Chapter 9 — Kunjungan Mendadak Ke Tempat Kerja Teman
“Jadi begitulah, kurasa sudah waktunya kita mengunjungi
tempat kerjanya Amane!”
“Apa maksudnya ‘jadi begitulah’, oi apa maksudnya
coba?”
Hari ini, mereka berempat sedang makan siang bersama seperti
biasa, tapi tiba-tiba Chitose mengeluarkan pernyataan yang aneh dengan semangat
yang misterius, sehingga Amane hanya menatapnya dengan tatapan datar.
Ia membenturkan kepalanya ke meja seolah memohon, tetapi
itu membuat kotak makan siangnya bergetar dan membuatnya cukup menyebalkan.
“Apa sih asyiknya datang ke tempat kerjaku, seriusan dah...”
“Habisnya, aku ingin melihat mode karyawan kafe Amane
yang keren dan eksentrik!”
“Aku tidak ingat pernah memiliki mode aneh seperti itu.”
“Meski kamu bilang begitu, tapi kamu terlihat sangat
keren dan bertingkah seperti pria yang jantan saat festival budaya sekolah,
bukan?”
“Bukannya itu bakalan kurang pantas kalau aku melayani
pelanggan dengan suasana hati yang murung? Dan kamu sendiri juga bertindak
dengan mode pria playboy.”
“Bukankah penilaian tentangku terlalu buruk? Hei, Shiina-san!”
“Amane-kun, kamu berlebihan.”
“Ugh.”
Amane sejenak berpikir bahwa mungkin ia terlalu
berlebihan karena diingatkan oleh Mahiru, tetapi sebenarnya Itsuki memang berpenampilan
seperti pria playboy, jadi mungkin dirinya tidak berlebihan.
Lebih tepatnya, Itsuki tampaknya dengan senang hati
menjalani suasana itu. Bisa dibilang itu memang kepribadiannya, atau bisa juga
dibilang ia memang sengaja bersikap seperti itu.
“Walaupun Akazawa-san menggoda Amane-kun, penggunaan
ungkapan yang berlebihan masih tidak baik. Dia hanya terlihat periang dan
humoris.”
“Jadi, Mahirun juga mengganggapmu periang, ya?”
“Aku juga berpikir kamu memiliki semangat yang ringan.”
“Apa itu bisa dibilang pujian?”
“Itu sangat memujimu kok.”
Amane tidak bisa menahan tawa dan memalingkan wajahnya
ketika melihat Itsuki yang bingung menerima pujian yang mungkin bukan sarkasme.
Itsuki yang menyadari reaksinya langsung memprotes dengan suara yang sedikit
lebih pelan dari biasanya, “Kamu baru saja ketawa, ‘kan?”.
“Sudah, sudah, jadi beberapa waktu lalu Mahirun
mengunjungi tempat kerja Amane untuk pertama kalinya, ‘kan? Kami bahkan merasa
ragu untuk mengunjunginya ketika pacarmu belum pernah melihatnya, tapi kalau
sudah diperlihatkan, beda lagi ceritanya!”
Chitose dan yang lainnya bahwa Amane mengundang Mahiru ke
tempat kerjanya pada White Days, jadi ia tidak berencana untuk
menyembunyikannya, tapi ia tidak menyangka mereka akan berpikir bahwa karena
Mahiru sudah mengunjunginya, jadi sudah waktunya buat giliran mereka.
“Ini tidak baik, mendingan jangan datang deh.”
“Kejam banget! Terhadap pelanggan!”
“Jangan menyebut dirimu sebagai pelanggan jika kamu tidak
pernah berkunjung.”
“Apa gunanya menyingkirkan calon pelanggan!?”
“Kamu sendiri sudah datang ke tempat kerjaku!”
“Ugh...”
Apa yang mereka berdua katakan memang benar, tetapi sulit
untuk diterima begitu saja.
Dari sudut pandang pemilik kafe, Fumika pasti akan merasa
senang jika jumlah pelanggan meningkat, dan lebih jauh lagi, tidak ada alasan
untuk menolak melihat pasangan yang sangat akrab.
Argumen Itsuki juga benar, Amane tahu bagaimana Itsuki
bekerja, dan ia bahkan memesan buket bunga darinya, jadi jika mempertimbangkan
kebaikan itu, sangat tidak manusiawi untuk menolak.
Meskipun
begitu, jika ditanya apa Amane
ingin mengundang kedua orang ini dengan suasana hati seperti sekarang, dirinya pasti akan menggelengkan
kepala.
“Sebetulnya,
untuk apa kalian datang?”
“Yah, itu sih...”
“Yah, itu mah.”
“Muka cengengesan kalian yang menyebalkan itu bikin kesal.”
Raut wajah mereka berdua terlihat sangat mirip dengan
senyum yang seolah-olah sedang merencanakan sesuatu yang tidak perlu, dan
saat-saat seperti ini membuat Amane
sadar bahwa mereka adalah pasangan yang serasi dan akrab.
“Aku
ingin melihat senyum khas
karyawan Amane.”
“Tidak usah
datang.”
“Jangan
bilang hal-hal pelit seperti itu, ya, tidak apa-apa!”
“Sudah
pasti kalian hanya ingin bersenang-senang.”
“Yah, ketimbang dari itu, aku lebih ingin melihat Mahirun yang tampak bahagia saat melihat
Amane daripada melihat Amane secara langsung.”
“Ak-Aku...?”
“Hei,
jangan coba-coba mengajak
Mahiru berpihak padamu.”
Chitose
yang tahu bahwa Amane akan menyerah jika Mahiru memohon padanya berusaha menghasut rasa penasaran Mahiru, tetapi bagi yang menjadi
sasaran, itu sangat melelahkan.
Ngomong-ngomong,
Mahiru masih ragu dan belum melakukan kunjungan kedua meskipun sudah diperbolehkan
mengunjunginya kapan saja,
jadi jika Chitose mendorong semua orang untuk pergi bersamanya, dia mungkin
akan langsung setuju.
Amane lalu melirik
Mahiru—dan bersiap.
“Ap-Apa
aku boleh pergi?”
Amane mana mungkin bisa menolaknya ketika Mahiru bertanya
dengan
tatapan penuh harap dan suara lembut.
✧
₊ ✦
₊ ✧
Pada akhirnya,
Amane dibuat menyerah dan menghela napas saat tiba di tempat kerja.
Mengingat waktunya belum memasuki jam sibuk, jadi kebetulan tidak ada pelanggan,
tetapi Amane
tidak menyangka mereka akan datang dengan cepat seperti ini. Dirinya merasa butuh sedikit waktu untuk
bersiap secara mental.
“Selamat
datang. ... Lima orang, ya?”
Jumlahnya
lebih banyak dari yang diperkirakan karena ada tambahan dua orang lebih.
“Aku
juga mengundang Yuu-chan dan yang lainnya.”
Chitose
dan Itsuki terlihat senang, dan Mahiru yang tersenyum bahagia, tetapi di
belakang mereka ada Yuuta dan Ayaka yang tidak disebutkan dalam pembicaraan
siang tadi.
Karena
Ayaka sudah melihatnya
bekerja sebelumnya, itu bukan masalah besar, tapi Amane tidak menyangka Yuuta juga
diundang membuat pipinya
terasa tegang lebih dari saat pembicaraan siang.
“Maaf ya, Fujimiya.”
“Tidak,
ini bukan salah Kadowaki...”
Bukan
berarti Amane
tidak ingin mereka datang. Hanya
saja, dirinya
merasa canggung menunjukkan sisi yang lebih formal ini kepada Yuuta. Persahabatan mereka berbeda dengan Itsuki,
jadi mungkin itulah yang memengaruhinya.
“Kalau mau datang, kupikir rasanya lebih baik kalau
datang ramai-ramai iya ‘kan?”
“Terima
kasih atas perhatianmu.”
“Sepertinya
kamu tidak benar-benar memikirkannya."
“Aku
akan mengantar kalian ke tempat duduk.”
“Jadi aku diabaikan,
ya?”
“Itsuki,
jangan mengganggunya saat bekerja.”
Di
saat-saat seperti inilah
Yuuta selalu menjadi pengingat baik.
Sebenarnya,
Mahiru yang seharusnya berperan sebagai penghalang hari ini tampaknya tidak bisa
diharapkan untuk melakukannya, jadi satu-satunya orang yang bisa menghentikan
kelompok ini hanyalah Yuuta. Ayaka mungkin akan mencoba menghentikan mereka
saat keadaan sudah parah, tetapi pada dasarnya dia lebih suka menyerahkan
semuanya, dan karena melihat wajah Mahiru yang bahagia, dia pasti tidak akan
mencoba menghentikan mereka.
Sambil
merasa sedikit beban berat
di perutnya,
Amane mengangkat suaranya dan berkata, “Selamat datang, lima orang.” Lalu
mengantar mereka ke tempat duduk berbilik.
Itsuki,
Chitose, dan Yuuta masuk untuk pertama kalinya, jadi mereka masing-masing
mengeluarkan komentar seperti “Suasananya
bagus,” “Aku jadi mulai
bersemangat,” dan “Jangan terlalu bercanda nanti
bisa dimarahi”
saat berjalan menuju tempat duduk.
Tempat
duduk berbilik itu
cukup luas, jadi meskipun ada lima orang, tidak masalah jika mereka duduk
terpisah antara pria dan wanita. Amane
pun tersenyum seperti biasa sebagai pelayan dan dengan lembut meletakkan menu
di meja.
“Ini
menunya. Jika sudah memutuskan pesanan, silakan tekan bel di meja untuk
memanggilku.”
Setelah
mengucapkan kalimatnya setenang mungkin, Amane pergi mengambil air dingin dan
handuk basah. Namun, Miyamoto yang sedang bertugas shift yang sama hari ini dan
sedang punya waktu luang karena tidak ada pelanggan, rupanya sedang mengamati
situasi, dan menyelinap menghampirinya.
“Bukannya dia itu
pacarmu,
Fujimiya?”
“Ya,
benar.”
Dia
bertanya dengan suara pelan, jadi Amane
mengangguk dengan jujur.
Miyamoto
pernah melihat Mahiru dalam perayaan
White Day, jadi tidak heran
jika ia mengingatnya, tetapi butuh ingatan yang cukup baik untuk membedakan
mereka begitu cepat.
“Yang
di sekelilingnya
itu siapa?”
“Mereka teman-temanku.”
“Rupanya ada
beberapa teman seru yang berkunjung hari ini.”
“Ya,
sepertinya begitu.”
“Wajahmu
kelihatan
enggan banget.”
“Rasanya
agak rumit jika ada teman yang melihatku bekerja dengan serius.”
Bukan
karena ia sangat menentangnya, tapi dirinya merasa enggan karena malu, dan dirinya tetap tidak bisa menghilangkan
rasa canggung itu.
Amane takut dirinya
akan memasang wajah masam di depan mereka.
“Aku
mengerti apa yang ingin kamu
katakan. Tapi, kamu harus memperhatikan mereka dengan baik.”
“Aku
akan bersikap seperti karyawan biasa saja.”
“Kamu
marah, Fujimiya?”
“Aku
tidak marah. Hanya saja, aku merasa aneh melihat jumlah mereka yang tiba-tiba meningkat dan
niat mereka yang jelas-jelas ingin
menggodaku.”
Jika
ditanya apa dirinya
marah, Amane
akan menjawab tidak. Dirinya bukan orang bersumbu
pendek yang marah karena hal seperti itu, tapi sebaliknya, ia
merasa senang mereka begitu
memperhatikannya.
Namun,
Amane sedikit merasa terganggu karena
mereka membawa orang yang tidak direncanakan untuk datang, jadi ia berpikir untuk memberikan
sedikit ‘salam olahraga’ kepada Itsuki besok.
“Kamu biasanya jadi sasaran olokan,
ya?”
“Awas saja besok,”
pikirnya
sambil mengarahkan pandangan ke arah Itsuki yang tampak senang berbincang
sambil melihat menu dari jarak sedikit jauh, ketika suara Miyamoto terdengar
sedikit terkejut.
“Aku
akan membalasnya dengan setara.”
Jika
ditanya apa dirinya cuma menjadi sasaran olokan, mungkin tidak
juga. Mereka
saling berbalas dan mengolok satu sama lain, jadi bukan berarti salah satu dari
mereka selalu terjebak dalam peran itu.
Itu bukan hubungan yang setara sebagai teman, bahkan rasanya itu bukan namanya
pertemanan
sama sekali.
“Begitu ya, kalau begitu aku tidak perlu
khawatir. ... Oh, tapi ada satu
hal yang harus kukatakan.”
“Apa
itu?”
“Kamu sebaiknya menahan diri untuk
tidak menunjukkan wajah yang hanya kau tunjukkan kepada pacarmu.”
“Terima
kasih atas sarannya.”
Karena
Miyamoto juga mengatakannya, otot-otot wajahnya pasti sudah tidak berfungsi saat kunjungan Mahiru
sebelumnya.
Amane pasti menunjukkan wajah yang
sangat manis padanya, dan jika Itsuki dan yang lainnya melihatnya, mereka pasti
akan menjadikannya bahan pembicaraan untuk sementara waktu. Rasanya aku
sering menunjukkan wajah itu, pikirnya,
tetapi Amane
dalam situasi santai dan saat bekerja itu berbeda, jadi Amane membiarkan pikiran itu diam dan
mengangguk serius kepada Miyamoto.
✧
₊ ✦
₊ ✧
Saat
membawa air dan handuk untuk jumlah orang yang ada, sepertinya semua orang
sudah memutuskan pesanan mereka, dan menu terletak rapi di tengah meja.
“Ini
air dan handuknya.”
“Terima
kasih. Permisi, bolehkah aku memesan?”
“Ya, silakan.”
Saat
Amane menata pesanan di depan mereka,
Chitose melontarkan komentar ringan, “Kamu benar-benar jadi pelayan, ya.” Namun, Amane tidak mengubah ekspresinya dan tetap memandang semua
orang.
Dirinya
mencoba melihat siapa yang akan memesan, dan Itsuki dengan senyuman menjengkelkan
dan suara yang tenang mengangkat tangannya.
“Ya, ya, pelayan, aku pesan satu senyuman penuh semangat.”
“Maaf,
tapi kami tidak memiliki produk seperti itu di sini.”
Memangnya ia mengira tempat ini sebuah restoran cepat saji?
Seandainya saja Amane bukan pelayan kafe saat ini, dirinya mungkin akan mengoloknya, tapi
sekarang ia merupakan
pelayan yang bekerja. Jadi, Amane berusaha menahan diri dan memberikan senyuman kerja yang
mungkin berbeda dari yang diinginkannya,
sambil dengan tegas menolak permintaannya.
“Tapi
kamu
memberi senyuman pelayan, kan?”
“Ujung mulutmu kelihatan berkedut-kedut banget tuh. Ah, aku juga mau pesan senyuman!”
“Maaf,
tapi kami tidak memiliki produk seperti itu di sini.”
“Dasar Pelayan yang kurang asyik!”
“Aku
sedang bekerja. Jadi, apa pesanan kalian sudah siap?”
Jika
mereka
terus bercanda seperti itu,
Amane tidak akan mengambil pesanan,
jadi dirinya
menatapnya dengan tegas sebelum melihat Yuuta, yang paling bisa diandalkan hari
ini, dengan senyuman lembut seolah-olah
ia sudah mengetahuinya.
“Kita pesan empat set kue musiman, dua minuman set kopi
campuran panas, dua café au lait panas, dan satu espresso sebagai menu
tambahan, tolong.”
Sepertinya
ia mendengarkan semua pesanan dengan baik, dan bisa merangkum pesanan tanpa
membuang-buang waktu sangat membantu sebagai pelayan, jadi Amane berterima kasih kepada Yuuta
sambil mencatat pesanan.
“Eh,
Yu-chan, kamu
tidak memesan set kue?”
Amane sudah menyadari bahwa set kue
yang dipesan kurang satu porsi dari jumlah orang. Di antara mereka, tidak ada
yang benci makanan manis, jadi ketika melihat Yuuta yang tampak tidak memesan,
entah karena kekurangan anggaran atau tidak dalam suasana hati, ia terlihat
mengernyitkan dahinya.
“…Karena
setiap hari makan makanan manis, kupikir sebaiknya mengurangi makanan manis
saat makan di luar.”
“Ah…”
Kalau diingat-ingat kembali, Yuuta memang menerima banyak cokelat saat Hari
Valentine. Jumlahnya sangat banyak sehingga sulit untuk dibawa pulang, jadi
jika ia ingin menghabiskannya, ia pasti
harus merencanakan konsumsinya dengan ketat agar tidak melewati batas tanggal
kedaluwarsa.
Yuuta
pernah mengatakan bahwa dirinya
tidak menerima makanan buatan tangan karena trauma masa lalu, jadi kebanyakan
orang memberinya produk yang dijual bebas. Dengan tanggal kedaluwarsa yang
jelas, Yuuta
bisa mengatur konsumsi dengan lebih lambat, tetapi tetap saja, ia pasti mengonsumsi jumlah yang
sangat banyak.
Anehnya,
meskipun ia mengonsumsi jumlah yang luar biasa, penampilannya sama sekali tidak
berubah.
“Bagaimana
bisa kamu tidak
bertambah berat badan? Jerawat juga tidak ada. Aneh.”
“Kalau
So-chan setiap hari makan seperti itu, pasti kalori yang dibakar tidak
seimbang. Sungguh luar biasa.”
“Kalau
aku melakukan pola makan itu setiap hari, berat badanku pasti akan terpengaruh…”
“Ia
benar-benar monster dalam hal manajemen diri.”
Yuuta
yang sudah dibilang seperti itu menjelaskan bahwa dirinya membakar kalori melalui
kegiatan ekstrakurikuler, latihan otot, dan belajar, dengan gaya yang sangat
kuat dan tanpa trik apapun, sehingga pantas disebut sebagai simbol keuletan.
“Apa hanya itu saja
pesanannya?”
“Ya,
silakan.”
“Aku
akan mengambil menunya."
Amane
yang terkesan dengan kemampuan manajemen diri Yuuta, setelah memastikan topik
pembicaraan beralih ke usaha Yuuta, mengambil menu dan pergi untuk menyampaikan
pesanan ke dapur.
✧
₊ ✦
₊ ✧
Berbeda
dengan makanan seperti kue panekuk yang dimulai pembuatannya saat
dipesan, kue yang bisa disiapkan sebelumnya sangat cepat. Meskipun
memperhitungkan minuman, Amane
bisa menyajikannya tanpa menunggu terlalu lama.
Kue
hari ini adalah fraisier dengan buah musiman. Kue ini tampaknya
merupakan makanan khas Prancis, yang setara dengan shortcake di Jepang.
Selain penampilannya yang cerah dan imut, rasanya juga sangat luar biasa.
Meskipun krim mentega menjadi bahan utama dan terlihat berat, rasa asam dari
stroberi memberikan keseimbangan yang pas, sehingga bisa dihabiskan dengan
mudah.
Ketika
Amane mencicipinya, dirinya sampai berpikir serius apakah
bisa dibawa pulang, jadi ia
ingin mereka juga menikmatinya.
“Kelihatannya
enak!”
Kue
fraisier Jepang biasanya memiliki lapisan merah yang mengkilap di permukaannya,
dengan warna merah yang cerah dan mengkilap. Penampilan potongan stroberi yang
berpadu dengan warna krim mentega sangat mencolok, sehingga meskipun sederhana,
tampilannya sangat hidup.
“Terima
kasih. Kelihatannya enak.”
“Ini
merupakan menu populer di toko kami.
Karena ini hanya tersedia musiman, kami berharap Anda dapat menikmati kelezatan
yang hanya ada sekarang.”
Kue
ini hanya disajikan saat stroberi sedang musim, dan reputasinya di kalangan
pelanggan tetap sangat baik. Mereka berharap bisa menjadi menu sepanjang tahun,
tetapi Fumika
mengatakan bahwa kelezatan ini hanya bisa didapatkan karena musim stroberi,
jadi harapan itu tampaknya tidak akan terwujud.
Setelah
mengantarkan kue dan minuman, Amane
berencana untuk meninggalkan tempat itu dengan mengatakan, “Silakan menikmati,” tetapi tiba-tiba celemeknya ditarik.
Ternyata
itu Chitose yang berada di sisi lorong, dengan jari-jarinya yang ramping
menggenggam kuat kain celemeknya,
seolah-olah tidak ingin melepaskannya.
“Pelanggan.”
“Karena
sekarang tidak ada pelanggan, sepertinya aman.”
“Mana mungkin bisa begitu.”
“Tidak
apa-apa, sekarang tidak ada pelanggan lain.
Aku sedang melakukan pekerjaan belakang, jadi silakan menikmati. Jika ada pelanggan
yang datang, aku akan berhenti dan mengarahkan mereka.”
Amane ingin mengatakan bahwa itu tidak
mungkin, tetapi suara Miyamoto yang memberi izin untuk berbicara membuat Amane
terkejut, sementara Chitose tersenyum lebar seolah merasa berhasil.
Memang
benar, di hari kerja dan saat jam sepi, hanya ada lima orang di sini. Jika
tidak ada pelanggan, biasanya para staf akan berbincang sambil menyelesaikan
pekerjaan kecil, tetapi meskipun tidak ada pelanggan lain, apakah Miyamoto, yang bukan
pemilik, seharusnya memberi izin untuk berbincang antara staf dan
pelanggan?
(…Sebenarnya,
jika Owner
mendengarnya, dia mungkin akan memberi izin.)
Atau
lebih tepatnya, mereka datang untuk menyapa dengan ramah, dan suasana hangat
itu akan berlanjut sampai Amane merasa tidak nyaman.
Hari
ini, dia seharusnya berada di belakang karena mengerjakan tugas administrasi,
jadi Amane rasa
dia tidak mendengar, tetapi saat dia menyadari kedatangan Mahiru, dia pasti akan muncul dengan wajah
ceria, dan Amane
bisa membayangkan senyumannya yang penuh semangat, membuatnya tersenyum masam.
Ketika Amane melihat Miyamoto, sejawatnya itu malah tersenyum lebar dan mengacungkan
jempol, jadi Amane memahami
bahwa dirinya juga sedikit terhibur, tetapi Amane memutuskan untuk menerima niat
baik itu dengan penuh rasa syukur, lalu menatap mereka yang mulai menikmati kue
dengan napas berat.
Mahiru
terlihat sedikit merasa bersalah, tetapi dia tampaknya sangat senang ada Amane
di dekatnya, sehingga dia memberikan senyuman manis yang bisa menimbulkan
kesalahpahaman jika dilihat oleh orang lain.
“Mahirun, ekspresimu kelihatan jelas loh sekarang.”
“Eh?”
Sepertinya
Mahiru tidak menyadari situasinya dan memegang pipinya dengan bingung, sehingga
Amane dalam hati merasa khawatir. Tiba-tiba terdengar suara kecil, “Tapi, Fujimiya-kun juga tidak
bisa mengkritik orang lain, kan?”
Amane
menatap Ayaka, bertanya-tanya apakah suara hatinya keluar sebagai kata-kata.
Dia hanya tersenyum tanpa beban dan berkata, “Ekspresimu kelihatan jelas banget, Onii-san.”
Meskipun
Amane tidak merasa menunjukkan
ekspresi apapun, kenyataannya dia terbaca, jadi dia tidak bisa membalas terlalu
banyak.
"Mahiru,
apa kamu sering ke sini?”
“Belum
cukup lama untuk membuatku
sering datang kemari,
dan kupikir itu akan merepotkan Amane-kun, jadi kurasa sesekali berkunjung
sudah cukup."
“Aku
tidak merasa direpotkan sama sekali kok.”
Karena
sudah menunggu lama, seharusnya Mahiru bisa melakukan sesuka hati, tetapi
datang setiap hari juga sulit dari segi keuangan dan tidak baik untuk jantung Amane.
“Mahirun agak ragu-ragu dalam hal itu. Yah, jika dia sering datang ke sini, senyuman Amane akan semakin
manis dan itu mungkin membebani Mahirun.”
“Dan
mungkin Shiina-san akan khawatir. Takut jika ia menaklukkan gadis lain.”
“Meski ia
mengarahkan perhatiannya
kepada
siapa pun selain Mahiru?”
“Ya,
mungkin efek sampingnya bisa membuatnya terlempar.”
“Aku
tidak begitu populer.”
Akhir-akhir
ini, Amane merasa penilaian terhadap dirinya semakin meningkat,
tetapi itu mungkin hanya penilaian yang berlebihan. Jika mengingat insiden
ketika pelanggan tetap memintanya untuk dijadikan menantunya atau saat gadis sekelas mengungkapkan perasaan padanya, dirinya mungkin bukan pria yang buruk, tetapi
jika ditanya apa dirinya
populer, tentu saja tidak.
Menjadi
populer berarti seperti Yuuta, di mana lawan jenis datang tanpa henti,
sementara Amane hanya dianggap baik oleh beberapa orang. Meskipun sudah ada
momen seperti itu sebelumnya, jika dirinya
mulai berpikir bahwa ia populer, itu sudah sangat berlebihan, jadi Amane tidak langsung
menyetujuinya.
“Fakta
itu dan kekhawatiran Mahirun merupakan dua hal yang berbeda. Itu yang
perlu kamu ingat.”
“Aku
akan berhati-hati.”
“Tidak,
aku yang seharusnya tidak merasa cemburu.”
“Tidak
masalah jika Mahiru merasa cemburu, tetapi aku tidak ingin membuatmu merasa
tidak nyaman. Aku akan berhati-hati.”
Ada
beberapa kali di mana dirinya
tidak sengaja membuat Mahiru khawatir, jadi dirinya harus berhati-hati. Amane tidak
boleh membuat Mahiru sedih karena ketidaksadarannya.
Ia
ingin Mahiru merasa nyaman berada di sampingnya, jadi dirinya berjanji untuk lebih
berhati-hati dan menatap Mahiru, yang setelah itu tampak terkejut dan
menundukkan pandangannya dengan malu.
“Sekarang kamu benar-benar menunjukkan senyuman khusus untuk Mahirun loh~,” goda Chitose.
“Kamu harus belajar menahan diri lebih giat lagi, oke.” Itsuki menimpali.
“Ini cuma hal biasa,” balas Amane.
“Di
bagian mananya yang biasa coba?”
“Ngaca dulu sana, ngaaca”, pinta Itsuki, tetapi karena tidak ada cermin di
dekatnya, Amane
mengabaikannya dan mengubah ekspresinya menjadi yang biasa untuk Itsuki, lalu
terdengar suara sedikit tidak puas, “Itu
juga menyakitkan, loh.” Ia memilih untuk
mengabaikannya.
“Meski
begitu, kamu
cukup serius dengan pekerjaanmu,”
ucap
Itsuki.
“Memangnya
ada yang tidak serius saat bekerja?” gumam Amane.
“Saat
mendengar kamu
akan bekerja di kafe, aku sempat berpikir, 'Apa anak ini baik-baik saja?'” kata Itsuki dengan
nada meledek.
“Kamu tidak punya hak untuk mengkhawatirkanku, dan kamu justru lebih bermasalah daripada itu.” Amane balas
meledeknya.
“Kenapa
kamu
harus mengatakan hal seperti itu!”
Ternyata,
Itsuki merasa tidak puas karena Amane tidak meminta bantuannya saat
mulai bekerja paruh waktu, dan ada masa di mana Itsuki sempat merajuk. Begitu
mengingat hal itu, Itsuki berdiri dengan semangat dan melompat. Tentu saja, Yuuta langsung
menegurnya dan menyuruhnya untuk diam.
“Iya,
iya juga. Tumben-tumbennya Ikkun merajuk, iya ‘kan?”
“Bahkan kamu juga ikut-ikutan, Chii!”
“Jika
kamu
mengutuk orang lain, kamu
juga akan mendapatkan akibatnya, Itsuki.”
“…Yuuta
selalu
baik kepada Amane ketimbang padaku, ya?”
“Ya,
karena kamu yang memulai semuanya, Itsuki.”
“Keji.”
IItsuki
dan Yuuta tampaknya memiliki hubungan yang cukup akrab, bahkan terkadang Yuuta
memperlakukannya dengan kasar, yang jarang terjadi. Namun, karena keduanya
tampak saling memahami, Amane merasa terkesan dengan persahabatan mereka.
Sikap
Yuuta yang sedikit keras terhadap Itsuki mungkin karena Itsuki sering bercanda,
jadi itu memang
akibat dari tindakan Itsuki sendiri dan tidak membuatnya merasa kasihan.
“Sayangnya,
aku bekerja tanpa masalah. …Setidaknya.”
“Kamu kedengarannya tidak percaya diri, ya?”
“Kalau
aku tampil percaya diri dan bilang aku sudah siap, itu akan berbeda dari
karakternya.”
“Ya,
interpretasi kita berbeda. Kamu
terlihat… rendah hati, itulah Amane.”
“Hei.”
“Sudah,
sudah. Kemampuanmu untuk tetap fokus merupakan
hal baik dari Fujimiya-kun. urasa kau tidak perlu khawatir dengan orang-orang
yang terus menggodamu, oke?”
“Kenapa
kamu
melihatku, Kido?”
“Entah~?”
Ayaka
mengalihkan pandangan Itsuki dengan senyum manis, tetapi tidak ada sedikit pun
niat jahat dalam dirinya, yang mungkin karena kepribadiannya.
Dia
adalah penggembira
suasana yang berbeda dari Chitose, dan menjadi sosok yang menonjol di kelas
karena kepribadiannya yang lembut, sedikit alami, dan memiliki rencana yang
cerdik, membuat Ayaka menjadi pusat perhatian di kelas.
Itsuki
mengeluh, “Bukannya
aku diperlakukan lumayan
kasar akhir-akhir ini?” dan bahkan pacarnya tidak memihaknya seraya berkata “Mau bagaimana lagi, Ikkun kadang-kadang secara tidak
sadar memprovokasi, sih.”
“Bener banget.”
Saat
Amane menatap Itsuki, yang sengaja menutupi matanya dengan tangan dan terisak
meskipun ia tidak menangis sama sekali, berpikir bahwa Itsuki tampak tidak
menyesal, ia mendengar suara kecil yang agak sedih
dari belakangnya.
Menoleh
ke arah suara yang familiar itu, ia melihat Ohashi.
Amane mengetahui bahwa Ohashi akan terlambat satu jam
dari biasanya karena melihat jadwal, jadi ia tidak bisa menyembunyikan
keterkejutannya bahwa waktu sudah berlalu begitu cepat.
