Shimotsuki-san Jilid 1 Bab 4 Bahasa Indonesia

Chapter 4Perubahan

 

Kurang dari sepuluh hari tersisa hingga ujian UTS pada akhir Mei. Bagi pelajar yang serius, inilah saatnya untuk tekun dan fokus belajar.

“Lagipula, PR tidak ada gunanya untuk masa depan.”

Namun, Shimotsuki-san melempar pensil mekaniknya ke samping dan mulai bermain game di telepon genggamnya.

“Jadi pada dasarnya, belajar itu tidak ada gunanya. Itulah sebabnya aku memelihara kuda balapku yang lucu. Jika aku akan menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tidak berarti, mungkin lebih baik jika itu menyenangkan.”

Dia mengetuk layar dengan mudah dan terlatih.

Sesekali, dia mengibaskan poninya sambil menggelengkan kepala—dan gerakan itu anehnya memikat. Sulit untuk tidak ketahuan sedang menatapnya.

Jika dia membaca karya sastra klasik, akan terlihat jauh lebih indah…

“Apaaa!? Aku gagal latihan dengan tingkat kegagalan 3%!? Dasar RNG sampah, ini konyol… Ugh, jangan jatuhkan motivasinya sendiri! Dan berhenti membuatnya buruk dalam latihan juga!”

“…Mungkin sudah saatnya kita kembali belajar.”

Dia jelas-jelas dalam keadaan niat, tetapi istirahat satu jam mulai terasa agak lama.

Kami berada di rumahku, duduk berhadapan di meja besar di ruang tamu dengan buku-buku pelajaran kami terbentang.

Seperti yang telah kita sepakati sebelumnya, kami telah mempersiapkan diri untuk ujian bersama selama beberapa hari ini. Namun, Shimotsuki-san benar-benar tidak menentu—setiap kali ada kesempatan, dia kembali menggunakan ponselnya.

Aku sedang belajar.

Rasanya tidak kelihatan begitu saat matamu terpaku pada layar ponsel.”

Yah, tentu saja. Aku sedang membaca panduan strategi untuk membesarkan kuda pacu yang lebih kuat.

Belajar seperti itu memang bagus, tapi mungkin kita bisa fokus pada tugas PR juga?”

Enggak mau. Aku benci belajar!”

Dia menggembungkan pipinya seperti anak kecil dan berbalik untuk protes. Dia selalu memancarkan aura semacam 'Tentu saja aku bisa belajar' , tetapi tampaknya, dia sebenarnya tidak begitu menyukainya.

Dari apa yang kulihat dari kuis dadakan di kelas, kalau dia tidak belajar dengan baik, kemungkinan besar dia akan gagal.

Di sisi lain, aku tidak punya banyak hal untuk dilakukan selain belajar dan membaca, jadi nilai-nilaiku sedikit di atas rata-rata. Kupikir aku mungkin bisa membantunya... meskipun dia jelas tidak berminat hari ini.

Tetap saja, setelah menghabiskan waktu bersamanya sepulang sekolah hampir setiap hari, aku jadi cukup paham cara memotivasinya.

“Jika kamu berusaha sebaik mungkin sekarang, kita bisa istirahat makan camilan nanti. Ada kue hari ini.”

“Kue!? Kamu punya Mont Blanc? Atau mungkin kue stroberi? Atau kue tart? Atau tiramisu? Atau apa saja boleh!”

Kamu hanya perlu menunggu dan melihat kapan waktunya ngemil.”

Dia cukup jujur dalam menghadapi godaan.

“Bu-Bukan berarti aku membiarkan kue menyuapku atau semacamnya, oke!? Jangan mengira aku ini anak anjing biasa yang datang mencari camilan!”

“Ya ya, aku mengerti.”

Apa iya~? Nakayama-kun, kamu tidak menganggapku orang yang berkemauan lemah atau semacamnya, kan?”

Sama sekali enggak kok. Jangan khawatir.”

“Apa maksudmu dengan itu? Kamu ingin bilang kalau aku berkemauan lemah!? Itu akan jadi kesalahpahaman, tahu! Kamu tidak akan membenciku, kan?”

Tak perlu berpura-pura—tentu saja aku sudah tahu ada kesenjangan besar dengan jati dirinya. Namun kesenjangan antara penampilannya yang sempurna dan kepribadiannya yang kacau justru membuatnya merasa lebih bisa diterima.

Dan tentu saja, mana mungkin aku membencinya.

“Apa ada hal yang membuatmu bingung?”

…Semuanya.

“Baiklah, mari kita bahas dari awal. Jangan ragu untuk bertanya jika kamu bingung. Aku akan menjawab semuanya.”

“B-Benarkah? Maaf ya, Nakayama-kun…”

“Jangan khawatir. Mengajarimu juga membantuku mengulas.”

“Menurutmu begitu? Kalau begitu, kurasa tidak apa-apa… Tetap saja, terima kasih. Kamu benar-benar hebat, Nakayama-kun. Kamu mengatakan banyak hal hanya untuk membuatku merasa lebih baik, dan meskipun aku orang bodoh yang tidak bisa mengingat apa pun, kamu tidak menyerah padaku. Aku bangga menyebutmu sebagai temanku.”

Mendengar itu membuatku sedikit malu.

Namun, meskipun aku tidak mengatakan apa pun, aku tahu perasaanku tersampaikan padanya. Aku tidak pernah pandai mengungkapkan sesuatu dengan kata-kata, jadi itu sangat berarti bagiku.

“Te-Terima kasih. Kalau kamu bilang begitu, aku jadi lebih termotivasi. Aku akan membantumu selama dibutuhkan—mari kita berusaha sebaik mungkin.”

“Hah? Tu-Tunggu dulu, sebenarnya, tidak apa-apa! Mari kita buat waktu belajarnya singkat! Tapi sekali lagi, sesi belajar yang panjang juga terasa seperti hubungan persahabatan yang sebenarnya, bukan?”

──Dan begitulah, kami berdua terus belajar seperti itu.

Sesi belajar kecil-kecilan kami, yang telah dimulai beberapa hari lalu, ternyata sangat produktif. Bahkan Shimotsuki-san, yang mengaku tidak suka belajar, berusaha sebaik mungkin dengan caranya sendiri.

Jika keadaannya terus berlanjut seperti ini, aku mulai berpikir dia mungkin benar-benar terhindar dari kegagalan.

Azusa merahasiakan hubungan kami seperti yang dijanjikannya... berkat itu, Ryuzaki bersikap jinak, dan Shimotsuki-san tampak ceria lagi.

Akhir-akhir ini, segala sesuatunya berjalan damai.

Di sekolah, Shimotsuki-san dan aku jarang berbicara satu sama lain di kelas. Mungkin itu sebabnya kewaspadaan Ryuzaki terhadapku mulai mereda.

Kami hampir tidak pernah berbincang lagi—paling banter hanya sekadar sapaan santai di pagi hari.

Secara teknis, Shimotsuki-san dan aku masih makan siang bersama di belakang gedung sekolah tanpa diketahui orang lain. Namun, Ryuzaki tampaknya tidak menyadarinya.

Aku sudah bilang padanya sebelumnya kalau aku makan siang di atap gedung bersama Hanagishi dari tim baseball, jadi mungkin dia masih mengira begitu.

“...Seperti ini, mungkin? Hei, Nakayama-kun, sudah benar begini?”

“Oh, bagus. Itu jawaban yang benar.”

“Benarkah!? Hore... Aku sangat senang.”

Setiap kali aku memujinya, Shimotsuki-san akan berseri-seri karena kegembiraan yang tulus. Melihatnya tersenyum dan bergoyang kegirangan saja sudah menjadi kebehagiaan tersendiri.

Hari-hari itu terasa tenang dan tanpa kejadian yang mungkin bisa dibilang membosankan.

Aku berharap hari-hari damai ini berlangsung selamanya.

Pemikiran semacam itu membuatku senang—dan juga, entah mengapa, sedikit gelisah.

Karena tepat sebelum sesuatu yang besar terjadi, selalu saja ada masa tenang yang singkat.

Aku hanya bisa berharap tidak ada yang terjadi di bawah permukaan──

 

◆◆◆◆

(Sudut Pandang Shimotsuki Shiho)

 

Dia tidak belajar sekeras ini sejak ujian masuk SMA.

(Kupikir aku tidak akan pernah menyentuh buku pelajaran lain begitu aku masuk ke sini!)

Sambil melotot ke arah lembar ujian matematika, dia mendapati dirinya benar-benar asyik dengan soal itu—sedemikian asyiknya sampai-sampai membuatnya tertawa tak percaya.

(Berusaha sekuat tenaga bukanlah sifatku.)

Dia hanya ingin melakukan hal-hal yang menyenangkan. Dia membenci hal-hal seperti kesabaran, daya tahan, kerja keras, keberanian—apa pun yang terdengar seperti slogan motivasi.

Namun, semua usaha itu membuahkan hasil; ujiannya terasa lebih baik dari biasanya.

(Ah, soal yang ini... Nakayama-kun yang mengajariku bagian ini.)

Saat mengerjakan soal matematika, pikirannya melayang kepada temannya.

(Menurutku semuanya sudah benar. Oke oke, mungkin Nakayama-kun akan memujiku untuk yang ini?)

Masih ada bagian yang kosong di lembar jawabannya, tetapi baginya, ini sudah merupakan usaha yang besar. Meskipun masih ada waktu tersisa, dia meletakkan pensil mekaniknya.

(Fyuh... Mungkin kita harus mengadakan pesta kecil kita berhasil selamat setelah ini?)

Membayangkan apa yang akan mereka lakukan sepulang sekolah membuat pipinya berkedut karena tersenyum. Sebegitu besar rasa sukanya dia pada Nakayama Kotaro.

(Ia benar-benar... orang yang aneh)

Akhir-akhir ini, setiap kali dia punya waktu luang, dia mendapati dirinya memikirkannya.

(Mengapa cuma ia yang tidak membuatku gugup?)

Dia sudah seperti ini sejak SD—mendiamkan diri di sekitar orang lain.

Kotaro adalah satu-satunya pengecualian. Baginya, dia adalah... sebuah anomali.

(Mengapa ia bisa begitu tenang di dekatku?)

Kecantikan alaminya telah mendatangkan banyak masalah. Dari anak laki-laki, dia merasakan hasrat; dari anak perempuan, dia merasakan kecemburuan.

Dan dengan pendengarannya yang tajam dan kepekaannya yang tinggi, dia dapat dengan mudah menangkap emosi-emosi negatif tersebut—entah dia menginginkannya atau tidak. Itu melelahkan, jadi dia tumbuh dengan menghindari orang lain.

Akibat dari penghindaran itu adalah kecemasan sosialnya yang kini sudah mengakar.

Hanya ada dua orang yang bisa membuatnya benar-benar menjadi dirinya sendiri: ibunya dan ayahnya.

Namun, karena suatu alasan, Kotaro berhasil menembus pertahanannya tanpa berusaha.

(Aku tidak mendengar adanya bahaya sama sekali darinya.)

Tidak ada nafsu, niat jahat, maupun motif tersembunyi—tidak ada yang mengancam.

Itulah sebabnya dia tidak bisa menahan diri untuk tidak lengah. Dia menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya tanpa menyadarinya. Jika sedang bersamanya, dia bisa melupakan artinya gelisah. Dia bisa menjadi Shimotsuki Shiho.

(Hmm... tapi tetap saja... mungkin agak aneh.)

Tidak—lebih dari itu.

Dia tidak dapat menerima bahwa sekadar merasa aman di dekatnya dapat membuatnya begitu banyak memikirkannya.

(Nakayama-kun adalah... sesuatu yang jauh lebih istimewa bagiku.)

Mungkin karena itulah, sebelum dia menyadarinya, pandangan matanya melirik ke arah Nakayama Kotaro.

Tempat duduknya berada di kursi kedua dari belakang dekat jendela. Sedangkan Kotaro duduk di kursi terakhir dekat lorong.

Jarak mereka cukup jauh sehingga dia tidak menyadari tatapannya—tetapi entah bagaimana, tatapan mata mereka bertemu.

(Hah? Apa ia sudah selesai?)

Ia meletakkan pensilnya dan menatapnya. Saat pandangan mata mereka bertemu, ekspresinya sedikit melembut.

Lalu, tanpa peringatan, Kotaro menggerakkan bibirnya.

Tentu saja, tidak ada suara yang keluar—karena mereka sedang ujian. Kotaro mungkin tidak mengira kalau dia akan menyadarinya.

Namun dengan pendengarannya yang tajam dan matanya yang jeli terhadap gerakan bibir, dia menangkapnya dengan sempurna.

(Apa ia baru saja mengatakan... Semoga beruntung?)

Bahkan saat ujian, Kotaro masih memikirkannya.

Kalau dipikir-pikir, Kotaro selalu memperhatikannya saat dia menatapnya. Tatapan mereka bertemu setiap saat.

Yang mungkin berarti... Kotaro selalu memperhatikannya juga.

(Bahkan sekarang...Ia terus menyemangatiku.)

Ia benar-benar peduli. Ia ingin melihatnya berhasil.

Shimotsuki Shiho belum pernah mengenal seseorang yang begitu mengutamakan kesejahteraan orang lain.

(Ugh, Nakayama-kun memang aneh...)

Dia tiba-tiba merasakan panas menyebar di pipinya.

(Dasar bodoh. Jangan tiba-tiba mengatakan hal manis seperti itu... Itu tidak adil—sekarang aku jadi gugup...)

Walaupun dia menggerutu dalam hati, Shiho merasa tidak sanggup lagi menatap Kotaro dan mengalihkan pandangannya. Yang berarti dia akhirnya menatap lembar jawabannya lagi.

Namun kali ini, entah mengapa, ruang kosong itu benar-benar mengganggunya. Dia mengambil pensil mekaniknya sekali lagi.

(…Mungkin aku akan berusaha sedikit lebih keras lagi.)

Semangat Kotaro yang tenang mendorongnya maju.

