[LN] Tanin wo Yosetsukenai Vol 1 Chapter 1 Bahasa Indonesia

Chapter 1 — Teguran

 

Aku berjalan dengan tenang di lorong panjang Gedung 2. Sekarang sudah memasuki bulan Oktober. Meskipun cuacanya sudah mulai dingin, karena ini bukan ruangan tertutup, AC tidak dinyalakan. Gedung 2 tidak terlalu ramai, jadi sepertinya lampu-lampu di berbagai tempat dimatikan untuk menghemat energi. Karena lampu yang menyala secara sporadis, suasana keseluruhan menjadi gelap.

Di sebelah kanan lorong terdapat beberapa ruangan, dengan nama-nama tertera di atasnya. Ruang serbaguna, ruang audiovisual, kemudian ruang tamu pertama dan ruang tamu kedua. Aku berhenti di depan ruang tamu kedua yang terletak paling jauh.

Tempatnya pasti di sini.

Aku mengetuk pintu dengan pelan, dan suara yang familiar terdengar dari balik pintu.

Silakan masuk.

Aku berkata, Permisi, sebelum membuka pintu.

Ruangan itu sempit. Di bagian dinding sebelah kanan terdapat lemari, dan set sofa diletakkan sedikit di sebelah kiri tengah. Di sofa bagian dalam, seorang pria muda dengan kacamata bingkai perak duduk. Beliau adalah guru wali kelasku, Shiroyama-sensei.

Oh, kamu sudah datang ya. Silakan duduk di sana.

Ia menunjuk ke sofa di depan. Sofa itu dilapisi kulit dan terlihat mewah. Mungkin ini adalah tempat untuk menerima tamu dari luar.

Aku melepas tas dari bahu dan perlahan duduk. Shiroyama-sensei mengambil sebuah ring binder.

Ada apa, wajahmu kelihatan cemberut begitu.

“Biasa saja kok. Lagipula, aku ingin segera selesai, jadi tolong mulai saja.

Kamu terlihat tidak senang. Tapi ya, kamu benar.

Ia mengeluarkan selembar kertas dari ring binder dan meletakkannya di meja di depanku.

…Kira-kira sebulan yang lalu, formulir survei harapan jalur karier dibagikan. Setelah memeriksa semua pengumpulan dari kelas, dalam waktu sekitar satu minggu, wawancara mengenai harapan jalur karier akan dilaksanakan. Hari ini masih hari kedua, tetapi karena nomor urutku yang awal, aku dipanggil lebih cepat. Sensei membolak-balik file itu.

Hmm, nilai kamu... Hmm, ini sulit. Tidak ada yang bisa kukatakan.

Jadi, boleh aku pulang sekarang?

Yah, tunggu dulu sebentar. Aku sedang berpikir.

Seharusnya hal-hal semacam itu dipikirkan sebelumnya sebelum menghadapi wawancara. Aku berpikir demikian tetapi memilih untuk diam.

Sejak masuk sekolah hingga sekarang menginjak di kelas dua, kamu selalu mempertahankan peringkat pertama di kelas. Teman-teman sekelas juga mengandalkanmu, dan kamu telah menjadi ketua kelas selama dua tahun berturut-turut. Dari pandanganku, tidak ada masalah dengan kepribadianmu, kamu benar-benar siswa teladan.

Itu sama sekali tidak benar.

Itu benar! Nilai ujian coba juga berkisar antara nilai standar 75-80. Keren sekali.

...Rasanya ada yang mencurigakan.

Sensei tiba-tiba mulai melontarkan pujian, mungkin ini adalah pola yang biasa terjadi.

Walaupun begitu, aku punya banyak hal yang bisa kukatakan kepada yang lain. Hanya kamu yang tidak.

“Dengan kata lain, semuanya sudah selesai, kan!

Tidak, masih belum. Lihat, kamu pasti punya sesuatu yang ingin kamu konsultasikan padaku, kan?

Tidak ada. Jika harus dikatakan—

“Harus dikatakan?

“Aku selalu saja dimintai tolong, jadi aku ingin itu diubah.

Saat itu, bahu sensei terlihat jatuh lesu. Ternyata benar. “Lagi, ya? Ketika aku bertanya seperti itu, Shiroyama-sensei mengangguk dengan enggan.

Benar. Aku punya sesuatu yang ingin kutanyakan padamu. Sekali lagi.

Ia menghela napas. Dirinya berusaha mengambil hatiku sambil meminta bantuanku. Ini bukan pertama kalinya aku diminta tolong oleh guru.

Apa itu?

Oh.

Tatapannya penuh harapan, tetapi aku mengabaikannya. Sensei mengangkat kacamatanya dan berkata.

Sebenarnya ini tentang Enami.

Eh? Enami-san?

Benar.

Aku terkejut. Ini adalah pertama kalinya aku diminta tolong mengenai siswa lain.

Sebenarnya, dia yang dijadwalkan untuk melakukan wawancara sebelum wawancaramu. Tapi dia malah tidak datang.

Sensei menggerakkan bolpen di pelipisnya.

Dia sudah menyerahkan formulir survei harapan jalur karier. Jadi, aku pikir dia akan datang untuk wawancara, tetapi dia tiba-tiba membolos.

Tapi, dia bukan tipe yang akan datang untuk wawancara, kan?

Bisakah kamu memberitahunya untuk datang wawancara?

Sudah kuduga. Diminta seperti itu juga tidak mengejutkan, begitu juga dengan Enami yang tidak datang untuk wawancara. Aku juga mengenal dia sampai batas tertentu. Gadis yang suka membolos dan datang terlambat. Sikapnya kurang ramah, dan jarang terlihat tersenyum. Dia sering tidak mengikuti kata-kata guru dan sering menimbulkan masalah.

Aku sempat merasa ragu sejenak. Tapi pada akhirnya, aku menjawab seperti biasa.

Baiklah.

Setelah itu, pembicaraan yang tidak berarti berlanjut. Aku segera menyelesaikannya dan meninggalkan ruang tamu kedua.

 

◇◇◇◇

 

—Aku pulang.

Di pintu masuk rumah, ada sepatu pantofel putih yang tampaknya milik adik perempuanku tergeletak. Setelah melepas sepatuku dan berdiri di atas ambang pintu, aku mengambil dan merapikan sepatu itu.

Sudah berapa kali harus kukatakan agar dia mau mendengarkan perkataanku? Setelah menaiki tangga dan tiba di lantai dua, sebuah pintu dengan plakat bertuliskan Sayaka muncul di depanku.

Aku mengetuk pintu dengan pelan. Namun, tidak ada jawaban. Aku berhenti menunggu dan membuka pintu.

Ruangan itu sekitar enam tatami. Tirainya ditutup rapat dan gelap. Hanya layar komputer yang bersinar terang, di mana seorang gadis duduk dengan posisi mirip berjongkok di atas kursi putar.

Sayaka.

Aku mencoba memanggilnya, tetapi karena kedua telinganya tertutup headphone, mungkin dia tidak mendengarnya. Wajahnya mendekat ke layar, terus mengklik mouse. Sesekali, terdengar suara tawa aneh seperti “Fuhehe” atau hihihi.

Aku mencabut headphone dari kepala Sayaka. Dia terkejut dan berbalik ke arahku.

Hyah! ...Apa?

Di layar komputernya terdapat sesuatu yang kelihatannya permainan otome. Seorang pria ganteng menunjukkan senyum dengan gigi putihnya, tetapi lehernya terlihat sakit.

...Ah, Aniki... Tolong jangan sembarangan melepas headphone-ku begitu saja dong.

Kalau kamu tidak menjawab, aku tidak punya pilihan lain selain melakukan ini.

Dan tolong jangan masuk ke kamar tanpa izin. Kalau ini medan perang, kamu sudah mati.

...Kamu bahkan tidak merespons saat aku mengetuk pintu kamarmu.

Hal ini selalu terjadi. Apa pun yang aku lakukan, dia tidak menyadarinya. Saat aku ingin berbicara dengan adik perempuanku, satu-satunya cara adalah dengan masuk secara paksa.

Bagian dalam kamarnya terlihat berantakan. Seragamnya berserakan di lantai. Botol plastik dan buku dibiarkan begitu saja. Di dekat komputer, ada kantong keripik kentang. Sepertinya sudah dimakan, tetapi tidak dimasukkan ke dalam tempat sampah.

Kalau aku sedang ganti baju, bagaimana?

Ya, ya, ya. Ngomong-ngomong, kamu sudah belajar belum? Ujian tengah semester sudah dekat, ‘kan?”

Sudah dekat? Padahal masih ada dua minggu lagi, tau?

Kalau tidak mulai persiapan sekarang, kamu tidak akan mendapatkan nilai baik.

Hah. Aku hanya perlu menghindari nilai jelek. Jadi, belajar ngebut semalam saja sudah cukup.

Sungguh... Kamu selalu main game.

Dia mengenakan kaos abu-abu yang terlihat seperti piyama. Rambut hitam panjangnya diikat menjadi sanggul dengan karet.

Aku mengambil kantong plastik yang ada di sudut dan mulai mengumpulkan sampah.

Tolong jangan sembarangan mengotori barang orang lain. Kalau ini ladang ranjau, kamu sudah hancur berkeping-keping.

“Mau berapa kali pun aku membersihkannya, kamarmu masih tetap saja berantakan. Jangan meletakkan seragammu di lantai yang kotor. Nanti jadi penuh debu.

Ya ya, maaf.

Apa yang akan dia lakukan saat dia tinggal sendiri atau menikah di masa depan? Menurutku, wajahnya cukup imut, tetapi perbedaannya besar.

Ngomong-ngomong, sedikit sampah itu biasa saja. Aniki saja yang terlalu serius. Kalau terus mencemaskannya, bersih-bersih tidak ada habisnya. Aku lebih hemat energi dan lebih pintar.

Aku menjatuhkan tanganku ke atas kepala adikku.

Ugh! Apaan sih...

Kalau kamarmu terlalu berantakan, kecoa yang sangat kamu benci akan muncul.

“Kalau saat itu tiba, aku tinggal memanggil Aniki, jadi tidak masalah.

“Astaga, kamu ini.

Ujung-ujungnya, dia tetap bergantung padaku juga. Menyebalkan.

Sungguh, dulu kamu manis sekali sambil terus memanggilku Onii-chan~ Onii-chan, kenapa sekarang kamu jadi begitu menyebalkan...

Sebaliknya, memangnya Aniki tidak merasa jijik kalau adikmu yang sudah SMA masih memanggil Onii-chan dengan manja?

Tidak menjijikkan sama sekali.

“Uwahh, mengatakan begitu saja sudah aneh. Dasar otaku sejati.

“Bukannya kamu juga otaku?

Di layar, karakter tampan masih tersenyum. Aku tahu dia menghabiskan hampir seluruh uang saku untuk permainan otome.

Saat aku berbicara tentang itu dan terus bergerak, kantong di tanganku sudah penuh sampah. Aku mengikat mulut kantong plastik dan memasukkannya ke dalam tempat sampah.

Aku akan masak makan malam, jadi jangan ngemil terus, oke.

Ya ya. Buatkan hamburger, ya.

Sudah terlambat. Hari ini kita makan kari. Main gamenya secukupnya dan belajar yang benar.

Setelah mengatakannya, aku keluar dari kamar adikku dan menyeberangi lorong.

Aku meletakkan tas di kamarku sendiri yang berada di lantai dua, mengganti pakaian, lalu menuju ke ruang tamu.

Ketika membuka pintu ruang tamu, dinding tepat di depanku terlihat. Di atas kabinet, ada altar.

Aku mendekati altar dan berbicara.

Aku pulang, Bu.

Di dalam bingkai foto, terdapat gambar almarhum ibuku yang diambil sekitar lima tahun yang lalu. Foto itu diambil saat aku baru saja masuk SMP, saat mendaki gunung.