Dirinya membuka mulut untuk memberi
salam, tetapi melihat tatapan Ohashi yang tertuju kuat ke arah meja bilik, dirinya lalu mengikuti arah tatapan itu.
Di
sana, ia melihat sosok Mahiru
yang sedang minum cafe au lait.
(Ah,
jadi begitu ya.)
Saat
berkunjung ke tempat kerja pada White Day, ada insiden di mana Ohashi
menumpahkan kopi ke rok Mahiru, dan sejak saat itu, Ohashi tampak sangat
tertekan. Amane
sudah menerima banyak permintaan maaf dan bahkan Mahiru merasa lebih khawatir
karena Ohashi terlalu terpuruk, tetapi dia tidak memiliki kesempatan untuk
berbicara dengan Mahiru lagi karena kesibukan.
Meskipun
sudah meminta maaf, tampaknya Ohashi masih sedikit terbawa perasaan saat
melihat Mahiru, jadi ketegangan itu bisa dimengerti.
“Pada
saat itu, aku sangat minta maaf...”
“Tidak,
kamu tidak perlu khawatir. Kamu sudah meminta maaf sebelumnya,
jadi aku merasa tidak enakan
jika kamu
terlalu merasa bersalah.”
“Tidak,
akulah
yang ceroboh...”
“Seriusan, jangan terlalu dipikirkan...”
“Eh,
kenapa tiba-tiba ada perang permohonan maaf?”
“Ah,
Rino-san, semua orang terlihat bingung.”
Di
tengah kebingungan tiga orang yang tidak tahu situasi, Ayaka, satu-satunya yang
mengetahui situasi di luar pihak terkait, menghentikan Ohashi yang tampak
merunduk.
“Tapi
aku juga merepotkan Kido-chan.”
“Aku
baik-baik saja. Aku jadi bisa
menjelajahi genre baru dari Shiina-san.”
“Jadi...?”
"Pokoknya,
jika kamu
terus meminta maaf, Shiina-san akan merasa tidak nyaman. Miyamoto-san!”
“Oke, oke.”
Meskipun
Ayaka sudah menghentikan Ohashi, Ohashi tampak tidak akan berhenti, jadi Ayaka
cepat-cepat menyerah.
Ketika
dia memanggil nama Miyamoto dengan suara keras, sepertinya Miyamoto sudah
memperkirakan hal ini dan segera mendekat, ia kemudian dengan lembut menarik Ohashi dari
kursinya.
“Aku
yakin
Fujimiya
dan pacarnya sudah mengetahui
bahwa
kamu menyesalinya.
Sekarang mereka sedang asyik berbicara, jadi kenapa harus membuat suasana
menjadi suram?”
“Ugh,
maaf.”
Ohashi
tampaknya juga menyadari banyak hal, sehingga ekspresinya menjadi muram lagi.
Miyamoto menghela napas besar-besar dan mendorong punggung Ohashi yang tampak
lebih lemah dari biasanya ke arah pintu keluar.
“Yuk,
kamu
mendingan
bersih-bersih di luar saja.”
“Disuruh
oleh Daichi benar-benar
menjengkelkan.”
“Sudah kubilang cari udara segar di luar, dasar bodoh.”
Miyamoto,
meskipun sulit dimengerti, tampaknya ingin memberikan waktu bagi Ohashi untuk
menenangkan pikirannya. Jika Mahiru ada di depannya, Ohashi mungkin hanya akan
terus merasa bersalah, jadi keputusan Miyamoto bisa dianggap tepat.
Dengan
sikap yang lesu, Ohashi tampak sedikit merasa bersalah saat Miyamoto dengan
lembut menepuk punggungnya, sehingga Ohashi pun dengan patuh keluar dari
toko.
Miyamoto
menundukkan pandangannya dengan sedikit rasa kasihan, tetapi segera menampilkan
senyuman cerah yang menawan, meletakkan tangan di dada dan membungkuk
sedikit.
“Aku
sangat minta maaf. Silakan terus menikmati makanan dan percakapan.”
Setelah
memberikan penghormatan yang sangat indah, Miyamoto kembali ke tugasnya, dan
Yuuta dengan kagum berkata, “Sikapnya
sangat baik, ya.”
“Tapi, suasana hatinya
berubah drastis banget.
Ia
kelihatan sangat
akrab dengan pelayan tadi.”
“Yah, karena mereka berdua itu
memang memang
akrab. Dia tidak merusak sikapnya di sini karena orang itu sangat tegas dalam
membedakan. Tidak seperti kamu,” protes Amane.
“Hari
ini kamu tampak sangat keras padaku, ya?” Itsuki membalas dengan nada seperti disalahi.
“Kamu tiba-tiba datang tanpa
pemberitahuan dan menambah jumlah orang.”
“Semuanya
ide Chii, loh!?”
“Kalau begitu, tanggung jawab perlindungan.”
“Itu
berarti aku dianggap anak kecil!”
“Kalau
begitu, tanggung jawab pengawasan.”
“Kalau
itu sih...”
“Jadi kamu tidak keberatan dengan begitu ya, Chii...”
Karena
Chitose sudah setuju, Itsuki
yang merasa dituduh hanya bisa memperlihatkan wajahnya yang cemberut, sementara
Amane, yang menyalahkannya, hanya bisa tersenyum kecil.
Itsuki berniat membantahnya, tapi tepat pada saat itu, bel
di pintu masuk berbunyi menandakan kedatangan pelanggan, jadi Amane mengalihkan
pandangannya ke pintu dan segera mengubah ekspresinya menjadi mode kerja.
“Ada
pelanggan datang, jadi aku pamit dulu.”
“Maaf
sudah menahanmu di sini, Fujimiya-kun.”
“Aku
lebih suka mendengarnya langsung dari orang yang menahanku di sini. Baiklah sampai jumpa.”
“Sudah kubilang, maafkan aku!”
Ketika
mendengar suara Chitose yang tidak puas, Amane tertawa lagi dan berusaha
menjauh dari tempat duduknya, tetapi tiba-tiba terdengar suara dari
belakang.
“Amane-kun,
semoga pekerjaanmu lancar ya. Aku mendukungmu!”
Sebuah
dukungan kecil dengan suara yang biasa-biasa saja, tidak ada yang
istimewa.
Meskipun
begitu, Amane merasakan semangatnya yang sempat menurun perlahan kembali pulih,
dan ia menegangkan pipinya yang mulai melonggar sebelum berjalan cepat menuju
pintu.
✧
₊ ✦
₊ ✧
“Pelayan,
boleh aku minta tagihannya?”
Sekitar
satu jam kemudian, saat ia sedang melayani pelanggan yang datang, membereskan
meja, dan mencuci piring serta siphon, saat lewat di samping tempat duduk
Mahiru dan kawan-kawan, Itsuki
memanggilnya.
“Baik,
tunggu sebentar.”
Karena
sedang membereskan meja pelanggan yang sudah pergi, ia membawa piring kotor di
atas nampan. Ia harus membawa ini ke tempat cuci sebelum bisa melayani
lagi.
Seharusnya
Miyamoto atau Ohashi yang menangani pembayaran, tetapi saat ini mereka sedang
melakukan pekerjaan lain,
jadi lebih cepat jika Amane yang menanganinya.
Selain itu, tampaknya Itsuki
dan yang lainnya berharap agar semua proses pembayaran dilakukan dengan baik,
jadi seharusnya ia merespons sebagai pelayan.
Tampaknya
mereka sudah tahu bahwa Amane sedang membereskan meja, jadi Itsuki berkata dengan senyum penuh
arti, “Kamu tidak
perlu terburu-buru.” Amane sebenarnya ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia hanya menjawab,
“Maaf,” dan membawa piring tersebut ke
dapur.
Di
sana, ia bertemu dengan Ohashi yang tampaknya baru saja selesai dengan
pekerjaannya.
“Ah,
Fujimiya-chan, Fujimiya-chan, bisa tolong alihkan pembayaran ke sini?”
Karena
permintaan yang tiba-tiba itu, Amane tidak bisa langsung memahami maksudnya dan
melupakan bahwa dia adalah seniornya, jadi ia menatap dengan tatapan
bingung.
“Apa
maksudnya dialihkan?”
“Aku
akan membayar untuk mereka secara pribadi.”
“Kenapa?”
Mendengar
saran yang sama sekali tidak terduga, Amane tanpa sadar menggunakan bahasa yang
lebih santai.
Sepertinya
tanggapan Amane sudah diperkirakan sebelumnya oleh Ohashi, dan dia menundukkan
pandangannya sedikit malu sebelum berbicara.
“Bukan
hanya sebelumnya, tapi hari ini juga aku mengganggu mereka, jadi sebagai
permintaan maaf? Sejujurnya,
jika harus mengganti rok itu, biaya ini tidak akan cukup.”
“Kurasa
dia tidak terlalu mempermasalahkannya...”
Sepertinya
Mahiru sangat memperhatikan hal ini, tetapi dia tidak marah atau merasa dendam,
bahkan hampir melupakan kejadian itu. Namun, Ohashi tampaknya tidak setuju
dengan kata-kata Amane dan perlahan menggelengkan kepalanya.
“Anggap saja ini sebagai caraku untuk menetapkan batasan
atau memberi penutup pada perasaanku. Jika ini mengganggu, aku akan mengalah.”
“…Aku
akan bertanya kepada mereka dulu.”
Dari
sikapnya, Amane bisa memahami bahwa Ohashi perlu merasa positif setelah sempat
merasa terpuruk, jadi ia menunda keputusan ini sedikit.
Kelima
orang itu sudah selesai dengan aktivitas mereka dan hanya tinggal membayar, dan
mereka menunggu di depan kasir dekat pintu masuk. Untungnya, mereka tidak
berdiri sebagai perwakilan satu orang, tetapi semua ingin membayar secara
terpisah, jadi Amane memastikan Ohashi mengikuti dan menuju mereka.
“Baiklah, ayo kita membayar. Bisakah kita masing-masing membayar sendiri?”
“Ah,
…hari ini biayanya kami anggap sebagai layanan gratis.”
Karena
ini pertama kalinya Amane mengatakan hal seperti ini, ia merasakan ketegangan
yang tidak biasa saat mengatakannya, dan semua lima orang itu menatapnya dengan
tajam.
“Eh,
kenapa kamu harus repot-repot begitu?”
“Fujimiya-kun,
itu tidak baik, lho!”
“Bukan,
bukan. Bukan aku, tapi dari Ohashi-san.”
“Hah?”
Saat
itu, semua orang akhirnya melihat ke arah Ohashi.
Dia
menerima tatapan lima orang itu dengan ekspresi canggung namun tidak
menunjukkan kesedihan, kedua tangannya disatukan di depan wajahnya.
“Maaf
telah mengganggu hari ini. Sebagai permintaan maaf atas kejadian sebelumnya, aku
akan membayarnya.”
“Ah, um, aku tidak keberatan, kok.”
“Ya,
itu juga yang dikatakan Fujimiya-chan… tapi maaf, bisakah kamu membiarkanku
melakukan ini untuk merasa tenang? Aku minta maaf jika ini membuatmu merasa
tidak nyaman, tetapi kerugian ini ditanggung olehmu, jadi aku ingin
menyeimbangkan keadaan.”
Ohashi
menambahkan bahwa dia merasa tidak enak untuk memaksa, dan Mahiru melihat ke arahnya.
Amane
merasa tidak ada yang bisa ia katakan
mengenai hal ini. Menurutnya, keputusan untuk menerima atau menolak ada di
tangan Mahiru.
“…Kalau begitu, aku akan menerima dengan senang hati.”
“Ya,
terima kasih.”
Mahiru,
yang tahu betul betapa terpuruknya Ohashi saat itu, tampaknya memutuskan untuk
menerima tawarannya.
“Kami
yang tidak terlibat merasa sangat tidak enakan, tapi…”
“Tidak
apa-apa, tidak apa-apa. Sebagai gantinya, aku akan senang jika kalian kembali
ke sini untuk menikmati kopi atau kue! Makanan ringan kami juga enak-enak loh!”
Dengan
mengajak mereka untuk kembali, tampaknya suasana hati Ohashi sudah jauh lebih
baik.
Makanan
dan minuman di toko ini dipilih langsung oleh Fumika, sehingga semuanya menjadi
hidangan yang bisa dibanggakan. Bahkan tanpa promosi, ada banyak hal yang ingin
sekali mereka coba dan nikmati.
“…Kalau
begitu, aku akan menerima kebaikan ini.”
Berbeda dari biasanya, Itsuki yang biasanya ragu-ragu
dalam situasi seperti ini malah menerima tawaran tersebut, dan Amane berpikir
apa yang ada dalam pikirannya… tetapi senyum lebar yang diarahkan Itsuki
kepadanya segera membuatnya mengerti.
“Jadi,
kamu bisa membuat alasan untuk datang ke sini, ya? Kamu sudah menghitung untung
ruginya,
‘kan?”
“Ah,
jangan bilang yang aneh-aneh.”
“Ahaha.
Kalian akur sekali, ya. Baguslah, memang begitulah namanya masa muda!”
Ohashi
tampaknya tidak keberatan siapa pun yang datang dari kelompok ini, jadi Amane
tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa menunjukkan wajah yang masam.
Ketiga
orang lainnya juga ragu, tetapi dengan senyum ceria Ohashi yang
merekomendasikan “panekuk musiman,” mereka tampaknya memutuskan
untuk meninggalkan uang saat kunjungan berikutnya, dan menerima tawaran itu
dengan cukup tulus.
Bukan
hanya Itsuki saja,
tapi sepertinya mereka
juga akan datang ke sini, dan Amane bingung apakah harus senang dengan
peningkatan penjualan atau meratapi ketegangan yang akan muncul saat melayani
mereka. Dirinya
mengeluarkan napas perlahan, berusaha agar tidak terlihat tertekan.
“Kami
menunggu kedatangan Anda kembali.”
Setelah
memastikan mereka semua menyimpan dompet, Amane dengan sedikit putus asa
memanggil mereka, dan semuannya
dengan senyum lebar mengucapkan “Terima
kasih atas hidangannya”
sembari melambaikan tangan, sehingga Amane tidak bisa berkata apa-apa dan hanya
melihat mereka pergi dengan suasana yang akrab.
✧
₊ ✦
₊ ✧
“Apa
keadaan
Rino
sudah mulai pulih?”
Setelah
tutup, saat Amane sedang membersihkan sebagai salah satu tugas penutupan rutin,
Miyamoto menyapanya sambil menutup kas.
Setelah
itu, Ohashi membayar biaya lima orang tersebut dari kantongnya sendiri, jadi
jika tidak ada kesalahan dalam perhitungan hari ini, seharusnya saldo sudah
benar.
Ohashi
sendiri sedang membersihkan ruang istirahat, jadi dia tidak ada di sini.
“Dia
terlihat lebih segar.”
Karena
diminta untuk memeriksa kembali oleh Miyamoto, Amane menghentikan sejenak
pekerjaannya dan memeriksa apakah ada selisih, lalu menjawab dengan
tenang.
“Kalau
begitu, baguslah.”
“Jika
kamu khawatir, lebih baik tanyakan
saja secara langsung padanya.”
“Diam
kau.”
Miyamoto
yang biasanya tidak jujur hari ini tampak lebih terbuka, jadi Amane memutuskan
untuk tidak mengganggunya lebih jauh.
(Bagaimana
ya jika aku
memberitahu Ohashi bahwa ia juga merasa prihatin tentang keadaan yang
dialaminya? Ekspresi macam apa yang akan muncul di wajahnya?)
Amane
tahu bahwa ia akan dikerjai habis-habisan jika melakukan itu, jadi dia mengingatkan dirinya
sendiri bahwa rasa ingin tahu bisa berbahaya, dan untuk menghindari kata-kata
yang tidak perlu, dirinya
fokus pada proses pemeriksaan.
Setelah
memastikan tidak ada selisih dalam laporan kas, Miyamoto mengangkat bahu dengan santai dan
mengalihkan pandangannya ke arah koridor yang menuju ruang istirahat di mana
Ohashi kemungkinan berada.
“Yah,
dengan ini rasa bersalahnya
pasti sudah berkurang, kan? Dia cukup sensitif tentang hal-hal semacam itu.”
Suara
Miyamoto terdengar seolah-olah merasa tak berdaya, tetapi ekspresinya justru
menunjukkan kelembutan dan ketenangan yang paling baik hari ini, membuat Amane
tersenyum dalam hati, menyadari bahwa orang ini memang tidak jujur.
Saat
Amane berusaha kembali ke pekerjaan bersih-bersih yang terhenti sambil berpikir
bahwa jika dia ditanya tentang cinta, Miyamoto mungkin akan marah dan
mendekatinya, Miyamoto tiba-tiba mengingat sesuatu dan bersuara.
“Ngomong-ngomong,
mereka akan datang lagi, ‘kan? Apa itu baik-baik saja?”
Usai mendengar
itu, Amane teringat pada hal yang tidak menyenangkan.
“Raut wajahmu kelihatan enggan sekali.”
“Yah, mau gimana lagi, aku tidak bisa menghentikannya.”
Meskipun
tidak ada alasan yang baik, Amane tidak bisa menghentikan tindakan Itsuki dan
tidak berada dalam posisi untuk mengkritiknya, jadi ia hanya bisa
membiarkannya.
Jika
mereka datang hanya untuk menikmati makanan tanpa mengganggu, mungkin Amane
bisa mengabaikannya… tetapi tampaknya itu tidak akan berakhir begitu saja
dengan kelompok itu. Bahkan Mahiru terlihat terus menatap Amane sambil
tersenyum.
Yuuta
dan Ayaka masih mempunyai hati nurani, tetapi Yuuta juga terlihat
seperti akan datang dengan niat tulus untuk mendukung, sehingga Amane mungkin
harus menatap jadwal shift dengan cemas sampai dirinya terbiasa.
Saat Amane menghela napas dalam-dalam tanpa berusaha menyembunyikannya, suara Miyamoto yang penuh empati dan sedikit ejekan terdengar, “Kamu juga pasti merasa kesulitan, ya.”
Tak
perlu dikatakan lagi, sejak
hari itu, Itsuki kadang-kadang mulai menggunakan tempat kerja Amane sebagai
tempat berlindung dari Daiki.
