Chapter 1 — Teguran
Aku
berjalan dengan tenang di lorong panjang Gedung 2. Sekarang sudah memasuki bulan
Oktober. Meskipun cuacanya sudah
mulai dingin, karena ini bukan ruangan tertutup, AC tidak dinyalakan. Gedung 2
tidak terlalu ramai, jadi sepertinya lampu-lampu di berbagai tempat dimatikan
untuk menghemat energi. Karena lampu yang menyala secara sporadis, suasana
keseluruhan menjadi gelap.
Di
sebelah kanan lorong terdapat beberapa ruangan, dengan nama-nama tertera di
atasnya. Ruang serbaguna, ruang audiovisual, kemudian ruang tamu pertama dan
ruang tamu kedua. Aku berhenti di depan ruang tamu kedua yang terletak paling
jauh.
—Tempatnya pasti di sini.
Aku
mengetuk pintu dengan pelan, dan suara yang familiar terdengar dari balik
pintu.
“Silakan
masuk.”
Aku
berkata, “Permisi,” sebelum membuka pintu.
Ruangan
itu sempit. Di bagian dinding
sebelah kanan terdapat lemari, dan set sofa diletakkan sedikit di sebelah kiri
tengah. Di sofa bagian dalam, seorang pria muda dengan kacamata bingkai perak
duduk. Beliau adalah guru wali kelasku,
Shiroyama-sensei.
“Oh,
kamu sudah datang ya. Silakan duduk di sana.”
Ia
menunjuk ke sofa di depan. Sofa itu dilapisi kulit dan terlihat mewah. Mungkin
ini adalah tempat untuk menerima tamu dari luar.
Aku
melepas tas dari bahu dan perlahan duduk. Shiroyama-sensei mengambil sebuah ring binder.
“Ada
apa, wajahmu kelihatan cemberut begitu.”
“Biasa saja
kok. Lagipula, aku ingin segera selesai, jadi tolong mulai saja.”
“Kamu
terlihat tidak senang. Tapi ya, kamu benar.”
Ia
mengeluarkan selembar kertas dari ring binder dan meletakkannya di meja di
depanku.
…Kira-kira
sebulan yang lalu, formulir survei harapan jalur karier dibagikan. Setelah
memeriksa semua pengumpulan dari kelas, dalam waktu sekitar satu minggu,
wawancara mengenai harapan jalur karier akan dilaksanakan. Hari ini masih hari
kedua, tetapi karena nomor urutku yang awal, aku dipanggil lebih cepat. Sensei membolak-balik file itu.
“Hmm,
nilai kamu... Hmm, ini sulit. Tidak ada yang bisa kukatakan.”
“Jadi,
boleh aku pulang sekarang?”
“Yah, tunggu dulu sebentar. Aku sedang berpikir.”
Seharusnya
hal-hal semacam itu dipikirkan sebelumnya sebelum menghadapi wawancara. Aku
berpikir demikian tetapi memilih untuk diam.
“Sejak
masuk sekolah hingga sekarang menginjak di kelas dua,
kamu selalu mempertahankan peringkat pertama di kelas. Teman-teman sekelas juga
mengandalkanmu, dan kamu telah menjadi ketua kelas selama dua tahun
berturut-turut. Dari pandanganku, tidak ada masalah dengan kepribadianmu, kamu
benar-benar siswa teladan.”
“Itu
sama sekali tidak benar.”
“Itu
benar! Nilai ujian coba juga berkisar antara nilai standar 75-80. Keren sekali.”
“...Rasanya ada yang mencurigakan.”
Sensei tiba-tiba
mulai melontarkan pujian, mungkin ini adalah pola yang biasa terjadi.
“Walaupun
begitu, aku punya banyak hal yang bisa kukatakan kepada yang lain. Hanya kamu
yang tidak.”
“Dengan kata
lain, semuanya sudah
selesai, ‘kan!”
“Tidak,
masih belum. Lihat, kamu pasti punya
sesuatu yang ingin kamu konsultasikan padaku, ‘kan?”
“Tidak
ada. Jika harus dikatakan—”
“Harus dikatakan?”
“Aku selalu
saja dimintai tolong, jadi aku ingin itu
diubah.”
Saat itu,
bahu sensei terlihat jatuh lesu. Ternyata
benar. “Lagi, ya?” Ketika aku bertanya seperti itu,
Shiroyama-sensei mengangguk dengan enggan.
“Benar.
Aku punya sesuatu yang ingin kutanyakan padamu. Sekali lagi.”
Ia
menghela napas. Dirinya
berusaha mengambil hatiku sambil meminta bantuanku. Ini bukan pertama kalinya
aku diminta tolong oleh guru.
“Apa
itu?”
“Oh.”
Tatapannya
penuh harapan, tetapi aku mengabaikannya. Sensei
mengangkat kacamatanya dan berkata.
“Sebenarnya
ini tentang Enami.”
“Eh?
Enami-san?”
“Benar.”
Aku
terkejut. Ini adalah pertama kalinya aku diminta tolong mengenai siswa lain.
“Sebenarnya,
dia yang dijadwalkan untuk melakukan wawancara sebelum
wawancaramu. Tapi dia malah tidak
datang.”
Sensei
menggerakkan bolpen di pelipisnya.
“Dia
sudah menyerahkan formulir survei harapan jalur karier. Jadi, aku pikir dia
akan datang untuk wawancara, tetapi dia tiba-tiba membolos.”
“Tapi,
dia bukan tipe yang akan datang untuk wawancara, kan?”
“Bisakah
kamu memberitahunya untuk datang wawancara?”
Sudah kuduga. Diminta seperti itu juga tidak
mengejutkan, begitu juga dengan Enami
yang tidak datang untuk wawancara. Aku juga mengenal dia sampai batas tertentu.
Gadis yang suka membolos dan datang terlambat.
Sikapnya kurang ramah, dan jarang terlihat tersenyum. Dia sering tidak
mengikuti kata-kata guru dan sering menimbulkan masalah.
Aku sempat merasa ragu sejenak. Tapi pada akhirnya, aku menjawab seperti
biasa.
“Baiklah.”
Setelah
itu, pembicaraan yang tidak berarti berlanjut. Aku segera menyelesaikannya dan
meninggalkan ruang tamu kedua.
◇◇◇◇
“—Aku
pulang.”
Di pintu
masuk rumah, ada sepatu pantofel
putih yang tampaknya milik adik perempuanku
tergeletak. Setelah melepas sepatuku dan berdiri di atas ambang pintu, aku
mengambil dan merapikan sepatu
itu.
Sudah berapa
kali harus kukatakan agar dia mau mendengarkan perkataanku? Setelah menaiki tangga
dan tiba di lantai dua, sebuah pintu dengan plakat bertuliskan “Sayaka” muncul di depanku.
Aku
mengetuk pintu dengan pelan. Namun, tidak ada jawaban. Aku berhenti menunggu
dan membuka pintu.
Ruangan
itu sekitar enam tatami. Tirainya ditutup rapat dan gelap. Hanya layar komputer
yang bersinar terang, di mana seorang gadis duduk dengan posisi mirip berjongkok di atas
kursi putar.
“Sayaka.”
Aku mencoba memanggilnya, tetapi karena kedua
telinganya tertutup headphone, mungkin dia tidak mendengarnya. Wajahnya
mendekat ke layar, terus mengklik mouse. Sesekali, terdengar suara tawa aneh
seperti “Fuhehe”
atau “hihihi”.
Aku
mencabut headphone dari kepala Sayaka.
Dia terkejut dan berbalik ke arahku.
“Hyah!
...Apa?”
Di layar
komputernya terdapat sesuatu yang kelihatannya
permainan otome. Seorang pria ganteng menunjukkan senyum dengan gigi putihnya,
tetapi lehernya terlihat sakit.
“...Ah,
Aniki... Tolong jangan sembarangan melepas
headphone-ku begitu
saja dong.”
“Kalau
kamu tidak menjawab, aku tidak punya pilihan lain
selain melakukan ini.”
“Dan
tolong jangan masuk ke kamar tanpa izin. Kalau ini medan perang, kamu sudah mati.”
“...Kamu
bahkan tidak merespons saat aku mengetuk pintu
kamarmu.”
Hal ini
selalu terjadi. Apa pun yang aku lakukan, dia tidak menyadarinya. Saat aku
ingin berbicara dengan adik perempuanku,
satu-satunya cara adalah dengan masuk secara paksa.
Bagian dalam
kamarnya terlihat berantakan.
Seragamnya berserakan di lantai. Botol plastik dan buku dibiarkan begitu saja.
Di dekat komputer, ada kantong keripik kentang. Sepertinya sudah dimakan,
tetapi tidak dimasukkan ke dalam tempat sampah.
“Kalau
aku sedang ganti baju, bagaimana?”
“Ya, ya, ya.
Ngomong-ngomong, kamu sudah
belajar belum? Ujian tengah semester sudah dekat,
‘kan?”
“Sudah
dekat? Padahal masih ada dua minggu lagi, tau?”
“Kalau
tidak mulai persiapan sekarang, kamu tidak akan mendapatkan nilai baik.”
“Hah.
Aku hanya perlu menghindari nilai jelek. Jadi, belajar ngebut semalam saja sudah cukup.”
“Sungguh...
Kamu selalu main game.”
Dia
mengenakan kaos abu-abu
yang terlihat seperti piyama. Rambut hitam panjangnya diikat menjadi sanggul dengan karet.
Aku
mengambil kantong plastik yang ada di sudut dan mulai mengumpulkan sampah.
“Tolong
jangan sembarangan mengotori barang orang lain. Kalau ini ladang ranjau, kamu sudah hancur berkeping-keping.”
“Mau berapa
kali pun aku membersihkannya, kamarmu
masih tetap saja berantakan. Jangan meletakkan seragammu di lantai yang kotor. Nanti jadi
penuh debu.”
“Ya
ya, maaf.”
Apa yang
akan dia lakukan saat dia tinggal sendiri atau menikah di masa depan?
Menurutku, wajahnya cukup imut, tetapi perbedaannya besar.
“Ngomong-ngomong,
sedikit sampah itu biasa saja. Aniki saja
yang terlalu serius. Kalau terus mencemaskannya,
bersih-bersih tidak ada habisnya. Aku lebih hemat energi dan lebih pintar.”
Aku
menjatuhkan tanganku ke atas
kepala adikku.
“Ugh!
Apaan sih...”
“Kalau
kamarmu terlalu berantakan, kecoa yang
sangat kamu benci akan muncul.”
“Kalau saat
itu tiba, aku tinggal memanggil Aniki, jadi tidak masalah.”
“Astaga,
kamu ini.”
Ujung-ujungnya,
dia tetap bergantung padaku juga.
Menyebalkan.
“Sungguh,
dulu kamu manis sekali sambil terus memanggilku
Onii-chan~ Onii-chan, kenapa
sekarang kamu jadi
begitu menyebalkan...”
“Sebaliknya,
memangnya Aniki tidak merasa jijik
kalau adikmu yang sudah SMA
masih memanggil Onii-chan
dengan manja?”
“Tidak
menjijikkan sama sekali.”
“Uwahh,
mengatakan begitu saja sudah aneh. Dasar
otaku sejati.”
“Bukannya kamu
juga otaku?”
Di layar,
karakter tampan masih tersenyum. Aku tahu dia menghabiskan hampir seluruh uang
saku untuk permainan otome.
Saat aku
berbicara tentang itu dan terus bergerak, kantong di tanganku sudah penuh
sampah. Aku mengikat mulut kantong plastik dan
memasukkannya ke dalam tempat sampah.
“Aku
akan masak makan malam, jadi jangan ngemil terus,
oke.”
“Ya
ya. Buatkan hamburger, ya.”
“Sudah
terlambat. Hari ini kita makan kari. Main gamenya secukupnya dan belajar yang benar.”
Setelah
mengatakannya, aku keluar dari kamar adikku dan menyeberangi lorong.
Aku
meletakkan tas di kamarku sendiri yang berada di lantai dua, mengganti
pakaian, lalu menuju ke ruang tamu.
Ketika
membuka pintu ruang tamu, dinding tepat di depanku terlihat. Di atas kabinet,
ada altar.
Aku
mendekati altar dan berbicara.
“Aku
pulang, Bu.”
Di dalam
bingkai foto, terdapat gambar almarhum ibuku yang diambil sekitar lima tahun
yang lalu. Foto itu diambil saat aku baru saja masuk SMP, saat mendaki gunung.
