Gimai Seikatsu Volume 15 Chapter 2 Bahasa Indonesia

Chapter 2 — Tahun Pertama Perkuliahan, Bulan Mei, Ayase Saki

 

Pagi hari setelah malam yang kita habiskan bersama. Aku mencuci wajahku di depan cermin di kamar mandi dan mengedipkan mata. Aku memeriksa warna dan corak kulitku. Melihat pantulan diriku di kaca cermin, aku merasa lega karena tidak ada yang berubah. Meskipun aku sudah memeriksanya sebelum mandi, tapi tetap saja. 

Meski begitu, aku berasumsi bahwa setelah mengalami sesuatu, pasti akan ada perubahan dramatis. 

Ternyata cukup biasa saja. Dunia tidak terlihat berkilau atau semacamnya, dan aku tidak merasakan perubahan dalam kondisi pikiranku. 

Hanya saja—entah kenapa, suasana hatiku terasa sangat baik. 

Aku tiba-tiba teringat perkataan seorang dosen yang menjadi alasanku berkuliah di universitas ini (meski aku enggan mengingat namanya karena merasa kesal). 

'Seandainya perasaanmu masih tidak berubah bahkan setelah berinteraksi dengan pria-pria menarik lainnya, maka hargailah perasaan tulus itu.' 

Menghargai perasaan yang tulus. 

Aku merasa puas dengan hasil yang kuambil berdasarkan perasaan itu pagi ini. Mungkin inilah hal yang baik. 

Yah, meskipun aku merasakan sedikit nyeri tumpul di sekitar pangkal paha setiap kali aku berjalan, kurasa itu tidak bisa dihindari. Mungkin kedengarannya janggal, tapi entah kenapa aku merasa frustrasi ketika memikirkan ketidaknyamanan semacam ini mungkin tidak akan dialami pria. Apa aku seharusnya merasa senang bahwa rasa sakit yang ditakutkan tidak terlalu parah? Mungkin sebaiknya aku jangan terlalu tenang dulu. 

Meskipun begitu, aku pernah mendengar bahwa ada sebagian orang mengalami nyeri dan pendarahan yang terus-menerus, jadi sepertinya lebih baik untuk tetap waspada. 

Bukan berarti itu tidak menyakitkan sih. 

Tapi, tidak ada gunanya terlalu lama bercermin. 

Meskipun sekarang hari Minggu, sepertinya sudah waktunya ayah tiriku bangun. Aku tidak bisa membiarkan Yuuta menyiapkan sarapan sendirian. Mulai minggu depan, aku akan mengunjungi kantor Ruka-san, jadi aku juga perlu bersiap-siap. 

Setelah menyelesaikan riasan ringan, aku kembali ke ruang makan. 

Pada akhirnya, sepanjang hari Minggu, aku merasakan adanya beberapa perubahan kecil pada tubuhku. Entah kenapa, aku merasa perutku tidak enak, dan ada ketidaknyamanan di pinggang dan punggung. Aku juga tahu tentang penyakit atau masalah yang biasanya menyertai aktivitas tersebut, jadi aku mulai meragukan apa ada pengaruh buruk yang muncul. 

Namun, sepertinya aku cuma merasa sedikit pegal karena aku menggunakan otot-otot yang biasanya tidak kugunakan. Saat menjelang hari Minggu sore, aku merasa kondisi tubuhku mulai membaik. Ternyata melakukan begituan juga bisa dianggap olahraga, ya... Dan mungkin, kekhawatiran itu sendiri juga memengaruhi tubuhku. Ungkapan ‘penyakit berasal dari pikiran’ memang benar. 

Mungkin karena merasakan kekhawatiranku, Yuuta sempat beberapa kali menatapku dan bertanya, “Apa kamu baik-baik saja?” Namun, aku tidak merasakan ketidaknyamanan yang cukup untuk dibicarakan, dan itu membuat situasinya sulit. Tentu saja, mana mungkin aku bisa memberitahunya kalau, “Aku merasa pegal-pegal karena berhubungan badan denganmu”. 

Keesokan harinya, hari Senin pagi pun tiba. 

Aku bangun dengan perasaan jauh lebih segar, dan akhirnya aku bernapas lega karena tak lagi merasakan ketidaknyamanan di sekujur tubuhku. Aku bahkan nyaris tak merasakan sakit. 

Hari ini, magangku di kantor Ruka akhirnya dimulai. Cahaya mentari pagi masuk melalui wastafel. Aku tersenyum pada diriku sendiri di cermin. 

Sekarang, inilah awal kehidupan universitasku yang sesungguhnya dimulai. 

 

◇◇◇◇

 

Jadwal perkuliahanku berakhir sampai siang. Karena tidak ada jadwal kuliah di sore hari, aku bisa pergi ke kantor Ruka-san. 

Hari ini merupakan hari pertamaku masuk kerja.

Kehidupan universitasku hanyalah pekerjaan paruh waktu—aku tidak bermaksud mengatakan itu, dan kuliah di program pendidikan umum itu sendiri juga menarik. Aku sudah mulai bermain dengan teman-teman baruku di hari libur. 

Namun, karena tantangan terbesarku saat ini berada di kantor Ruka, jadi wajar saja kalau aku menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan hal ini. 

Aku magang di kantor Akihiro Ruka-san. Jantungku berdebar-debar dengan sangat kencang. 

Ketidaknyamanan di sekujur tubuhku sudah menghilang, dan rasa sakit hampir hilang sepenuhnya. 

Aku turun di stasiun Nakanosakaue melalui kereta bawah tanah. 

Dari sana, aku berjalan selama tiga menit menuju gedung kantor lima lantai, masuk, dan naik lift hingga turun di lantai tiga. Di depanku ada logo Lucca Design. Studio yang ditulis dengan font dekoratif. 

Inilah kantor desain milik Akihiro Ruka0san. 

Aku membuka pintu dan menyapa, “Permisi.” 

“Kamu datang cepat sekali ya.”

Ruka-san sendiri muncul dari balik partisi. 

“Mulai sekarang mohon bimbingannya.” 

“Ya. Senang bisa bekerja denganmu.” 

“Umm...”

“Ya?”

“Apa baju semacam ini baik-baik saja?" 

Aku bertanya sambil meletakkan tangan di dadaku. Aku diberitahu kalau tidak perlu mengenakan jas, jadi aku datang dengan penampilan yang sama seperti berangkat kuliah, tapi aku merasa ragu apakah ini cukup formal untuk seorang profesional. Saat bekerja di toko buku, aku memiliki seragam, jadi aku tidak perlu mencemaskannya... 

“Ah, ya. Baik-baik saja, aman-aman saja kok. Kamu tidak mengenakan rok, melainkan celana panjang. Sepertinya ini pertama kali aku melihatmu seperti ini.”

“Biasanya aku lebih banyak mengenakan rok, tetapi aku merasa celana ini lebih cocok.”

“Kelihatan cocok kok. Tidak masalah.”

Aku merasa lega mendengarnya. Untuk saat ini, aku mengenakan blus berkerah untuk bagian atas dan celana panjang di bawah. 

Meskipun bukan jas, aku berharap penampilanku kelihatan lebih formal dibandingkan pakaian sehari-hari. Aku tidak dimarahi, tetapi aku harus mencari tahu apakah ini pilihan yang sudah benar. 

Sambil memikirkan hal itu, aku secara diam-diam mengamati penampilan Ruka-san yang memandu jalan. Ruka-san juga tidak mengenakan jas. Dia mengenakan baju putih dengan cardigan biru. Kalung yang dia kenakan di lehernya juga memiliki batu kecil berwarna biru. Huruf ‘Ru’ dalam namanya, Ruka, berarti batu permata biru, jadi sepertinya ‘biru’ adalah warna yang menjadi citra dirinya. 

Oleh karena itu, meskipun pakaian berubah, dia selalu mengenakan sesuatu yang berwarna biru pada dirinya. 

“Pekerjaan yang ingin kuberikan padamu pada dasarnya adalah sebagai sekretarisku—meskipun terdengar keren, ya, ini lebih kepada tugas-tugas umum.”

“Baik.”

“Oleh karena itu, kamu akan bersamaku. Aku ingin kamu membantuku dari membawa barang hingga mengelola jadwal, tapi, eh... Ah, itu dia. Wada-san.”

Dia memanggil seorang pria tua yang berdiri di depan mesin fotokopi di sudut kantor dan kelihatannya sedang mencetak banyak dokumen. Ia mengenakan kemeja putih dan dasi, penampilan khas pegawai kantoran yang sering terlihat. 

Pria yang dipanggil Wada-san itu tersenyum sambil menghadap ke arahku. Ia adalah orang yang menyambutku saat pertama kali mengunjungi kantor desain ini. Usianya sekitar lima puluh tahunan, dengan senyum ramah yang menenangkan. 

“Iya, iya. Pencetakannya sudah hampir selesai kok.” 

"Terima kasih. Setelah itu, aku ingin kamu mengajari gadis ini cara melakukan pekerjaannya.” 

“Oh, baik. Ehm... kalau tidak salah namanya Asamura-san, ‘kan?” 

“Asamura?”

Ruka-san terlihat sedikit kebingungan sejenak sebelum mengangguk, “Oh, benar.” 

“Ya, ada masalah itu juga. Kamu... Saki-chan.” 

Ruka-san mengalihkan pandangannya dari Wada-san ke arahku dan bertanya, 

“Nama mana yang mau kamu gunakakan?”

“Maksudnya yang mana...?” 

Kemudian aku baru menyadarinya. Di resume lamaranku, aku menuliskan namaku sebagai [Asamura Saki]. Namun, sejak bertemu Ruka-san, aku memperkenalkan diri sebagai [Ayase Saki]. Ruka tidak pernah bertanya tentang hal itu. 

“Saat bekerja dengan nama pribadi seperti di industri ini, kesan yang ditimbulkan oleh nama itu penting. Seperti nama pena untuk penulis atau komikus. Jika kita bekerja dengan nama tersebut, orang-orang akan mengingatnya, dan kita akan mendapat permintaan dengan nama itu. Jadi, kita tidak bisa mengubahnya sembarangan. Kamu bisa memilih nama yang kamu suka, tetapi lebih baik jika kamu terus menggunakan nama yang sudah dipilih.” 

Kesan yang ditimbulkan oleh nama itu penting... 

“Jadi itulah sebabnya Ruka-san selalu mengenakan pakaian atau aksesori berwarna biru?” 

Aku tanpa sadar menanyakan hal itu, dan Ruka-san sedikit terkejut sebelum mengangguk kecil. 

“Yah, begitulah. Aku akan melakukan apa saja agar orang mengingatku, bahkan hal-hal kecil sekalipun. Kartu namaku juga berwarna biru, dan logo kantor juga berwarna biru, ‘kan?”

“Karena Ruka-san adalah presiden perusahaan, jadi rasanya wajar saja. Jika orang mengingat namamu, secara otomatis reputasi kantor kita juga akan meningkat.”

Wada-san berkata demikian, dan pada saat itu, Ruka-san sekilas tampak sedikit canggung, seolah-olah merasa tidak enak. Seperti ketika seorang junior ditanya oleh senior yang lebih berpengalaman. 

“Yah, yah. Itu tidak penting bagiku. Yang penting adalah apa yang kamu inginkan.”

“Apa sebaiknya aku harus memutuskannya sekarang?” 

“Benar. Aku berencana untuk memperkenalkanmu kepada semua orang sekarang. Kurasa seharusnya aku membicarakannya sebelumnya. Untuk itu, aku minta maaf.”

Aku lalu mulai memikirkannya. Aku juga tidak yakin apa yang harus kulakukan ketika mengirimkan resumeku. Dari informasi yang kucari, aku menemukan bahwa meskipun resume bukanlah dokumen resmi, resume memang membangun hubungan kepercayaan dengan perusahaan, jadi sebaiknya tulis namamu seperti yang tertera pada nama resmimu. Dengan begitu, aku tidak punya pilihan lain selain menulis [Asamura Saki]. 

Jika itu bukan dokumen resmi, mungkin ada sedikit kelonggaran. 

Misalnya, di papan nama rumah kami, tertulis nama ‘Asamura’ dan ‘Ayase’ berdampingan. Itu karena nama kerja ibuku adalah ‘Ayase Akiko’ (karena pekerjaan itu sudah dilakukannya sejak sebelum menikah lagi), jadi semua surat dari rekan kerja yang dikenalnya atau yang bertukar kartu nama ditujukan atas nama ‘Ayase Akiko’. 

Kembali ke topik pembicaraan, yang dibicarakan Ruka-san ialah, jika sebelum diperkenalkan, semuanya bisa diubah, jadi sekarang aku harus memutuskan apa akan menggunakan nama panggilan ‘Ayase’ atau ‘Asamura’

Eh? Tapi, sepertinya Wada-san tahu namaku? 

Wajahku yang penuh tanya pasti terlihat jelas, karena Ruka-san bercerita sedikit tentang Wada-san. 

“Wada-san adalah mantan atasanku. Beliau juga yang membantuku saat mendirikan perusahaan ini. Sebenarnya, awalnya Wada-san yang membuat perusahaan ini, dan aku yang berusaha untuk dipekerjakan di sana.” 