Sampai saat ini, dia selalu merasa tidak ada gunanya mencoba.

Dia yakin bahwa dirinya tidak akan pernah pandai berinteraksi dengan orang lain, dan bahwa berusaha keras tidak akan mengubah apa pun.

Namun kali ini berbeda.

Kotaro memujinya. Ia mengakuinya. Ia memberinya perhatian. Ia menghabiskan waktu bersamanya, bermain dengannya, dan peduli padanya.

Itulah sebabnya dia akhirnya berusaha keras tanpa menyadarinya.

(Kalau aku mau mencoba, aku mungkin bisa mendapat nilai mengagumkan dan benar-benar membuat Nakayama-kun tercengang.)

Membayangkan saja wajahnya yang terkejut saja sudah membuatnya makin bergairah.

Pada akhirnya, Shiho menghabiskan setiap detik terakhir ujian itu, menghadapi setiap pertanyaan secara langsung.

Dan hasil usahanya—benar-benar melampaui harapan Shiho sendiri.

 

(72 poin!? I-Itu luar biasa! Aku benar-benar orang yang bisa melakukannya jika aku mencoba!)

 

Beberapa hari kemudian, hasil tes yang dinilai dikembalikan. Angka pada lembar jawabannya sedikit di atas rata-rata.

Begitu dia melihatnya, dia tidak dapat menahannya lagi.

Secara teknis, dia dan Kotaro sepakat untuk tidak banyak bicara di sekolah.

Namun, dia sudah melupakan semua itu. Yang ada di pikirannya hanyalah aku ingin menunjukkannya padanya!

Tepat setelah lembar jawaban ujian diserahkan kembali, Shiho segera bergegas ke meja Kotaro saat istirahat.

Karena ada banyak orang di sekitar, jadi dia tidak bisa bersuara keras. Sebaliknya, dia berputar di belakangnya dan berteriak dengan suara pelan.

“Nakayama-kun, lihat ke sini?”

Dia menepuk bahunya dengan pelan.

Kotaro berbalik, wajahnya tampak terkejut, jelas-jelas ia tidak menduga kedatangannya.

Shiho segera menyodorkan lembar jawabannya ke arahnya.

“S-Shimotsuki-san? Kupikir kita tidak boleh bicara di sekolah… Tunggu, 72 poin!?”

Mungkin awalnya dia bermaksud memarahinya.

Tapi nilai ujiannya jelas mengejutkannya dan matanya terbelalak.

Begitu saja, Koytaro tampaknya lupa semua tentang janjinya.

“Selamat. Keren sekali…! Sejujurnya, kupikir kamu pasti akan gagal.”

“Aku tidak sebodoh itu ! Tapi ya, aku pun terkejut.”

“Ya, kamu hebat sekali.”

Kotaro tertawa sambil memujinya.

Shiho pun mendapati dirinya tertawa.

Aha!

Tanpa sadar dia menyentuh bagian atas kepalanya—sesuatu yang baru-baru ini dia lakukan setiap kali berbicara dengan Kotaro.

Setiap kali Kotaro memujinya, kepalanya akan mulai geli.

(Aku ingin Nakayama-kun mengelus kepalaku... Tunggu, tidak mungkin! Itu terlalu memalukan untuk diminta...!)

Di dalam hati, Kotaro mulai mengambil alih semakin banyak ruang di hatinya.

Sekadar mendapat pujian saja tidak lagi cukup—dia menginginkan lebih.

Hal itu menunjukkan sebegitu istimewanya sosok Kotaro bagi Shiho.

(Tapi suatu hari nanti…!)

Dia melamun tentang keinginan untuk semakin dekat dengannya. Pikiran tentang masa depan itu membuat jantungnya berdebar kencang. Sebegitu tergila-gilanya Shiho pada Kotaro.

Seiring berlalunya waktu, hubungan mereka pun semakin dalam.

Namun itu juga sebuah pertanda—ceritanya mulai bergerak maju lagi.

Dan Kotaro dan Shiho telah melupakan keberadaannya.

Milik siapakah cerita ini?

Memiliki karakter sampingan yang semakin dekat dengan tokoh utama wanita sementara tokoh utama ditinggalkan… merupakan hal yang tabu.

Dan tak lama kemudian, mereka berdua akan menghadapi konsekuensi pilihan itu. Bagian damai dari kisah mereka akan segera berakhir──

 

◆◆◆◆

(Sudut Pandang Nakayama Kotaro)

 

Ketika Shimotsuki-san tiba-tiba berbicara denganku di dalam kelas, ternyata dia mendapat nilai yang luar biasa pada ujian matematika. Nilai rata-rata kelasnya tepat 70 poin, jadi dia mendapat nilai dua di atasnya.

Mari kita rayakan saat kita sampai di rumah, oke? Maksudku, aku dapat nilai 72!

Meskipun dia berbicara pelan, kegembiraannya tampak jelas. Untuk pertama kalinya, dia tampak tidak terganggu dengan orang-orang di sekitarnya.

“Aku orang yang bisa melakukannya jika aku berusaha… Aku juga harus membanggakannya pada Ibu! Aku akan meneleponnya secepatnya!”

Setelah itu, Shimotsuki-san bergegas keluar kelas.

Hanya ada satu jam pelajaran tersisa hari ini. Setelah itu, waktunya pulang.

(Baiklah, kalau gitu aku akan menaruh barang-barangku di rumah, lalu pergi berbelanja, dan kemudian... tunggu)

Selagi merencanakan sisa hariku di kepalaku, aku menyadari sesuatu.

Suasana kelas menjadi sunyi senyap.

Meski singkat, ini tetap waktu istirahat. Biasanya, ruangan akan penuh dengan obrolan dan kebisingan—tetapi semua orang berhenti bergerak dan menatap ke arah tempat dudukku.

Karena aku biasanya tidak terlihat oleh kelas, tatapan mereka terasa sangat janggal. Aku punya firasat buruk tentang ini.

Tepat saat pikiran itu terlintas di benakku, Hanagishi—pria di depanku—berbalik dan berkata,

“Nakayama… Sejak kapan kamu sedekat itu dengan Shimotsuki?”

Baru saat itulah aku menyadari apa yang telah terjadi.

(Sial. Apa tadi kita terlalu kentara?)

Itulah sesuatu yang aku khawatirkan sejak awal.

Seorang pria datar-datar saja sepertiku yang mengobrol dengan seseorang yang jauh dari jangkauanku seperti Shimotsuki-san… tentu saja itu akan menonjol.

Aku begitu asyik dengan momen itu sampai melupakannya.

“Kalian berdua tampak akrab. Apa yang terjadi di antara kalian?”

Pertanyaan Hanagishi mungkin menggemakan apa yang ditanyakan orang lain juga. Mereka semua mencoba mencari tahu apa hubunganku dengan Shimotsuki-san.

“Eh, bukan apa-apa… Kami cuma biasa saja.”

Biasa? Mana mungkin. Shimotsuki yang biasanya berwajah datar, baru saja tersenyum, tau.”

