Sebuah Cerita Kehidupan Sehari-hari
“Benar juga, kalau begitu, bagaimana kalau kita berkencan?”
Kei
mengatakan itu dengan santai, lalu mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipiku.
Akhir-akhir
ini, Kei sering tidur di hadapanku.
Baik saat dirinya datang
ke rumahku maupun saat aku pergi ke rumahnya, dia selalu tidur nyenyak. Mungkin
dia sering merasa lelah. Aku berusaha untuk tidak berisik dan tetap diam di
samping Kei. Meskipun tidak terlihat keren hanya menjadi pahlawan yang berdiri
di samping, tidak ada yang lebih penting daripada membiarkan Kei, yang jauh
lebih pintar dan memiliki banyak hal yang harus dilakukan, bisa bersantai.
Wajah
tidur Kei kelihatan begitu damai.
Parasnya yang begitu cantik sampai-sampai membuatku khawatir apakah
dia sudah mati, dan kadang-kadang aku merasa takut. Ketika aku mengatakan hal
yang sama kepada Kei, dia menjawab bahwa itu seperti latihan untuk mati, dan
itu membuatku cemas. Aku sama sekali tidak ingin melihat Kei mati.
Namun,
Kei telah membunuh banyak orang menggunakan Blue Morpho. Hingga sekarang, dia
masih mengoperasikan Blue Morpho dan mengarahkan orang-orang untuk ‘terseret’ hingga mati. Sekarang, Blue
Morpho mungkin telah lepas dari genggaman Kei dan menjadi seperti kupu-kupu
yang mengepakkan sayapnya, tapi semuanya dimulai dari Kei. Aku bertanya-tanya
apakah dunia di mana Kei tidak mendapatkan balasan dan tidak mati itu
benar-benar adil.
Dunia itu
terlalu menguntungkan bagiku hingga terasa
menakutkan.
Setelah
tidur sekitar dua jam di kamarku, Kei perlahan-lahan terbangun seperti es yang
mencair.
“Selamat
pagi, Kei.”
Ketika
aku menutup buku yang sedang kubaca dan memanggilnya,
dia membuat kepalan kecil dan lembut
menusuk perutku.
“Ada
apa, kenapa?”
“Sudah
kubilang bangunkan aku kalau aku tertidur.”
Kei mengatakan
itu dengan suara sedikit cadel khas saat mengantuk. Seakan-akan menyampaikan ketidakpuasannya, Kei sekali lagi mendorong
perutku dengan keras. Ada sensasi aneh dan hidup yang membuatku sadar akan
organ dalamku. Meski begitu, tangan Kei tak pernah menyakitiku. Dia
bermain-main dengan lembut di celah-celah rumit antara bagian dalam dan luar
tubuhku.
“Aku
bimbang harus membangunkanmu atau tidak,
karena seragammu pasti kusut. Tapi, begitu kamu masuk ke dalam kamarku, kamu langsung merebut
tempat tidur, ‘kan?
Jadi, pada titik itu, rokmu pasti sudah kusut, dan tidak ada bedanya.”
“Aku
tidak membicarakan tentang kerutan.”
Kei
merajuk sambil mengayunkan kakinya.
“Padahal
aku sudah tidak punya banyak waktu untuk
dihabiskan bersama Miyamine, jadi rasanya sangat
disayangkan kalau aku sampai ketiduran
di waktu berharga itu. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan dan bicarakan, tapi aku harus pulang karena ada batas waktu.”
Aku sudah
mengetahuinya, tapi keluarga Kei tidak terlalu ketat mengenai
batas waktu. Orang tua Kei sangat
mempercayainya, jadi meskipun dia melanggar batas waktu, mereka sama sekali
tidak marah.
Meskipun
begitu, Kei berusaha untuk pulang sebelum pukul tujuh malam dan sebisa mungkin makan malam
bersama keluarganya. Aku menyukai sisi Kei yang seperti itu, dan itulah
sebabnya aku merasa bingung tentang dirinya. Karena aku berpikir bahwa orang
yang menyukai keluarganya pasti baik hati. Aku bisa percaya bahwa Kei hanya
memilih metode Blue Morpho demi idealismenya.
