Chapter 1 — Penambahan Heroine di Pertengahan Seri?
Liburan
musim panas berakhir dalam sekejap mata. Pada hari pertama semester
kedua, aku—Nakayama Kotaro—berjalan melewati gerbang sekolah untuk pertama
kalinya dalam waktu sekitar satu setengah bulan.
Meskipun sekarang
sudah
memasuki bulan
September, suhu panasnya masih belum juga mereda. Kebanyakan murid yang
berlalu-lalang masih mengenakan kemeja lengan pendek, penampilan mereka hampir
sama seperti sebelum liburan musim panas.
Itulah
sebabnya dia tampak menonjol—hanya dari pakaian berlengan panjangnya saja.
Terlebih
lagi, dengan rambut perak pucat dan mata biru langit yang jernih, penampilannya
jauh dari gambaran gadis Jepang pada umumnya. Jadi sudah sewajarnya dia menarik
perhatian semua orang di sekitarnya.
Dia
adalah tipe gadis yang dapat memikat seseorang hanya dengan
berjalan melewatinya.
Dan
sekarang, gadis itu melambaikan tangannya dengan antusias ke arahku.
“Heiiiiiiiiii! Tunggu!”
Ditambah
lagi, dia datang seolah ingin berjalan bersama.
“S-Selamat
pagi… Shimotsuki-san.”
Mungkin
otakku masih sedikit berkabut karena liburan musim panas. Akhirnya aku
memanggilnya seperti yang biasa kulakukan.
“Ya,
selamat pagi. Aku senang kamu ingat menyapaku—tapi kamu salah
menyebut nama.”
Dia
menatapku sambil tersenyum jenaka.
“Panggil
aku dengan benar, seperti yang selalu kamu lakukan, oke?”
Matanya
menatap tajam ke arahku, seolah mengharapkan sesuatu. Jadi, untuk
menjawab tatapan itu… kali ini, aku memanggilnya dengan cara yang benar.
“Selamat
pagi—Shiho.”
Usai mendengar
itu, dia segera menempelkan tangannya ke pipinya yang memerah.
“Y-Ya...
Aku masih tidak bisa menahan senyum ketika kamu memanggilku dengan nama seperti
itu. Selamat pagi, Kotaro-kun.”
Dulu saat
jalan-jalan
sekolah, kami mulai memanggil satu sama lain dengan nama depan. Sejak
saat itu, dia benci dipanggil “Shimotsuki-san” karena
merasa seolah-olah kami hanyalah orang asing.
Berkat
itu, aku jadi terbiasa memanggilnya “Shiho” saja.
“Rasanya senang
sekali aku bisa bertemu denganmu pagi ini. Hari ini akan jadi hari yang
menyenangkan, ya?”
“Ya.
Berkatmu, kurasa aku bisa bertahan di jam pelajaran pertamaku
kembali.”
“Hmm,
usahakan yang terbaik! Aku mungkin akan tidur siang untuk menyimpan energiku
sepulang sekolah... ada game baru kemarin, dan aku harus terus
bermain setelah kelas selesai!”
“Tunggu
dulu, itu pasti akan menjadi bumerang bagimu… kamu akan menangis lagi sebelum
ujian berikutnya.”
“Jika aku
menangis, kamu akan menghiburku, kan, Kotaro-kun?”
Aku
menyamakan langkahku dengan langkahnya saat kami berjalan berdampingan. Shiho
terus mengobrol sepanjang perjalanan menuju ruang kelas.
“Shimotsuki-san” yang pendiam dan
tanpa ekspresi sejak awal semester pertama sudah lama hilang.
Di
semester kedua, dia adalah seorang “Shiho” yang cerdas, ceria, dan
banyak bicara.
◆◆◆◆
Begitu
kami tiba di ruang kelas, kegiatan belajar mengajar singkat pagi hari langsung
dimulai.
“Selamat
pagiii! Oke, jadi hari ini menandai dimulainya semester
kedua… haah, dan aku masih belum menikah selama liburan musim panas~. Aku
bahkan sudah berusaha sebaik mungkin untuk kencan buta, jadi di mana
salahku~? Ngomong-ngomong, kami punya banyak pengumuman hari ini, karena
semester kedua termasuk festival budaya—”
Suzuki-sensei
berbicara sedikit lebih cepat dari biasanya, mungkin karena ada begitu banyak
hal yang harus dibahas setelah jeda.
Namun
pikiranku ada di tempat lain.
(…Ryuzaki
tampak pendiam lagi hari ini.)
Baris
belakang, dekat jendela—yang disebut kursi protagonis—adalah Ryuzaki Ryoma,
duduk seperti biasa. Ia menatap ke luar jendela dengan raut wajah cemberut.
Sejak kejadian
hari itu,
Ryuzaki memang seperti itu. Lesu, tak bersemangat. Sejujurnya, itu
menguntungkanku, jadi kuharap dirinya tetap seperti itu.
(Yuzuki
dan Kirari… mereka masih sama seperti biasanya.)
Kedua
sub-heroine itu terus-menerus melirik Ryuzaki dengan cemas.
Belakangan ini mereka berdua tidak akur dengannya. Wajah mereka tampak muram.
Itu juga salah satu faktor yang menyebabkan keadaan berubah. Dan
berbicara tentang perubahan terbesar—
(Azusa…
masih tidak datang hari ini juga.)
Adik perempuan tiriku, yang mungkin masih tidur di rumah, belum muncul bahkan
saat semester kedua telah dimulai.
Setelah
Ryuzaki menolaknya, dia tampak kehilangan gairahnya. Dia berhenti datang
ke sekolah di paruh kedua semester pertama dan mengurung diri di kamar.
Aku
berharap dia akan pulih pada akhirnya… tapi untuk saat ini, aku hanya bisa diam
mendukungnya dari kejauhan.
Suatu
hari nanti, saat dia siap berdiri lagi, aku ingin berada di sana untuknya.
………… Kalau dipikir-pikir lagi,
semester pertama itu berat.
Begitu
banyak hal terjadi—ada begitu banyak hal yang berubah.
Pada
upacara penerimaan, aku sudah mulai menjauh dari adik perempuan tiriku, teman
perempuanku, dan teman masa kecilku.
Mereka
semua jatuh cinta pada Ryuzaki Ryoma, protagonis harem, dan
mengambil peran sebagai sub-heroine dalam kehidupan
sekolahnya.
Sementara
itu, aku menjalani kehidupan sekolahku sebagai karakter sampingan yang muram.
Saat
itulah aku bertemu Shimotsuki Shiho. Meskipun dia berperan sebagai heroine
utama
dalam rom-com Ryuzaki, dia memilih untuk berteman denganku.
Dan
dengan hilangnya heroine utamanya, cerita romcom harem Ryuzaki pun
hancur.
Sebaliknya,
“Nakayama-kun” dan “Shimotsuki-san” menjadi “Kotaro-kun” dan “Shiho”. Perlahan tapi
pasti, hubungan kami mulai tumbuh. Aku berharap suatu hari nanti, hubungan kami
akan berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam.
Komedi
romantis Ryuzaki sudah tamat. Tak perlu terburu-buru lagi.
Atau
setidaknya—itulah yang kupikirkan.
Namun trupanya aku keliru.
Kisah
Ryuzaki Ryoma memang sudah berakhir…
…tapi itu
hanya akhir sementara.
“Oke,
sekian dulu untuk saat ini! Agak panjang, tapi cukup sekian untuk
pengumumannya. Nah... hmm... dia seharusnya sudah tiba sebentar lagi—”
Tepat
saat Suzuki-sensei memeriksa jam, pintu kelas tiba-tiba terbuka.
“Haloo♪
Ini dia penampilan perdana Mary-san! Aku dari Amerika, tapi aku bisa bahasa
Jepang, jadi ayo kita berteman, oke~☆”
Seorang
gadis cantik berambut pirang dan bermata biru melangkah memasuki kelas. Dan
pada saat itu juga, semua orang di kelas mungkin memiliki pemikiran yang sama:
Dia
cantik ── .
Namun itu
bukan sekedar kecantikan biasa.
Sosoknya
yang glamor dan memikat mata. Rambut pirang keemasannya yang halus dan berkilau
yang tak tergantikan oleh salon mana pun. Kulitnya yang seputih salju dan tanpa
cela. Setiap fitur wajahnya dengan mudah melampaui batas-batas yang biasa
disebut
‘normal’.
Dia—sama
seperti Shimotsuki Shiho.
Penampilannya
tidak diragukan lagi termasuk dalam kategori luar biasa.
“Jadi
ya, kita punya murid pindahan baru! Mary-san datang jauh-jauh dari Amerika,
jadi pastikan kamu membantunya di Jepang!”
“Yoroshiku
onegai shimasu!…Ah!”
Dan
kemudian—begitu saja—matanya berbinar saat dia melihat Ryuzaki.
“Ryoma!?
Aku enggak tahu kamu sekolah di sini... ini pasti takdir!”
“Hah?
Mary-san, kamu kenal Ryuzaki-kun?”
“Iyaaa~♪
Dia menyelamatkanku pagi ini ketika aku hampir tertabrak mobil!”
“…I-Itu
pertemuan pertama yang cukup dramatis.”
Guru wali
kelas kami, Suzuki-sensei, mencoba berbicara
padanya, tetapi Mary hanya tertarik pada Ryuzaki.
“Ryoma,
aku mengandalkanmu mulai sekarang, oke?”
Itu
seperti sesuatu yang langsung diambil dari bab pertama sebuah komedi romantis. Melihat
gadis pirang cantik itu berlari gembira ke arahnya, aku merasakan rasa takut
yang tak dapat dielakkan.
(Apa jangan-jangan ini... perombakan pemeran?)
Memperkenalkan
heroine utama
baru untuk menghindari stagnasi alur cerita—jenis “perombakan pemeran”
seperti ini merupakan kiasan yang umum.
Yang
hanya bisa berarti satu hal…
Film
komedi romantis garapan Ryuzaki Ryoma mulai lagi.
Sama
seperti seri jilid kedua yang melanjutkan seri pertama yang ditinggalkan.
◆◆◆◆
Mary
Parker.
Seorang gadis pertukaran
pelajar
yang lahir dan besar di Amerika. Rupanya, dia adalah penggemar budaya
Jepang dan sering mengunjungi Jepang bersama keluarganya saat masih
kecil.
Kepribadiannya
ceria dari awal hingga akhir—selalu tersenyum, selalu penuh energi. Sifatnya
yang periang dan supel membuatnya langsung populer di kalangan teman-teman
sekelas, dan hanya dalam seminggu setelah kepindahannya, dia sudah punya
banyak teman.
Sudah
seminggu sejak dia bergabung dengan kelas kami. Aku menghabiskan waktu
itu mengamatinya dalam diam—dan dengan begitu, aku jadi memahami sesuatu dengan
sangat jelas.
Mary-san,
tanpa diragukan lagi, adalah seseorang yang memiliki kualitas
istimewa —kehadiran karakter khas yang membuatnya menonjol.
Pertama,
keluarganya kaya— sangat kaya, dari apa yang kudengar.
“HAHAHA!
Ryoma, lain kali mau main ke rumahku? Rumahnya luas banget, jadi kamu pasti bisa
main sepuasnya!”
Menurut
rumor, rumahnya praktis merupakan istana yang tak terbayangkan.
Dia juga
memiliki kemampuan atletik yang luar biasa.
“Ryoma,
aku baru saja larinya super cepat, kan? Di Amerika, kamu harus secepat ini atau
kamu tidak akan bisa menghindari peluru, tahu~☆”
Saat
pelajaran olahraga, dia membuat lelucon seperti itu sambil berlari lebih cepat
dari anak-anak laki-laki dari tim lari.
Kemampuan
fisiknya melampaui perbedaan gender—jelas tidak normal.
Selain
itu, dia juga berbakat dalam bidang akademis.
“Ryoma,
aku dapat nilai sempurna di tes bahasa Jepang! Mungkin aku jenius
♪”
Dia
dengan mudah menjawab soal-soal tata bahasa klasik yang sulit dan lulus ujian
dengan nilai sempurna. Bahkan, dia tampak selalu mendapat nilai sempurna di
setiap mata pelajaran—mungkin dia tidak punya kelemahan sama sekali.
Kepribadiannya,
penampilannya, latar belakangnya, kemampuan atletisnya, kecerdasannya—semua
tentangnya adalah yang terbaik.
Singkatnya, dia adalah heroine
yang sempurna.
Ini sama
sekali tidak normal. Sama seperti Shiho, dia berada di kelas yang sama sekali
berbeda.
Namun—ada
satu perbedaan yang jelas antara dia dan Shiho.
Mary-san tidak dapat disangkal lagi menaruh kasih sayang terhadap Ryuzaki.
“Ryoma,
boleh aku mampir lagi hari ini?”
“Hah?
Aku sih tidak masalah, tapi kamu terus-terusan mampir sejak pindah.
Memangnya seseru itu, ya?”
“Ya♪
Aku suka—kecil dan nyaman, seperti lemari penyimpanan. Imut
banget!”
“Haha.
Yah, aku yakin dibandingkan dengan rumahmu, rumahku pasti terasa kecil.”
“Itulah
pesonanya! Saking sempitnya, kita jadi enggak punya pilihan selain
duduk berdekatan , kan~☆”
“T-Tunggu!
Kamu
terlalu dekat…!”
Kejadian tersebut terjadi saat salah satu waktu istirahat. Di tempat
duduk dekat jendela,
Mary dan Ryuzaki tengah asyik mengobrol, obrolan romantis paling stereotip yang
bisa dibayangkan.
Dengan
kenyamanan khas Barat berupa kedekatan fisik, Mary mengerahkan seluruh “strategi
serangannya”. Dia tak segan-segan melakukan kontak
fisik,
sering kali memeluknya di setiap kesempatan.
Sedangkan
Ryuzaki sendiri, tampaknya tidak keberatan sama sekali.
Wajahnya selalu tampak murung sejak jalan-jalan sekolah itu, tetapi
akhir-akhir ini ia tampaknya mulai pulih—dan sudah jelas kalau Mary-lah yang
jadi alasannya.
Dan
sejujurnya, aku tidak senang akan hal itu.
(Semoga
saja tidak terjadi hal yang aneh-aneh lagi...)
Saat
suara itu bergema di kepalaku, aku mengangguk pada diriku sendiri, dengan tegas
──.

