bukan
begitu maksudku! Hanya saja, aku merasa malu jika harus difoto
dengan mereka berdua yang sedang bermesraan, dan aku khawatir aku akan terlihat
seperti mengganggu.”
“Apa
yang kamu bicarakan...?”
Walaupun Amane
tampak kebingungan, tetapi Mahiru bisa memahami apa
yang ingin disampaikan Ayaka. Mahiru juga merasa tidak
nyaman jika harus muncul di foto saat Chitose dan Itsuki
terlihat bermesraan.
Meskipun
Mahiru tidak membenci ide untuk difoto, dia merasa perlu untuk tidak membuat
Ayaka dan yang lainnya khawatir, jadi dia bertekad dalam hati. Melihat Amane
yang tampak mengerti meskipun masih bingung, Mahiru tersenyum pelan.
“Aku
juga yang meminta bantuan kalian,
jadi aku sangat berterima kasih jika semua orang mau berpartisipasi, tapi...”
“Tapi?”
“Kalian
berdua jangan sampai mengambil foto yang aneh-aneh,
ya. Aku akan memeriksa hasilnya nanti.”
Sepertinya
Amane sangat mencemaskan
hal itu, dan tatapannya tertuju pada Chitose dan Itsuki. Mahiru hanya bisa
tersenyum kecut seraya berpikir kalau ia seharusnya tidak perlu curiga sampai sejauh
itu.
“Kamu
sangat teliti banget. Tidak
perlu khawatir, oke? Kami juga menyadari foto tersebut buat apaan,
jadi kami tidak akan berbuat konyol.”
“Aku
percaya pada kata-katamu..."
“Karena
itu Shirakawa-san, dia tidak akan berbuat konyol, tapi kita mungkin terlihat
konyol saat bersenang-senang.”
“Ya,
ya.”
“Kamu
seharusnya menyangkal itu.”
Meskipun Amane
tampak sedikit cemas, Mahiru sudah meminta untuk memotret momen-momen biasa dan
saat mereka bersenang-senang, jadi dia tidak berniat menghentikan Chitose dan
yang lainnya kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak.
“Bagaimanapun
juga, karena akan ada pemeriksaan dari si pacar,
kita bisa menghindarinya di situ. Lagipula, kurasa orang-orang lebih suka
melihatmu apa adanya daripada berpura-pura. Jadi, apa
kamu ingin menunjukkan sisi dirimu yang berbeda?”
“Ugh”
“Oke, akulah
yang menang~”
“Pertandingan
macam apaan emangnya....”
Amane masih
kelihatan tidak puas karena dikalahkan oleh teori yang begitu samar, tetapi ia
tampaknya berpikir bahwa perkataan Chitose ada benarnya, sehingga ia mengakhiri
argumen dengan teguran, “Jangan terlalu berlebihan, ya.”
“Yah,
asalkan kita yang menjadi objek foto tidak terlalu bercanda, seharusnya tidak
masalah. Selain itu, bukan cuma Chii doang, kupikir lebih baik kalau kita semua
berfoto bersama daripada satu orang hilang, jadi aku juga akan ikut berfoto.
Tidak ada kebocoran, jadi tenang saja.”
“Begitu
kamu melakukannya, aku tidak akan menemanimu dan Chitose belajar lagi.”
“Aku
tidak akan melakukannya!”
Jawaban
yang terlalu cepat itu membuat Mahiru dan Amane saling bertukar pandang dan
tertawa, lalu semua yang ada di sana ikut tertawa, menciptakan perasaan hangat
di dalam hati.
“Yah,
kalian berdua tidak perlu tegang, jadi lakukan saja seperti biasa. Aku
akan memotret kalian apa adanya.”
Itsuki
meyakinkan mereka bahwa semuanya akan baik-baik saja dengan senyuman nakal dan kedipan
mata. Dirinya sering bercanda dengan Amane
dan tahu mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta selalu menyelesaikan
tugas yang diminta dengan baik.
“Aku
merasa sedikit cemas, tapi aku percayakan padamu.”
“Sedikit
cemas? Itu mengerikan.”
“Coba ingat baik-baik semua tindakanmu sebelumnya.”
“...Yah seharusnya tidak
ada masalah.”
“Kamu
menyadari betul kenapa kamu terlihat tidak percaya
diri.”
“Aku tidak
tahu apa yang kamu bicarakan~?”
Dia sadar
betul bahwa mengalihkan pandangan sekilas juga merupakan pose yang ditujukan
kepada Amane.
Amane
tampaknya juga memahami hal ini, jadi dirinya
menghela napas dan mengangkat bahu dengan cara yang dramatis, lalu
tertawa.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
Meskipun mereka sudah memutuskan untuk mengambil
foto, tapi pada dasarnya tidak ada perubahan
besar yang terjadi.
Karena
mengikuti pelajarang merupakan hal yang wajib di sekolah,
jadi mereka tidak memiliki kesempatan untuk berfoto, dan kalaupun ada, biasanya orang-orang akan berfoto bersama saat memasuki jadwal istirahat atau makan
siang.
Hari ini,
Amane membawa bekal buatannya sendiri sehingga
Mahiru memujinya, diikuti oleh Yuuta dan yang lainnya. Hasilnya, foto Amane yang malu-malu seraya menoleh ke samping sementara
semua orang tertawa. Chitose
juga memotret suasana lomba penilaian bekal buatan Amane yang tiba-tiba
dimulai.
“Kalian
semua memakannya dengan sangat leluasa, ya... yah tidak apa-apa sih, karena ini
bekalku.”
Karena
topik tentang seberapa baik kemampuan memasak Amane muncul, acara tukar rasa
yang juga berfungsi sebagai penilaian pun dimulai, dan Amane tampak
keheranan.
“Kalau
itu buatan Mahirun, Amane pasti akan menguasainya, tapi karena ini buatan Amane, jadi kita bisa
tukar dengan lauk kita. Aku tidak berniat mengambil dari Mahirun, kok?”
“Jadi
kamu mengecualikan itu, ya?”
“Tidak,
maksudku, Mahirun juga
pasti ingin memonopoli bekal Amane untuk dirinya sendiri, kan?
Aku tidak sekejam itu.”
“Jadi,
menargetkan bekalku bukanlah tindakan kejam, ya?”
Sambil
bertukar kata seperti itu, mereka semua menyerbu
kotak bekal Amane dan saling memberikan komentar, seperti “Ini enak, kasih tahu resepnya,” “Aku
terkesan karena kamu serius
mengonsumsi sayuran,” dan “Sou-chan pasti menyukai ini.”
Orang-orang
di sini tahu bahwa Amane mulai memasak, tetapi kesempatan untuk mencicipi
masakannya hampir tidak pernah datang,
jadi kejadian ini cukup langka bagi
mereka.
Pada akhirnya,
bekal Amane hampir sepenuhnya diganti dengan lauk yang ditukar, dan sepertinya ia cukup
menikmati cita rasa masakan orang lain.
“Aku
tidak akan melakukannya lagi,”
katanya, tetapi Mahiru membaca ekspresi Amane dan merasa bahwa jika diminta,
dia mungkin akan bersedia untuk tukar lauk. Mahiru tersenyum kecil, berpikir
bahwa Amane bukanlah orang
yang bisa berkata jujur.
Sebagai catatan, dalam pemilihan lauk paling enak dari bekal Amane, semua sepakat bahwa bakso berisi telur puyuh adalah lauk yang terbaik.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
Setelah
menghabiskan waktu istirahat makan siang
seperti itu, setelah pelajaran selesai, mereka memutuskan untuk mengambil foto
saat bermain di luar.
Karena
Amane tidak mempunyai pekerjaan paruh waktu hari ini, hasil diskusi mereka memutuskan
untuk pergi ke fasilitas rekreasi dalam ruangan yang sedikit jauh, dan Ayaka lah yang terlihat paling senang dengan keputusan tersebut.
“Hmmm,
kalau dilihat-lihat lagi rupanya
Kadokawa-kun juga mempunyai otot yang lumayan kekar, ya. Postur tubuhnya juga
sangat indah dan stabil.”
Meskipun
Yuuta ahli dalam atletik, ia juga bisa bermain berbagai olahraga tanpa
kesulitan, dan bila tanpa keringanan, Amane dan Itsuki tidak bisa
mengimbanginya, sehingga Yuuta menang mutlak dalam berbagai permainan.
Melihat
mereka seperti itu, Ayaka pun berkata demikian.
Dia
tersenyum dan mengucapkannya sebagai pujian murni, tanpa maksud tersembunyi,
dan Mahiru serta yang
lainnya tidak salah paham. Namun, Yuuta yang dipuji tampak tersenyum canggung
sambil sedikit menyentakkan bahunya.
Yuuta
tampaknya mengetahui tentang hobi
Ayaka, tapi sepertinya ini baru
pertama kalinya ia menerima tanggapan pengamatan yang begitu langsung, sehingga
dirinya terlihat sangat bingung. Bisa
dibilang dirinya sedikit parno juga.
Namun,
Yuuta segera menghilangkan kesan tersebut dan mengucapkan ‘terima kasih’, jadi dia
adalah orang yang baik.
“Kalau Akazawa-kun sih, yah, berusahalah lebih keras lagi.”
“Memangnya
separah itu?”
“Masalahnya
bukan pada payah atau enggaknya, tapi rasanya lebih condong, kamu terlihat kurus.”