Sementara
itu, meskipun aku tidak sesibuk
Kei, terkadang aku juga makan malam di kamar hanya karena merasa malas atau
tidak ingin melakukan sesuatu.
“Tapi,
waktu tidur Kei jauh lebih penting daripada waktu untuk berbicara denganku.
Karena ada pekerjaan Blue Morpho, kamu
pasti merasa selalu tegang, Kei. Aku lebih tidak menyukai jika kamu sakit,” kataku.
“Ini
salah Miyamine karena tidak bisa memahami keinginanku untuk berbicara denganmu. Tidak
bisa berbicara denganmu sama
menyedihkannya dengan menderita sakit, Miyamine.”
jawab Kei.
Perkataannya
sangat menggembirakan sampai-sampai
sulit dipercaya. Meskipun aku merasa tidak boleh begitu saja menerimanya, aku
tak bisa menahan rasa bahagia.
Kei
terdiam beberapa saat, lalu tiba-tiba mendongak seolah baru saja memikirkan
sesuatu. Dia bangkit dan membelai rambutku dengan lembut.
"Berikan
aku sesuatu sebagai pengganti. Demi
waktu yang tidak bisa kita habiskan bersama.”
“Aku
akan melakukan apa pun yang bisa aku lakukan,” jawabku.
Tanpa pikir panjang, aku langsung mengucapkan apa yang terlintas di
kepalaku. Kei menyipitkan matanya.
“Benar juga,
kalau begitu bagaimana kalau kita berkencan?”
Dan begitulah, aku akhirnya berkencan
dengan Kei.
Rasanya
aneh.
Karena
aku adalah pacarnya Kei, jadi aku sering menghabiskan waktu bersamanya
tanpa alasan, kadang-kadang kami
pergi ke suatu tempat setelah sekolah, sehingga kami kadang melakukan hal-hal
yang seperti kencan secara alami. Di sisi lain, jarang sekali Kei mengundangku
untuk pergi ke suatu tempat dengan tegas sebagai “kencan”. Apalagi setelah Kei menjadi sibuk
dengan urusan Blue Morpho. Namun, aku tidak menyangka Kei akan mengatakan hal
seperti itu sekarang.
Hal tang
terlintas di pikiranku ialah saat
melihat seseorang yang mati bunuh diri demi menyelesaikan misi
Blue Morpho. Sekarang, aku tidak perlu membuktikan bahwa kekuatan Blue Morpho
itu nyata, jadi aku ingin percaya bahwa aku tidak akan berakhir seperti
itu—tetapi rasa cemas semacam itu
tetap tidak bisa hilang. Apa sebenarnya niat Kei untuk mengajak kencan?
Rencana
kencan semuanya ditentukan oleh Kei, jadi aku memutuskan untuk menuruti permintaannya. Kami
sepakat untuk bertemu di depan stasiun pada pukul sepuluh pagi, kegiatan yang sangat khas untuk anak-anak
SMA.
Karena
merasa gugup, jadi aku sudah berada di depan stasiun
dua puluh menit lebih awal, tetapi Kei sudah tiba di sana lebih dulu.
“Kamu
datangnya cepat sekali. Kalau begini
sih jadinya kita sepakat buat ketemuan di pukul 09.40.”
“Kamu nya saja yang terlalu cepat, Kei... Sudah berapa lama kamu di sini?”
“Aku baru
saja tiba. Hampir bersamaan denganmu, Miyamine. Kupikir kamu akan datang sekitar waktu
segini, jadi aku datang tepat pada waktu itu. Kita memang sangat mirip, ya?”
Kei mengucapkannya dengan begitu riang sampai-sampai ikut membuatku senang.