Ibuku adalah orang yang baik. Aku masih ingat dengan jelas saat-saat bersamanya ketika dia masih hidup.

Aku membunyikan lonceng kecil, menyatukan tangan, dan memejamkan mata untuk memanjatkan doa.

 

◇◇◇◇

 

Ketika aku sedang memasak di dapur, ayahku pulang dari pekerjaannya.

Oh, hari ini menunya kari, ya?

Ia mengenakan pakaian santai, kaos dan jeans. Tempat kerjanya cukup santai dalam hal etika berpakaian, jadi ia tidak perlu mengenakan jas.

Selamat datang. Kari saja tidak masalah, kan?

Tentu saja tidak masalah. Aku baru saja berpikir ingin makan kari.

Sambil berkata begitu, ayahku menyalakan rokok. Dia tergeletak di sofa dan menghembuskan asap.

Tolong jangan merokok di ruang tamu. Bau asapnya akan menempel di perabotan. Merokoklah di balkon sendirian.

Sebentar saja tidak apa-apa. Karena suasana di balkon dingin, jadi aku tidak mau.

Aku tidak peduli. Kalau begitu, ayah tidak dapat kari.

Aku akan mematikannya! Sekarang juga!

Ia buru-buru menekan rokoknya ke dalam asbak. Meskipun kerusakan dapat diminimalkan, masih ada sedikit bau rokok. Dengan aroma kari yang menyatu, aku berpikir harus menghilangkan bau itu nanti.

“Ya ampun, kamu sudah berubah menjadi sangat tegas. Bahkan ketika ibu masih hidup, dia tidak pernah memperingatkanku seperti ini.

Mungkin ibu juga menahan diri. Merokok di ruang tamu tidak boleh.

Maaf, maaf. Begitu sampai rumah, aku merasa nyaman.

Sambil berkata begitu, ayahku berdiri. Saat itu, terdengar suara seperti kentut.

Kalau tidak bisa merokok, aku tidur saja. Bangunkan aku saat makanannya sudah siap.

...Ya, ya.

Dan, ayahku masuk ke ruangan tradisional di sebelah dan menutup pintu geser. Tak lama kemudian, suara dengkuran terdengar. Kenapa keluargaku semua begitu malas? Rasanya ingin membuatku menghela napas panjang.

 

◇◇◇◇

 

Bagiku, pengembalian lembar jawaban tes merupakan peristiwa yang menyenangkan sekaligus tidak menyenangkan. Ada harapan bahwa aku akan mendapatkan nilai baik karena sudah belajar keras, tetapi juga ada kecemasan tentang apa yang akan terjadi jika nilainya rendah meskipun sudah belajar banyak.

Jika emosi teman-temanku bisa diungkapkan dengan senang dan sedih, maka bisa dibilang ini adalah masalah besar. Meskipun itu hanya tes kecil.

Okusu”

Setelah namaku dipanggil, aku menerima lembar jawaban dari guru bahasa Inggris, Niyama-sensei, dan melihat nilainya membuatku merasa campur aduk. 97. Hanya satu soal yang salah. Karena aku merasa sudah mendapatkan nilai sempurna, aku merasa tidak terlalu senang. Namun, mendengar bahwa nilai rata-ratanya adalah 58 membuatku merasa tidak terlalu buruk.

Okusu~ kamu mendapat nilai berapa?

Setelah bertanya begitu, teman otakuku, Saito, mendekatiku. Begitu Saito melihat nilainya, dia berpaling dan mendekati seorang laki-laki lain, Shindo. Setelah melihat nilai Shindo, ia berkata, Kita memang teman, ya, sambil memeluknya.

Okusu, kamu mendapat nilai bagus lagi, ya?

Shindo bertanya dengan rahang yang penuh lemak. Aku balass mengangguk.

“Aku dapat 97. Sekali lagi, nilai tertinggi.

Shindo menghela napas seolah terkejut. Saito yang malu-malu menyentuh kepalanya yang botak dan tertawa kecil.

Ngomong-ngomong, jika kita jumlahkan nilai kita, totalnya 50. Jadi, berhentilah bertanya siapa dapat nilai berapa.

Namun, segera Niyama-sensei menulis nilai terendah di papan tulis. Nilai terendahnya adalah 25.

““……””

… jangan terlalu dipikirin.

Tes kecil tidak mempengaruhi nilai, jadi kami tidak serius.

Begitu kami melihat Niyama-sensei membersihkan tenggorokannya, kami kembali ke tempat duduk. Saito duduk tepat di belakangku, dan Shindo duduk di belakang Saito.

Jam pelajaran dimulai lagi. Ada evaluasi tentang hasil tes, tetapi intinya adalah agar kami memanfaatkan hasil tes kali ini untuk berusaha lebih baik di ujian tengah semester.

Hei, oi.

Aku membalikkan separuh tubuhku ke belakang saat badanku dicolek. Saito berbicara padaku sambil memegang sepotong kertas kecil.

Ada yang mengirimkan ini. Untukmu juga.

Ketika aku membuka kertas yang dilipat, aku melihat tulisan dengan huruf lucu seperti ini:

── Okusu-kun, bagaimana hasil tesnya? Aku dapat 94.

Di belakang tulisan itu ada gambar wajah yang tampak kecewa. Meskipun namanya tidak tertulis, hanya ada satu orang yang melakukan hal seperti ini. Aku mengambil pulpenku agar guru tidak melihat dan menulis balasan.

── Aku dapat 97. Kita hampir mendapatkan nilai sempurna, ya.

Aku mengembalikannya kepada Saito yang ada di belakangku. Saito langsung menyerahkannya kepada Shindo.

 

◇◇◇◇

 

Setelah pelajaran selesai, orang yang mengirim pesan itu mendekat ke tempat dudukku.

Okusu-kun.

Aku mengangkat wajahku. Di sana ada seorang siswi.

Rambut hitamnya yang panjang hingga bahu terlihat sangat cantik, berayun lembut setiap kali dia sedikit bergerak. Setiap kali aku melihatnya, dia terlihat imut. 

Kali ini aku kalah lagi. Padahal aku hampir melampauimu.” 

Wajahnya sedikit cemberut

Selisih 97 dan 94 itu kan hanya perbedaan kecil. Tidak ada yang aneh jika aku bisa kalah kapan saja.

“Meski kamu bilang begitu, tapi aku belum pernah menang sekalipun.

Itu hanya kebetulan. Sebentar lagi juga aku akan kalah. 

Meskipun berkata begitu, aku sebenarnya merasa berkeringat dingin. 

Perbedaaannya cuma selisih 3 poin. Jika aku mendapatkan nilai sempurna, mungkin akan terasa lebih besar, tetapi perbedaan antara 1 kesalahan dan 2 kesalahan tidak terlalu besar. 

Belakangan ini, nilai Hanasaki juga semakin meningkat, jadi aku juga tidak bisa lengah. Kali ini aku tidak banyak belajar, jadi mungkin aku akan kalah di ujian tengah semester.

“Benarkah? Kamu selalu saja bilang begitu, tapi terus-menerus dapat nilai tertinggi.

Tentu saja itu bohong. Aku belajar dengan sangat keras. Orang yang sedang berbicara denganku sekarang adalah Hanasaki Shiori. Kami berdua menjabat sebagai ketua dan wakil ketua kelas. 

Sementara aku mempertahankan posisi pertama di angkatanku, peringkat Hanasaki selalu berputar-putar di peringkat 2 hingga 5. Sepertinya dia merasa kesal karena belum pernah mengalahkanku, jadi dia selalu bertanya tentang nilaiku

“Sudah kubilang, itu hanya kebetulan, kok. Hanasaki juga pintar, jadi kamu pasti akan segera mengalahkanku.

Hmm~. Kulihat kamu juga memiliki kepercayaan diri kali ini. 

Sebenarnya, itu benar. Bisa berbicara ringan tentang kemungkinan kalah menunjukkan bahwa aku yakin tidak akan kalah. Ujian kecil kali ini memang mendekat, tetapi ujian tengah semester ada total 8 mata pelajaran. Dalam total poin, aku pasti tidak akan kalah. 

Tapi, kapan kamu belajar? Sepertinya kamu tidak banyak belajar saat di sekolah.

“Bukannya aku baru saja mengatakannya? Karena aku tidak banyak belajar, jadi mungkin aku akan kalah.

“Kamu selalu mengatakan seperti itu, iya ‘kan? Tapi kamu tidak pernah kalah sama sekali.

Walaupun aku kelihatan tidak pernah belajar, tetapi sebenarnya aku belajar dengan sangat rajin

Selain belajar dengan tekun di rumah, tapi juga saat perjalanan ke sekolah dan di kelas, aku selalu mengingat apa yang sudah dihafal. Kadang-kadang aku juga diam-diam melihat buku kosakata bahasa Inggris. Belajar tidak hanya terjadi saat aku duduk di depan meja dan menggerakkan pulpen

Ayo kita bertanding di ujian tengah semester kali ini.

Hanasaki menyentuh pipinya dengan jari dan tersenyum nakal. 

“Aku tidak keberatan sih, tapi kita sudah sering melakukannya, kan?

Bukan itu maksudku. Bagaimana jika yang kalah harus menuruti permintaan yang dikatakan oleh yang menang? 

Aku sedikit terkejut. Hanasaki benar-benar berniat untuk mengalahkanku. 

… Maksudnya menuruti pemintaan?

Isinya terserah orang yang memberi perintah." 

Mendengar bahwa seorang laki-laki bisa memberi perintah kepada gadis kedengarannya sangat tidak senonoh, tapi aku tidak punya keberanian untuk memberi perintah seperti itu. Kurasa dia juga sudah memperhitungkan hal itu. 

...Baiklah. Untuk hasilnya, bagaimana kalau kita menentukannya berdasarkan peringkat keseluruhan yang lebih tinggi? 

Tentu saja itulah niatku. Aku pasti akan menang.

Saat itu, bel berbunyi. Pelajaran berikutnya akan dimulai. 

Setelah mengatakan itu, Hanasaki kembali ke tempat duduknya. 

Berencana untuk menang, ya? Baiklah. Aku juga akan berjuang sungguh-sungguh.

 

◇◇◇◇

 

Di waktu istirahat berikutnya. 

“Hee, jadi begitulah yang terjadi. 

Saito begumam dengan nada tidak tertarik. Ia bertanya tentang pertemuan kemarin, jadi aku menceritakan tentang apa yang diminta mengenai Enami-san. 

Saito sedang menyedot jus dari kemasan. Jus jeruk 100%. Sambil mendengar suara sedotan, aku mengangguk. 

“Waktunya bertepatan dengan mendengarkan keluhan Sensei. 

Aku sudah bisa memprediksi dia tidak datang, tapi kamu juga sama-sama lagi apes ya. 

“Mungkin karena aku menjabat jadi ketua kelas.

Saito tertawa aneh mendengar kata-kataku. 

Setelah jam pelajaran kedua. Ruangan kelas dipenuhi suasana mengantuk. Saito di depanku juga menguap sambil berbicara denganku. 

“Tapi seriusan dah, kamu selalu saja dimanfaatkan.

Aku tahu, aku juga menyadari hal itu.

Saat itu, teman sekelas yang lain mendekat dan bertanya tentang tugas untuk pelajaran berikutnya. Setelah aku menjelaskan, dia mengucapkan Terima kasih dan kembali. Sepertinya dia ingin menyelesaikannya dalam waktu singkat. 

Saito menepuk bahuku. 

Itulah yang kumaksud.

...Iya, iya.

“Memang ada bagusnya kalau kamu menjadi orang yang diandalkan, tapi kamu terlalu sering kena apesnya.

Aku juga menyadari hal itu. Aku terlalu mudah setuju. Aku mengalihkan pandangan ke bangku paling belakang. Di sana, tidak ada tanda-tanda keberadaan orang, hanya meja dan kursi yang terlihat sepi. Pemilik bangku itu belum datang ke sekolah. 