“Di usia seperti ini, aku tidak ingin melakukan hal yang sulit. Aku lebih suka menyerahkannya kepada seseorang yang lebih muda dan beristirahat. Sekarang aku hanya seorang staf administrasi. Bekerja di belakang layar sudah cukup bagiku.”

“Aku tidak berpikir begitu. Aku masih menganggap Wada-san sebagai desainer yang aktif. Sebenarnya, saat ini pun, ia lebih seperti penasihat untuk semua pekerjaanku.”

Oh, begitu rupanya. Oleh karena itu, Wada-san juga memeriksa resume-ku dan tahu nama ‘Asamura’. 

Jika demikian, hanya Ruka-san dan Wada-san yang mengetahui nama resmi di akta keluargaku adalah ‘Asamura Saki’. Karyawan lain yang akan diperkenalkan nanti belum tahu namaku. 

Aku hanya ragu sejenak, lalu mengatakannya hampir secara refleks, 

“Ehm, jika tidak ada masalah, kamu bisa memanggilku dengan nama 'Ayase Saki'.”

Ketika aku mengatakannya, Ruka-san menunjukkan ekspresi seolah-olah sudah menduganya, sementara Wada-san tampak sedikit terkejut, tapi dia berkata, “Baiklah. Jadi, aku akan memanggilmu Ayase-san, ya.” Tanggapan dewasa yang tidak mengajukan pertanyaan hanya karena rasa penasaran merupakan alasan mengapa Ruka-san mempercayainya. 

Ketika memilih nama pekerjaanku, anehnya aku tidak merasa ingin menggunakan nama ‘Asamura’. Mungkin karena itu mengingatkanku pada saat-saat ketika aku bertekad untuk bisa hidup mandiri dengan kemampuanku sendiri. 

Aku telah mengganti nama belakang dua kali. 

Pertama, saat ibuku bercerai. 

Sebelum itu, ketika aku masih kecil, nama belakangku adalah Ito. Jadi, di masa kecilku, aku dikenal sebagai Ito Saki. Lingkungan sekitarku juga memanggilku dengan nama itu, dan aku memiliki kedekatan serta keterikatan dengan nama itu. Setelah itu, ibuku bercerai dan namanya berubah menjadi Ayase. 

Pada saat itu, aku mengagumi ibuku dan kecewa pada ayahku, jadi aku memutuskan untuk mengembangkan kekuatan untuk hidup sendiri. Saat itu, aku adalah ‘Ayase Saki’. Aku merasa tidak mungkin untuk kembali menggunakan nama Ito, dan aku tidak pernah memikirkan masa depan di mana aku akan menikah, jadi aku sudah bertekad untuk menjalani hidup sebagai Ayase Saki selamanya.

Aku tidak tahu apakah aku akan terus berusaha menjadi desainer, tetapi untuk mengukuhkan bahwa aku adalah sosok yang mandiri, aku ingin tetap menggunakan nama Ayase Saki. Tentu saja, aku tidak menolak pernikahan kembali ibuku. Saat ini, sebagai pemagang di Lucca Design. Studio, nama ‘Ayase Saki’ terasa paling cocok untukku saat melangkah menuju masa depan. Itulah yang aku pikirkan.

 

◇◇◇◇

 

Aku setuju untuk menyapa Wada-san, yang diperkenalkan lebih dulu, belakangan. 

“Kalau begitu, Wada-san, sampai nanti." 

“Ya.”

Ruka-san kemudian membawaku ke ruang kerja. 

“Baiklah, semuanya, tolong minta perhatian kalian dulu sebentar!” 

Suara Ruka-san membuat para karyawan yang sedang bekerja di meja yang disusun menyerupai pulau langsung menoleh. 

Ada enam karyawan di ruang kerja tersebut. Dua pria dan empat wanita. Jika ditambahkan Ruka-san dan Wada-san, totalnya delapan orang. Tingginya rasio wanita mungkin karena sifat pekerjaan atau mungkin karena Ruka-san sebagai CEO adalah seorang wanita. Tentu saja, ada kemungkinan itu hanya kebetulan. 

“Dia adalah Ayase Saki-san, seorang mahasiswi yang mulai bekerja sebagai pemagang jangka panjang di sini. Dia akan bekerja seperti sekretarisku untuk sementara waktu. Jadi, tolong sambut dia dengan baik, ya?”

Sambil berkata begitu, dia menepuk punggungku. 

Aku melangkah maju sedikit dan menundukkan kepala dengan ringan. 

“Namaku Ayase Saki. Terkait air... ehmm, kata ‘Sa’ ditulis dengan kanji 'suna' untuk pasir. Dan 'Ki' untuk kanji musim. Jika memungkinkan, aku akan senang jika bisa dipanggil dengan nama Saki.”

Ada alasan tertentu mengapa aku menekankan pada namaku. 

Nama perusahaan ini adalah Lucca Design. Studio. Saat diterima sebagai pekerha magang, aku mencari tahu bahwa kata ‘Lucca’ dalam bahasa Italia berarti ‘cahaya’. Selain itu, dalam bahasa Islandia, itu berarti ‘bahagia’ atau ‘beruntung’. Tentu saja, nama tersebuti juga terkait dengan nama Ruka-san. 

Kurasa alasan utama mereka ingin menggunakan kata dengan berbagai makna positif ini karena, kemungkinan besar, di dalam perusahaan, mereka lebih menghargai nama ‘Ruka’ daripada ‘Akihiro’. Dari percakapan singkat sebelumnya, jelas bahwa Ruka-san sangat bersemangat untuk mempromosikan namanya di industri, dan hal itu pasti disampaikan kepada karyawan. 

Dengan kata lain, dia mungkin ingin orang-orang mengenalnya dengan ‘Ruka’ daripada ‘Akihiro’. 

Tentu saja, di Jepang, kebiasaan menggunakan nama depan dalam urusan pekerjaan sangat jarang dan tidak umum. 

Sebenarnya, ketika aku pertama kali mengunjungi kantor ini, Wada-san berkata, “Sekarang, aku akan memanggil Akihiro”. Namun, pada saat yang sama, Ruka-san juga mengatakan, “Kamu boleh tetap memanggilku dengan panggilan Ruka. Ini perusahaan kecil, dan semua orang memanggilku seperti itu.”

Dan memang, Wada-san terus memanggilnya “Ruka-san” dari awal hingga akhir hari ini. 

Bukan hanya untuk menunjukkan sikap ramah. Dia ingin menggunakan suara ‘Ruka’ sebanyak mungkin (misalnya, ketika karyawan bekerja di luar dan menyebut nama bos mereka), mereka ingin sedikit mengingat dan menyebarkan nama tersebut di sekitar mereka. 

Menurutku dalam suasana kerja seperti itu, mereka takkan merasa aneh jika memanggil dengan nama depanku. Itulah yang penting. Meskipun aku ingin menggunakan ‘Ayase’ sebagai nama kerja, tapi nama resmiku adalah ‘Asamura’. Dengan demikian, ada kemungkinan nama ‘Asamura’ akan menarik perhatian karyawan lain di masa depan. Membuat bingung mereka dengan pertanyaan seperti ‘Harus dipanggil yang mana?’ jelas bukan langkah yang bijak. 

Dalam hal ini, nama ‘Ayase’ kemungkinan besar tidak akan berubah di masa mendatang.

Jadi, meskipun aku memutuskan untuk menggunakan nama kerjaku sebagai ‘Ayase Saki’, tapi aku ingin lebih menekankan pada nama ‘Saki’. Aku memikirkannya sejenak dan memutuskan untuk berkata, “Tolong panggil aku Saki.” 

Reaksi para karyawan terhadap perkenalan diriku umumnya positif. Mereka tersenyum dan mengucapkan “Senang bertemu denganmu”. Namun, ada juga beberapa yang tetap dengan wajah datar dan begitu selesai menyapa, mereka langsung menundukkan kepala dan melanjutkan pekerjaan. Aku merasakan suasana yang cukup tegang. Yah, memang tidak mudah bagi seorang pemula yang tidak memiliki prestasi untuk diterima dengan cepat. Aku justru mengharapkan adanya ketegangan ini. 

Setelah perkenalan selesai, aku langsung kembali ke tempat Wada-san. Dirinya sedang membawa tumpukan cetakan dan tampaknya sudah selesai mencetak. 

Ruka-san lalu berkata, “Baiklah, selanjutnya aku serahkan padamu,” lalu kembali ke pekerjaannya. 

Aku menawarkan, “Aku akan membantu,” dan mengambil setengah dari tumpukan cetakan itu. 

“Terima kasih,” kata Wada-san. Kami membawanya ke ruang rapat dan menumpuknya di meja. Sepertinya itu adalah materi untuk presentasi. Penanggung jawab akan mengambil materinya nanti, jadi Wada-san membawaku ke gudang. 

Dirinya membuka kunci dan masuk. Ruangan itu dipenuhi dengan rak-rak besi besar yang berisi berbagai peralatan yang tidak digunakan (seperti display, tablet, printer, dan scanner). Ada juga buku-buku tebal yang tampaknya digunakan sebagai referensi, serta edisi lama majalah yang tersusun rapi. Ruangan itu sedikit berdebu. 

“Ehmm, sepertinya ini cukup bagus. Meskipun modelnya sudah tua, tapi tolong gunakan ini untuk sementara waktu,” katanya sambil menyerahkan laptop kerja. 

“Anda yakin?” 

“Meski dari model generasi sebelumnya, tapi laptop ini sudah cukup untuk pekerjaan administratif. Karena ada masalah keamanan, kami tidak mengizinkan penggunaan PC pribadi di perusahaan ini. Jadi, aku ingin kamu menggunakan ini untuk sementara. Jika merasa tidak nyaman, kamu bisa memberitahu kapan saja. Kami bisa mempertimbangkan untuk membelikan yang baru.” 

“Baik.”

Kemudian, aku diberi penjelasn singkat tentang semuanya, mulai dari cara mengatur PC, masalah keamanan, dan cara menginstal perangkat lunak yang akan digunakan. Mana mungkin aku bisa mengingat semuanya sekaligus, jadi ketika aku tampak kebingungan, Wada-san berkata, “Kalau ada yang tidak dimengerti, silakan tanyakan kapan saja”. Aku memutuskan untuk mengandalkan kalimat itu. 

Sambil memegang laptop, aku kembali ke lantai bersama Wada-san dan diarahkan ke tempat dudukku. Di ujung ruang kerja sebelumnya, masih ada dua kursi kosong, dan satu di antaranya diberikan padaku. 

“Ini. Silakan.” 

Wada-san menyerahkan satu bundel kertas yang dicetak dan dimasukkan ke dalam map plastik. 

Ketika aku melihat sampulnya, ada stiker yang bertuliskan ‘Cara Menyiapkan Lingkungan PC’. Setelah dibuka, ada langkah-langkah untuk pengaturan dan instalasi perangkat lunak yang telah dijelaskan oleh Wada-san sebelumnya. 

“Terima kasih banyak.”

“Kabari aku jika kamu sudah selesai sampai akhir. Aku akan ada di sana.” 

Ketika aku melihat ke arah yang ditunjuk, ada satu kursi independen di dekat tempat duduk Ruka yang terpisah, dan kursi itu dipenuhi dengan monitor besar dan tumpukan buku tebal di sampingnya. Meja kerjanya terlihat lebih berantakan dibandingkan tempat duduk karyawan lainnya. 

Tanpa sadar, aku berpindah pandangan antara pria bersih dan rapi di depanku dan kursinya. 

“Wada-san, tidak pernah membereskan barang-barangnya...”

Sepertinya wanita di sebelahku menyadari tatapanku dan menghela napas sambil berbisik. 

“Hahaha... Maafkan aku. Aku memang tidak pandai membereskan barang.”

“Oh, ma-maafkan aku.”

Aku tidak sengaja meminta maaf. 

“Tidak, tidak. Anak-anak zaman sekarang memang suka kerapihan. Jadi, wajar saja kamu merasa terkejut. Orang-orang dari generasi Showa sepertiku memang tidak terlalu pandai dalam hal itu.”

“Menurutku menyalahkan generasi bukanlah hal yang baik."

Seorang pria muda dengan rambut diwarnai pink yang duduk di depan wanita itu berkata tanpa mengangkat wajahnya. 

“Umm, umm. Aku akan hati-hati.” 

Mendengar kata-kata pemuda itu, Wada-san tetap tenang dan berkata, “Ya,” lalu kembali ke tempat duduknya. 

Dia memberi anggukan kepada orang-orang di sekitarnya (tanpa suara, karena semua orang sedang fokus bekerja) dan duduk. Setelah meletakkan barang-barangnya di bawah kaki—oh, aku belum menanyakan tempat untuk meletakkan barang. Apa ada loker?—dan mencari colokan listrik. 

Suara ketukan jari di meja membuatku mengangkat kepala. 

Wanita di sebelahku menunjuk ke tengah pulau. Di sana ada colokan listrik. 

“Terima kasih.”

“Ya. Jika ada yang tidak dimengerti, tanyakan saja.” 

Dia tampak seperti wanita yang bisa diandalkan. Senyumnya lebih mirip senyum nakal daripada manis. Hmm, sepertinya dia akan disukai oleh banyak orang. 

Baiklah sekarang.... mari kita mulai. 

Setelah berkutat dengan buku panduan selama satu jam, aku akhirnya berhasil sampai ke halaman terakhir. Bagian terakhir adalah instalasi perangkat lunak bernama Slack. Slack adalah alat komunikasi chat yang ditujukan untuk bisnis (begitulah yang tertulis di buku panduan). 

Setelah selesai menginstal perangkat lunak, aku berdiri dari kursi dan pergi melapor kepada Wada-san. 

“Aku sudah selesai, mohon konfirmasinya.”

Aku kembali bersama Wada-san ke tempat dudukku. Aku mengarahkan layar laptopku agar bisa dilihat oleh Wada-san dan memintanya untuk memeriksa. 

Setelah memastikan bahwa aku telah mengikuti manual dengan benar, Wada-san membiarkanku mengoperasikan Slack dan bergabung dengan beberapa ruang kerja. Di dalam Slack, orang-orang yang dapat bergabung dapat ditentukan berdasarkan proyek, yaitu tujuan pekerjaan. Dengan cara begini, kerahasiaan dapat terjaga, dan peserta dapat berdiskusi serta berbagi materi dengan bebas. 

Jika kamu membayangkan ruang obrolan LINE, mungkin rasanya lebih mudah dipahami secara intuitif. 

Sebagai CEO perusahaan seperti Ruka-san, tentu saja dia dapat melihat semua ruang kerja. Sedangkan aku, yang baru saja bergabung hari ini, tidak bisa masuk ke tempat yang penting. Untuk sementara, aku hanya diberikan akses ke tiga ruang kerja. Kedengarannya sesuai dengan kapasitas seorang sekretaris baru. 

“Aku mendengar ini pekerjaan desain pertamamu...”

“Ya.”

“Kalau begitu, kurasa ada banyak hal yang tidak kamu mengerti, jadi coba lihat log percakapan yang ada di sini. Karena jumlahnya banyak, mungkin tidak bisa semua dibaca, tapi, ehmm, Saki-san, mungkin kamu bisa bekerja sampai sekitar jam setengah enam sore.”

Ketika aku bekerja paruh waktu di toko buku, aku bekerja hingga larut malam, jadi aku bilang aku bisa bekerja lebih banyak, tetapi aku dinasihati untuk tidak memaksakan diri di hari pertama. 

Setelah mengangguk dengan patuh, aku mulai membaca log ruang kerja tersebut.

Wada-san kembali ke tempat duduknya. 

Namun, tidak lama kemudian, terdengar suara notifikasi *pip* dan muncul tanda bahwa ada pesan yang masuk ke ikon Slack. Ketika dibuka, ternyata itu pesan dari Wada-san. 

Tugas utama Saki-san adalah membalas pesan Akihiro di Slack, merangkum informasi, dan membagikannya kepada Akihiro. 

Hmm, hmm, begitu. 

Selain itu, kurasa kamu juga akan diminta membantu tugas-tugas administrasi umum seperti mengatur jadwal rapat dan mengisinya dalam kalender yang tersedia. Aku akan memberitahu rinciannya lebih lanjut seiring waktu. 

Oh, instruksinya sangat lengkap sekali. Saat bekerja paruh waktu di toko buku, ada Yuuta yang mengajarkan semuanya dari awal. Dirinya sangat membantuku saat itu, tetapi kali ini aku sudah siap menghadapi kesulitan karena berada di lingkungan yang sepenuhnya baru. Namun, tampaknya aku cukup beruntung memiliki atasan yang baik di tempat kerja ini. 

Terima kasih banyak. Aku mohon bantuannya. 

Setelah membalas, aku mulai melanjutkan membaca log kerja. 

Pertama, aku akan membaca dari ruang kerja berjudul [Roppongi Art Festa]. Dari judulnya, sepertinya ini semacam acara pameran seni... 

Aku tiba-tiba mendengar suara kecil *tok* yang samar-samar dan membuatku sadar akan lingkungan sekitar. 

“Jangan terlalu memaksakan diri.” 

Ketika menoleh, aku melihat ada gelas kertas dengan pemegang yang diletakkan di ruang kosong di atas mejaku. Cairan berwarna cokelat tua, hampir hitam, terisi sekitar tujuh persepuluh. Itu kopi. Kemudian aku menyadari kalai wanita yang meletakkannya juga memegang gelas yang sama. 

“Minumlah.”

Dia berkata sambil duduk di sebelahku. Dia adalah orang yang memberitahuku tentang lokasi colokan listrik sebelumnya. 

“Terima kasih.”

“Ah, kamu tidak perlu berterima kasih. Aku hanya mengambilnya dari sana." 

Saat aku melihat ke arah yang ditunjuk, ada mesin kopi kecil di atas meja di samping dinding. 

“Alat itu lumayan bermanfaat loh. Kamu bebas menggunakannya kapan saja." 

“Apa itu mirip seperti mesin penyedia teh?" 

Ketika aku mengatakannya dengan santai, dia justru tertawa. Apa aku mengucapkan sesuatu yang aneh? 

“Yah, bisa dibilang begitu.... Jika kamu seorang pelajar, wajar jika langsung teringat pada mesin penyedia teh di kantin.”

“Iya. Semasa SMA-ku dulu juga ada. Tapi minumannya berbayar, jadi aku hampir tidak pernah menggunakannya.” 

“Di sini sih gratis. Meskipun rasanya tidak seenak di kedai kopi. Jika ingin minum, kamu bisa mengambilnya dari sana kapan saja.”

“Baiklah.”

“Jadi, bagaimana? Apa ada bagian yang tidak kamu mengerti?” 

Dia menunjuk laptopku dengan dagunya. 

“Jika ditanya begitu, ketimbang tidak mengerti apa-apa, aku justru bingung harus memulainya dari mana.” 

Setelah aku menjawab dengan jujur, wajahnya sempat tampak bingung sejenak sebelum dia tersenyum lebar. 

“Ahahaha! Jujur itu bagus. Yup, kamu memang bakat yang langka.” 

“Bakat yang langka?”

Suara tawanya yang keras membuat orang-orang di sekitar mengernyitkan dahi, tetapi mereka tidak memperhatikannya secara khusus, hanya menunjukkan ekspresi seolah berkata “lagi-lagi”. Sepertinya ini adalah mode normalnya. 

...Sepertinya tidak sopan terus-menerus menyebutnya dengan “dia”. 

“Umm, namaku Ayase Saki.” 

“Aku tahu. Tadi kamu sudah memperkenalkan diri. Oh, iya, namaku Satozaki Ryouko.”

Satozaki Ryouko, ya. 

Baiklah, aku sudah mengingatnya. 

“Ryouko-san, umm, apa maksudnya dengan bakat langka yang kamu katakan tadi?” 

“Aku diberitahu bahwa mulai minggu depan, mereka akan merekrut satu orang untuk magang. 'Karena dia adalah bakat langka yang lulus ujian di Universitas Wanita Tsukinomiya,' katanya.”

“Ah.”

...Tapi, aku ini orang awam yang tidak pernah belajar desain. Aku jadi penasaran, bakat apa yang dimaksud? 

“Jadi, presiden bilang jangan memperlakukanmu seperti mainan.”

“Ugh.”

Intinya, itu berarti jangan mengintimidasi. Ya, jika seorang pemula terjun ke dalam lingkungan profesional, wajar saka jika ada yang merasa tidak suka. Aku sudah siap untuk itu. 

“Sebenarnya, aku juga tidak mengerti mengapa aku bisa diterima.”

“Apa kamu pernah belajar desain?” 

Aku menggelengkan kepala. 

“Aku bahkan tidak pernah belajar menggambar.”

“Hee~”

Dia tersenyum lebar, dan aku mulai penasaran maksud di balik senyumannya. 

“Ya, selama kamu bisa bekerja, itu sudah cukup. Jadi, tentang pertanyaan tadi, apa kamu merasa bingung tentang apa yang harus ditanyakan?”

Setelah mendengar itu, aku mulai berpikir. 

Aku beru saja selesai membaca salah satu catatan ruang kerja...

“Soal ini, ‘Roppongi Art Festa’.”

Aku berkata demikian sambil menunjuk layar laptopku. 

“Ya.”

Sepertinya ini merupakan proyek berskala besar yang melibatkan pameran dan pengembangan karya seni di area Roppongi yang luas. 

“Dari catatan yang kubaca, sepertinya Akihiro—Ruka-san yang bertanggung jawab atas proyek umm...” 

Aku melirik ke laptop. Begitu. 

“Sepertinya dialah yang bertanggung jawab atas 'Creative Direction'?” 

“Ya, benar.”

“Dengan kata lain, dialah yang mengawasi penataan dan komposisi keseluruhan seni? Bukan hanya memastikan penampilannya bagus, tetapi juga menyesuaikan agar setiap karya sesuai dengan tema dan dapat menarik perhatian penonton dengan efektif?”

“Kurang lebih begitulah gambaran umumnya. Tentu saja, Ruka tidak melakukannya sendiri.” 

“Hebat sekali.”

“Ya, bagi perusahaan kecil seperti kami, ini proyek yang sangat besar. Rasanya tidak berlebihan kalau dibilang ini proyek terbesar sejak perusahaan didirikan.” 

Itu dia. 

“Umm, apa aku bisa melakukan sesuatu untuk pekerjaan sebesar itu?"

Ketika aku bertanya seperti itu, Satozaki-san kembali tersenyum dengan senyuman nakal yang sama seperti sebelumnya. 

“Tentu saja tidak ada,” jawabannya begitu tegas dan langsung. Ketika aku melirik sekeliling, orang-orang di sekitar juga mengangguk-angguk ringan. Ah. 

“…Iya, ya. Benar juga.”

Tak peduli bagaimana aku memikirkannya, aku tidak merasa memiliki kemampuan yang bisa berguna.  Tapi kemudian, saat aku terkulai lemas, Satozaki-san dengan santai berkata kepadaku, 

“Itulah sebabnya kamu menjadi sekretaris, ‘kan?” 

“Eh?”

Apa maksudnya? 

“Kalau kamu memiliki kemampuan tertentu, pekerjaan itu akan dibagikan. Tentu saja, ada bagusnya memiliki keahlian sebagai desainer. Keterampilan dasar seperti rasa warna, kemampuan komposisi, dan panduan visual itu penting. Kemampuan untuk menguasai berbagai alat juga penting.”

“Kurasa aku tidak memiliki semua itu.”

“Kalau kamu bisa melakukan semuanya, pekerjaan kami akan hilang." 

Sekali lagi, orang-orang di sekitar kami mulai mengangguk. Meskipun mereka bekerja, mereka tetap mendengarkan dengan baik. 

“Tapi, pekerjaan desain tidak sebatas hanya itu saja. Pemikiran logis, kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan abstraksi juga penting. Jika kita berharap pada mahasiswa aktif dari kampus Tsukinomiya, mungkin itulah yang diharapkan.” 

“Kemampuan abstraksi..” 

“Mampu membaca sejumlah besar catatan dan mengekstrak hal-hal penting darinya adalah keterampilan yang penting. Pertama-tama, apakah kamu bisa melakukannya? Jadi, yang semangat ya.” 

Setelah tersenyum lagi, Satozaki-san kembali melanjutkan pekerjaannya. 

Hmm. 

Aku melihat ke dalam cangkir kopi di tanganku. Kopi hitam itu tersisa sekitar sepertiga di dasar cangkir. 

Meskipun aku menggoyangnya sedikit, dasar cangkir yang berputar tidak terlihat. Perkataan Satozaki-san sebelumnya kembali terngiang di benakku. 

──Tentu saja tidak mungkin. 

Sial. Meskipun itu hal yang sudah jelas, tapi aku merasa kecewa dengan diriku sendiri karena melanggar aturan sederhana ini. Aku menghabiskan kopi yang tersisa di cangkir dan memaksanya masuk ke dalam perutku. 

Dua lagi. Aku pasti akan menyelesaikannya dan merangkum semuanya hari ini. 

Setelah berjuang selama dua jam, akhirnya aku berhasil menyelesaikan catatan ruang kerja yang ditugaskan dan mencatatnya dengan caraku sendiri, lalu tiba-tiiba ada seseorang yang menepuk bahuku. 

“Baiklaj. Sampai di sini saja dulu untuk hari ini.” 

Ketika aku menoleh, ada Ruka-san yang berdiri di sana. 

Aku mengangkat wajahku dan melihat jam analog yang tergantung di dinding menunjukkan waktu sedikit melewati pukul lima sore. Setelah melihat sekeliling, belum ada yang menunjukkan tanda-tanda ingin pulang. 

“Ehm, tapi...”

“Tidak boleh, tidak boleh. Jangan terlalu berusaha sejak hari pertama. Pekerjaan itu seperti pekerjaan rumah. Tentu saja ada momen-momen sulit dalam kenyataannya, tetapi tidak ada gunanya memaksakan diri.” 

“Sama seperti pekerjaan rumah... Apa itu berarti idealnya bisa dilakukan setiap hari dengan mudah?”

“Ya, benar. Karena ini baru hari pertamamu, jadi kamu tidak boleh kelelahan di sini. Ngomong-ngomong, tentang besok. Besok kamu ada jadwal perkuliahan di sore hari, ‘kan?”

“Iya.”

“Kira-kira pukul berapa kamu bisa datang?" 

Jam perkulianku berakhir pukul 16:30, jadi, 

“Kurasa aku bisa sampai di sini paling cepat pukul 17:20.” 

“Kalau begitu, kurasa bakalan sempat. Aku sedang berpikir untuk mengajakmu ikut denganku ke rapat mulai besok.”

“Rapat?”

“Ya. Aku akan menghadiri rapat pertemuan untuk 'Roppongi Art Festa'.” 

“Aku juga ikut rapat itu?”

“Kamu sekretarisku, jadi aku ingin kamu tahu tentang semua proyek yang kutangani. Aku juga akan memintamu untuk mencatat risalah.” 

“…Baik.” 

Aku mulai merasa sedikit gugup. Tapi 'Roppongi Art Festa' adalah proyek pekerjaan pertama yang aku ikuti. Karena itu yang pertama, aku mencatatnya dengan sangat baik. Mungkin ini keberuntungan. 

“Rapat akan berlangsung sekitar dua jam mulai pukul tujuh malam. Lokasinya juga di Roppongi, jadi setelah selesai, kamu bisa langsung pulang. Dengan begitu, kamu tidak akan pulang terlalu larut malam.” 

“Ya, tidak masalah.”

Pelajar SMA hanya diperbolehkan bekerja hingga pukul 10 malam, tetapi karena aku sudah mahasiswa, batasan itu tidak ada. Namun, aku ingin menghindari pekerjaan yang berakhir setelah tengah malam karena itu pasti akan mengganggu kuliah keesokan harinya. Jika selesai pukul 21:00 dan dibubarkan di Roppongi, aku tidak akan keberatan. 

“Ngomong-ngomong, rata-rata jam kerja mahasiswa itu sekitar sembilan jam per minggu. Lebih sedikit dari yang kukira.” 

“Ah.”

“Aku tidak tahu seberapa banyak yang bisa dimanfaatkan, jadi aku mencari tahu.” 

Memanfaatkan, ya... 

Aku merasa cara berbicaranya seperti Ruka-san sekali. 

“Jadi, kupikir setelah kamu masuk ke kantor, dua jam adalah patokannya.”

“Dua jam...”

Sejujurnya, rasanya masih terlalu singkat untuk belajar pekerjaan. 

“Sebagai gantinya, aku ingin datang sesering mungkin. Aku berharap kamu bisa masuk setiap hari, tetapi kadang-kadang kuliah bisa sampai malam, ‘kan?” 

“Jika ada jadwal perkuliahan kelima, aku akan selesai sekitar pukul 18:10. Mungkin aku baru bisa masuk kantor sekitar pukul 19:00.” 

“Pada hari itu, kamu tidak perlu memaksakan diri untuk masuk. Jika kamu masuk tanpa makan malam, yang ada malah berdampak tidak efektif, dan jika kamu makan terlebih dahulu, pulangnya pasti akan larut. Itu akan mengganggu persiapan dan ulasan kuliah, bukan?” 

Aku terdiam. Karena perkataannya memang benar.

Hanya ada satu hari dalam seminggu di mana aku memiliki perkuliahan hingga jam kelima, tapi itu berarti aku tidak bisa berangkat magang pada hari itu. 

“Aku belum menilai kemampuan desainmu saat ini. Aku belum pernah melihat karya-karyamu. Jika kamu mahir, seharusnya kamu sudah masuk ke sekolah seni atau sekolah kejuruan.”

…Aku tidak mempunyai kalimat yang pas untuk membalasnya. Karena itu juga benar. 

“Untuk saat ini, bisa dibilang, aku menemukan nilai dalam kenyataan bahwa kamu adalah mahasiswa dari kampus Tsukinomiya.”

Ruka-san mengatakan hal yang sama seperti yang diucapkan oleh Satozaki-san. 

“Oleh karena itu, aku tidak ingin kamu mengabaikan perkuliahanmu. Itu akan membuang keunggulanmu. Tentu saja, jika pekerjaan di sini menjadi menarik dan kamu merasa tidak peduli lagi dengan universitas, ceritanya bakal lain lagi. Namun, itu juga merupakan pilihan yang sulit. Pendidikan masih merupakan gelar penting. Meninggalkan pendidikanmu demi menguasai keterampilan dan mencari pekerjaan demi bertahan hidup selalu sulit, tidak peduli apapun zamannya. Masyarakat cenderung memandang rendah dirimu.” 

“Ya, aku setuju. Aku juga berpikir begitu.” 

Itulah alasan aku mengejar universitas yang dianggap memiliki tingkat tinggi. Aku selalu berpikir seperti itu karena melihat perjuangan ibuku. Sejujurnya, aku ingin memiliki gelar yang cukup untuk menangkis prasangka. 

“Jadi begitulah, kalau bisa, datanglah ke kantor sesering mungkin. Ketika kamu datang, usahakan bekerja selama dua jam dan jangan bermalas-malasan. Bisakah kamu melakukannya?”

“Aku akan melakukannya.”

Aku bukan menjawab, “Aku bisa”, tapi “Aku akan melakukannya”. 

Setelah mendengar jawaban itu, Ruka-san mengangguk dan mengulangi rencana untuk besok sekali lagi. Aku mencatat apa yang dia katakan di catatan ponselku supaya tidak melupakannya. 

Setelah berpamitan kepada karyawan lain, aku membuang cangkir kertas ke tempat sampah, mengembalikan laptop ke tempat penyimpanan, lalu keluar dari kantor. 

Dalam perjalanan pulang di dalam kereta, aku merenungkan hari yang sibuk ini. 

Catatan ruang kerja itu dipenuhi dengan berbagai orang yang menyampaikan pendapat tentang proyek dari berbagai posisi, dan banyak istilah teknis yang belum kupahami, jadi aku tidak bisa mengatakan bahwa aku memahami semuanya. Jadi yang kulakukan hanyalah mengikuti pernyataan Ruka-san sebagai fokus dalam log. Karena pekerjaanku adalah sebagai sekretaris Ruka-san, aku berpikir penting untuk memahami apa yang dia pikirkan dan niat di balik pernyataannya. Dengan mengikuti cara tersebut, aku samar-samar bisa merasakan posisi atau sudut pandang Ruka-san terhadap proyek yang sedang diikutinya. 

Aku terus mengikuti catatan kerja dengan perhatian pada hal-hal tersebut, dan melihatnya dengan cara itu, meskipun aku tidak memahami detailnya, ternyata menarik. Ketika ada pendapat yang bertentangan, aku bisa merasakan ke mana Ruka-san berusaha mengarahkan kesimpulan. 

Meski sangat menantang, tetapi juga menyenangkan. Begitulah yang kurasakan.

Aku bersandar pada pintu kereta dan menatap pemandangan malam dengan kosong. Saat mendekati Shibuya, lampu-lampu perkotaan semakin banyak. Ketika aku menganggap kalau pemandangan itu cukup indah, aku sudah mengangkat ponselku di satu tangan dan mengaktifkan kamera. Ngomong-ngomong, aku pernah mendengar bahwa saat mengambil gambar melalui jendela, lebih baik menempelkan kamera ke kaca. Kalau begitu ayo kita cona. Aku menekan tombol shutter ke arah lampu gedung Shibuya yang terlihat dari jauh. 

Meskipun dari dalam kereta yang bergetar, hasil fotonya ternyata lebih bagus dari yang kubayangkan. 

Aku mengubahnya ke dalam mode edit dan memprosesnya lebih lanjut. Aku mengeluarkan papan iklan yang tidak perlu yang mengganggu bagian yang ingin aku tonjolkan, mengatur kecerahan keseluruhan, dan menyesuaikan saturasi sebelum mengunggahnya ke akun Instagramku. 

Ketika aku melihat kembali foto yang sudah diposting, perhatianku tiba-tiba tertuju pada akun Yuuta yang kuikuti. 

Ngomong-ngomong, meskipun dirinya sudah membuat akun, ia belum pernah memposting satu pun. Melihat halaman profil Yuuta yang hanya memiliki ikon default, aku jadi teringat saat pertama kali bertemu dengannya. 

Saat pertama kali—ya, pada saat itulah kami menyapa satu sama lain di restoran keluarga. 

Setelah itu, kami berbicara tentang kesamaan yang kami miliki dan memutuskan untuk saling menyesuaikan satu sama lain, sedikit demi sedikit aku mulai melihat gambaran Asamura Yuuta sebagai sosok pribadi. Namun sejujurnya, pada awalnya, aku tidak bisa memahami apa yang ada di pikirannya atau dirinya itu orang yang seperti apa. 

Bisa dibilang, aku tidak tertarik. 

Sekarang berbeda. Aku tertarik dan mulai memahami sedikit. Tapi aku ingin tahu lebih banyak. Jika Yuuta mengambil foto, apa yang ia pikirkan dan apa yang diambilnya? Pasti ada gambaran tentang dirinya yang terlihat dari foto-foto yang diambilnya. 

Aku merenungkan hal itu, dan tiba-tiba kepikiran, mungkin ini juga berlaku untuk diriku sendiri. Aku pun tanpa sengaja melihat kembali akun Instagramku. 

…Ada banyak foto makanan. 

Tidak, ini bukan berarti aku ingin menunjukkan kepada orang-orang bahwa aku adalah gadis yang rakus. Lihatlah, aku bahkan memposting foto-foto fashion juga. Astaga. …Aku sedang mencari-cari alasan kepada siapa sih? 

Aku sedikit penasaran tentang foto apa yang akan diunggah Yuuta jika dirinya mulai memainkan Instagram, tetapi… ya, setiap orang mempunyai kesukaan yang berbeda-beda. 

 

◇◇◇◇

 

Keesokan harinya, Selasa. Setelah selesai kuliah, aku langsung bergerak dan tiba di kantor pada pukul 17:20. 

Aku bertemu dengan Ruka-san. Dari sana, kami menuju Roppongi di mana pertemuan akan diadakan, tetapi aku terkejut karena aku mengira kami akan naik kereta, ternyata kami menggunakan taksi.

Menggunakan taksi dengan begitu santai seperti ini, sungguh luar biasa bagi seorang pekerja. Dari Nakanosakaue yang ada di kantor menuju Roppongi jaraknya bisa hampir 10 kilometer, dan biaya taksinya hampir 5000 yen. Selain itu, karena kami menggunakan jalan tol, pasti ada biaya tol tambahan. Yang lebih mengejutkan, Ruka-san memanggil taksi melalui aplikasi, dan sepertinya biaya dibayar melalui aplikasi, jadi dia tidak membayar saat turun. 

Hanya dengan itu saja sudah membuatku merasa cemas di dalam hati. Jika sebagai mahasiswa aku terbiasa hidup dengan menggunakan taksi semudah ini, aku takut kehidupan sehari-hariku akan terganggu. 

Kami tiba di Roppongi dan turun dari mobil sekitar sepuluh menit sebelum pukul 18:00. Tempatnya di Roppongi Hills. Ya, Roppongi Hills yang terkenal itu, kompleks gedung pencakar langit yang terkenal di Tokyo. 

Setelah turun dari mobil taksi, Ruka-san langsung bertanya, “Kamu sudah makan?” Itu tentang makan malam. 

“Belum.” 

“Rapatnya dimulai pukul 19:00, jadi masih ada satu jam. Mari kita makan sesuatu di kafe.”

“Ah, baik.”

Meskipun aku menjawab demikian, aku tetap memperhatikan isi dompetku. Seharusnya aku meminta untuk mengundur waktu pertemuan 30 menit dan pergi memakan makanan cepat saji saja. 

“Ah, tidak usah khawatir. Karena aku yang traktir.”

“Apa boleh?”

“Salahku juga karena tidak memberitahumu untuk makan sebelum bertemu. Mulai sekarang, jika ada pertemuan, sebaiknya kamu langsung datang dari universitas ke sini. Jadi, pastikan untuk makan dengan baik sebelum datang.” 

“Baik, aku mengerti.”

“Oke, ayo kita pergi.”

Ketika kami mulai berjalan, beberapa bangunan bersinar terang dengan latar belakang langit senja. Setelah menikmati makan ringan di kafe yang dipilih secara acak oleh Ruka-san, kami menuju tempat pertemuan. 

 

◇◇◇◇

 

Di resepsionis di pintu masuk, Ruka-san menyampaikan namanya dan afiliasinya untuk memberitahukan kedatangannya. 

Petugas resepsi memeriksa apa ada janji dengan mengoperasikan layar di tangannya, lalu memberinya dua kartu izin yang harus digantung di leher. Ternyata, jika tidak mengenakan kartu izin itu, kami tidak bisa melewati area ini. Aku terburu-buru mengejar Ruka-san yang sudah berjalan cepat. 

“Mulai sekarang, kita sebaiknya bertemu di pintu masuk yang tadi.” 

“Ah, baik”

“Selama beberapa waktu ke depan, lebih nyaman jika kamu masuk bersamaku.”

“Itu… ya.”

Ketika ditanya apa aku bisa datang sendiri dan menunjukkan kartu izin untuk mencapai tempat tujuan, aku menjawab bahwa itu akan memberi tekanan yang cukup besar. Mana mungkin aku bisa melakukannya sendirian. Setidaknya untuk saat ini.  

Ruka-san menyapa petugas keamanan yang mengenakan seragam dengan sedikit gerakan mata dan leher, lalu lewat dengan cepat, tetapi aku merasa takut dengan tatapan tajam dari seorang pria yang mengawasi, jadi aku berjalan dengan gugup. Aku bahkan menggerakkan kartu izinku ke posisi yang lebih terlihat. Terima kasih atas kerja kerasnya. Aku bukan orang mencurigakan, lho? 

Tingkat keamanan di sini jauh lebih ketat dibandingkan dengan sekolah atau toko buku tempatku bekerja sebelumnya. 

Kami naik lift dan turun di lantai tujuh. 

“Ini dia.”

Sambil berbicara demikian, Ruka-san mengambil telepon internal yang terpasang di depan pintu. Setelah menekan nomor dan terhubung, dia mengatakan, “Ini Akihiro Ruka dari Lucca Design Studio.” 

Tak lama kemudian, pintu terbuka dari dalam.

Pria tua yang muncul tampaknya sudah mengenal Ruka-san, dan dia tersenyum saat melihatnya. Setelah menyapa dengan singkat, Ruka-san memperkenalkanku. Aku berusaha untuk berdiri tegak dan perlahan-lahan membungkukkan badan. Aku menyebutkan namaku “Ayase Saki” dan mengucapkan salam—aku berhasil mengatakannya. 

Tiba-tiba, pria itu memasukkan tangan ke dalam saku dadanya. 

Sebuah papan logam tipis—tidak, rupanya itu adalah tempat kartu nama. Dirinya mengeluarkan kartu nama dari kotak perak dan segera memberikannya kepadaku. Ini buruk. 

“Eh... maaf, aku belum punya kartu nama.”

“Tidak apa-apa, tidak usah khawatir. Nanti saja.”

Ia dengan santai menerima permintaan maafku dengan senyuman ramah. 

Luar biasa. Mungkin dia merasa sedikit terkejut di dalam hati, tetapi tanpa menunjukkan hal itu, ia berkata, “Mari masuk ke sini,” dan memimpin jalan. 

Saat kami hampir masuk, aku sekali lagi memeriksa nama perusahaan yang tertulis di pintu. Itu adalah nama perusahaan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Setelah mencari informasi kemudian, rupanya itu agen iklan yang berafiliasi dengan stasiun televisi. 

Sambil berjalan, Ruka-san berbisik, “Aku akan segera membuat kartu nama untukmu”. Aku mengangguk kecil sebagai tanda setuju. 

Kami dibawa ke ruang rapat besar. Ruangannya cukup luas, berukuran sekitar sepuluh tatami. Di tengahnya terdapat meja besar berbentuk oval yang panjang, dikelilingi oleh kursi-kursi yang tertata rapi. Di bagian belakang terdapat layar putih yang terbuat dari kain, dan di atas meja ada proyektor. Hanya cahaya putih yang mengenai layar, dan saat ini belum ada gambar yang ditampilkan. 

Meskipun rapat dimulai sepuluh menit lagi, sudah setengah dari kursi terisi. 

Ada banyak peserta pria yang terlihat berusia sekitar 40 hingga 50 tahunan, tetapi rasio wanita juga cukup tinggi. 

[Roppongi Art Festa] adalah proyek besar yang melibatkan fasilitas dan perusahaan terkenal seperti National Art Center, Tokyo Midtown, Mori Building, dan Asosiasi Promosi Toko Roppongi. Rapat kali ini adalah pertemuan rutin dari panitia penggerak proyek tersebut. 

Karena pertemuan ini diadakan setelah jam kerja masing-masing fasilitas dan perusahaan, maka waktu pertemuannya menjadi larut, yaitu pukul 19:00. 

Di sini, aku akan merangkum poin-poin penting tentang [Roppongi Art Festa]. 

Secara singkat, ini bukanlah pameran yang menggunakan tempat khusus seperti museum, tetapi sebuah festival yang bertujuan untuk menampilkan karya-karya seniman agar menyatu dengan pemandangan kota dan menghibur orang-orang yang berlalu lalang. 

Pameran seninya akan ditampilkan dan berkembang di area yang luas di tengah kota. 

Oleh karena itu, izin dari pemilik bisnis yang ada di lokasi pameran harus diperoleh, dan jika memungkinkan, kami juga ingin meminta kerjasama mereka. Untuk itulah, perlu ada keuntungan bagi kedua belah pihak, dan kami harus berusaha untuk meningkatkan jumlah pengunjung ke toko dan gedung melalui pameran seniman. 

Begitulah yang dibahas di ruang rapat. 

Ruka-san bertanggung jawab atas pengarahan kreatif secara keseluruhan, termasuk desain tata ruang dan pemilihan seniman dalam kepanitiaan. Inilah hal yang kurangkum kemarin saat berbicara dengan Satozaki-san.

Rapat dimulai tepat waktu. 

Agenda hari ini ditampilkan di layar oleh proyektor. 

Seorang wanita yang berbicara sambil menunjukkan materi yang tampaknya dibuat dengan PowerPoint adalah orang yang tampaknya bertanggung jawab atas Jalan Perbelanjaan Roppongi. Dia mengenakan kacamata bingkai perak dan tampak berusia sekitar empat puluhan. Dengan nada bicara yang jelas, dia menunjukkan materi yang menggambarkan rute pergerakan pelanggan di kawasan tersebut. Materi itu menunjukkan kapan dan di mana pelanggan paling banyak berkumpul, serta di mana tempat yang sepi. 

Hal ini dapat dipahami secara intuitif, tetapi saat makan siang dan senja, restoran pasti ramai dikunjungi. Tempat yang jauh dari restoran memiliki lebih sedikit pengunjung. 

Dia memajang dokumen-dokumen ini di samping pameran yang sedang berlangsung, dan menyarankan agar penempatan beberapa karya seni ditata ulang. Dia berpendapat bahwa hal ini mungkin agak ekstrem untuk sebuah pameran di lokasi yang sering ramai dengan keluarga pada hari-hari tertentu. Memang, jika dipikirkan, itu sangat masuk akal. 

Tentu saja, pihak seniman juga memiliki pendapat mereka, dan jika lokasi sebuah karya diubah, beberapa orang mungkin akan kesulitan karena harus dipindahkan secara berurutan. Itu juga sangat wajar. 

Ruka-san mendengarkan semua pendapat tersebut tanpa banyak berkomentar. 

Meski dia sesekali mengajukan pertanyaan untuk mengonfirmasi hal-hal kecil, tapi dia hampir tidak pernah mengangkat suaranya. Aku duduk di samping Ruka-san dan berusaha keras mencatat isi percakapan. 

—Soal notulen rapat. Ruka-san memberitahuku saat kami makan malam di kafe tadi. Aku tidak perlu mencatat setiap detail percakapan secara lengkap. Jika ingin catatan seperti itu, lebih cepat menggunakan perekam suara, dan kecuali bisa mencatat dengan cepat, mana mungkin untuk merekam setiap kata. Sebenarnya, rapat ini direkam dan catatan rapat dapat dirujuk sebagai materi. Ya, aku sudah memverifikasi hal itu di ruang kerja. Lalu, mengapa aku ada di sini? 

“Jika hanya untuk berdiskusi, cukup unggah materi ke server dan lakukan di Slack. Namun, ada hal-hal yang tidak dapat disampaikan jika tidak bertemu langsung. Itulah yang aku ingin kamu catat, Saki.” 

Yang perlu diperhatikan adalah emosi peserta rapat, ujarnya. 

Informasi tertulis yang diunggah ke ruang kerja tidaklah sempurna. Ketika manusia berbicara secara tatap muka, mereka memberikan lebih banyak informasi kepada lawan bicara daripada yang diucapkan. Hal-hal seperti nuansa dan suasana hati termasuk di dalamnya. 

Ketika seseorang mengemukakan pendapat, sejauh mana mereka menekankan pendapat tersebut.

Apa ini sesuatu yang tidak bisa ditawar, ataukah hanya pernyataan tanpa keyakinan yang disampaikan? Informasi semacam itu bisa terdeteksi dalam percakapan, tetapi ketika hanya tertulis, informasi tersebut hilang. Seseorang yang menentang sebuah pendapat mungkin melakukannya karena tidak setuju dengan pendapat itu, atau mungkin hanya karena mereka tidak suka dengan orang yang mengemukakan pendapat tersebut. Ruka-san dengan santai menyatakan bahwa meskipun ini adalah rapat orang dewasa, tidak ada jaminan bahwa perasaan pribadi takkan terlibat. Dia bahkan mengatakan bahwa orang dewasa terkadang bersikap kekanak-kanakan dengan menggunakan formalitas sebagai senjata. Cara penyampaiannya yang datar membuatnya terasa lebih menakutkan. Tatapannya terlalu dingin, seolah-olah tidak memberi ampun. 

Aku merasa ragu apa ini benar, tapi aku menyadari bahwa ketika seorang wanita muda yang berbicara dengan nada cukup tajam (yang mengingatkanku pada Melissa) mengemukakan pendapat, selalu ada seseorang yang mengernyitkan dahi. Pria itu menggambar panah dengan pena ke arah wanita tersebut dan menambahkan tanda silang. Ruka-san mengangkat tangan seolah ingin mengonfirmasi, lalu mulai mengajukan beberapa pertanyaan. Wanita yang sebelumnya berbicara dengan penuh semangat itu sedikit terdiam untuk menjawab pertanyaan Ruka-san. Kemudian, dia menjawab sambil membolak-balik materi. Suasana kembali tenang, dan kerutan di dahi pria yang mengernyit itu pun menghilang.... 

Sepertinya, pertanyaan Ruka-san kali ini lebih untuk menenangkan suasana daripada benar-benar ingin mengajukan pertanyaan. 

Setelah menyadari hal ini, aku mulai mengerti bahwa Ruka-san tampak seperti hanya mendengarkan rapat, tetapi sebenarnya dia mengeluarkan komentar ketika suasana mulai melenceng atau terlalu tegang. Namun, bukannya tugas Ruka-san hanya sebagai direktur desain acara? Mengapa dia juga bertindak seolah-olah menjadi ketua yang tersembunyi? 

Setelah pernyataan dari ketua Jalanan Perbelanjaan Roppongi selesai, ketua rapat, yang juga berfungsi sebagai moderator, kembali meminta pertanyaan dan pertukaran pendapat. 

Ruka-san mengangkat tangan dan berdiri. 

“Aku memahami apa yang Anda katakan, dan menurutku kita perlu mempertimbangkannya. Sebaiknya kita harus menghindari hal-hal yang membuat beberapa toko dirugikan dengan adanya penyelenggaraan acara ini, supaya hal ini bisa menjadi inisiatif berkelanjutan yang lebih dari sekadar acara tahun ini saja.” 

Ruka-san mengatakannya dan melirik sekeliling untuk mencari persetujuan. Tidak ada yang secara terbuka menolak pendapat Ruka-san. Namun, ada perbedaan suhu. Beberapa orang mengangguk dengan antusias, sementara yang lain tampak enggan. Aku mencatat kesanku tentang hal ini sebisa mungkin. Menulis dalam bentuk kalimat terasa lambat, jadi aku menggunakan tanda cek atau silang. Aku juga memanfaatkan anakronisme. 

Mana mungkin aku bisa mengingat semua nama peserta rapat, jadi aku hanya bisa mencatat berdasarkan posisi mereka duduk. Kurasa aku harus mengonfirmasi detailnya lagi dengan Ruka-san nanti. Aku ingin mengambil foto, tetapi aku yakin itu akan membuatku dimarahi. 

“Aku ingin menggarisbawahi bahwa meskipun kita akan mempertimbangkan rencana konkretnya di Slack, tapi ada beberapa hal yang sulit untuk diterapkan di lokasi yang Anda sebutkan.”

“Sulit....apa maksudmu?”

Wanita tua──seorang wanita yang sudah lanjut usia dengan kacamata bingkai perak itu berkata dengan sedikit kebingungan. 

“Tergantung pada cuaca dan waktunya, angin dari gedung-gedung di lokasi itu pasti cukup kencang. Benar, kan?

……Ah, ngomong-ngomong. Ya, benar.  

Moderator rapat mengatakannya seolah-olah baru ingat, tetapi bagaimana mungkin Ruka-san yang mengingat hal-hal yang bahkan orang yang bertanggung jawab atas distrik perbelanjaan tidak bisa mengingatnya… (Setelah ditanya, ternyata ruang tempat acara diadakan telah dikunjungi dan diperiksa beberapa kali pada waktu dan hari yang berbeda). 

Ruka-san melanjutkan penjelasannya. 

Beberapa pameran fashion dan seni tiga dimensi akan sulit dipamerkan jika terpapar angin. Jadi, sepertinya tidak mungkin untuk menukarnya.

Ah, aku mengerti. Begitu ya.

Jika Anda bisa mempertimbangkan itu, kurasa itu sudah cukup. Kita bisa mendiskusikan rinciannya lebih lanjut di Slack." 

Setelah merangkum hal tersebut, Ruka-san duduk di kursi. 

Pembawa acara meminta apa ada pendapat lain, dan petugas keamanan gedung serta koordinator seniman yang hadir masing-masing memberikan pandangan singkat. Mereka sepakat untuk melanjutkan diskusi di Slack mengenai pendapat tersebut. Ternyata, penting untuk menemukan arah keseluruhan dalam rapat ini, dan semua rincian akan dibawa kembali ke ruang kerja. 

Akhirnya, mereka memeriksa kembali jadwal ke depan dan membubarkan rapat. 

Meskipun rapat hanya berlangsung selama dua jam, saat selesai aku merasa terlalu fokus hingga kepalaku sakit. Ini…… pekerjaan yang berat. 

 

◇◇◇◇

 

Dalam perjalanan pulang, aku menumpangi taksi bersama Ruka-san. 

Karena kita menuju ke arah yang sama, bagaimana kalau kita naik sampai Shibuya?

Aku tergiur untuk mengiyakan ajakannya

Aku memintanya untuk menurunkanku di tempat yang nyaman di dekat rumahku, dan dari sana aku memutuskan untuk berjalan kaki menuju apartemenku. 

Saat mendongak ke atas, aku melihat bulan sabit mulai terbit di langit malam. Saat melewati taman, aku mencium aroma samar-samar bunga yang bercampur dengan aroma dedaunan hijau. Bau apa ya? Jika saat ini, mungkin lilac atau dogwood? Mungkin saat aku melewati taman lagi, aku akan melihatnya melalui pagar kawat. Tanpa kusadari, musim bunga awal musim panas telah tiba. 

Aku berjalan sambil merenungkan hal-hal itu. 

Waktunya sudah cukup larut malam ketika aku tiba di rumah. Dengan suara pelan Selamat datang, (karena Ayah tiri sudah tertidur), aku mengintip ke dalam ruang tamu. 

Yuuta yang sedang membaca buku di sofa mengangkat wajahnya. 

Selamat datang kembali. Aku dengar kamu sudah makan malam, tapi bagaimana? 

Aku mencari tahu keadaan perutku. Sepertinya aku memang agak lapar. 

Sepertinya aku ingin memasukkan sesuatu ke dalam perut. 

Baiklah. Aku juga hanya makan sedikit, jadi aku akan menemanimu.

Eh?

Jangan-jangan, ia sengaja menungguku tanpa makan malam?

Mungkin karena aku terlihat terkejut, Yuuta langsung menyadarinya dan berkata, Aku sudah makan dengan baik. Meskipun aku tidak bisa sepenuhnya mempercayai kata-katanya, aku memutuskan untuk tidak mengeluh dan menerima saja. 

Ketika aku melihat ke dalam kulkas, aku menemukan sedikit sashimi yang sepertinya dibeli oleh ibu. Itu adalah ikan bonito. Mungkin karena bulan Mei, ini adalah bonito pertama. Selain itu, ada sekitar sepertiga tamagoyaki yang mungkin dibuat oleh ibu. 

“Kamu tidak memakan ini? 

Ah, iya, itu yang tersisa. Tentu saja aku sudah memakan bagianku.

Kalau begitu, mari kita bagi. 

Yuuta mengangguk dan mulai memanaskan sup miso dengan menyalakan kompor induksi. Sementara itu, aku menyiapkan cangkir teh dan mangkuk… Aku juga menemukan sisa sayuran, jadi aku menambah jumlah hidangan di meja makan. Aku tidak suka jika tampilan makanan terlihat sepi. 

Setelah mengucapkan Selamat makan, kami mulai menikmati makanan. 

Jadi, bagaimana? tanya Yuuta memulai pembicaraan. Ia menanyakan pendapatku tentang pekerjaan pertama hari ini. Karena Yuuta juga tidak memiliki pengalaman magang, wajar saja jika dirinya merasa penasaran tentang perbedaan dengan pekerjaan paruh waktu di toko buku. 

Aku juga ingin berbicara, jadi aku memanfaatkan kesempatan itu untuk membuka pembicaraan. 

Dunia baru yang aku masuki dipenuhi dengan keajaiban, dan bagiku, itu membawa kesegaran serta sedikit kejutan budaya. 

Jika dipikirkan lagi dengan tenang, tidak ada perbedaan antara bekerja di toko buku dan berpartisipasi di lingkungan profesional. Meskipun aku tidak bisa mengatakan bahwa motivasiku untuk mulai bekerja paruh waktu di toko buku tidak ada unsur yang sedikit menyimpang, aku merasa cukup serius menjalani pekerjaan itu, meskipun tidak seantusias Yuuta yang sangat menyukai buku. 

Sebaliknya, bekerja di kantor desain Ruka-san muncul dari minat murniku. 

Itulah sebabnya, mungkin perasaan yang kudapatkan dalam dua hari ini, kemarin dan hari ini, begitu melekat di benakku

Tanpa aku sadari, aku hanya berbicara sepihak. Tentu saja, aku tidak bisa membicarakan hal-hal yang mungkin merupakan rahasia perusahaan. 

Maaf, aku terlalu bersemangat sendiri.

Aku meminta maaf sambil merenungkan hal itu, dan Yuuta menjawab, Tidak masalah. Hanya melihat Saki yang terlihat senang saja sudah menyenangkan. 

Hanya dengan melihatku yang terlihat senang… 

Tiba-tiba, aku berpikir. 

Apa aku bisa mengatakan hal yang sama seperti Yuuta? 

“Begini, aku sempat kepikiran. Biasanya── 

Ya?

──Rasanya kita tidak tertarik pada pengalaman orang lain. Lagipula itu adalah hal yang tidak ada hubungannya dengan diri kita, kan? 

Mendengar kata-kataku, Yuuta tampak merenung. Dirinya menyeruput teh di depannya, menghela napas, lalu menatap langit-langit. Setelah menggumam, ia berkata, 

Aku mungkin tidak masalah dengan itu. 

Begitu, ya?

Yuuta mengangguk. Lalu, ia mengatakan sesuatu yang mengejutkan bagiku. 

Karena hal itu sama saja dengan membaca buku." 

…Aku tidak begitu paham maksudmu.

Kurasa cerita pada akhirnya bercerita tentang kehidupan orang lain. Tapi penulisnya mengusahakan agar kita bisa mengidentifikasi diri dengan karakter-karakter di dalamnya, sehingga kita bisa merasakan seolah-olah kita ada di sana, mengalami semua itu dengan tegang atau berdebar-debar. Dengan cara itu, kita bisa merasakan perspektif dan cara berpikir yang tidak bisa kita miliki sendiri. 

Perspektif dan cara berpikir yang tidak bisa kita miliki sendiri… 

“Kurasa itu bisa memperluas pandangan kita dan memberikan objektivitas. 

Jadi Yuuta membaca buku dengan pemikiran seperti itu, ya

Ketika aku mengatakannya, kakak tiriku yang berada di hadapanku tampak tersenyum pahit. 

Tidak, tidak. Kurasa aku tidak membacanya sambil berpikir demikian. Aku cuma asyik membacanya saja. Tapi, mungkin setelah aku menyadari hal itu, mendengarkan cerita orang lain tidak terasa begitu menyakitkan. Saat mendengarkan cerita Saki tadi, tentu saja menyenangkan melihat Saki yang terlihat bahagia, tetapi isi ceritanya juga menarik. Misalnya, tentang bagaimana dia tidak ragu menggunakan taksi… dan pembicaraan tentang apa yang perlu diperhatikan saat mencatat dalam rapat juga menarik. Maksudnya, kita harus membuat peta jaringan, kan? 

Yuuta tidak begitu tertarik pada seni. 

Namun, ketika dirinya bekerja paruh waktu di toko buku, ia selalu memperhatikan sudut pandang pelanggan saat melihat rak-rak di toko. Sudut pandang penjual dan pelanggan tidaklah sama. Buku yang ingin dijual tidak selalu laku; yang terjual adalah buku yang ingin dibeli oleh pelanggan. 

Oleh karena itu, ia mencari tahu bagaimana cara membuat pelanggan merasa ingin membeli. 

Begitu ya, aku lalu menyadari sesuatu. Jadi maksudnya tidak melihat sesuatu dari sudut pandangmu sendiri, melainkan dari sudut pandang yang berbeda. Itulah yang Yuuta pelajari melalui membaca cerita. 

Aku teringat Yuuta yang diam-diam mendengarkan ceritaku. 

Dirinya bukan hanya baik hati. 

Sambil mendengarkan, ia berusaha untuk berbagi sudut pandangku—sudut pandangku ketika menghadapi pekerjaan magang baru. 

Sungguh luar biasa. 

Ketika aku mendengarkan ceritanya, apa aku juga mendengarkan dengan cara yang sama seperti dirinya? 

Aku merasa seolah-olah ada tangan dingin yang membelai hatiku… 

Ketika Yuuta bercerita tentang dirinya sambil tersenyum, aku pastinya merasa senang dan gembira. Tapi… Apa itu cukup untuk mengatakan bahwa kami berbagi topik? Pertanyaan itu muncul dalam pikiranku. 

Ada istilah untuk itu: bersimpati.

Artinya, bertindak seolah-olah kita peduli pada orang lain seperti pada diri kita sendiri. 

Namun, untuk bersimpati, kita harus bisa membayangkan posisi orang lain, dan untuk itu kita harus bisa berbagi sudut pandang dengan mereka. Hanya melihat Yuuta yang berbicara dengan ceria tidaklah cukup untuk mencapainya.

Yuuta tidak begitu tertarik pada seni. 

Namun, ketika Yuuta mengatakan, Menurutku bagian yang kamu katakan tadi lumayan menarik, merupakan tanggapan yang tidak bisa dirangkum hanya dengan mendengarkan secara acuh tak acuh. 

Artinya, dia benar-benar mendengarkan dengan perhatian. 

Tapi, ucap Yuuta dengan pelan

“Rasanya mungkin akan jadi masalah kalau kita tidak bisa meluangkan waktu untuk berbicara seperti ini. 

“Memangnya buruk ya kalau waktunya singkat? 

“Kurasa yang namanya komunikasi itu adalah hasil dari kualitas dan kuantitas. Jika kualitasnya ditingkatkan, kita bisa menyesuaikan hingga batas tertentu. Namun, pasti sulit jika jumlahnya berkurang. 

Jika salah satu menjadi nol, maka hasilnya akan menjadi nol. Jika salah satu menjadi negatif, maka interaksi akan semakin buruk (dan sayangnya, jika keduanya negatif, tidak ada 'sihir matematika' yang bisa membuatnya menjadi positif dalam komunikasi). 

Jadi, Yuuta menambahkan sambil mengucapkan terima kasih.Aku ingin kita bisa berbicara sambil makan bersama sebisa mungkin.

Aku berusaha tersenyum dan mengangguk, tapi jauh di lubuk hatiku, aku dipenuhi kecemasan, karena merasa kalau aku terlalu dangkal dalam berkomunikasi dibandingkan dengan Yuuta

 

◇◇◇◇

 

Libur panjang telah berakhir, dan sekarang sudah memasuki minggu kedua bulan Mei, aku mulai terbiasa dengan kehidupan kampus. 

Hari itu, dua teman baruku mengajakku untuk makan siang di luar. Mereka bilang ada tempat yang menyajikan kue panekuk yang instagramable. Ini lebih mirip makanan berat daripada pencuci mulut, yang bisa menggantikan makanan utama. 

Durasi perkuliahan di universitas berlangsung selama 90 menit. Hanya dari segi waktunya saja sudah dua kali lipat lebih lama dibandingkan saat di SMA. Beberapa dosen memberikan waktu istirahat, tetapi tetap saja, perkuliahan di universitas memerlukan lebih banyak konsentrasi dan stamina dibandingkan di SMA. Jika aku tidak makan dengan baik, perutku bisa berbunyi selama kuliah. Pikiranku menjadi tidak fokus. 

Oleh karena itu, kue panekuk kecil yang elegan saja tidaklah cukup. 

“Tempatnya agak jauh, sih, ucap Kyouka. Dia—Mizukami Kyouka, adalah gadis yang memberiku julukan aneh 'Gyaru Shishou'. Meskipun rambutnya yang disemir oranye lebih terlihat seperti gyaru, tampaknya dia melihatku sebagai gyaru tingkat tinggi. 

Jadi, umm mari kita membahas tentang jarak menuju kafenya.  

Seberapa jauh?

Sekitar delapan menit berjalan kaki dari stasiun.

Jaraknya lumayan, ya.

Setelah ditanya lebih lanjut, rupanya tempatnya berada di sisi lain rel kereta. Jika begitu, keputusan untuk cepat-cepat ke sana mungkin pilihan yang tepat. Karena tempatnya mungkin akan ramai jika sudah memasuki jam makan siang.

Tempat yang kami kunjungi ialah sebuah kafe kecil yang terletak di seberang stasiun Myougadani

Tampilan luar kafe tersebut terbuat dari kayu dengan warna coklat yang alami, memberikan suasana yang menenangkan. Nama kafe yang tertulis dalam bahasa Inggris terpampang jelas di atas pintu masuk. Di dalam, terdapat dua meja untuk empat orang, dua meja untuk dua orang, dan sebuah meja di depan. Tempat ini bisa menampung sekitar 15 hingga 16 orang. Lantai dengan pola catur terlihat stylish. Pencahayaannya tidak terlalu gelap dan tidak terlalu terang. Hmm, bagus juga. 

Tempat ini cukup ramai, tapi kami berhasil mendapatkan tempat duduk setelah menunggu sebentar. 

Aku langsung melihat menunya

Begitu rupanya, jadi ada panekuk yang disajikan dengan telur mata sapi dan bacon. Aku akan memilih ini. Jika ditambah minuman, harganya sekitaran 2000 yen. Harganya memang kurang terjangkau bagi kantong mahasiswa, tetapi sesekali tidak ada salahnya.  

Setelah memesan, aku hanya perlu menunggu sekitar 10 menit sebelum makanan diantar. Cukup cepat. 

Ada dua pancake yang empuk ditumpuk, dengan bacon tipis dan telur mata sapi di atasnya. Di sisi yang berlawanan dengan telur, terdapat es krim. Cairan di dalam mangkuk kecil itu kemungkinan sirup manis. 

Penampilannya terlihat seperti makanan berat, tetapi juga bisa dibilang camilan. Jika ingin mengubah rasa, aku bisa menaburkan garam dan merica yang ada di atas meja. 

Saat Kyouka dan temanku yang lain, Mayu (Kaneko Mayu), mengeluarkan smartphone mereka, aku juga mengeluarkan smartphoneku dari tas bahu. 

Inilah kebiasaan baru yang mulai kulakukan belakangan ini. Akhir-akhir ini, aku berusaha untuk mengambil foto hal-hal sehari-hari yang menarik perhatianku. 

Hmm, sambil melihat piring pancake di depan aku, aku berpikir. 

Apa yang menjadi ciri khas panekuk ini? Aku mencoba mengingat apa yang kurasakan saat pertama kali melihatnya. 

Tentu saja, aku menganggap kalau panekuk ini kelihatan enak, tetapi saat melihat panekuk bacon dan telur ini, aku merasa, Ah, bagus juga. Apa alasan yang sebenarnya...? 

Kenapa kamu menatap kue panekuk seperti itu seolah-olah sedang ada dendam kesumat, Saki-chan?

“Kue panekuk sudah membunuh orang tuamu, ya? Jadi, itulah sebabnya kamu bersumpah tidak akan mati sampai kamu makan 100 kue panekuk. Betul, kan? 

Mayu berkata dengan nada yang santai. Itu tidak benar. 

Aku hanya memikirkan cara mengambil fotonya.

Meskipun tidak ada pelanggan lain yang menunggu, aku harus segera memakannya agar tidak mengganggu kafe. 

Ah, aku mulai mengerti. Ini tentang simetri. Di atas panekuk yang dipanggang berwarna cokelat keemasan terdapat es krim putih yang bersih, dan telur mata sapi putih yang diletakkan setengah menutupi pancake, dengan kuning telur di tengahnya. Di atas dasar berwarna cokelat, ada es krim putih, dan di atas putih telur yang menjadi dasar telur mata sapi, terdapat kuning telur bulat. Jelas-jelas ini disengaja. Jadi... aku sedikit memutar piring agar perpaduan warnanya terlihat lebih menarik sebelum mengambil foto. 

Aku bersiap-siap untuk mulai memakannyatapi Kyouka mendadak berkata, Hei, Saki-chan, ayo ambil foto bareng.

Dia mengaktifkan mode kamera depan di ponselnya dan berkata, Ayo, ayo, sambil memindahkan kami ke sisi meja. Aku melihat layar ponsel Kyoka sedang menampilkan makanan dan kami bertiga duduk mengelilinginya. 

Selfie, ya. 

Sekilas tubuhku terasa kaku, tapi aku berusaha supaya mereka tidak menyadari dan menghela napas kecil sambil tersenyum. Nah, aku tidak terlalu keberatan lagi dengan hal ini. Yeay! Kyouka berseru sambil mengambil foto. Mayu bahkan melakukan tanda peace ganda dengan kedua tangannya. 

Tanda peace ganda? 

Kelihatannya seperti mahasiswi yang digambarkan dalam gambar—ah, memang begitu. Kami memang mahasiswi yang bersinar—JD tulen. (TN: JD itu singkatan dari Joushi Daigakusei ‘Cewek Kuliahan’) 

Setelah mempostingnya di Instagram, akhirnya kami bisa mulai makan. Ngomong-ngomong, foto yang diposting adalah di akun privat, jadi hanya pengikut yang disetujui yang bisa melihatnya. Ternyata, postingan yang terikat dengan lokasi seperti ini sebaiknya tidak diunggah secara langsung untuk banyak orang, karena bisa segera mengetahui lokasi kita. Aku tidak percaya ada orang yang punya waktu untuk melakukan itu, tetapi karena aku tidak terlalu paham tentang literasi internet, aku memutuskan untuk mengikuti saran itu. 

Aku memotong kue panekuk menjadi ukuran satu suap dan langsung memakannya

Sambil merasakan udara lembut dan hangat mengepul dari adonan di sekitar mulutku, aku memasukkannya ke dalam mulutku dan mengunyahnya. 

—Ah, enak. 

Rasa manisnya tidak berlebihan untuk makanan, dan adonannya juga lembut, meleleh saat digigit. Perubahan rasa saat dimakan bersama bacon yang renyah dan telur mata sapi yang berbumbu juga sangat menggugah selera. Rasanya benar-benar enak. Tidak disangka ada kafe kecil dalam jarak berjalan kaki dari universitas yang menyajikan panekuk seenak ini! 

Kafe ini, bagaimana kamu menemukannya? 

Aku bertanya kepada Kyouka yang sudah hampir menghabiskan panekuknya. 

Ngugh? 

Ah, santai saja, aku bisa menunggunya sampai kamu selesai makan.

Um... *kunyah**kunyah**kunyah*. Jadi gini, Mayu lah yang tahu banyak tentang ini~

Aku mengalihkan pandanganku ke arah Mayu yang duduk di sebelah kiri. 

Dia lebih lambat dalam makan dan menikmati makanan dengan sangat perlahan. 

Dia bahkan belum makan sepertiga dari piringnya. Apa dia akan sempat untuk perkuliahan sore? Aku sedikit khawatir. 

Mayu mengetuk layar smartphone-nya yang terletak di meja dengan tangan yang kosong. Dia membuka Instagram dan menggeser smartphone-nya ke arahku. 

Hmm... Apa dia ingin aku melihatnya?

Instagram Mayu menyimpan daftar semua tempat yang pernah dikunjunginya berdasarkan daerah, dan menggunakan foto-foto tersebut sebagai daftar restoran favorit

Aku merasa terkesan dengan cara penggunaan seperti ini. Selain itu, meskipun cara Mayu menggunakan Instagram sangat hebat, tapi yang paling mengejutkanku ialah bahwa dia telah mengunjungi banyak tempat yang terkesan mahal dan bergaya. Mana munkgin kita bisa mengambil foto jika tidak benar-benar pergi ke sana, jadi banyaknya foto ini berarti—apalagi, kadang-kadang Mayu sendiri juga terlihat di dalam foto, jadi tidak diragukan lagi. 

Ehmm... foto ini, bukannya ini set sarapan di kafe Nagoya? 

Kyouka yang berada di hadapanku bertanya, “Apa iya?”, tapi aku yakin hidangan pagi yang tak biasa ini pasti dari Nagoya. Lagipula, ada pasta kacang yang banyak di roti panggangnya. 

Dan, kafe yang ini mungkin di Kanazawa. Aku ingat bentuk mangkuk parfait yang khas ini. Aku pernah melihatnya di media sosial lain dan merasa tertarik, lalu mencari tahu tentang tempatnya. 

Umumnya, gelas parfait berbentuk tinggi, tetapi mangkuk kaca ini seperti... apa bisa dibilang seperti kue baumkuchen yang dipotong melingkar? Bentuknya seperti itu. Bagian sampingnya terlihat seperti daging buah dan krim yang menempel rapat, seolah-olah itulah pola gelasnya. 

"Hee. Imut banget. Bagus untuk difoto, ya. 

Itu memang benar, tetapi lebih dari itu—. 

Kamu sudah mengambil banyak foto, dan sudah ke mana-mana... tapi tujuannya sepertinya tidak konsisten... Apa kamu hobi jalan-jalan? 

Ketika aku bertanya demikian, Mayu perlahan-lahan menggelengkan kepala. 

Setelah menelan makanannya, dia membuka mulutnya. 

Aku hanya diajak pergi.

Aku memiringkan kepalaku dengan kebingungan karena tidak memahami maksud ucapannya

“Mungkin jalan-jalan keluarga? 

Aku hanya berpikir dan mengatakan itu, tetapi dia dengan mudah menggelengkan kepala menolak. 

“Hahan~, jadi begitu, begitu rupanya! 

Sepertinya Kyouka dengan cepat memecahkan teka-teki yang tidak kupahami. Dia tersenyum lebar dan berkata, 

“Kamu diajak Papa, iya ‘kan? 

... Memangnya itu berbeda dengan jalan-jalan keluarga yang kutanyakan tadi

Namun, Mayu tidak membantahnya. Dia hanya tersenyum samar. 

“Uwah, ajib bener~. Aku iri banget!

Eh? Tunggu sebentar. Aku tidak mengerti.

Ketika aku berkata demikian, Kyouka terlihat terkejut dan berkata, Jadi, kamu cuma setia sama pacarmu doang, Master? Wah, itu mengejutkan! 

Tunggu. Apanya yang mengejutkan? 

“Habisnya, master gyaru pastinya selalu bergonta-ganti pria, kan? Seharusnya bisa mengganti-ganti pria yang mendekat, kan?

Aku sudah punya pacar, jadi mana mungkin aku melakukan hal seperti itu. 

Ketika aku berkata tegas, Kyouka terkejut dengan mata terbelalak. ... Aku merasa sepertinya perlu segera memperbaiki kesalahpahamannya mengenai diriku sebagai ‘master gyaru’ saat itu juga. 

Po-Pokoknya, aku memang pernah bilang kalau aku punya pasangan, tapi hanya satu orang, dan tidak ada yang lain.

Melissa mempunyai prinsip bahwa dirinya tidak cukup untuk mencintai satu orang saja, dan sekarang aku tidak bisa sepenuhnya membantahnya, tapi aku sendiri merasa satu pasangan saja sudah cukup. Lagipula, memiliki banyak pasangan pasti akan merepotkan. 

Tidak, aku tidak ingin membahas diriku. 

Kyouka menyilangkan tangan di belakang kepalanya. Sambil bersandar pada sandaran kursi, dia berkata, 

Bagaimanapun juga, baik master maupun Mayu adalah orang-orang yang aku kagumi. Aku sangat iri!

Jadi, apa itu berarti Kyouka tidak memiliki pasangan, sementara Mayu memilikinya? 

Mayu kembali mengetuk layar smartphone-nya. 

Saat aku melihatnya secara sekilas, ada aplikasi lain yang bukan Instagram muncul di layar. 

…Apa itu?

Itu adalah MachiApp. Aku juga menggunakannya. Ini milikku. 

Sambil berkata demikian, Kyouka mengoperasikan layar smartphone-nya dan menunjukkan aplikasinya. Tapi, sepertinya aplikasinya berbeda dari aplikasi yang digunakan Mayu tadi

MachiApp... 

Hmm, aku tahu istilah itu. Itu adalah singkatan dari “Matching Application/Aplikasi Pencocokkan”. 

Intinya, itu adalah aplikasi yang mempertemukan orang-orang yang tidak dikenal. Bisa dibilang ini adalah versi modern dari [perjodohan]. 

"Konsep itu sudah ketinggalan zaman, Master! Sekarang penggunaannya jauh lebih luas tau!

Jangan panggil aku master. Kita sebaya. Rasanya aneh kalau hanya aku saja yang merasa lebih tua. 

Setelah aku bilang begitu, dia langsung minta maaf. Kyouka memang orang yang jujur. 

Mulai sekarang, aku akan memanggilmu Gyaru-sensei.

Itu sih sama saja! 

Itu juga tidak boleh.

Eh~~?

“Panggil aku dengan namaku saja.

Begitu? Padahal aku menghormatimu. Ya sudah... baiklah. Jadi, Saki." 

Aku setuju dan mengangguk sebelum kembali ke topik pembicaraan. Jadi, apa yang sedang kita bicarakan? 

Aku menoleh ke arah Mayu. 

Dia baru saja menyelesaikan makan siangnya. Setelah menyeruput sedikit es teh yang dipesan sebagai minuman dan membuka mulutnya. 

Jadi, aku hanya diajak pergi oleh orang yang aku kenal.

Dia mengatakan itu dengan senyuman lembut. Aku tidak sepenuhnya memahami maksud kata-katanya, tetapi Kyouka terus melanjutkan percakapan dengan Mayu. 

Jadi, orang itu adalah Papa, kan? 

“Sembarangan saja kalau bicara. Dan mungkin suaramu agak keras. 

Setelah mengingatkan dengan lembut, Mayu kembali tersenyum samar. (TN: Bener-bener parah nih cewek, diam-diam menghanyutkan wkwkwk :v)

 

◇◇◇◇

 

Sambil menikmati kopi setelah makan, aku memikirkan kembali percakapan mereka berdua. 

Jadi maksudnya, Mayu diajak pergi ke kafe di berbagai daerah di Jepang oleh ‘Papa’ yang dikenalnya melalui aplikasi pencocokan, dan karena itu bukan perjalanan keluarga, berarti ‘Papa’ yang dimaksud bukanlah ayah kandungnya. 

... Apa maksudnya itu? 

Aku tidak... mengerti. Apa orang yang dikenal melalui aplikasi pencocokan biasanya langsung pergi berlibur bersama? 

Ketika aku bertanya demikian, Kyouka berpikir sejenak sebelum memberikan penjelasan.

Rupanya, aplikasi pencocokan modern adalah aplikasi yang mencocokkan pengguna berdasarkan tujuan seperti cinta, pernikahan, atau persahabatan. Tujuannya tidak selalu hanya untuk cinta. 

Ini adalah aplikasi untuk menemukan teman dengan hobi yang sama atau mencari rekan yang memiliki tujuan yang sama, dan apa yang kamu sebut 'perjodohan' hanyalah salah satu fungsi dari aplikasi pencocokan modern. Misalnya, tergantung pada fitur aplikasinya, kita bisa membuat grup untuk berkumpul dan menjelajahi tempat-tempat bersejarah bersama. 

“Hee, begitu ya...

Banyak orang yang menggunakan aplikasi dengan cara yang tidak melibatkan hubungan yang rumit. Aplikasi yang kugunakan juga tidak hanya untuk mencari pria. Memang ada tujuan begitu, tetapi bukan cuma itu satu-satunya tujuan. 

Jadi memang ada tujuan begitu ya

Tapi, begitu aplikasi diberi label 'sering digunakan untuk hal semacam ini,' aplikasi tersebut cenderung akan mengarah ke sana.

“Jadi maksudnya, cara penggunaan bisa membatasi tipe orang yang menggunakannya?

Benar sekali. Perusahaan yang merilis aplikasi sering kali terkejut dengan cara penggunaan yang tidak terduga. Itulah sebabnya, mereka berusaha keras untuk mengubah citra aplikasi.

Kemudian, setelah jeda sejenak, Kyouka sedikit menurunkan volume suaranya. 

Aplikasi yang digunakan Mayu merupakan salah satu aplikasi yang saat ini sedang banyak digunakan untuk tujuan itu. 

Untuk tujuan itu... 

Itulah yang disebut 'papa-katsu.' Tentu saja, tidak semua orang menggunakannya dengan cara itu, dan banyak orang yang tidak suka jika aplikasi digunakan dengan cara yang tidak terduga. Namun, sekali citra terbentuk, rasanya sulit untuk mengubahnya. 

Papa... katsu? 

Eh? Kamu tidak tahu tentang 'papa-katsu,' Saki? 

Aku hanya balas mengangguk dengan jujur

Kyouka terlihat terkejut. Seolah-olah dia tidak percaya ada orang yang tidak tahu tentang itu di zaman sekarang. 

“Seperti yang diharapkan dari lulusan SMA Suisei... sepertinya kamu dari sekolah yang sangat baik dan bergengsi. Apa kamu sebenarnya seorang putri bangsawan?

Tidak, tidak, aku ini cuma orang biasa. Aku hanya pernah mendengar istilah itu. Aku punya gambaran samar tentangnya. Namun, jika aku bersikeras bahwa aku tahu lebih banyak, aku khawatir akan salah paham lagi, jadi lebih baik aku katakan tidak tahu agar tidak terbakar. 

“Padahal kupikir kamu memiliki sertifikat gyaru kelas atas. 

Aku tidak memilikinya.

Baiklah, izinkan aku, Kyouka, untuk menjelaskan. Itu berarti 'kegiatan bantuan yang didasarkan pada kesepakatan antara wanita muda yang ingin menerima bantuan finansial dan pria yang ingin mendukung mereka.' 

Dia menjelaskannya dengan begitu lancar. Meskipun kedengarannya sepele, tapi dia juga merupakan mahasiswi dari Universitas Tsukinomiya, jadi aku bisa memuji cara bicaranya yang rumit. 

Tapi, apa yang dia katakana tadi—apa maksudnya? Kegiatan bantuan yang didasarkan pada kesepakatan...? 

Apa-apaan itu?

Meskipun aku terus-menerus memutar otakku, Kyouka tampak puas dengan penjelasannya. Mayu, dengan suara lembutnya, menjelaskan. 

“Begini maksudnya, orang dewasa yang memiliki uang lebih akan memberi kita 10.000 yen atau 20.000 yen. (TN: Sekitaran 1,2 juta atau 2,2 juta rupiah)

20.000 yen... Hah, 20.000 yen? Mahal banget

Saat mendengarnya, hal pertama yang membuatku terkejut adalah jumlah uangnya. Aku mengerti bahwa dia menerima bantuan finansial, tapi apa itu berarti dia membutuhkan uang sebanyak itu? 

Maaf. Boleh aku bertanya sebentar? Mayu, buat apa kamu menerima bantuan sebesar itu?

Eh?... Hmm, sepertinya Kyouka menjelaskan tentang 'papa-katsu' dengan kalimat yang diperindah, jadi kurasa mungkin ada kesalahpahaman.

...? 

Aku tidak melakukan 'papa-katsu' karena kekurangan uang, kok?

“Hah...?”

Saki memang polos banget ya~.

Sekilas, senyuman Mayu tidak selembut seperti biasanya, tapi dia justru menyipitkan matanya seolah melihat sesuatu yang sangat berkilauan, lalu tersenyum kepadaku. Namun, aku terlalu terkejut untuk menyadari makna senyumannya. Juga, aku ingin dia berhenti memanggilku polos, karena aku hanya tidak tahu banyak tentang rahasia orang dewasa. 

Aku tidak sedang dalam situasi sulit, dan tidak ada alasan yang mendesak untuk meminta bantuan. Keluargaku tidak mengalami masalah keuangan. Aku juga membayar biaya kuliah dengan baik. Jadi, bisa dibilang aku hanya ingin menikmati makan siang yang lebih baik atau membeli pakaian? Mungkin itu bisa kamu pahami, Saki? 

Kemudian dia tersenyum anggun. 

... Jadi, dia tidak dalam kesulitan finansial. Syukurlah. Aku sempat berpikir apakah lebih baik jika dia makan di kantin. 

Tapi, jika begitu, jika itu berdasarkan kesepakatan—. 

Jadi, pria yang kamu ajak bicara itu memberikan bantuan untuk mewujudkan keinginan kecilmu, seperti mentraktir makan atau mengobrol?

Mayu sedikit mengangkat bahunya dan menjawab. 

Yah, kurasa bisa dibilang begitu. Dan dari sisiku sih, aku hanya ingin uang untuk bersenang-senang. Aku hanya ingin tampil modis. Aku hanya ingin makan siang yang sedikit lebih mewah. Tidak ada yang salah, kan? Jika dipikir-pikir seperti itu, rasanya aku sedang melakukan pekerjaan paruh waktu dengan bayaran tinggi untuk mendapatkan uang untuk penampilan. ucap Mayu. 

Pekerjaan paruh waktu dengan bayaran tinggi... 

Usai mendengar itu, aku teringat pada 'pekerjaan paruh waktu dengan bayaran tinggi' yang pernah coba kulakukan di masa lalu. 

... Saki?

Eh? Ah, maaf. Aku sedikit melamun... Tapi, berapa jam dalam seminggu kamu melakukannya?

Eh... Hmm, sekitar 2 atau 3 jam di akhir pekan.

Begitu Mayu mengatakannya, Kyouka segera menyela. 

Boong banget~! Jika sampai menginap, paling tidak butuh setengah hari. 

Pembicaraan tentang lembur tidak boleh dibahas sampai waktunya gelap. Sekarang masih terang, kan? Nah, jadi jika dihitung per jam, itu sekitar 7.000 hingga 8.000 yen. 

Jika sehari 2 jam, berarti 20.000 yen. Itu berarti, sebulan 80.000 yen. Jika hanya bisa melakukan itu, rasanya tidak cukup. 

Begitu aku mengatakannya, Kyouka tiba-tiba tampak terkejut. Aku tidak tahu alasannya, tetapi saat itu aku lebih memikirkan hal lain daripada ekspresi terkejutnya. Saat SMA, alasanku mencari pekerjaan dengan bayaran tinggi adalah karena aku tidak ingin membebani ibuku secara berlebihan secara finansial. Sekarang, aku menyadari bahwa itu sangat berlebihan, tetapi pada saat itu, aku membayangkan bisa mendapatkan uang sebanyak itu dengan bekerja untuk Yuuta. Jadi, sekitar 80 ribu yen sebulan. 

Pada akhirnya, aku bekerja paruh waktu di toko buku, dengan upah saat itu 1.200 yen. Jadi, jika aku bekerja dari jam 5 sore hingga 9 malam selama 4 jam, aku akan mendapatkan 4.800 yen. Jika dilakukan dua kali dalam seminggu, totalnya menjadi sekitar 10.000 yen. Di akhir pekan, aku bisa bekerja hampir 8 jam, jadi dengan tunjangan hari libur, jumlahnya juga sekitar 10.000 yen. Jadi, totalnya sekitar 20 ribu yen seminggu. Jika dijumlahkan, itu sekitar 80 ribu yen sebulan. Jumlah yang kuinginkan sebenarnya sama. Meskipun itu bukan pekerjaan paruh waktu yang menguntungkan, aku juga belajar bahwa tidak ada pekerjaan paruh waktu yang benar-benar menguntungkan. Dan jika aku menerima 80 ribu yen dari Yuuta, itu berarti dirinya harus membayar semua uang yang didapatkan dari pekerjaannya di toko buku kepadaku... Memikirkan betapa mengerikannya usulanku waktu itu membuatku merinding sekarang.

Meskipun begitu, jumlah uang segitu hanya cukup untuk menambah biaya hidup, dan setelah mencari tahu biaya kuliah, aku menyadari bahwa itu sama sekali tidak mencukupi. Bahkan untuk memulai hidup sendiri pun tidak cukup. Namun, jika aku menambah jam kerja, aku takkan punya waktu untuk belajar agar bisa masuk universitas yang aku impikan. Itu akan menjadi kontraproduktif.

Ah, tapi kalau dua jam sehari, dan jika melakukannya di kedua hari akhir pekan, berarti bisa dua kali lipat. Mungkin aku bisa meluangkan waktu sekitar dua jam di hari biasa. Jadi, bisa tiga kali di hari biasa dan dua kali di akhir pekan. Jika sekali kerja mendapatkan dua puluh ribu dan aku bisa melakukannya lima kali dalam seminggu, totalnya saja sudah seratus ribu. Dalam sebulan bisa sekitar empat ratus ribu yen... Tapi, karena ada pajak, mungkin penghasilan bersihnya akan lebih sedikit. Selain itu...

“Tunggu dulu, tunggu dulu, Eh, Saki? Dari tadi kamu ngomong apaan sih?

Hah?

Aku mendongak kaget dan melihat Kyouka yang berkata keren sambil tersenyum canggung. Dan Mayu hanya melongo—kenapa mereka berdua bereaksi begitu?

Kenapa pembicaraan ini jadi soal menghasilkan uang?

Kalau ada uang segitu, aku bisa membayar biaya kuliah tanpa harus meminta orang tua, dan mungkin juga bisa hidup sendiri. Tapi, rasanya pasti sulit. Aku bahkan tidak bisa membayangkan percakapan yang memuaskan orang yang memberi bantuan. Aku rasa menghasilkan dua puluh ribu dalam dua jam itu sulit.

Ibuku juga melakukan hal yang sama. Dia pernah bercerita tentang pekerjaan bartender-nya. Selain menyajikan koktail, dia juga harus menjadi teman bicara. Ibuku bekerja hingga larut malam, mungkin sekitar delapan jam. Dan saat hari libur adalah waktu sibuk, jadi dia tidak bisa istirahat di akhir pekan. Dari catatan keuangannya, pendapatannya sekitar tiga ratus ribu yen hingga empat ratus ribu yen.

Artinya, seseorang yang melakukan pekerjaan penuh waktu sebagai sugar baby akan mendapatkan penghasilan per jam yang lebih tinggi dibandingkan pendapatan ibuku. Jika demikian, berapa banyak keterampilan berbicara yang dibutuhkan untuk itu...

Aku tidak pernah melakukan percakapan seperti itu kok~.

Hah?

Yang penting bagi mereka adalah bisa berbicara dengan gadis muda.

Hah?

“Asalkan dengan gadis-gadis muda. Sisanya, mungkin senyuman. Ya, itu hanya aset sementara sih~.

Sambil berkata demikian, dia tersenyum manis. Dia memang cantik. Melihat senyum Mayu yang lembut dan cantik saja sudah cukup menenangkanku. Aku juga merasa begitu, tapi......

Mengapa itu bisa bernilai 20 ribu yen?

Aku merasa begitu penasaran sampai-sampai tidak bisa menangkap isi materi perkuliahan di sore itu.

...Setelah pulang, mungkin aku akan bertanya kepada Yuuta. Aku merasa dia mungkin bisa memberikan jawaban untuk pertanyaan yang membingungkan ini. Mungkin aku hanya bermanja padanya saja, sih...

 

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama