Chapter 4 — Perubahan
Kurang
dari sepuluh hari tersisa hingga ujian UTS pada akhir Mei. Bagi
pelajar yang serius, inilah saatnya untuk tekun dan fokus belajar.
“Lagipula,
PR
tidak ada gunanya untuk masa depan.”
Namun, Shimotsuki-san
melempar pensil mekaniknya ke samping dan mulai bermain game di telepon
genggamnya.
“Jadi
pada dasarnya, belajar itu tidak ada gunanya. Itulah sebabnya aku memelihara
kuda balapku yang lucu. Jika aku akan menghabiskan waktu untuk sesuatu yang
tidak berarti, mungkin lebih baik jika itu menyenangkan.”
Dia
mengetuk layar dengan mudah dan terlatih.
Sesekali,
dia mengibaskan poninya sambil menggelengkan kepala—dan gerakan itu anehnya
memikat. Sulit untuk tidak ketahuan sedang menatapnya.
Jika dia
membaca karya sastra klasik, akan terlihat jauh lebih indah…
“Apaaa!?
Aku gagal latihan dengan tingkat kegagalan 3%!? Dasar RNG sampah, ini
konyol… Ugh, jangan jatuhkan motivasinya sendiri! Dan berhenti membuatnya buruk
dalam latihan juga!”
“…Mungkin
sudah saatnya kita kembali belajar.”
Dia jelas-jelas dalam
keadaan niat,
tetapi istirahat satu jam mulai terasa agak lama.
Kami
berada di rumahku, duduk berhadapan di meja besar di ruang tamu dengan
buku-buku pelajaran kami terbentang.
Seperti
yang telah kita sepakati sebelumnya, kami telah mempersiapkan diri untuk ujian
bersama selama beberapa hari ini. Namun, Shimotsuki-san benar-benar tidak
menentu—setiap kali ada kesempatan, dia kembali menggunakan ponselnya.
“Aku
sedang belajar.”
“Rasanya
tidak kelihatan begitu saat matamu terpaku pada
layar ponsel.”
“Yah,
tentu saja. Aku sedang membaca panduan strategi untuk membesarkan kuda pacu
yang lebih kuat.”
“Belajar
seperti itu memang bagus, tapi mungkin kita bisa fokus pada tugas
PR
juga?”
“Enggak
mau.
Aku benci belajar!”
Dia
menggembungkan pipinya seperti anak kecil dan berbalik untuk protes. Dia
selalu memancarkan aura semacam 'Tentu saja aku bisa belajar'
, tetapi tampaknya, dia sebenarnya tidak begitu menyukainya.
Dari apa
yang kulihat dari kuis dadakan di kelas, kalau dia tidak
belajar dengan baik, kemungkinan besar dia akan gagal.
Di sisi lain,
aku tidak punya banyak hal untuk dilakukan selain belajar dan membaca, jadi
nilai-nilaiku sedikit di atas rata-rata. Kupikir aku mungkin bisa
membantunya... meskipun dia jelas tidak berminat hari ini.
Tetap
saja, setelah menghabiskan waktu bersamanya sepulang sekolah hampir setiap
hari, aku jadi cukup paham cara memotivasinya.
“Jika
kamu berusaha sebaik mungkin sekarang, kita bisa istirahat makan camilan nanti.
Ada kue hari ini.”
“Kue!?
Kamu punya Mont Blanc? Atau mungkin kue stroberi? Atau kue tart? Atau tiramisu?
Atau apa saja boleh!”
“Kamu hanya perlu
menunggu dan melihat kapan waktunya ngemil.”
Dia cukup
jujur dalam menghadapi godaan.
“Bu-Bukan berarti aku
membiarkan kue menyuapku atau semacamnya, oke!? Jangan mengira
aku ini
anak anjing biasa yang datang mencari camilan!”
“Ya ya,
aku mengerti.”
“Apa
iya~?
Nakayama-kun, kamu tidak menganggapku orang yang berkemauan lemah atau
semacamnya, kan?”
“Sama
sekali enggak kok.
Jangan khawatir.”
“Apa
maksudmu dengan itu? Kamu ingin bilang
kalau
aku berkemauan lemah!? Itu akan jadi kesalahpahaman,
tahu! Kamu tidak akan membenciku, kan?”
Tak perlu
berpura-pura—tentu saja aku sudah tahu ada kesenjangan besar dengan
jati dirinya. Namun
kesenjangan antara penampilannya yang sempurna dan kepribadiannya yang kacau
justru membuatnya merasa lebih bisa diterima.
Dan tentu
saja, mana mungkin aku membencinya.
“Apa ada
hal yang membuatmu bingung?”
“…Semuanya.”
“Baiklah,
mari kita bahas dari awal. Jangan ragu untuk bertanya jika kamu bingung. Aku akan
menjawab semuanya.”
“B-Benarkah?
Maaf ya, Nakayama-kun…”
“Jangan
khawatir. Mengajarimu juga membantuku mengulas.”
“Menurutmu
begitu? Kalau begitu, kurasa tidak apa-apa… Tetap saja, terima kasih. Kamu benar-benar
hebat, Nakayama-kun. Kamu mengatakan banyak hal hanya untuk membuatku merasa lebih
baik, dan meskipun aku orang bodoh yang tidak bisa mengingat apa pun, kamu tidak menyerah
padaku. Aku bangga menyebutmu sebagai temanku.”
Mendengar
itu membuatku sedikit malu.
Namun,
meskipun aku tidak mengatakan apa pun, aku tahu perasaanku tersampaikan
padanya. Aku tidak pernah pandai mengungkapkan sesuatu dengan kata-kata, jadi
itu sangat berarti bagiku.
“Te-Terima
kasih. Kalau kamu bilang begitu, aku jadi lebih termotivasi. Aku akan
membantumu selama dibutuhkan—mari kita berusaha sebaik mungkin.”
“Hah? Tu-Tunggu dulu,
sebenarnya, tidak apa-apa! Mari kita buat waktu belajarnya singkat! Tapi sekali
lagi, sesi belajar yang panjang juga terasa seperti hubungan persahabatan yang
sebenarnya, bukan?”
──Dan
begitulah, kami berdua terus belajar seperti itu.
Sesi
belajar kecil-kecilan kami, yang telah dimulai beberapa hari lalu, ternyata
sangat produktif. Bahkan Shimotsuki-san, yang mengaku tidak suka belajar,
berusaha sebaik mungkin dengan caranya sendiri.
Jika keadaannya terus berlanjut seperti ini, aku mulai berpikir
dia mungkin benar-benar terhindar dari kegagalan.
Azusa
merahasiakan hubungan kami seperti yang dijanjikannya... berkat itu, Ryuzaki
bersikap jinak, dan Shimotsuki-san tampak ceria lagi.
Akhir-akhir
ini, segala sesuatunya berjalan damai.
Di
sekolah, Shimotsuki-san dan aku jarang berbicara satu sama lain di kelas.
Mungkin itu sebabnya kewaspadaan Ryuzaki terhadapku mulai mereda.
Kami
hampir tidak pernah berbincang lagi—paling banter hanya sekadar sapaan
santai di pagi hari.
Secara
teknis, Shimotsuki-san dan aku masih makan siang bersama di belakang gedung
sekolah tanpa diketahui orang lain. Namun, Ryuzaki tampaknya
tidak menyadarinya.
