Epilog
Awal
Juli. Saat musim panas mulai menampakkan kehadiannya, dia sedang
membolak-balik album foto lama di kamarnya sebelum berangkat ke sekolah.
“…Fufu.”
Dengan
senyum penuh arti di wajahnya saat dia membolak-balik halaman, dia
mungkin tampak sedikit menyeramkan bagi siapa pun yang menonton.
Namun,
tak seorang pun akan menyalahkannya karena suasana hatinya sedang baik—album
itu berisi seseorang yang sangat penting baginya. Dia hanya muncul dalam tiga
foto, dan itu pun hanya di sudut bingkai secara kebetulan. Namun, dia ada di
sana, dan Shiho akhir-akhir ini cukup sering memandangi foto-foto itu.
Sudah
sebulan sejak perjalanan sekolah. Yang juga berarti… sudah
sebulan sejak dia menyadari kebenarannya.
(Aku
tahu ada yang aneh… Sejak pertama kali kami mengobrol di kelas,
aku tidak pernah merasa gugup di dekatnya.)
Dia
selalu menganggap hal itu cukup aneh. Biasanya, dia akan merasa
cemas di dekat kebanyakan orang. Namun ketika sedan bersamanya, sejak awal, Shiho bisa menjadi
dirinya sendiri.
Awalnya,
dia pikir itu hanya kebetulan. Mungkin ia memang orang seperti itu.
Tetapi
setelah memeluknya selama perjalanan sekolah, ketika dia menempelkan telinganya
ke dada lelaki itu dan mendengar detak jantungnya, dia teringat suara itu.
(Aku
mengenal suaranya)
Dengan
pendengarannya yang tajam, dia mengingatnya dengan baik. Itu adalah
suara yang selalu dia dengar saat masih bayi—detak jantungnya.
“Jadi
kamu
selalu berada di sampingku, ya… Kotaro-kun.”
Dia
menggumamkan hal itu pelan seraya menyentuh pelan sebuah foto dalam album masa
kecilnya.
Dalam
foto tersebut, bayi Shiho sedang digendong oleh ibunya… dan di sudut, seorang
bayi laki-laki sedang tertidur di kotak bayi.
Tentu
saja, dia tidak mengingat banyak hal dari masa itu. Namun, ada satu
hal yang melekat dalam ingatannya selama ini.
Itu detak
jantungnya—detak jantung Kotaro.
(Rasanya nostalgia sekali. Dulu aku sering mendengar
suara itu, bukan?)
Tempat
tidur bayi mereka bersebelahan di kamar bayi yang baru lahir, dan ibu mereka
rupanya juga berbagi kamar rumah sakit yang sama. Siang dan malam, Kotaro
selalu ada di sana.
Mungkin
itu sebabnya tubuhnya mengingat suaranya, bahkan setelah mereka dewasa. Mana mungkin dia akan
merasa gugup mendengar detak jantung itu.
Sebaliknya,
irama yang menenangkan dan familiar itulah yang membuatnya tenang. Itulah
sebabnya dia selalu bisa menjadi dirinya sendiri di dekat Kotaro.
“…Ah,
sudah selarut ini?”
Akhir-akhir
ini, Shiho terus terganggu oleh album di pagi hari dan
hampir terlambat ke sekolah.
Dia berlari keluar rumah
dengan terburu-buru.
Saat dia
bergegas menuju sekolah, dia tak dapat menahan diri untuk tidak menarik
perhatian siswa-siswa lain, yang membuatnya secara naluriah menundukkan
pandangannya.
(Ugh…
aku masih belum terbiasa dengan ini. Aku jadi sangat
gugup…)
Dia masih
belum pandai bergaul dengan orang lain saat dia sendirian.
Tetapi
begitu dia sampai di kelas dan melihat wajahnya, semua ketegangan itu lenyap
dalam sekejap.
“Selamat
pagi, Shiho.”
Suaranya
lembut—tetapi jelas terdengar bahagia. Dan saat melihat ekspresi lembut Kotaro,
Shiho tak kuasa menahan senyum.
Sejak
perjalanan sekolah itu, Shiho dan Kotaro mulai lebih banyak mengobrol, bahkan
di kelas. Berkat itu, kehidupan sekolahnya menjadi jauh lebih memuaskan.
“Ya. Pagi juga… Kotaro-kun!”
Dia
melangkah mendekatinya dengan langkah ringan—dan sekali lagi, dia bisa
mendengarnya. Detak jantungnya.
Degup,
degup. Irama
unik Kotaro—suara yang sama yang didengarnya saat masih bayi.
(Aku
ingin tahu seperti apa ekspresi Kotaro-kun saat tahu kita adalah teman masa
kecil. Semoga saja itu lucu.)
Sebagian
dirinya ingin mengungkapkan kebenaran hanya untuk melihat reaksinya.
(Tapi
masa lalu tidak terlalu penting. Yang penting adalah apa yang ada di depan...
dan aku tidak bisa terburu-buru. Aku ingin perlahan-lahan semakin dekat dengan
Kotaro-kun... dan suatu hari nanti, aku berharap kita bisa menjadi sesuatu yang
lebih istimewa.)
Shiho
telah memutuskan untuk menghargai hubungannya dengan Kotaro. Demi menghindari
penyesalan, dia sengaja memilih untuk tidak terburu-buru menjawab.
“…Ada
apa? Kamu tiba-tiba jadi pendiam. Kamu kurang tidur ya? Tunggu, jangan
bilang kamu begadang lagi untuk bermain game? Itu tidak baik—kamu harus tidur
dengan cukup di malam hari!”
“aJ-Jangan bicara
seperti ibuku! Memang, aku tidak banyak tidur... tapi tidak apa-apa, aku akan
tidur siang saja selama kelas supaya aku tidak kekurangan tidur!”
“…Itu
juga masalah, lho.”
Setelah
bercanda ringan seperti biasa, Shiho menuju ke tempat duduknya.
Dia
duduk di sebelah Ryuzaki Ryoma, yang meletakkan dagunya di atas tangannya
sambil tampak cemberut. Sejak perjalanan sekolah, ia tidak mengatakan sepatah
kata pun padanya. Itu membuat kehidupan sekolahnya jauh lebih damai akhir-akhir
ini.
(Tidak
apa-apa.)
Pagi itu,
sambil menatap ke luar jendela, dia diam-diam membuat sebuah permohonan.
(Aku
tidak butuh sesuatu yang terlalu sempurna… Aku hanya menginginkan kebahagiaan
yang biasa saja—dengan Kotaro-kun di sisiku.)
Shiho
tidak meminta banyak.
Bahkan
sebagai ‘heroine’, dia merasa bahwa kebahagiaan
biasa sudah lebih dari cukup. Dan itulah mengapa orang yang ia pilih...
bukanlah tokoh utama.
── Shimotsuki-san menyukai karakter
sampingan.
Pasangan yang ditakdirkan bersamanya bukanlah orang yang luar biasa—melainkan
seseorang yang benar-benar biasa. Seseorang yang cukup baik untuk selalu
mengutamakan orang lain.
Kamu
mungkin menyebutnya membosankan. Namun, itulah yang dia sukai.
Tidak
perlu alur cerita yang dramatis atau romansa yang berlebihan.
Kisah mereka
tidak perlu suka maupun duka.
Yang dia
inginkan hanyalah… kebahagiaan yang damai.
Dibandingkan
dengan kisah cinta normal, alurnya mungkin lebih lambat.
Tapi itu
baik-baik saja.
Tidak—Shiho
yakin memang begitulah seharusnya.
Dan
begitulah, kisah tentang karakter sampingan yang merendahkan
diri itu berakhir… dan kehidupan sehari-hari yang tenang dari Kotaro dan Shiho
pun dimulai.
Masa
depan mereka mungkin akan disebut sebagai “kekacauan yang membosankan” oleh
sebagian orang…