Ibuku adalah orang yang baik. Aku
masih ingat dengan jelas saat-saat bersamanya ketika dia masih hidup.
Aku
membunyikan lonceng kecil, menyatukan tangan, dan memejamkan mata untuk memanjatkan doa.
◇◇◇◇
Ketika
aku sedang memasak di dapur, ayahku pulang dari
pekerjaannya.
“Oh,
hari ini menunya kari, ya?”
Ia
mengenakan pakaian santai, kaos dan jeans. Tempat kerjanya cukup santai dalam hal etika berpakaian, jadi ia
tidak perlu mengenakan jas.
“Selamat
datang. Kari saja tidak masalah,
kan?”
“Tentu
saja tidak masalah. Aku baru saja berpikir
ingin makan kari.”
Sambil
berkata begitu, ayahku
menyalakan rokok. Dia tergeletak di sofa dan menghembuskan asap.
“Tolong
jangan merokok di ruang tamu. Bau asapnya akan menempel di perabotan. Merokoklah di balkon
sendirian.”
“Sebentar saja tidak apa-apa. Karena suasana di balkon
dingin, jadi aku tidak mau.”
“Aku
tidak peduli. Kalau begitu, ayah tidak dapat kari.”
“Aku
akan mematikannya!
Sekarang juga!”
Ia
buru-buru menekan rokoknya ke dalam asbak. Meskipun kerusakan dapat
diminimalkan, masih ada sedikit bau rokok. Dengan aroma kari yang menyatu, aku
berpikir harus menghilangkan bau itu nanti.
“Ya ampun,
kamu sudah berubah menjadi sangat
tegas. Bahkan ketika ibu masih hidup, dia tidak pernah memperingatkanku seperti ini.”
“Mungkin
ibu juga menahan diri. Merokok di ruang tamu tidak boleh.”
“Maaf,
maaf. Begitu sampai rumah, aku merasa nyaman.”
Sambil
berkata begitu, ayahku berdiri.
Saat itu, terdengar suara seperti kentut.
“Kalau
tidak bisa merokok, aku tidur saja. Bangunkan aku saat makanannya sudah siap.”
“...Ya, ya.”
Dan,
ayahku masuk ke ruangan tradisional di sebelah dan menutup pintu geser. Tak
lama kemudian, suara dengkuran terdengar. Kenapa keluargaku semua begitu malas?
Rasanya ingin membuatku menghela
napas panjang.
◇◇◇◇
Bagiku,
pengembalian lembar jawaban tes merupakan peristiwa yang menyenangkan
sekaligus tidak menyenangkan. Ada harapan bahwa aku akan mendapatkan nilai baik
karena sudah belajar keras, tetapi juga ada kecemasan tentang apa yang akan
terjadi jika nilainya rendah meskipun sudah belajar banyak.
Jika
emosi teman-temanku bisa diungkapkan dengan senang dan sedih, maka bisa
dibilang ini adalah masalah besar. Meskipun itu hanya tes kecil.
“Okusu”
Setelah
namaku dipanggil, aku menerima lembar jawaban dari guru
bahasa Inggris, Niyama-sensei, dan melihat nilainya membuatku merasa campur
aduk. 97. Hanya satu soal yang salah. Karena aku merasa sudah mendapatkan nilai
sempurna, aku merasa tidak terlalu
senang. Namun, mendengar bahwa nilai rata-ratanya
adalah 58 membuatku merasa tidak terlalu buruk.
“Okusu~ kamu mendapat nilai berapa?”
Setelah
bertanya begitu, teman otakuku,
Saito, mendekatiku. Begitu Saito melihat nilainya,
dia berpaling dan mendekati seorang laki-laki lain, Shindo. Setelah melihat
nilai Shindo, ia berkata, “Kita
memang teman, ya,” sambil
memeluknya.
“Okusu,
kamu mendapat nilai bagus lagi, ya?”
Shindo
bertanya dengan rahang yang penuh lemak. Aku balass
mengangguk.
“Aku dapat 97.
Sekali lagi, nilai tertinggi.”
Shindo
menghela napas seolah terkejut. Saito yang malu-malu menyentuh kepalanya yang
botak dan tertawa kecil.
“Ngomong-ngomong,
jika kita jumlahkan nilai kita, totalnya 50. Jadi, berhentilah bertanya siapa
dapat nilai berapa.”
Namun,
segera Niyama-sensei menulis nilai terendah di papan tulis. Nilai terendahnya adalah 25.
““……””
“…
jangan terlalu dipikirin.”
“Tes
kecil tidak mempengaruhi nilai, jadi kami tidak serius.”
Begitu kami
melihat Niyama-sensei membersihkan tenggorokannya, kami kembali
ke tempat duduk. Saito duduk tepat di belakangku, dan Shindo duduk di belakang Saito.
Jam pelajaran
dimulai lagi. Ada evaluasi tentang hasil tes, tetapi intinya adalah agar kami
memanfaatkan hasil tes kali ini untuk berusaha lebih baik di ujian tengah
semester.
“Hei,
oi.”
Aku
membalikkan separuh tubuhku ke belakang saat badanku
dicolek. Saito berbicara padaku sambil memegang sepotong
kertas kecil.
“Ada
yang mengirimkan ini. Untukmu juga.”
Ketika
aku membuka kertas yang dilipat, aku melihat tulisan dengan huruf lucu seperti ini:
──
Okusu-kun, bagaimana hasil tesnya? Aku dapat 94.
Di belakang
tulisan itu ada gambar wajah yang tampak kecewa. Meskipun namanya tidak
tertulis, hanya ada satu orang yang melakukan hal seperti ini. Aku mengambil pulpenku agar guru tidak melihat dan
menulis balasan.
── Aku
dapat 97. Kita hampir mendapatkan nilai sempurna, ya.
Aku
mengembalikannya kepada Saito yang ada di belakangku.
Saito langsung menyerahkannya kepada Shindo.
◇◇◇◇
Setelah
pelajaran selesai, orang yang mengirim pesan itu mendekat ke tempat dudukku.
“Okusu-kun.”
Aku
mengangkat wajahku. Di sana ada seorang siswi.
Rambut
hitamnya yang panjang hingga bahu terlihat sangat
cantik, berayun lembut
setiap kali dia sedikit bergerak. Setiap kali aku melihatnya,
dia terlihat imut.
“Kali
ini aku kalah lagi. Padahal aku hampir melampauimu.”
Wajahnya
sedikit cemberut.
“Selisih
97 dan 94 itu kan hanya perbedaan
kecil. Tidak ada yang aneh jika aku bisa
kalah kapan saja.”
“Meski kamu
bilang begitu, tapi aku belum pernah menang sekalipun.”
“Itu
hanya kebetulan. Sebentar
lagi juga aku akan kalah.”
Meskipun
berkata begitu, aku sebenarnya merasa berkeringat dingin.
Perbedaaannya
cuma selisih 3 poin. Jika aku mendapatkan nilai sempurna, mungkin
akan terasa lebih besar, tetapi perbedaan antara 1 kesalahan dan 2 kesalahan
tidak terlalu besar.
“Belakangan
ini, nilai Hanasaki juga
semakin meningkat, jadi aku juga tidak bisa lengah. Kali ini aku tidak banyak
belajar, jadi mungkin aku akan kalah di ujian tengah semester.”
“Benarkah?
Kamu selalu saja bilang
begitu, tapi terus-menerus dapat
nilai tertinggi.”
Tentu
saja itu bohong. Aku belajar dengan sangat keras. Orang yang sedang berbicara
denganku sekarang adalah Hanasaki Shiori. Kami berdua menjabat sebagai
ketua dan wakil ketua kelas.
Sementara
aku mempertahankan posisi pertama di angkatanku,
peringkat Hanasaki selalu berputar-putar di peringkat 2
hingga 5. Sepertinya dia merasa kesal karena belum pernah mengalahkanku, jadi
dia selalu bertanya tentang nilaiku.
“Sudah
kubilang, itu hanya kebetulan, kok. Hanasaki juga pintar, jadi kamu pasti
akan segera mengalahkanku.”
“Hmm~. Kulihat kamu juga memiliki
kepercayaan diri kali ini.”
Sebenarnya,
itu benar. Bisa berbicara ringan tentang kemungkinan kalah menunjukkan bahwa
aku yakin tidak akan kalah. Ujian kecil kali ini memang mendekat, tetapi ujian
tengah semester ada total 8 mata pelajaran. Dalam total poin, aku pasti tidak
akan kalah.
“Tapi,
kapan kamu belajar? Sepertinya kamu tidak
banyak belajar saat di sekolah.”
“Bukannya
aku baru saja mengatakannya? Karena aku tidak banyak belajar,
jadi mungkin aku akan
kalah.”
“Kamu selalu
mengatakan seperti itu, iya ‘kan? Tapi kamu tidak pernah kalah
sama sekali.”
Walaupun aku
kelihatan tidak pernah belajar,
tetapi sebenarnya aku belajar dengan sangat
rajin.
Selain
belajar dengan tekun di
rumah, tapi juga saat perjalanan ke sekolah dan di kelas, aku selalu mengingat
apa yang sudah dihafal. Kadang-kadang aku juga diam-diam melihat buku kosakata
bahasa Inggris. Belajar tidak hanya terjadi saat aku
duduk di depan meja dan menggerakkan pulpen.
“Ayo
kita bertanding di ujian tengah semester kali ini.”
Hanasaki menyentuh pipinya dengan jari
dan tersenyum nakal.
“Aku tidak
keberatan sih, tapi kita sudah sering melakukannya, kan?”
“Bukan
itu maksudku. Bagaimana jika yang kalah harus menuruti
permintaan yang dikatakan oleh yang menang?”
Aku
sedikit terkejut. Hanasaki
benar-benar berniat untuk mengalahkanku.
“…
Maksudnya menuruti pemintaan?”
“Isinya terserah orang yang memberi
perintah."
Mendengar
bahwa seorang laki-laki bisa memberi perintah kepada gadis kedengarannya sangat
tidak senonoh, tapi aku tidak punya keberanian
untuk memberi perintah seperti itu. Kurasa
dia juga sudah memperhitungkan hal
itu.
“...Baiklah.
Untuk hasilnya, bagaimana kalau kita
menentukannya berdasarkan
peringkat keseluruhan yang lebih tinggi?”
“Tentu
saja itulah niatku. Aku pasti akan menang.”
Saat itu,
bel berbunyi. Pelajaran berikutnya akan dimulai.
Setelah
mengatakan itu, Hanasaki
kembali ke tempat duduknya.
Berencana
untuk menang, ya? Baiklah. Aku juga akan berjuang
sungguh-sungguh.
◇◇◇◇
Di waktu
istirahat berikutnya.
“Hee,
jadi begitulah yang
terjadi.”
Saito begumam dengan nada tidak tertarik. Ia bertanya tentang pertemuan
kemarin, jadi aku menceritakan tentang apa yang diminta mengenai Enami-san.
Saito
sedang menyedot jus dari kemasan. Jus jeruk 100%. Sambil mendengar suara
sedotan, aku mengangguk.
“Waktunya
bertepatan dengan mendengarkan keluhan Sensei.”
“Aku
sudah bisa memprediksi dia tidak datang, tapi kamu
juga sama-sama lagi apes ya.”
“Mungkin
karena aku menjabat jadi ketua kelas.”
Saito
tertawa aneh mendengar kata-kataku.
Setelah jam pelajaran kedua. Ruangan kelas
dipenuhi suasana mengantuk. Saito di depanku juga menguap sambil berbicara
denganku.
“Tapi seriusan
dah, kamu selalu saja dimanfaatkan.”
“Aku
tahu, aku juga menyadari hal itu.”
Saat itu,
teman sekelas yang lain mendekat dan bertanya tentang tugas untuk pelajaran
berikutnya. Setelah aku menjelaskan, dia mengucapkan “Terima kasih” dan kembali. Sepertinya dia
ingin menyelesaikannya dalam waktu singkat.
Saito
menepuk bahuku.
“Itulah
yang kumaksud.”
“...Iya,
iya.”
“Memang ada
bagusnya kalau kamu menjadi orang yang
diandalkan, tapi kamu terlalu sering kena apesnya.”
Aku juga menyadari
hal itu. Aku terlalu mudah setuju. Aku
mengalihkan pandangan ke bangku paling belakang. Di sana, tidak ada tanda-tanda
keberadaan orang, hanya meja dan kursi yang terlihat sepi. Pemilik bangku itu
belum datang ke sekolah.
“Oh,
ada apa? Kalian berdua terlihat serius.”
Shindo
yang baru kembali dari toilet berdiri di depanku. Aku menjelaskan situasinya. Ternyata, Saito dan Shindo
memiliki sifat yang mirip. Mereka hanya tertawa dengan nada yang sama.
“Haha,
jadi begitu ya. Dengan status sebagai ketua
kelas, kamu diminta untuk membujuknya, ya?”
Shindo
duduk di bangku belakang Saito sambil menggoyangkan tubuh besarnya.
“Aku
tidak diminta untuk membujuk... tapi bisa jadi itu maksudnya.”
“Kamu memang
apes sekali, ya.”
Karena
aku cuma ingin pulang secepatnya, jadi
aku menyetujui tanpa banyak berpikir.
“Sensei
juga kelihatannya mengalami
kesulitan. Aku akan mencoba berbicara dengannya.”
“Semoga
berhasil, meskipun sepertinya tidak akan berhasil sih.”
“Ugh...”
Itu
benar. Aku juga tidak membayangkan hasil yang baik.
Enami-san.
Anak
bermasalah di kelas kami. Dia selalu mencolok, tetapi cuma ada sedikit
orang yang bisa berbicara dengannya. Semua itu
karena sikapnya yang dingin terhadap orang lain.
Dia terlihat cukup galak dan
memiliki aura yang menakutkan. Banyak yang mencoba untuk berbicara dengannya,
tetapi hampir tidak ada yang berhasil. Sepertinya dia tidak pernah berpikir
untuk bergaul dengan teman sekelas.
“...Atau
mungkin mau coba minta bantuan Nishikawa?”
Shindo
menunjuk ke sisi seberang kelas seolah-olah ia baru terpikirkan sesuatu.
Di depan
pandangan kami, ada seorang gadis
yang berbicara dengan suara keras. Dia adalah gadis yang mengenakan seragam
dengan cara yang sedikit berantakan dan dandanannya sempurna. Namun, karena
sifatnya yang ramah, dia memiliki banyak teman.
“Untuk
urusan yang berkaitan dengan Enami, lebih baik serahkan semuanya kepada
Nishikawa.”
“Itulah yang namanya kemampuan
bersosialisasi. Aku juga mengaguminya.”
Enami-san
biasanya bersikap dingin terhadap sebagian besar teman sekelas, tetapi hanya
dengan Nishikawa dia membangun hubungan yang bersahabat.
Bahkan
kami yang otaku kadang-kadang berbicara dengan Nishikawa. Dia tiba-tiba
bergabung saat kami asyik membahas topik otaku. Apapun yang kami bicarakan, dia
tidak merasa aneh dan dengan rasa ingin tahu mendengarkan dengan baik.
Oleh karena
itu, kami tidak memiliki perasaan buruk terhadap Nishikawa.
“Aku hanya
diminta memberitahunya untuk datang ke wawancara, jadi itu tidak masalah. Kalau ditolak, itu bukan tanggung jawabku, jadi aku sama sekali tidak masalah.”
“Seharusnya
Shiroyama saja yang
membujuk sendiri.”
Saito
menguap sambil menyesap jus dari karton kertas melalui sedotan. Sepertinya Sensei juga sudah cukup sering membujuknya, jadi ini mungkin adalah langkah
terakhir.
“Kalau
itu aku, aku pasti akan mengabaikan permintaan
Shiroyama. Tapi, karena itu kamu, aku yakin
kamu pasti akan berusaha dengan serius.”
“Yah...”
Memang, karena aku tidak ada niatan untuk berhenti
sekarang. Mungkin inilah yang membuatku dianggap terlalu serius.
◇◇◇◇
Saat jam istirahat makan siang. Sekitar pukul 12:30. Suara
pintu yang terbuka terdengar di kelas.
──Setidaknya,
dia berangkat ke sekolah.
Semua
pandangan di kelas beralih ke bagian belakang kelas. Meskipun suaranya tidak
terlalu keras, kehadiran orang itu sangat terasa.
Ada seorang
gadis yang berdiri di sana. Tingginya sedikit di atas
rata-rata untuk anak perempuan.
Rambutnya yang kecokelatan cukup panjang. Dia adalah Enami-san.
“...”
Raut
wajahnya masih kelihatan tidak senang seperti biasanya.
Tentu saja, tidak ada yang berani menyapanya.
...Meskipun
sudah lewat tengah hari, datang pada waktu ini tidaklah aneh.
Enami-san
yang aku kenal memang selalu seperti ini.
Selama
pelajaran, dia datang dan duduk tanpa meminta maaf kepada guru. Ketika dia
diajak bicara oleh orang yang tidak dikenal, dia menunjukkan sikap yang sangat menjengkelkan. Jadi, Enami-san
terasa terasing di kelas. Kecuali Nishikawa, dia hanya bisa diam-diam mengamati
dari jauh.
Enami-san
duduk di kursi paling belakang dekat jendela. Karena aku duduk di kursi paling
depan di barisan yang sama, jika aku terlalu memperhatikannya, dia mungkin akan
menyadarinya.
“Okusu-kun,”
Ketika aku
mendengar ada suara yang memanggilku, aku menoleh dan melihat Hanasaki berdiri di sana. Aku bertanya padanya.
“Hm,
ada apa?”
“Maaf ya kalau aku tiba-tiba mengganggu.
Kamu masih makan, kan?”
Aku
sedang duduk bersama Saito dan Shindo, menikmati bekal makan siang. Sambil mengobrol dengan mereka, masih ada sedikit nasi yang tersisa di kotak bekalku.
“Kalian
tidak perlu khawatir tentang kami.”
“Kalian
boleh bermesraan sepuasnya.”
Karena
dua orang itu menyela, Hanasaki tersenyum dengan ekspresi canggung.
“Ah,
aku akan segera selesai.”
Aku
memasukkan sisa lauk dan nasi ke dalam mulutku
dan menelannya bersama teh. Setelah merapikan kotak bekal, aku kembali
menghadap Hanasaki.
“Maaf.
Jadi, ada apa?”
“Yah, bukan terlalu penting sih. Aku hanya ingin kamu mengembalikan buku yang
kupinjamkan beberapa waktu lalu.”
“Oh,
benar juga. Aku sudah membacanya semua, tapi belum mengembalikannya.”
Aku lupa.
Aku buru-buru menjelajahi isi tas dan segera menemukan buku
yang dimaksud, lalu menyerahkannya kepada Hanasaki. Itu adalah kisah cinta yang
mengharukan tentang anak-anak muda
yang mengejar mimpi, tinggal di apartemen yang sama tetapi di kamar yang
berbeda. Sepertinya baru-baru cerita tersebut
diadaptasi menjadi film.
“Di
bagian akhir, aku tidak menyangka bahwa
mereka berdua memiliki hubungan seperti itu."
“Bener
banget, aku juga terkejut. Tapi, jika dilihat kembali, sudah ada banyak foreshadowing-nya.”
“Walaupun
panjang, aku senang sudah membacanya. Terima kasih.”
Hanasaki
dan aku sama-sama menyukai
novel, jadi kami sering saling meminjamkan buku.
“Maaf.
Aku seharusnya bisa menunggu sedikit lebih lama, tapi ada teman lain yang ingin
membacanya.”
“Mungkin
aku sudah meminjamnya sekitar dua minggu. Seharusnya aku yang lebih peka.”
Sungguh,
Hanasaki memang gadis yang sangat
baik. Dia terlihat imut dan sempurna dalam segala hal. Saat aku berpikir
begitu, Hanasaki melihat ke kursi paling belakang. Di sana, Enami-san yang baru
saja datang ke sekolah, mengedipkan mata dengan tampak mengantuk. Bahkan dari
jarak sejauh ini, aura ‘jangan mendekat’ sangat
terasa.
“…Enami-san,
dia berangkat terlambat lagi hari ini.”
“Ah,
iya, benar.”
“Okusu-kun,
apa ada sesuatu yang terjadi?”
Sepertinya
dia bisa menangkap reaksiku. Aku memang sering dianggap mudah terbaca. Setelah menjelaskan situasinya
secara singkat kepada Hanasaki, dia menunjukkan simpati,
“Oh,
begitu ya. Sensei, ia selalu
meminta banyak hal kepada Okusu-kun...”
“Ya,
tidak masalah. Itu bukan hal besar. Mungkin aku hanya
akan dimarahi dan dicaci maki sedikit.”
“Apa
aku harus ikut bicara juga?”
“Tidak
perlu. Bagaimanapun juga, hasilnya tidak akan berubah.”
“Ya...”
Hanasaki
pernah mencoba berbicara dengan Enami-san di masa
lalu. Namun, setiap kali, percakapan itu tidak
berjalan lancar dan selalu diabaikan dengan cara yang merepotkan.
“Maafkan
aku...”
“Jangan
terlalu dipikirkan. Karena semua ini salah Enami-san.”
Ini
adalah perasaan tulusku. Tidak datang ke pertemuan wawancara dan merasa enggan untuk
berbicara, semuanya disebabkan oleh sikap dan ketidakseriusan Enami-san.
Saat aku merasa ragu untuk melangkah maju,
tiba-tiba Enami-san berdiri dan pergi keluar dari kelas. Jika aku mengejarnya,
aku mungkin akan dipandang
aneh oleh orang-orang di sekitar.
“Yah,
mungkin sepulang sekolah saja juga bisa.”
Baik Saito
dan Shindo terlihat tidak berniat untuk membantu sama
sekali. Jika aku berada di posisi mereka, aku juga tidak
akan membantu, jadi aku bisa memahami perasaan
mereka.
◇◇◇◇
Sepulang sekolah.
Fyuh,
aku menghela napas dan mengangkat tas sekolah ke bahu. Seragam blazerku yang berwarna krem bergesekan dan mengeluarkan
suara aneh. Di sore hari, sinar matahari telah berpindah ke sisi yang
berlawanan, sehingga seluruh kelas diselimuti
bayangan samar. Dengan merapatkan leher karena udara yang dingin, aku
menggosokkan kedua tangan dan perlahan berjalan ke bagian belakang kelas.
Di
depanku, ada dua siswi yang sedang bercanda dengan akrab.
Mereka
duduk di kursi paling belakang dekat jendela.
Salah
satunya adalah gadis gyaru
berambut pendek yang disemir dengan
warna terang. Dia memiliki kepribadian ceria dan berbicara dengan siapa saja
tanpa pilih kasih. Saat ini, dia berbicara dengan suara keras, menggunakan
gerakan tangan, dan terlihat sangat menikmati percakapan.
Gadis
yang satu lagi berambut panjang dan memiliki ekspresi yang jarang berubah,
terlihat seperti anak nakal. Berlawanan dengan gadis yang pertama, dia memiliki
sifat dingin dan tidak mudah bergaul. Hampir tidak ada orang di kelas kami yang
pernah berbicara dengan baik dengannya, sehingga bisa dibilang dia memiliki
kepribadian yang sulit.
Keduanya
sering menarik perhatian. Sebab, penampilan mereka sangat menarik. Aku pernah
mendengar rumor bahwa mereka sudah sering menerima pengakuan cinta.
──Aku tidak
ingin mengajak bicara dengannya.
Itulah
perasaan jujurku. Hasilnya sudah bisa diprediksi. Toh, aku akan diabaikan
dengan dingin. Selain itu, apa yang akan kulakukan sekarang bukanlah pekerjaan
ringan atau percakapan untuk menjalin pertemanan.
Meskipun
diminta oleh guru, kurasa seharusnya aku tidak
perlu sampai sejauh ini...
Pemikiran itu melintas di benakku,
tetapi aku tetap tidak ingin mengatakan “aku tidak bisa” setelah menerima tugas ini. Itu
adalah kebanggaan yang telah aku jaga sebagai siswa teladan hingga saat ini.
Atau mungkin masalah dengan sifatku sendiri.
Setelah berjalan mendekati mereka, aku berhenti
dan menatap kedua gadis itu. Tiba-tiba, gadis gyaru—Nishikawa,
menyadari kehadiranku dan berhenti berbicara. Dia kemudian melihat wajahku dan
tersenyum.
“Oh,
Naocchi, ada apa?”
Aku
memberitahunya bahwa
alasanku berbicara dengan mereka
karena mempunyai urusan dengan gadis
yang satu lagi. Setelah Nishikawa menunjukkan ekspresi bingung, dia mengalihkan
pandangannya kepada gadis itu—Enami-san.
Detak
jantungku berdentum keras,
dan aku bisa mendengar suara degupannya.
Detak
jantungku berpacu semakin
cepat. Ketika aku berdiri di samping Enami-san, aku merasakan aura yang sangat
menakutkan. Ini pasti karena
kekuatan kecantikan. Rambut cokelat gelapnya tidak terlihat kering sama sekali
dan teratur mengikuti gravitasi. Kulit yang terlihat di bawah rambutnya putih
dan transparan. Matanya besar dan bibirnya berwarna merah muda yang indah.
Penampilannya sangat sempurna.
Hanya
dengan duduk di sana, aku bisa
merasakan aura kuat yang sulit dijangkau. Enami-san tampaknya tidak terlalu
tertarik padaku, dia melirikku sejenak lalu menyandarkan dagunya dengan tampak
tidak senang dan mengalihkan pandangan.
──Seperti
yang kuduga.
Aku sudah
tahu bahwa Enami-san adalah orang seperti ini. Setelah menjilati bibirku yang
kering, aku membuka mulutku.
“Umm,
jadi....”
Aku tidak
bisa melihat ekspresi Enami-san dengan
jelas dari posisiku. Pantulan dari jendela tidak memperjelas
ekspresinya. Jadi, aku tidak tahu perasaan apa yang dia rasakan saat ini.
Namun, karena aku sudah sampai sejauh ini, aku tidak bisa mundur.
“Aku
dengar... kamu tidak datang untuk pertemuan wawancara kemarin.”
Topik
utama keluar dari mulutku. Aku merasa kalau
bahu Enami-san terlihat sedikit bergerak.
Aku
menarik napas dalam-dalam.
“Aku
hanya diminta oleh Sensei.
Menurutku sebaiknya kamu pergi. Aku juga
tidak tahu banyak, tetapi sepertinya Sensei
sangat bersemangat untuk pertemuan denganmu. Tidak baik membuang kebaikan yang
sudah diberikan.”
Bagaimana
ya? Apa dia akan marah?
Namun, Enami-san
tidak melihat ke arahku dan tidak memberikan reaksi lebih lanjut. Rasanya seolah-olah aku sedang
berbicara pada dinding.
“Sensei
juga sudah meluangkan waktu di tengah kesibukannya, jadi jika tidak ada urusan
lain, sebaiknya kamu datang tepat waktu.”
“Tunggu
dulu sebentar.”
Entah
kenapa, Nishikawa lah yang menanggapi
perkataanku.
“Memangnya
Sensei tidak pernah kepikiran kalau dia punya alasan
tertentu, kan?”
“Kalau
begitu, sebaiknya dia menyampaikan
saja ssecara langsung alasan
itu.”
“Uhm,
ya, mungkin begitu...”
Aku tahu.
Yang dikhawatirkan Nishikawa adalah suasana hati Enami-san. Mengatakan hal
seperti ini kepada Enami-san yang biasanya jutek,
tidak ada jaminan dia tidak akan marah.
“…Enami-san?”
“…”
Apa dia
benar-benar mengabaikanku? Jika iya, mungkin aku harus menyerah.
Sebenarnya,
aku tidak menyukai tipe orang
seperti Enami-san.
Memang,
penampilannya mungkin cantik.
Cara dia mengenakan seragam juga terlihat bagus. Dia selalu terlihat memiliki
pendirian, dan mungkin ada orang yang menganggapnya menarik.
Tapi, aku
sama sekali tidak berpikir begitu.
Ini
hanyalah ekspresi diri. Sebuah tanda kelemahan untuk ingin dikenal oleh orang
lain.
“Kalau
paling lama satu jam, apa kamu begitu sibuk sampai-sampai tidak bisa meluangkan waktu?”
“…”
“Aku
tahu ini bukan urusanku, tapi…”
Saat itu,
aku menyadari bahwa aku mulai merasa jengkel
dengannya.
──Aku harus menenangkan diriku.
Perasaan
negatifku terhadap Enami-san semakin kuat.
Aku menarik napas dalam-dalam. Jika aku memicu pertikaian di sini, tidak ada
manfaat bagi diriku.
“…Aku mungkin sudah berbicara terlalu
jauh.”
Aku mencoba
berbicara kepada Enami-san yang masih mengalihkan pandangannya.
“Aku
tidak tahu apa yang kamu pikirkan, dan ada hal-hal yang tidak bisa disampaikan
tanpa berbicara.”
Aku
menghela napas.
“Cuma itu
saja yang ingin aku katakan.”
“…”
Suasana
tegang itu juga menyentuhku. Aku merasa sedikit bersalah telah mengganggu
percakapan mereka berdua. Pada saat
itu, Enami-san akhirnya menatapku. Tatapannya terlihat
sangat dingin. Aku bahkan meragukan apakah aku terlihat
sebagai manusia di matanya.
“Hmph.”
Akhirnya,
suaranya terdengar, rendah dan tidak kalah dingin. Gerakan bibirnya sesuai
dengan suara itu, jadi aku bisa memastikan itu adalah suara Enami-san.
“…Apa
itu saja yang ingin kamu katakan?”
“Ri-Risa-chan, tenanglah dulu…”
“Nishikawa mendingan diam saja.”
Kursi
belakangnya mengeluarkan suara berderit. Dia memutar-mutar poni rambutnya dan
mengetuk meja dengan jari tangan kirinya. Dia marah. Jelas sekali dia marah.
Meskipun
ekspresinya tidak berbeda dari biasanya, seluruh tubuhnya seolah memancarkan
kemarahan. Aku mulai mengerti mengapa Enami-san ditakuti. Dengan wajahnya yang
sudah cantik, aura yang dia miliki sangat mengintimidasi.
Aku tidak
berniat meminta maaf, tetapi mungkin lebih baik jika aku menurunkan nada.
“Sudah
kubilang, aku memang sudah berbicara terlalu jauh. Tapi,
aku hanya diminta oleh guru. Aku—”
“Aku?”
Nishikawa
tidak bisa ikut menyela setelah
disuruh diam. Aku hanya bisa menerima kemarahan ini.
“Apakah
aku pernah berbicara denganmu sebelumnya?”
Aku
menggelengkan kepalaku.
“Sepertinya
tidak.”
“Kenapa
aku harus mendengar hal seperti itu dari orang yang tidak aku kenal?”
“Ya,
memang benar. Tapi kita kan teman
sekelas.”
“Kita
hanya berada di kelas yang sama. Bukannya
kamu cuma salah paham?”
“Oh,
ya. Sepertinya memang bukan urusanku untuk berbicara seperti ini.”
Sebenarnya,
ini sangat merepotkan. Seharusnya aku bisa
menyelesaikannya dengan lebih santai. Jika aku hanya bilang, “Datanglah untuk pertemuan wawancara,”
mungkin aku tidak akan mengalami semua ini.
“Apakah
kamu bercanda?”
“Tidak,
sama sekali. Aku tidak menyangka kamu akan semarah
ini.”
“…Kamu sengaja memancingku?”
“Aku
hanya kurang mempertimbangkan saja,
jadi wajar jika kamu marah, ya.”
Aku tidak
bermaksud merendahkan. Aku hanya ingin menyampaikan hal yang benar. Namun,
kemarahan Enami-san tidak menunjukkan tanda-tanda mereda.
Karena
diminta oleh guru, aku terlalu terbawa suasana. Inilah sebabnya mengapa
beberapa orang menganggapku terlalu serius. Bahkan sekarang, ada yang melihatku
dan tersenyum sinis.
Aku
berusaha untuk tidak peduli padanya dan sekali lagi meminta maaf.
──Semoga
ini cepat berakhir.
Namun, Enami-san
tiba-tiba berdiri. Dia mencoba mendekatiku
melewati Nishikawa. Mungkin Nishikawa merasa situasinya tidak baik, jadi dia segera berdiri di antara
kami.
Aku
melihat sekeliling kelas sekali lagi.
Masih ada beberapa orang yang tersisa. Kebanyakan dari mereka yang memiliki
kegiatan ekstrakurikuler sudah keluar, tetapi setengah dari yang tidak memiliki
kegiatan masih memperhatikan kami.
“Baik Risa-chan
dan Naocchi, ayo datang ke
sini.”
Nishikawa
menarik lengan kami. Sepertinya dia merasa melanjutkan pertikaian di depan orang
lain merupakan hal yang tidak baik. Aku
mengucapkan terima kasih pada Nishikawa dan mengikutinya.
◇◇◇◇
Aku
dibawa oleh Nishikawa ke sebuah area di atas tangga. Gedung ini memiliki empat setengah lantai,
dan di atasnya hanya ada atap. Di area tersebut, ada meja dan kursi yang
ditumpuk secara acak. Aku berpikir, jika terjadi gempa, ini bisa berbahaya.
Di tempat
dingin ini, aku, Enami-san, dan Nishikawa berdiri saling berhadapan. Nishikawa
berdiri di antara kami, siap untuk menghentikan jika diperlukan.
Sekarang
aku berpikir, ini merupakan
situasi yang luar biasa. Enami-san memang terlihat menawan, tetapi Nishikawa juga tidak
kalah mempesonanya. Meskipun aura yang
dimiliki tidak sekuat Enami-san, dia jelas merupakan gadis yang cukup populer.
Rambutnya
yang sedikit bergelombang di bagian ujung. Wajahnya yang dirias dengan sempurna, seolah-olah
guru akan memperingatkannya. Dia terlihat jauh lebih dewasa daripada siswa SMA biasa. Jika bukan karena seragamnya,
dia bisa saja dianggap sebagai ibu muda.
Aku
pernah berbicara dengan Nishikawa sebelumnya, tetapi kami tidak begitu akrab.
Aku hanya terjebak dalam lingkaran pertemanan luasnya.
Bagi
sebagian orang, situasi ini mungkin mengundang rasa cemburu… Namun, sayangnya,
ini bukanlah situasi yang menggoda. Situasi ini
mirip seperti ular yang sedang
mengintimidasi katak.
Nishikawa berkata sembari menghela napas.
“…Ampun deh.”
Nada
suaranya tidak ceria seperti biasanya. Dia tampaknya sedikit memperhatikan
sekitar dan menahan volume suaranya.
Sementara
itu, perilaku Enami-san tidak menunjukkan perubahan.
“Cih.”
Dia
mendengus, seolah-olah itu adalah hal yang biasa baginya. Ngeri…
“Risa-chan,
kamu tidak perlu marah-marah seperti itu…”
“Terserah,
tidak masalah.”
Nishikawa
mengalihkan wajahnya ke arahku.
“Naocchi
juga begitu.”
“…Aku?”
Aku tidak
bisa menyembunyikan keterkejutanku dengan nada suaranya yang seolah mengatakan
kami berdua sama-sama bersalah. Saat aku
melangkah maju, seragamku tersangkut di kursi dan terjatuh ke lantai. Aku
mengambilnya dan menumpuknya kembali di atas meja.
“…Ada banyak debu.”
Enami-san
menggerutu dengan nada tidak senang.
Karena
atap biasanya terkunci, hampir tidak ada orang yang datang ke tempat seperti
ini. Setelah kami bertiga mengusir debu di udara, Nishikawa mulai berbicara.
“Maaf
ya. Ini satu-satunya tempat yang kuketahui
yang jarang dikunjungi orang.”
Sekolah
kami tidak memiliki area yang luas. Oleh karena
itu, tidak banyak ruang kosong yang bisa digunakan dalam jarak
dekat. Tempat ini pun, aku ragu apakah benar-benar tidak ada orang yang datang.
Aku
memeriksa situasi di bagian belakangku. Seseorang yang penasaran
mungkin saja mengikuti kami, tapi melihat Enami-san yang marah, rasanya sulit
untuk melakukan itu. Tidak ada tanda-tanda kehadiran orang lain.
Suasananya cukup tenang. Cahaya samar masuk dari
jendela yang dipasang di tempat tinggi. Di tempat seperti ini, tidak ada
pemanas, jadi jujur saja, rasanya lumayan
dingin.
Enami-san
dan Nishikawa juga menyembunyikan tangan mereka di dalam lengan cardigan. Aku
melipat tangan di depan dada.
“…Apa
maksudnya dengan 'aku
juga'?”
“Eh?”
Nishikawa
menempelkan jari telunjuknya ke pelipis dan
mengerutkan kening. “Hmm~”
“Naocchi,
bukannya tadi kamu cukup marah juga, kan?”
Aku merenungkannya kembali. Apa aku mengatakan hal
yang terlalu emosional? Meskipun pernyataan yang membuat Enami-san marah
mungkin berbeda, setelah Enami-san marah, aku merasa sudah merespons dengan
tenang.
Saat aku
mengungkapkan pikiranku, wajah Nishikawa berubah menjadi ekspresi curiga.
“Dari sudut
pandangku, tanggapanmu tidak
terlihat seperti itu.”
“Eh,
bohong…”
“‘Aku
tidak menyangka kamu akan semarah
itu’ atau ‘aku hanya
kurang perhatian’.”
"…Mungkin
benar.”
Mendengar
kata-kataku diulang oleh orang lain, aku akhirnya memahaminya. Terutama yang
pertama, bisa terdengar seperti “Marah
untuk hal sepele seperti ini…”.
“Risa-chan,
seharusnya kamu juga jangan
marah-marah terus. Lagipula, Naocchi juga tidak bermaksud jahat.”
“Tidak
ada niat jahat?”
“Pada dasarnya, ia memikirkan hal itu demi kebaikan
Risa-chan, tau?”
Enami-san
memelototiku. Dia pasti tidak percaya pada
kata-kata Nishikawa.
“Pokoknya!”
Nishikawa
menggenggam lengan kami berdua.
“Dengan
begini semuanya sudah beres! Oke?”
“Ya…
itu baik-baik saja.”
Meskipun
ada beberapa hal yang tidak memuaskan, lebih baik tidak melawan demi Nishikawa.
Jika percakapan ini berlarut-larut, aku mungkin tanpa sadar akan membuat Enami-san
semakin marah. Selain itu, semakin lama aku di sini, semakin sedikit waktu yang
aku miliki untuk melakukan hal yang ingin aku lakukan.
“Risa-chan,
kamu setuju, ‘kan?”
“……”
Namun, Enami-san
tidak menjawab. Dia bukan tipe yang menyembunyikan kemarahannya. Meskipun Nishikawa sudah mencoba menasihatinya, jika dia
tidak merasa puas, sepertinya dia tidak akan menurut.
Setelah
beberapa saat hening, Enami-san membuka mulutnya.
“Kamu,
ya…”
Suara itu
ditujukan padaku.
“Apa
kamu benar-benar tidak memiliki niat jahat?”
Aku
terdiam.
Sebenarnya,
aku tidak perlu khawatir tentang
pertanyaan seperti ini. Bagaimanapun, tidak ada yang bisa mengetahui isi hati
orang lain.
“Ya.”
“Hee…”
Mata Enami-san
tidak menunjukkan senyuman. Sepertinya matahari mulai condong, cahaya yang
masuk dari jendela semakin redup. Debu yang melayang di udara menjadi sulit
terlihat. Wajah Enami-san juga mulai tertutup bayangan.
Orang
ini… mengapa dia melihat orang dengan cara seperti ini?
Di
matanya, tidak ada tanda-tanda emosi yang cerah. Hanya ada cahaya gelap dan
dingin yang berkelap-kelip. Aku lebih terfokus pada itu daripada pada wajahnya
yang cantik.
Aku
mengenal jenis tatapan seperti ini. Dan setiap kali aku merasakannya, rasa frustrasi
muncul dari dalam diriku.
“Mana
mungkin aku memiliki niat jahat.”
“……”
“Persis
yang dikatakan Enami-san, kita berdua
bahkan jarang berbicara. Sama seperti Enami-san yang tidak
memikirkan apa pun tentangku, aku juga tidak memiliki pendapat tentang Enami-san.
Aku diminta oleh guru, dan pergi ke pertemuan akan lebih baik untuk Enami-san,
aku hanya sedikit mengganggu sebagai ketua kelas.”
Aku sadar
bahwa kepribadianku saat ini membuat Enami-san merasa terganggu. Aku juga
mengerti bahwa kata-kata indah atau argumen yang kaku tidak ada gunanya. Jika aku melakukannya secara
sadar, mungkin ada sedikit ‘niat
jahat’ yang terlihat.
Namun,
aku tidak merasa perlu membawa pembicaraan yang hampir selesai ini ke arah yang
tidak menyenangkan.
“Karena
Nishikawa sudah berusaha mendamaikan, meski ada yang tidak menyenangkan dari
sikapku, bisakah kita melupakan hal ini?”
Kali ini,
aku seharusnya bisa mengendalikan emosi dan merespons
dengan tenang. Karena aku berbicara sambil memeriksa kata-kataku sendiri,
seharusnya tidak ada salah paham.
“Aku
yang salah. Oke, sudah selesai,
‘kan?”
Kekhawatiranku
muncul karena tampaknya suasana hati Enami-san semakin memburuk. Tatapannya semakin tajam,
dan dia semakin cepat mengetuk-ngetuk ujung lengan yang dilipat.
Melihat
Nishikawa, sepertinya dia tidak merasakan ketidaknyamanan dengan kata-kataku.
Lalu,
mengapa kemarahan Enami-san tidak kunjung mereda?
Aku
merasa tidak enak jika terus berbicara dan memperburuk situasi. Yang bisa
kulakukan hanyalah menunggu reaksi Enami-san.
Entah
sudah berapa lama berlalu. Akhirnya, Enami-san berkata.
“Apa-apaan dengan tatapanmu itu?”
── Itu
terjadi secara tiba-tiba.
Aku
berkedip beberapa kali. Aku tidak menyangka akan mendapatkan komentar seperti
itu. Sembari menahan kata-kata yang ingin
kukatakan, aku menjawab dengan nada bingung, “Hah?”
Tatapan?
Masalah dengan tatapanku? Sepertinya aku tidak bisa mengontrol sampai sejauh
itu. Meskipun aku ingin membalas, aku memilih untuk diam karena bisa jadi itu
akan memicu masalah lebih lanjut.
Tatapan Enami-san
semakin menyempit.
“Menjengkelkan…
Kenapa aku harus dilihat dengan tatapan seperti itu?”
“Aku
tidak mengerti."”
“Kamu
tidak perlu berbicara. Toh, sudah jelas kamu akan berbohong dengan mengatakan
tidak ada apa-apa.”
Ini tidak
berbeda dengan seorang
preman mencari masalah di jalanan.
Di depan Nishikawa, aku tidak bisa terprovokasi oleh tantangan ini.
“Pembicaraan
ini seharusnya sudah selesai. Aku tidak berniat bertengkar lebih jauh dengan Enami-san.”
Namun, Enami-san
tidak menunjukkan tanda-tanda untuk mundur. Semakin lama, aku semakin menyadari
bahwa ini bukanlah akting. Enami-san jelas-jelas marah.
Meskipun aku merasa melihatnya dengan tatapan biasa, tampaknya dia tidak
merasakannya seperti itu.
Nishikawa
mencoba menenangkan Enami-san dengan berkata, “Sudah, sudah,”
tetapi itu tidak terlalu efektif.
Enami-san
yang memasukkan tangannya ke dalam saku
seragam sudah tidak mendengarkan kata-kata Nishikawa.
Menjengkelkan.
Emosi yang muncul dari dalam diriku semakin kuat seiring dengan kemarahan Enami-san.
Mungkin, di balik kemarahan ini ada sesuatu yang “mengganggu
Enami-san”. Namun,
meskipun aku bisa menahan kata-kata, aku tidak bisa menahan emosi itu sendiri.
“Risa-chan,
apa yang tidak kamu suka dari tatapan Naocchi?”
“…Nishikawa
tidak merasa apa-apa?”
“Ya.”
Sebenarnya,
Enami-san juga menatap dengan tajam. Tidak ada alasan bagiku untuk hanya disalahkan.
Setelah
beberapa saat, Enami-san berkata dengan nada yang jelas.
“Tatapan
itu, mata itu…”
Tatapan
kami bertemu. Tentu saja, perasaan buruk terhadapku yang membuatnya terlihat
seperti itu.
“Kenapa
kamu melihatku dengan tatapan yang penuh belas kasihan?”
Begitu
kalimat tersebut diucapkan, pikiranku berhenti
sejenak.
“Eh?”
Belas
kasihan? Aku? Seharusnya tidak ada perasaan seperti itu dalam diriku. Kemarahan
dan belas kasihan adalah dua emosi yang sangat berbeda, bukan?
Nishikawa
juga terkejut. Itu adalah bukti bahwa dari sudut pandang orang ketiga, pandangan mataku tidak
terlihat seperti itu.
Tatapan Enami-san
tidak berubah. Sorot matanya masih
menyimpan cahaya yang gelap dan dingin.
“Aku tidak
peduli kalau kamu seorang siswa teladan atau sejenisnya, tapi tidak ada alasan
untuk melihatku seperti itu. Aku belum pernah berbicara denganmu, dan kita
tidak tahu apa-apa tentang satu sama lain, jadi tidak ada alasan untuk
melihatku seperti orang yang malang. Apa kamu merasa lebih unggul? Apa rasanya menyenangkan melihat orang yang
berbeda dari dirimu? Di dalam hatimu, kamu hidup dengan merendahkan orang lain
seperti itu.”
“Eh,
tunggu!”
Nishikawa
tampak bingung karena situasi di antara kami
kembali memanas.
Seharusnya,
aku juga harus berbicara untuk meredakan konflik seperti Nishikawa.
Tapi…
Aku tetap
diam dan berpikir.
Tapi,
kenapa aku harus mendengar kata-kata seperti itu?
Aku
menunggu Enami-san selesai berbicara.
“Sudah
pasti kamu memiliki harga diri yang tinggi. Kamu mendengarkan apa yang
dikatakan guru atau orang tua tanpa ragu, menjalani kehidupan tanpa kesulitan.
Kamu berpikir bahwa normamu merupakan
norma dunia. Kami juga merendahkan orang-orang seperti kamu. Bukan hanya aku,
orang-orang yang melihat sifat aslimu juga merendahkanmu dengan cara yang sama,
bukan?”
“Naocchi
bukan orang seperti itu! Dia bersikap ramah kepada semua orang dan tidak pernah
menyombongkan diri karena bisa belajar!”
“Entahlah…”
Sepertinya
dia benar-benar tidak suka padaku. Tatapannya seolah ingin menembusku.
──Merendahkan,
ya.
Sungguh,
aku tidak bermaksud seperti itu. Aku tidak memiliki hak untuk merendahkan siapa
pun. Jika aku memiliki perasaan belas kasihan terhadap Enami-san, itu pasti
karena alasan yang berbeda.
“Risa-chan.
Nanti aku akan mendengarkan, jadi ayo pulang
sekarang. Jika terus begini, pembicaraan ini takkan
pernah selesai.”
“Nishikawa
boleh pulang duluan.”
“Mana
mungkin aku bisa begitu…”
Nishikawa
melirik ke arahku. Sepertinya dia khawatir apakah aku marah atau tidak. Tapi
aku tidak marah dengan apa yang dikatakannya.
Tidak ada
alasan untuk terganggu oleh kata-kata seperti itu sekarang. Jika aku tahu itu
hanya omong kosong, aku bisa mengabaikannya dengan “ya, ya”. Jika ada yang bisa kukatakan,
itu hanya memperkuat perasaanku yang tidak suka terhadap tindakan Enami-san.
“Kenapa
tidak ngomong sesuatu? Apa
kamu akan berbohong lagi seperti sebelumnya? Atau akan menunjukkan sifat
aslimu? Kamu yang berpura-pura baik itu menjijikkan. Apa yang kamu katakan
sebelumnya juga pasti tidak tulus. Saat itu, kamu melihatku dengan tatapan
penuh belas kasihan.”
“……”
Aku
bingung harus menjawab apa.
“Ucapanku
tepat sasaran ya? Makanya dari
tadi kamu diam saja?”
…Perasaan
diriku sekarang, seperti apa ya? Aku tidak bisa mengaturnya dengan baik.
Belas kasihan,
belas kasihan, ya. Apa aku benar-benar merasa kasihan pada orang ini? Kemarahan
dan belas kasihan yang kurasakan mungkin saling terkait, dan mungkin itu telah
tersampaikan kepada Enami-san.
Saat aku
melihat ke atas, langit-langit kotor yang lebih tinggi dari kelas masuk ke
dalam pandanganku.
Aku sudah
mengerti alasan mengapa aku merasakan kemarahan di mata Enami-san.
──Kebencian
terhadap sesama.
Sebuah
kenangan masa lalu tiba-tiba melintas di benakku. Seketika, rasa sakit menjalar
di kepalaku.
Aku
memiliki banyak hal yang ingin kukatakan. Seharusnya tidak ada alasan bagiku
untuk dihina oleh Enami-san yang hampir tidak ada hubungannya denganku. Aku
bahkan ingin membalas kata-kata Enami-san di kelas.
Namun,
bukan berarti aku perlu serius dengan pembelaan seperti ini. Aku bisa
menghindar dengan alasan yang masuk akal. Nishikawa ada di sini. Dia pasti akan
mendukung kata-kata yang bisa meredakan pertikaian.
──Mari
kita lakukan itu.
Tapi,
bertentangan dengan pemikiran itu, mulutku tidak berusaha untuk mengeluarkan
alasan yang tepat.
“……”
Kenapa
ini terjadi?
Tidak ada
gunanya terus berhubungan dengan Enami-san.
Jika terus menerus dihina seperti ini, itu akan sangat menjengkelkan. Meskipun Enami-san
adalah wanita yang sangat cantik, aku tetap tidak suka padanya.
──Tidak
bisa.
Meskipun
aku berusaha tenang, pikiranku menjadi kosong.
Di balik
perasaan harus bersabar, aku sebenarnya sudah menyerah di dalam hati.
Aku
sendiri merasa tidak bisa menghentikan diriku. Dengan mengerahkan tenaga di
tenggorokan, aku berusaha keras untuk bertahan, tetapi itu pun pecah, dan
kata-kata itu akhirnya sampai ke mulutku.
Aku
berkata.
“──Jangan
bercanda.”
Suara
yang keluar ternyata lebih rendah dari yang aku duga.
Nishikawa
dan Enami-san terkejut dengan perubahan sikapku.
“Memangnya
kamu akan terus hidup dengan mengandalkan kebaikan orang lain seperti itu?”
Aku tidak
memiliki hak untuk berbicara seperti ini. Tentu saja, aku juga tidak memiliki
kewajiban. Ini hanya kata-kata egois yang terucap karena aku terbawa oleh
emosiku.
“Ka-Kamu
kenapa? Naocchi…”
Suara kebingungan Nishikawa
menghapus kabut putih yang menyelimuti pikiranku. Aku merasa ini tidak baik.
Namun, aku terus berbicara karena dorongan untuk mengungkapkan apa yang harus
kukatakan.
“Mungkin
itu baik-baik saja untuk saat ini.
Meskipun seseorang menyusahkan orang lain, ketidakpuasan di dalam hati bisa
menjadi semacam pembenaran, sehingga rasanya tidak ada masalah. Mungkin kamu tidak suka bertindak
sesuai keinginan orang lain, jadi kamu
ingin sedikit melawan. Meskipun perlawanan itu tidak menghasilkan apa-apa,
rasanya ada makna di dalamnya.”
Aku sudah
tidak bisa menghentikan diriku sendiri.
Sungguh
bodoh. Apa gunanya menyampaikan hal seperti ini di tempat seperti ini? Lihatlah
wajah Nishikawa. Dia terlihat bingung. Meskipun suara-suara dalam hatiku
berlarian di dalam dadaku, api yang mendidih di dalam diriku tidak padam.
“Enami-san,
aku tidak tahu apa yang kamu keluhkan. Aku juga tidak ingin mengetahuinya. Aku yakin kamu juga sudah mengalami banyak hal. Tapi, sampai
kapan kamu akan terus melakukan hal seperti itu? Kamu tidak serius datang ke
sekolah, tidak mendengarkan pelajaran dengan serius, mengabaikan orang yang
mencoba berbicara padamu dengan ekspresi
jengkel, dan meskipun begitu, kamu merasa baik-baik saja
karena orang-orang di sekitarmu tidak mengabaikanmu.”
Menanggapi
pernyataan emosional ini, Enami-san tetap diam. Aku terus berbicara tanpa mempedulikan reaksinya.
“Pasti enak
iya, ‘kan? Kamu
pasti tidak bisa berhenti iya,
‘kan? Dengan terus bersikap buruk dan menunjukkan
keberadaanmu, pasti ada seseorang yang memperhatikan. Ada orang yang seperti Nishikawa, yang
setiap kali mencoba berbicara dan menghibur
hatimu. Ada juga orang seperti Sensei,
yang sabar dan mau repot-repot mengurusmu. Semua orang khawatir padamu.”
Seolah-olah
suara di sekelilingku menghilang, hanya suaraku sendiri yang jelas terdengar.
Pandanganku menyempit. Tidak ada yang benar tentang klaim bahwa penglihatan
manusia memiliki sudut 120 derajat. Saat ini, aku hanya bisa melihat Enami-san
di depanku.
Singkatnya, ini cuma pelampiasan amarah. Aku hanya
mengeluarkan unek-unek yang
tidak pernah bisa kusampaikan kepada diriku yang dulu, kepada orang yang tepat.
“Orang
yang benar-benar peduli padamu. Orang yang benar-benar khawatir tentangmu. Jika
kamu mengabaikan orang-orang seperti itu hanya karena ketidakpuasanmu, suatu
saat kamu pasti──”
Bibirku terasa kering. Sesuatu yang besar
terjebak di tenggorokanku perlahan-lahan mengalir keluar.
“Suatu
saat, kamu pasti akan menyesal──”
Begitu
aku mengucapkannya, rasa yang terpendam di dalam dadaku terasa memudar, dan
kabut putih yang menguasai pikiranku seolah menghilang.
Enami-san
dan Nishikawa tampak terdiam seolah waktu berhenti. Aku kembali sadar.
──Aku benar-benar keceplosan.
Aku
merasakan darah mengalir dari wajahku. Apa yang sudah
kulakukan, mengapa aku berapi-api dan merasa berhak untuk
memberikan ceramah?
Seharusnya
aku tidak emosional tentang hal ini, seharusnya aku bisa menjawab dengan tenang
dan segera pergi. Dan seharusnya, aku melupakan apa yang terjadi hari ini dan
kembali ke hari-hari di mana kami tidak saling berhubungan.
Namun.
Aku
melihat ke arah Enami-san sambil bercucuran keringat. Aku
tidak tahu emosi apa yang ada di wajahnya. Hanya saja, dia menatapku dengan
ekspresi heran seolah-olah melihat
makhluk baru.
Ini gawat.
Akhirnya,
orang yang memecahkan suasana beku
adalah Nishikawa yang tampak bingung.
“Y-Yah,
mengenai hal itu, Risa-chan juga mengalami
banyak hal.”
Iya, ‘kan? Dia mencoba mengonformasi kepada Enami-san, tetapi Enami-san
tidak menjawab. Dia menutup mulutnya, bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda
ingin berbicara.
Aku
merasa tidak nyaman dan berkata, “Maaf.”
──Apa?
Tapi,
mengapa suasananya terasa… berbeda dari sebelumnya?
Aneh sekali. Aku merasa telah mengucapkan
kata-kata yang jauh lebih menyakitkan dari sebelumnya. Namun, Enami-san
tampaknya menarik kembali
kemarahan yang tadi terlihat di wajahnya.
“…”
Ekspresi
itu, emosi apa yang mendasarinya?
Mungkin
dia terlalu marah sehingga tidak bisa mengekspresikannya. Atau mungkin,
pernyataanku terlalu merepotkan sehingga dia kehilangan minat untuk menanggapi.
Aku tidak
tahu. Aku tidak mengerti apa-apa.
Satu-satunya
hal yang pasti adalah, aku telah melakukan kesalahan fatal.
──Sejak
hari ini, kehidupanku akan berubah drastis.
◇◇◇◇
“──Ada
apa, wajahmu kelihatan aneh
sekali.”
Aku ditanyai
hal seperti itu setelah pulang ke rumah dan sedang makan
malam. Sepertinya aku mengeluarkan banyak desahan. Tumben-tumbennya Sayaka tampak
khawatir sambil mengaduk omeletnya.
“Bukan
apa-apa.”
“Ha?
Apa maksudnya? Jelas banget
kamu terlihat ingin diperhatikan.”
“Masa?”
Karena
ayahku menghubungi untuk memberitahu bahwa ia akan terlambat karena lembur, jadi cuma ada Sayaka dan aku di sini. Jika
ayah ada, dia pasti akan bertanya dengan sangat mendetail.
Aku
mengulurkan sumpitku untuk memakan telur dadar, yang bahkan setengahnya belum
kumakan.
“Apa
kamu pikir aku benar-benar orang yang
menyebalkan? Sebenarnya bagaimana?”
“…Tiba-tiba
ada apa sampai tanya begitu?”
“Ah,
bukan apa-apa, aku hanya kepikiran saja. Tidak
ada yang khusus terjadi.”
“Gampang
sekali terbaca…”
Sayaka
meletakkan sumpitnya. Setelah meminum secangkir teh, dia berkata.
“Menyebalkan.”
“Ya,
kan?”
Aku sudah
bersiap mengenai hal itu, tapi
saat mendengarnya langsung, aku masih tetap
merasa syok. Karena aku selalu memberi ceramah kepada Sayaka,
mungkin dia menganggapku seperti itu.
Tentu
saja, aku bukanlah orang
yang tidak peka sampai harus memberi ceramah kepada teman sekelas. Meskipun
orang lain tidak mengerjakan PR atau terlambat, aku bisa tertawa dan
mengabaikannya. Hanya karena dia keluargaku, aku jadi cerewet pada Sayaka.
──Hari
ini jelas ada yang tidak beres dengan
diriku.
Aku
mengingat kegagalan hari ini. Kenapa aku bisa mengucapkan hal seperti itu
kepada Enami-san? Rasa takut telah membuatnya marah lebih besar daripada rasa
benci pada diriku sendiri karena berbicara sembarangan.
Karena Enami-san
terlalu mengganggu, ada sisi diriku yang tidak bisa tahan dengan sikapnya. Dia
mengeluarkan kata-kata kasar saat aku hanya diam. Aku juga salah, tapi aku
berpikir Enami-san jauh lebih bermasalah.
Saat aku
terus makan dengan diam, Sayaka menyela.
“Dengar,
karena ini mengenai Aniki, aku
tahu kamu pasti memperhatikan hal-hal kecil, tapi tidak ada salahnya, kan? Orang yang membencimu akan tetap membencimu. Tidak ada orang yang bisa disukai semua orang, itu semua hanya mitos.”
“Jadi,
kamu mencoba menghiburku…”
“Ya,
aku sudah mengerti sebagian besar situasinya.”
Seperti
diharapkan dari adik perempuanku.
“Kamu pasti akan capek sendiri kalau kamu
terus memusingkan semua
itu. Meskipun kamu mendapat nilai
ujian jelek atau mengalami kegagalan dalam hubungan, kamu tidak perlu terlalu memikirkannya.”
“Aku
ingin kamu sedikit memperhatikan tentang
nilai ujianmu…”
“Kalau
nilainya jelek, aku
akan baru mengkhawatirkannya.”
“Meski
tidak jelek…”
Setelah mengatakannya sejauh itu, aku menyadari kalau aku hampir memberi
ceramah lagi. Ini sudah menjadi kebiasaan.
Sayaka
tertawa dengan ekspresi terkejut.
“…Ini
sudah tidak bisa diubah. Mustahil, mustahil.”
“Aku
tidak bisa membalasnya.”
Ini
serius. Setidaknya, setelah hari ini, Enami-san dan Nishikawa pasti merasa
menjauh dariku.
Mungkin Enami-san
tidak membalas juga karena merasa, “Aku
tidak ingin terlibat dengan orang yang seperti ini”.
Ekspresinya mungkin sudah melewati batas kejengkelan dan menjadi emosi yang
tidak jelas.
Aku
berperilaku seperti murid teladan yang
diberi tugas oleh guru dan malah mengacaukan
segalanya. Namun, aku tidak berpikir bahwa karena diminta oleh guru, itu
memberiku alasan untuk berbuat demikian.
Meskipun
aku memikirkan hal tersebut dalam
hati, tidak ada cara untuk menyampaikannya kepada orang lain…
“Aku
akan memberitahumu, Aniki.”
Sayaka
tersenyum lebar dan mengarahkan sendok ke arahku.
“Ini,
mungkin sifat turunan.”
“Eh? Sifat turunan?”
“Ya.”
Aku tidak
pernah memikirkan hal seperti itu. Tapi sepertinya ibu bukan orang yang banyak
memberi ceramah.
Kemudian,
Sayaka mengatakan sesuatu yang tidak terduga.
“Coba
pikirkan tentang sifat ayah kita.”
“…Ayah
kita yang ceroboh dan sepertinya tidak
memikirkan apa-apa itu?”
“Ya.”
Aku tidak
pernah menyangka itu.
“Ah.”
Pada saat
itu, aku baru menyadarinya.
Akhirnya aku mengerti maksud Sayaka.
Ayah kami adalah orang yang teliti. Kari
harus manis, dan ia sering sekali
pilih-pilih. Ia
juga kadang terlalu ikut campur, sering kali bertanya dengan sangat mendetail.
Walaupun arahannya
memang berbeda, tapi mungkin ada kesamaan di beberapa tempat.
“…Aku
tidak menyukainya.”
“Tapi,
kenyataannya begitu, ‘kan?”
“Aku
tidak ingin menerimanya, tapi
aku juga tidak suka pada diriku yang mungkin bisa menerimanya.”
Aku jadi
merasa ingin mengubah sifat ini. Apa aku mirip dengan
ayahku yang
terlalu serius…?
Aku sendiri bisa memahami bahwa itu
mengganggu.
“Kalau
Sayaka, apa kamu mewarisi
sifat cerobohnya itu…?
Memikirkan bahwa ini juga sifat turunan
dan tidak bisa diubah rasa-rasanya jadi
berat.”
“Hah?
Mana mungkin aku
mirip dengannya!”
“Dari
sudut pandangku, kamu sama
saja.”
“Mana
mungkin lah! Aku sudah memikirkan banyak hal. Aku hanya
tidak menghabiskan tenaga untuk hal yang tidak ada artinya.”
“Bukannya
itu terbalik.”
"Diam!”
Sebenarnya,
hal yang paling diupayakan
Sayaka adalah permainan. Selain itu, dia berusaha menyelesaikan segala
sesuatunya dengan usaha seminimal mungkin.
Seolah-olah
percakapan lebih lanjut sia-sia, Sayaka menyuapkan telur dadar ke dalam mulutnya.
“Lagipula,
orang yang salah dalam menempatkan
perhatian adalah aniki sendiri,
‘kan?”
“Itu…”
“Terima
kasih untuk makanannya.”
Sayaka
berdiri sembari masih meninggalkan saus yang menempel di sudut mulutnya. Saat
aku menunjukkannya, wajahnya sedikit memerah dan dia mengusap mulutnya. Lalu,
dia kembali ke lantai dua di mana kamarnya berada.
“Hah…”
Aku
menghela napas sekali lagi. Aku bertanya-tanya sudah
berapa kali aku menghela napas panjanghari
ini?
Memang,
mungkin ini bukan hal yang bisa aku tunjukkan. Aku tidak selalu menjadi siswa
teladan sejak dulu. Ada kalanya aku sangat salah dalam menempatkan
perhatian.
──Hari
ini aku terlalu sering mengingatnya.
Masa lalu
diriku. Diriku yang tidak berdaya di masa lalu.
Sebenarnya,
akulah yang paling memahami bahwa aku
bukan orang yang seharusnya memberi ceramah pada orang lain.
…Aku yang
dulunya anak berandalan, seharusnya menyadari betul kalau aku tidak seharusnya
mengeluh dan menyamakan diriku yang
dulu dengan Enami-san.
◇◇◇◇
Pada hari senin
di minggu berikutnya. Langkah kakiku terasa sedikit berat.
Aku tidak
tahu apakah Enami-san akan berangkat
ke sekolah, tapi aku pasti akan
bertemu Nishikawa. Jumat lalu, aku telah melakukan sesuatu yang sangat tidak
menyenangkan. Seharusnya, aku juga harus berbicara dengan Nishikawa untuk
menghindari konflik.
Jadi,
ketika aku membuka pintu kelas dan melihat Nishikawa tidak ada di dalam sana, aku merasa sedikit lega. Waktunya masih terlalu pagi, mungkin
latihan paginya belum
selesai. Kalau kuingat-ingat dengan benar, dia
tergabung dalam klub tenis.
Aku
mendekati kursiku dan menyadari.
──Huh?
Ada rasa ketidaknyamanan yang kuat.
Sepertinya aku melewatkan sesuatu…
──Apa ini
hanya imajinasiku saja?
Tidak ada
perubahan khusus di
kursiku. Namun, apa-apaan dengan perasaan
ketidaknyamanan ini?
Aku
melihat sekelilingku. Pemandangan
yang biasa. Sinar matahari masuk melalui jendela, dan tirai renda bergetar
lembut. Siswa-siswa yang datang lebih pagi
seperti diriku sedang menyelesaikan PR,
mengobrol dengan teman, atau terlihat cemberut sambil menyandarkan dagu di
telapak tangannya──
“Eh?”
Pada saat
itulah aku akhirnya menyadari apa yang menyebabkan perasaan janggalku.
Enami-san
ada di sini.
Pelanggar
absen dan terlambat yang sudah jadi kebiasaannya.
Gadis paling cantik di kelas. Perempuan jutek yang tidak menghiraukan siapa pun.
Dia duduk
dengan tenang di kelas sebelum pelajaran dimulai. Sembari diterangi
sinar matahai pagi, dia menyipitkan matanya seolah-olah merasa silau, mengalihkan pandangannya ke luar
jendela, bersandar dengan dagu di telapak tangan, dan terlihat bosan di
sana.
──Eh?
Kenapa?
Teman
sekelas lainnya juga sesekali melirik ke arah Enami-san sambil mengobrol.
Ketidaknyamanan yang kuat karena Enami-san ada di kelas pagi ini. Seharusnya
itu hal yang biasa, tapi rasanya seperti ada sesuatu yang aneh.
Setelah
beberapa saat terdiam, bahuku ditepuk-tepuk.
“Okusu, kenapa kamu bengong begitu?”
Ketika
aku menoleh, ada Shindo di sana.
Aku berkedip berkali-kali.
“Nah,
di kursi paling belakang dekat jendela itu ada apa?”
“Hah?”
Shindo
juga mengalihkan pandangannya ke arah Enami-san. Lalu, ia menanggapi dengan nada kebingungan.
“Tumben
banget… Gadis berandalan
itu datang tepat waktu.”
“Betul.
Kamu juga melihatnya, ‘kan?”
Sepertinya,
ini bukan khayalanku saja.
“Tapi,
lebih baik jangan terlalu terlibat. Aku tidak ingin mengalami hal yang sama
sepertimu.”
“Memang…”
“Ayo,
cepat duduk.”
“Ah,
iya.”
Kami
berusaha untuk tidak melihat Enami-san dan duduk di kursi masing-masing.
Nishikawa dan Hanasaki
sepertinya masih belum
datang.
Meskipun
aku sudah duduk, pikiranku masih tertuju pada Enami-san. Dia adalah orang yang
baru saja berdebat denganku minggu
lalu. Aku mengira dia akan terlambat, jadi aku tidak memperhatikannya saat
masuk kelas.
Aku
mengeluarkan alat tulis dari dalam tasku. Saat aku mengambil pulpen untuk belajar, aku merasa ada
tekanan misterius dari belakang yang mengalihkan perhatianku. Sejak aku duduk, Enami-san pasti
menyadari keberadaanku. Dia pasti marah. Dan getaran yang aku rasakan dari
belakang sekarang pasti
tatapan marah dari Enami-san.
Aku
berusaha keras untuk tidak memikirkan tatapan Enami-san dan fokus pada buku latihan. Seharusnya hal ini mudah masuk ke dalam pikiranku,
tapi mataku malah tidak bisa fokus.
Soal integral yang sederhana terlihat jauh.
Namun,
saat aku berusaha keras menggerakkan pulpenku,
tiba-tiba aku merasakan kehadiran seseorang di sampingku. Apa? Saat aku
mengangkat wajahjy, aku
kehilangan suara karena terkejut.
Entah
kenapa, Enami-san sedang berdiri
di sana. Dia menatapku dari atas dan membuka mulutnya.
“Selamat
pagi.”
Ekspresinya
datar. Dan dia menatapku dengan tajam.
“Eh?”
Hah?
Apa dia baru saja menyapaku? Enami-san yang
terkenal jutek itu? Kenapa?
Namun,
aku tidak bisa membaca emosinya. Dengan terpaksa, aku membalas.
“Se-Selamat pagi juga?”
Mendengar
kata-kata itu, Enami-san kembali ke kursinya. Dalam posisi yang masih berbalik,
tatapan mataku bertemu dengan tatapan Shindo. Raut wajah Shindo juga terlihat terkejut, ia mengerutkan bibir dan mengangguk
bingung.
Mungkin
ini hanya kebetulan. Jika tidak menyimpulkan demikian, aku merasa tidak akan
bisa menahan ketakutanku.
──Tapi ternyata, ini semua baru permulaan.
◇◇◇◇
Saat jam wali kelas pagi, Shiroyama-sensei juga menyadari adanya ‘keanehan’. Ketika mengambil absensi,
biasanya dia hanya memeriksa dengan mata bahwa siswa tersebut tidak hadir,
tetapi melihat Enami-san yang duduk di kursinya, ia menyebut Namanya dengan lantang.
“Enami.”
Pada saat
itu, seluruh perhatian penjuru kelas
tertuju pada Enami-san.
“Hadir.”
Dengan jawaban
biasa yang tidak terduga ini, aku hampir mengeluarkan suara kagum.
Rasanya
sudah lama sekali aku melihatnya berkomunikasi dengan baik. Biasanya, dia akan mengabaikan atau memperlakukan siapa saja dengan dingin. Seluruh kelas
merasakan bahwa ini bukan hal yang biasa.
◇◇◇◇
──Dan
kemudian, di jam kedua. Matematika, pelajaran yang
diampu Shiroyama-sensei.
Seperti
biasa, pelajaran berlangsung dengan tenang. Karena materinya cukup sulit,
penjelasan tentang cara menjawab dilakukan dengan cermat. Akhirnya, setelah
penjelasan selesai dan saatnya untuk menyelesaikan soal lain, tangan Shiroyama-sensei tiba-tiba berhenti.
Di papan
tulis hanya tertulis [Soal 6]. Suara kapur yang biasanya
nyaring juga berhenti. Sensei
menoleh ke belakang sambil memegang kapur.
Dan
tiba-tiba ia berkata.
“Enami.”
Seluruh
kelas dipenuhi ketegangan. Aku juga menahan napasku.
“Majulah
ke depan dan coba selesaikan soal ini.”
Aku dengan
hati-hati melihat ke arah Enami-san. Enami-san yang tadinya bersandar dengan
dagu di telapak tangan kini tersadar bahwa namanya
dipanggil, matanya membulat, dan dia menjauhkan wajahnya dari tangan. Dia
menunjuk jari telunjuknya ke arah dirinya sendiri dengan ekspresi bingung.
“Benar.
Kamu. Tidak masalah jika kamu tidak
bisa menjawab dengan benar. Pikirkan dengan caramu sendiri dan tuliskan jawaban
yang menurutmu benar. Aku akan memberikan sedikit saran.”
Jika itu Enami-san yang biasanya, dia
tidak akan mengikuti instruksi seperti ini. Dia pasti akan menjawab, “Hah?”
atau “Kenapa?” dan akhirnya akan menggerutu dengan marah. Mungkin
Shiroyama-sensei juga sudah siap dengan tanggapan seperti itu.
Namun,
hari ini Enami-san tampak sedikit
berbeda.
Dia
mengambil buku pelajaran dan berdiri dengan tenang. Dengan langkah santai, dia
melangkah maju. Dia melewatiku dan naik ke podium.
“……”
Enami-san
diam saja. Dia hanya
melemparkan tatapan ke arah guru. Aku merasa takut jika dia akan mengucapkan
sesuatu yang bisa membuat guru marah. Namun,
“Kapur.”
Dia
mengulurkan tangannya. Sensei yang
tersadar segera memberikan kapur kepada Enami-san.
Setelah sensei bergeser ke samping, Enami-san
bersiap dengan kapur di depan papan tulis. Sambil sesekali memeriksa soal, dia
perlahan-lahan mulai menulis rumus.
Sejujurnya,
ini bukanlah soal yang terlalu sulit. Jika aku yang mengerjakan, mungkin hanya
butuh 30 detik untuk menjawabnya. Namun, tampaknya soal tersebut cukup sulit
bagi Enami-san, dan dia terhambat di beberapa bagian.
“Di
bagian sini caranya…”
Dia
mengangguk dengan patuh tanpa merasa kesal dengan saran guru, dan menerapkannya
dalam jawabannya.
Sekitar
lima menit kemudian, Enami-san akhirnya sampai pada jawaban yang benar.
“Baiklah, kamu boleh kembali.”
Apa ini
mimpi? Enami-san mendengarkan guru dengan baik dan berhasil menyelesaikan soal
matematika dengan serius.
Saat menjauh dari papan tulis dan
dalam perjalanan kembali ke tempat kursinya,
Enami-san berhenti sejenak di samping kursiku. Dia melirik wajahku dan
tersenyum kecil.
──Eh?
Dia bukannya
ingin
berbicara padaku. Dia hanya
tersenyum ringan, seolah-olah ingin
membanggakan dirinya dengan, “Lihat,
aku bisa melakukan ini.”
Aku merasa bingung untuk menanggapinya dan
hanya bisa melirik ke sekeliling.
Segera, Enami-san
kembali ke ekspresi datarnya dan menuju kursinya.
Aku
berusaha keras untuk memahami situasi ini. Apakah sapaan di pagi hari itu
sebenarnya untukku? Kenapa?
Shiroyama-sensei
segera melanjutkan pelajaran.
“Kalau
begitu, soal berikutnya. Okusu,
silakan maju buat menyelesaikannya.”
Tanpa kusadari, tiba-tiba tulisan [Soal 7] muncul di papan tulis. Aku
segera berdiri.
Saat aku menerima kapur dari Sensei, ia berkata pelan padaku,
“Apa
kamu berhasil meyakinkannya? Terima kasih.”
Rupanya,
Sensei mengira aku yang berperan dalam
hal ini. Namun, aku juga tidak mengerti mengapa Enami-san tiba-tiba bersikap
serius. Aku hanya bisa tersenyum kecut.
Setelah
cepat menyelesaikan soal, saat aku hendak kembali ke kursi, aku merasakan Enami-san
mengamatiku. Ekspresinya seolah berkata, “Hmm, tidak buruk.”
Aku
menghela napas. Tenanglah. Aku
tidak tahu mengapa Enami-san bertindak seperti ini. Namun, ini pasti jebakan.
Tindakan yang aku ambil minggu lalu pasti membuat Enami-san marah. Jadi, hasil
akhirnya pasti akan merugikanku.
Pokoknya,
aku harus tetap bersikap seperti biasa. Mungkin dia akan melakukan berbagai hal
untuk membingungkanku, tetapi aku akan tetap tenang menghadapi semuanya.
◇◇◇◇
Waktu
istirahat makan siang.
Aku,
Saito, dan Shindo berkumpul di sekitar meja seperti biasa sambil makan bekal.
Sejak saat itu, Enami-san tidak lagi melihat ke arahku. Namun, dia tampaknya
serius mendengarkan pelajaran, dan meski kadang-kadang
aku mengintip ke arahnya, dia
terlihat fokus menulis di buku catatannya.
“Rasanya
jadi menyeramkan.”
Saito
menggulung biji umeboshi dengan lidahnya sambil berbicara. Tentu saja, topik
itu tentang Enami-san.
“Dia
tiba-tiba berubah menjadi rajin begitu. Pasti ada sesuatu yang
terjadi setelah itu, ‘kan?”
“……tidak juga.”
Aku menggelengkan
kepalaku. Sepertinya "ceramah"
itu tidak berpengaruh pada Enami-san.
“Yah,
karena itu bukan urusan kita. Kita harus
berhati-hati agar tidak terlibat dengannya.”
Saito
mengatakannya sambil menggigit sumpit dan kemudian diam. Matanya seolah
melampaui kepalaku dan menangkap sesuatu di belakang.
──Apa?
Akhirnya,
Shindo juga ikut melihat
ke arah yang sama dan terdiam. Karena penasaran, aku menoleh ke belakang.
“……eh?”
Di sana sudah ada Enami-san. Dia berdiri diam
di tempat, menatap kami dari atas.
“……”
Aku hanya
bisa membuka mulut tanpa suara. Kenapa ini terjadi berturut-turut?
“Hei,” kata Enami-san.
Suara itu
jelas ditujukan padaku.
──Apa
yang harus kulakukan?
Itulah
kata pertama yang muncul dalam pikiranku.
Sejujurnya,
aku sama sekali tidak siap secara mental. Jika hanya untuk menyapa, mungkin
masih bisa kuterima, tetapi aku
tidak pernah membayangkan kalau
dia berbicara padaku seperti ini.
“……”
Ekspresi Enami-san
tampaknya tidak menunjukkan kemarahan atau emosi negatif lainnya. Jika itu orang biasa, mereka pasti akan
lebih berhati-hati. Namun, ini tentang Enami-san. Aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan.
Tatapan
seluruh kelas tertuju pada kami. Enami-san, yang biasanya tidak berbicara
dengan orang lain selain Nishikawa, sekarang berbicara dengan orang lain. Ini merupakan peristiwa yang
tidak pernah terjadi sebelumnya.
“Eh,
ehm, ada apa ya?”
Tenangkah, diriku. Aku sudah memutuskan untuk menanggapi dengan tenang. Meskipun ini
adalah situasi yang aneh, aku harus memberikan jawaban yang aman.
“Reaksi
yang aneh. Padahal aku cuma berbicara padamu.”
“Ah,
iya.”
Bagaimana
jika dia merenungkan tindakan masa lalunya yang membuat orang lain begitu terkejut hanya karena
seseorang berbicara dengannya?
“Bento makan siangmu cukup bagus, ya...”
“Yah, terima
kasih. Aku membuatnya dengan baik setiap hari..."
Aku tidak
tahu apa yang dia inginkan. Tapi aku terlalu takut
untuk bertanya.
“Hmmm,
kamu membuatnya sendiri?”
“Ah,
iya.”
“Hee...”
Apa-apaan dengan siksaan ini? Kenapa aku harus melakukan
percakapan yang tidak berarti di depan teman sekelas? Aku merasakan keringat
menetes di punggungku.
“Kenapa
kamu terus-menerus mengintip ke belakangku?”
“……Apa
kamu tidak mengerti situasi di sini yang penuh dengan tatapan orang lain?”
Akhirnya,
Enami-san menoleh ke belakang. Semua orang segera mengalihkan pandangan, tetapi
semuanya sudah terlambat. Di dalam kelas
yang sunyi, jelas sekali kalau cuma
kami yang merasa tidak pada tempatnya. Enami-san pasti merasakan suasana
itu.
Namun, Enami-san
tetap tidak peduli. Dia terus berbicara.
“Jadi,
apa kamu juga biasanya masak di rumah?”
Tolong bantu aku. Aku melemparkan tatapan
meminta bantuan kepada Saito dan Shindo, tetapi mereka malah menghindar. Seolah-olah mereka
hanya berbagi bento berdua, mereka mulai mengobrol dengan suara kecil.
“Apa kamu
bosa mendengar apa yang kubilang?”
Aku
mengangguk cepat.
“Ya.
Di rumah, aku memasak. Ya. Aku sering menggunakan sisa makanan untuk bento makan siangku, ya.”
“Begitu…”
“Enami-san,
apa kamu juga masak di rumah?”
Aku
mencoba melemparkan pertanyaan. Mungkin dia memilih topik ini karena dirinya juga suka memasak.
“……Menurutmu,
mana yang lebih baik?”
“Eh?”
Jawaban
yang tak terduga muncul.
“Mana
yang lebih baik, bisa memasak
atau tidak bisa?”
Ekspresi Enami-san
sangat serius. Sepertinya dia tidak bercanda.
“Yah, tentu saja lebih baik kalau kamu bisa memasak…”
“Hmmm.”
Menakutkan,
rasanya sangat menakutkan. Aku sama
sekali tidak bisa membaca pikirannya. Aku harus hati-hati agar tidak membuat Enami-san
marah.
“Ehm, aku
benar-benar minta maaf tentang minggu lalu. Aku benar-benar
menyesal…”
Aku
meminta maaf. Setidaknya, aku ingin menghilangkan rasa cemas ini.
“……Aku
tidak peduli, jadi tidak apa-apa.”
Jika kamu
tidak peduli, kenapa hari ini kamu tiba-tiba serius di kelas? Bukannya itu aneh jika kamu berbicara
padaku?
“Kalau
begitu, syukurlah.”
“……Katanya kamu pandai belajar, ya?”
“Eh,
ya. Begitulah.”
"Hmmm.”
Sepertinya
dia terus berusaha menggali informasi tentangku. Apa dia berniat menggunakan
informasi itu untuk menyerangku?
“……Apa
kamu ikut kegiatan klub?”
“Ah,
tidak, aku adalah anggota klub langsung
pulang ke rumah.”
Oleh karena
itu, aku berusaha menyembunyikan informasi sebanyak mungkin, tetapi ketika melihat mata Enami-san, aku
merasa tidak mungkin bisa menyembunyikan apa pun. Tekanannya sangat besar.
“Jadi,
setelah pelajaran selesai, kamu langsung pulang?”
“Ya,
begitulah. Itupun
jika tidak ada urusan yang harus dilakukan, sih.”
“Begitu.”
Aku sudah
menyerah untuk memahami niat Enami-san. Yang bisa kulakukan hanyalah menunggu
badai berlalu.
“……Sampai nanti ya.”
Kemudian,
Enami-san pergi dari sisiku. Setelah melihatnya
keluar dari ruang kelas,
aku merasa semua ketegangan dalam tubuhku menghilang.
Ketegangan
yang mengendap di kelas pun mulai mereda. Nishikawa juga tampak terkejut.
“Oi,
kapan kamu akan memberitahuku apa
yang sebenarnya terjadi?”
Saito
bertanya seperti itu.
“……Sejujurnya,
aku sendiri juga tidak mengerti.”
“Aku
terlalu takut untuk bertatap muka, tapi kamu malah
bisa berbicara lancar
dengannya.”
“……Yah.”
Setidaknya,
aku berhasil melewatinya. Dalam percakapan tadi, seharusnya tidak ada kesalahan
besar.
Jangan
terlalu memikirkannya. Rasanya
aku akan gila jika aku terlalu banyak memikirkannya. Sebaiknya aku menyerahkan semuanya kepada
Nishikawa, dan aku akan menghindar setiap kali badai datang.
Namun,
aku segera menyadari bahwa pemikiranku itu terlalu naif.
◇◇◇◇
Sepulang sekolah, aku, Saito, dan Shindo
menuju gerbang utama bersama-sama.
Kami
mengobrol sedikit, tetapi karena kami menyudahi lebih awal, waktunya masih pukul empat sore.
Lingkungan masih terang, dan suara sorakan dari klub olahraga terdengar dari
jauh.
“Pada
akhirnya, si gadis berandalan itu belajar dengan serius sepanjang hari ini.”
Saito
mengatakannya sambil mengingat-ingat.
“……Jika
besok dia juga masih sama seperti ini, rasanya sangat
aneh.”
Mungkin
karena aku berjalan sambil mengatakan hal seperti itu. Baru saja dia menjado bahan pembicaraan kami dan aku
melihat sosoknya. Di dekat gerbang utama, ada sosok yang
seharusnya tidak ada di sana.
Kami
semua terhenti di tempat.
Angin
bertiup lembut. Angin yang sejuk dan kering, khas musim gugur. Di antara tiang bata merah
kecokelatan, ada gerbang logam hitam yang terpasang. Di samping gerbang yang
terbuka, ada seorang siswi.
Rambut
cokelatnya berkibar karena tertiup
angin. Kalau dilihat dari kejauhan,
meskipun dia hanya bermain dengan ponselnya, pemandangan itu terlihat sangat
indah.
Enami-san
ada di sana.
Aku
menelan ludah. Apa jangan-jangan
dia sedang menungguku?
Pikiran yang tidak mungkin itu melintas di benakku.
(……Sampai nanti ya.)
Aku jadi
teringat kembali perkataan Enami-san saat istirahat
siang tadi.
Aku
bingung.
Meskipun
aku berusaha untuk tidak memikirkan, pemandangan di depanku
mengganggu pikiranku.
Aku tidak
mengerti.
Aku semakin tidak paham apa yang sebenarnya terjadi.
Yang ada
di pikiranku hanyalah pemikiran
seperti melarikan diri atau bersembunyi darinya.
Aku tidak
mengerti tentang Enami-san.
Aku tidak
tahu apa yang dia inginkan.
Sekarang,
aku sama sekali tidak tahu harus berbuat apa.
“……”
Setelah
berdiri di sana untuk sementara waktu,
Enami-san akhirnya menyadari keberadaan kami.
Dia
mengangkat wajahnya dan membuka matanya lebar-lebar.
“Akhirnya
kamu datang juga.”
Enami-san
yang menunggu kami berkata demikian sambil
tersenyum kecil.
Sebelumnya | Selanjutnya