Aku sudah
bilang padanya sebelumnya kalau aku makan siang di atap gedung bersama
Hanagishi dari tim baseball, jadi mungkin dia masih mengira begitu.
“...Seperti
ini, mungkin? Hei, Nakayama-kun, sudah benar begini?”
“Oh,
bagus. Itu jawaban yang benar.”
“Benarkah!?
Hore... Aku sangat senang.”
Setiap
kali aku memujinya, Shimotsuki-san akan berseri-seri karena kegembiraan yang
tulus. Melihatnya tersenyum dan bergoyang kegirangan saja
sudah menjadi kebehagiaan tersendiri.
Hari-hari
itu terasa tenang dan tanpa kejadian yang mungkin bisa dibilang membosankan.
Aku
berharap hari-hari damai ini berlangsung selamanya.
Pemikiran semacam
itu
membuatku senang—dan juga, entah mengapa, sedikit gelisah.
Karena
tepat sebelum sesuatu yang besar terjadi, selalu saja ada masa tenang
yang singkat.
Aku hanya
bisa berharap tidak ada yang terjadi di bawah permukaan──
◆◆◆◆
(Sudut Pandang Shimotsuki Shiho)
Dia tidak
belajar sekeras ini sejak ujian masuk SMA.
(Kupikir
aku tidak akan pernah menyentuh buku pelajaran lain begitu aku masuk ke sini!)
Sambil
melotot ke arah lembar ujian matematika, dia mendapati dirinya benar-benar
asyik dengan soal itu—sedemikian asyiknya sampai-sampai membuatnya tertawa tak
percaya.
(Berusaha
sekuat tenaga bukanlah sifatku.)
Dia hanya
ingin melakukan hal-hal yang menyenangkan. Dia membenci
hal-hal seperti kesabaran, daya tahan, kerja keras, keberanian—apa pun yang
terdengar seperti slogan motivasi.
Namun,
semua usaha itu membuahkan hasil; ujiannya terasa lebih baik dari biasanya.
(Ah,
soal yang
ini... Nakayama-kun yang mengajariku bagian ini.)
Saat
mengerjakan soal matematika, pikirannya melayang kepada temannya.
(Menurutku
semuanya sudah
benar. Oke oke, mungkin Nakayama-kun akan memujiku untuk yang ini?)
Masih ada
bagian yang kosong di lembar jawabannya, tetapi baginya, ini
sudah merupakan usaha yang besar. Meskipun masih ada waktu tersisa, dia meletakkan
pensil mekaniknya.
(Fyuh... Mungkin kita
harus mengadakan pesta kecil ‘kita berhasil selamat’ setelah ini?)
Membayangkan
apa yang akan mereka lakukan sepulang sekolah membuat pipinya berkedut karena
tersenyum. Sebegitu besar rasa sukanya dia pada Nakayama Kotaro.
(Ia
benar-benar...
orang yang aneh)
Akhir-akhir
ini, setiap kali dia punya waktu luang, dia mendapati dirinya memikirkannya.
(Mengapa
cuma
ia yang tidak membuatku gugup?)
Dia sudah
seperti ini sejak SD—mendiamkan diri di sekitar orang lain.
Kotaro
adalah satu-satunya pengecualian. Baginya, dia adalah... sebuah
anomali.
(Mengapa
ia bisa begitu tenang di dekatku?)
Kecantikan
alaminya telah mendatangkan banyak masalah. Dari anak laki-laki, dia merasakan
hasrat; dari anak perempuan, dia merasakan kecemburuan.
Dan
dengan pendengarannya yang tajam dan kepekaannya yang tinggi, dia dapat dengan
mudah menangkap emosi-emosi negatif tersebut—entah dia menginginkannya
atau tidak. Itu melelahkan, jadi dia tumbuh dengan
menghindari orang lain.
Akibat
dari penghindaran itu adalah kecemasan sosialnya yang kini sudah mengakar.
Hanya ada
dua orang yang bisa membuatnya benar-benar menjadi dirinya sendiri: ibunya dan
ayahnya.
Namun,
karena suatu alasan, Kotaro berhasil menembus pertahanannya tanpa berusaha.
(Aku
tidak mendengar adanya bahaya sama sekali darinya.)
Tidak ada
nafsu, niat jahat, maupun motif tersembunyi—tidak ada yang mengancam.
Itulah
sebabnya dia tidak bisa menahan diri untuk tidak lengah. Dia menunjukkan jati
dirinya yang sebenarnya tanpa menyadarinya. Jika sedang bersamanya, dia bisa
melupakan
artinya gelisah. Dia bisa menjadi Shimotsuki Shiho.
(Hmm...
tapi tetap saja... mungkin agak aneh.)
Tidak—lebih
dari itu.
Dia tidak
dapat menerima bahwa sekadar merasa aman di dekatnya
dapat membuatnya begitu banyak memikirkannya.
(Nakayama-kun
adalah... sesuatu yang jauh lebih istimewa bagiku.)
Mungkin
karena itulah, sebelum dia menyadarinya, pandangan matanya melirik ke
arah Nakayama Kotaro.
Tempat
duduknya berada di kursi kedua dari belakang dekat jendela. Sedangkan
Kotaro
duduk di kursi terakhir dekat lorong.
Jarak
mereka cukup jauh sehingga dia tidak menyadari tatapannya—tetapi entah
bagaimana, tatapan mata mereka bertemu.
(Hah?
Apa ia sudah selesai?)
Ia
meletakkan pensilnya dan menatapnya. Saat pandangan mata mereka
bertemu, ekspresinya sedikit melembut.
Lalu,
tanpa peringatan, Kotaro menggerakkan bibirnya.
Tentu
saja, tidak ada suara yang keluar—karena mereka sedang ujian. Kotaro mungkin tidak
mengira kalau dia akan menyadarinya.
Namun
dengan pendengarannya yang tajam dan matanya yang jeli terhadap gerakan bibir,
dia menangkapnya dengan sempurna.
(Apa
ia baru saja mengatakan... ‘Semoga beruntung’?)
Bahkan
saat ujian, Kotaro masih memikirkannya.
Kalau
dipikir-pikir, Kotaro selalu memperhatikannya saat dia
menatapnya. Tatapan mereka bertemu setiap saat.
Yang mungkin berarti... Kotaro selalu
memperhatikannya juga.
(Bahkan sekarang...Ia terus menyemangatiku.)
Ia
benar-benar peduli. Ia ingin melihatnya berhasil.
Shimotsuki
Shiho belum pernah mengenal seseorang yang begitu mengutamakan kesejahteraan
orang lain.
(Ugh,
Nakayama-kun memang aneh...)
Dia
tiba-tiba merasakan panas menyebar di pipinya.
(Dasar
bodoh. Jangan tiba-tiba mengatakan hal manis seperti itu... Itu tidak
adil—sekarang aku jadi gugup...)
Walaupun dia menggerutu
dalam hati, Shiho merasa tidak sanggup
lagi menatap Kotaro dan mengalihkan pandangannya. Yang berarti dia akhirnya menatap lembar
jawabannya lagi.
Namun
kali ini, entah mengapa, ruang kosong itu benar-benar mengganggunya. Dia mengambil pensil
mekaniknya sekali lagi.
(…Mungkin
aku akan berusaha sedikit lebih keras lagi.)
Semangat
Kotaro yang tenang mendorongnya maju.