“Bukannya
aku sedang menyesuaikan diri dengan selera Kido.”
“Kalau pun mau disesuaikan, itu akan merepotkan. Aku sudah mempunyai Sou-chan,
maafin aku ya Akazawa-kun...”
“Aku
juga punya Chii, loh!?”
“Ihh~ jangan
bilang kamu selingkuh, Ikkun?”
“Bagaimana
bisa kamu menafsirkannya seperti
itu setelah mendengar hal tadi?”
Sambil
tertawa kecil karena keakraban mereka, Amane mendekat dan membisikkan ke
telinga.
“Ngomong-ngomong,
ap aku bisa mendapatkan nilai kelulusan dari Mahiru?”
Dirinya
merasa khawatir setelah mendengar bahwa Itsuki terlihat
kurus.
Amane memang memiliki tubuh yang ramping,
tetapi sejak musim semi, ia mulai berolahraga dan jogging untuk membangun
kekuatan, sehingga tubuhnya yang dulu kurus kering kini menjadi lebih berisi
dengan cara yang baik. Meskipun masih sulit dilihat melalui seragam kemejanya, Mahiru tahu bahwa usaha Amane
terwujud dari balik kaos dalamnya.
“Aku
akan memberikan nilai kelulusan berapa pun
untuk Amane-kun, tapi...
menurutku kamu sangat menawan. Meskipun
kurus, tapi ototmu terasa
padat.”
“Syukurlah
kalau begitu. Tapi tetap saja, kamu mungkin terpengaruh oleh Kido.”
“Memangnya
ada yang salah dengan diriku?”
Ayaka
yang sepertinya keluar dari percakapan tiba-tiba muncul, membuat Mahiru dan Amane
terkejut sejenak.
“Aku
cuma merasa
semakin yakin bahwa Kido sudah
menanamkan fetish pada Mahiru.”
“Aku
tidak meracuninya,
kok? Aku hanya membantu Shiinan-san menemukan daya tarik di situ.”
“Itu sih masih sama saja.”
“It-Itu
bukan salah Kido-san,
tau? Aku hanya suka melihat atau
menyentuh tubuh Amane-kun.”
“Mahiru,
cara bicaramu itu sangat menyesatkan,
jadi mari kita hentikan.”
Maksudnya
adalah dia suka mengikuti hasil usaha Amane dengan tatapan dan sentuhan, tetapi
Amane tampaknya menangkapnya dengan cara yang berbeda dan buru-buru menutup
mulut Mahiru dengan tangannya.
Suara
teredam keluar tanpa sengaja, dan dia melihat Amane dengan tatapan seolah
mengeluh, tetapi muka Amane yang seharusnya sudah tenang setelah
berolahraga mulai memerah, dan
menatap Mahiru dengan tatapan seolah memberi tahu.
“Hyuu~,
kalian mesra banget.”
“Kido.”
“Maaf.
Tapi sebenarnya, alasan mengapa
Shiina-san mengatakan itu karena dia terlalu menyukai Fujimiya-kun.”
Kalau
tidak, dia takkan mengatakan
hal yang berani seperti itu, tambah Ayaka sambil tertawa. Mahiru merenungkan kata-kata ‘berani’ di dalam hatinya.
Dia terlambat menyadari bahwa apa yang dia
katakan bisa dianggap sangat buruk tergantung dari cara mendengarnya, sehingga
pipinya memerah seperti Amane.
“Ma-Maksudku
bukan yang seperti itu.”
“Aku
tahu, aku tahu. Kamu terbuai usai melihat
keindahan fisik, lalu terpesona dan merasa bergairah
saat menyentuhnya, ‘kan?”
“Ta-Tapi aku
tidak sampai segitunya!?”
“Apa iya...?”
“Bahkan Amane-kun juga!”
Mahiru
bersikeras bahwa dia tidak terpesona seperti Ayaka, tapi tatapan Amane tidak menunjukkan persetujuan apapun,
dan Ayaka merasa puas dengan
senyuman hangat yang merekah di wajahnya.
“Menurutku sih, kamu bisa bebas menikmati sebanyak mungkin, loh?
Lagipula, itulah hak
istimewa seorang pacar.”
“It-Itu memang benar, tapi...”
“Oi, Kido. Jangan
menggoda Mahiru terus.”
“Eh~?”
“Jangan
memprotes 'eh~' begitu.”
“Kalian
bertiga dari tadi ngebahas apaan sih...”
Karena Amane, Mahiru dan Ayaka menjaga jarak sedikit menjauh,
Itsuki yang penasaran mendekati mereka bersama Chitose dan Yuuta.
“Ini
cuma pembicaraan bahwa Shiina-san sangat menyukai Fujimiya-kun.”
“Apa,
kalian berdua lagi-lagi mau pamer kemesraan, ya?”
“Bukan
itu sih, tapi sudah biarkan saja seperti
itu.”
Sepertinya
Amane tidak ingin menjelaskan apa yang terjadi sebelumnya, jadi ia memilih
untuk mengalihkan perhatian. Mahiru juga merasa lega karena
jika pernyataan sebelumnya diungkit kembali, Chitose pasti akan tersenyum dan
berkata, “Mahiru-chan
benar-benar berani”,
yang sudah bisa dia prediksi dari pengalaman mereka sebelumnya.
“Yah, aku
sih tidak masalah jika kalian berdua keliatan mesra, tapi tidak bisa mengambil
foto subjek yang penting saat mereka bermain itu sangat tidak masuk akal! Jadi,
ayo Mahirun, kita
juga bermain!”
“Eh,
ah, aku tidak berpakaian untuk bergerak seaktif itu.”
“Di
sana ada dart, panahan, dan biliar. Karena ini pusat permainan, ada juga
permainan capit,
permainan koin, dan permainan musik! Mumpung kita
sudah datang jauh-jauh kemari,
jadi kita harus bermain juga!”
“Serahkan
saja pemotretannya padaku dan bersenang-senanglah.”
“Iya, iya! Ayo!”
Chitose dengan semangat menggenggam tangan Mahiru
dan diikuti oleh Ayaka yang menggenggam sisi tangan yang berlawanan dan
mengangkatnya sedikit.
“Yuk,
mumpung sudah datang ke tempat seperti
ini, kita harus bersenang-senang. Ayo!”
Karena mengetahui bahwa Mahiru belum
pernah berkesempatan berada di tempat seperti ini sebelumnya, kedua gadis itu
tersenyum dan menggenggam tangannya.
Sambil merasa bimbang dengan apa yang
harus dilakukannya, Mahiru menoleh ke arah Amane, dan Amane-lah yang
memberinya tatapan memesona yang sama seperti yang diberikan Ayaka sebelumnya,
lalu tersenyum lembut.
“Kalau
sudah diundang, kamu harus pergi. Selamat bersenang-senang.”
Amane menunjukkan senyuman lembut seolah-olah sedang menyemangatinya, yang mana itu membuat Mahiru ragu sejenak, lalu dia melangkah maju dengan niat sendiri untuk berterima kasih kepada kedua temannya.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
Chitose
adalah tipe orang yang selalu menyelesaikan sesuatu setelah memutuskan untuk
melakukan sesuatu, dan dia
mengambil berbagai macam foto lebih sering daripada yang dibayangkan Mahiru.
Dimulai
dari acara penilaian bekal Amane beberapa hari yang lalu, mereka mengabadikan
berbagai adegan dalam foto-foto tersebut, termasuk kunjungan ke fasilitas
rekreasi, mengunjungi restoran
keluarga, sesi belajar di kelas, dan sesi membeli camilan. Itsuki, Ayaka, dan
Yuuta juga turut membantu, jadi pasti ada banyak gambar di mana mereka
berbicara dan bermain dengan berbagai macam orang.
Tentu
saja, tidak baik jika setiap hari mereka terus-menerus bersama, jadi dia
mengatakan bahwa pemotretannya sudah
cukup sampai di sini, tetapi dengan alasan ingin mengambil foto dengan suasana
yang ingin ditangkap terakhir kali, Chitose meminta Mahiru untuk melakukan
sesuatu.
“Hari
ini aku mau menginap di rumah Mahirun, jadi aku akan menjadi fotografer pribadi setelah sekolah.”
Sebenarnya,
dia berencana untuk mulai memilih
barang yang akan dikirim ke Koyuki, tetapi karena permintaan Chitose, hari ini
diperpanjang dan mereka akan melakukan pemotretan sepanjang hari.
Amane tadi pagi sempat berpikir
untuk melihat foto-foto yang diambil saat pulang
hari itu, tapi karena dirinyaa
tidak tahu apa-apa, jadi ia
melihat ke arah Mahiru yang sedang bersiap
pulang dengan wajah bingungan.
“Apa iya?” tanya Amane.
“Aku juga
baru mendengarnya.” Jawab
Mahiru.
“Mahirun!?”
“Hehe,
aku cuma bercanda. Terima
kasih banyak.”
“……Mahirun juga sudah mulai melakukannya,
ya.”
“Karena aku
saja yang terus-menerus digoda Chitose-san.”
“Justru
karena kamu terlalu sering digoda, jadi lebih banyak lagi yang harus kamu
lakukan.”
Sambil secara santai membawa tas Mahiru yang sudah siap, Amane mendukung lelucon Mahiru, sementara Chitose terlihat sedikit tidak puas tetapi tidak tampak keberatan, sehingga Mahiru tersenyum kecil dan menggenggam tangan Chitose saat mereka bertiga meninggalkan kelas.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
“Karena hari
ini ada Chitose-san, jadi mari kita membuatnya
dengan tiga porsi.”
Karena
Chitose akan menginap, tentu saja makan malam
yang akan disiapkan untuk tiga orang.
Hari ini Amane
tidak bekerja paruh waktu, jadi ia
berencana untuk mampir ke supermarket bersama sebelum memutuskan menu. Namun,
karena beberapa hari terakhir mereka selalu makan
di luar dan bermain, jadi isi
kulkas menjadi kosong. Akibatnya, mereka harus
berbelanja hari ini, tetapi karena Chitose datang mendadak, pada akhirnya semuanya bakalan tidak masalah.
Dalam
perjalanan menuju supermarket terdekat, mereka
bertiga mendiskusikan apa yang akan mereka masak untuk
makan malam nanti.
“Satu porsi
saja sudah cukup, Chitose?”
“Kenapa
aku dianggap sebagai gadis yang
makan banyak... tapi ini masakan tangan Mahiru yang langka, jadi ya. Hari ini menunya apa?”
“Hmmm,
kamu sendiri mau makan apa?”
“Sesuatu
yang pedas!”
Seperti
yang diperkirakan, permintaan dengan senyuman lebar dari Chitose membuat Amane
mengernyitkan dahi.
“Kamu
membuat wajah seperti sedang mengunyah sesuatu yang
pahit.”
“Yah,
aku tidak punya pilihan selain memprioritaskan keinginan tamu.”
“Tapi kamu
kelihatan enggan banget.”
“Karena standar
pedasmu jauh melebihi standarku.”
“Kalau
sudah melewati batas, semua terasa pedas, jadi tidak masalah.”
“……Mahiru.”
“Fufu,
aku akan membuatnya secara terpisah.”
Mahiru
sudah paham bahwa toleransi dan permintaan Chitose terhadap pedas sangat
tinggi, jadi saat permintaan itu muncul, dia berpikir bahwa ini harus dibuat
terpisah dari bagian Amane. Hal itu tidak merepotkannya sama sekali.
“Ngomong-ngomong,
apa ada permintaan spesifik?”
“Hmm,
aku juga tidak ingin terlalu
merepotkanmu... jadi, mari kita buat mapo tofu yang sederhana. Tahu itu
sehat, dan aku bisa memakannya banyak-banyak.”
Mahiru
merasa lega karena hidangan mapo tofu ternyata lebih mudah dimasak
daripada perkiraannya, karena dia bisa menyesuaikan tingkat kepedasannya dengan
menambahkan merica Sichuan, minyak cabai, atau cabai rawit setelah dimasak,
tanpa harus memasaknya secara terpisah. Namun, dia mendengar
suara Amane yang kecil dan ragu, “Sehat...?”
(Sebenarnya,
jika ditanya apa ini beneran
sehat, mungkin jawabannya tidak.)
Dia tidak
menggunakan bumbu instan dari toko, melainkan bumbu yang dicampur sendiri
dengan banyak daging cincang, jadi jika dipikirkan tentang minyak cabai yang
digunakan untuk penyesuaian, tidak bisa dibilang ini sangat sehat... tetapi
rasanya tidak baik untuk mengungkapkan hal itu kepada Chitose, jadi Mahiru memilih untuk diam.
Tahu
'lebih' sehat dibandingkan daging, jadi itu
tidak ada salahnya.
Setelah
menyadari bahwa Mahiru menahan komentar, Amane tampak membuat wajah seolah
berkata “ahh” tapi ia juga tidak berniat
mengacaukan kebahagiaan polos Chitose.
“Bagaimana
dengan lauk pendampingnya?”
“Yang
tidak pedas.”
“Kamu pikir
sepedas apa yang aku mau... aku tidak punya selera lain, jadi kurasa kalian berdua
yang memutuskan apa yang kalian suka.”
Karena mereka tidak terlalu pilih-pilih makanan asalkan enak, Mahiru memutuskan untuk memilih sesuatu yang cukup ringan dan sehat, lalu dia secara diam-diam memberi isyarat kepada Amane untuk mencatat isi belanja hari ini dalam pikirannya.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
Berbelanja di supermarket tidak memakan waktu lama. Mahiru sudah memutuskan apa yang akan dimasak, dan biasanya mereka akan berkonsultasi sedikit sambil membeli makanan untuk beberapa hari, tetapi karena ada tamu, mereka hanya membeli untuk hari ini. Paling-paling hanya tambahan satu paket telur dan susu, jadi tidak terlalu banyak barang yang harus dibawa. Meskipun ada dua tas.
“Eh,
aku akan membawanya.”
Amane
yang memegang tas Mahiru dan barang-barang yang dibeli di supermarket, sehingga
kedua tangannya terisi. Selain itu, ia juga membawa barang-barangnya sendiri,
jadi tampaknya cukup berat.
“Ini
tidak berat, jadi tidak masalah.”
“Kamu jadi membawa semuanya...”
“Ini
tidak terlalu berat, jadi santai saja.”
“Di
dalam ada buku pelajaran...”
“Setidaknya
aku sudah berlatih dan di tempat kerjaku
juga aku sering mengangkat
barang berat, jadi tidak masalah.”
Karena
dia seharusnya membawa tasnya sendiri, Mahiru merasa sangat bersalah karena Amane
dengan baik hati membawanya, tetapi Amane sama sekali tidak menunjukkan
tanda-tanda ingin menyerah.
“Hmm,
dasar priyayi.”
“Jangan
meledekku.”
Melihat Amane
yang seperti itu, Chitose tampaknya tersenyum-senyum, tetapi Amane tetap bersikap keras kepala dan tidak mau
menyerahkan barang-barangnya. Mahiru merasa tidak enak, jadi jika bisa, dia
ingin membawa setidaknya barangnya sendiri, tapi saat dia
berpikir bagaimana cara meyakinkan Amane, Chitose
tiba-tiba mendekatinya.
“Mahirun, Mahirun, di saat
seperti ini, kamu harus bilang kamu ingin bergandeng tangan... ia pasti akan menyerahkan barangnya.”
“Begitu
ya!”
“Chitose,
jangan mengatakan hal yang tidak perlu.”
“Eh,
jadi bergandeng tangan itu hal
yang tidak perlu?”
“Bukan begitu maksudku!”
Amane
segera menggelengkan kepala dan membantahnya,
jadi Mahiru merasa ini adalah kesempatan yang baik dan mendekatkan jaraknya
dengan Amane sambil menatapnya dengan ragu.
Chitose
mengajarkan bahwa dalam situasi seperti ini, yang terpenting adalah
berusaha.
“…Apa
kita tidak bisa bergandeng tangan saat pulang?”
“Ugh...”
“Aku
tidak ingin hanya membebankan semuanya kepada Amane-kun. Aku ingin berbagi beban ini...
tapi, kamu tidak mau, Amane-kun?”
Sambil
berjalan, dia menurunkan alisnya seolah terlihat kesulitan.
“…Ke
sini, ambillah.”
Setelah
terus menatapnya, Amane
akhirnya menyerah dan menghela napas, lalu menyerahkan barang yang menghalangi
satu tangannya.
──Hanya
sebuah tas kecil yang berisi telur dan bumbu masakan.
“Ini
bukan tas yang berat, kan?”
Padahal
bukan itu!
Mahiru menatap Amane dengan ketidakpuasan, tetapi Amane berpura-pura tidak menyadarinya.
“Kita berbagi
beban dan bergandeng tangan. Aku sudah menepati janjiku. Aku tidak berbohong.”
Tas
Mahiru yang dipegangnya bersamaan dengan tas ringan itu sekarang dipindahkan ke
tangan yang sama, sehingga satu tangannya kosong. Memang benar kalau keinginannya untuk
bergandeng tangan dan berbagi beban telah terpenuhi, tetapi bukan dalam
pengertian itu.
“Amane
sekarang jauh lebih pintar, ya. Ada bagusnya kalian akrab banget, syukurlah.”
Dengan
satu tangan yang kosong, Amane mengambil tangan Mahiru dan menggenggamnya
seolah menenangkan. Chitose, yang merupakan penggoda utama, tertawa
senang.
Amane di
sampingnya juga tersenyum seperti Chitose.
“Lihat,
jangan rewel. Janji sudah ditepati, kan?”
“Rewel...
mouu, mouu!”
Mahiru
menatap Amane seolah-olah ingin menyalahkannya,
tapi Amane tidak menunjukkan tanda-tanda terganggu dan terus tersenyum
menenangkan Mahiru. Mahiru membayangkan perasaan Amane saat mengeluh sebelumnya
dan menggigit bibirnya.
Dia
mendengar suara Chitose yang tertawa di belakang, tapi Mahiru menyerah dan
melanjutkan berjalan di sampingnya.
Tangan
yang digenggam erat seakan-akan
tidak ingin membiarkan Mahiru pergi.
Merasakan kehangatan dan kekerasan tangan Amane, kemarahan kecilnya
perlahan-lahan menghilang, berubah menjadi rasa tidak sabar dan geli.
“…Selanjutnya,
kita bagi dua, ya.”
“Ya,
ya.”
“Kita bagi berdasarkan beratnya.”
Mahiru menggenggam tangan Amane dengan erat dan menegurnya karena tidak menjawab, tetapi telapak tangannya yang keras tidak bergerak sedikit pun. Saat merasa malu dan kesal karena merasakan sisi maskulin Amane di saat-saat seperti ini, Mahiru mengatupkan bibirnya dengan kuat, dan Amane tersenyum kecil sambil lembut menggenggam kembali tangan Mahiru.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
“Jadi,
silakan jalani hari seperti biasa.”
“Itu
terlalu sulit.”
Setelah
mereka bertiga tiba di unit apartemen Amane, Chitose langsung mengatakannya, dan Amane segera membantah. Jika hanya berdua seperti
biasanya, itu masih bisa dimengerti, tetapi sekarang ada Chitose di sini.
Dia
adalah teman dekat yang tidak perlu dijaga perasaannya dan juga orang yang
telah mengawasi proses mereka berpacaran, tetapi dilihat berdua seperti biasanya
pasti lebih memalukan.
“Kamu bisa
mengabaikanku!”
“Aku
tetap khawatir.”
“Kalian
boleh berpacaran sepuasnya, lho?”
“Aku
tahu kamu akan memanfaatkan kesempatan ini untuk mengambil foto.”
“Jadi kamu
mengerti, ya?”
Sepertinya
tujuan Chitose memang itu, dia menggoyangkan smartphone-nya dengan percaya diri
sambil tersenyum nakal, membuat pelipis Amane bergetar.
Amane
yang terlihat jelas kesal tidak peduli dengan hal itu.
Dengan
senyuman ringan yang sangat biasa, Chitose berkata, “Kyaaa, seram. Ayo kita foto,” sambil bersikap santai dengan
smartphone-nya, sehingga Amane mendengus pelan, “Menyebalkan
sekali...”.
Amane
mungkin tidak benar-benar marah atau kesal, tetapi dirinya jelas sedikit merasa
terganggu.
Jadi, Mahiru berusaha menenangkan Amane yang tampak mulai cemberut dan pergi ke dapur untuk membuatkan teh susu kesukaannya.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
Setelah
sedikit bercanda dan mengembalikan suasana hati Amane, mereka memutuskan untuk
segera menyiapkan makan malam, jadi mereka berdua berdiri di dapur.
“Aku
akan mengambil foto yang bagus, jadi jangan khawatir.”
Chitose
dengan bangga mengarahkan smartphone-nya dari balik meja. Dia memang mengatakan ingin mengambil foto
suasana mereka yang biasa, tetapi jika sampai seberani ini, rasanya agak
canggung bagi mereka yang difoto.
“Kenapa
kamu terlihat senang begitu?”
“Eh?
Tentu saja menyenangkan melihat kalian berdua bahagia! Lagipula, mungkin bisa
menjadi referensi untuk memasak. Aku juga ingin bisa membuat masakan pedas enak
seperti yang dibuat Mahirun!”
“Pedas...?”
“Kenapa kamu
selalu berkutat sama yang ity...? Ya sudah, ini kesempatan
untuk menunjukkan bahwa Amane adalah pria yang hebat, kan?”
“Kenapa
harus melakukan hal yang berlebihan seperti itu?”
Amane
tidak bisa menyembunyikan rasa herannya terhadap cara bicara Chitose, tetapi
Mahiru merasa bahwa itu bukan sesuatu yang perlu ditekankan. Dia sudah memberi
tahu Koyuki bahwa dia biasa memasak
bersama Amane, dan itu bukanlah hal yang aneh atau tidak biasa, jadi Koyuki
tahu bahwa itu adalah kegiatan sehari-hari mereka. Jika tujuannya untuk merekam
kehidupan sehari-hari, itu bisa dimengerti, tapi menekankan hal itu terasa
tidak tepat.
Amane
tampaknya merasakan hal yang sama dan berkata, “Memangnya
kamu bodoh apa?” sambil mengenakan celemek. Chitose yang melihat penampilan
langka Amane langsung mengambil foto, sementara Amane membiarkannya dan
mengambil bahan-bahan untuk makan malam dari dalam
kulkas.
“Bagaimana
kalau kita mulai dengan membuat lauk pendamping? Kita ingin mendinginkannya.”
“Mapo tofu
enaknya dimakan panas-panas.”
Hari ini,
lauk yang akan disiapkan adalah sawi putih dengan saus asam manis dan labu
rebus, serta sup telur dan tomat. Mahiru merasa sedikit kurang dengan sayuran
hijau, jadi dia berencana menambahkan kacang hijau yang sudah dimasak
sebelumnya untuk mempercantik hidangan.
Mereka
memutuskan untuk membuat sawi putih dengan saus asam manis dan labu rebus
terlebih dahulu, jadi Mahiru dan Amane masing-masing akan bekerja
terpisah.
Di awal
mereka mulai memasak bersama, Amane
sering mendapat dukungan dari Mahiru,
tetapi sekarang Amane sudah bisa memasak sendiri dengan mempertimbangkan
gerakan Mahiru agar tidak mengganggu.
Dirinya bisa memprediksi langkah
selanjutnya dari apa yang dilakukan Mahiru, sehingga memasak menjadi lebih
lancar dengan Amane berada di sampingnya.
“Mahiru,
apa kita akan menggunakan cabai untuk Mapo
Tofu?”
“Tidak,
aku tidak berniat memakainya. Tapi aku
akan menambahkan sedikit bubuk cabai.”
“Bubuknya masih
tinggal sedikit lagi, boleh aku
menggunakannya?”
“Tentu
saja. Aku punya cadangan, jika tidak cukup, aku bisa ambil yang baru.”
“Tidak
perlu.”
"Jawaban
yang cepat, ya."
Melihat Amane
yang bersikeras menolak makanan pedas membuat Mahiru tertawa. Amane tampak
kesal dan berkata dengan nada jengkel, “Pedasnya yang sedang-sedang saja,
tidak perlu terlalu pedas.”
Mahiru
menyukai sisi manis Amane dan tersenyum sambil memasukkan labu yang sudah
dipotong ke dalam kaldu. Saat itu, dia menyadari ada kamera yang muncul dalam
pandangannya.
Kamera
itu diarahkan ke arahnya dengan hati-hati.
“Chitose-san?”
“Apa~?”
“Itu
untuk foto, ‘kan?”
Gerakan
kamera itu jelas-jelas
bukan untuk mengambil foto.
Ucapan Mahiru
tampaknya menarik perhatian Amane, yang juga menghentikan pekerjaannya dan
mengangkat wajahnya, menyipitkan mata.
“Oi,
kamu tidak merekam video, kan?”
“Kamu
sangat peka, ya.”
“Apa
maksudnya dengan peka?”
Sepertinya
dia sibuk mengambil beberapa foto sebelumnya, tapi sekarang entah kenapa dia
beralih jadi merekam video, dan meskipun Amane
melontarkan komentar, dia hanya tertawa dan tidak berniat menekan tombol
berhenti merekam.
“Ini
bukan untuk dikirim, karena suaraku terekam dan kamu bersikap dingin padaku.”
“Karena kamu
duluan yang memulainya.”
“Sudah,
sudah. Aku yakin kalau
Chitose-san juga tahu batasannya.”
“Nanti
akan kukirimkan untuk kalian berdua. Ufufu.”
“Apa-apaan dengan senyummu itu?”
“Tidak
ada apa-apa~.”
Meskipun Mahiru tampak sangat senang, dia tidak bisa bertanya lebih jauh karena mereka sedang memasak dan harus berhati-hati dengan api, sehingga mereka melanjutkan memasak tanpa mengetahui maksud senyuman ceria itu.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
Setelah
selesai memasak makan malam, tentu saja meja makan biasa tidak cukup untuk tiga
orang, jadi mereka menyusun makanan di meja rendah. Chitose melihat dengan
kagum saat makanan disusun satu per satu.
Makanan
itu tidak terkesan mewah, meskipun dia memenuhi permintaan, menu makan malam
itu tetaplah sederhana. Mereka memperhatikan penampilan agar terlihat menarik
dan berusaha menjaga keseimbangan nutrisi, tetapi tetap saja itu adalah makanan
biasa.
Meskipun
tidak ada yang luar biasa, Chitose tampaknya menemukan hal itu menarik dan
kembali menatap makanan yang sudah lengkap.
“…Apa
Amane setiap hari menyantap makanan
seperti ini?”
“Aku
tidak tahu apa yang kamu maksud dengan 'seperti ini', tetapi biasanya
begini. Satu hidangan utama, dua atau tiga lauk pendamping,
dan sup. Meskipun tidak ada hidangan
pedas seperti sekarang.”
“Kalau
disajikan seperti itu, Amane-kun
pasti akan marah.”
Mapo Tofu yang diminta Chitose
dibuat terpisah untuk Mahiru, Chitose, dan Amane. Untuk bagian Amane, ia menggunakan cara
dan bumbu yang biasa, sehingga rasanya hanya sedikit pedas. Namun, untuk Mahiru
dan Chitose, meskipun dasarnya sama, mereka menambahkan bubuk cabai dan
menambahkan lada Sichuan atau minyak cabai setelah disajikan untuk meningkatkan
rasa pedas dan umami.
Kadar
kepedasan yang cukup membuat keringat keluar, tetapi bukan hanya pedas,
melainkan juga memiliki sensasi kesedapan dan rasa umami yang membakar lidah,
dengan aroma yang sangat menggugah selera.
“Mana
mungkin aku bisa makan makanan pedas menurut standar Chitose.”
“Tapi Mahirun bisa memakannya.”
“Aku
sekarang cukup menyukainya, jadi… tolong jangan menyiksa Amane-kun.”
“Kurasa
karena kemampuan memasak Mahirun lah yang menyiksanya.”
“Itulah
mengapa aku membuatnya terpisah.”
“Aku
sangat berterima kasih. Aku akan mencuci piring, jadi tidak masalah jika
piringnya bertambah. Aku merasa sedikit bersalah karena merepotkan Mahiru,
tetapi aku juga mengerti kalau kamu
ingin menyajikan sesuatu yang disukai Chitose karena dia sudah jauh-jauh datang
ke sini.”
Walaupun Amane
tidak menganggap ini sebagai masalah besar, tapi ia merasa menyesal karena ‘secara khusus’ membuatnya. Ia tidak menghentikan niatnya
untuk menyambut Chitose, tetapi wajahnya menunjukkan bahwa dia tidak bisa makan
makanan pedas sesuai standar Chitose, jadi tidak ada pilihan lain.
“Umm,
di bagian itu kamu benar-benar baik hati. Meskipun aku senang bisa mendapatkan
apa yang aku suka, kan? Sesekali Amane juga harus mencoba tantangan.”
“Tidak
mau.”
Amane
menolak dengan tegas, dan Mahiru serta Chitose saling memandang dan tertawa,
lalu mereka mulai menikmati makan malam sebelum makanan menjadi dingin.
Mapo tofu
yang disiapkan panas-panas, ketika masuk ke dalam mulut,
aroma lada Sichuan yang segar dan cerah terasa pertama kali. Kemudian rasa
pedas menyerang lidahnya.
Rasa
pedasnya tidak hanya sekedar pedas, tetapi juga keharuman daging cincang yang
dipanggang dengan baik, yang berpadu sempurna dengan tahu yang teksturnya halus
dan kenyal karena direbus dengan tepat, menciptakan rasa umami yang kuat di
lidah.
Setelah
itu, sensasi kesedapan yang berbeda mengikuti, dan hal tersebut meningkatkan rasa
lezatnya. Namun, ini mungkin hanya bagi mereka yang menyukai makanan
pedas.
“Enak!
Bagaimana caranya kamu membuat ini?”
Dilihat dari
wajah Chitose yang cerah dan semangat saat menyantapnya
dengan nasi, sepertinya makanan itu cocok di lidahnya.
“Sebenarnya
memasaknya tidak sesulit itu. Cukup
merebus tahu, memasak daging cincang hingga matang, tidak terlalu banyak
mengaduk, dan menggiling lada Sichuan tepat sebelum disajikan, itu saja.”
Tanpa
melalui proses menggoreng, ini termasuk kategori yang cukup mudah. Dalam resep
pedas lainnya yang dimiliki Mahiru, biasanya melibatkan proses menggoreng atau
penggabungan bumbu seperti kari, jadi Mapo
tofu yang bisa disiapkan dengan
sedikit usaha namun tetap pedas dan enak, sering kali dibuatnya saat Amane
tidak ada di rumah.
Melihat
Chitose yang tersenyum lebar dan menyantapnya
dengan sangat puas, Amane pun penasaran apakah rasanya
benar-benar enak, lalu dia melirik Mapo
tofu milik Mahiru di sampingnya.
“…Ngomong-ngomong,
pedasnya sampai seberapa?”
“Hmm,
tidak terlalu pedas, kok? Mau
coba?”
Kalau
boleh, ia mau mencobanya, jadi
karena sudah
repot-repot menunjukkan minatnya,
Amane jadi ingin mencobanya.
“Aku
tidak akan mati, kan?”
“Tenang
saja. Mungkin.”
“Mungkin?”
“Sejujurnya,
rasa pedas dari cabai dan rasa pedas dari lada Sichuan itu sedikit berbeda,
jadi… kali ini cukup terasa pedas, jadi rasanya cukup berani.”
Chitose
dan Mahiru menambahkan sedikit bumbu sambil menuangkan lada Sichuan yang baru
digiling dan minyak cabai ke dalam porsi mereka. Meskipun Amane tidak terlalu
suka makanan pedas, sepertinya ini tetap akan membuatnya merasakan kepedasan
yang cukup kuat, dan bisa dibayangkan bahwa dirinya
akan merasakan kesengsaraan untuk sementara waktu.
“Kalau
penasaran, coba ambil satu sendok dengan sendok sayur,” kata Mahiru sambil mengarahkan
pegangan sendok ke arah Amane agar lebih mudah diambil. Namun, Amane tampak
ragu untuk mengambilnya.
“Kamu
sangat ketakutan, ya.”
“Memangnya
ada yang tidak merasa takut setelah mendengar itu?”
“Aku
sih tidak masalah sama sekali.”
“Jangan
berharap aku punya ketahanan seperti itu.”
Sambil meladeni ledekan Chitose, pandangan Amane
tetap tertuju pada Mapo tofu.
Mahiru,
yang merasa Amane pasti akan memakannya, berdiri untuk mengambil minuman dari
dapur. Dia sudah membeli yogurt minum untuk situasi seperti ini, jadi dia
menuangkannya sambil mengawasi ke arah ruang tamu, dan melihat Amane yang
tampaknya sudah memutuskan untuk mencoba Mapo
tofu milik Mahiru dengan
hati-hati.
Setelah
itu, Amane langsung menutupi mulutnya.
Ekspresi
wajahnya yang bingung terlihat jelas dari dapur. Meskipun tidak ada tanda-tanda
bahwa makanan itu tidak enak, jelas sekali bahwa rasanya pedas, terlihat dari
tubuhnya yang bergetar kecil. Karena tidak sampai terjatuh, seharusnya itu
bukanlah kepedasan yang tidak bisa ditoleransi.
“Aku
hampir menangis karena pedassnya.”
Amane
yang tampaknya berhasil menelan makanan itu mengeluarkan suara lemah.
“Apa
ini penampilan pertama Amane yang menangis? Foto yang
langka!”
“Jangan
bercanda! Jangan ambil foto!”
“Sepertinya
itu tidak boleh.”
“Tentu
saja tidak boleh, dan aku tidak menangis.”
“Bagi
orang yang tidak suka makanan pedas, mungkin hanya rasa asin yang terasa karena
kepedasan dan kesedapan. Ini, Amane-kun, yogurt minumnya. Entah apakah rasa pedasnya akan
hilang, tapi coba saja.”
“Terima
kasih...”
Mahiru
kembali dari dapur dan menyerahkan yogurt minum kepada Amane, dan tanpa ragu, Amane
langsung meminumnya dengan cepat. “Sepertinya
ia benar-benar tidak bisa menanganinya...” sebagai pembuat makanan, ketimbang merasa sedih, Mahiru justru merasa bingung.
Setelah
menghabiskan satu gelas yogurt, Amane akhirnya bisa bernafas lega dan menghela
napas panjang. Di dahinya terlihat keringat, menunjukkan bahwa satu suapan
sangat mempengaruhi metabolisme tubuhnya.
“Aku
sudah tahu ini mustahil
untukku.”
“Aku
sudah tahu.”
“Kalau
sudah tahu, jangan coba-coba memaksaku
untuk memakannya."”
“Aku
hanya ingin berbagi makanan enak.”
“Yang
tidak mungkin ya tetap tidak mungkin. Tapi, yah, aku merasa sedih karena aku
tidak bisa merasakan kelezatan ini.”
Melihat Amane
yang terlihat lesu karena tidak bisa menikmati makanan, Mahiru tersenyum sambil
berpikir bahwa ia terlihat sedikit imut, meskipun jika diberitahi secara langsung, mungkin Amane akan marah.
“Setiap
orang pasti punya sesuatu yang tidak disukai, jadi tidak apa-apa. Mapo tofu
biasa itu pasti enak, kan?”
“Tentu
saja.”
“Kalau
begitu, tidak masalah.”
Mahiru berpikir tidak semua hal harus sama. Setiap orang bisa mengambil apa
yang mereka anggap baik, dan jika saran seseorang tidak disukai, maka sudah
sepantasnya kita menerima bahwa selera orang berbeda-beda. Yang penting adalah
menghormati selera orang lain, dan tidak perlu ada yang memaksakan diri untuk
menyesuaikan.
“Ayo,
kita makan sebelum makanan ini dingin. Mapo tofu
yang enak ini juga harus dimakan selagi masih panas, kan?"
Makanan yang enak harus dinikmati selagi masih enak, sambil memberi sedikit dorongan pada punggung Amane. Meskipun hanya sedikit didorong, Amane tampak terkejut dan berkata dengan suara yang lebih ringan, “Iya juga ya,” sehingga Mahiru tersenyum lagi sebelum kembali memegang sumpit.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
Meskipun
sudah disajikan dalam jumlah yang cukup, Chitose yang menghabiskan makanan
dengan luar biasa tampak sangat puas sambil mengusap perutnya.
“Fyuh, kenyang, kenyang. Terima kasih untuk
makanannya.”
“Sama-sama.
Senang sekali bisa melihatmu makan begitu lahap.”
Chitose
hampir tidak memiliki makanan yang tidak disukai dan cara makannya yang megah
namun tetap halus membuatnya menghabiskan makanan dengan rapi, sehingga sebagai
pembuat makanan, itu sangat menyenangkan dan menggembirakan.