Oh, ada apa? Kalian berdua terlihat serius.

Shindo yang baru kembali dari toilet berdiri di depanku. Aku menjelaskan situasinya. Ternyata, Saito dan Shindo memiliki sifat yang mirip. Mereka hanya tertawa dengan nada yang sama. 

“Haha, jadi begitu ya. Dengan status sebagai ketua kelas, kamu diminta untuk membujuknya, ya? 

Shindo duduk di bangku belakang Saito sambil menggoyangkan tubuh besarnya. 

Aku tidak diminta untuk membujuk... tapi bisa jadi itu maksudnya.

“Kamu memang apes sekali, ya.

Karena aku cuma ingin pulang secepatnya, jadi aku menyetujui tanpa banyak berpikir. 

“Sensei juga kelihatannya mengalami kesulitan. Aku akan mencoba berbicara dengannya. 

Semoga berhasil, meskipun sepertinya tidak akan berhasil sih.

Ugh...

Itu benar. Aku juga tidak membayangkan hasil yang baik. 

Enami-san. 

Anak bermasalah di kelas kami. Dia selalu mencolok, tetapi cuma ada sedikit orang yang bisa berbicara dengannya. Semua itu karena sikapnya yang dingin terhadap orang lain. 

Dia terlihat cukup galak dan memiliki aura yang menakutkan. Banyak yang mencoba untuk berbicara dengannya, tetapi hampir tidak ada yang berhasil. Sepertinya dia tidak pernah berpikir untuk bergaul dengan teman sekelas. 

...Atau mungkin mau coba minta bantuan Nishikawa?

Shindo menunjuk ke sisi seberang kelas seolah-olah ia baru terpikirkan sesuatu. 

Di depan pandangan kami, ada seorang gadis yang berbicara dengan suara keras. Dia adalah gadis yang mengenakan seragam dengan cara yang sedikit berantakan dan dandanannya sempurna. Namun, karena sifatnya yang ramah, dia memiliki banyak teman. 

Untuk urusan yang berkaitan dengan Enami, lebih baik serahkan semuanya kepada Nishikawa.

Itulah yang namanya kemampuan bersosialisasi. Aku juga mengaguminya. 

Enami-san biasanya bersikap dingin terhadap sebagian besar teman sekelas, tetapi hanya dengan Nishikawa dia membangun hubungan yang bersahabat. 

Bahkan kami yang otaku kadang-kadang berbicara dengan Nishikawa. Dia tiba-tiba bergabung saat kami asyik membahas topik otaku. Apapun yang kami bicarakan, dia tidak merasa aneh dan dengan rasa ingin tahu mendengarkan dengan baik. 

Oleh karena itu, kami tidak memiliki perasaan buruk terhadap Nishikawa. 

“Aku hanya diminta memberitahunya untuk datang ke wawancara, jadi itu tidak masalah. Kalau ditolak, itu bukan tanggung jawabku, jadi aku sama sekali tidak masalah. 

Seharusnya Shiroyama saja yang membujuk sendiri.

Saito menguap sambil menyesap jus dari karton kertas melalui sedotan. Sepertinya Sensei juga sudah cukup sering membujuknya, jadi ini mungkin adalah langkah terakhir. 

Kalau itu aku, aku pasti akan mengabaikan permintaan Shiroyama. Tapi, karena itu kamu, aku yakin kamu pasti akan berusaha dengan serius.

Yah...

Memang, karena aku tidak ada niatan untuk berhenti sekarang. Mungkin inilah yang membuatku dianggap terlalu serius. 

 

◇◇◇◇

 

Saat jam istirahat makan siang. Sekitar pukul 12:30. Suara pintu yang terbuka terdengar di kelas. 

──Setidaknya, dia berangkat ke sekolah

Semua pandangan di kelas beralih ke bagian belakang kelas. Meskipun suaranya tidak terlalu keras, kehadiran orang itu sangat terasa. 

Ada seorang gadis yang berdiri di sana. Tingginya sedikit di atas rata-rata untuk anak perempuan. Rambutnya yang kecokelatan cukup panjang. Dia adalah Enami-san. 

...

Raut wajahnya masih kelihatan tidak senang seperti biasanya. Tentu saja, tidak ada yang berani menyapanya. 

...Meskipun sudah lewat tengah hari, datang pada waktu ini tidaklah aneh. 

Enami-san yang aku kenal memang selalu seperti ini.

Selama pelajaran, dia datang dan duduk tanpa meminta maaf kepada guru. Ketika dia diajak bicara oleh orang yang tidak dikenal, dia menunjukkan sikap yang sangat menjengkelkan. Jadi, Enami-san terasa terasing di kelas. Kecuali Nishikawa, dia hanya bisa diam-diam mengamati dari jauh.

Enami-san duduk di kursi paling belakang dekat jendela. Karena aku duduk di kursi paling depan di barisan yang sama, jika aku terlalu memperhatikannya, dia mungkin akan menyadarinya.

“Okusu-kun,

Ketika aku mendengar ada suara yang memanggilku,  aku menoleh dan melihat Hanasaki berdiri di sana. Aku bertanya padanya.

Hm, ada apa?

Maaf ya kalau aku tiba-tiba mengganggu. Kamu masih makan, kan?

Aku sedang duduk bersama Saito dan Shindo, menikmati bekal makan siang. Sambil mengobrol dengan mereka, masih ada sedikit nasi yang tersisa di kotak bekalku.

Kalian tidak perlu khawatir tentang kami.

“Kalian boleh bermesraan sepuasnya.

Karena dua orang itu menyela, Hanasaki tersenyum dengan ekspresi canggung.

Ah, aku akan segera selesai.

Aku memasukkan sisa lauk dan nasi ke dalam mulutku dan menelannya bersama teh. Setelah merapikan kotak bekal, aku kembali menghadap Hanasaki.

Maaf. Jadi, ada apa?

Yah, bukan terlalu penting sih. Aku hanya ingin kamu mengembalikan buku yang kupinjamkan beberapa waktu lalu.”

Oh, benar juga. Aku sudah membacanya semua, tapi belum mengembalikannya.

Aku lupa. Aku buru-buru menjelajahi isi tas dan segera menemukan buku yang dimaksud, lalu menyerahkannya kepada Hanasaki. Itu adalah kisah cinta yang mengharukan tentang anak-anak muda yang mengejar mimpi, tinggal di apartemen yang sama tetapi di kamar yang berbeda. Sepertinya baru-baru cerita tersebut diadaptasi menjadi film.

Di bagian akhir, aku tidak menyangka bahwa mereka berdua memiliki hubungan seperti itu."

“Bener banget, aku juga terkejut. Tapi, jika dilihat kembali, sudah ada banyak foreshadowing-nya.

Walaupun panjang, aku senang sudah membacanya. Terima kasih.

Hanasaki dan aku sama-sama menyukai novel, jadi kami sering saling meminjamkan buku.

Maaf. Aku seharusnya bisa menunggu sedikit lebih lama, tapi ada teman lain yang ingin membacanya.

Mungkin aku sudah meminjamnya sekitar dua minggu. Seharusnya aku yang lebih peka.”

Sungguh, Hanasaki memang gadis yang sangat baik. Dia terlihat imut dan sempurna dalam segala hal. Saat aku berpikir begitu, Hanasaki melihat ke kursi paling belakang. Di sana, Enami-san yang baru saja datang ke sekolah, mengedipkan mata dengan tampak mengantuk. Bahkan dari jarak sejauh ini, aura jangan mendekat sangat terasa.

…Enami-san, dia berangkat terlambat lagi hari ini.

Ah, iya, benar.

“Okusu-kun, apa ada sesuatu yang terjadi?

Sepertinya dia bisa menangkap reaksiku. Aku memang sering dianggap mudah terbaca. Setelah menjelaskan situasinya secara singkat kepada Hanasaki, dia menunjukkan simpati,

Oh, begitu ya. Sensei, ia selalu meminta banyak hal kepada Okusu-kun...

Ya, tidak masalah. Itu bukan hal besar. Mungkin aku hanya akan dimarahi dan dicaci maki sedikit.

Apa aku harus ikut bicara juga?

Tidak perlu. Bagaimanapun juga, hasilnya tidak akan berubah.

Ya...

Hanasaki pernah mencoba berbicara dengan Enami-san di masa lalu. Namun, setiap kali, percakapan itu tidak berjalan lancar dan selalu diabaikan dengan cara yang merepotkan.

Maafkan aku...

Jangan terlalu dipikirkan. Karena semua ini salah Enami-san.

Ini adalah perasaan tulusku. Tidak datang ke pertemuan wawancara dan merasa enggan untuk berbicara, semuanya disebabkan oleh sikap dan ketidakseriusan Enami-san.

Saat aku merasa ragu untuk melangkah maju, tiba-tiba Enami-san berdiri dan pergi keluar dari kelas. Jika aku mengejarnya, aku mungkin akan dipandang aneh oleh orang-orang di sekitar.

Yah, mungkin sepulang sekolah saja juga bisa.

Baik Saito dan Shindo terlihat tidak berniat untuk membantu sama sekali. Jika aku berada di posisi mereka, aku juga tidak akan membantu, jadi aku bisa memahami perasaan mereka.

 

◇◇◇◇

 

Sepulang sekolah.

Fyuh, aku menghela napas dan mengangkat tas sekolah ke bahu. Seragam blazerku yang berwarna krem bergesekan dan mengeluarkan suara aneh. Di sore hari, sinar matahari telah berpindah ke sisi yang berlawanan, sehingga seluruh kelas diselimuti bayangan samar. Dengan merapatkan leher karena udara yang dingin, aku menggosokkan kedua tangan dan perlahan berjalan ke bagian belakang kelas.

Di depanku, ada dua siswi yang sedang bercanda dengan akrab.

Mereka duduk di kursi paling belakang dekat jendela.

Salah satunya adalah gadis gyaru berambut pendek yang disemir dengan warna terang. Dia memiliki kepribadian ceria dan berbicara dengan siapa saja tanpa pilih kasih. Saat ini, dia berbicara dengan suara keras, menggunakan gerakan tangan, dan terlihat sangat menikmati percakapan.

Gadis yang satu lagi berambut panjang dan memiliki ekspresi yang jarang berubah, terlihat seperti anak nakal. Berlawanan dengan gadis yang pertama, dia memiliki sifat dingin dan tidak mudah bergaul. Hampir tidak ada orang di kelas kami yang pernah berbicara dengan baik dengannya, sehingga bisa dibilang dia memiliki kepribadian yang sulit.

Keduanya sering menarik perhatian. Sebab, penampilan mereka sangat menarik. Aku pernah mendengar rumor bahwa mereka sudah sering menerima pengakuan cinta.

──Aku tidak ingin mengajak bicara dengannya.

Itulah perasaan jujurku. Hasilnya sudah bisa diprediksi. Toh, aku akan diabaikan dengan dingin. Selain itu, apa yang akan kulakukan sekarang bukanlah pekerjaan ringan atau percakapan untuk menjalin pertemanan.

Meskipun diminta oleh guru, kurasa seharusnya aku tidak perlu sampai sejauh ini...

Pemikiran itu melintas di benakku, tetapi aku tetap tidak ingin mengatakan aku tidak bisa setelah menerima tugas ini. Itu adalah kebanggaan yang telah aku jaga sebagai siswa teladan hingga saat ini. Atau mungkin masalah dengan sifatku sendiri.

Setelah berjalan mendekati mereka, aku berhenti dan menatap kedua gadis itu. Tiba-tiba, gadis gyaru—Nishikawa, menyadari kehadiranku dan berhenti berbicara. Dia kemudian melihat wajahku dan tersenyum.

Oh, Naocchi, ada apa?

Aku memberitahunya bahwa alasanku berbicara dengan mereka karena mempunyai urusan dengan gadis yang satu lagi. Setelah Nishikawa menunjukkan ekspresi bingung, dia mengalihkan pandangannya kepada gadis itu—Enami-san.