Sampai
saat ini, dia selalu merasa tidak ada gunanya mencoba.
Dia
yakin bahwa dirinya tidak akan pernah pandai berinteraksi dengan orang lain,
dan bahwa berusaha keras tidak akan mengubah apa pun.
Namun
kali ini berbeda.
Kotaro
memujinya. Ia mengakuinya. Ia memberinya perhatian. Ia menghabiskan waktu
bersamanya, bermain dengannya, dan peduli padanya.
Itulah
sebabnya dia akhirnya berusaha keras tanpa menyadarinya.
(Kalau
aku mau mencoba, aku mungkin bisa mendapat nilai mengagumkan dan benar-benar
membuat Nakayama-kun tercengang.)
Membayangkan saja
wajahnya yang terkejut saja sudah membuatnya makin bergairah.
Pada
akhirnya, Shiho menghabiskan setiap detik terakhir ujian itu, menghadapi setiap
pertanyaan secara langsung.
Dan hasil
usahanya—benar-benar melampaui harapan Shiho sendiri.
(72
poin!? I-Itu luar biasa! Aku benar-benar orang yang bisa melakukannya jika aku
mencoba!)
Beberapa
hari kemudian, hasil tes yang dinilai dikembalikan. Angka pada lembar
jawabannya sedikit di atas rata-rata.
Begitu
dia melihatnya, dia tidak dapat menahannya lagi.
Secara
teknis, dia dan Kotaro sepakat untuk tidak banyak bicara di sekolah.
Namun,
dia sudah melupakan semua itu. Yang ada di pikirannya hanyalah aku ingin menunjukkannya padanya!
Tepat
setelah lembar jawaban ujian diserahkan kembali, Shiho
segera
bergegas ke meja Kotaro saat istirahat.
Karena ada
banyak orang di sekitar, jadi dia tidak bisa bersuara keras. Sebaliknya, dia
berputar di belakangnya dan berteriak dengan suara pelan.
“Nakayama-kun,
lihat ke sini?”
Dia
menepuk bahunya dengan pelan.
Kotaro
berbalik, wajahnya tampak terkejut, jelas-jelas
ia
tidak menduga kedatangannya.
Shiho
segera menyodorkan lembar jawabannya ke arahnya.
“S-Shimotsuki-san?
Kupikir kita tidak boleh bicara di sekolah… Tunggu, 72 poin!?”
Mungkin
awalnya dia bermaksud memarahinya.
Tapi nilai
ujiannya
jelas mengejutkannya dan matanya terbelalak.
Begitu
saja, Koytaro tampaknya lupa semua tentang janjinya.
“Selamat.
Keren sekali…! Sejujurnya, kupikir kamu pasti akan
gagal.”
“Aku
tidak sebodoh itu ! Tapi ya, aku pun terkejut.”
“Ya, kamu
hebat sekali.”
Kotaro
tertawa sambil memujinya.
Shiho pun
mendapati dirinya tertawa.
“Aha!”
Tanpa
sadar dia menyentuh bagian atas kepalanya—sesuatu yang baru-baru ini dia
lakukan setiap kali berbicara dengan Kotaro.
Setiap
kali Kotaro memujinya, kepalanya akan mulai geli.
(Aku
ingin Nakayama-kun mengelus kepalaku... Tunggu, tidak
mungkin! Itu terlalu memalukan untuk diminta...!)
Di dalam
hati, Kotaro mulai mengambil alih semakin banyak ruang di hatinya.
Sekadar
mendapat pujian saja tidak lagi cukup—dia menginginkan lebih.
Hal itu menunjukkan sebegitu istimewanya sosok
Kotaro
bagi Shiho.
(Tapi
suatu hari nanti…!)
Dia
melamun tentang keinginan untuk semakin dekat dengannya. Pikiran tentang
masa depan itu membuat jantungnya berdebar kencang. Sebegitu
tergila-gilanya Shiho pada Kotaro.
Seiring
berlalunya waktu, hubungan mereka pun semakin dalam.
Namun itu
juga sebuah pertanda—ceritanya mulai bergerak maju lagi.
Dan
Kotaro dan Shiho telah melupakan keberadaannya.
Milik
siapakah
cerita ini?
Memiliki
karakter sampingan yang semakin dekat dengan tokoh utama wanita sementara tokoh utama
ditinggalkan… merupakan hal yang tabu.
Dan tak
lama kemudian, mereka berdua akan menghadapi konsekuensi pilihan itu. Bagian
damai dari kisah mereka akan segera berakhir──
◆◆◆◆
(Sudut Pandang Nakayama Kotaro)
Ketika
Shimotsuki-san tiba-tiba berbicara denganku di dalam kelas, ternyata
dia mendapat nilai yang luar biasa pada ujian matematika. Nilai rata-rata
kelasnya tepat 70 poin, jadi dia mendapat nilai dua di atasnya.
“Mari
kita rayakan saat kita sampai di rumah, oke? Maksudku, aku
dapat nilai 72!”
Meskipun
dia berbicara pelan, kegembiraannya tampak jelas. Untuk pertama
kalinya, dia tampak tidak terganggu dengan orang-orang di sekitarnya.
“Aku orang yang bisa melakukannya jika aku berusaha… Aku juga
harus membanggakannya pada Ibu! Aku akan meneleponnya secepatnya!”
Setelah
itu, Shimotsuki-san bergegas keluar kelas.
Hanya ada
satu jam pelajaran tersisa hari ini. Setelah itu, waktunya pulang.
(Baiklah,
kalau gitu
aku akan menaruh barang-barangku di rumah,
lalu pergi berbelanja, dan kemudian... tunggu)
Selagi
merencanakan sisa hariku di kepalaku, aku menyadari sesuatu.
Suasana kelas
menjadi sunyi senyap.
Meski
singkat, ini tetap waktu istirahat. Biasanya, ruangan akan penuh dengan obrolan
dan kebisingan—tetapi semua orang berhenti bergerak dan menatap ke arah tempat
dudukku.
Karena aku
biasanya tidak terlihat oleh kelas, tatapan mereka terasa sangat janggal. Aku
punya firasat buruk tentang ini.
Tepat
saat pikiran itu terlintas di benakku, Hanagishi—pria di depanku—berbalik dan
berkata,
“Nakayama…
Sejak kapan kamu sedekat itu dengan Shimotsuki?”
Baru saat
itulah aku menyadari apa yang telah terjadi.
(Sial.
Apa tadi kita terlalu kentara?)
Itulah
sesuatu yang aku khawatirkan sejak awal.
Seorang
pria datar-datar saja sepertiku yang mengobrol dengan
seseorang yang jauh dari jangkauanku seperti Shimotsuki-san… tentu saja itu
akan menonjol.
Aku
begitu asyik dengan momen itu sampai melupakannya.
“Kalian
berdua tampak akrab. Apa yang terjadi di antara kalian?”
Pertanyaan
Hanagishi mungkin menggemakan apa yang ditanyakan orang lain juga. Mereka
semua mencoba mencari tahu apa hubunganku dengan Shimotsuki-san.
“Eh, bukan apa-apa… Kami cuma biasa saja.”
“Biasa? Mana mungkin.
Shimotsuki yang biasanya berwajah datar, baru saja tersenyum, tau.”
Jadi
mereka telah melihat percakapan kami. Dan
bahkan dari sudut pandang orang luar, caraku berinteraksi dengan
Shimotsuki-san pasti
terlihat sangat tidak pada tempatnya.
“Tetap
saja, bagus untukmu, bung. Bisa sedekat itu dengan gadis manis seperti dirinya—beruntung sekali
dirimu. Aku ingin sekali bisa berpacaran dengan seseorang
seperti itu suatu hari nanti.”
“Kami
tidak berpacaran.”
“Oh? Huh,
kalau begitu kurasa aku salah paham. Maaf.”
Hanagishi
memiliki kepribadian yang cukup santai. Dirinya tahu kalau aku
sedang tidak berminat untuk bicara, jadi ia langsung mengakhiri pembicaraan
itu.
Aku
sangat menghargainya. Namun… ada hal yang lebih penting untuk dikhawatirkan.
(Ryuzaki…
juga melihatnya, bukan?)
Aku
dengan hati-hati mengalihkan pandanganku ke arah kursinya.
Mungkin
aku beruntung dan ia tidak melihat apa pun. Aku berpegang teguh pada harapan
samar itu.
(…Yah,
kurasa itu mustahil.)
Harapan semacam itu menguap begitu saja saat aku melihat Ryuzaki melotot ke
arahku.
Bahkan
Ryuzaki, yang biasanya tampak tidak menyadari apa-apa, tidak akan melewatkan
sesuatu yang sejelas itu──.
◆◆◆◆
Setelah jam
pelajaran
berakhir, Shimotsuki-san langsung menghampiriku.
Sama
seperti sebelumnya, dia mencondongkan tubuhnya ke dekat telingaku dan
berbicara dengan suara pelan.
“Nakayama-kun,
aku mau cepat-cepat pulang untuk mengambil uang jajan dari
Ibu. Karena aku berhasil melakukannya dengan baik dalam ujian, kupikir aku
akan membujuknya agar memberiku sedikit uang tambahan.”
Dia masih
terlihat sangat gembira. Agak menggemaskan—tetapi aku tidak bisa membalas
senyumannya, tidak sepenuhnya. Alasannya jelas: Ryuzaki.
“Oh?
Nakayama-kun, kenapa wajahnya kelihatan khawatir
begitu?”
Masih peka
seperti biasa, Shimotsuki-san telah menangkap kegelisahanku. Meski
begitu, dia tidak dapat mengetahui alasannya.
“Ah,
tunggu dulu—apa kamu khawatir apa aku bisa naik bus yang benar? Jangan
khawatir! Aku mendapat nilai 72 dalam matematika, ingat? Tentu saja aku
mengetahui
cara naik bus!”
Dia
membusungkan dadanya dengan bangga atas tebakannya yang agak melenceng itu.
Aku bukan sepenuhnya tidak peduli tentang itu... tapi
jujur saja, ada masalah yang lebih besar, jadi aku memutuskan untuk percaya
saja padanya soal bus.
“Baiklah,
aku akan menemuimu di rumahmu nanti! Sampai jumpa!”
Sambil
melambaikan tangannya dengan riang, Shimotsuki-san praktis berlari keluar
kelas. Dia begitu penuh gembira, seolah-olah dia sedang
melayang.
Sebaliknya,
tubuhku terasa seperti terbuat dari timah. Membayangkan apa yang akan
terjadi selanjutnya membuatku takut.
“Nakayama,
kamu ada
waktu sebentar?”
Ini dia. Aku
sudah menduga hal ini akan terjadi.
Ia
sudah membebaskanku lebih awal, mungkin karena waktu istirahatnya terlalu
singkat. Tapi tentu saja dirinya takkan membiarkannya
begitu saja.
(Kurasa
aku harus mengubah pikiranku)
Bukannya kupikir
aku bisa keluar dari situasi ini dengan bicara, tapi aku masih berpegang teguh
pada secercah harapan dan memaksa diriku kembali ke dalam
mode ‘karakter sampingan’.
── Klik.
Sesuatu di dalam kepalaku berubah. Dan dalam sekejap, jati diriku yang sebenarnya
menghilang.
“Me-Mendadak
ada apa?
Wajahmu kelihatan menakutkan… Apa terjadi sesuatu?”
“Ya,
sesuatu memang terjadi. Sesuatu yang tidak kuketahui.
Dan kamu— kamu
memanfaatkannya
untuk mendekati Shiho, bukan?”
…Ya, dirinya jelas-jelas
gelisah.
Ryuzaki
jelas-jelas murka setelah melihat seberapa dekatnya hubunganku dengan
Shimotsuki-san.
“Ikutlah
denganku. Terlalu banyak orang di sini. Mari kita bicara—satu lawan satu.”
Itu bukan
permintaan. Ryuzaki membentak dan keluar dari kelas dengan marah.
“Wah,
Ryuzaki! Tenang saja, Bung. Kamu marah karena gagal ujian atau apa? Ini hanya
ujian tengah semester, jadi tidak masalah!”
“Bukan
itu maksudnya. Mendingan kamu diam saja dan ikut aku.”
“O-Oke,
maaf… Kamu marah atau apa? Jangan menakut-nakutiku seperti itu. Aku benar-benar
payah dalam percakapan serius dan semacamnya, tahu?”
Sambil
tetap bersikap santai dan tidak tahu apa-apa, aku mengikutinya menyusuri lorong
hingga kami mencapai ruang kelas yang tidak terpakai. Tampaknya ruang kelas itu
digunakan sebagai gudang—ada meja dan kursi cadangan yang ditumpuk di
mana-mana.
“Masuklah.
Tidak ada yang datang ke sini, jadi kita bisa bicara tanpa gangguan.”
“Yaelah, di sini berdebu
sekali. Bukannya lebih baik di luar saja?”
“Masuk
saja.”
── Jangan kira karakter sampingan
seperti
kamu bisa menolak.
Tatapannya
seolah mengatakan hal itu dengan lantang, dan aku tak dapat menahan senyum.
Yup, ia
masih menganggapku lebih rendah darinya.
Baiklah,
hal itu tidak menggangguku lagi.
“Baiklah,
baiklah. Tapi dibikin ringkas saja, oke? Aku kelelahan karena ujian.”
“Kalau
begitu, aku akan langsung pada intinya. Apa yang kamu lakukan pada
Shiho?”
Sekarang,
bagaimana aku harus menanggapinya…? Aku harus mencegah hal ini dibesar-besarkan.
“Apa yang
kulakukan…? Aku hanya bertanya bagaimana hasil ujiannya. Ternyata dia mendapat
nilai bagus dan suasana hatinya sedang bagus, jadi dia menceritakannya padaku.”
Aku
menanggapinya seolah-olah itu semuanya cuma suatu kebetulan.
Mencoba
meyakinkannya bahwa seorang pria sepertiku bisa berbicara dengan gadis seperti
dia adalah sebuah keajaiban.
“Maksudku,
biasanya dia mengabaikanku bahkan saat aku mencoba berbicara padanya... Kurasa
aku benar-benar beruntung kali ini!”
“──Jangan
berpura-pura
bodoh.”
(Yup. Ryuzaki tidak
semudah dulu dibodohi)
“Jika itu
hanya kebetulan, lalu mengapa Shiho tersenyum?”
“Hah?
Maksudku… siapa pun pasti akan tersenyum setelah mendapat nilai bagus dalam
ujian, kan?”
“Hanya
dari situ saja? Mustahil.”
Rupanya,
senyuman Shimotsuki-san merupakan kejadian yang sangat
jarang terjadi sehingga Ryuzaki tidak dapat menerimanya sebagai alasan.
“Shiho
tidak pandai mengekspresikan emosinya. Dia hanya tersenyum saat
bersama orang yang benar-benar dipercayainya… Bahkan aku cuma pernah
melihatnya
sekali, dan kami sudah saling kenal sejak lama. Tapi dia tersenyum untukku.
Karena aku teman masa kecilnya. Aku istimewa… Itulah sebabnya— kamu
membuatnya
tersenyum bukanlah hal yang normal!”
…Bagi
Ryuzaki Ryoma, Nakayama Kotaro bukanlah tandingannya.
Itulah
satu-satunya alasan dirinya dapat mengatakan sesuatu seperti ini.
'Tidak
mungkin orang sepertimu mendapat perlakuan yang sama sepertiku.'
Seriusan… orang ini
benar-benar gambaran karakter utama.
Dirinya
yakin—benar-benar meyakini —bahwa dialah satu-satunya
orang istimewa dalam kehidupan Shimotsuki-san.
“Dengan
kata lain, Nakagawa… kegigihanmu membuahkan hasil. Memang, Shiho mungkin tampak
dingin pada awalnya. Namun karena kamu terus berusaha, dia mulai memercayaimu.”
“Hah? Ma-Mana mungkin!
Maksudku, ia masih mengabaikanku sepanjang waktu saat kamu tidak ada!”
“Aku
teman masa kecilnya. Aku memahaminya lebih dari siapa pun.”
“Kau benar-benar memahaminya dengan baik?”
Huh…
Bersikap berlebihan seperti ini sungguh melelahkan.
Namun
akhirnya, kupikir aku mengerti apa yang terjadi.
Apa
Ryuzaki… mulai mengakuiku?
Setelah mendengarnya berbicara, ia tidak terdengar seperti sedang
mencoba menghakimiku.
Aku
benar-benar mengira dirinya akan marah besar seperti sebelumnya.
“Lantas… kenapa kamu marah? Kamu membuatku takut,
kawan. Bersikaplah lebih baik, ya…”
“Aku
tidak marah padamu. Aku marah… pada diriku sendiri.”
Dan saat
aku mendengarnya…
Sensasi menggigil menjalar ke tulang belakangku.
Sialan.
Mungkin
itu sesuatu yang hanya bisa dirasakan oleh ‘karakter sampingan’ seperti diriku.
(Ryuzaki
sudah mengambil keputusan)
Ada
intensitas dalam dirinya sekarang.
Biasanya,
Ryuzaki tampak santai—anak SMA yang sangat biasa-biasa saja. Namun sekarang, ia
memancarkan ‘aura’ yang sama seperti
Shimotsuki-san.
Sesuatu
yang sangat istimewa .
“Selama
ini… aku lengah. Kupikir Shiho adalah tipe gadis yang hanya bisa kumengerti.
Memang, dia manis, tapi kepribadiannya membuatnya sulit didekati… Kupikir dia
tidak akan pernah terbuka pada orang lain.”
Ryuzaki
Ryoma mulai berbicara—suaranya tenang dan pelan.
Tetapi
ketenangan itu justru membuatnya semakin meresahkan.
“Tapi karena kami teman
masa kecil, kupikir itu membuatku jadi istimewa. Aku mempercayai, meskipun keadaan
berjalan lambat, akulah yang akan menjadi lebih dekat dengannya seiring
berjalannya waktu. Jadi aku tidak terlalu ikut campur. Aku membiarkan semuanya
berjalan sebagaimana mestinya. Namun, aku salah.”
“A-Apa
maksudmu? Maksudku, kamu masih lebih dekat dengannya ketimbang diriku, ‘kan? Kalian kan
teman masa kecil…”
Tolong…
tetaplah salah.
Tetaplah
percaya pada versi ceritamu sendiri.
Karena
jika tidak…
Aku
dalam masalah serius.
Aku dengan putus asa merangkai kata-kata untuk meyakinkannya. Tapi
Ryuzaki hanya menertawakanku.
“Hah…
Jadi kamu juga berpikir begitu, ya? Nakagawa, kamu salah. Akulah salah. Melihatmu
membuatku menyadarinya. Aku mengandalkan fakta bahwa kita adalah teman masa
kecil tanpa berusaha keras. Dan sekarang, karena itulah, kamu telah melampauiku .”
“Melampauimu…? Aku? T-Tidak, itu tidak mungkin…!”
“Jangan
coba-coba menyangkalnya. Jangan berpura-pura menjadi yang tertindas. Kamu hanya
berpura-pura bodoh hanya untuk menurunkan kewaspadaanku, kan? Kamu
berusaha
mendekati Shiho saat aku tidak melihat. Aku tidak akan menyebutnya
curang—tetapi kuakui, itu mengesankan. Aku meremehkanmu, Nakagawa.”
Tidak
bagus. Ryuzaki tidak akan tetap bodoh.
( Sial… Jadi fase komedi harem kehidupan sehari-hari
benar-benar sudah berakhir sekarang, ya? )
Tokoh
protagonis merupakan makhluk yang hanya akan bangkit ketika menghadapi
kesulitan. Dan kini—saat inilah momen Ryuzaki Ryoma.
Ia
mengenali seseorang di bawahnya. Menerima kelemahannya sendiri. Mengambil
langkah pertama ke depan.
“Aku
sudah tidak lagi menjadi 'teman masa kecil'. Mulai sekarang, aku akan
mendekati Shiho sebagai seorang pria. Dan aku serius dengannya. Nakagawa… Aku
juga mencintai Shiho.”
──Ia akhirnya
mengatakannya.
Ryuzaki
Ryoma, sang tokoh utama, telah mengungkapkan perasaannya dengan lantang untuk
pertama kalinya.
“Mulai
sekarang, kita bukan teman—kita saingan.”
Pernyataan
perang itu membuat seluruh tindakanku sebagai ‘karakter lsampingan yang tidak
berbahaya’ menjadi tidak berarti sama sekali.
“T-Tunggu,
rival…? Maksudmu itu…?”
“Jangan
pura-pura bodoh. Kamu jelas-jelas musuh... Tidak, mungkin itu tidak sepenuhnya
benar. Mungkin lebih seperti... kita adalah rival—ditulis sebagai 'musuh',
tetapi dibaca sebagai 'saingan'.”
Sambil
berkata demikian, Ryuzaki mengulurkan tangannya kepadaku.
Jabat
tangan kedua yang tidak memberiku pilihan apa pun—itu dipaksakan
kepadaku.
Dan kali
ini, dengan kekuatan yang bahkan lebih besar. Ryuzaki
menggenggam tanganku erat sekali hingga hampir terasa sakit.
“...Hah?
Kupikir namamu 'Nakagawa.'”
Kami
cukup dekat untuk berjabat tangan, jadi dia pasti akhirnya menyadari nama yang
dijahit di dadaku. Sepertinya Ryuzaki baru menyadari bahwa dia salah menyebut
namaku.
“Bukan
Nakagawa—tapi 'Nakayama’. Ya, aku mengerti
sekarang... kali ini, sungguhan.”
Pada saat
itulah Ryuzaki Ryoma benar-benar mengenaliku untuk pertama kalinya.
◆◆◆◆
Ceritanya
semakin
berjalan cepat. Mulai
sekarang,
situasinya akan berubah lebih cepat daripada yang dapat diatasi oleh karakter sampingan seperti diriku.
Tidak— itu sudah terjadi.
“...Oh
ya.”
Setelah
berjabat tangan dengan Ryuzaki di ruang kelas yang kosong.
Ia tampak
puas, seolah telah mengeluarkan semua unek-uneknya, dan hendak pergi tanpa
sepatah kata pun. Namun, ia tiba-tiba berhenti, seolah mengingat sesuatu.
“Sepertinya
kita harus melakukan perjalanan bermalam minggu depan.”
Di SMA
Yukinoshiro, tempat kami bersekolah, murid kelas satu mengikuti
kunjungan sekolah sebagai bagian dari kurikulum mereka.
Hal ini
terjadi pada awal bulan Juni. Hal tersebut merupakan tradisi
tahunan, yang tampaknya diadakan sebagai hadiah setelah ujian tengah semester,
sekitar dua bulan setelah tahun ajaran dimulai.
“Nakayama,
ayo kita satu kelompok. Tentu saja, dengan Shiho juga.”
...Jadi
itulah rencananya.
“Kita
selesaikan di perjalanan—siapa yang akan dipilih Shiho.”
“Dengan
kata lain, kau akan menembaknya?”
“Tepat
sekali.”
Ryuzaki
mengangguk dengan penuh keyakinan.
(Ia
benar-benar tidak peduli apa yang dipikirkan gadis yang akan
ditembaknya nanti,
ya.)
Dirinya benar-benar meyakini bahwa Shimotsuki-san akan menerima
pengakuan yang jujur dan terus terang.
Tak ada
gadis yang tak senang bila aku mengungkapkan perasaanku.
Seperti itulah
aura yang dipancarkannya—dan sejujurnya, itu menakutkan.
Membayangkan
masa depan di mana Ryuzaki menyatakan cinta pada Shimotsuki-san
saja sudah
membuatku merinding.
Pertama-tama,
Shimotsuki-san
tidak menyukai Ryuzaki. Jadi mana mungkin dia menerima
perasaannya.
Dia akan menolaknya
begitu saja,
dan selesai.
Tapi ada
masalah besar.
Shimotsuki-san
adalah gadis yang
sangat pemalu.
Bisakah
dia mengungkapkan perasaannya dengan baik melalui kata-kata?
Ryuzaki
adalah tipe orang yang pasti akan meminta alasan jika ditolak. Ia bukan tipe orang yang mudah
menyerah.
Karena ia
dilahirkan untuk menjadi protagonis.
Gigih
sampai pada titik akhir.
Dirinya bahkan mungkin berpikir, Dia menolakku karena dia
belum cukup mengenalku! dan
makin gencar mendekatinya.
Itulah
yang selama ini berusaha aku hindari dengan memainkan peran sebagai orang yang
disalahkan.
Aku
lengah… Sial, ini kesalahanku.
Ia
memperhatikanku.
Ia
mengakuiku sebagai saingannya.
Ancaman
itulah yang menyebabkan Ryuzaki Ryoma berkembang sebagai protagonis.
Aku harus
menghentikannya.
Bagi
seseorang sepertiku—hanya seorang lelaki biasa yang membosankan—untuk menjadi
temannya... Aku benar-benar bahagia.
Aku
bersyukur. Aku merasa berutang budi. Aku ingin membalas budi, tetapi aku tidak
punya apa-apa, jadi setidaknya, aku tidak ingin
menyusahkannya.
Seandainya
aku lebih berhati-hati... jika saja aku benar-benar mengikuti peraturan untuk
tidak berbicara kepadanya di dalam kelas...!
Tidak—nasi
sudah menjadi bubur. Sekarang juga, aku harus menghentikan
cerita Ryuzaki agar tidak berlanjut.
“...Hei,
ada apa? Kamu mendadak melamun begitu.”
Ryuzaki
tampak bingung melihatku tiba-tiba terdiam. Aku pasti telah melakukan sesuatu
yang tidak sesuai dengan karakterku.
“Ti-Tidak, aku
hanya... terkejut. Kamu tidak bisa tiba-tiba menembaknya seperti itu!”
Aku
memaksakan diri tertawa dan berusaha untuk terus berpikir. Tapi kepalaku
seperti berkabut dan aku tidak dapat mengatur pikiranku dengan baik.
Mungkin itu
sebabnya.
Saat ini,
aku bertingkah aneh—bahkan lebih aneh dari biasanya.
“Menembaknya, ya... Tidak,
tidak, masih terlalu dini untuk itu. Maksudku, sekarang, kita harus
menghabiskan lebih banyak waktu untuk saling mengenal dengan baik, kalau tidak,
ini akan jadi... tidak berarti atau semacamnya!"
Kalau
saja aku berpikir jernih, aku bisa menanganinya dengan lebih baik.
“Ayolah,
jangan ganggu aku~! Kalau Ryuzaki serius, aku tidak punya kesempatan! Tolong,
jangan ganggu aku! Aku mohon padamu!”
Jika aku
mengatakan sesuatu yang menyedihkan seperti itu dan bahkan membungkuk di
lantai, mungkin Ryuzaki akan terus meremehkanku sedikit lebih lama. Namun,
kata-kataku tadi—ada sedikit ketulusan yang tercampur di dalamnya. Dan itu
malah membuatnya waspada.
“Terlalu
cepat? Mengenal satu sama lain terlebih dahulu? Haha, ya… kalau aku menunggu
terlalu lama, keuntunganku untuk 'selalu berada di sisinya' akan mulai
memudar. Itulah sebabnya sekaranglah saatnya.”
Berbeda
dengan pemikiranku yang lamban, Ryuzaki cerdas.
Ia
menyentuh inti persoalan.
Dan
dengan logika yang sangat masuk akal, aku tidak mampu membantahnya.
—Tidak mampu membantahnya? Tunggu, tunggu
dulu! Jika aku tidak melawan balik, semuanya akan terlambat! Jangan menyerah...
mengapa aku meyakinkan diriku sendiri seperti ini?
Suara
hatiku terdengar terlalu masuk akal.
Dan untuk
beberapa alasan, rasanya seperti aku hanya bergerak sesuai dengan apa yang
paling nyaman bagi Ryuzaki.
Maksudku,
sungguh... bagi seseorang yang terlalu berhati-hati dan pengecut sepertiku,
hingga lengah seperti ini—itu sungguh tidak wajar.
Rasanya
lebih masuk akal untuk mengatakan bahwa kesalahan yang tidak lazim dari
Nakayama Kotaro ini terjadi karena beberapa kemudahan plot yang
mendorong Ryuzaki Ryoma—sang protagonis—maju.
Saat aku
memikirkan itu, aku merasakan sesuatu yang bahkan tidak dapat kujelaskan.
Semacam kekuatan yang tak terlihat.
(Tidak
ada yang bisa menghentikan ini…)
Pemikiran-pemikiran negatif
yang telah ditekan berkat Shimotsuki-san mulai muncul ke permukaan lagi.
(Seorang
'karakter sampingan' sepertiku… aku tidak bisa berbuat apa-apa.)
Tak
peduli apa yang kukatakan, tak peduli apa yang kulakukan, aku tak dapat
mengubah apa pun. Karena aku sudah menjadi seseorang yang hanya bisa bertindak
sesuai keinginan Ryuzaki.
Keyakinan
itu… membuat keinginanku untuk melawan tiba-tiba lenyap.
“Eh…
tapi, tetap saja…”
Aku
mencoba mencari sesuatu untuk diucapkan, tetapi tak ada yang terlintas di
pikiranku. Kabut tebal di kepalaku menyebar lebih jauh—sampai semuanya
menjadi kosong sepenuhnya.
“…Aku
tidak akan tertipu lagi. Nakayama, sudah kubilang—aku mengakuimu. Aku tidak
akan menahan diri. Aku akan menghadapi Shiho dengan serius. Jadi sebaiknya kamu melakukan hal
yang sama… dan berhenti melakukan trik pengecut seperti ini.”
Ryuzaki
menutup protesku yang seperti alasan dengan kalimat keras.
Mungkin
ia memutuskan tidak ada lagi yang perlu dikatakan—kali ini, ia benar-benar
meninggalkan kelas kosong itu.
Itulah
kedua kalinya aku melihatnya pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Dan kali
ini, punggungnya tampak lebih besar—dan lebih jauh—daripada sebelumnya.
“…Aku
tidak bisa berbuat apa-apa.”
Aku
merasa seperti teringat kembali tempatku berada.
Aku
benar-benar hanya seorang karakter sampingan.
Seorang
budak cerita yang hanya diizinkan bertindak dengan cara yang
menguntungkan tokoh utama.
◆◆◆◆
Aku tidak
sanggup
menghadapi Shimotsuki-san.
Aku tidak
tahu harus berkata apa tentang Ryuzaki.
Pasti ada
pilihan yang lebih baik yang bisa kuambil, tetapi aku tidak bisa memilihnya.
Itu membuatku merasa menyedihkan.
Aku
merasa
kecewa. Lebih dari siapa pun… Aku muak dengan diriku
sendiri.
[Mungkin
Onii-chan bukanlah kakak laki-laki yang ideal. Mungkin yang selama ini kucari
adalah... Ryoma-oniichan.]
[Ryu-kun
mungkin adalah jodohku. Jantungku berdebar lebih kencang ketika aku bersamanya daripada saat
bersamamu, Ko-kun]
[Aku
yakin Kotaro-san tidak membutuhkan orang sepertiku lagi. Tapi bagi Ryoma-san…
seseorang sepertiku pastilah diperlukan.]
Kembali
pada upacara penerimaan siswa baru SMA, tepat setelah bertemu Ryuzaki
Ryoma—Azusa, Kirari, dan Yuzuki semuanya mengatakan hal-hal seperti itu
kepadaku.
Semuanya terjadi pada hari
yang sama, tidak kurang. Aku mengingatnya dengan sangat jelas, setiap katanya.
(Sama
seperti dulu… apa kami akan berpisah lagi?)
Padahal kami
akhirnya bisa menjadi teman. Tapi aku takut
Shimotsuki-san akan kecewa pada seseorang yang menyedihkan sepertiku juga.
Mungkin
itulah sebabnya aku berpikiran suram seperti itu. Aku
benar-benar lupa apa yang seharusnya kami lakukan setelah sekolah.
“—Ah!
Nakayama-kun! Kamu akhirnya kembali!”
Ketika aku
turun dari bus dan berjalan pulang menuju rumah,
Shimotsuki-san sudah berdiri di depan pintu, melambai penuh semangat ke arahku.
(Benar
sekali... hari ini kita akan berpesta. Aku harus mempersiapkannya.)
Jika kita
merayakan seberapa keras dirinya belajar, maka ini bukan
saatnya untuk merajuk. Sambil berpikir demikian, aku cepat-cepat
memaksakan senyum.
“Maaf, aku
mengalami beberapa hal dan pulang lebih lambat dari rencana.”
“Ya
ampun, Nakayama-kun… Kita seharusnya mengadakan pesta 'Shiho-chan Mendapat
72 Poin Matematika—Sungguh Luar Biasa,' dan sekarang kamu datang terlambat?
Itu tidak bisa dimaafkan. Sebagai hukuman, penaltimu adalah memerah saat aku
mengelus kepalamu—tunggu,
ya?”
Suara
Shimotsuki-san dipenuhi dengan energi ceria.
Namun di
tengah-tengah perkataannya, dia memiringkan kepalanya sambil cemberut.
“Hm? Aku
mendengar suara aneh… Suara sedih yang membuatku hampir ingin
menangis hanya dengan mendengarnya.”
Lalu,
sambil menggerakkan telinganya yang kecil, dia melangkah mendekatiku. Dia
tidak benar-benar menyentuhku, tetapi jarak di antara kami tidak lebih dari
beberapa sentimeter.
“Apa kamu
merasa sedih
lagi saat aku tidak ada?”
“—Hah?”
Dia menyadarinya. Meskipun
dia begitu ceria beberapa detik yang lalu, hanya dengan berada di dekatku sudah
cukup baginya untuk mengetahui keadaanku.
“Jujur
saja, kamu ini memang gampang sekali depresi ya.”
Dengan
mengangkat bahu pelan yang seolah berkata, “Astaga,” dia mendesah
pelan.
“Ayo berjongkok?”
“...Hah?
Kenapa?”
“Ayo lakukan
saja.”
“Ah, oke.
Oke.”
Dia tidak
memberi ruang untuk berdebat, jadi aku patuh melakukan apa yang dia katakan.
Shimotsuki-san lalu memukul kepalaku dengan pelan.
Tentu
saja, itu tidak menyakitkan. Namun, entah mengapa, dampaknya bergema dalam
diriku.
“Dasar
bodoh. Berusaha menyembunyikan sesuatu dariku? Kurang ajar sekali... Kau
seharusnya malu. Lagipula, sekarang sudah tidak apa-apa, oke? Aku tidak tahu
apa yang terjadi, tapi aku selalu berada di pihakmu.”
—Padahal aku belum
mengatakan apa pun.
Shimotsuki-san
telah mengatakan apa yang paling perlu kudengar.
“…………”
Aku
tercengang. Dan pada saat yang sama, tiba-tiba aku merasa ingin menangis.
Nafasku tercekat di tenggorokanku.
Bagaimana
dia bisa begitu memahamiku seperti ini, sementara aku tidak bisa menjelaskan
apa pun dengan kata-kata?
Kebaikannya
menyembuhkan bagian hatiku yang telah berubah getir.
“Kita
akan mengadakan pestanya nanti, oke…? Untuk saat ini, ayo masuk ke dalam.
Ceritakan apa yang terjadi. Aku akan memikul separuh bebanmu.”
Dan
dengan senyum lembut, dia berkata:
“Kita berdua
berteman,
‘kan?
Jadi, kamu tidak perlu menahan diri.”
Cara dia
mengatakannya—rasanya seperti dia mencoba menanamkannya ke dalam diriku.
Atau
mungkin malah sedikit memarahiku.
Dan nada
bicaranya itu membuat wajahku melembut tanpa kusadari.
Shimotsuki-san
benar-benar penyelamatku.
Setiap
kali… ketika aku sedang berjuang, dialah yang selalu mengulurkan tangannya
padaku—
◆◆◆◆
Kami
masuk ke dalam rumahku, dan aku duduk di sofa ruang tamu.
Kemudian aku mulai berbicara tentang apa yang terjadi.
“Sebenarnya…
setelah kamu pergi tadi, aku sempat bicara dengan Ryuzaki. Kamu tahu bagaimana
kita akan melakukan perjalanan menginap minggu depan? Dan, yah… selama itu,
dia…”
(Ryuzaki
berencana untuk mengaku pada Shimotsuki-san.)
Aku tidak
yakin apa aku harus mengatakannya dengan lantang. Dia benar-benar
tidak menyukai
Ryuzaki, jadi pengakuan darinya bisa membuatnya benar-benar marah.
Setidaknya,
itulah yang aku pikirkan.
“Hmm… Apa
Ryuzaki-kun berencana untuk menyatakan perasaannya padaku atau semacamnya?”
Yang
mengejutkanku, Shimotsuki-san justru sudah menebaknya.
“K-Kenapa
kamu berpikir begitu?”
“Yah,
kamu tampak kesulitan sekali mengatakannya... dan jika
Ryuzaki-kun mencoba melakukan sesuatu yang melibatkanku, maka satu-satunya hal
yang masuk akal ialah ia berusaha menembakku. Nakayama-kun, kamu
bereaksi terlalu berlebihan.”
Reaksinya
sungguh acuh tak acuh.
“Apa, kamu pikir aku akan
menangis atau semacamnya? Konyol, aku bukan gadis senaif itu. Sebenarnya,
Nakayama-kun—aku lebih terbiasa dengan hal-hal seperti ini daripada yang kamu
bayangkan loh.”
Lalu,
seolah ingin menjelaskan alasannya, dia mencubit telinganya pelan.
“Pendengaranku
sangat bagus, lho. Aku bisa mendengar anak-anak laki-laki di kelas berbicara
tentang betapa mereka menyukaiku. Tentu saja aku juga menyadari perasaan
Ryuzaki-kun… Jangan samakan aku dengannya dan menganggapku tidak
peka.”
Namun,
suaranya tidak lagi hangat seperti biasanya. Perkataannya mengandung
perasaan pasrah. Lelah. Mungkin bahkan jijik.
Dan itu
tidak terasa seperti Shimotsuki-san yang biasa.
“Mereka selalu
seperti itu, sejak aku masih kecil. Mungkin kedengarannya agak sombong, tapi...
orang-orang selalu melihatku dengan motif tersembunyi. Orang yang paling sering
melakukan itu adalah Ryuzaki-kun. Jadi aku sudah mempersiapkan diri untuk hari
di mana ia akhirnya menembakku.”
“Jadi
begitu ya…”
Mungkin
aku sedikit meremehkannya.
Pikiran
itu membuatku merasa malu terhadap diriku sendiri.
“Maaf.
Kupikir terlibat dengan Ryuzaki hanya akan membuatmu tidak bahagia… Jadi aku
ingin melindungimu. Tapi aku tidak bisa… dan itulah mengapa aku merasa sedih.”
Saat aku
mengungkapkan perasaan jujurku, Shimotsuki-san memberiku senyuman—yang penuh
kehangatan dan kebahagiaan.
“Benarkah?
Kamu jadi merasa sedih karena memikirkanku…? Nakayama-kun, kamu sangat peduli
padaku… Itu membuatku sangat senang.”
Tepat
seperti yang kupikirkan—Shimotsuki-san sangat memahamiku, bahkan saat aku
tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata.
“Terima
kasih sudah mengkhawatirkanku. Tapi aku akan baik-baik saja... Aku selalu tahu
pada akhirnya aku harus menghadapinya. Hanya ada waktu terbatas untuk terus
melarikan diri.”
Lalu,
seolah menenangkan dirinya, Shimotsuki-san mengepalkan tinjunya.
“Bahkan
jika ia berusaha menyatakan cintanya, aku akan berusaha sebaik
mungkin untuk mengatakan apa yang perlu kukatakan, dengan jelas dan benar.
Kalau tidak, aku akan terus membuat Nakayama-kun khawatir selamanya.”
“Apa ada
yang bisa aku bantu? Kalau ada yang bisa aku bantu, aku
mau membantumu.”
Sebagai
seorang teman. Sebagai seseorang yang berutang banyak padanya. Aku ingin
melakukan apa pun yang aku bisa untuknya.
“Kalau
begitu… tetaplah bersamaku.”
Namun,
apa yang diminta Shimotsuki-san adalah sesuatu yang begitu sederhana—terasa
seperti kebiasaan bagiku.
“Hanya
itu saja?”
“Itulah
alasannya. Hanya dengan berada di dekatmu saja aku merasa aman... Itu saja
sudah lebih dari cukup bagiku.”
—Tidak
ada orang lain di dunia yang bisa mengatakan sesuatu seperti itu.
Pemikiran itu
tiba-tiba muncul di benakku, dan dadaku terasa hangat.
Setelah berhadapan
langsung dengan
aura ‘protagonis’ Ryuzaki yang luar
biasa, aku mulai terjerumus ke dalam pola pikir yang pahit—tetapi berkat
Shimotsuki-san, aku mampu menarik diri dari pengaruhnya.
Pikiranku
akhirnya mulai jernih lagi.
“Tentang
perjalanan menginap… Ryuzaki dan aku mungkin akan berada di kelompok yang sama.
Kurasa ia akan mengajakmu juga. Apa kamu setuju?”
“Benarkah?
Yah, kurasa mau bagaimana lagi… Tapi sejujurnya, aku tidak terlalu
antusias dengan hal itu. Aku biasanya melewatkan acara sekolah semacam ini,
tau?”
“…Ya.
Melewatkannya mungkin bisa jadi pilihan yang
lebih aman.”
“Tapi
kalau begitu, aku tidak akan bisa membuat kenangan indah bersamamu,
Nakayama-kun.”
“Baiklah.
Aku akan sangat senang jika kamu ikut juga, Shimotsuki-san.”
Akhirnya,
kami bisa berbicara seperti biasa lagi.
Aku masih
khawatir tentang perjalanan ini—tapi jika aku terus melarikan diri dari
berbagai hal, semuanya tidak akan pernah membaik.
Tentu, aku
hanyalah seorang karakter sampingan. Hanya sedikit yang dapat kulakukan. Tapi
bahkan orang sepertiku dapat tetap di sisi Shimotsuki-san.
Jadi aku akan
memastikan
untuk
menindaklanjutinya.
“Aku
sedikit khawatir tentang Ryuzaki-kun… tapi lebih dari itu, aku sangat menantikan
perjalanan bersamamu, Nakayama-kun.”
Lalu, dia
menggenggam
tanganku dengan lembut.
…Hangatnya.
Kehangatan
itu seakan menaikkan suhu hatiku. Tiba-tiba aku merasakan getaran kegembiraan
yang gugup.
Perasaan
ini… berbeda dengan apa yang kurasakan saat masih bersama Azusa atau yang
lainnya.
Mungkin…
Shimotsuki-san memang seseorang yang spesial bagiku—
◆◆◆◆
Dan
begitu saja, ceritanya berubah.
Mulai
saat ini, segala sesuatunya cenderung bergerak cepat menuju klimaks.
Mungkin takkan ada peran yang
tersisa untuk karakter sampingan sepertiku. Mungkin aku hanya akan menjadi
penonton—tapi tidak apa-apa.
Karena
memang itulah jenis ceritanya.
Sebuah
komedi romantis yang dibintangi Ryuzaki Ryoma… yang diceritakan dari
sudut pandang karakter sampingan.