Mungkin bagi Kei yang bisa membaca psikologi manusia, dia bisa memprediksi waktu
kedatanganku dengan mudah. Perasaan bersemangat untuk berkencan dan keinginan
untuk tidak membuat Kei menunggu. Ini waktu yang agak canggung bagiku, tak
ingin Kei membenciku sedikit pun.
“Kei,
kamu kelihatan sangat cantik hari ini.”
“Terima
kasih sudah memuji bagian yang ingin aku dengar.”
Kei
mengenakan gaun merah yang tidak biasa. Desainnya sedikit terbuka di bahu,
membuatku agak kesulitan
harus melihat ke mana. Di bagian dadanya terdapat pita besar yang entah kenapa
terlihat sangat cocok. Karena Kei biasanya
mengenakan seragam atau pakaian berwarna gelap, aku terkejut melihatnya
mengenakan pakaian berwarna cerah seperti ini. Dalam artian itu, kencan hari ini terasa sangat
berbeda dari biasanya.
“Hari
ini kita mau ke mana? Apa ada tempat yang ingin kamu
kunjungi?”
“Sudah kubilang kalau aku yang mengurus semuanya, ‘kan? Miyamine cukup ikut saja tanpa mengeluh.”
“Memangnya
kamu pikir aku akan mengeluh padamu?”
Saat aku mengucapkan
hal yang jelas, Kei menjawab dengan nada yang sama.
“Kurasa
memang tidak.”
Tempat
pertama yang dikunjungi
Kei adalah toko buku terbesar di dekat sini. Kei mulai menjelajahi rak buku
tanpa mengatakan apa-apa, jadi aku dengan patuh mengikutinya. Di kamar Kei, ada
jauh lebih banyak buku dibandingkan di kamarku. Sungguh aneh bagaimana dia bisa
membaca sebanyak itu. Mungkin Kei sering datang ke sini secara teratur.
Ketika
Kei mulai mengambil beberapa buku, aku mengambil keranjang untuk menampungnya. Sungguh suatu kerhormatan bisa memikul beban belanjaannya. Mungkin inilah alasan aku
diundang, pikirku, ketika tiba-tiba Kei menoleh ke arahku.
“Miyamine,
menurutmu mana yang lebih menarik,
buku ini atau buku
ini?”
Dia
menunjukkan dua buku saku dengan sampul yang sangat berbeda, dan aku memilih
yang memiliki sampul sedikit komikal meskipun dengan bingung. Sepertinya
ilustrasi di buku itu dibuat oleh seorang komikus yang kukenal, tetapi isinya
tampaknya adalah misteri yang melibatkan pembunuhan. Tanpa bertanya alasan
khusus, Kei memasukkan buku saku itu ke dalam keranjang.
Setelah
beberapa kali melakukan hal yang sama, buku-buku yang kupilih masuk ke dalam
keranjang.
“Aku
tidak terlalu tahu banyak, jadi mungkin pilihanku tidak
bisa jadi referensi loh.”
“Ah,
tidak, memilih buku itu pada akhirnya juga melibatkan intuisi. Aku percaya pada
intuisi Miyamine.”
Kei
berusaha meyakinkanku, tapi aku tetap merasa cemas. Aku berpikir bahwa buku
yang dibacanya mungkin
penting bagi Kei. Jadi aku merasa khwatir kalau
buku yang kupilih tidak menarik baginya.
Setelah
menyelesaikan penjelajahan rak, Kei bergumam.
“Aku
sebenarnya tidak ingin ada orang di sekitarku saat aku memilih buku.”
“Eh?”
“Rasanya
seperti ada yang mengintip ke dalam hatiku, dan itu bisa mengganggu instingku
saat memilih buku. Tapi, Miyamine pengecualian.”
“…Benarkah?”
“Benar.
Mungkin itu berarti aku bisa membiarkan Miyamine melihat ke dalam hatiku. Jika
tidak, aku tidak akan membicarakan banyak hal seperti ini.”
Akhirnya,
Kei menyelesaikan pembayaran untuk banyak buku dan mengatur pengiriman sebelum
keluar dari toko. Setelah menyelesaikan prosedur, buku-buku yang dibelinya akan
diantar ke rumahnya.
“Aku
selalu membeli dalam jumlah besar karena menurutku itu penawaran yang bagus
sebelum ongkos kirim gratis. Tapi aku agak terkejut
ketika melihat struknya.”
“Aku
bahkan lebih terkejut karena kamu
membeli banyak.”
“Aku
adalah tipe anak yang tidak menggunakan uang
saku sejak kecil. Ketika melihat iklan, aku jadi ingin mainan, tapi aku
bertanya-tanya apakah itu benar-benar yang kuinginkan? Jadi, aku memutuskan
untuk menyimpan uang saku sampai aku benar-benar mendapatkan sesuatu yang
kuinginkan. Sekarang, aku menggunakan tabungan uang saku untuk melakukan hal
seperti ini. Haa~, padahal buat menabung rasanya sulit, tetapi menghabiskannya
hanya sekejap, jadi terasa sia-sia.”
Melihat
Kei yang bersikap kekanak-kanakan, aku
tidak bisa menahan tawa. Aku khawatir dia akan marah, tetapi Kei juga terlihat
senang dan tertawa.
“Yuk,
kita masih harus melanjutkan. Kencan kita
baru saja dimulai.”
Mungkin karena
sudah memasuki waktu makan siang, kafe yang
dipesan Kei sangat ramai. “Aku Miyamine yang sudah membuat reservasi,” kata Kei sambil melangkah maju
melalui keramaian di dalam toko.
“Kamu
menggunakan namaku?”
“Itu
demi perlindungan data pribadi.”
Kei
tersenyum dan duduk di tempatnya. Set menu makan siang cukup terjangkau untuk
siswa SMA. Desain interiornya ternyata cukup elegan, membuatku merasa lega di
dalam hati.
“Kei, kamu mau pesan apa?"
“Aku sih mau
yang ini.”
Kei
menunjukkan set yang bertuliskan Morpho Plate. Aku terbelalak melihatnya.
Terdapat pasta yang sederhana, gratin, dan sepertinya ada kue yang disajikan.
Di atas kue terdapat kupu-kupu kecil yang terbuat dari cokelat.
“Apa-apaan dengan menu ini? Jangan bilang kalau Blue Morpho juga terlibat sampai ke tempat ini juga?”
“Mana
mungkinlah. Tapi, dalam artian
tertentu, mungkin ini karena pengaruh
Blue Morpho. Ketakutan dan ketertarikan terhadap Blue Morpho telah membuat
motif kupu-kupu menjadi tren di masyarakat. Blue Morpho itu menakutkan. Tapi
aku tertarik. Aku ingin merasakan dunia itu. Perasaan itu mungkin tercermin di
tempat-tempat seperti ini.”
Ketika
aku melihat sekeliling area kafe,
ada banyak orang yang menikmati kue
dengan motif cokelat kupu-kupu yang sama. Jika
dipikir-pikir, sepertinya semakin banyak orang di kota yang mengenakan barang
dengan motif kupu-kupu. Karena desainnya umum, aku tidak terlalu
memperhatikannya, tetapi perlahan-lahan aku merasa dikelilingi oleh Blue
Morpho, dan itu membuatku merinding.
“Kurasa
itu bukan hal yang buruk. Motif memang bisa
berpengaruh.”
Kei
berkata pelan sambil memanggil pelayan toko.
“Tapi,
aku tidak pernah menyangka bakalan menjadi
tren seperti ini. Mungkin dunia mengalir dengan cara yang lebih seperti ini
daripada yang aku pikirkan—itulah sebabnya, sebenarnya Blue Morpho pun mungkin
hanyalah kepakan sayap kecil di
dunia ini.”
“Walaupun
motif kupu-kupu sudah viral begini?”
Ketika
aku bertanya dengan curiga, Kei menunjukkan ekspresi yang sulit diartikan. Aku
tidak bisa memahami maksud dari ekspresinya,
jadi aku diam menunggu pelayan datang.
Seperti
yang diharapkan dari tempat yang dipilih Kei, makanan di kafe ini sangat enak. Sambil berhati-hati agar tidak mengotori
pakaian dengan saus tomat, Kei dan aku berbincang-bincang tentang hal-hal
sepele. Kami membicarakan buku yang baru saja dibaca Kei yang menarik, dan
bagaimana ayah Kei membeli tanaman hias dan segera membuatnya layu. Juga
tentang ibunya yang mulai bermain game aplikasi misterius dan betapa
menakutkannya ibunya yang sangat terobsesi seperti pemain Blue Morpho. Aku
tertawa tulus mendengar cerita-ceritanya.
“Ibuku
bilang kalau melihat iklan aplikasi itu gratis, jadi dia menonton iklan
misterius itu dengan serius. Bahkan selama tiga puluh detik. Rasanya agak
menyedihkan.”
“Kurasa
tidak ada salanya jika itu membuatnya senang.”
“Apa iya?
Tapi, bukankah itu pada dasarnya tidak berbeda dengan membaca buku atau
menonton film?”
Ucap Kei sambil bermain-main dengan
kupu-kupu cokelat menggunakan garpu. Kupu-kupu itu sangat indah, tetapi mungkin
karena sifat dari karya cokelat seperti ini, bentuknya sudah mulai meleleh.
“Jadi...
aku sudah penasaran, kenapa hari ini kamu ingin berkencan denganku?”
“Karena
Miyamine dan aku ‘kan
berpacaran, jadi berkencan itu wajar, iya ‘kan?”
Kei
mengatakannya tanpa ragu sedikit pun, membuatku tidak bisa berkata apa-apa. Dia bahkan tidak kelihatan sedang menggodaku, dan ucapannya terasa sangat
natural. Setelah berpikir sejenak, Kei melanjutkan.
“Entahlah,
mungkin aku ingin Miyamine mengetahui kalau aku
orang yang seperti apa.”
“Seperti
apa dirimu? ...Memang, mungkin aku tidak tahu banyak tentang Kei.”
“Aku
tahu lebih banyak tentang diriku sendiri dibandingkan siapa pun di dunia ini,
tapi itu saja tidak cukup. Aku ingin kamu ingat, seperti apa diriku ini.”
Kei
adalah orang yang dicintai oleh banyak orang, jauh lebih dari yang bisa
dibandingkan denganku. Meskipun tidak ada yang mengingat Miyamine Nozomu, semua
orang pasti akan bercerita tentang ingatan mereka tentang Kei. Keberadaanku tidak perlu diingat segala.
Selain
itu, Kei memiliki Blue Morpho. Meskipun orang-orang
tidak mengetahui kalau Kei adalah sang Master,
Blue Morpho yang dibuatnya telah mengubah dunia ini dan mengubah kehidupan
banyak orang. Itulah bukti kehidupannya. Terlepas
itu hal yang baik atau tidak, Blue Morpho tetap ada di masyarakat ini.
“Aku
tidak terlalu suka tampil di depan umum. Aku lebih suka membaca buku sendirian
di kamar. Jadi, jika aku pensiun, aku ingin menjalani kehidupan seperti itu.
Mengelola kafe seperti ini di tengah hutan bersama Miyamine.”
“Jika
Kei ingin begitu, aku akan ikut, tapi aku khawatir karena tidak bisa memasak.”
“Belajarlah
mulai sekarang. Aku yakin kamu akan mahir dalam segala hal saat kamu dewasa nanti.”
Usai mendengar
kata-kata Kei, aku mengangguk serius. Jika Kei menginginkan hal seperti itu,
aku akan berusaha sekuat tenaga.
Lebih
dari segalanya, aku senang Kei membicarakan masa depan seperti itu.
Saat kami
keluar dari kafe, kami melihat
kerumunan orang. Aku bisa mendengar kata ‘polisi’ sesekali. Setelah melihat itu, Kei tanpa rasa takut
berjalan menuju kerumunan. Langkahnya sangat mantap sehingga orang-orang di
sekitarnya menghindar. Aku pun mengikuti Kei.
Di sana
tergeletak sesosok mayat berlumuran darah. Itu adalah tubuh seorang pemuda.
Mungkin usianya seumuran kami. Dengan pakaian santai berupa kaos dan celana, membuat keadaannya semakin menyedihkan.
Orang-orang di sekitar kami mengatakan
bahwa ia melompat dari gedung.
Jangan-jangan pemuda itu adalah pemain Blue Morpho? Hatiku terasa sakit. Aku pernah
melihat kejadian serupa sebelumnya.
Saat itu,
Kei berkata pelan.
“Bukan.”
Kei
menatap mayat pria itu dengan sangat serius.
“Orang
ini bukan pemain.”
“Bagaimana kamu
bisa tahu?”
“Aku
punya pemahaman tentang setiap kluster. Masing-masing
dari mereka memiliki ikon unik, jadi membedakannya cukup mudah,
dan mereka juga harus menyerahkan foto wajah.”
Kei
mengatakannya dengan nada datar seolah-olah
sedang memverifikasi masalah dalam sistem.
“Karena
tidak ada bekas luka berbentuk kupu-kupu yang terlihat, orang ini bukan pemain
Blue Morpho.”
Setelah berkata
demikian, Kei lalu
membalikkan badan dari mayat yang terjatuh dan segera mulai berjalan.
“Kencan
kita jadi berantakan, ya?”
Suara Kei
terdengar sangat kecewa dari lubuk hatinya.
Kami
berdua, baik aku maupun Kei, merasakan bahwa suasana kencan sudah hilang. Aku
berpikir tentang rencana apa yang seharusnya ada setelah ini, sambil mengikuti
Kei yang menjauh dari keramaian menuju area yang sepi. Begitu sedikit menjauh
dari pusat kota, jalanan itu terasa sepi seolah-olah
telah ditinggalkan oleh Tuhan.
“Jika
orang itu bukan pemain Blue Morpho... apa itu berarti dia mati tanpa misi?”
“Benar.
Tidak semua orang yang memilih mati adalah pemain Blue Morpho.”
Ucapan
Kei memang benar. Namun, saat ini, pikiranku berputar pada pertanyaan mengapa
seseorang yang bukan pemain Blue Morpho harus mati. Jika dirinya bukan pemain Blue Morpho, maka
dia sebenarnya tidak perlu mati.
“Kenapa
ya dirinya berpikir untuk mengakhiri
hidupnya?”
Tiba-tiba,
Kei mengungkapkan sesuatu yang biasanya tidak ia katakan.
“Mungkin
dirinya mengalami hal yang menyakitkan.
Mungkin ia merasa putus asa Saat ini,
para pemain Blue Morpho sedang memilih kematian, jadi mungkin itulah yang mempengaruhinya. Mungkin ada semacam efek
Werther berskala besar yang sedang terjadi.”
Efek
Werther adalah fenomena di mana berita tentang bunuh diri dilaporkan secara
besar-besaran atau ketika seseorang menyaksikan bunuh diri orang terdekat,
sehingga membuat orang
lain juga memilih kematian,
yang menyebabkan peningkatan jumlah kasus bunuh diri. Blue Morpho, dalam arti
tertentu, juga membunuh ‘manusia
yang terpengaruh’ dengan
memanfaatkan mekanisme ini.
Meskipun
orang itu tidak terlibat langsung dengan Blue Morpho, dirinya memilih untuk mati seolah-olah
terpapar racun secara tidak langsung. Lalu, bagaimana jika Blue Morpho tidak
ada? Mungkin orang itu masih hidup. Pemikiran semacam itu terus menghantuiku. Namun,
kenyataannya, kematian orang seperti dirinya
merupakan hal yang paling sesuai dengan tujuan Kei untuk
membunuh manusia yang terpengaruh. Sebagai
seseorang yang sependapat dengan Kei, aku tidak berada dalam
posisi untuk berkomentar tentang kematian orang itu.
Setelah
beberapa saat, Kei kembali berbicara.
“Seandainya
orang itu pemain Blue Morpho, dirinya
pasti percaya akan kehidupan yang bahagia di alam berikutnya.”
Blue
Morpho mengklaim bahwa manusia yang menyelesaikan semua misi dan memilih untuk
mati akan dapat bereinkarnasi menjadi diri mereka yang diinginkan. Awalnya, aku
berpikir seberapa besar kata-kata itu akan berdampak, tetapi ternyata,
kata-kata itu bisa menjadi pemicu kematian di akhir.
Kebanyakan orang yang terjebak dalam Blue
Morpho adalah orang-orang yang terasing dari masyarakat. Bahkan jika tidak,
banyak dari mereka yang merasa tidak puas dengan keadaan mereka saat ini. Orang-orang seperti itu
terpengaruh melalui Blue Morpho dan akhirnya mengarah pada kematian.
Harapan
adalah dorongan terakhir bagi orang-orang seperti itu.
“Pasti
ada dunia yang mereka dambakan
setelah kematian. Ada kemungkinan mimpi yang pernah tidak terwujud bisa
terwujud. Kemungkinan itu memberikan satu dorongan
terakhir. Jika harus mati, aku ingin kamu memegang harapan itu sampai akhir.”
Kei
menyipitkan matanya. Mungkin di depannya ada bayangan pria yang baru saja
mati.
Apa Kei merasa iba pada pemuda itu? Atau
hanya rasa penyesalan yang
sia-sia terhadap kematian?
Entah
bagaimana, perasaan yang dimiliki Kei adalah sesuatu yang hanya bisa dimiliki
oleh Master Blue Morpho. Aku pasti
tidak akan pernah memahaminya seumur hidupku.
“Apa kamu ingin terlahir kembali, Kei?”
Aku tidak
tahu mengapa aku mengajukan pertanyaan itu. Namun, aku tidak bisa menahan diri
untuk tidak bertanya padanya.
Sekalipun
kehidupan setelah mati, aku tidak ingin terlahir kembali sebagai manusia. Kehidupanku di dunia ini tidak cukup baik
untuk membuatku ingin lahir kembali sebagai manusia. Satu-satunya hal yang
membuatku bersyukur menjadi manusia adalah bisa berbicara dengan Kei. Bisa
dekat dengannya. Selain
itu, aku tidak ingin terlahir kembali sebagai manusia.
Jika aku bisa terlahir
kembali, aku bahkan lebih suka terlahir kembali
menjadi tanaman atau sesuatu yang lain.
Namun,
Kei menjawab tanpa ragu.
“Aku
ingin terlahir kembali sebagai manusia.”
“Begitu?
Aku sama sekali tidak mengerti perasaan itu. Mungkin jika aku seperti Kei, aku
akan berpikir demikian.”
“Karena aku
menyukai manusia.”
Perasaan
Kei yang bisa diungkapkan tanpa ragu itu tetap tidak bisa kupahami.
Mungkin
karena aku tidak begitu menyukai
manusia. Aku telah mengalami banyak hal buruk, dan yang teringat hanyalah
kekejaman itu. Bahkan Kei
pun pasti memiliki kemarahan dan ketidaknyamanan terhadap manusia yang
terpengaruh, tetapi fakta bahwa dia masih bisa mengatakannya dengan tegas entah
bagaimana terasa menakutkan.
Aku
penasaran bagaimana Kei memandang dunia.
“Aku
ingin terlahir kembali sebagai manusia, tetapi ada beberapa hal yang
menakutkan.”
Kei
berbisik seolah-olah sedang berbicara sendiri.
“Hal
yang menakutkan?”
“Jika
aku terlahir kembali sebagai manusia,
menjadi manusia sepertiku lagi, mengulangi hal yang sama, dan pada akhirnya
tidak ada yang berubah. Apa pun yang kita lakukan, dunia takkan berubah, dan
semua hal yang sama akan terjadi lagi. Itulah yang
membuatku takut. Dulu, aku pernah membaca cerita tentang
neraka seperti itu. Aku mati dan terlahir kembali sebagai diriku, dan aku akan
menjadi diriku lagi. Aku akan menjalani kehidupan
dengan cara yang sama, menciptakan Blue Morpho dengan cara yang sama. Hal yang
sama akan terus terjadi.”
“…Aku
tidak tahu apa yang membuat Kei merasa begitu cemas, tapi apakah itu berarti
kamu takut akan ketidakberubahan?”
“Aku
takut terjebak dalam hal yang sama.”
Kei lalu menatapku.
“Aku
takut membayangkan ini mungkin neraka yang akan kumasuki.”
Seserius
apa pun aku memikirkannya, ketakutan Kei berada di luar imajinasiku. Semakin
aku bicara, semakin aku merasa semakin menjauh darinya. Aku harus mengatakan
sesuatu. Aku takut Kei akan meninggalkanku, jadi aku tidak bisa mengatakan apa
pun sembarangan. Kei yang berbeda sedang
beridiri di hadapanku, bukan Kei yang ceria seperti
biasanya, atau Kei yang bergelut
di antara Blue Morpho dan hati nuraninya.
“…Jika seandainya hal yang sama terulang lagi, setidaknya… aku mungkin bisa bertemu denganmu lagi. Itu akan menjadi... kebahagiaan
bagiku.”
Setelah
mengatakannya, aku merasa malu karena menyadari
kalau perkataanku yang mungkin terlalu
egois.
Aku tidak
ingin terlahir kembali sebagai manusia, tetapi jika itu berarti bisa bertemu
Kei sekali lagi, aku yakin aku akan memilihnya dengan bodoh. Aku pasti akan
mengejar Kei tanpa memikirkan seberapa menderitanya
nanti di kehidupan selanjutnya.
“Miyamine selalu mengatakan hal-hal
seperti itu.”
Kei
benar-benar mengatakannya.
“Miyamine, kumohon tetaplah seperti dirimu
selamanya. Aku ingin kamu terus mengejarku. Aku ingin kamu melihatku sebagai
manusia. Jika begitu, aku pasti akan mencapai
tujuanku.”
Rambut
Kei berkibar tertiup angin dari gedung-gedung, membentang seperti sayap
kupu-kupu. Pemandangan itu begitu sempurna hingga membuatku terpesona.
Mungkin
saat itulah aku benar-benar ingin menyerahkan segalanya kepada Yosuga Kei.
Kei
sedang bersiap-siap untuk
metamorfosis. Menjadi Blue Morpho yang sejati. Memecahkan cangkang manusianya dan tumbuh sebagai penyakit yang
nyata.
Akhirnya,
aku benar-benar mengerti.
Kei
mungkin telah menyisihkan hari seperti hari ini untuk menunjukkan sisi
manusianya kepadaku, untuk meratapi cangkang yang akan segera dia lepaskan.
“…Tetap
saja, sayang sekali. Mari kita lanjutkan kencan ini. Ada film yang ingin
kutonton. Film itu akan tayang di bioskop sebentar lagi, jadi mungkin akan
lama, tapi aku tipe orang yang ingin cepat-cepat menonton film. Sebelum
menyesalinya setelah selesai.”
Kei
tersenyum. Aku mengangguk dan mengikuti langkahnya. Warna merah yang mengalir tadi kini
terubah menjadi warna gaun yang dikenakannya.
Kurasa
Kei benar-benar melakukan hal yang tepat dengan mengajakku keluar pada hari
itu.
Bahkan
setelah kehilangan dirinya,
satu-satunya yang kuingat hanyalah tentang kencan hari ini.
