Chapter 10 — Dan Berbagi Kebahagiaan Pun Akhirnya Tiba
“Oh, ya
ampun.”
Koyuki
mengira fotonya akan dikirim melalui versi data, tapi Mahiru justru mengirimkan
foto secara fisik, membuatnya terkejut dan mengangkat tangan ke pipinya dengan
suara kagum. Dia tidak menentukan bentuk apa pun dan menambahkan bahwa tidak
perlu memaksakan diri untuk mengirim, jadi dia berpikir mungkin takkan ada yang
dipaketkan, tetapi tampaknya Mahiru benar-benar menepati janjinya.
Entah itu
hobi atau seleranya Mahiru, album dengan sampul sederhana ini dihiasi dengan
stiker dan selotip, menunjukkan bahwa ada lebih banyak foto yang ditempel
daripada yang dibayangkan Koyuki, terbukti dari berat dan ketebalannya.
Bisa
dibilang itulah beban dari kehidupan sehari-hari yang Mahiru jalani saat ini.
Koyuki
penasaran tentang hari-hari yang dijalani Mahiru, jadi dia segera membalik
sampul album—dan secara alami senyum muncul dari mulutnya.
Di halaman
pertama, ada foto Mahiru dengan senyuman polos yang tidak pernah bisa Koyuki
lihat meskipun dia selalu ada di sampingnya.
Meskipun
Mahiru sangat menyayanginya seperti orang tua, dia tetap sering merasa ragu. Mungkin
karena kepribadiannya, tetapi terutama karena lingkungannya, Mahiru hanya
pernah menunjukkan senyum polos dan malu-malu.
Namun,
sekarang dia bisa tersenyum tanpa beban seperti ini.
Di samping
foto tersebut ada tulisan bulat yang bukan milik Mahiru yang berbunyi, “Senyuman
penuh di momen tak terduga. Amane ada di depan matanya, jadi dia terlihat
ceria,” yang tampaknya menjelaskan situasi saat itu.
Tampaknya
dia mendapat bantuan dari teman-temannya, di halaman berikutnya ada foto Mahiru
tersenyum malu-malu bersama teman-temannya.
Mereka
adalah teman-teman Mahiru.
Mengenal
kepribadian Mahiru, da mungkin hanya menjaga orang-orang yang benar-benar dapat
dia percayai tetap dekat dengannya, dan fakta bahwa dia bisa membuat “orang-orang
yang dapat dipercaya” inilah hal yang paling membahagiakan bagi Koyuki yang
tahu bagaimana keadaan Mahiru sebelumnya.
(Karena Mahiru-san
sangat peka terhadap niat jahat orang lain.)
Karena
lingkungan tempat dia dibesarkan, Mahiru berusaha untuk tidak mempercayai orang
secara sembarangan, dan seperti yang dikhawatirkan Koyuki, penampilannya dan
kemampuannya menarik perhatian berbagai orang. Di antara mereka, pasti ada yang
membicarakan hal buruk tentangnya di belakang, dan mungkin juga ada yang ingin
memanfaatkannya.
Mahir, yang
memiliki lebih banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan orang-orang seperti
itu dibandingkan orang lain, tidak berusaha untuk terlibat dalam hubungan yang terlalu
mendalam dengan orang lain, dan selalu berperilaku seolah-olah tidak ada celah
untuk masuk ke dalam kehidupan pribadinya.
Sekarang,
melihat Mahiru tersenyum seperti ini, Koyuki merasa bahwa banyak orang yang
bisa dia percayai dengan sepenuh hati.
Dengan
tulisan berwarna-warni dan berbeda-beda, berbagai komentar dituliskan, dan
ketika Koyuki melihat tulisan sederhana “Ini adalah teman-temanku”
dengan tulisan Mahiru, rasa lega menyebar di dadanya.
Ketika dia
membuka halaman lain, semua foto menunjukkan senyum Mahiru, terkadang ada wajah
cemberut atau malu, tapi semua itu merupakan ekspresi asli Mahiru yang tidak
dibuat-buat.
Si fotografer
pasti sangat terampil, Mahiru yang mengekspresikan banyak emosi terlihat sangat
percaya kepada si fotografer.
Salah satu
foto yang menarik perhatiannya ialah saat Mahiru dan Amane memasak bersama.
Tatapan
mereka tidak mengarah ke kamera, tetapi dalam suasana yang akrab, foto mereka
yang memasak bersama menunjukkan bahwa Mahiru telah menemukan orang yang ideal.
Foto ini secara alami memberikan keyakinan bahwa mereka berdua dapat membangun
rumah tangga yang hangat dan penuh kasih tanpa saling bergantung satu sama
lain.
“Aku senang
melihatmu bisa bertemu teman-teman dan pacar yang luar biasa di sana.”
Bahkan setelah
berhenti bekerja, Koyuki masih memperhatikan Mahiru. Saat itu, Mahiru sudah
memiliki kemampuan untuk mandiri, tetapi dia masih seorang anak yang tidak
memiliki orang yang bisa dia percayai tanpa syarat, dan dalam situasi seperti
itu, Koyuki hanya bisa membiarkannya berdiri sendiri.
Mahiru pasti
merasakan kesepian yang tidak bisa dibayangkan oleh Koyuki. Namun sekarang,
Mahiru tersenyum tulus, dan dia juga memiliki pasangan yang memahami dan
mendukungnya, serta teman-teman yang melihatnya sebagai dirinya sendiri.
Senyuman
cemerlang yang tidak pernah ditunjukkan padanya. Koyuki merasa gembira
melihatnya bisa tersenyum seperti itu sekarang.
Namun,
semakin jelas bahwa penyebab dari masa lalu Mahiru akibat dari tindakan orang
tuanya. Cinta dan kasih sayang yang seharusnya mereka berikan sejak awal,
akhirnya mulai dirasakan oleh Mahiru.
(Orang-orang
itu, sungguh)
Mengapa
mereka bisa menjadi seperti itu? Koyuki tidak bisa memahami perasaan orang tua
yang mengabaikan anaknya dan tidak ingin memahaminya, tetapi meskipun dia tidak
bisa memahami proses yang membawa mereka ke titik itu, dia bisa mengerti.
“Kamu pasti
takkan bisa memahami perasaan kami berempat. Kamu yang lahir di keluarga yang baik-baik.
Kamu takkan bisa memahami perasaan seseorang yang kehidupannya telah hancur.”
“Aku takkan
berharap kamu mengerti, dan jika kamu ingin menyalahkan, silakan saja. Kami
tidak akan berubah. Tidak ada yang bisa diubah sekarang.”
“Salah itu
tidak masalah. Kami memang kesalahan. Dari tempat kami dilahirkan hingga apa
yang terjadi setelah dilahirkan, segalanya.”
“Kami
bertiga yang telah melakukan kesalahan besar tidak mungkin bisa berjalan di
jalan yang benar sekarang.”
Suara yang
dilontarkan dengan nada penuh kebencian itu bergema di benak Koyuki.
Pada saat
itu, Koyuki tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Dia sudah tahu bahwa apapun
yang dia katakan akan terdengar seperti argumen yang dangkal bagi mereka.
Setelah menutup album agar tidak terpengaruh oleh kenangan yang menyakitkan,
dia perlahan-lahan menghela napas.
(Aku
penasaran kapan balas dendam mereka semua akan berakhir...)
Koyuki sempat
bertanya mengapa seorang ibu bisa mengabaikan putrinya, dan setelah beberapa
kali berdiskusi dengan ibu kandung Mahiru, Sayo, dia akhirnya diberi tahu
tentang apa yang sedang dilakukan mereka.
Meskipun
Koyuki tidak berhak untuk mengomentari, dia benar-benar meragukan apa ada untungnya
melakukan hal-hal yang mengorbankan anaknya. Dari sudut pandangnya, dia
mempertanyakan apakah itu benar-benar sesuatu yang layak dilakukan dengan
meninggalkan anak yang masih kecil, dan ingin mengajukan tuntutan secara
publik, tapi dia tahu itu akan sia-sia.
Yang lebih
penting.
(Tapi, sayangnya,
orang-orang itu tidak punya pilihan lagi.)
Mungkin
mereka tidak bisa menjaga kewarasan mereka. arena mereka pasti akan hancur oleh
amarah, kebencian, dendam, dan kepahitan. Tidak, dari sudut pandang Koyuki,
mereka sudah hancur, dan untuk mengumpulkan kepingan-kepingan yang telah hancur
itu, demi bisa mengembalikannya ke bentuk yang benar, mereka tampaknya telah
memulai perjalanan di jalanan berduri yang dipenuhi dengan dendam yang tidak
akan padam.
Usai memikirkan
hal itu, Koyuki tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka. Dia hanya bersyukur
bahwa mereka mempercayakan Koyuki untuk menjaga putri mereka sebelum sepenuhnya
ditinggalkan, sambil menghela napas pahit memikirkan Mahiru yang harus
menanggung semua beban berat mereka.