Jadi mereka telah melihat percakapan kami. Dan bahkan dari sudut pandang orang luar, caraku berinteraksi dengan Shimotsuki-san pasti terlihat sangat tidak pada tempatnya.

“Tetap saja, bagus untukmu, bung. Bisa sedekat itu dengan gadis manis seperti dirinya—beruntung sekali dirimu. Aku ingin sekali bisa berpacaran dengan seseorang seperti itu suatu hari nanti.”

“Kami tidak berpacaran.”

“Oh? Huh, kalau begitu kurasa aku salah paham. Maaf.”

Hanagishi memiliki kepribadian yang cukup santai. Dirinya tahu kalau aku sedang tidak berminat untuk bicara, jadi ia langsung mengakhiri pembicaraan itu.

Aku sangat menghargainya. Namun… ada hal yang lebih penting untuk dikhawatirkan.

(Ryuzaki… juga melihatnya, bukan?)

Aku dengan hati-hati mengalihkan pandanganku ke arah kursinya.

Mungkin aku beruntung dan ia tidak melihat apa pun. Aku berpegang teguh pada harapan samar itu.

(…Yah, kurasa itu mustahil.)

Harapan semacam itu menguap begitu saja saat aku melihat Ryuzaki melotot ke arahku.

Bahkan Ryuzaki, yang biasanya tampak tidak menyadari apa-apa, tidak akan melewatkan sesuatu yang sejelas itu──.

 

◆◆◆◆

 

Setelah jam pelajaran berakhir, Shimotsuki-san langsung menghampiriku.

Sama seperti sebelumnya, dia mencondongkan tubuhnya ke dekat telingaku dan berbicara dengan suara pelan.

“Nakayama-kun, aku mau cepat-cepat pulang untuk mengambil uang jajan dari Ibu. Karena aku berhasil melakukannya dengan baik dalam ujian, kupikir aku akan membujuknya agar memberiku sedikit uang tambahan.”

Dia masih terlihat sangat gembira. Agak menggemaskan—tetapi aku tidak bisa membalas senyumannya, tidak sepenuhnya. Alasannya jelas: Ryuzaki.

“Oh? Nakayama-kun, kenapa wajahnya kelihatan khawatir begitu?”

Masih peka seperti biasa, Shimotsuki-san telah menangkap kegelisahanku. Meski begitu, dia tidak dapat mengetahui alasannya.

“Ah, tunggu dulu—apa kamu khawatir apa aku bisa naik bus yang benar? Jangan khawatir! Aku mendapat nilai 72 dalam matematika, ingat? Tentu saja aku mengetahui cara naik bus!”

Dia membusungkan dadanya dengan bangga atas tebakannya yang agak melenceng itu.

Aku bukan sepenuhnya tidak peduli tentang itu... tapi jujur saja, ada masalah yang lebih besar, jadi aku memutuskan untuk percaya saja padanya soal bus.

“Baiklah, aku akan menemuimu di rumahmu nanti! Sampai jumpa!”

Sambil melambaikan tangannya dengan riang, Shimotsuki-san praktis berlari keluar kelas. Dia begitu penuh gembira, seolah-olah dia sedang melayang.

Sebaliknya, tubuhku terasa seperti terbuat dari timah. Membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya membuatku takut.

“Nakayama, kamu ada waktu sebentar?”

Ini dia. Aku sudah menduga hal ini akan terjadi.

Ia sudah membebaskanku lebih awal, mungkin karena waktu istirahatnya terlalu singkat. Tapi tentu saja dirinya takkan membiarkannya begitu saja.

(Kurasa aku harus mengubah pikiranku)

Bukannya kupikir aku bisa keluar dari situasi ini dengan bicara, tapi aku masih berpegang teguh pada secercah harapan dan memaksa diriku kembali ke dalam mode karakter sampingan’.

── Klik.

Sesuatu di dalam kepalaku berubah. Dan dalam sekejap, jati diriku yang sebenarnya menghilang.

Me-Mendadak ada apa? Wajahmu kelihatan menakutkan… Apa terjadi sesuatu?”

“Ya, sesuatu memang terjadi. Sesuatu yang tidak kuketahui. Dan kamu— kamu memanfaatkannya untuk mendekati Shiho, bukan?”

…Ya, dirinya jelas-jelas gelisah.

Ryuzaki jelas-jelas murka setelah melihat seberapa dekatnya hubunganku dengan Shimotsuki-san.

“Ikutlah denganku. Terlalu banyak orang di sini. Mari kita bicara—satu lawan satu.”

Itu bukan permintaan. Ryuzaki membentak dan keluar dari kelas dengan marah.

“Wah, Ryuzaki! Tenang saja, Bung. Kamu marah karena gagal ujian atau apa? Ini hanya ujian tengah semester, jadi tidak masalah!”

“Bukan itu maksudnya. Mendingan kamu diam saja dan ikut aku.”

“O-Oke, maaf… Kamu marah atau apa? Jangan menakut-nakutiku seperti itu. Aku benar-benar payah dalam percakapan serius dan semacamnya, tahu?”

Sambil tetap bersikap santai dan tidak tahu apa-apa, aku mengikutinya menyusuri lorong hingga kami mencapai ruang kelas yang tidak terpakai. Tampaknya ruang kelas itu digunakan sebagai gudang—ada meja dan kursi cadangan yang ditumpuk di mana-mana.

“Masuklah. Tidak ada yang datang ke sini, jadi kita bisa bicara tanpa gangguan.”

Yaelah, di sini berdebu sekali. Bukannya lebih baik di luar saja?”

“Masuk saja.”

── Jangan kira karakter sampingan seperti kamu bisa menolak.

Tatapannya seolah mengatakan hal itu dengan lantang, dan aku tak dapat menahan senyum.

Yup, ia masih menganggapku lebih rendah darinya.

Baiklah, hal itu tidak menggangguku lagi.

“Baiklah, baiklah. Tapi dibikin ringkas saja, oke? Aku kelelahan karena ujian.”

“Kalau begitu, aku akan langsung pada intinya. Apa yang kamu lakukan pada Shiho?”

Sekarang, bagaimana aku harus menanggapinya…? Aku harus mencegah hal ini dibesar-besarkan.

“Apa yang kulakukan…? Aku hanya bertanya bagaimana hasil ujiannya. Ternyata dia mendapat nilai bagus dan suasana hatinya sedang bagus, jadi dia menceritakannya padaku.”

Aku menanggapinya seolah-olah itu semuanya cuma suatu kebetulan.

Mencoba meyakinkannya bahwa seorang pria sepertiku bisa berbicara dengan gadis seperti dia adalah sebuah keajaiban.

“Maksudku, biasanya dia mengabaikanku bahkan saat aku mencoba berbicara padanya... Kurasa aku benar-benar beruntung kali ini!”

“──Jangan berpura-pura bodoh.”

(Yup. Ryuzaki tidak semudah dulu dibodohi)

“Jika itu hanya kebetulan, lalu mengapa Shiho tersenyum?”

“Hah? Maksudku… siapa pun pasti akan tersenyum setelah mendapat nilai bagus dalam ujian, kan?”