“Karena
rasanya enak sih! Aku jadi ingin memakannya setiap hari.”
“Itu
hakku, jadi tidak bisa.”
“Hee~masa
sih?”
Chitose
berbisik sambil tersenyum nakal, membuat Mahiru merasa sedikit malu dan
merapatkan bahunya. Meskipun Amane tidak bermaksud
demikian, Mahiru mengingat kembali
percakapannya dengan
Koyuki dan berusaha menahan rasa malu agar tidak terlihat.
Entah Amane
tahu atau tidak mengenai kesabaran Mahiru, dirinya
mengangkat nampan berisi piring semua orang dan berdiri.
“Baiklah,
tamu yang terhormat, silakan bercakap-cakap
dengan koki. Aku akan membereskan ini.”
“Eh,
aku juga.”
“Tidak
boleh. Jangan ambil pekerjaanku.”
“Bener banget. Mahirun, kamu tidak perlu terlalu
berusaha, nanti kamu kelelahan. Kalau
Amane bilang begitu, lebih baik kamu bersikap manja padanya saja.”
Entah
kenapa, kali ini Chitose yang mengendalikan situasi, mengajak Mahiru duduk di
sofa dengan santai. Namun,
Mahiru masih merasa enggan sehingga
Amane berkata, “Bagus,
Chitose, tahan dia di situ,”
menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak berniat membiarkan Mahiru
membantu.
Melihat
situasi tersebut, Mahiru menyadari jika dia mengikuti Amane ke
dapur, dia pasti akan diusir, jadi setelah mengeluh sedikit, “Muu,” dia akhirnya duduk di samping
Chitose.
Amane
melihat ke arah mereka dengan puas dan membawa piring-piring ke wastafel.
“Astaga,
bagaimana ya bilangnya, kamu sudah menjadi orang yang
bertanggung jawab, ya.”
Melihat Amane yang seperti itu, Chitose
mengeluarkan pendapatnya dengan penuh perasaan.
“Hehe,
ia sangat berbeda dari awal.”
“Aku
mendengar dari Ikkun bahwa kamarnya
sangat berantakan.”
“Yah,
memang begitu.”
Sambil
mendengar suara air dari dapur, Mahiru teringat kejadian lebih dari setahun
yang lalu. Saat
pertama kali bertemu Amane, kamarnya sangat berantakan sehingga tidak ada ruang
untuk sanjungan.
Pertama-tama, pakaian yang sudah dicuci
tergeletak di lantai ruang tamu, dan majalah-majalah ditumpuk secara acak atau
dibuang sembarangan di lantai. Di atas meja, sumpit sekali pakai dan sendok
plastik berserakan, sementara lembaran-lembaran yang dibagikan di sekolah
dimasukkan secara sembarangan ke dalam kotak tanpa dibaca dengan baik.
Untungnya,
tampaknya akal sehatnya masih bekerja
dan dirinya tidak membiarkan serangga hitam
muncul, jadi Amane masih cukup
baik dalam mengelola sampah sisa makanan. Tidak ada lalat kecil, dan hanya saja
itu adalah contoh klasik dari seseorang yang tidak bisa membereskan
barang-barang, seolah-olah bisa muncul di buku tentang kebersihan.
“Kamar
berantakan?”
“Kotor...
hmm, mungkin masih dalam batas yang bisa dibilang belum sepenuhnya beres?”
“Memang
sangat berantakan.”
“Tapi
tidak menumpuk sampah sisa makanan saja sudah
merupakan hal yang bisa dipuji.”
“Syukurlah,
masih dalam batas yang bisa diterima.”
“Ngomong-ngomong,
aku bisa mendengar semuanya. Tapi
aku tidak menyangkal karena itu fakta sih.”
Dengan
suara yang cukup keras, sepertinya suara obrolan
mereka bisa terdengar
sampai ke dapur, dan Amane yang memegang piring dan
spons menatap mereka berdua dengan
tajam.
“Aku
hanya menceritakan perjalanan pertumbuhanmu, bukan mengumpat. Jika kamu merasa
itu mengumpat, coba renungkan dirimu yang dulu.”
“Ugh...
aku mengerti itu.”
Begitu
dia diserang dengan pernyataan itu, Amane tampak tidak bisa membantah dan hanya
menutup bibirnya, sementara Chitose tertawa lebar.
“Dan begitulah,
sekarang ia sudah
seperti ini.”
“Setelah
sekitar enam bulan bertemu, ia sudah bisa melakukan banyak hal, kan? Masakannya
juga semakin berkembang.”
Mahiru,
yang telah menghabiskan waktu bersamanya hingga saat ini, tahu betul bahwa
Amane adalah orang yang berusaha dan bisa melakukan apa saja jika ia mau
berusaha.
Pada
awalnya, Amane memang
tidak bisa membereskan dan memasak, sehingga Mahiru bertanya-tanya bagaimana ia
bisa menjalani kehidupan sendiri. Namun, ketika Mahiru
mengajarinya dengan tulus, Amane juga belajar dengan serius dan mulai mampu
melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak bisa.
Kamar
yang dulunya berantakan kini bisa dijaga kebersihannya tanpa bantuan instruksi
dari Mahiru, dan Amane bisa
memasak sebagian besar resep hanya dengan melihat petunjuk. Dirinya sudah pandai memperhatikan
orang lain, dan kini ia semakin terampil dalam menjaga kesehatan Mahiru dan
dirinya sendiri.
Selain
itu, mungkin karena mulai menyadari pentingnya perbaikan diri, Amane mulai
berusaha dalam belajar, latihan, dan perawatan kecantikan. Hasilnya, dirinya menjadi sosok yang jauh lebih
baik dibandingkan dengan Amane yang pertama kali mereka temui, meskipun
kebaikan dan kejujurannya tetap tidak berubah.
“Jelas
saja, jika Amane tidak menunjukkan adanya
perkembangan dalam enam bulan di bawah pengawasan Mahirun, itu menunjukkan kurangnya
kemampuan belajar yang parah.”
“Dia
tumbuh lebih dari yang kubayangkan. Ada banyak
aspek yang berubah.”
“Termasuk
otot?”
“Bahkan
Chitose-san ikut-ikutan menggodaku begitu...”
“Habisnya~,
fetish Mahiru pada Amane memang luar
biasa.”
“Itu
bukan fetish, itu hanya karena dia terlalu
menyukaiku.”
“Oh?
Kamu sangat percaya diri, ya?”
“Karena
kenyataannya aku dicintai.”
Amane
mengatakannya dengan santa seolah-olah sedang menelan teh dengan cepat, membuat
Mahiru merasa malu.
Mahiru
merasa senang bahwa Amane menyadari hal itu, dan semua
usaha yang telah dilakukannya
terasa terbayar, tetapi ketika mendengarnya langsung, rasa senang itu dikalahkan oleh rasa malu.
“Kamu benar-benar
tumbuh dan jadi kurang menggemaskan, ya.”
“Sejak
awal memang tidak ada yang menggemaskan. Lagipula, setelah kamu berkali-kali meledekku untuk lebih jujur, sekarang kenapa kamu malah menggodaku setelah aku sudah jujur?”
“Itu
karena cinta.”
“Itu sih
cinta yang menyimpang, ya.”
Kalau begitu, aku tidak membutuhkannya, pikir Amane dengan wajah dan suara serius sambil melanjutkan mencuci piring. Chitose berkata sambil tertawa, “Satu-satunya perasaan cinta yang dibutuhkan itu cuma dari Mahirun doang ‘kan, ya,” membuat Mahiru tidak bisa berkata apa-apa dan hanya merasakan kembali panas tubuhnya yang tidak sama seperti saat makan malam tadi.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
Karena hari
ini mereka menginap, jadi Mahiru dan Chitose keluar dari rumah Amane
sedikit lebih awal dan bersantai mandi di rumah Mahiru untuk bersiap-siap.
Karena
besok masih ada jadwal sekolah, mereka tidak bisa
begadang, jadi mereka bersiap-siap lebih awal. Namun, karena mereka mandi
secara terpisah, itu memakan waktu cukup lama, dan ketika semua persiapan
selesai, waktu sudah sedikit lebih awal dari biasanya mereka tidur.
Chitose
sering menginap di rumah Mahiru, jadi dia sudah terbiasa. Dia mengenakan piyama
yang mereka beli bersama dan duduk di tempat tidur sambil melakukan sedikit
peregangan.
“Belakangan
ini aku jarang menginap di rumah Mahirun,
jadi rasanya sudah lama banget. Tempat tidur Mahiru yang empuk
itu nyaman banget.”
“Aku
percaya kita harus mengeluarkan uang untuk tempat tidur. Lagipula, tubuh adalah modal kita.”
“Mahirun sangat menghargai hal-hal
seperti itu, ya.”
“Aku
diajari bahwa sekali tubuh rusak, sulit untuk sembuh.”
Koyuki
mengajarinya bahwa dirinya harus menggunakan barang-barang
berkualitas tinggi untuk barang-barang yang masuk ke dalam atau bersentuhan
langsung dengan tubuhnya. Karena
dampaknya besar, jika tidak memperhatikan, itu akan berpengaruh di kemudian
hari. Tidak masalah saat masih muda, tetapi perbedaannya akan terlihat seiring bertambahnya
usia, dan Mahiru terkesan ketika dia mengatakan itu.
Meskipun
begitu, dia tidak terlalu terikat pada barang-barang yang sangat mahal, tetapi
dia memilih barang-barang yang sesuai dan nyaman untuk digunakan dalam
kehidupannya. Mahiru cukup memperhatikan
tempat tidurnya, memilih yang besar sehingga beban tubuh terdistribusi dengan
baik dan nyaman untuk tidur, begitu juga dengan bantalnya.
Mahiru
yang sangat teliti dalam hal ini membuat Chitose mengangguk dengan ekspresi
tenang.
“Orang
itu pasti sangat menghargai Mahiru, ya.”
“Semoga
saja.”
“Kamu
seharusnya pada dirimu sendiri. ... Boleh aku bertanya
tentang orang tua angkatmu, Mahirun?”
“Tidak
masalah.”
Sebenarnya,
Mahiru belum pernah memberitahu Chitose tentang Koyuki.
Dia memang
sudah menyampaikan bahwa Koyuki adalah orang tua angkat
yang telah merawatnya, tapi dia belum menjelaskan seperti apa
orangnya dan bagaimana dia merawat Mahiru. Ada waktu ketika dirinya merasa enggan untuk membahas
orang tua karena masalah yang dihadapinya, dan Chitose pun tampaknya tidak
ingin bertanya tentang masa lalu. Oleh karena itu, Mahiru tidak memiliki kesempatan untuk
membicarakan Koyuki.
Namun,
Chitose sudah membantunya mengirimkan foto Koyuki dan
menciptakan banyak kesempatan bagi kami untuk bersama. Mahiru tidak ingin memilih untuk tidak
mengatakan apa-apa kepada Chitose.
“Sebenarnya
dia orang yang seperti apa?”
“Yah ...
bisa dibilang dia adalah orang yang bisa melakukan
segalanya, aku tidak pernah melihatnya tidak bisa melakukan sesuatu.”
Dari sudut
pandang Mahiru, Koyuki adalah seorang wanita dewasa yang
lembut dan penuh perhatian, yang mengerjakan segala sesuatu dengan sempurna
sebagai pembantu rumah tangga.
Mungkin
karena Koyuki mempunyai anak
yang lebih tua dari Mahiru jadi dia sudah terbiasa,
tetapi dia benar-benar bisa melakukan segalanya, mengajarkan pengetahuan yang
diperlukan untuk menjalani kehidupan di masyarakat, sehingga Mahiru benar-benar
tidak tahu siapa dia sebenarnya.
Koyuki
diatur oleh ibu kandung Mahiru, tetapi Mahiru meyakini dia memiliki latar belakang dan
identitas yang baik, karena dia
tidak ingin menimbulkan masalah. Jadi dia
tidak pernah meragukan atau curiga tentang hal itu.
“Jadi,
bisa dibilang dia versi sempurna
dari Mahirun.”
“Setidaknya,
dia berada di level yang lebih tinggi.”
“Kenapa
kamu merendahkan diri di situ?”
“Karena
Chitose-san yang bilang begitu.”
“Maaf
ya.”
Sambil
membiarkan Chitose memeluknya dengan erat, Mahiru teringat akan kebahagiaan yang
sama seperti saat-saat kesepian di masa lalu.
Mahiru
mencari kasih sayang orang tuanya dan berusaha keras untuk
diperhatikan. Meskipun pada akhirnya itu tidak terwujud, dia tidak merasa bahwa
tidak ada yang bisa dia dapatkan dari masa-masa itu.
Setidaknya,
dia bisa mendapatkan kebaikan Koyuki
yang mengajarinya bagaimana menjadi manusia yang baik dan cara yang benar untuk
mencintai dan dicintai.
“Dia
adalah orang yang luar biasa yang mengajarkan banyak hal.”
“Masakan
Mahirun juga hasil didikan orang itu, ‘kan?”
“Iya.
Aku benar-benar belajar banyak masakan darinya. Dia mengajarkan banyak hal,
mulai dari norma-norma umum, etika, belajar, hingga cara menampilkan diri.”
“Jadi,
bisa dibilang Mahiru yang sekarang ini sebagian
berkat orang itu ya.”
“Iya.
Tanpa kehadirannya, aku mungkin tidak akan
menjadi diri aku yang sekarang, dan mungkin aku sudah mengakhiri hidupku. Dia
telah mendukung aku begitu banyak.”
Seandainya
saja, seandainya
saja....
Seandainya saja pembantu rumah tangga yang
ditugaskan untuk Mahiru bukanlah
Koyuki, tetapi seseorang yang hanya menjalankan tugasnya secara rutinitas dan
segera pergi.
Tindakan
yang benar dalam pekerjaan itu mungkin tidak akan memberikan penghiburan apa
pun bagi Mahiru.
Mungkin
tidak ada yang mengajarkannya
dengan baik, dia bahkan tidak mengetahui sopan
santun yang benar dan tidak tahu apa itu cinta,
hanya hidup sendirian dalam kesepian. Mungkin suatu saat dirinya tidak dapat menahan semua itu
dan berhenti melangkah maju.
Mahiru
tidak ingin memikirkan kemungkinan
akhir yang paling buruk tersebut. Sekarang, itu adalah suatu akhir
yang sama sekali tidak bisa dibayangkannya.
Mahiru
tidak memilih untuk itu semata-mata berkat Koyuki, jadi dia sangat berterima kasih
kepadanya, tidak ada kata-kata yang cukup untuk mengungkapkan rasa syukurnya.
“Jadi,
kamu sangat menyukainya dan merasa berhutang budi, ya?”
“Tentu
saja. ... Dia seperti orang tua bagiku. Aku ingin suatu saat bisa membalas budi padanya, tetapi sebagai anak angkat, aku
merasa tidak pantas untuk terlalu terlibat dalam kehidupan pribadinya.”
Sekarang,
dia tinggal bersama pasangan anaknya, jadi ada masalah jarak yang membuat Mahiru kesulitan untuk mengunjunginya. Dia bahkan tidak tahu apa pendapat
anak-anak Koyuki tentang dirinyaku,
mungkin mereka merasa terganggu.
Dengan
mengingat hal itu, satu-satunya hal yang bisa dia
lakukan adalah berinteraksi dengannya secara
hati-hati, tetapi Chitose menerima kata-kata Mahiru dan
berkata, “Di situ
kamu agak rendah diri, ya.”
“Hmm,
tapi kita tidak akan tahu tanpa
bertanya, ‘kan? Kurasa
tidak tepat bagiku untuk mengatakannya dengan pasti, atau bagi Mahirun untuk mengatakannya dengan pasti.”
“…Iya,
benar.”
Memang,
itu benar. Seseorang tidak
bisa sepenuhnya memahami pikiran orang lain. Selama kita tidak dapat mengintip
hati mereka atau mereka tidak memberi tahu kita, tidak
peduli seberapa banyak
kita menduganya, itu hanya akan menjadi sebuah
perkiraan.
Orang
tidak dapat sepenuhnya memahami perasaan orang lain. Mungkin itulah kebenaran
yang sederhana.
“Yah,
jika kamu ingin membalas budi padanya,
sebaiknya kamu bisa memikirkannya setelah kamu dewasa, Mahirun.”
“Setelah
dewasa.”
“Sebenarnya,
kita ini masih anak-anak, jadi jika anak-anak berbicara tentang hal-hal seperti
itu, orang tua mungkin lebih ingin agar kita memprioritaskan diri kita sendiri.
Pada masa-masa sulit seperti itu, anak-anak biasanya hanya bisa memikirkan diri
mereka sendiri. Setelah naik kelas, mereka akan menjadi siswa yang harus
menghadapi ujian, ‘kan?
Untuk membalas budi juga ada situasi ekonomi, dan jika kita bahkan tidak bisa
mengurus diri sendiri, bagaimana mungkin
kita bisa membantu orang lain?”
Mahiru
tertegun dengan cara bicara
Chitose yang sangat santai, dan dia mengedipkan
mata padanya dengan nada bercanda penuh
keceriaan.
Ucapan
Chitose memang ada benarnya; meskipun Mahiru ingin melakukan
sesuatu untuk Koyuki, Koyuki pasti tidak akan menerimanya. Dia bahkan mungkin akan menegurnya dengan mengatakan, “Pertama-tama, hargai dirimu
sendiri.”
“Chitose-san
juga sudah menjadi realistis, ya.”
“Perkataanmu
seolah-olah mengatakan aku selalu
bicara
dengan penuh harapan. Kejam banget~.”
“Maaf,
aku tidak bermaksud begitu.”
“Aku
tahu. ... Yah, dalam kasus Mahirun,
sepertinya masa depanmu akan
baik-baik saja. Kamu memiliki Amane di sampingku dan mempunyai
dua tenaga kuda, jadi kalian
berdua pasti bisa mengatasi semuanya.”
Dia
mengatakannya dengan begitu lugas hingga Mahiru merasa tertegun.
Dalam
konteks ini, istilah ‘dua
tenaga kuda’ merujuk
pada pendapatan finansial keluarga.
Fakta bahwa dia mengatakannya bersama Amane berarti bahkan Chitose sudah
menduganya.
(...Masa
depan yang kuharapkan.)
Sesuatu
yang pasti, berbeda dari sekarang. Menjalin
kontrak resmi, menggunakan nama keluarga yang sama, dan menjalani hidup
bersama—masa depan yang seperti
itu.
Dia
tidak tahu seberapa banyak dirinya
menginginkan itu, sebuah masa depan
ideal.
Hanya
dengan membayangkannya, Mahiru merasa pipinya
terasa panas dan jantungnya berdebar kencang, mengalirkan darah dengan
semangat ke seluruh tubuh.
“Oya?”
Menyadari
ada yang tidak beres dengan Mahiru, Chitose kembali menatapnya, lalu senyumnya berubah lembut.
“Nfufufu,
kamu baru saja membayangkannya, kan? Imut sekali~!”
“…Tolong
jangan difoto.”
“Ini
hanya untuk pribadi!”
“Itu bahkan
lebih parah lagi!”
Ketika
Chitose dengan santai mengarahkan smartphone-nya,
Mahiru menepuk paha Chitose dengan lembut untuk memperingatkan. Chitose
menunjukkan layar gelap tanpa gambar, seolah-olah hanya bercanda.
“Yah,
kamu tidak perlu khawatir begitu, Mahirun. Setidaknya, mengirim pesan yang
jujur bahwa kamu sangat bahagia saat ini sudah cukup untuk membalas budi.”
“…Itulah
sebabnya aku sedang diambil fotonya.”
“Oh,
benar juga, maaf.”
Melihat Chitose tertawa geli, Mahiru menghela napas sambil berkata “Mouu,” tetapi wajahnya tetap tersenyum, merasakan betapa beruntungnya dia memiliki teman yang luar biasa seperti Chitose.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
“Astaga,
mereka benar-benar mengambil banyak foto ya.”
Setelah
sesi pemotretan selesai, pada hari libur kerja Amane berikutnya, keduanya
pulang lebih awal untuk memeriksa hasilnya dan mereka
berdua duduk berdampingan sambil mengintip satu smartphone di
ruang tamu.
Setelah
satu minggu sesi pemotretan, Chitose dan yang lainnya telah mengambil banyak
foto, dan ketika mereka mengumpulkan gambar-gambar itu, tampak banyak sekali
gambar yang berjejer sehingga bilah gulirnya
menjadi sangat kecil.
Dilihat dari thumbnail yang
terlihat, mereka tampaknya benar-benar mengambil berbagai macam foto, termasuk
foto Mahiru dan Amane, masing-masing saat sendirian, serta foto-foto saat
bermain bersama.
Keduanya
memandang hasil kerja keras Chitose dan yang lainnya, mengingat kembali
peristiwa selama seminggu terakhir.
“Seriusan, ukuran
filenya besar sekali… Berapa banyak foto yang mereka ambil sih?”
“Mereka
sangat antusias saat mengambil foto. Amane-kun juga
kelihatan sangat lucu.”
Di dalam foto tersebut, ada gambar Amane
yang malu-malu saat diminta Mahiru untuk memakan
crepe, dan melihat itu, Amane tampaknya teringat momen itu dan langsung
menunjukkan ekspresi cemberut.
“Tapi
aku tidak bisa menganggap ‘imut’
sebagai pujian.”
“Kamu tidak
bisa menerimanya?”
“…Karena Mahiru doang yang begitu.”
“Amane-kun
memang bersikap manis padaku, ya.”
“Itu
sudah jelas.”
Meskipun
agak aneh bagi Mahiru yang sedang dimanjakan untuk mengatakan hal itu, Amane
memang sangat manis hanya padanya. Kecuali dalam situasi tertentu, dirinya tidak akan marah dan sangat
toleran, sehingga terkadang Mahiru bertanya-tanya apa itu baik-baik saja.
Namun, karena itu hanyalah cerminan
dari fakta bahwa dia sangat
dicintai, jadi Mahiru tentu tidak merasa buruk, malah merasa senang. Amane adalah orang yang bisa
mengatakan bahwa hal-hal yang benar-benar salah adalah salah, jadi tidak ada
rasa khawatir.
Mahiru
menyukai kenyataan bahwa ia bisa
membedakan hal-hal seperti itu, sambil bersandar pada Amane di sebelahnya,
mengingat kembali kenangan selama seminggu terakhir.
Foto-foto
tersebut menampil berbagai momen. Misalnya saja ketika mereka semua
berbagi bekal, atau meskipun
dalam permainan bola dia kalah total dari Yuuta,
tapi Amane dengan bangga meraih posisi pertama dalam permainan dart, Mahiru yang
terus-menerus gagal dalam permainan crane, dan saat mereka semua belajar serius
di sekitar meja, serta Amane yang dengan percaya diri menggendong Mahiru sambil
mengklaim bahwa dia sedang berlatih dengan baik karena godaan Ayaka. Ada banyak momen yang
terabadikan.
Semakin
dilihat, semakin kagum Mahiru dengan kemampuan Chitose dan Itsuki yang tidak
melewatkan momen-momen berharga mereka,
sambil perlahan menggulir ke bawah, dia melihat foto-foto terbaru.
Salah
satu foto tersebut adalah foto pemandangan senja
yang diambil dari belakang Mahiru dan Amane.
Wajah
mereka tidak terlihat jelas karena diambil dari belakang, hanya menunjukkan siluet wajah mereka yang
dibingkai oleh sinar matahari terbenam. Ekspresi mereka begitu tenang dan
dipenuhi kebahagiaan, sehingga Mahiru bertanya-tanya kapan dia pernah
menunjukkan ekspresi seperti itu.
Seperti
biasa, mereka bergandeng tangan, dan bayangan yang terhubung menunjukkan
kedekatan, menciptakan rasa nostalgia yang bisa dibilang adalah kebahagiaan
sehari-hari Mahiru yang biasa.
“Kapan
dia mengambil foto seperti ini?”
Setelah
mereka bergandeng tangan, Chitose mungkin telah mengambilnya saat itu.
Karena
komposisinya begitu indah, Mahiru sempat ragu apa foto itu diambil oleh seorang
fotografer profesional.
Mahiru
menatap foto yang meninggalkan kesan hanya dengan sekali lihat, sementara Amane
perlahan menggenggam tangan Mahiru yang tampak bingung.
“Kamu
mengetahui alamat Koyuki-san ‘kan, Mahiru?”
“Tiba-tiba
kenapa bertanya begitu?
Tentu saja aku sudah diberi tahu dan mencatatnya. Jika ada perubahan, kurasa dia akan memberitahuku, jadi kupikir
dia masih tinggal di sana.”
“Syukurlah.
Maksudku, hanya mengirimkan foto ini, rasanya sayang sekali jika sudah
mendapatkan banyak foto bagus.”
Amane
juga tampaknya tertarik dengan foto ini, arah pandangnya tertuju pada gambar
tersebut.
“Sayang
sekali, sepertinya lebih baik jika kita mencetaknya dan membuatnya seperti
album. Mengirimkannya dalam bentuk
data juga bagus, tapi entah kenapa rasanya sedikit
hambar. Mungkin lebih menyenangkan jika kita menambahkan berbagai dekorasi dan
catatan.”
Kata ‘album’ yang diucapkan Amane terdengar
asing bagi Mahiru.
Mahiru
tidak pernah difoto karena bahkan orang tuanya pun tidak pernah mengarahkan
pandangan kepada dirinya, jadi dia tidak memiliki kenangan apapun. Itu terasa
sangat jauh.
Mereka
akan membuatnya sendiri.
“Ah,
tentu saja jika Mahiru tidak mau, kupikir lebih baik mengirimkan data saja.”
Amane
melambaikan tangan, seolah-olah tidak ingin memaksakannya, dan alasan ia terlihat cemas ialah karena Mahiru sejenak
menunjukkan ekspresi murung.
Mahiru
menatap mata Amane dengan tegas dan tersenyum, seolah-olah ingin menyampaikan
kalau dirinya tidak membenci
usulan Amane.
“Tidak.
...Aku belum pernah membuat atau memiliki album di rumah, jadi aku ingin
mencobanya.”
“Begitu.
Kalau begitu, ayo kita buat
dua, satu untuk disimpan sebagai kenang-kenangan.”
“Ya.”
Tanpa
berlebihan memperhatikan atau sebaliknya, tanpa mengabaikannya, Amane melanjutkan dengan suara
lembut yang seperti angin malam yang lembut di musim semi, dan Mahiru merasakan
bahwa dia memang menyukai sisi Amane yang seperti ini, membuat senyumnya
semakin lebar.
“Jika
sudah diputuskan, kita bisa minta bantuan mereka untuk membuatnya dengan baik.”
“Apa
maksudnya dengan 'membuatnya dengan baik'?
Fufufu.”
“Jangan
berharap aku punya selera yang bagus.
...Mari kita kumpulkan hal-hal baik dari semua orang, dan buat sesuatu yang
akan menjadi kenangan.”
“Ya.”
Betapa
manisnya bunyi kata ‘album’ itu. Album pertama bagi Mahiru. Pasti
ini bukan yang pertama dan terakhir, tetapi yang pertama dari banyak album yang
akan datang.
Hanya
dengan memikirkannya sudah membuat
hati Mahiru terasa hangat dan hampir membuatnya terharu,
meskipun dia berusaha menahan diri, senyumannya tidak bisa dibendung saat bersandar pada lengan Amane, dan Amane juga memberikan anggukan sambil memamerkan senyuman
lembut dan tenang.