Detak jantungku berdentum keras, dan aku bisa mendengar suara degupannya.

Detak jantungku berpacu semakin cepat. Ketika aku berdiri di samping Enami-san, aku merasakan aura yang sangat menakutkan. Ini pasti karena kekuatan kecantikan. Rambut cokelat gelapnya tidak terlihat kering sama sekali dan teratur mengikuti gravitasi. Kulit yang terlihat di bawah rambutnya putih dan transparan. Matanya besar dan bibirnya berwarna merah muda yang indah. Penampilannya sangat sempurna.

Hanya dengan duduk di sana, aku bisa merasakan aura kuat yang sulit dijangkau. Enami-san tampaknya tidak terlalu tertarik padaku, dia melirikku sejenak lalu menyandarkan dagunya dengan tampak tidak senang dan mengalihkan pandangan.

──Seperti yang kuduga.

Aku sudah tahu bahwa Enami-san adalah orang seperti ini. Setelah menjilati bibirku yang kering, aku membuka mulutku.

“Umm, jadi....”

Aku tidak bisa melihat ekspresi Enami-san dengan jelas dari posisiku. Pantulan dari jendela tidak memperjelas ekspresinya. Jadi, aku tidak tahu perasaan apa yang dia rasakan saat ini. Namun, karena aku sudah sampai sejauh ini, aku tidak bisa mundur.

Aku dengar... kamu tidak datang untuk pertemuan wawancara kemarin.

Topik utama keluar dari mulutku. Aku merasa kalau bahu Enami-san terlihat sedikit bergerak.

Aku menarik napas dalam-dalam.

Aku hanya diminta oleh Sensei. Menurutku sebaiknya kamu pergi. Aku juga tidak tahu banyak, tetapi sepertinya Sensei sangat bersemangat untuk pertemuan denganmu. Tidak baik membuang kebaikan yang sudah diberikan.”

Bagaimana ya? Apa dia akan marah?

Namun, Enami-san tidak melihat ke arahku dan tidak memberikan reaksi lebih lanjut. Rasanya seolah-olah aku sedang berbicara pada dinding.

“Sensei juga sudah meluangkan waktu di tengah kesibukannya, jadi jika tidak ada urusan lain, sebaiknya kamu datang tepat waktu.

Tunggu dulu sebentar.

Entah kenapa, Nishikawa lah yang menanggapi perkataanku.

“Memangnya Sensei tidak pernah kepikiran kalau dia punya alasan tertentu, kan?

Kalau begitu, sebaiknya dia menyampaikan saja ssecara langsung alasan itu.

Uhm, ya, mungkin begitu...

Aku tahu. Yang dikhawatirkan Nishikawa adalah suasana hati Enami-san. Mengatakan hal seperti ini kepada Enami-san yang biasanya jutek, tidak ada jaminan dia tidak akan marah.

…Enami-san?

Apa dia benar-benar mengabaikanku? Jika iya, mungkin aku harus menyerah.

Sebenarnya, aku tidak menyukai tipe orang seperti Enami-san.

Memang, penampilannya mungkin cantik. Cara dia mengenakan seragam juga terlihat bagus. Dia selalu terlihat memiliki pendirian, dan mungkin ada orang yang menganggapnya menarik.

Tapi, aku sama sekali tidak berpikir begitu.

Ini hanyalah ekspresi diri. Sebuah tanda kelemahan untuk ingin dikenal oleh orang lain.

Kalau paling lama satu jam, apa kamu begitu sibuk sampai-sampai tidak bisa meluangkan waktu?

Aku tahu ini bukan urusanku, tapi…

Saat itu, aku menyadari bahwa aku mulai merasa jengkel dengannya.

──Aku harus menenangkan diriku.

Perasaan negatifku terhadap Enami-san semakin kuat. Aku menarik napas dalam-dalam. Jika aku memicu pertikaian di sini, tidak ada manfaat bagi diriku.

Aku mungkin sudah berbicara terlalu jauh.”

Aku mencoba berbicara kepada Enami-san yang masih mengalihkan pandangannya.

Aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan, dan ada hal-hal yang tidak bisa disampaikan tanpa berbicara.

Aku menghela napas.

“Cuma itu saja yang ingin aku katakan.

Suasana tegang itu juga menyentuhku. Aku merasa sedikit bersalah telah mengganggu percakapan mereka berdua. Pada saat itu, Enami-san akhirnya menatapku. Tatapannya terlihat sangat dingin. Aku bahkan meragukan apakah aku terlihat sebagai manusia di matanya.

Hmph.

Akhirnya, suaranya terdengar, rendah dan tidak kalah dingin. Gerakan bibirnya sesuai dengan suara itu, jadi aku bisa memastikan itu adalah suara Enami-san.

…Apa itu saja yang ingin kamu katakan?

Ri-Risa-chan, tenanglah dulu

Nishikawa mendingan diam saja.

Kursi belakangnya mengeluarkan suara berderit. Dia memutar-mutar poni rambutnya dan mengetuk meja dengan jari tangan kirinya. Dia marah. Jelas sekali dia marah.

Meskipun ekspresinya tidak berbeda dari biasanya, seluruh tubuhnya seolah memancarkan kemarahan. Aku mulai mengerti mengapa Enami-san ditakuti. Dengan wajahnya yang sudah cantik, aura yang dia miliki sangat mengintimidasi.

Aku tidak berniat meminta maaf, tetapi mungkin lebih baik jika aku menurunkan nada.

“Sudah kubilang, aku memang sudah berbicara terlalu jauh. Tapi, aku hanya diminta oleh guru. Aku—

Aku?

Nishikawa tidak bisa ikut menyela setelah disuruh diam. Aku hanya bisa menerima kemarahan ini.

Apakah aku pernah berbicara denganmu sebelumnya?

Aku menggelengkan kepalaku.

Sepertinya tidak.

Kenapa aku harus mendengar hal seperti itu dari orang yang tidak aku kenal?

Ya, memang benar. Tapi kita kan teman sekelas.

Kita hanya berada di kelas yang sama. Bukannya kamu cuma salah paham?

Oh, ya. Sepertinya memang bukan urusanku untuk berbicara seperti ini.

Sebenarnya, ini sangat merepotkan. Seharusnya aku bisa menyelesaikannya dengan lebih santai. Jika aku hanya bilang, Datanglah untuk pertemuan wawancara, mungkin aku tidak akan mengalami semua ini.

Apakah kamu bercanda?

Tidak, sama sekali. Aku tidak menyangka kamu akan semarah ini.

Kamu sengaja memancingku?

Aku hanya kurang mempertimbangkan saja, jadi wajar jika kamu marah, ya.

Aku tidak bermaksud merendahkan. Aku hanya ingin menyampaikan hal yang benar. Namun, kemarahan Enami-san tidak menunjukkan tanda-tanda mereda.

Karena diminta oleh guru, aku terlalu terbawa suasana. Inilah sebabnya mengapa beberapa orang menganggapku terlalu serius. Bahkan sekarang, ada yang melihatku dan tersenyum sinis.

Aku berusaha untuk tidak peduli padanya dan sekali lagi meminta maaf.

──Semoga ini cepat berakhir.

Namun, Enami-san tiba-tiba berdiri. Dia mencoba mendekatiku melewati Nishikawa. Mungkin Nishikawa merasa situasinya tidak baik, jadi dia segera berdiri di antara kami.

Aku melihat sekeliling kelas sekali lagi. Masih ada beberapa orang yang tersisa. Kebanyakan dari mereka yang memiliki kegiatan ekstrakurikuler sudah keluar, tetapi setengah dari yang tidak memiliki kegiatan masih memperhatikan kami.

“Baik Risa-chan dan Naocchi, ayo datang ke sini.

Nishikawa menarik lengan kami. Sepertinya dia merasa melanjutkan pertikaian di depan orang lain merupakan hal yang tidak baik. Aku mengucapkan terima kasih pada Nishikawa dan mengikutinya.

 

◇◇◇◇

 

Aku dibawa oleh Nishikawa ke sebuah area di atas tangga. Gedung ini memiliki empat setengah lantai, dan di atasnya hanya ada atap. Di area tersebut, ada meja dan kursi yang ditumpuk secara acak. Aku berpikir, jika terjadi gempa, ini bisa berbahaya.

Di tempat dingin ini, aku, Enami-san, dan Nishikawa berdiri saling berhadapan. Nishikawa berdiri di antara kami, siap untuk menghentikan jika diperlukan.

Sekarang aku berpikir, ini merupakan situasi yang luar biasa. Enami-san memang terlihat menawan, tetapi Nishikawa juga tidak kalah mempesonanya. Meskipun aura yang dimiliki tidak sekuat Enami-san, dia jelas merupakan gadis yang cukup populer.

Rambutnya yang sedikit bergelombang di bagian ujung. Wajahnya yang dirias dengan sempurna, seolah-olah guru akan memperingatkannya. Dia terlihat jauh lebih dewasa daripada siswa SMA biasa. Jika bukan karena seragamnya, dia bisa saja dianggap sebagai ibu muda.

Aku pernah berbicara dengan Nishikawa sebelumnya, tetapi kami tidak begitu akrab. Aku hanya terjebak dalam lingkaran pertemanan luasnya.

Bagi sebagian orang, situasi ini mungkin mengundang rasa cemburu… Namun, sayangnya, ini bukanlah situasi yang menggoda. Situasi ini mirip seperti ular yang sedang mengintimidasi katak.

Nishikawa berkata sembari menghela napas.

Ampun deh.

Nada suaranya tidak ceria seperti biasanya. Dia tampaknya sedikit memperhatikan sekitar dan menahan volume suaranya.

Sementara itu, perilaku Enami-san tidak menunjukkan perubahan.

Cih.

Dia mendengus, seolah-olah itu adalah hal yang biasa baginya. Ngeri

Risa-chan, kamu tidak perlu marah-marah seperti itu…

Terserah, tidak masalah.

Nishikawa mengalihkan wajahnya ke arahku.

Naocchi juga begitu.

…Aku?

Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku dengan nada suaranya yang seolah mengatakan kami berdua sama-sama bersalah. Saat aku melangkah maju, seragamku tersangkut di kursi dan terjatuh ke lantai. Aku mengambilnya dan menumpuknya kembali di atas meja.

Ada banyak debu.

Enami-san menggerutu dengan nada tidak senang.

Karena atap biasanya terkunci, hampir tidak ada orang yang datang ke tempat seperti ini. Setelah kami bertiga mengusir debu di udara, Nishikawa mulai berbicara.

Maaf ya. Ini satu-satunya tempat yang kuketahui yang jarang dikunjungi orang.

Sekolah kami tidak memiliki area yang luas. Oleh karena itu, tidak banyak ruang kosong yang bisa digunakan dalam jarak dekat. Tempat ini pun, aku ragu apakah benar-benar tidak ada orang yang datang.

Aku memeriksa situasi di bagian belakangku. Seseorang yang penasaran mungkin saja mengikuti kami, tapi melihat Enami-san yang marah, rasanya sulit untuk melakukan itu. Tidak ada tanda-tanda kehadiran orang lain.

Suasananya cukup tenang. Cahaya samar masuk dari jendela yang dipasang di tempat tinggi. Di tempat seperti ini, tidak ada pemanas, jadi jujur saja, rasanya lumayan dingin.

Enami-san dan Nishikawa juga menyembunyikan tangan mereka di dalam lengan cardigan. Aku melipat tangan di depan dada.

…Apa maksudnya dengan 'aku juga'?

Eh?

Nishikawa menempelkan jari telunjuknya ke pelipis dan mengerutkan kening. Hmm~”

Naocchi, bukannya tadi kamu cukup marah juga, kan?

Aku merenungkannya kembali. Apa aku mengatakan hal yang terlalu emosional? Meskipun pernyataan yang membuat Enami-san marah mungkin berbeda, setelah Enami-san marah, aku merasa sudah merespons dengan tenang.

Saat aku mengungkapkan pikiranku, wajah Nishikawa berubah menjadi ekspresi curiga.

“Dari sudut pandangku, tanggapanmu tidak terlihat seperti itu.

Eh, bohong…

Aku tidak menyangka kamu akan semarah itu’ atau aku hanya kurang perhatian’.

"…Mungkin benar.

Mendengar kata-kataku diulang oleh orang lain, aku akhirnya memahaminya. Terutama yang pertama, bisa terdengar seperti Marah untuk hal sepele seperti ini….

Risa-chan, seharusnya kamu juga jangan marah-marah terus. Lagipula, Naocchi juga tidak bermaksud jahat.

Tidak ada niat jahat?

“Pada dasarnya, ia memikirkan hal itu demi kebaikan Risa-chan, tau?

Enami-san memelototiku. Dia pasti tidak percaya pada kata-kata Nishikawa.

Pokoknya!

Nishikawa menggenggam lengan kami berdua.

“Dengan begini semuanya sudah beres! Oke?

Ya… itu baik-baik saja.

Meskipun ada beberapa hal yang tidak memuaskan, lebih baik tidak melawan demi Nishikawa. Jika percakapan ini berlarut-larut, aku mungkin tanpa sadar akan membuat Enami-san semakin marah. Selain itu, semakin lama aku di sini, semakin sedikit waktu yang aku miliki untuk melakukan hal yang ingin aku lakukan.

Risa-chan, kamu setuju, kan?

……

Namun, Enami-san tidak menjawab. Dia bukan tipe yang menyembunyikan kemarahannya. Meskipun Nishikawa sudah mencoba menasihatinya, jika dia tidak merasa puas, sepertinya dia tidak akan menurut.

Setelah beberapa saat hening, Enami-san membuka mulutnya.

Kamu, ya…

Suara itu ditujukan padaku.

Apa kamu benar-benar tidak memiliki niat jahat?

Aku terdiam.

Sebenarnya, aku tidak perlu khawatir tentang pertanyaan seperti ini. Bagaimanapun, tidak ada yang bisa mengetahui isi hati orang lain.

Ya.

“Hee

Mata Enami-san tidak menunjukkan senyuman. Sepertinya matahari mulai condong, cahaya yang masuk dari jendela semakin redup. Debu yang melayang di udara menjadi sulit terlihat. Wajah Enami-san juga mulai tertutup bayangan.

Orang ini… mengapa dia melihat orang dengan cara seperti ini?

Di matanya, tidak ada tanda-tanda emosi yang cerah. Hanya ada cahaya gelap dan dingin yang berkelap-kelip. Aku lebih terfokus pada itu daripada pada wajahnya yang cantik.

Aku mengenal jenis tatapan seperti ini. Dan setiap kali aku merasakannya, rasa frustrasi muncul dari dalam diriku.

“Mana mungkin aku memiliki niat jahat.

……

“Persis yang dikatakan Enami-san, kita berdua bahkan jarang berbicara. Sama seperti Enami-san yang tidak memikirkan apa pun tentangku, aku juga tidak memiliki pendapat tentang Enami-san. Aku diminta oleh guru, dan pergi ke pertemuan akan lebih baik untuk Enami-san, aku hanya sedikit mengganggu sebagai ketua kelas.

Aku sadar bahwa kepribadianku saat ini membuat Enami-san merasa terganggu. Aku juga mengerti bahwa kata-kata indah atau argumen yang kaku tidak ada gunanya. Jika aku melakukannya secara sadar, mungkin ada sedikit niat jahat yang terlihat.

Namun, aku tidak merasa perlu membawa pembicaraan yang hampir selesai ini ke arah yang tidak menyenangkan.

Karena Nishikawa sudah berusaha mendamaikan, meski ada yang tidak menyenangkan dari sikapku, bisakah kita melupakan hal ini?

Kali ini, aku seharusnya bisa mengendalikan emosi dan merespons dengan tenang. Karena aku berbicara sambil memeriksa kata-kataku sendiri, seharusnya tidak ada salah paham.

Aku yang salah. Oke, sudah selesai, kan?

Kekhawatiranku muncul karena tampaknya suasana hati Enami-san semakin memburuk. Tatapannya semakin tajam, dan dia semakin cepat mengetuk-ngetuk ujung lengan yang dilipat.

Melihat Nishikawa, sepertinya dia tidak merasakan ketidaknyamanan dengan kata-kataku.

Lalu, mengapa kemarahan Enami-san tidak kunjung mereda?

Aku merasa tidak enak jika terus berbicara dan memperburuk situasi. Yang bisa kulakukan hanyalah menunggu reaksi Enami-san.

Entah sudah berapa lama berlalu. Akhirnya, Enami-san berkata.

Apa-apaan dengan tatapanmu itu?

── Itu terjadi secara tiba-tiba.

Aku berkedip beberapa kali. Aku tidak menyangka akan mendapatkan komentar seperti itu. Sembari menahan kata-kata yang ingin kukatakan, aku menjawab dengan nada bingung, “Hah?

Tatapan? Masalah dengan tatapanku? Sepertinya aku tidak bisa mengontrol sampai sejauh itu. Meskipun aku ingin membalas, aku memilih untuk diam karena bisa jadi itu akan memicu masalah lebih lanjut.

Tatapan Enami-san semakin menyempit.

Menjengkelkan… Kenapa aku harus dilihat dengan tatapan seperti itu?

Aku tidak mengerti."

Kamu tidak perlu berbicara. Toh, sudah jelas kamu akan berbohong dengan mengatakan tidak ada apa-apa.

Ini tidak berbeda dengan seorang preman mencari masalah di jalanan. Di depan Nishikawa, aku tidak bisa terprovokasi oleh tantangan ini.

Pembicaraan ini seharusnya sudah selesai. Aku tidak berniat bertengkar lebih jauh dengan Enami-san.

Namun, Enami-san tidak menunjukkan tanda-tanda untuk mundur. Semakin lama, aku semakin menyadari bahwa ini bukanlah akting. Enami-san jelas-jelas marah. Meskipun aku merasa melihatnya dengan tatapan biasa, tampaknya dia tidak merasakannya seperti itu.

Nishikawa mencoba menenangkan Enami-san dengan berkata, Sudah, sudah, tetapi itu tidak terlalu efektif.

Enami-san yang memasukkan tangannya ke dalam saku seragam sudah tidak mendengarkan kata-kata Nishikawa.

Menjengkelkan. Emosi yang muncul dari dalam diriku semakin kuat seiring dengan kemarahan Enami-san. Mungkin, di balik kemarahan ini ada sesuatu yang mengganggu Enami-san. Namun, meskipun aku bisa menahan kata-kata, aku tidak bisa menahan emosi itu sendiri.

Risa-chan, apa yang tidak kamu suka dari tatapan Naocchi?

…Nishikawa tidak merasa apa-apa?

Ya.

Sebenarnya, Enami-san juga menatap dengan tajam. Tidak ada alasan bagiku untuk hanya disalahkan.

Setelah beberapa saat, Enami-san berkata dengan nada yang jelas.

Tatapan itu, mata itu…

Tatapan kami bertemu. Tentu saja, perasaan buruk terhadapku yang membuatnya terlihat seperti itu.

Kenapa kamu melihatku dengan tatapan yang penuh belas kasihan?

Begitu kalimat tersebut diucapkan, pikiranku berhenti sejenak.

Eh?

Belas kasihan? Aku? Seharusnya tidak ada perasaan seperti itu dalam diriku. Kemarahan dan belas kasihan adalah dua emosi yang sangat berbeda, bukan?

Nishikawa juga terkejut. Itu adalah bukti bahwa dari sudut pandang orang ketiga, pandangan mataku tidak terlihat seperti itu.

Tatapan Enami-san tidak berubah. Sorot matanya masih menyimpan cahaya yang gelap dan dingin.

“Aku tidak peduli kalau kamu seorang siswa teladan atau sejenisnya, tapi tidak ada alasan untuk melihatku seperti itu. Aku belum pernah berbicara denganmu, dan kita tidak tahu apa-apa tentang satu sama lain, jadi tidak ada alasan untuk melihatku seperti orang yang malang. Apa kamu merasa lebih unggul? Apa rasanya menyenangkan melihat orang yang berbeda dari dirimu? Di dalam hatimu, kamu hidup dengan merendahkan orang lain seperti itu.

Eh, tunggu!

Nishikawa tampak bingung karena situasi di antara kami kembali memanas.

Seharusnya, aku juga harus berbicara untuk meredakan konflik seperti Nishikawa.

Tapi…

Aku tetap diam dan berpikir.

Tapi, kenapa aku harus mendengar kata-kata seperti itu?

Aku menunggu Enami-san selesai berbicara.

Sudah pasti kamu memiliki harga diri yang tinggi. Kamu mendengarkan apa yang dikatakan guru atau orang tua tanpa ragu, menjalani kehidupan tanpa kesulitan. Kamu berpikir bahwa normamu merupakan norma dunia. Kami juga merendahkan orang-orang seperti kamu. Bukan hanya aku, orang-orang yang melihat sifat aslimu juga merendahkanmu dengan cara yang sama, bukan?

Naocchi bukan orang seperti itu! Dia bersikap ramah kepada semua orang dan tidak pernah menyombongkan diri karena bisa belajar!

Entahlah…

Sepertinya dia benar-benar tidak suka padaku. Tatapannya seolah ingin menembusku.

──Merendahkan, ya.

Sungguh, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku tidak memiliki hak untuk merendahkan siapa pun. Jika aku memiliki perasaan belas kasihan terhadap Enami-san, itu pasti karena alasan yang berbeda.

Risa-chan. Nanti aku akan mendengarkan, jadi ayo pulang sekarang. Jika terus begini, pembicaraan ini takkan pernah selesai.

Nishikawa boleh pulang duluan.

“Mana mungkin aku bisa begitu…

Nishikawa melirik ke arahku. Sepertinya dia khawatir apakah aku marah atau tidak. Tapi aku tidak marah dengan apa yang dikatakannya.

Tidak ada alasan untuk terganggu oleh kata-kata seperti itu sekarang. Jika aku tahu itu hanya omong kosong, aku bisa mengabaikannya dengan ya, ya. Jika ada yang bisa kukatakan, itu hanya memperkuat perasaanku yang tidak suka terhadap tindakan Enami-san.

Kenapa tidak ngomong sesuatu? Apa kamu akan berbohong lagi seperti sebelumnya? Atau akan menunjukkan sifat aslimu? Kamu yang berpura-pura baik itu menjijikkan. Apa yang kamu katakan sebelumnya juga pasti tidak tulus. Saat itu, kamu melihatku dengan tatapan penuh belas kasihan.

……

Aku bingung harus menjawab apa.

“Ucapanku tepat sasaran ya? Makanya dari tadi kamu diam saja?

…Perasaan diriku sekarang, seperti apa ya? Aku tidak bisa mengaturnya dengan baik.

Belas kasihan, belas kasihan, ya. Apa aku benar-benar merasa kasihan pada orang ini? Kemarahan dan belas kasihan yang kurasakan mungkin saling terkait, dan mungkin itu telah tersampaikan kepada Enami-san.

Saat aku melihat ke atas, langit-langit kotor yang lebih tinggi dari kelas masuk ke dalam pandanganku.

Aku sudah mengerti alasan mengapa aku merasakan kemarahan di mata Enami-san.

──Kebencian terhadap sesama.

Sebuah kenangan masa lalu tiba-tiba melintas di benakku. Seketika, rasa sakit menjalar di kepalaku.

Aku memiliki banyak hal yang ingin kukatakan. Seharusnya tidak ada alasan bagiku untuk dihina oleh Enami-san yang hampir tidak ada hubungannya denganku. Aku bahkan ingin membalas kata-kata Enami-san di kelas.

Namun, bukan berarti aku perlu serius dengan pembelaan seperti ini. Aku bisa menghindar dengan alasan yang masuk akal. Nishikawa ada di sini. Dia pasti akan mendukung kata-kata yang bisa meredakan pertikaian.

──Mari kita lakukan itu.

Tapi, bertentangan dengan pemikiran itu, mulutku tidak berusaha untuk mengeluarkan alasan yang tepat.

……

Kenapa ini terjadi?

Tidak ada gunanya terus berhubungan dengan Enami-san. Jika terus menerus dihina seperti ini, itu akan sangat menjengkelkan. Meskipun Enami-san adalah wanita yang sangat cantik, aku tetap tidak suka padanya.

──Tidak bisa.

Meskipun aku berusaha tenang, pikiranku menjadi kosong.

Di balik perasaan harus bersabar, aku sebenarnya sudah menyerah di dalam hati.

Aku sendiri merasa tidak bisa menghentikan diriku. Dengan mengerahkan tenaga di tenggorokan, aku berusaha keras untuk bertahan, tetapi itu pun pecah, dan kata-kata itu akhirnya sampai ke mulutku.

Aku berkata.

──Jangan bercanda.

Suara yang keluar ternyata lebih rendah dari yang aku duga.

Nishikawa dan Enami-san terkejut dengan perubahan sikapku.

“Memangnya kamu akan terus hidup dengan mengandalkan kebaikan orang lain seperti itu?

Aku tidak memiliki hak untuk berbicara seperti ini. Tentu saja, aku juga tidak memiliki kewajiban. Ini hanya kata-kata egois yang terucap karena aku terbawa oleh emosiku.

“Ka-Kamu kenapa? Naocchi…

Suara kebingungan Nishikawa menghapus kabut putih yang menyelimuti pikiranku. Aku merasa ini tidak baik. Namun, aku terus berbicara karena dorongan untuk mengungkapkan apa yang harus kukatakan.

“Mungkin itu baik-baik saja untuk saat ini. Meskipun seseorang menyusahkan orang lain, ketidakpuasan di dalam hati bisa menjadi semacam pembenaran, sehingga rasanya tidak ada masalah. Mungkin kamu tidak suka bertindak sesuai keinginan orang lain, jadi kamu ingin sedikit melawan. Meskipun perlawanan itu tidak menghasilkan apa-apa, rasanya ada makna di dalamnya.

Aku sudah tidak bisa menghentikan diriku sendiri.

Sungguh bodoh. Apa gunanya menyampaikan hal seperti ini di tempat seperti ini? Lihatlah wajah Nishikawa. Dia terlihat bingung. Meskipun suara-suara dalam hatiku berlarian di dalam dadaku, api yang mendidih di dalam diriku tidak padam.

Enami-san, aku tidak tahu apa yang kamu keluhkan. Aku juga tidak ingin mengetahuinya. Aku yakin kamu juga sudah mengalami banyak hal. Tapi, sampai kapan kamu akan terus melakukan hal seperti itu? Kamu tidak serius datang ke sekolah, tidak mendengarkan pelajaran dengan serius, mengabaikan orang yang mencoba berbicara padamu dengan ekspresi jengkel, dan meskipun begitu, kamu merasa baik-baik saja karena orang-orang di sekitarmu tidak mengabaikanmu.”

Menanggapi pernyataan emosional ini, Enami-san tetap diam. Aku terus berbicara tanpa mempedulikan reaksinya.

“Pasti enak iya, ‘kan? Kamu pasti tidak bisa berhenti iya, ‘kan? Dengan terus bersikap buruk dan menunjukkan keberadaanmu, pasti ada seseorang yang memperhatikan. Ada orang yang seperti Nishikawa, yang setiap kali mencoba berbicara dan menghibur hatimu. Ada juga orang seperti Sensei, yang sabar dan mau repot-repot mengurusmu. Semua orang khawatir padamu.

Seolah-olah suara di sekelilingku menghilang, hanya suaraku sendiri yang jelas terdengar. Pandanganku menyempit. Tidak ada yang benar tentang klaim bahwa penglihatan manusia memiliki sudut 120 derajat. Saat ini, aku hanya bisa melihat Enami-san di depanku.

Singkatnya, ini cuma pelampiasan amarah. Aku hanya mengeluarkan unek-unek yang tidak pernah bisa kusampaikan kepada diriku yang dulu, kepada orang yang tepat.

Orang yang benar-benar peduli padamu. Orang yang benar-benar khawatir tentangmu. Jika kamu mengabaikan orang-orang seperti itu hanya karena ketidakpuasanmu, suatu saat kamu pasti──

Bibirku terasa kering. Sesuatu yang besar terjebak di tenggorokanku perlahan-lahan mengalir keluar.

Suatu saat, kamu pasti akan menyesal──

Begitu aku mengucapkannya, rasa yang terpendam di dalam dadaku terasa memudar, dan kabut putih yang menguasai pikiranku seolah menghilang.

Enami-san dan Nishikawa tampak terdiam seolah waktu berhenti. Aku kembali sadar.

──Aku benar-benar keceplosan.

Aku merasakan darah mengalir dari wajahku. Apa yang sudah kulakukan, mengapa aku berapi-api dan merasa berhak untuk memberikan ceramah?

Seharusnya aku tidak emosional tentang hal ini, seharusnya aku bisa menjawab dengan tenang dan segera pergi. Dan seharusnya, aku melupakan apa yang terjadi hari ini dan kembali ke hari-hari di mana kami tidak saling berhubungan.

Namun.

Aku melihat ke arah Enami-san sambil bercucuran keringat. Aku tidak tahu emosi apa yang ada di wajahnya. Hanya saja, dia menatapku dengan ekspresi heran seolah-olah melihat makhluk baru.

Ini gawat.

Akhirnya, orang yang memecahkan suasana beku adalah Nishikawa yang tampak bingung.

“Y-Yah, mengenai hal itu, Risa-chan juga mengalami banyak hal.

Iya, ‘kan? Dia mencoba mengonformasi kepada Enami-san, tetapi Enami-san tidak menjawab. Dia menutup mulutnya, bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda ingin berbicara.

Aku merasa tidak nyaman dan berkata, Maaf.

──Apa?

Tapi, mengapa suasananya terasa… berbeda dari sebelumnya?

Aneh sekali. Aku merasa telah mengucapkan kata-kata yang jauh lebih menyakitkan dari sebelumnya. Namun, Enami-san tampaknya menarik kembali kemarahan yang tadi terlihat di wajahnya.

Ekspresi itu, emosi apa yang mendasarinya?

Mungkin dia terlalu marah sehingga tidak bisa mengekspresikannya. Atau mungkin, pernyataanku terlalu merepotkan sehingga dia kehilangan minat untuk menanggapi.

Aku tidak tahu. Aku tidak mengerti apa-apa.

Satu-satunya hal yang pasti adalah, aku telah melakukan kesalahan fatal.

──Sejak hari ini, kehidupanku akan berubah drastis.

 

◇◇◇◇

 

──Ada apa, wajahmu kelihatan aneh sekali.

Aku ditanyai hal seperti itu setelah pulang ke rumah dan sedang makan malam. Sepertinya aku mengeluarkan banyak desahan. Tumben-tumbennya Sayaka tampak khawatir sambil mengaduk omeletnya.

“Bukan apa-apa.

Ha? Apa maksudnya? Jelas banget kamu terlihat ingin diperhatikan.

“Masa?

Karena ayahku menghubungi untuk memberitahu bahwa ia akan terlambat karena lembur, jadi cuma ada Sayaka dan aku di sini. Jika ayah ada, dia pasti akan bertanya dengan sangat mendetail.

Aku mengulurkan sumpitku untuk memakan telur dadar, yang bahkan setengahnya belum kumakan.

Apa kamu pikir aku benar-benar orang yang menyebalkan? Sebenarnya bagaimana?

…Tiba-tiba ada apa sampai tanya begitu?

Ah, bukan apa-apa, aku hanya kepikiran saja. Tidak ada yang khusus terjadi.

“Gampang sekali terbaca

Sayaka meletakkan sumpitnya. Setelah meminum secangkir teh, dia berkata.

Menyebalkan.

Ya, kan?

Aku sudah bersiap mengenai hal itu, tapi saat mendengarnya langsung, aku masih tetap merasa syok. Karena aku selalu memberi ceramah kepada Sayaka, mungkin dia menganggapku seperti itu.

Tentu saja, aku bukanlah orang yang tidak peka sampai harus memberi ceramah kepada teman sekelas. Meskipun orang lain tidak mengerjakan PR atau terlambat, aku bisa tertawa dan mengabaikannya. Hanya karena dia keluargaku, aku jadi cerewet pada Sayaka.

──Hari ini jelas ada yang tidak beres dengan diriku.

Aku mengingat kegagalan hari ini. Kenapa aku bisa mengucapkan hal seperti itu kepada Enami-san? Rasa takut telah membuatnya marah lebih besar daripada rasa benci pada diriku sendiri karena berbicara sembarangan.

Karena Enami-san terlalu mengganggu, ada sisi diriku yang tidak bisa tahan dengan sikapnya. Dia mengeluarkan kata-kata kasar saat aku hanya diam. Aku juga salah, tapi aku berpikir Enami-san jauh lebih bermasalah.

Saat aku terus makan dengan diam, Sayaka menyela.

Dengar, karena ini mengenai Aniki, aku tahu kamu pasti memperhatikan hal-hal kecil, tapi tidak ada salahnya, kan? Orang yang membencimu akan tetap membencimu. Tidak ada orang yang bisa disukai semua orang, itu semua hanya mitos.

Jadi, kamu mencoba menghiburku…

Ya, aku sudah mengerti sebagian besar situasinya.

Seperti diharapkan dari adik perempuanku.

Kamu pasti akan capek sendiri kalau kamu terus memusingkan semua itu. Meskipun kamu mendapat nilai ujian jelek atau mengalami kegagalan dalam hubungan, kamu tidak perlu terlalu memikirkannya.

“Aku ingin kamu sedikit memperhatikan tentang nilai ujianmu

Kalau nilainya jelek, aku akan baru mengkhawatirkannya.

Meski tidak jelek

Setelah mengatakannya sejauh itu, aku menyadari kalau aku hampir memberi ceramah lagi. Ini sudah menjadi kebiasaan.

Sayaka tertawa dengan ekspresi terkejut.

…Ini sudah tidak bisa diubah. Mustahil, mustahil.

Aku tidak bisa membalasnya.

Ini serius. Setidaknya, setelah hari ini, Enami-san dan Nishikawa pasti merasa menjauh dariku.

Mungkin Enami-san tidak membalas juga karena merasa, Aku tidak ingin terlibat dengan orang yang seperti ini. Ekspresinya mungkin sudah melewati batas kejengkelan dan menjadi emosi yang tidak jelas.

Aku berperilaku seperti murid teladan yang diberi tugas oleh guru dan malah mengacaukan segalanya. Namun, aku tidak berpikir bahwa karena diminta oleh guru, itu memberiku alasan untuk berbuat demikian.

Meskipun aku memikirkan hal tersebut dalam hati, tidak ada cara untuk menyampaikannya kepada orang lain…

Aku akan memberitahumu, Aniki.

Sayaka tersenyum lebar dan mengarahkan sendok ke arahku.

Ini, mungkin sifat turunan.

Eh? Sifat turunan?

Ya.

Aku tidak pernah memikirkan hal seperti itu. Tapi sepertinya ibu bukan orang yang banyak memberi ceramah.

Kemudian, Sayaka mengatakan sesuatu yang tidak terduga.

Coba pikirkan tentang sifat ayah kita.

…Ayah kita yang ceroboh dan sepertinya tidak memikirkan apa-apa itu?

Ya.

Aku tidak pernah menyangka itu.

Ah.

Pada saat itu, aku baru menyadarinya. Akhirnya aku mengerti maksud Sayaka.

Ayah kami adalah orang yang teliti. Kari harus manis, dan ia sering sekali pilih-pilih. Ia juga kadang terlalu ikut campur, sering kali bertanya dengan sangat mendetail.

Walaupun arahannya memang berbeda, tapi mungkin ada kesamaan di beberapa tempat. 

…Aku tidak menyukainya.

Tapi, kenyataannya begitu, ‘kan? 

Aku tidak ingin menerimanya, tapi aku juga tidak suka pada diriku yang mungkin bisa menerimanya.

Aku jadi merasa ingin mengubah sifat ini. Apa aku mirip dengan ayahku yang terlalu serius…?

Aku sendiri bisa memahami bahwa itu mengganggu. 

Kalau Sayaka, apa kamu mewarisi sifat cerobohnya itu…? Memikirkan bahwa ini juga sifat turunan dan tidak bisa diubah rasa-rasanya jadi berat.

“Hah? Mana mungkin aku mirip dengannya!

Dari sudut pandangku, kamu sama saja.

“Mana mungkin lah! Aku sudah memikirkan banyak hal. Aku hanya tidak menghabiskan tenaga untuk hal yang tidak ada artinya.

“Bukannya itu terbalik.

"Diam!

Sebenarnya, hal yang paling diupayakan Sayaka adalah permainan. Selain itu, dia berusaha menyelesaikan segala sesuatunya dengan usaha seminimal mungkin

Seolah-olah percakapan lebih lanjut sia-sia, Sayaka menyuapkan telur dadar ke dalam mulutnya. 

“Lagipula, orang yang salah dalam menempatkan perhatian adalah aniki sendiri, kan?

Itu…

Terima kasih untuk makanannya.

Sayaka berdiri sembari masih meninggalkan saus yang menempel di sudut mulutnya. Saat aku menunjukkannya, wajahnya sedikit memerah dan dia mengusap mulutnya. Lalu, dia kembali ke lantai dua di mana kamarnya berada. 

“Hah…

Aku menghela napas sekali lagi. Aku bertanya-tanya sudah berapa kali aku menghela napas panjanghari ini? 

Memang, mungkin ini bukan hal yang bisa aku tunjukkan. Aku tidak selalu menjadi siswa teladan sejak dulu. Ada kalanya aku sangat salah dalam menempatkan perhatian. 

──Hari ini aku terlalu sering mengingatnya

Masa lalu diriku. Diriku yang tidak berdaya di masa lalu. 

Sebenarnya, akulah yang paling memahami bahwa aku bukan orang yang seharusnya memberi ceramah pada orang lain. 

…Aku yang dulunya anak berandalan, seharusnya menyadari betul kalau aku tidak seharusnya mengeluh dan menyamakan diriku yang dulu dengan Enami-san.

 

◇◇◇◇

 

Pada hari senin di minggu berikutnya. Langkah kakiku terasa sedikit berat. 

Aku tidak tahu apakah Enami-san akan berangkat ke sekolah, tapi aku pasti akan bertemu Nishikawa. Jumat lalu, aku telah melakukan sesuatu yang sangat tidak menyenangkan. Seharusnya, aku juga harus berbicara dengan Nishikawa untuk menghindari konflik. 

Jadi, ketika aku membuka pintu kelas dan melihat Nishikawa tidak ada di dalam sana, aku merasa sedikit lega. Waktunya masih terlalu pagi, mungkin latihan paginya belum selesai. Kalau kuingat-ingat dengan benar, dia tergabung dalam klub tenis. 

Aku mendekati kursiku dan menyadari. 

──Huh? 

Ada rasa ketidaknyamanan yang kuat. Sepertinya aku melewatkan sesuatu… 

──Apa ini hanya imajinasiku saja

Tidak ada perubahan khusus di kursiku. Namun, apa-apaan dengan perasaan ketidaknyamanan ini?

Aku melihat sekelilingku. Pemandangan yang biasa. Sinar matahari masuk melalui jendela, dan tirai renda bergetar lembut. Siswa-siswa yang datang lebih pagi seperti diriku sedang menyelesaikan PR, mengobrol dengan teman, atau terlihat cemberut sambil menyandarkan dagu di telapak tangannya── 

Eh?

Pada saat itulah aku akhirnya menyadari apa yang menyebabkan perasaan janggalku

Enami-san ada di sini. 

Pelanggar absen dan terlambat yang sudah jadi kebiasaannya. Gadis paling cantik di kelas. Perempuan jutek yang tidak menghiraukan siapa pun. 

Dia duduk dengan tenang di kelas sebelum pelajaran dimulai.  Sembari diterangi sinar matahai pagi, dia menyipitkan matanya seolah-olah merasa silau, mengalihkan pandangannya ke luar jendela, bersandar dengan dagu di telapak tangan, dan terlihat bosan di sana. 

──Eh? Kenapa? 

Teman sekelas lainnya juga sesekali melirik ke arah Enami-san sambil mengobrol. Ketidaknyamanan yang kuat karena Enami-san ada di kelas pagi ini. Seharusnya itu hal yang biasa, tapi rasanya seperti ada sesuatu yang aneh.  

Setelah beberapa saat terdiam, bahuku ditepuk-tepuk. 

Okusu, kenapa kamu bengong begitu?

Ketika aku menoleh, ada Shindo di sana. Aku berkedip berkali-kali. 

Nah, di kursi paling belakang dekat jendela itu ada apa?

Hah?

Shindo juga mengalihkan pandangannya ke arah Enami-san. Lalu, ia menanggapi dengan nada kebingungan

“Tumben bangetGadis berandalan itu datang tepat waktu.

Betul. Kamu juga melihatnya, kan?

Sepertinya, ini bukan khayalanku saja

Tapi, lebih baik jangan terlalu terlibat. Aku tidak ingin mengalami hal yang sama sepertimu.

Memang…

Ayo, cepat duduk.

Ah, iya.

Kami berusaha untuk tidak melihat Enami-san dan duduk di kursi masing-masing. Nishikawa dan Hanasaki sepertinya masih belum datang. 

Meskipun aku sudah duduk, pikiranku masih tertuju pada Enami-san. Dia adalah orang yang baru saja berdebat denganku minggu lalu. Aku mengira dia akan terlambat, jadi aku tidak memperhatikannya saat masuk kelas. 

Aku mengeluarkan alat tulis dari dalam tasku. Saat aku mengambil pulpen untuk belajar, aku merasa ada tekanan misterius dari belakang yang mengalihkan perhatianku. Sejak aku duduk, Enami-san pasti menyadari keberadaanku. Dia pasti marah. Dan getaran yang aku rasakan dari belakang sekarang pasti tatapan marah dari Enami-san. 

Aku berusaha keras untuk tidak memikirkan tatapan Enami-san dan fokus pada buku latihan. Seharusnya hal ini mudah masuk ke dalam pikiranku, tapi mataku malah tidak bisa fokus. Soal integral yang sederhana terlihat jauh. 

Namun, saat aku berusaha keras menggerakkan pulpenku, tiba-tiba aku merasakan kehadiran seseorang di sampingku. Apa? Saat aku mengangkat wajahjy, aku kehilangan suara karena terkejut. 

Entah kenapa, Enami-san sedang berdiri di sana. Dia menatapku dari atas dan membuka mulutnya. 

Selamat pagi.

Ekspresinya datar. Dan dia menatapku dengan tajam. 

Eh?

Hah? Apa dia baru saja menyapaku? Enami-san yang terkenal jutek itu? Kenapa? 

Namun, aku tidak bisa membaca emosinya. Dengan terpaksa, aku membalas. 

Se-Selamat pagi juga?”

Mendengar kata-kata itu, Enami-san kembali ke kursinya. Dalam posisi yang masih berbalik, tatapan mataku bertemu dengan tatapan Shindo. Raut wajah Shindo juga terlihat terkejut, ia mengerutkan bibir dan mengangguk bingung. 

Mungkin ini hanya kebetulan. Jika tidak menyimpulkan demikian, aku merasa tidak akan bisa menahan ketakutanku

──Tapi ternyata, ini semua baru permulaan.

 

◇◇◇◇

 

Saat jam wali kelas pagi, Shiroyama-sensei juga menyadari adanya keanehan. Ketika mengambil absensi, biasanya dia hanya memeriksa dengan mata bahwa siswa tersebut tidak hadir, tetapi melihat Enami-san yang duduk di kursinya, ia menyebut Namanya dengan lantang

Enami.

Pada saat itu, seluruh perhatian penjuru kelas tertuju pada Enami-san. 

“Hadir.

Dengan jawaban biasa yang tidak terduga ini, aku hampir mengeluarkan suara kagum. 

Rasanya sudah lama sekali aku melihatnya berkomunikasi dengan baik. Biasanya, dia akan mengabaikan atau memperlakukan siapa saja dengan dingin. Seluruh kelas merasakan bahwa ini bukan hal yang biasa.

 

◇◇◇◇

 

──Dan kemudian, di jam kedua. Matematika, pelajaran yang diampu Shiroyama-sensei

Seperti biasa, pelajaran berlangsung dengan tenang. Karena materinya cukup sulit, penjelasan tentang cara menjawab dilakukan dengan cermat. Akhirnya, setelah penjelasan selesai dan saatnya untuk menyelesaikan soal lain, tangan Shiroyama-sensei tiba-tiba berhenti. 

Di papan tulis hanya tertulis [Soal 6]. Suara kapur yang biasanya nyaring juga berhenti. Sensei menoleh ke belakang sambil memegang kapur. 

Dan tiba-tiba ia berkata. 

Enami.

Seluruh kelas dipenuhi ketegangan. Aku juga menahan napasku

“Majulah ke depan dan coba selesaikan soal ini. 

Aku dengan hati-hati melihat ke arah Enami-san. Enami-san yang tadinya bersandar dengan dagu di telapak tangan kini tersadar bahwa namanya dipanggil, matanya membulat, dan dia menjauhkan wajahnya dari tangan. Dia menunjuk jari telunjuknya ke arah dirinya sendiri dengan ekspresi bingung. 

Benar. Kamu. Tidak masalah jika kamu tidak bisa menjawab dengan benar. Pikirkan dengan caramu sendiri dan tuliskan jawaban yang menurutmu benar. Aku akan memberikan sedikit saran. 

Jika itu Enami-san yang biasanya, dia tidak akan mengikuti instruksi seperti ini. Dia pasti akan menjawab, “Hah? atau Kenapa? dan akhirnya akan menggerutu dengan marah. Mungkin Shiroyama-sensei juga sudah siap dengan tanggapan seperti itu

Namun, hari ini Enami-san tampak sedikit berbeda. 

Dia mengambil buku pelajaran dan berdiri dengan tenang. Dengan langkah santai, dia melangkah maju. Dia melewatiku dan naik ke podium. 

……

Enami-san diam saja. Dia hanya melemparkan tatapan ke arah guru. Aku merasa takut jika dia akan mengucapkan sesuatu yang bisa membuat guru marah. Namun, 

Kapur.

Dia mengulurkan tangannya. Sensei yang tersadar segera memberikan kapur kepada Enami-san. 

Setelah sensei bergeser ke samping, Enami-san bersiap dengan kapur di depan papan tulis. Sambil sesekali memeriksa soal, dia perlahan-lahan mulai menulis rumus. 

Sejujurnya, ini bukanlah soal yang terlalu sulit. Jika aku yang mengerjakan, mungkin hanya butuh 30 detik untuk menjawabnya. Namun, tampaknya soal tersebut cukup sulit bagi Enami-san, dan dia terhambat di beberapa bagian. 

Di bagian sini caranya

Dia mengangguk dengan patuh tanpa merasa kesal dengan saran guru, dan menerapkannya dalam jawabannya. 

Sekitar lima menit kemudian, Enami-san akhirnya sampai pada jawaban yang benar. 

Baiklah, kamu boleh kembali.

Apa ini mimpi? Enami-san mendengarkan guru dengan baik dan berhasil menyelesaikan soal matematika dengan serius. 

Saat menjauh dari papan tulis dan dalam perjalanan kembali ke tempat kursinya, Enami-san berhenti sejenak di samping kursiku. Dia melirik wajahku dan tersenyum kecil. 

──Eh? 

Dia bukannya ingin berbicara padaku. Dia hanya tersenyum ringan, seolah-olah ingin membanggakan dirinya dengan, Lihat, aku bisa melakukan ini. 

Aku merasa bingung untuk menanggapinya dan hanya bisa melirik ke sekeliling. 

Segera, Enami-san kembali ke ekspresi datarnya dan menuju kursinya. 

Aku berusaha keras untuk memahami situasi ini. Apakah sapaan di pagi hari itu sebenarnya untukku? Kenapa? 

Shiroyama-sensei segera melanjutkan pelajaran. 

“Kalau begitu, soal berikutnya. Okusu, silakan maju buat menyelesaikannya.

Tanpa kusadari, tiba-tiba tulisan [Soal 7] muncul di papan tulis. Aku segera berdiri. 

Saat aku menerima kapur dari Sensei, ia berkata pelan padaku

Apa kamu berhasil meyakinkannya? Terima kasih.

Rupanya, Sensei mengira aku yang berperan dalam hal ini. Namun, aku juga tidak mengerti mengapa Enami-san tiba-tiba bersikap serius. Aku hanya bisa tersenyum kecut. 

Setelah cepat menyelesaikan soal, saat aku hendak kembali ke kursi, aku merasakan Enami-san mengamatiku. Ekspresinya seolah berkata, Hmm, tidak buruk.

Aku menghela napas. Tenanglah. Aku tidak tahu mengapa Enami-san bertindak seperti ini. Namun, ini pasti jebakan. Tindakan yang aku ambil minggu lalu pasti membuat Enami-san marah. Jadi, hasil akhirnya pasti akan merugikanku. 

Pokoknya, aku harus tetap bersikap seperti biasa. Mungkin dia akan melakukan berbagai hal untuk membingungkanku, tetapi aku akan tetap tenang menghadapi semuanya.

 

◇◇◇◇

 

Waktu istirahat makan siang. 

Aku, Saito, dan Shindo berkumpul di sekitar meja seperti biasa sambil makan bekal. Sejak saat itu, Enami-san tidak lagi melihat ke arahku. Namun, dia tampaknya serius mendengarkan pelajaran, dan meski kadang-kadang aku mengintip ke arahnya, dia terlihat fokus menulis di buku catatannya. 

“Rasanya jadi menyeramkan.

Saito menggulung biji umeboshi dengan lidahnya sambil berbicara. Tentu saja, topik itu tentang Enami-san. 

Dia tiba-tiba berubah menjadi rajin begitu. Pasti ada sesuatu yang terjadi setelah itu, kan?

……tidak juga.

Aku menggelengkan kepalaku. Sepertinya "ceramah" itu tidak berpengaruh pada Enami-san. 

Yah, karena itu bukan urusan kita. Kita harus berhati-hati agar tidak terlibat dengannya. 

Saito mengatakannya sambil menggigit sumpit dan kemudian diam. Matanya seolah melampaui kepalaku dan menangkap sesuatu di belakang. 

──Apa? 

Akhirnya, Shindo juga ikut melihat ke arah yang sama dan terdiam. Karena penasaran, aku menoleh ke belakang. 

……eh?

Di sana sudah ada Enami-san. Dia berdiri diam di tempat, menatap kami dari atas. 

……

Aku hanya bisa membuka mulut tanpa suara. Kenapa ini terjadi berturut-turut? 

Hei, kata Enami-san. 

Suara itu jelas ditujukan padaku. 

──Apa yang harus kulakukan? 

Itulah kata pertama yang muncul dalam pikiranku. 

Sejujurnya, aku sama sekali tidak siap secara mental. Jika hanya untuk menyapa, mungkin masih bisa kuterima, tetapi aku tidak pernah membayangkan kalau dia berbicara padaku seperti ini. 

……

Ekspresi Enami-san tampaknya tidak menunjukkan kemarahan atau emosi negatif lainnya. Jika itu orang biasa, mereka pasti akan lebih berhati-hati. Namun, ini tentang Enami-san. Aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan. 

Tatapan seluruh kelas tertuju pada kami. Enami-san, yang biasanya tidak berbicara dengan orang lain selain Nishikawa, sekarang berbicara dengan orang lain. Ini merupakan peristiwa yang tidak pernah terjadi sebelumnya. 

Eh, ehm, ada apa ya?

Tenangkah, diriku. Aku sudah memutuskan untuk menanggapi dengan tenang. Meskipun ini adalah situasi yang aneh, aku harus memberikan jawaban yang aman. 

Reaksi yang aneh. Padahal aku cuma berbicara padamu.

Ah, iya.

Bagaimana jika dia merenungkan tindakan masa lalunya yang membuat orang lain begitu terkejut hanya karena seseorang berbicara dengannya

Bento makan siangmu cukup bagus, ya...

“Yah, terima kasih. Aku membuatnya dengan baik setiap hari..." 

Aku tidak tahu apa yang dia inginkan. Tapi aku terlalu takut untuk bertanya. 

Hmmm, kamu membuatnya sendiri?

Ah, iya.

“Hee...

Apa-apaan dengan siksaan ini? Kenapa aku harus melakukan percakapan yang tidak berarti di depan teman sekelas? Aku merasakan keringat menetes di punggungku. 

Kenapa kamu terus-menerus mengintip ke belakangku?

……Apa kamu tidak mengerti situasi di sini yang penuh dengan tatapan orang lain?

Akhirnya, Enami-san menoleh ke belakang. Semua orang segera mengalihkan pandangan, tetapi semuanya sudah terlambat. Di dalam kelas yang sunyi, jelas sekali kalau cuma kami yang merasa tidak pada tempatnya. Enami-san pasti merasakan suasana itu. 

Namun, Enami-san tetap tidak peduli. Dia terus berbicara. 

Jadi, apa kamu juga biasanya masak di rumah?

Tolong bantu aku. Aku melemparkan tatapan meminta bantuan kepada Saito dan Shindo, tetapi mereka malah menghindar. Seolah-olah mereka hanya berbagi bento berdua, mereka mulai mengobrol dengan suara kecil. 

“Apa kamu bosa mendengar apa yang kubilang?

Aku mengangguk cepat. 

Ya. Di rumah, aku memasak. Ya. Aku sering menggunakan sisa makanan untuk bento makan siangku, ya.

Begitu…

Enami-san, apa kamu juga masak di rumah?

Aku mencoba melemparkan pertanyaan. Mungkin dia memilih topik ini karena dirinya juga suka memasak. 

……Menurutmu, mana yang lebih baik?

Eh?

Jawaban yang tak terduga muncul. 

Mana yang lebih baik, bisa memasak atau tidak bisa?

Ekspresi Enami-san sangat serius. Sepertinya dia tidak bercanda. 

Yah, tentu saja lebih baik kalau kamu bisa memasak…

Hmmm.

Menakutkan, rasanya sangat menakutkan. Aku sama sekali tidak bisa membaca pikirannya. Aku harus hati-hati agar tidak membuat Enami-san marah. 

Ehm, aku benar-benar minta maaf tentang minggu lalu. Aku benar-benar menyesal…

Aku meminta maaf. Setidaknya, aku ingin menghilangkan rasa cemas ini. 

……Aku tidak peduli, jadi tidak apa-apa.

Jika kamu tidak peduli, kenapa hari ini kamu tiba-tiba serius di kelas? Bukannya itu aneh jika kamu berbicara padaku? 

Kalau begitu, syukurlah.

……Katanya kamu pandai belajar, ya? 

Eh, ya. Begitulah.

"Hmmm.

Sepertinya dia terus berusaha menggali informasi tentangku. Apa dia berniat menggunakan informasi itu untuk menyerangku? 

……Apa kamu ikut kegiatan klub?

Ah, tidak, aku adalah anggota klub langsung pulang ke rumah. 

Oleh karena itu, aku berusaha menyembunyikan informasi sebanyak mungkin, tetapi ketika melihat mata Enami-san, aku merasa tidak mungkin bisa menyembunyikan apa pun. Tekanannya sangat besar. 

Jadi, setelah pelajaran selesai, kamu langsung pulang?

Ya, begitulah. Itupun jika tidak ada urusan yang harus dilakukan, sih.

Begitu.”

Aku sudah menyerah untuk memahami niat Enami-san. Yang bisa kulakukan hanyalah menunggu badai berlalu. 

……Sampai nanti ya.

Kemudian, Enami-san pergi dari sisiku. Setelah melihatnya keluar dari ruang kelas, aku merasa semua ketegangan dalam tubuhku menghilang. 

Ketegangan yang mengendap di kelas pun mulai mereda. Nishikawa juga tampak terkejut. 

“Oi, kapan kamu akan memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi? 

Saito bertanya seperti itu. 

……Sejujurnya, aku sendiri juga tidak mengerti.

Aku terlalu takut untuk bertatap muka, tapi kamu malah bisa berbicara lancar dengannya. 

……Yah.

Setidaknya, aku berhasil melewatinya. Dalam percakapan tadi, seharusnya tidak ada kesalahan besar. 

Jangan terlalu memikirkannya. Rasanya aku akan gila jika aku terlalu banyak memikirkannya. Sebaiknya aku menyerahkan semuanya kepada Nishikawa, dan aku akan menghindar setiap kali badai datang. 

Namun, aku segera menyadari bahwa pemikiranku itu terlalu naif.

 

◇◇◇◇

 

Sepulang sekolah, aku, Saito, dan Shindo menuju gerbang utama bersama-sama. 

Kami mengobrol sedikit, tetapi karena kami menyudahi lebih awal, waktunya masih pukul empat sore. Lingkungan masih terang, dan suara sorakan dari klub olahraga terdengar dari jauh. 

Pada akhirnya, si gadis berandalan itu belajar dengan serius sepanjang hari ini.

Saito mengatakannya sambil mengingat-ingat. 

……Jika besok dia juga masih sama seperti ini, rasanya sangat aneh.

Mungkin karena aku berjalan sambil mengatakan hal seperti itu. Baru saja dia menjado bahan pembicaraan kami dan aku melihat sosoknya. Di dekat gerbang utama, ada sosok yang seharusnya tidak ada di sana. 

Kami semua terhenti di tempat. 

Angin bertiup lembut. Angin yang sejuk dan kering, khas musim gugur. Di antara tiang bata merah kecokelatan, ada gerbang logam hitam yang terpasang. Di samping gerbang yang terbuka, ada seorang siswi. 

Rambut cokelatnya berkibar karena tertiup angin. Kalau dilihat dari kejauhan, meskipun dia hanya bermain dengan ponselnya, pemandangan itu terlihat sangat indah. 

Enami-san ada di sana. 

Aku menelan ludah. Apa jangan-jangan dia sedang menungguku? Pikiran yang tidak mungkin itu melintas di benakku. 

(……Sampai nanti ya.) 

Aku jadi teringat kembali perkataan Enami-san saat istirahat siang tadi

Aku bingung. 

Meskipun aku berusaha untuk tidak memikirkan, pemandangan di depanku mengganggu pikiranku. 

Aku tidak mengerti. 

Aku semakin tidak paham apa yang sebenarnya terjadi

Yang ada di pikiranku hanyalah pemikiran seperti melarikan diri atau bersembunyi darinya

Aku tidak mengerti tentang Enami-san. 

Aku tidak tahu apa yang dia inginkan. 

Sekarang, aku sama sekali tidak tahu harus berbuat apa. 

……

Setelah berdiri di sana untuk sementara waktu, Enami-san akhirnya menyadari keberadaan kami. 

Dia mengangkat wajahnya dan membuka matanya lebar-lebar. 

“Akhirnya kamu datang juga.

Enami-san yang menunggu kami berkata demikian sambil tersenyum kecil.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama