Prolog — Monolog dari Protagonis Harem yang Gagal
Bukan
beginilah seharusnya segala sesuatunya berjalan.
“Brengsek!”
Kata-kata umpatan terlontar tanpa pikir panjang. Suasana hatiku sedang buruk
beberapa hari ini. Meski saat itu masih pagi—tepat setelah
matahari terbit—aku sudah berjalan-jalan.
Akhir-akhir
ini, aku tidak bisa tidur nyenyak.
Tidak
melakukan apa-apa justru membuatku semakin kesal, jadi kupikir jalan-jalan
mungkin bisa menjernihkan pikiranku. Tapi meski begitu, aku tak bisa
menghentikan adegan itu terputar di pikiranku, dan aku tak bisa
merasa
tenang.
(Shiho…
kenapa bukan aku?)
Dulu,
saat kegiatan perjalanan sekolah, aku menyatakan perasaanku kepada teman masa kecilku,
Shimotsuki Shiho, di atas panggung—dan dia menolakku.
Yang
dipilihnya malah teman sekelas yang biasa-biasa saja, membosankan, dan
biasa-biasa saja.
Sudah
hampir tiga bulan sejak saat itu.
Namun, aku masih tidak bisa
melupakan ekspresi wajah Nakayama… cara cowok keparat itu menertawakanku.
“Jangan
berani-berani menertawakanku…”
Itu
seharusnya tidak pernah terjadi. Aku bukanlah seseorang
yang seharusnya dipandang rendah oleh orang seperti itu. Penampilan, nilai,
kemampuan atletik—semua tentangku lebih baik daripada Nakayama.
Dibandingkan
denganku, Nakayama tidak ada apa-apanya… hanya karakter sampingan biasa.
Namun,
aku tetap merasa rendah diri terhadapnya.
Akhir-akhir
ini, perasaan itu terus menggerogoti diriku.
(Bagaimana
mungkin aku bisa melupakan tawa puas Nakayama?)
Saat aku sedang berpikir demikian—
“Guk!”
Sebuah
gonggongan menyadarkanku dari lamunanku. Aku spontan mendongak dan melihat
seekor anjing.
“Tunggu
aku!”
“…Hah?”
Dan
kemudian—aku melihat seorang gadis yang hampir tertabrak mobil,
tepat di depanku.
Apa dia
pemiliknya? Dia mengejar anjing itu dan tampak benar-benar teralihkan… dia
tidak menyadari adanya mobil yang melaju.
Kalau
terus begini, dia pasti akan tertabrak.
Mana mungkin mungkin kamu bisa menyelamatkannya, Nakayama menyeringai dalam pikiranku.
Sebelum
aku menyadarinya, tubuhku telah bergerak.
“Bahaya!!”
Aku
menyerbunya, menjatuhkannya ke luar jalan dan ke trotoar seberang.
“!!”
Sesaat
kemudian, mobil itu melaju tepat di belakang kami. Berkat gerakan
refleksku,
aku
berhasil menyelamatkannya.
“Ugh…
sial, itu sakit!”
Gara-gara
caraku menukik, aku terbanting keras ke atas permukaan tanah. Rasa sakit
menjalar ke siku, lengan, punggung, kaki—ke mana-mana. Tapi itu tak lebih dari
beberapa goresan. Tubuhku telah bertindak sebagai bantalan dan melindunginya.
Tak seorang pun bisa mengeluh tentang hasil itu.
Suara
mengejek Nakayama telah lenyap dari pikiranku.
(Bagus...
jangan tunjukkan wajahmu lagi. Kamu membuatku jengkel.)
“Eh,
um... terima kasih sudah membantuku. A-Agarito... Arigato, ya”
Akhirnya,
aku mendengar suara gadis yang baru saja aku selamatkan.
“Tapi,
menyentuh payudaraku agak… tidak baik, oke?”
Bahasa
Jepangnya tidak lancar, dan dengan rambutnya yang pirang dan sikap tubuhnya
yang luar biasa lembut, aku menyadari dia bukan orang Jepang.
Sama
seperti Shiho, dia juga gadis asing. Yah, Shiho cuma blasteran, jadi dia tetap
dianggap orang Jepang.
“Maaf
soal itu. Tapi ayolah, aku baru saja menyelamatkan hidupmu. Jadi
tolong maklumi lah.”
Aku
berdiri dan dia mengikutinya.
“Maaf!
Anjing kecilku tiba-tiba lari, dan aku mengejarnya tanpa
berpikir... dan hampir tertabrak! HAHAHA!”
Suasana hatinya terlalu ceria bagi seseorang yang hampir meninggal. Penasaran
dengan ekspresi seperti apa yang cocok dengan tawa itu, aku mendongak—dan
membeku.
Orang yang berdiri
di sana sambil tersenyum cerah, adalah seorang wanita yang luar
biasa cantiknya.
“…!”
Napasku
tercekat. Dia tampak seperti baru saja keluar dari film Hollywood... Aku hampir
pingsan di tempat.
Dia
mungkin lebih cantik dari Shiho—dia sungguh menakjubkan.
Dan
kemudian, pikiran itu muncul di benakku.
(Bagaimana
kalau aku mendapatkan cewek yang lebih cantik dan imut daripada
Shiho? Bukannya itu bukti kalau aku lebih baik daripada Nakayama?)
Jika aku
bisa berpacaran dengan gadis ini… mungkin rasa rendah diri yang
kurasakan terhadap Nakayama akhirnya bisa menghilang.
Menyadari
hal itu membuat tubuhku penuh energi.
“Hah?
Kamu tiba-tiba linglung. Ada yang salah?”
“Enggak...
nggak apa-apa. Pokoknya, aku senang kamu baik-baik saja.”
Aku
tersenyum padanya, sembari mengepalkan tanganku agar dia tidak dapat melihatnya.
Kamu
selalu hanya memikirkan dirimu sendiri, bukan?
Suara
Nakayama kembali terngiang dalam pikiranku—tapi aku mengabaikannya dan
mengacuhkannya dalam benakku.
Lihat saja
nanti...
Aku akan membuktikan bahwa aku lebih unggul darimu, sekali
dan untuk selamanya.
Jangan
berpikir kamu menang, Nakayama.
Aku,
Ryuzaki Ryoma, masih belum selesai—