“Hanya dari situ saja? Mustahil.”

Rupanya, senyuman Shimotsuki-san merupakan kejadian yang sangat jarang terjadi sehingga Ryuzaki tidak dapat menerimanya sebagai alasan.

“Shiho tidak pandai mengekspresikan emosinya. Dia hanya tersenyum saat bersama orang yang benar-benar dipercayainya… Bahkan aku cuma pernah melihatnya sekali, dan kami sudah saling kenal sejak lama. Tapi dia tersenyum untukku. Karena aku teman masa kecilnya. Aku istimewa… Itulah sebabnya— kamu membuatnya tersenyum bukanlah hal yang normal!”

…Bagi Ryuzaki Ryoma, Nakayama Kotaro bukanlah tandingannya.

Itulah satu-satunya alasan dirinya dapat mengatakan sesuatu seperti ini.

'Tidak mungkin orang sepertimu mendapat perlakuan yang sama sepertiku.'

Seriusan… orang ini benar-benar gambaran karakter utama.

Dirinya yakin—benar-benar meyakini —bahwa dialah satu-satunya orang istimewa dalam kehidupan Shimotsuki-san.

“Dengan kata lain, Nakagawa… kegigihanmu membuahkan hasil. Memang, Shiho mungkin tampak dingin pada awalnya. Namun karena kamu terus berusaha, dia mulai memercayaimu.”

“Hah? Ma-Mana mungkin! Maksudku, ia masih mengabaikanku sepanjang waktu saat kamu tidak ada!”

“Aku teman masa kecilnya. Aku memahaminya lebih dari siapa pun.”

“Kau benar-benar memahaminya dengan baik?”

Huh… Bersikap berlebihan seperti ini sungguh melelahkan.

Namun akhirnya, kupikir aku mengerti apa yang terjadi.

Apa Ryuzaki… mulai mengakuiku?

Setelah mendengarnya berbicara, ia tidak terdengar seperti sedang mencoba menghakimiku.

Aku benar-benar mengira dirinya akan marah besar seperti sebelumnya.

“Lantas… kenapa kamu marah? Kamu membuatku takut, kawan. Bersikaplah lebih baik, ya…”

“Aku tidak marah padamu. Aku marah… pada diriku sendiri.”

Dan saat aku mendengarnya…

Sensasi menggigil menjalar ke tulang belakangku.

Sialan.

Mungkin itu sesuatu yang hanya bisa dirasakan oleh karakter sampingan’ seperti diriku.

(Ryuzaki sudah mengambil keputusan)

Ada intensitas dalam dirinya sekarang.

Biasanya, Ryuzaki tampak santai—anak SMA yang sangat biasa-biasa saja. Namun sekarang, ia memancarkan aura yang sama seperti Shimotsuki-san.

Sesuatu yang sangat istimewa .

“Selama ini… aku lengah. Kupikir Shiho adalah tipe gadis yang hanya bisa kumengerti. Memang, dia manis, tapi kepribadiannya membuatnya sulit didekati… Kupikir dia tidak akan pernah terbuka pada orang lain.”

Ryuzaki Ryoma mulai berbicara—suaranya tenang dan pelan.

Tetapi ketenangan itu justru membuatnya semakin meresahkan.

Tapi karena kami teman masa kecil, kupikir itu membuatku jadi istimewa. Aku mempercayai, meskipun keadaan berjalan lambat, akulah yang akan menjadi lebih dekat dengannya seiring berjalannya waktu. Jadi aku tidak terlalu ikut campur. Aku membiarkan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Namun, aku salah.”

“A-Apa maksudmu? Maksudku, kamu masih lebih dekat dengannya ketimbang diriku, kan? Kalian kan teman masa kecil…”

Tolong… tetaplah salah.

Tetaplah percaya pada versi ceritamu sendiri.

Karena jika tidak…

Aku dalam masalah serius.

Aku dengan putus asa merangkai kata-kata untuk meyakinkannya. Tapi Ryuzaki hanya menertawakanku.

“Hah… Jadi kamu juga berpikir begitu, ya? Nakagawa, kamu salah. Akulah salah. Melihatmu membuatku menyadarinya. Aku mengandalkan fakta bahwa kita adalah teman masa kecil tanpa berusaha keras. Dan sekarang, karena itulah, kamu telah melampauiku .”

Melampauimu…? Aku? T-Tidak, itu tidak mungkin…!”

“Jangan coba-coba menyangkalnya. Jangan berpura-pura menjadi yang tertindas. Kamu hanya berpura-pura bodoh hanya untuk menurunkan kewaspadaanku, kan? Kamu berusaha mendekati Shiho saat aku tidak melihat. Aku tidak akan menyebutnya curang—tetapi kuakui, itu mengesankan. Aku meremehkanmu, Nakagawa.”

Tidak bagus. Ryuzaki tidak akan tetap bodoh.

( Sial… Jadi fase komedi harem kehidupan sehari-hari benar-benar sudah berakhir sekarang, ya? )

Tokoh protagonis merupakan makhluk yang hanya akan bangkit ketika menghadapi kesulitan. Dan kini—saat inilah momen Ryuzaki Ryoma.

Ia mengenali seseorang di bawahnya. Menerima kelemahannya sendiri. Mengambil langkah pertama ke depan.

“Aku sudah tidak lagi menjadi 'teman masa kecil'. Mulai sekarang, aku akan mendekati Shiho sebagai seorang pria. Dan aku serius dengannya. Nakagawa… Aku juga mencintai Shiho.”

──Ia akhirnya mengatakannya.

Ryuzaki Ryoma, sang tokoh utama, telah mengungkapkan perasaannya dengan lantang untuk pertama kalinya.

“Mulai sekarang, kita bukan teman—kita saingan.”

Pernyataan perang itu membuat seluruh tindakanku sebagai karakter lsampingan yang tidak berbahaya menjadi tidak berarti sama sekali.

“T-Tunggu, rival…? Maksudmu itu…?”

Jangan pura-pura bodoh. Kamu jelas-jelas musuh... Tidak, mungkin itu tidak sepenuhnya benar. Mungkin lebih seperti... kita adalah rival—ditulis sebagai 'musuh', tetapi dibaca sebagai 'saingan'.

Sambil berkata demikian, Ryuzaki mengulurkan tangannya kepadaku.

Jabat tangan kedua yang tidak memberiku pilihan apa pun—itu dipaksakan kepadaku.

Dan kali ini, dengan kekuatan yang bahkan lebih besar. Ryuzaki menggenggam tanganku erat sekali hingga hampir terasa sakit.

...Hah? Kupikir namamu 'Nakagawa.'

Kami cukup dekat untuk berjabat tangan, jadi dia pasti akhirnya menyadari nama yang dijahit di dadaku. Sepertinya Ryuzaki baru menyadari bahwa dia salah menyebut namaku.

Bukan Nakagawa—tapi 'Nakayama. Ya, aku mengerti sekarang... kali ini, sungguhan.

Pada saat itulah Ryuzaki Ryoma benar-benar mengenaliku untuk pertama kalinya.

 

◆◆◆◆

 

Ceritanya semakin berjalan cepat. Mulai sekarang, situasinya akan berubah lebih cepat daripada yang dapat diatasi oleh karakter sampingan seperti diriku.

Tidak— itu sudah terjadi.

...Oh ya.

Setelah berjabat tangan dengan Ryuzaki di ruang kelas yang kosong.

Ia tampak puas, seolah telah mengeluarkan semua unek-uneknya, dan hendak pergi tanpa sepatah kata pun. Namun, ia tiba-tiba berhenti, seolah mengingat sesuatu.

Sepertinya kita harus melakukan perjalanan bermalam minggu depan.

Di SMA Yukinoshiro, tempat kami bersekolah, murid kelas satu mengikuti kunjungan sekolah sebagai bagian dari kurikulum mereka.

Hal ini terjadi pada awal bulan Juni. Hal tersebut merupakan tradisi tahunan, yang tampaknya diadakan sebagai hadiah setelah ujian tengah semester, sekitar dua bulan setelah tahun ajaran dimulai.

Nakayama, ayo kita satu kelompok. Tentu saja, dengan Shiho juga.

...Jadi itulah rencananya.

Kita selesaikan di perjalanan—siapa yang akan dipilih Shiho.”

Dengan kata lain, kau akan menembaknya?

Tepat sekali.

Ryuzaki mengangguk dengan penuh keyakinan.

(Ia benar-benar tidak peduli apa yang dipikirkan gadis yang akan ditembaknya nanti, ya.)

Dirinya benar-benar meyakini bahwa Shimotsuki-san akan menerima pengakuan yang jujur dan terus terang.

Tak ada gadis yang tak senang bila aku mengungkapkan perasaanku.

Seperti itulah aura yang dipancarkannya—dan sejujurnya, itu menakutkan.

Membayangkan masa depan di mana Ryuzaki menyatakan cinta pada Shimotsuki-san saja sudah membuatku merinding.

Pertama-tama, Shimotsuki-san tidak menyukai Ryuzaki. Jadi mana mungkin dia menerima perasaannya.

Dia akan menolaknya begitu saja, dan selesai.

Tapi ada masalah besar.

Shimotsuki-san adalah gadis yang sangat pemalu.

Bisakah dia mengungkapkan perasaannya dengan baik melalui kata-kata?

Ryuzaki adalah tipe orang yang pasti akan meminta alasan jika ditolak. Ia bukan tipe orang yang mudah menyerah.

Karena ia dilahirkan untuk menjadi protagonis.

Gigih sampai pada titik akhir.

Dirinya bahkan mungkin berpikir, Dia menolakku karena dia belum cukup mengenalku! dan makin gencar mendekatinya.

Itulah yang selama ini berusaha aku hindari dengan memainkan peran sebagai orang yang disalahkan.

Aku lengah… Sial, ini kesalahanku.

Ia memperhatikanku.

Ia mengakuiku sebagai saingannya.

Ancaman itulah yang menyebabkan Ryuzaki Ryoma berkembang sebagai protagonis.

Aku harus menghentikannya.

Bagi seseorang sepertiku—hanya seorang lelaki biasa yang membosankan—untuk menjadi temannya... Aku benar-benar bahagia.

Aku bersyukur. Aku merasa berutang budi. Aku ingin membalas budi, tetapi aku tidak punya apa-apa, jadi setidaknya, aku tidak ingin menyusahkannya.

Seandainya aku lebih berhati-hati... jika saja aku benar-benar mengikuti peraturan untuk tidak berbicara kepadanya di dalam kelas...!

Tidak—nasi sudah menjadi bubur. Sekarang juga, aku harus menghentikan cerita Ryuzaki agar tidak berlanjut.

...Hei, ada apa? Kamu mendadak melamun begitu.

Ryuzaki tampak bingung melihatku tiba-tiba terdiam. Aku pasti telah melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan karakterku.

Ti-Tidak, aku hanya... terkejut. Kamu tidak bisa tiba-tiba menembaknya seperti itu!

Aku memaksakan diri tertawa dan berusaha untuk terus berpikir. Tapi kepalaku seperti berkabut dan aku tidak dapat mengatur pikiranku dengan baik.

Mungkin itu sebabnya.

Saat ini, aku bertingkah aneh—bahkan lebih aneh dari biasanya.

Menembaknya, ya... Tidak, tidak, masih terlalu dini untuk itu. Maksudku, sekarang, kita harus menghabiskan lebih banyak waktu untuk saling mengenal dengan baik, kalau tidak, ini akan jadi... tidak berarti atau semacamnya!"

Kalau saja aku berpikir jernih, aku bisa menanganinya dengan lebih baik.

“Ayolah, jangan ganggu aku~! Kalau Ryuzaki serius, aku tidak punya kesempatan! Tolong, jangan ganggu aku! Aku mohon padamu!”

Jika aku mengatakan sesuatu yang menyedihkan seperti itu dan bahkan membungkuk di lantai, mungkin Ryuzaki akan terus meremehkanku sedikit lebih lama. Namun, kata-kataku tadi—ada sedikit ketulusan yang tercampur di dalamnya. Dan itu malah membuatnya waspada.

“Terlalu cepat? Mengenal satu sama lain terlebih dahulu? Haha, ya… kalau aku menunggu terlalu lama, keuntunganku untuk 'selalu berada di sisinya' akan mulai memudar. Itulah sebabnya sekaranglah saatnya.”

Berbeda dengan pemikiranku yang lamban, Ryuzaki cerdas.

Ia menyentuh inti persoalan.

Dan dengan logika yang sangat masuk akal, aku tidak mampu membantahnya.

—Tidak mampu membantahnya? Tunggu, tunggu dulu! Jika aku tidak melawan balik, semuanya akan terlambat! Jangan menyerah... mengapa aku meyakinkan diriku sendiri seperti ini?

Suara hatiku terdengar terlalu masuk akal.

Dan untuk beberapa alasan, rasanya seperti aku hanya bergerak sesuai dengan apa yang paling nyaman bagi Ryuzaki.

Maksudku, sungguh... bagi seseorang yang terlalu berhati-hati dan pengecut sepertiku, hingga lengah seperti ini—itu sungguh tidak wajar.

Rasanya lebih masuk akal untuk mengatakan bahwa kesalahan yang tidak lazim dari Nakayama Kotaro ini terjadi karena beberapa kemudahan plot yang mendorong Ryuzaki Ryoma—sang protagonis—maju.

Saat aku memikirkan itu, aku merasakan sesuatu yang bahkan tidak dapat kujelaskan. Semacam kekuatan yang tak terlihat.

(Tidak ada yang bisa menghentikan ini…)

Pemikiran-pemikiran negatif yang telah ditekan berkat Shimotsuki-san mulai muncul ke permukaan lagi.

(Seorang 'karakter sampingan' sepertiku… aku tidak bisa berbuat apa-apa.)

Tak peduli apa yang kukatakan, tak peduli apa yang kulakukan, aku tak dapat mengubah apa pun. Karena aku sudah menjadi seseorang yang hanya bisa bertindak sesuai keinginan Ryuzaki.

Keyakinan itu… membuat keinginanku untuk melawan tiba-tiba lenyap.

“Eh… tapi, tetap saja…”

Aku mencoba mencari sesuatu untuk diucapkan, tetapi tak ada yang terlintas di pikiranku. Kabut tebal di kepalaku menyebar lebih jauh—sampai semuanya menjadi kosong sepenuhnya.

“…Aku tidak akan tertipu lagi. Nakayama, sudah kubilang—aku mengakuimu. Aku tidak akan menahan diri. Aku akan menghadapi Shiho dengan serius. Jadi sebaiknya kamu melakukan hal yang sama… dan berhenti melakukan trik pengecut seperti ini.”

Ryuzaki menutup protesku yang seperti alasan dengan kalimat keras.

Mungkin ia memutuskan tidak ada lagi yang perlu dikatakan—kali ini, ia benar-benar meninggalkan kelas kosong itu.

Itulah kedua kalinya aku melihatnya pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun.

Dan kali ini, punggungnya tampak lebih besar—dan lebih jauh—daripada sebelumnya.

“…Aku tidak bisa berbuat apa-apa.”

Aku merasa seperti teringat kembali tempatku berada.

Aku benar-benar hanya seorang karakter sampingan.

Seorang budak cerita yang hanya diizinkan bertindak dengan cara yang menguntungkan tokoh utama.

 

◆◆◆◆

 

Aku tidak sanggup menghadapi Shimotsuki-san.

Aku tidak tahu harus berkata apa tentang Ryuzaki.

Pasti ada pilihan yang lebih baik yang bisa kuambil, tetapi aku tidak bisa memilihnya. Itu membuatku merasa menyedihkan.

Aku merasa kecewa. Lebih dari siapa pun… Aku muak dengan diriku sendiri.

[Mungkin Onii-chan bukanlah kakak laki-laki yang ideal. Mungkin yang selama ini kucari adalah... Ryoma-oniichan.]

[Ryu-kun mungkin adalah jodohku. Jantungku berdebar lebih kencang ketika aku bersamanya daripada saat bersamamu, Ko-kun]

[Aku yakin Kotaro-san tidak membutuhkan orang sepertiku lagi. Tapi bagi Ryoma-san… seseorang sepertiku pastilah diperlukan.]

Kembali pada upacara penerimaan siswa baru SMA, tepat setelah bertemu Ryuzaki Ryoma—Azusa, Kirari, dan Yuzuki semuanya mengatakan hal-hal seperti itu kepadaku.

Semuanya terjadi pada hari yang sama, tidak kurang. Aku mengingatnya dengan sangat jelas, setiap katanya.

(Sama seperti dulu… apa kami akan berpisah lagi?)

Padahal kami akhirnya bisa menjadi teman. Tapi aku takut Shimotsuki-san akan kecewa pada seseorang yang menyedihkan sepertiku juga.

Mungkin itulah sebabnya aku berpikiran suram seperti itu. Aku benar-benar lupa apa yang seharusnya kami lakukan setelah sekolah.

“—Ah! Nakayama-kun! Kamu akhirnya kembali!”

Ketika aku turun dari bus dan berjalan pulang menuju rumah, Shimotsuki-san sudah berdiri di depan pintu, melambai penuh semangat ke arahku.

(Benar sekali... hari ini kita akan berpesta. Aku harus mempersiapkannya.)

Jika kita merayakan seberapa keras dirinya belajar, maka ini bukan saatnya untuk merajuk. Sambil berpikir demikian, aku cepat-cepat memaksakan senyum.

“Maaf, aku mengalami beberapa hal dan pulang lebih lambat dari rencana.”

“Ya ampun, Nakayama-kun… Kita seharusnya mengadakan pesta 'Shiho-chan Mendapat 72 Poin Matematika—Sungguh Luar Biasa,' dan sekarang kamu datang terlambat? Itu tidak bisa dimaafkan. Sebagai hukuman, penaltimu adalah memerah saat aku mengelus kepalamu—tunggu, ya?”

Suara Shimotsuki-san dipenuhi dengan energi ceria.

Namun di tengah-tengah perkataannya, dia memiringkan kepalanya sambil cemberut.

“Hm? Aku mendengar suara aneh… Suara sedih yang membuatku hampir ingin menangis hanya dengan mendengarnya.”

Lalu, sambil menggerakkan telinganya yang kecil, dia melangkah mendekatiku. Dia tidak benar-benar menyentuhku, tetapi jarak di antara kami tidak lebih dari beberapa sentimeter.

“Apa kamu merasa sedih lagi saat aku tidak ada?”

“—Hah?”

Dia menyadarinya. Meskipun dia begitu ceria beberapa detik yang lalu, hanya dengan berada di dekatku sudah cukup baginya untuk mengetahui keadaanku.

“Jujur saja, kamu ini memang gampang sekali depresi ya.”

Dengan mengangkat bahu pelan yang seolah berkata, Astaga, dia mendesah pelan.

“Ayo berjongkok?

“...Hah? Kenapa?”

“Ayo lakukan saja.

“Ah, oke. Oke.”

Dia tidak memberi ruang untuk berdebat, jadi aku patuh melakukan apa yang dia katakan. Shimotsuki-san lalu memukul kepalaku dengan pelan.

Tentu saja, itu tidak menyakitkan. Namun, entah mengapa, dampaknya bergema dalam diriku.

“Dasar bodoh. Berusaha menyembunyikan sesuatu dariku? Kurang ajar sekali... Kau seharusnya malu. Lagipula, sekarang sudah tidak apa-apa, oke? Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku selalu berada di pihakmu.”

Padahal aku belum mengatakan apa pun.

Shimotsuki-san telah mengatakan apa yang paling perlu kudengar.

“…………”

Aku tercengang. Dan pada saat yang sama, tiba-tiba aku merasa ingin menangis. Nafasku tercekat di tenggorokanku.

Bagaimana dia bisa begitu memahamiku seperti ini, sementara aku tidak bisa menjelaskan apa pun dengan kata-kata?

Kebaikannya menyembuhkan bagian hatiku yang telah berubah getir.

“Kita akan mengadakan pestanya nanti, oke…? Untuk saat ini, ayo masuk ke dalam. Ceritakan apa yang terjadi. Aku akan memikul separuh bebanmu.”

Dan dengan senyum lembut, dia berkata:

“Kita berdua berteman, kan? Jadi, kamu tidak perlu menahan diri.”

Cara dia mengatakannya—rasanya seperti dia mencoba menanamkannya ke dalam diriku.

Atau mungkin malah sedikit memarahiku.

Dan nada bicaranya itu membuat wajahku melembut tanpa kusadari.

Shimotsuki-san benar-benar penyelamatku.

Setiap kali… ketika aku sedang berjuang, dialah yang selalu mengulurkan tangannya padaku—

 

◆◆◆◆

 

Kami masuk ke dalam rumahku, dan aku duduk di sofa ruang tamu. Kemudian aku mulai berbicara tentang apa yang terjadi.

“Sebenarnya… setelah kamu pergi tadi, aku sempat bicara dengan Ryuzaki. Kamu tahu bagaimana kita akan melakukan perjalanan menginap minggu depan? Dan, yah… selama itu, dia…”

(Ryuzaki berencana untuk mengaku pada Shimotsuki-san.)

Aku tidak yakin apa aku harus mengatakannya dengan lantang. Dia benar-benar tidak menyukai Ryuzaki, jadi pengakuan darinya bisa membuatnya benar-benar marah.

Setidaknya, itulah yang aku pikirkan.

“Hmm… Apa Ryuzaki-kun berencana untuk menyatakan perasaannya padaku atau semacamnya?”

Yang mengejutkanku, Shimotsuki-san justru sudah menebaknya.

“K-Kenapa kamu berpikir begitu?”

Yah, kamu tampak kesulitan sekali mengatakannya... dan jika Ryuzaki-kun mencoba melakukan sesuatu yang melibatkanku, maka satu-satunya hal yang masuk akal ialah ia berusaha menembakku. Nakayama-kun, kamu bereaksi terlalu berlebihan.

Reaksinya sungguh acuh tak acuh.

“Apa, kamu pikir aku akan menangis atau semacamnya? Konyol, aku bukan gadis senaif itu. Sebenarnya, Nakayama-kun—aku lebih terbiasa dengan hal-hal seperti ini daripada yang kamu bayangkan loh.”

Lalu, seolah ingin menjelaskan alasannya, dia mencubit telinganya pelan.

“Pendengaranku sangat bagus, lho. Aku bisa mendengar anak-anak laki-laki di kelas berbicara tentang betapa mereka menyukaiku. Tentu saja aku juga menyadari perasaan Ryuzaki-kun… Jangan samakan aku dengannya dan menganggapku tidak peka.”

Namun, suaranya tidak lagi hangat seperti biasanya. Perkataannya mengandung perasaan pasrah. Lelah. Mungkin bahkan jijik.

Dan itu tidak terasa seperti Shimotsuki-san yang biasa.

“Mereka selalu seperti itu, sejak aku masih kecil. Mungkin kedengarannya agak sombong, tapi... orang-orang selalu melihatku dengan motif tersembunyi. Orang yang paling sering melakukan itu adalah Ryuzaki-kun. Jadi aku sudah mempersiapkan diri untuk hari di mana ia akhirnya menembakku.

Jadi begitu ya

Mungkin aku sedikit meremehkannya.

Pikiran itu membuatku merasa malu terhadap diriku sendiri.

“Maaf. Kupikir terlibat dengan Ryuzaki hanya akan membuatmu tidak bahagia… Jadi aku ingin melindungimu. Tapi aku tidak bisa… dan itulah mengapa aku merasa sedih.”

Saat aku mengungkapkan perasaan jujurku, Shimotsuki-san memberiku senyuman—yang penuh kehangatan dan kebahagiaan.

“Benarkah? Kamu jadi merasa sedih karena memikirkanku…? Nakayama-kun, kamu sangat peduli padaku… Itu membuatku sangat senang.”

Tepat seperti yang kupikirkan—Shimotsuki-san sangat memahamiku, bahkan saat aku tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata.

“Terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Tapi aku akan baik-baik saja... Aku selalu tahu pada akhirnya aku harus menghadapinya. Hanya ada waktu terbatas untuk terus melarikan diri.”

Lalu, seolah menenangkan dirinya, Shimotsuki-san mengepalkan tinjunya.

Bahkan jika ia berusaha menyatakan cintanya, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk mengatakan apa yang perlu kukatakan, dengan jelas dan benar. Kalau tidak, aku akan terus membuat Nakayama-kun khawatir selamanya.

“Apa ada yang bisa aku bantu? Kalau ada yang bisa aku bantu, aku mau membantumu.”

Sebagai seorang teman. Sebagai seseorang yang berutang banyak padanya. Aku ingin melakukan apa pun yang aku bisa untuknya.

“Kalau begitu… tetaplah bersamaku.”

Namun, apa yang diminta Shimotsuki-san adalah sesuatu yang begitu sederhana—terasa seperti kebiasaan bagiku.

“Hanya itu saja?”

“Itulah alasannya. Hanya dengan berada di dekatmu saja aku merasa aman... Itu saja sudah lebih dari cukup bagiku.”

Tidak ada orang lain di dunia yang bisa mengatakan sesuatu seperti itu.

Pemikiran itu tiba-tiba muncul di benakku, dan dadaku terasa hangat.

Setelah berhadapan langsung dengan aura protagonis Ryuzaki yang luar biasa, aku mulai terjerumus ke dalam pola pikir yang pahit—tetapi berkat Shimotsuki-san, aku mampu menarik diri dari pengaruhnya.

Pikiranku akhirnya mulai jernih lagi.

“Tentang perjalanan menginap… Ryuzaki dan aku mungkin akan berada di kelompok yang sama. Kurasa ia akan mengajakmu juga. Apa kamu setuju?”

“Benarkah? Yah, kurasa mau bagaimana lagi… Tapi sejujurnya, aku tidak terlalu antusias dengan hal itu. Aku biasanya melewatkan acara sekolah semacam ini, tau?”

“…Ya. Melewatkannya mungkin bisa jadi pilihan yang lebih aman.”

“Tapi kalau begitu, aku tidak akan bisa membuat kenangan indah bersamamu, Nakayama-kun.”

“Baiklah. Aku akan sangat senang jika kamu ikut juga, Shimotsuki-san.”

Akhirnya, kami bisa berbicara seperti biasa lagi.

Aku masih khawatir tentang perjalanan ini—tapi jika aku terus melarikan diri dari berbagai hal, semuanya tidak akan pernah membaik.

Tentu, aku hanyalah seorang karakter sampingan. Hanya sedikit yang dapat kulakukan. Tapi bahkan orang sepertiku dapat tetap di sisi Shimotsuki-san.

Jadi aku akan memastikan untuk menindaklanjutinya.

“Aku sedikit khawatir tentang Ryuzaki-kun… tapi lebih dari itu, aku sangat menantikan perjalanan bersamamu, Nakayama-kun.”

Lalu, dia menggenggam tanganku dengan lembut.

Hangatnya.

Kehangatan itu seakan menaikkan suhu hatiku. Tiba-tiba aku merasakan getaran kegembiraan yang gugup.

Perasaan ini… berbeda dengan apa yang kurasakan saat masih bersama Azusa atau yang lainnya.

Mungkin… Shimotsuki-san memang seseorang yang spesial bagiku—

 

◆◆◆◆

 

Dan begitu saja, ceritanya berubah.

Mulai saat ini, segala sesuatunya cenderung bergerak cepat menuju klimaks.

Mungkin takkan ada peran yang tersisa untuk karakter sampingan sepertiku. Mungkin aku hanya akan menjadi penonton—tapi tidak apa-apa.

Karena memang itulah jenis ceritanya.

Sebuah komedi romantis yang dibintangi Ryuzaki Ryoma… yang diceritakan dari sudut pandang karakter sampingan.

 


Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama