Chapter 2 — Tahun Pertama Perkuliahan, Bulan Mei, Ayase Saki
Pagi hari setelah
malam yang kita habiskan bersama. Aku mencuci wajahku di depan cermin di kamar
mandi dan mengedipkan mata. Aku memeriksa warna dan corak kulitku. Melihat pantulan
diriku di kaca cermin, aku merasa lega karena tidak ada yang berubah. Meskipun
aku sudah memeriksanya sebelum mandi, tapi tetap saja.
Meski
begitu, aku berasumsi bahwa setelah mengalami sesuatu, pasti akan ada perubahan
dramatis.
Ternyata
cukup biasa saja. Dunia tidak terlihat berkilau atau semacamnya, dan aku tidak
merasakan perubahan dalam kondisi pikiranku.
Hanya
saja—entah kenapa, suasana hatiku terasa sangat baik.
Aku tiba-tiba
teringat perkataan seorang dosen yang menjadi alasanku berkuliah di universitas
ini (meski aku enggan mengingat namanya karena merasa kesal).
'Seandainya
perasaanmu masih tidak berubah bahkan setelah berinteraksi dengan pria-pria
menarik lainnya, maka hargailah perasaan tulus itu.'
Menghargai
perasaan yang tulus.
Aku merasa
puas dengan hasil yang kuambil berdasarkan perasaan itu pagi ini. Mungkin
inilah hal yang baik.
Yah, meskipun
aku merasakan sedikit nyeri tumpul di sekitar pangkal paha setiap kali aku
berjalan, kurasa itu tidak bisa dihindari. Mungkin kedengarannya janggal, tapi
entah kenapa aku merasa frustrasi ketika memikirkan ketidaknyamanan semacam ini
mungkin tidak akan dialami pria. Apa aku seharusnya merasa senang bahwa rasa
sakit yang ditakutkan tidak terlalu parah? Mungkin sebaiknya aku jangan terlalu
tenang dulu.
Meskipun
begitu, aku pernah mendengar bahwa ada sebagian orang mengalami nyeri dan
pendarahan yang terus-menerus, jadi sepertinya lebih baik untuk tetap
waspada.
Bukan
berarti itu tidak menyakitkan sih.
Tapi, tidak
ada gunanya terlalu lama bercermin.
Meskipun sekarang
hari Minggu, sepertinya sudah waktunya ayah tiriku bangun. Aku tidak bisa
membiarkan Yuuta menyiapkan sarapan sendirian. Mulai minggu depan, aku akan
mengunjungi kantor Ruka-san, jadi aku juga perlu bersiap-siap.
Setelah
menyelesaikan riasan ringan, aku kembali ke ruang makan.
Pada
akhirnya, sepanjang hari Minggu, aku merasakan adanya beberapa perubahan kecil
pada tubuhku. Entah kenapa, aku merasa perutku tidak enak, dan ada
ketidaknyamanan di pinggang dan punggung. Aku juga tahu tentang penyakit atau
masalah yang biasanya menyertai aktivitas tersebut, jadi aku mulai meragukan
apa ada pengaruh buruk yang muncul.
Namun,
sepertinya aku cuma merasa sedikit pegal karena aku menggunakan otot-otot yang biasanya
tidak kugunakan. Saat menjelang hari Minggu sore, aku merasa kondisi tubuhku
mulai membaik. Ternyata melakukan begituan juga bisa dianggap olahraga, ya...
Dan mungkin, kekhawatiran itu sendiri juga memengaruhi tubuhku. Ungkapan ‘penyakit
berasal dari pikiran’ memang benar.
Mungkin karena
merasakan kekhawatiranku, Yuuta sempat beberapa kali menatapku dan bertanya, “Apa
kamu baik-baik saja?” Namun, aku tidak merasakan ketidaknyamanan yang cukup
untuk dibicarakan, dan itu membuat situasinya sulit. Tentu saja, mana mungkin
aku bisa memberitahunya kalau, “Aku merasa pegal-pegal karena berhubungan badan
denganmu”.
Keesokan
harinya, hari Senin pagi pun tiba.
Aku bangun
dengan perasaan jauh lebih segar, dan akhirnya aku bernapas lega karena tak
lagi merasakan ketidaknyamanan di sekujur tubuhku. Aku bahkan nyaris tak
merasakan sakit.
Hari ini,
magangku di kantor Ruka akhirnya dimulai. Cahaya mentari pagi masuk melalui
wastafel. Aku tersenyum pada diriku sendiri di cermin.
Sekarang,
inilah awal kehidupan universitasku yang sesungguhnya dimulai.
◇◇◇◇
Jadwal perkuliahanku
berakhir sampai siang. Karena tidak ada jadwal kuliah di sore hari, aku bisa
pergi ke kantor Ruka-san.
Hari ini
merupakan hari pertamaku masuk kerja.
Kehidupan
universitasku hanyalah pekerjaan paruh waktu—aku tidak bermaksud mengatakan
itu, dan kuliah di program pendidikan umum itu sendiri juga menarik. Aku sudah
mulai bermain dengan teman-teman baruku di hari libur.
Namun, karena
tantangan terbesarku saat ini berada di kantor Ruka, jadi wajar saja kalau aku
menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan hal ini.
Aku magang
di kantor Akihiro Ruka-san. Jantungku berdebar-debar dengan sangat kencang.
Ketidaknyamanan
di sekujur tubuhku sudah menghilang, dan rasa sakit hampir hilang sepenuhnya.
Aku turun di
stasiun Nakanosakaue melalui kereta bawah tanah.
Dari sana,
aku berjalan selama tiga menit menuju gedung kantor lima lantai, masuk, dan
naik lift hingga turun di lantai tiga. Di depanku ada logo 『Lucca Design. Studio』 yang
ditulis dengan font dekoratif.
Inilah
kantor desain milik Akihiro Ruka0san.
Aku membuka
pintu dan menyapa, “Permisi.”
“Kamu datang
cepat sekali ya.”
Ruka-san
sendiri muncul dari balik partisi.
“Mulai
sekarang mohon bimbingannya.”
“Ya. Senang
bisa bekerja denganmu.”
“Umm...”
“Ya?”
“Apa baju
semacam ini baik-baik saja?"
Aku bertanya
sambil meletakkan tangan di dadaku. Aku diberitahu kalau tidak perlu mengenakan
jas, jadi aku datang dengan penampilan yang sama seperti berangkat kuliah, tapi
aku merasa ragu apakah ini cukup formal untuk seorang profesional. Saat bekerja
di toko buku, aku memiliki seragam, jadi aku tidak perlu mencemaskannya...
“Ah, ya.
Baik-baik saja, aman-aman saja kok. Kamu tidak mengenakan rok, melainkan celana
panjang. Sepertinya ini pertama kali aku melihatmu seperti ini.”
“Biasanya
aku lebih banyak mengenakan rok, tetapi aku merasa celana ini lebih cocok.”
“Kelihatan cocok
kok. Tidak masalah.”
Aku merasa
lega mendengarnya. Untuk saat ini, aku mengenakan blus berkerah untuk bagian
atas dan celana panjang di bawah.
Meskipun
bukan jas, aku berharap penampilanku kelihatan lebih formal dibandingkan
pakaian sehari-hari. Aku tidak dimarahi, tetapi aku harus mencari tahu apakah ini
pilihan yang sudah benar.
Sambil
memikirkan hal itu, aku secara diam-diam mengamati penampilan Ruka-san yang memandu
jalan. Ruka-san juga tidak mengenakan jas. Dia mengenakan baju putih dengan
cardigan biru. Kalung yang dia kenakan di lehernya juga memiliki batu kecil
berwarna biru. Huruf ‘Ru’ dalam namanya, Ruka, berarti batu permata biru, jadi
sepertinya ‘biru’ adalah warna yang menjadi citra dirinya.
Oleh karena
itu, meskipun pakaian berubah, dia selalu mengenakan sesuatu yang berwarna biru
pada dirinya.
“Pekerjaan
yang ingin kuberikan padamu pada dasarnya adalah sebagai sekretarisku—meskipun
terdengar keren, ya, ini lebih kepada tugas-tugas umum.”
“Baik.”
“Oleh karena
itu, kamu akan bersamaku. Aku ingin kamu membantuku dari membawa barang hingga
mengelola jadwal, tapi, eh... Ah, itu dia. Wada-san.”
Dia
memanggil seorang pria tua yang berdiri di depan mesin fotokopi di sudut kantor
dan kelihatannya sedang mencetak banyak dokumen. Ia mengenakan kemeja putih dan
dasi, penampilan khas pegawai kantoran yang sering terlihat.
Pria yang
dipanggil Wada-san itu tersenyum sambil menghadap ke arahku. Ia adalah orang
yang menyambutku saat pertama kali mengunjungi kantor desain ini. Usianya sekitar
lima puluh tahunan, dengan senyum ramah yang menenangkan.
“Iya, iya. Pencetakannya
sudah hampir selesai kok.”
"Terima
kasih. Setelah itu, aku ingin kamu mengajari gadis ini cara melakukan
pekerjaannya.”
“Oh, baik.
Ehm... kalau tidak salah namanya Asamura-san, ‘kan?”
“Asamura?”
Ruka-san
terlihat sedikit kebingungan sejenak sebelum mengangguk, “Oh, benar.”
“Ya, ada
masalah itu juga. Kamu... Saki-chan.”
Ruka-san
mengalihkan pandangannya dari Wada-san ke arahku dan bertanya,
“Nama mana
yang mau kamu gunakakan?”
“Maksudnya
yang mana...?”
Kemudian aku
baru menyadarinya. Di resume lamaranku, aku menuliskan namaku sebagai [Asamura
Saki]. Namun, sejak bertemu Ruka-san, aku memperkenalkan diri sebagai [Ayase
Saki]. Ruka tidak pernah bertanya tentang hal itu.
“Saat
bekerja dengan nama pribadi seperti di industri ini, kesan yang ditimbulkan
oleh nama itu penting. Seperti nama pena untuk penulis atau komikus. Jika kita
bekerja dengan nama tersebut, orang-orang akan mengingatnya, dan kita akan
mendapat permintaan dengan nama itu. Jadi, kita tidak bisa mengubahnya
sembarangan. Kamu bisa memilih nama yang kamu suka, tetapi lebih baik jika kamu
terus menggunakan nama yang sudah dipilih.”
Kesan yang
ditimbulkan oleh nama itu penting...
“Jadi itulah
sebabnya Ruka-san selalu mengenakan pakaian atau aksesori berwarna biru?”
Aku tanpa
sadar menanyakan hal itu, dan Ruka-san sedikit terkejut sebelum mengangguk
kecil.
“Yah,
begitulah. Aku akan melakukan apa saja agar orang mengingatku, bahkan hal-hal
kecil sekalipun. Kartu namaku juga berwarna biru, dan logo kantor juga berwarna
biru, ‘kan?”
“Karena Ruka-san
adalah presiden perusahaan, jadi rasanya wajar saja. Jika orang mengingat
namamu, secara otomatis reputasi kantor kita juga akan meningkat.”
Wada-san
berkata demikian, dan pada saat itu, Ruka-san sekilas tampak sedikit canggung,
seolah-olah merasa tidak enak. Seperti ketika seorang junior ditanya oleh
senior yang lebih berpengalaman.
“Yah, yah.
Itu tidak penting bagiku. Yang penting adalah apa yang kamu inginkan.”
“Apa
sebaiknya aku harus memutuskannya sekarang?”
“Benar. Aku
berencana untuk memperkenalkanmu kepada semua orang sekarang. Kurasa seharusnya
aku membicarakannya sebelumnya. Untuk itu, aku minta maaf.”
Aku lalu
mulai memikirkannya. Aku juga tidak yakin apa yang harus kulakukan ketika
mengirimkan resumeku. Dari informasi yang kucari, aku menemukan bahwa meskipun
resume bukanlah dokumen resmi, resume memang membangun hubungan kepercayaan
dengan perusahaan, jadi sebaiknya tulis namamu seperti yang tertera pada nama
resmimu. Dengan begitu, aku tidak punya pilihan lain selain menulis [Asamura
Saki].
Jika itu
bukan dokumen resmi, mungkin ada sedikit kelonggaran.
Misalnya, di
papan nama rumah kami, tertulis nama ‘Asamura’ dan ‘Ayase’
berdampingan. Itu karena nama kerja ibuku adalah ‘Ayase Akiko’ (karena
pekerjaan itu sudah dilakukannya sejak sebelum menikah lagi), jadi semua surat
dari rekan kerja yang dikenalnya atau yang bertukar kartu nama ditujukan atas
nama ‘Ayase Akiko’.
Kembali ke topik
pembicaraan, yang dibicarakan Ruka-san ialah, jika sebelum diperkenalkan,
semuanya bisa diubah, jadi sekarang aku harus memutuskan apa akan menggunakan
nama panggilan ‘Ayase’ atau ‘Asamura’.
Eh? Tapi,
sepertinya Wada-san tahu namaku?
Wajahku yang
penuh tanya pasti terlihat jelas, karena Ruka-san bercerita sedikit tentang
Wada-san.
“Wada-san
adalah mantan atasanku. Beliau juga yang membantuku saat mendirikan perusahaan
ini. Sebenarnya, awalnya Wada-san yang membuat perusahaan ini, dan aku yang
berusaha untuk dipekerjakan di sana.”
“Di usia
seperti ini, aku tidak ingin melakukan hal yang sulit. Aku lebih suka
menyerahkannya kepada seseorang yang lebih muda dan beristirahat. Sekarang aku
hanya seorang staf administrasi. Bekerja di belakang layar sudah cukup bagiku.”
“Aku tidak
berpikir begitu. Aku masih menganggap Wada-san sebagai desainer yang aktif.
Sebenarnya, saat ini pun, ia lebih seperti penasihat untuk semua pekerjaanku.”
Oh, begitu
rupanya. Oleh karena itu, Wada-san juga memeriksa resume-ku dan tahu nama ‘Asamura’.
Jika
demikian, hanya Ruka-san dan Wada-san yang mengetahui nama resmi di akta keluargaku
adalah ‘Asamura Saki’. Karyawan lain yang akan diperkenalkan nanti belum
tahu namaku.
Aku hanya
ragu sejenak, lalu mengatakannya hampir secara refleks,
“Ehm, jika
tidak ada masalah, kamu bisa memanggilku dengan nama 'Ayase Saki'.”
Ketika aku
mengatakannya, Ruka-san menunjukkan ekspresi seolah-olah sudah menduganya,
sementara Wada-san tampak sedikit terkejut, tapi dia berkata, “Baiklah.
Jadi, aku akan memanggilmu Ayase-san, ya.” Tanggapan dewasa yang tidak
mengajukan pertanyaan hanya karena rasa penasaran merupakan alasan mengapa Ruka-san
mempercayainya.
Ketika
memilih nama pekerjaanku, anehnya aku tidak merasa ingin menggunakan nama ‘Asamura’.
Mungkin karena itu mengingatkanku pada saat-saat ketika aku bertekad untuk bisa
hidup mandiri dengan kemampuanku sendiri.
Aku telah
mengganti nama belakang dua kali.
Pertama,
saat ibuku bercerai.
Sebelum itu,
ketika aku masih kecil, nama belakangku adalah Ito. Jadi, di masa kecilku, aku
dikenal sebagai Ito Saki. Lingkungan sekitarku juga memanggilku dengan nama
itu, dan aku memiliki kedekatan serta keterikatan dengan nama itu. Setelah itu,
ibuku bercerai dan namanya berubah menjadi Ayase.
Pada saat
itu, aku mengagumi ibuku dan kecewa pada ayahku, jadi aku memutuskan untuk
mengembangkan kekuatan untuk hidup sendiri. Saat itu, aku adalah ‘Ayase Saki’.
Aku merasa tidak mungkin untuk kembali menggunakan nama Ito, dan aku tidak
pernah memikirkan masa depan di mana aku akan menikah, jadi aku sudah bertekad
untuk menjalani hidup sebagai Ayase Saki selamanya.
Aku tidak
tahu apakah aku akan terus berusaha menjadi desainer, tetapi untuk mengukuhkan
bahwa aku adalah sosok yang mandiri, aku ingin tetap menggunakan nama Ayase
Saki. Tentu saja, aku tidak menolak pernikahan kembali ibuku. Saat ini, sebagai
pemagang di 『Lucca Design. Studio』, nama ‘Ayase
Saki’ terasa paling cocok untukku saat melangkah menuju masa depan. Itulah
yang aku pikirkan.
◇◇◇◇
Aku setuju
untuk menyapa Wada-san, yang diperkenalkan lebih dulu, belakangan.
“Kalau
begitu, Wada-san, sampai nanti."
“Ya.”
Ruka-san
kemudian membawaku ke ruang kerja.
“Baiklah,
semuanya, tolong minta perhatian kalian dulu sebentar!”
Suara Ruka-san
membuat para karyawan yang sedang bekerja di meja yang disusun menyerupai pulau
langsung menoleh.
Ada enam
karyawan di ruang kerja tersebut. Dua pria dan empat wanita. Jika ditambahkan
Ruka-san dan Wada-san, totalnya delapan orang. Tingginya rasio wanita mungkin
karena sifat pekerjaan atau mungkin karena Ruka-san sebagai CEO adalah seorang
wanita. Tentu saja, ada kemungkinan itu hanya kebetulan.
“Dia adalah Ayase
Saki-san, seorang mahasiswi yang mulai bekerja sebagai pemagang jangka panjang
di sini. Dia akan bekerja seperti sekretarisku untuk sementara waktu. Jadi, tolong
sambut dia dengan baik, ya?”
Sambil
berkata begitu, dia menepuk punggungku.
Aku
melangkah maju sedikit dan menundukkan kepala dengan ringan.
“Namaku
Ayase Saki. Terkait air... ehmm, kata ‘Sa’ ditulis dengan kanji 'suna'
untuk pasir. Dan 'Ki' untuk kanji musim. Jika memungkinkan, aku akan
senang jika bisa dipanggil dengan nama Saki.”
Ada alasan
tertentu mengapa aku menekankan pada namaku.
Nama
perusahaan ini adalah 『Lucca Design. Studio』. Saat diterima sebagai pekerha magang, aku mencari tahu
bahwa kata ‘Lucca’ dalam bahasa Italia berarti ‘cahaya’. Selain
itu, dalam bahasa Islandia, itu berarti ‘bahagia’ atau ‘beruntung’. Tentu
saja, nama tersebuti juga terkait dengan nama Ruka-san.
Kurasa
alasan utama mereka ingin menggunakan kata dengan berbagai makna positif ini
karena, kemungkinan besar, di dalam perusahaan, mereka lebih menghargai nama ‘Ruka’
daripada ‘Akihiro’. Dari percakapan singkat sebelumnya, jelas bahwa Ruka-san
sangat bersemangat untuk mempromosikan namanya di industri, dan hal itu pasti
disampaikan kepada karyawan.
Dengan kata
lain, dia mungkin ingin orang-orang mengenalnya dengan ‘Ruka’ daripada ‘Akihiro’.
Tentu saja,
di Jepang, kebiasaan menggunakan nama depan dalam urusan pekerjaan sangat
jarang dan tidak umum.
Sebenarnya,
ketika aku pertama kali mengunjungi kantor ini, Wada-san berkata, “Sekarang,
aku akan memanggil Akihiro”. Namun, pada saat yang sama, Ruka-san juga
mengatakan, “Kamu boleh tetap memanggilku dengan panggilan Ruka. Ini
perusahaan kecil, dan semua orang memanggilku seperti itu.”
Dan memang,
Wada-san terus memanggilnya “Ruka-san” dari awal hingga akhir hari ini.
Bukan hanya
untuk menunjukkan sikap ramah. Dia ingin menggunakan suara ‘Ruka’
sebanyak mungkin (misalnya, ketika karyawan bekerja di luar dan menyebut
nama bos mereka), mereka ingin sedikit mengingat dan menyebarkan nama
tersebut di sekitar mereka.
Menurutku
dalam suasana kerja seperti itu, mereka takkan merasa aneh jika memanggil
dengan nama depanku. Itulah yang penting. Meskipun aku ingin menggunakan ‘Ayase’
sebagai nama kerja, tapi nama resmiku adalah ‘Asamura’. Dengan demikian,
ada kemungkinan nama ‘Asamura’ akan menarik perhatian karyawan lain di
masa depan. Membuat bingung mereka dengan pertanyaan seperti ‘Harus
dipanggil yang mana?’ jelas bukan langkah yang bijak.
Dalam hal
ini, nama ‘Ayase’ kemungkinan besar tidak akan berubah di masa
mendatang.
Jadi,
meskipun aku memutuskan untuk menggunakan nama kerjaku sebagai ‘Ayase Saki’,
tapi aku ingin lebih menekankan pada nama ‘Saki’. Aku memikirkannya
sejenak dan memutuskan untuk berkata, “Tolong panggil aku Saki.”
Reaksi para
karyawan terhadap perkenalan diriku umumnya positif. Mereka tersenyum dan
mengucapkan “Senang bertemu denganmu”. Namun, ada juga beberapa yang tetap
dengan wajah datar dan begitu selesai menyapa, mereka langsung menundukkan
kepala dan melanjutkan pekerjaan. Aku merasakan suasana yang cukup tegang. Yah,
memang tidak mudah bagi seorang pemula yang tidak memiliki prestasi untuk
diterima dengan cepat. Aku justru mengharapkan adanya ketegangan ini.
Setelah
perkenalan selesai, aku langsung kembali ke tempat Wada-san. Dirinya sedang
membawa tumpukan cetakan dan tampaknya sudah selesai mencetak.
Ruka-san
lalu berkata, “Baiklah, selanjutnya aku serahkan padamu,” lalu kembali ke
pekerjaannya.
Aku
menawarkan, “Aku akan membantu,” dan mengambil setengah dari tumpukan cetakan
itu.
“Terima
kasih,” kata Wada-san. Kami membawanya ke ruang rapat dan menumpuknya di meja.
Sepertinya itu adalah materi untuk presentasi. Penanggung jawab akan mengambil
materinya nanti, jadi Wada-san membawaku ke gudang.
Dirinya
membuka kunci dan masuk. Ruangan itu dipenuhi dengan rak-rak besi besar yang
berisi berbagai peralatan yang tidak digunakan (seperti display, tablet,
printer, dan scanner). Ada juga buku-buku tebal yang tampaknya digunakan
sebagai referensi, serta edisi lama majalah yang tersusun rapi. Ruangan itu
sedikit berdebu.
“Ehmm, sepertinya
ini cukup bagus. Meskipun modelnya sudah tua, tapi tolong gunakan ini untuk
sementara waktu,” katanya sambil menyerahkan laptop kerja.
“Anda yakin?”
“Meski dari
model generasi sebelumnya, tapi laptop ini sudah cukup untuk pekerjaan
administratif. Karena ada masalah keamanan, kami tidak mengizinkan penggunaan
PC pribadi di perusahaan ini. Jadi, aku ingin kamu menggunakan ini untuk
sementara. Jika merasa tidak nyaman, kamu bisa memberitahu kapan saja. Kami
bisa mempertimbangkan untuk membelikan yang baru.”
“Baik.”
Kemudian, aku
diberi penjelasn singkat tentang semuanya, mulai dari cara mengatur PC, masalah
keamanan, dan cara menginstal perangkat lunak yang akan digunakan. Mana mungkin
aku bisa mengingat semuanya sekaligus, jadi ketika aku tampak kebingungan,
Wada-san berkata, “Kalau ada yang tidak dimengerti, silakan tanyakan kapan saja”.
Aku memutuskan untuk mengandalkan kalimat itu.
Sambil
memegang laptop, aku kembali ke lantai bersama Wada-san dan diarahkan ke tempat
dudukku. Di ujung ruang kerja sebelumnya, masih ada dua kursi kosong, dan satu
di antaranya diberikan padaku.
“Ini.
Silakan.”
Wada-san
menyerahkan satu bundel kertas yang dicetak dan dimasukkan ke dalam map
plastik.
Ketika aku
melihat sampulnya, ada stiker yang bertuliskan ‘Cara Menyiapkan Lingkungan
PC’. Setelah dibuka, ada langkah-langkah untuk pengaturan dan instalasi
perangkat lunak yang telah dijelaskan oleh Wada-san sebelumnya.
“Terima kasih
banyak.”
“Kabari aku
jika kamu sudah selesai sampai akhir. Aku akan ada di sana.”
Ketika aku
melihat ke arah yang ditunjuk, ada satu kursi independen di dekat tempat duduk
Ruka yang terpisah, dan kursi itu dipenuhi dengan monitor besar dan tumpukan
buku tebal di sampingnya. Meja kerjanya terlihat lebih berantakan dibandingkan
tempat duduk karyawan lainnya.
Tanpa sadar,
aku berpindah pandangan antara pria bersih dan rapi di depanku dan
kursinya.
“Wada-san,
tidak pernah membereskan barang-barangnya...”
Sepertinya
wanita di sebelahku menyadari tatapanku dan menghela napas sambil berbisik.
“Hahaha...
Maafkan aku. Aku memang tidak pandai membereskan barang.”
“Oh, ma-maafkan
aku.”
Aku tidak
sengaja meminta maaf.
“Tidak,
tidak. Anak-anak zaman sekarang memang suka kerapihan. Jadi, wajar saja kamu
merasa terkejut. Orang-orang dari generasi Showa sepertiku memang tidak terlalu
pandai dalam hal itu.”
“Menurutku
menyalahkan generasi bukanlah hal yang baik."
Seorang pria
muda dengan rambut diwarnai pink yang duduk di depan wanita itu berkata tanpa
mengangkat wajahnya.
“Umm, umm.
Aku akan hati-hati.”
Mendengar
kata-kata pemuda itu, Wada-san tetap tenang dan berkata, “Ya,” lalu kembali ke
tempat duduknya.
Dia memberi
anggukan kepada orang-orang di sekitarnya (tanpa suara, karena semua orang
sedang fokus bekerja) dan duduk. Setelah meletakkan barang-barangnya di bawah
kaki—oh, aku belum menanyakan tempat untuk meletakkan barang. Apa ada loker?—dan
mencari colokan listrik.
Suara
ketukan jari di meja membuatku mengangkat kepala.
Wanita di
sebelahku menunjuk ke tengah pulau. Di sana ada colokan listrik.
“Terima
kasih.”
“Ya. Jika
ada yang tidak dimengerti, tanyakan saja.”
Dia tampak seperti
wanita yang bisa diandalkan. Senyumnya lebih mirip senyum nakal daripada manis.
Hmm, sepertinya dia akan disukai oleh banyak orang.
Baiklah
sekarang.... mari kita mulai.
Setelah
berkutat dengan buku panduan selama satu jam, aku akhirnya berhasil sampai ke
halaman terakhir. Bagian terakhir adalah instalasi perangkat lunak bernama
Slack. Slack adalah alat komunikasi chat yang ditujukan untuk bisnis (begitulah
yang tertulis di buku panduan).
Setelah
selesai menginstal perangkat lunak, aku berdiri dari kursi dan pergi melapor
kepada Wada-san.
“Aku sudah
selesai, mohon konfirmasinya.”
Aku kembali
bersama Wada-san ke tempat dudukku. Aku mengarahkan layar laptopku agar bisa
dilihat oleh Wada-san dan memintanya untuk memeriksa.
Setelah
memastikan bahwa aku telah mengikuti manual dengan benar, Wada-san membiarkanku
mengoperasikan Slack dan bergabung dengan beberapa ruang kerja. Di dalam Slack,
orang-orang yang dapat bergabung dapat ditentukan berdasarkan proyek, yaitu
tujuan pekerjaan. Dengan cara begini, kerahasiaan dapat terjaga, dan peserta
dapat berdiskusi serta berbagi materi dengan bebas.
Jika kamu
membayangkan ruang obrolan LINE, mungkin rasanya lebih mudah dipahami secara
intuitif.
Sebagai CEO perusahaan
seperti Ruka-san, tentu saja dia dapat melihat semua ruang kerja. Sedangkan
aku, yang baru saja bergabung hari ini, tidak bisa masuk ke tempat yang
penting. Untuk sementara, aku hanya diberikan akses ke tiga ruang kerja. Kedengarannya
sesuai dengan kapasitas seorang sekretaris baru.
“Aku
mendengar ini pekerjaan desain pertamamu...”
“Ya.”
“Kalau
begitu, kurasa ada banyak hal yang tidak kamu mengerti, jadi coba lihat log
percakapan yang ada di sini. Karena jumlahnya banyak, mungkin tidak bisa semua
dibaca, tapi, ehmm, Saki-san, mungkin kamu bisa bekerja sampai sekitar jam
setengah enam sore.”
Ketika aku
bekerja paruh waktu di toko buku, aku bekerja hingga larut malam, jadi aku
bilang aku bisa bekerja lebih banyak, tetapi aku dinasihati untuk tidak
memaksakan diri di hari pertama.
Setelah
mengangguk dengan patuh, aku mulai membaca log ruang kerja tersebut.
Wada-san
kembali ke tempat duduknya.
Namun, tidak
lama kemudian, terdengar suara notifikasi *pip* dan muncul tanda bahwa
ada pesan yang masuk ke ikon Slack. Ketika dibuka, ternyata itu pesan dari
Wada-san.
【Tugas utama
Saki-san adalah membalas pesan Akihiro di Slack, merangkum informasi, dan
membagikannya kepada Akihiro.】
Hmm, hmm,
begitu.
【Selain itu, kurasa
kamu juga akan diminta membantu tugas-tugas administrasi umum seperti mengatur
jadwal rapat dan mengisinya dalam kalender yang tersedia. Aku akan memberitahu
rinciannya lebih lanjut seiring waktu.】
Oh, instruksinya
sangat lengkap sekali. Saat bekerja paruh waktu di toko buku, ada Yuuta yang
mengajarkan semuanya dari awal. Dirinya sangat membantuku saat itu, tetapi kali
ini aku sudah siap menghadapi kesulitan karena berada di lingkungan yang
sepenuhnya baru. Namun, tampaknya aku cukup beruntung memiliki atasan yang baik
di tempat kerja ini.
【Terima kasih
banyak. Aku mohon bantuannya.】
Setelah membalas,
aku mulai melanjutkan membaca log kerja.
Pertama, aku
akan membaca dari ruang kerja berjudul [Roppongi Art Festa]. Dari judulnya,
sepertinya ini semacam acara pameran seni...
Aku
tiba-tiba mendengar suara kecil *tok* yang samar-samar dan membuatku
sadar akan lingkungan sekitar.
“Jangan
terlalu memaksakan diri.”
Ketika menoleh,
aku melihat ada gelas kertas dengan pemegang yang diletakkan di ruang kosong di
atas mejaku. Cairan berwarna cokelat tua, hampir hitam, terisi sekitar tujuh
persepuluh. Itu kopi. Kemudian aku menyadari kalai wanita yang meletakkannya
juga memegang gelas yang sama.
“Minumlah.”
Dia berkata
sambil duduk di sebelahku. Dia adalah orang yang memberitahuku tentang lokasi
colokan listrik sebelumnya.
“Terima
kasih.”
“Ah, kamu tidak
perlu berterima kasih. Aku hanya mengambilnya dari sana."
Saat aku
melihat ke arah yang ditunjuk, ada mesin kopi kecil di atas meja di samping
dinding.
“Alat itu
lumayan bermanfaat loh. Kamu bebas menggunakannya kapan saja."
“Apa itu mirip
seperti mesin penyedia teh?"
Ketika aku
mengatakannya dengan santai, dia justru tertawa. Apa aku mengucapkan sesuatu
yang aneh?
“Yah, bisa
dibilang begitu.... Jika kamu seorang pelajar, wajar jika langsung teringat
pada mesin penyedia teh di kantin.”
“Iya. Semasa
SMA-ku dulu juga ada. Tapi minumannya berbayar, jadi aku hampir tidak pernah
menggunakannya.”
“Di sini sih
gratis. Meskipun rasanya tidak seenak di kedai kopi. Jika ingin minum, kamu
bisa mengambilnya dari sana kapan saja.”
“Baiklah.”
“Jadi,
bagaimana? Apa ada bagian yang tidak kamu mengerti?”
Dia menunjuk
laptopku dengan dagunya.
“Jika
ditanya begitu, ketimbang tidak mengerti apa-apa, aku justru bingung harus memulainya
dari mana.”
Setelah aku
menjawab dengan jujur, wajahnya sempat tampak bingung sejenak sebelum dia
tersenyum lebar.
“Ahahaha!
Jujur itu bagus. Yup, kamu memang bakat yang langka.”
“Bakat yang
langka?”
Suara
tawanya yang keras membuat orang-orang di sekitar mengernyitkan dahi, tetapi
mereka tidak memperhatikannya secara khusus, hanya menunjukkan ekspresi seolah
berkata “lagi-lagi”. Sepertinya ini adalah mode normalnya.
...Sepertinya
tidak sopan terus-menerus menyebutnya dengan “dia”.
“Umm, namaku
Ayase Saki.”
“Aku tahu.
Tadi kamu sudah memperkenalkan diri. Oh, iya, namaku Satozaki Ryouko.”
Satozaki Ryouko,
ya.
Baiklah, aku
sudah mengingatnya.
“Ryouko-san,
umm, apa maksudnya dengan bakat langka yang kamu katakan tadi?”
“Aku
diberitahu bahwa mulai minggu depan, mereka akan merekrut satu orang untuk
magang. 'Karena dia adalah bakat langka yang lulus ujian di Universitas
Wanita Tsukinomiya,' katanya.”
“Ah.”
...Tapi, aku
ini orang awam yang tidak pernah belajar desain. Aku jadi penasaran, bakat apa
yang dimaksud?
“Jadi, presiden
bilang jangan memperlakukanmu seperti mainan.”
“Ugh.”
Intinya, itu
berarti jangan mengintimidasi. Ya, jika seorang pemula terjun ke dalam lingkungan
profesional, wajar saka jika ada yang merasa tidak suka. Aku sudah siap untuk
itu.
“Sebenarnya,
aku juga tidak mengerti mengapa aku bisa diterima.”
“Apa kamu
pernah belajar desain?”
Aku
menggelengkan kepala.
“Aku bahkan
tidak pernah belajar menggambar.”
“Hee~”
Dia
tersenyum lebar, dan aku mulai penasaran maksud di balik senyumannya.
“Ya, selama
kamu bisa bekerja, itu sudah cukup. Jadi, tentang pertanyaan tadi, apa kamu
merasa bingung tentang apa yang harus ditanyakan?”
Setelah
mendengar itu, aku mulai berpikir.
Aku beru
saja selesai membaca salah satu catatan ruang kerja...
“Soal ini, ‘Roppongi
Art Festa’.”
Aku berkata demikian
sambil menunjuk layar laptopku.
“Ya.”
Sepertinya
ini merupakan proyek berskala besar yang melibatkan pameran dan pengembangan
karya seni di area Roppongi yang luas.
“Dari
catatan yang kubaca, sepertinya Akihiro—Ruka-san yang bertanggung jawab atas
proyek umm...”
Aku melirik
ke laptop. Begitu.
“Sepertinya
dialah yang bertanggung jawab atas 'Creative Direction'?”
“Ya, benar.”
“Dengan kata
lain, dialah yang mengawasi penataan dan komposisi keseluruhan seni? Bukan
hanya memastikan penampilannya bagus, tetapi juga menyesuaikan agar setiap
karya sesuai dengan tema dan dapat menarik perhatian penonton dengan efektif?”
“Kurang
lebih begitulah gambaran umumnya. Tentu saja, Ruka tidak melakukannya sendiri.”
“Hebat
sekali.”
“Ya, bagi
perusahaan kecil seperti kami, ini proyek yang sangat besar. Rasanya tidak
berlebihan kalau dibilang ini proyek terbesar sejak perusahaan didirikan.”
Itu
dia.
“Umm, apa aku
bisa melakukan sesuatu untuk pekerjaan sebesar itu?"
Ketika aku
bertanya seperti itu, Satozaki-san kembali tersenyum dengan senyuman nakal yang
sama seperti sebelumnya.
“Tentu saja
tidak ada,” jawabannya begitu tegas dan langsung. Ketika aku melirik
sekeliling, orang-orang di sekitar juga mengangguk-angguk ringan. Ah.
“…Iya, ya.
Benar juga.”
Tak peduli
bagaimana aku memikirkannya, aku tidak merasa memiliki kemampuan yang bisa
berguna. Tapi kemudian, saat aku
terkulai lemas, Satozaki-san dengan santai berkata kepadaku,
“Itulah sebabnya
kamu menjadi sekretaris, ‘kan?”
“Eh?”
Apa
maksudnya?
“Kalau kamu
memiliki kemampuan tertentu, pekerjaan itu akan dibagikan. Tentu saja, ada
bagusnya memiliki keahlian sebagai desainer. Keterampilan dasar seperti rasa
warna, kemampuan komposisi, dan panduan visual itu penting. Kemampuan untuk
menguasai berbagai alat juga penting.”
“Kurasa aku
tidak memiliki semua itu.”
“Kalau kamu
bisa melakukan semuanya, pekerjaan kami akan hilang."
Sekali lagi,
orang-orang di sekitar kami mulai mengangguk. Meskipun mereka bekerja, mereka
tetap mendengarkan dengan baik.
“Tapi, pekerjaan
desain tidak sebatas hanya itu saja. Pemikiran logis, kemampuan memecahkan
masalah, dan kemampuan abstraksi juga penting. Jika kita berharap pada
mahasiswa aktif dari kampus Tsukinomiya, mungkin itulah yang diharapkan.”
“Kemampuan
abstraksi..”
“Mampu
membaca sejumlah besar catatan dan mengekstrak hal-hal penting darinya adalah
keterampilan yang penting. Pertama-tama, apakah kamu bisa melakukannya? Jadi, yang
semangat ya.”
Setelah
tersenyum lagi, Satozaki-san kembali melanjutkan pekerjaannya.
Hmm.
Aku melihat
ke dalam cangkir kopi di tanganku. Kopi hitam itu tersisa sekitar sepertiga di
dasar cangkir.
Meskipun aku
menggoyangnya sedikit, dasar cangkir yang berputar tidak terlihat. Perkataan
Satozaki-san sebelumnya kembali terngiang di benakku.
──Tentu saja
tidak mungkin.
Sial.
Meskipun itu hal yang sudah jelas, tapi aku merasa kecewa dengan diriku sendiri
karena melanggar aturan sederhana ini. Aku menghabiskan kopi yang tersisa di
cangkir dan memaksanya masuk ke dalam perutku.
Dua lagi. Aku
pasti akan menyelesaikannya dan merangkum semuanya hari ini.
Setelah
berjuang selama dua jam, akhirnya aku berhasil menyelesaikan catatan ruang
kerja yang ditugaskan dan mencatatnya dengan caraku sendiri, lalu tiba-tiiba
ada seseorang yang menepuk bahuku.
“Baiklaj.
Sampai di sini saja dulu untuk hari ini.”
Ketika aku
menoleh, ada Ruka-san yang berdiri di sana.
Aku
mengangkat wajahku dan melihat jam analog yang tergantung di dinding
menunjukkan waktu sedikit melewati pukul lima sore. Setelah melihat sekeliling,
belum ada yang menunjukkan tanda-tanda ingin pulang.
“Ehm,
tapi...”
“Tidak boleh,
tidak boleh. Jangan terlalu berusaha sejak hari pertama. Pekerjaan itu seperti
pekerjaan rumah. Tentu saja ada momen-momen sulit dalam kenyataannya, tetapi
tidak ada gunanya memaksakan diri.”
“Sama
seperti pekerjaan rumah... Apa itu berarti idealnya bisa dilakukan setiap hari
dengan mudah?”
“Ya, benar. Karena
ini baru hari pertamamu, jadi kamu tidak boleh kelelahan di sini.
Ngomong-ngomong, tentang besok. Besok kamu ada jadwal perkuliahan di sore hari,
‘kan?”
“Iya.”
“Kira-kira pukul
berapa kamu bisa datang?"
Jam
perkulianku berakhir pukul 16:30, jadi,
“Kurasa aku
bisa sampai di sini paling cepat pukul 17:20.”
“Kalau
begitu, kurasa bakalan sempat. Aku sedang berpikir untuk mengajakmu ikut
denganku ke rapat mulai besok.”
“Rapat?”
“Ya. Aku
akan menghadiri rapat pertemuan untuk 'Roppongi Art Festa'.”
“Aku juga
ikut rapat itu?”
“Kamu
sekretarisku, jadi aku ingin kamu tahu tentang semua proyek yang kutangani. Aku
juga akan memintamu untuk mencatat risalah.”
“…Baik.”
Aku mulai
merasa sedikit gugup. Tapi 'Roppongi Art Festa' adalah proyek pekerjaan
pertama yang aku ikuti. Karena itu yang pertama, aku mencatatnya dengan sangat
baik. Mungkin ini keberuntungan.
“Rapat akan
berlangsung sekitar dua jam mulai pukul tujuh malam. Lokasinya juga di
Roppongi, jadi setelah selesai, kamu bisa langsung pulang. Dengan begitu, kamu
tidak akan pulang terlalu larut malam.”
“Ya, tidak
masalah.”
Pelajar SMA
hanya diperbolehkan bekerja hingga pukul 10 malam, tetapi karena aku sudah
mahasiswa, batasan itu tidak ada. Namun, aku ingin menghindari pekerjaan yang
berakhir setelah tengah malam karena itu pasti akan mengganggu kuliah keesokan
harinya. Jika selesai pukul 21:00 dan dibubarkan di Roppongi, aku tidak akan
keberatan.
“Ngomong-ngomong,
rata-rata jam kerja mahasiswa itu sekitar sembilan jam per minggu. Lebih
sedikit dari yang kukira.”
“Ah.”
“Aku tidak
tahu seberapa banyak yang bisa dimanfaatkan, jadi aku mencari tahu.”
Memanfaatkan,
ya...
Aku merasa
cara berbicaranya seperti Ruka-san sekali.
“Jadi, kupikir
setelah kamu masuk ke kantor, dua jam adalah patokannya.”
“Dua jam...”
Sejujurnya, rasanya
masih terlalu singkat untuk belajar pekerjaan.
“Sebagai
gantinya, aku ingin datang sesering mungkin. Aku berharap kamu bisa masuk
setiap hari, tetapi kadang-kadang kuliah bisa sampai malam, ‘kan?”
“Jika ada jadwal
perkuliahan kelima, aku akan selesai sekitar pukul 18:10. Mungkin aku baru bisa
masuk kantor sekitar pukul 19:00.”
“Pada hari
itu, kamu tidak perlu memaksakan diri untuk masuk. Jika kamu masuk tanpa makan
malam, yang ada malah berdampak tidak efektif, dan jika kamu makan terlebih
dahulu, pulangnya pasti akan larut. Itu akan mengganggu persiapan dan ulasan
kuliah, bukan?”
Aku terdiam.
Karena perkataannya memang benar.
Hanya ada
satu hari dalam seminggu di mana aku memiliki perkuliahan hingga jam kelima,
tapi itu berarti aku tidak bisa berangkat magang pada hari itu.
“Aku belum
menilai kemampuan desainmu saat ini. Aku belum pernah melihat karya-karyamu.
Jika kamu mahir, seharusnya kamu sudah masuk ke sekolah seni atau sekolah
kejuruan.”
…Aku tidak mempunyai
kalimat yang pas untuk membalasnya. Karena itu juga benar.
“Untuk saat
ini, bisa dibilang, aku menemukan nilai dalam kenyataan bahwa kamu adalah
mahasiswa dari kampus Tsukinomiya.”
Ruka-san
mengatakan hal yang sama seperti yang diucapkan oleh Satozaki-san.
“Oleh karena
itu, aku tidak ingin kamu mengabaikan perkuliahanmu. Itu akan membuang
keunggulanmu. Tentu saja, jika pekerjaan di sini menjadi menarik dan kamu
merasa tidak peduli lagi dengan universitas, ceritanya bakal lain lagi. Namun,
itu juga merupakan pilihan yang sulit. Pendidikan masih merupakan gelar
penting. Meninggalkan pendidikanmu demi menguasai keterampilan dan mencari
pekerjaan demi bertahan hidup selalu sulit, tidak peduli apapun zamannya.
Masyarakat cenderung memandang rendah dirimu.”
“Ya, aku
setuju. Aku juga berpikir begitu.”
Itulah
alasan aku mengejar universitas yang dianggap memiliki tingkat tinggi. Aku
selalu berpikir seperti itu karena melihat perjuangan ibuku. Sejujurnya, aku
ingin memiliki gelar yang cukup untuk menangkis prasangka.
“Jadi
begitulah, kalau bisa, datanglah ke kantor sesering mungkin. Ketika kamu
datang, usahakan bekerja selama dua jam dan jangan bermalas-malasan. Bisakah
kamu melakukannya?”
“Aku akan
melakukannya.”
Aku bukan
menjawab, “Aku bisa”, tapi “Aku akan melakukannya”.
Setelah mendengar
jawaban itu, Ruka-san mengangguk dan mengulangi rencana untuk besok sekali
lagi. Aku mencatat apa yang dia katakan di catatan ponselku supaya tidak melupakannya.
Setelah berpamitan
kepada karyawan lain, aku membuang cangkir kertas ke tempat sampah,
mengembalikan laptop ke tempat penyimpanan, lalu keluar dari kantor.
Dalam
perjalanan pulang di dalam kereta, aku merenungkan hari yang sibuk ini.
Catatan
ruang kerja itu dipenuhi dengan berbagai orang yang menyampaikan pendapat
tentang proyek dari berbagai posisi, dan banyak istilah teknis yang belum kupahami,
jadi aku tidak bisa mengatakan bahwa aku memahami semuanya. Jadi yang kulakukan
hanyalah mengikuti pernyataan Ruka-san sebagai fokus dalam log. Karena
pekerjaanku adalah sebagai sekretaris Ruka-san, aku berpikir penting untuk
memahami apa yang dia pikirkan dan niat di balik pernyataannya. Dengan mengikuti
cara tersebut, aku samar-samar bisa merasakan posisi atau sudut pandang Ruka-san
terhadap proyek yang sedang diikutinya.
Aku terus
mengikuti catatan kerja dengan perhatian pada hal-hal tersebut, dan melihatnya
dengan cara itu, meskipun aku tidak memahami detailnya, ternyata menarik.
Ketika ada pendapat yang bertentangan, aku bisa merasakan ke mana Ruka-san
berusaha mengarahkan kesimpulan.
Meski sangat
menantang, tetapi juga menyenangkan. Begitulah yang kurasakan.
Aku
bersandar pada pintu kereta dan menatap pemandangan malam dengan kosong. Saat
mendekati Shibuya, lampu-lampu perkotaan semakin banyak. Ketika aku menganggap
kalau pemandangan itu cukup indah, aku sudah mengangkat ponselku di satu tangan
dan mengaktifkan kamera. Ngomong-ngomong, aku pernah mendengar bahwa saat
mengambil gambar melalui jendela, lebih baik menempelkan kamera ke kaca. Kalau
begitu ayo kita cona. Aku menekan tombol shutter ke arah lampu gedung Shibuya
yang terlihat dari jauh.
Meskipun
dari dalam kereta yang bergetar, hasil fotonya ternyata lebih bagus dari yang kubayangkan.
Aku mengubahnya
ke dalam mode edit dan memprosesnya lebih lanjut. Aku mengeluarkan papan iklan
yang tidak perlu yang mengganggu bagian yang ingin aku tonjolkan, mengatur
kecerahan keseluruhan, dan menyesuaikan saturasi sebelum mengunggahnya ke akun Instagramku.
Ketika aku melihat
kembali foto yang sudah diposting, perhatianku tiba-tiba tertuju pada akun Yuuta
yang kuikuti.
Ngomong-ngomong,
meskipun dirinya sudah membuat akun, ia belum pernah memposting satu pun. Melihat
halaman profil Yuuta yang hanya memiliki ikon default, aku jadi teringat
saat pertama kali bertemu dengannya.
Saat pertama
kali—ya, pada saat itulah kami menyapa satu sama lain di restoran
keluarga.
Setelah itu,
kami berbicara tentang kesamaan yang kami miliki dan memutuskan untuk saling menyesuaikan
satu sama lain, sedikit demi sedikit aku mulai melihat gambaran Asamura Yuuta
sebagai sosok pribadi. Namun sejujurnya, pada awalnya, aku tidak bisa memahami
apa yang ada di pikirannya atau dirinya itu orang yang seperti apa.
Bisa
dibilang, aku tidak tertarik.
Sekarang
berbeda. Aku tertarik dan mulai memahami sedikit. Tapi aku ingin tahu lebih
banyak. Jika Yuuta mengambil foto, apa yang ia pikirkan dan apa yang diambilnya?
Pasti ada gambaran tentang dirinya yang terlihat dari foto-foto yang diambilnya.
Aku
merenungkan hal itu, dan tiba-tiba kepikiran, mungkin ini juga berlaku untuk
diriku sendiri. Aku pun tanpa sengaja melihat kembali akun Instagramku.
…Ada banyak
foto makanan.
Tidak, ini
bukan berarti aku ingin menunjukkan kepada orang-orang bahwa aku adalah gadis
yang rakus. Lihatlah, aku bahkan memposting foto-foto fashion juga. Astaga. …Aku
sedang mencari-cari alasan kepada siapa sih?
Aku sedikit
penasaran tentang foto apa yang akan diunggah Yuuta jika dirinya mulai memainkan
Instagram, tetapi… ya, setiap orang mempunyai kesukaan yang berbeda-beda.
◇◇◇◇
Keesokan
harinya, Selasa. Setelah selesai kuliah, aku langsung bergerak dan tiba di
kantor pada pukul 17:20.
Aku bertemu
dengan Ruka-san. Dari sana, kami menuju Roppongi di mana pertemuan akan
diadakan, tetapi aku terkejut karena aku mengira kami akan naik kereta,
ternyata kami menggunakan taksi.
Menggunakan
taksi dengan begitu santai seperti ini, sungguh luar biasa bagi seorang
pekerja. Dari Nakanosakaue yang ada di kantor menuju Roppongi jaraknya bisa
hampir 10 kilometer, dan biaya taksinya hampir 5000 yen. Selain itu, karena
kami menggunakan jalan tol, pasti ada biaya tol tambahan. Yang lebih
mengejutkan, Ruka-san memanggil taksi melalui aplikasi, dan sepertinya biaya
dibayar melalui aplikasi, jadi dia tidak membayar saat turun.
Hanya dengan
itu saja sudah membuatku merasa cemas di dalam hati. Jika sebagai mahasiswa aku
terbiasa hidup dengan menggunakan taksi semudah ini, aku takut kehidupan
sehari-hariku akan terganggu.
Kami tiba di
Roppongi dan turun dari mobil sekitar sepuluh menit sebelum pukul 18:00. Tempatnya
di Roppongi Hills. Ya, Roppongi Hills yang terkenal itu, kompleks
gedung pencakar langit yang terkenal di Tokyo.
Setelah
turun dari mobil taksi, Ruka-san langsung bertanya, “Kamu sudah makan?” Itu
tentang makan malam.
“Belum.”
“Rapatnya
dimulai pukul 19:00, jadi masih ada satu jam. Mari kita makan sesuatu di kafe.”
“Ah, baik.”
Meskipun aku
menjawab demikian, aku tetap memperhatikan isi dompetku. Seharusnya aku meminta
untuk mengundur waktu pertemuan 30 menit dan pergi memakan makanan cepat saji
saja.
“Ah, tidak
usah khawatir. Karena aku yang traktir.”
“Apa boleh?”
“Salahku
juga karena tidak memberitahumu untuk makan sebelum bertemu. Mulai sekarang,
jika ada pertemuan, sebaiknya kamu langsung datang dari universitas ke sini.
Jadi, pastikan untuk makan dengan baik sebelum datang.”
“Baik, aku
mengerti.”
“Oke, ayo kita
pergi.”
Ketika kami
mulai berjalan, beberapa bangunan bersinar terang dengan latar belakang langit
senja. Setelah menikmati makan ringan di kafe yang dipilih secara acak oleh
Ruka-san, kami menuju tempat pertemuan.
◇◇◇◇
Di
resepsionis di pintu masuk, Ruka-san menyampaikan namanya dan afiliasinya untuk
memberitahukan kedatangannya.
Petugas
resepsi memeriksa apa ada janji dengan mengoperasikan layar di tangannya, lalu
memberinya dua kartu izin yang harus digantung di leher. Ternyata, jika tidak
mengenakan kartu izin itu, kami tidak bisa melewati area ini. Aku terburu-buru
mengejar Ruka-san yang sudah berjalan cepat.
“Mulai
sekarang, kita sebaiknya bertemu di pintu masuk yang tadi.”
“Ah, baik”
“Selama
beberapa waktu ke depan, lebih nyaman jika kamu masuk bersamaku.”
“Itu… ya.”
Ketika
ditanya apa aku bisa datang sendiri dan menunjukkan kartu izin untuk mencapai
tempat tujuan, aku menjawab bahwa itu akan memberi tekanan yang cukup besar. Mana
mungkin aku bisa melakukannya sendirian. Setidaknya untuk saat ini.
Ruka-san
menyapa petugas keamanan yang mengenakan seragam dengan sedikit gerakan mata
dan leher, lalu lewat dengan cepat, tetapi aku merasa takut dengan tatapan
tajam dari seorang pria yang mengawasi, jadi aku berjalan dengan gugup. Aku
bahkan menggerakkan kartu izinku ke posisi yang lebih terlihat. Terima kasih
atas kerja kerasnya. Aku bukan orang mencurigakan, lho?
Tingkat
keamanan di sini jauh lebih ketat dibandingkan dengan sekolah atau toko buku
tempatku bekerja sebelumnya.
Kami naik
lift dan turun di lantai tujuh.
“Ini dia.”
Sambil berbicara
demikian, Ruka-san mengambil telepon internal yang terpasang di depan pintu.
Setelah menekan nomor dan terhubung, dia mengatakan, “Ini Akihiro Ruka dari Lucca
Design Studio.”
Tak lama
kemudian, pintu terbuka dari dalam.
Pria tua
yang muncul tampaknya sudah mengenal Ruka-san, dan dia tersenyum saat
melihatnya. Setelah menyapa dengan singkat, Ruka-san memperkenalkanku. Aku
berusaha untuk berdiri tegak dan perlahan-lahan membungkukkan badan. Aku
menyebutkan namaku “Ayase Saki” dan mengucapkan salam—aku berhasil
mengatakannya.
Tiba-tiba,
pria itu memasukkan tangan ke dalam saku dadanya.
Sebuah papan
logam tipis—tidak, rupanya itu adalah tempat kartu nama. Dirinya mengeluarkan
kartu nama dari kotak perak dan segera memberikannya kepadaku. Ini buruk.
“Eh... maaf,
aku belum punya kartu nama.”
“Tidak
apa-apa, tidak usah khawatir. Nanti saja.”
Ia dengan
santai menerima permintaan maafku dengan senyuman ramah.
Luar biasa.
Mungkin dia merasa sedikit terkejut di dalam hati, tetapi tanpa menunjukkan hal
itu, ia berkata, “Mari masuk ke sini,” dan memimpin jalan.
Saat kami
hampir masuk, aku sekali lagi memeriksa nama perusahaan yang tertulis di pintu.
Itu adalah nama perusahaan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Setelah
mencari informasi kemudian, rupanya itu agen iklan yang berafiliasi dengan
stasiun televisi.
Sambil
berjalan, Ruka-san berbisik, “Aku akan segera membuat kartu nama untukmu”. Aku
mengangguk kecil sebagai tanda setuju.
Kami dibawa
ke ruang rapat besar. Ruangannya cukup luas, berukuran sekitar sepuluh tatami.
Di tengahnya terdapat meja besar berbentuk oval yang panjang, dikelilingi oleh
kursi-kursi yang tertata rapi. Di bagian belakang terdapat layar putih yang
terbuat dari kain, dan di atas meja ada proyektor. Hanya cahaya putih yang
mengenai layar, dan saat ini belum ada gambar yang ditampilkan.
Meskipun
rapat dimulai sepuluh menit lagi, sudah setengah dari kursi terisi.
Ada banyak peserta
pria yang terlihat berusia sekitar 40 hingga 50 tahunan, tetapi rasio wanita
juga cukup tinggi.
[Roppongi
Art Festa] adalah proyek besar yang melibatkan
fasilitas dan perusahaan terkenal seperti National Art Center, Tokyo
Midtown, Mori Building, dan Asosiasi Promosi Toko Roppongi. Rapat kali ini
adalah pertemuan rutin dari panitia penggerak proyek tersebut.
Karena pertemuan
ini diadakan setelah jam kerja masing-masing fasilitas dan perusahaan, maka
waktu pertemuannya menjadi larut, yaitu pukul 19:00.
Di sini, aku
akan merangkum poin-poin penting tentang [Roppongi Art Festa].
Secara
singkat, ini bukanlah pameran yang menggunakan tempat khusus seperti museum,
tetapi sebuah festival yang bertujuan untuk menampilkan karya-karya seniman
agar menyatu dengan pemandangan kota dan menghibur orang-orang yang berlalu
lalang.
Pameran
seninya akan ditampilkan dan berkembang di area yang luas di tengah kota.
Oleh karena
itu, izin dari pemilik bisnis yang ada di lokasi pameran harus diperoleh, dan
jika memungkinkan, kami juga ingin meminta kerjasama mereka. Untuk itulah,
perlu ada keuntungan bagi kedua belah pihak, dan kami harus berusaha untuk
meningkatkan jumlah pengunjung ke toko dan gedung melalui pameran seniman.
Begitulah
yang dibahas di ruang rapat.
Ruka-san
bertanggung jawab atas pengarahan kreatif secara keseluruhan, termasuk desain
tata ruang dan pemilihan seniman dalam kepanitiaan. Inilah hal yang kurangkum
kemarin saat berbicara dengan Satozaki-san.
Rapat
dimulai tepat waktu.
Agenda hari
ini ditampilkan di layar oleh proyektor.
Seorang
wanita yang berbicara sambil menunjukkan materi yang tampaknya dibuat dengan PowerPoint
adalah orang yang tampaknya bertanggung jawab atas Jalan Perbelanjaan Roppongi.
Dia mengenakan kacamata bingkai perak dan tampak berusia sekitar empat puluhan.
Dengan nada bicara yang jelas, dia menunjukkan materi yang menggambarkan rute
pergerakan pelanggan di kawasan tersebut. Materi itu menunjukkan kapan dan di
mana pelanggan paling banyak berkumpul, serta di mana tempat yang sepi.
Hal ini
dapat dipahami secara intuitif, tetapi saat makan siang dan senja, restoran pasti
ramai dikunjungi. Tempat yang jauh dari restoran memiliki lebih sedikit
pengunjung.
Dia memajang
dokumen-dokumen ini di samping pameran yang sedang berlangsung, dan menyarankan
agar penempatan beberapa karya seni ditata ulang. Dia berpendapat bahwa hal ini
mungkin agak ekstrem untuk sebuah pameran di lokasi yang sering ramai dengan
keluarga pada hari-hari tertentu. Memang, jika dipikirkan, itu sangat masuk
akal.
Tentu saja,
pihak seniman juga memiliki pendapat mereka, dan jika lokasi sebuah karya
diubah, beberapa orang mungkin akan kesulitan karena harus dipindahkan secara
berurutan. Itu juga sangat wajar.
Ruka-san
mendengarkan semua pendapat tersebut tanpa banyak berkomentar.
Meski dia sesekali
mengajukan pertanyaan untuk mengonfirmasi hal-hal kecil, tapi dia hampir tidak
pernah mengangkat suaranya. Aku duduk di samping Ruka-san dan berusaha keras
mencatat isi percakapan.
—Soal
notulen rapat. Ruka-san memberitahuku saat kami makan malam di kafe tadi. Aku tidak
perlu mencatat setiap detail percakapan secara lengkap. Jika ingin catatan
seperti itu, lebih cepat menggunakan perekam suara, dan kecuali bisa mencatat
dengan cepat, mana mungkin untuk merekam setiap kata. Sebenarnya, rapat ini
direkam dan catatan rapat dapat dirujuk sebagai materi. Ya, aku sudah
memverifikasi hal itu di ruang kerja. Lalu, mengapa aku ada di sini?
“Jika hanya
untuk berdiskusi, cukup unggah materi ke server dan lakukan di Slack. Namun,
ada hal-hal yang tidak dapat disampaikan jika tidak bertemu langsung. Itulah
yang aku ingin kamu catat, Saki.”
Yang perlu
diperhatikan adalah emosi peserta rapat, ujarnya.
Informasi
tertulis yang diunggah ke ruang kerja tidaklah sempurna. Ketika manusia
berbicara secara tatap muka, mereka memberikan lebih banyak informasi kepada
lawan bicara daripada yang diucapkan. Hal-hal seperti nuansa dan suasana hati
termasuk di dalamnya.
Ketika
seseorang mengemukakan pendapat, sejauh mana mereka menekankan pendapat
tersebut.
Apa ini
sesuatu yang tidak bisa ditawar, ataukah hanya pernyataan tanpa keyakinan yang
disampaikan? Informasi semacam itu bisa terdeteksi dalam percakapan, tetapi
ketika hanya tertulis, informasi tersebut hilang. Seseorang yang menentang
sebuah pendapat mungkin melakukannya karena tidak setuju dengan pendapat itu,
atau mungkin hanya karena mereka tidak suka dengan orang yang mengemukakan
pendapat tersebut. Ruka-san dengan santai menyatakan bahwa meskipun ini adalah
rapat orang dewasa, tidak ada jaminan bahwa perasaan pribadi takkan terlibat.
Dia bahkan mengatakan bahwa orang dewasa terkadang bersikap kekanak-kanakan
dengan menggunakan formalitas sebagai senjata. Cara penyampaiannya yang datar
membuatnya terasa lebih menakutkan. Tatapannya terlalu dingin, seolah-olah
tidak memberi ampun.
Aku merasa
ragu apa ini benar, tapi aku menyadari bahwa ketika seorang wanita muda yang
berbicara dengan nada cukup tajam (yang mengingatkanku pada Melissa)
mengemukakan pendapat, selalu ada seseorang yang mengernyitkan dahi. Pria itu
menggambar panah dengan pena ke arah wanita tersebut dan menambahkan tanda
silang. Ruka-san mengangkat tangan seolah ingin mengonfirmasi, lalu mulai
mengajukan beberapa pertanyaan. Wanita yang sebelumnya berbicara dengan penuh
semangat itu sedikit terdiam untuk menjawab pertanyaan Ruka-san. Kemudian, dia
menjawab sambil membolak-balik materi. Suasana kembali tenang, dan kerutan di
dahi pria yang mengernyit itu pun menghilang....
Sepertinya,
pertanyaan Ruka-san kali ini lebih untuk menenangkan suasana daripada
benar-benar ingin mengajukan pertanyaan.
Setelah
menyadari hal ini, aku mulai mengerti bahwa Ruka-san tampak seperti hanya
mendengarkan rapat, tetapi sebenarnya dia mengeluarkan komentar ketika suasana
mulai melenceng atau terlalu tegang. Namun, bukannya tugas Ruka-san hanya
sebagai direktur desain acara? Mengapa dia juga bertindak seolah-olah menjadi
ketua yang tersembunyi?
Setelah
pernyataan dari ketua Jalanan Perbelanjaan Roppongi selesai, ketua rapat, yang
juga berfungsi sebagai moderator, kembali meminta pertanyaan dan pertukaran
pendapat.
Ruka-san
mengangkat tangan dan berdiri.
“Aku
memahami apa yang Anda katakan, dan menurutku kita perlu mempertimbangkannya. Sebaiknya
kita harus menghindari hal-hal yang membuat beberapa toko dirugikan dengan
adanya penyelenggaraan acara ini, supaya hal ini bisa menjadi inisiatif
berkelanjutan yang lebih dari sekadar acara tahun ini saja.”
Ruka-san
mengatakannya dan melirik sekeliling untuk mencari persetujuan. Tidak ada yang
secara terbuka menolak pendapat Ruka-san. Namun, ada perbedaan suhu. Beberapa
orang mengangguk dengan antusias, sementara yang lain tampak enggan. Aku
mencatat kesanku tentang hal ini sebisa mungkin. Menulis dalam bentuk kalimat
terasa lambat, jadi aku menggunakan tanda cek atau silang. Aku juga memanfaatkan
anakronisme.
Mana mungkin
aku bisa mengingat semua nama peserta rapat, jadi aku hanya bisa mencatat
berdasarkan posisi mereka duduk. Kurasa aku harus mengonfirmasi detailnya lagi
dengan Ruka-san nanti. Aku ingin mengambil foto, tetapi aku yakin itu akan
membuatku dimarahi.
“Aku ingin
menggarisbawahi bahwa meskipun kita akan mempertimbangkan rencana konkretnya di
Slack, tapi ada beberapa hal yang sulit untuk diterapkan di lokasi yang Anda
sebutkan.”
“Sulit....apa
maksudmu?”
Wanita tua──seorang
wanita yang sudah lanjut usia dengan kacamata bingkai perak itu berkata dengan
sedikit kebingungan.
“Tergantung
pada cuaca dan waktunya, angin dari gedung-gedung di
lokasi itu pasti cukup kencang. Benar, kan?”
“……Ah,
ngomong-ngomong. Ya, benar.”
Moderator
rapat mengatakannya seolah-olah baru ingat, tetapi
bagaimana mungkin Ruka-san yang mengingat hal-hal yang bahkan orang yang
bertanggung jawab atas distrik perbelanjaan tidak bisa mengingatnya… (Setelah ditanya, ternyata
ruang tempat acara diadakan telah dikunjungi dan diperiksa beberapa kali pada
waktu dan hari yang berbeda).
Ruka-san
melanjutkan penjelasannya.
“Beberapa
pameran fashion dan seni tiga dimensi akan sulit dipamerkan jika terpapar
angin. Jadi, sepertinya tidak mungkin untuk menukarnya.”
“Ah,
aku mengerti. Begitu ya.”
“Jika
Anda bisa mempertimbangkan itu, kurasa itu sudah cukup. Kita bisa mendiskusikan rinciannya lebih lanjut
di Slack."
Setelah
merangkum hal tersebut, Ruka-san duduk di kursi.
Pembawa
acara meminta apa ada pendapat lain, dan petugas keamanan gedung serta
koordinator seniman yang hadir masing-masing memberikan pandangan singkat.
Mereka sepakat untuk melanjutkan diskusi di Slack mengenai pendapat tersebut.
Ternyata, penting untuk menemukan arah keseluruhan dalam rapat ini, dan semua
rincian akan dibawa kembali ke ruang kerja.
Akhirnya,
mereka memeriksa kembali jadwal ke depan dan membubarkan rapat.
Meskipun
rapat hanya berlangsung selama dua jam, saat selesai aku merasa terlalu fokus
hingga kepalaku sakit. Ini…… pekerjaan yang berat.
◇◇◇◇
Dalam
perjalanan pulang, aku menumpangi
taksi bersama Ruka-san.
“Karena
kita menuju ke arah yang sama, bagaimana kalau
kita naik sampai Shibuya?”
Aku tergiur untuk mengiyakan ajakannya.
Aku
memintanya untuk menurunkanku di tempat yang nyaman di dekat rumahku, dan dari sana aku memutuskan untuk berjalan
kaki menuju apartemenku.
Saat
mendongak ke atas, aku melihat bulan sabit mulai terbit di
langit malam. Saat melewati taman, aku mencium aroma samar-samar bunga yang bercampur dengan
aroma dedaunan hijau. Bau apa ya? Jika saat ini, mungkin lilac atau dogwood? Mungkin saat aku melewati taman
lagi, aku akan melihatnya melalui pagar kawat. Tanpa kusadari, musim bunga awal musim panas
telah tiba.
Aku berjalan
sambil merenungkan hal-hal itu.
Waktunya
sudah cukup larut malam ketika aku tiba di rumah. Dengan suara pelan “Selamat datang”, (karena
Ayah tiri sudah tertidur),
aku mengintip ke dalam ruang
tamu.
Yuuta
yang sedang membaca buku di sofa mengangkat wajahnya.
“Selamat
datang kembali. Aku dengar kamu sudah makan malam, tapi bagaimana?”
Aku
mencari tahu keadaan perutku. Sepertinya aku memang
agak lapar.
“Sepertinya
aku ingin memasukkan sesuatu ke dalam perut.”
“Baiklah.
Aku juga hanya makan sedikit, jadi aku akan menemanimu.”
“Eh?”
Jangan-jangan,
ia sengaja menungguku
tanpa makan malam?
Mungkin karena
aku terlihat terkejut, Yuuta langsung menyadarinya
dan berkata, “Aku sudah
makan dengan baik”.
Meskipun aku tidak bisa sepenuhnya mempercayai kata-katanya, aku memutuskan
untuk tidak mengeluh dan menerima saja.
Ketika aku
melihat ke dalam kulkas, aku menemukan sedikit sashimi yang sepertinya dibeli
oleh ibu. Itu adalah ikan bonito. Mungkin karena bulan Mei, ini adalah bonito
pertama. Selain itu, ada sekitar sepertiga tamagoyaki yang mungkin dibuat oleh
ibu.
“Kamu tidak
memakan ini?”
“Ah,
iya, itu yang tersisa. Tentu saja aku sudah memakan
bagianku.”
“Kalau
begitu, mari kita bagi.”
Yuuta
mengangguk dan mulai memanaskan sup miso
dengan menyalakan kompor induksi.
Sementara itu, aku menyiapkan cangkir teh dan mangkuk… Aku juga menemukan sisa
sayuran, jadi aku menambah jumlah hidangan di meja makan. Aku tidak suka jika
tampilan makanan terlihat sepi.
Setelah
mengucapkan “Selamat
makan,” kami
mulai menikmati makanan.
“Jadi,
bagaimana?” tanya Yuuta
memulai pembicaraan. Ia
menanyakan pendapatku tentang pekerjaan pertama hari ini. Karena Yuuta juga
tidak memiliki pengalaman magang, wajar saja jika
dirinya merasa penasaran tentang perbedaan
dengan pekerjaan paruh waktu di toko buku.
Aku juga
ingin berbicara, jadi aku memanfaatkan kesempatan itu untuk membuka
pembicaraan.
Dunia
baru yang aku masuki dipenuhi dengan keajaiban, dan bagiku, itu membawa
kesegaran serta sedikit kejutan budaya.
Jika
dipikirkan lagi dengan
tenang, tidak ada perbedaan antara bekerja di toko buku dan berpartisipasi di
lingkungan profesional. Meskipun aku tidak bisa mengatakan bahwa motivasiku
untuk mulai bekerja paruh waktu di toko buku tidak ada unsur yang sedikit
menyimpang, aku merasa cukup serius menjalani pekerjaan itu, meskipun tidak
seantusias Yuuta yang sangat menyukai buku.
Sebaliknya,
bekerja di kantor desain Ruka-san muncul dari minat murniku.
Itulah
sebabnya, mungkin perasaan yang kudapatkan dalam dua hari
ini, kemarin dan hari ini, begitu melekat di
benakku.
Tanpa aku
sadari, aku hanya berbicara sepihak. Tentu
saja, aku tidak bisa membicarakan hal-hal yang mungkin merupakan rahasia
perusahaan.
“Maaf,
aku terlalu bersemangat sendiri.”
Aku
meminta maaf sambil merenungkan hal itu, dan Yuuta menjawab, “Tidak masalah. Hanya melihat Saki
yang terlihat senang saja sudah menyenangkan.”
Hanya
dengan melihatku yang terlihat senang…
Tiba-tiba,
aku berpikir.
Apa aku
bisa mengatakan hal yang sama seperti Yuuta?
“Begini,
aku sempat kepikiran. Biasanya──”
“Ya?”
“──Rasanya
kita tidak tertarik pada pengalaman orang lain. Lagipula
itu adalah hal yang tidak ada hubungannya dengan diri kita, ‘kan?”
Mendengar
kata-kataku, Yuuta tampak merenung. Dirinya
menyeruput teh di depannya, menghela napas, lalu menatap langit-langit. Setelah
menggumam, ia berkata,
“Aku
mungkin tidak masalah dengan itu.”
“Begitu,
ya?”
Yuuta
mengangguk. Lalu, ia mengatakan sesuatu yang mengejutkan bagiku.
“Karena
hal itu sama saja dengan membaca
buku."
“…Aku
tidak begitu paham maksudmu.”
“Kurasa
cerita pada akhirnya bercerita tentang kehidupan orang lain. Tapi penulisnya mengusahakan agar kita bisa
mengidentifikasi diri dengan karakter-karakter di dalamnya, sehingga kita bisa
merasakan seolah-olah kita ada di sana, mengalami semua itu dengan tegang atau
berdebar-debar. Dengan cara itu, kita bisa merasakan perspektif dan cara
berpikir yang tidak bisa kita miliki sendiri.”
“Perspektif
dan cara berpikir yang tidak bisa kita miliki sendiri…”
“Kurasa
itu bisa memperluas pandangan kita dan memberikan objektivitas.”
“Jadi
Yuuta membaca buku dengan pemikiran seperti itu, ya…”
Ketika aku
mengatakannya, kakak tiriku yang berada di hadapanku
tampak tersenyum pahit.
“Tidak,
tidak. Kurasa aku tidak membacanya sambil
berpikir demikian. Aku
cuma asyik membacanya saja. Tapi, mungkin setelah aku
menyadari hal itu, mendengarkan cerita orang lain tidak terasa begitu
menyakitkan. Saat mendengarkan cerita Saki tadi, tentu saja menyenangkan
melihat Saki yang terlihat bahagia, tetapi isi ceritanya juga menarik.
Misalnya, tentang bagaimana dia tidak ragu menggunakan taksi… dan pembicaraan
tentang apa yang perlu diperhatikan saat mencatat dalam rapat juga menarik.
Maksudnya, kita harus membuat peta jaringan, ‘kan?”
Yuuta
tidak begitu tertarik pada seni.
Namun,
ketika dirinya bekerja
paruh waktu di toko buku, ia selalu memperhatikan sudut pandang pelanggan saat
melihat rak-rak di toko. Sudut pandang penjual dan pelanggan tidaklah sama.
Buku yang ingin dijual tidak selalu laku; yang terjual adalah buku yang ingin
dibeli oleh pelanggan.
Oleh
karena itu, ia mencari tahu bagaimana cara membuat pelanggan merasa ingin
membeli.
Begitu ya,
aku lalu menyadari sesuatu. Jadi maksudnya tidak melihat sesuatu dari sudut
pandangmu sendiri, melainkan dari sudut pandang yang berbeda. Itulah yang Yuuta pelajari melalui membaca cerita.
Aku
teringat Yuuta yang diam-diam mendengarkan ceritaku.
Dirinya bukan
hanya baik hati.
Sambil
mendengarkan, ia berusaha untuk berbagi sudut pandangku—sudut pandangku ketika
menghadapi pekerjaan magang baru.
Sungguh
luar biasa.
Ketika aku
mendengarkan ceritanya, apa aku juga mendengarkan dengan cara yang sama seperti
dirinya?
Aku
merasa seolah-olah ada tangan
dingin yang membelai hatiku…
Ketika Yuuta
bercerita tentang dirinya sambil tersenyum,
aku pastinya merasa senang dan gembira. Tapi… Apa itu cukup
untuk mengatakan bahwa kami “berbagi
topik”?
Pertanyaan itu muncul dalam pikiranku.
Ada
istilah untuk itu: bersimpati.
Artinya,
bertindak seolah-olah kita peduli pada orang lain seperti pada diri kita
sendiri.
Namun,
untuk bersimpati, kita harus bisa membayangkan
posisi orang lain, dan untuk itu kita harus bisa berbagi sudut pandang dengan
mereka. Hanya melihat Yuuta yang berbicara dengan ceria tidaklah cukup untuk
mencapainya.
Yuuta
tidak begitu tertarik pada seni.
Namun,
ketika Yuuta mengatakan, “Menurutku bagian yang
kamu katakan tadi lumayan menarik”, merupakan tanggapan yang tidak bisa
dirangkum hanya dengan mendengarkan secara acuh tak acuh.
Artinya,
dia benar-benar mendengarkan dengan perhatian.
“Tapi,” ucap Yuuta dengan pelan.
“Rasanya
mungkin akan jadi masalah kalau kita tidak bisa meluangkan
waktu untuk berbicara seperti ini.”
“Memangnya
buruk ya kalau waktunya singkat?”
“Kurasa yang
namanya komunikasi itu adalah hasil dari kualitas dan kuantitas. Jika
kualitasnya ditingkatkan, kita bisa menyesuaikan hingga batas tertentu. Namun,
pasti sulit jika jumlahnya berkurang.”
Jika
salah satu menjadi nol, maka hasilnya akan menjadi nol.
Jika salah satu menjadi negatif, maka interaksi akan semakin buruk (dan sayangnya, jika keduanya negatif,
tidak ada 'sihir matematika' yang bisa membuatnya menjadi positif dalam
komunikasi).
“Jadi,” Yuuta menambahkan sambil
mengucapkan terima kasih. “Aku
ingin kita bisa berbicara sambil makan bersama sebisa mungkin.”
Aku
berusaha tersenyum dan mengangguk, tapi jauh di lubuk hatiku, aku dipenuhi kecemasan,
karena merasa kalau aku terlalu
dangkal dalam berkomunikasi
dibandingkan dengan Yuuta.
◇◇◇◇
Libur
panjang telah berakhir, dan sekarang sudah memasuki
minggu kedua bulan Mei, aku mulai terbiasa dengan kehidupan kampus.
Hari itu,
dua teman baruku mengajakku untuk makan siang di luar. Mereka bilang ada tempat
yang menyajikan kue panekuk yang instagramable.
Ini lebih mirip makanan berat daripada pencuci mulut, yang bisa menggantikan
makanan utama.
Durasi
perkuliahan di universitas berlangsung selama 90 menit. Hanya
dari segi waktunya saja sudah
dua kali lipat lebih lama dibandingkan saat di SMA. Beberapa dosen memberikan
waktu istirahat, tetapi tetap saja, perkuliahan
di universitas memerlukan lebih banyak konsentrasi dan stamina dibandingkan di
SMA. Jika aku tidak makan dengan baik, perutku bisa berbunyi selama kuliah.
Pikiranku menjadi tidak fokus.
Oleh
karena itu, kue panekuk kecil
yang elegan saja tidaklah
cukup.
“Tempatnya agak
jauh, sih,” ucap
Kyouka. Dia—Mizukami Kyouka, adalah gadis yang memberiku julukan aneh 'Gyaru
Shishou'. Meskipun rambutnya yang disemir
oranye lebih terlihat seperti gyaru, tampaknya dia melihatku sebagai gyaru
tingkat tinggi.
Jadi, umm mari kita membahas tentang
jarak menuju kafenya.
“Seberapa
jauh?”
“Sekitar
delapan menit berjalan kaki dari stasiun.”
“Jaraknya
lumayan, ya.”
Setelah
ditanya lebih lanjut, rupanya tempatnya berada di sisi
lain rel kereta. Jika begitu, keputusan untuk cepat-cepat
ke sana mungkin pilihan yang tepat. Karena tempatnya mungkin akan ramai jika sudah memasuki jam makan siang.
Tempat yang
kami kunjungi ialah sebuah kafe kecil yang terletak di seberang
stasiun Myougadani.
Tampilan
luar kafe tersebut terbuat
dari kayu dengan warna coklat yang alami, memberikan suasana yang menenangkan.
Nama kafe yang tertulis dalam bahasa
Inggris terpampang jelas di
atas pintu masuk. Di dalam, terdapat dua meja untuk empat orang, dua meja untuk
dua orang, dan sebuah meja di depan. Tempat ini bisa menampung sekitar 15
hingga 16 orang. Lantai dengan pola catur terlihat stylish. Pencahayaannya
tidak terlalu gelap dan tidak terlalu terang. Hmm, bagus juga.
Tempat
ini cukup ramai, tapi kami berhasil mendapatkan tempat duduk setelah menunggu
sebentar.
Aku langsung
melihat menunya.
Begitu
rupanya, jadi
ada panekuk yang disajikan dengan telur mata
sapi dan bacon. Aku akan memilih ini. Jika ditambah minuman, harganya sekitaran 2000 yen. Harganya memang kurang terjangkau bagi kantong mahasiswa,
tetapi sesekali tidak ada salahnya.
Setelah
memesan, aku hanya perlu menunggu sekitar 10 menit sebelum makanan diantar.
Cukup cepat.
Ada dua
pancake yang empuk ditumpuk, dengan bacon tipis dan telur mata sapi di atasnya.
Di sisi yang berlawanan dengan telur, terdapat es krim. Cairan di dalam mangkuk kecil itu kemungkinan sirup manis.
Penampilannya
terlihat seperti makanan berat, tetapi juga bisa dibilang camilan. Jika ingin
mengubah rasa, aku bisa menaburkan garam dan merica yang ada di atas meja.
Saat
Kyouka dan temanku yang lain, Mayu (Kaneko Mayu), mengeluarkan smartphone mereka,
aku juga mengeluarkan smartphoneku dari tas bahu.
Inilah
kebiasaan baru yang mulai kulakukan belakangan ini. Akhir-akhir ini, aku berusaha
untuk mengambil foto hal-hal sehari-hari yang menarik perhatianku.
Hmm,
sambil melihat piring pancake di depan aku, aku berpikir.
Apa yang
menjadi ciri khas panekuk ini? Aku
mencoba mengingat apa yang kurasakan saat pertama kali melihatnya.
Tentu
saja, aku menganggap kalau panekuk ini kelihatan enak, tetapi
saat melihat panekuk bacon
dan telur ini, aku merasa, “Ah,
bagus juga”.
Apa alasan yang sebenarnya...?
“Kenapa
kamu menatap kue panekuk seperti itu seolah-olah sedang ada dendam kesumat, Saki-chan?”
“Kue panekuk
sudah membunuh orang tuamu,
ya? Jadi, itulah sebabnya kamu
bersumpah tidak akan mati sampai kamu
makan 100 kue panekuk. Betul, kan?”
Mayu
berkata dengan nada yang santai. Itu tidak benar.
“Aku
hanya memikirkan cara mengambil fotonya.”
Meskipun
tidak ada pelanggan lain yang menunggu, aku harus segera memakannya agar tidak mengganggu kafe.
Ah, aku mulai mengerti. Ini tentang simetri. Di
atas panekuk yang dipanggang berwarna cokelat
keemasan terdapat es krim putih yang bersih, dan telur mata sapi putih yang
diletakkan setengah menutupi pancake, dengan kuning telur di tengahnya. Di atas
dasar berwarna cokelat, ada es krim putih, dan di atas putih telur yang menjadi
dasar telur mata sapi, terdapat kuning telur bulat. Jelas-jelas ini disengaja. Jadi... aku
sedikit memutar piring agar perpaduan warnanya terlihat lebih menarik sebelum
mengambil foto.
Aku bersiap-siap untuk mulai memakannya—tapi
Kyouka mendadak berkata, “Hei, Saki-chan, ayo ambil foto bareng.”
Dia
mengaktifkan mode kamera depan di ponselnya dan berkata, “Ayo, ayo,” sambil memindahkan kami ke sisi
meja. Aku
melihat layar ponsel Kyoka sedang menampilkan makanan dan kami bertiga duduk
mengelilinginya.
Selfie,
ya.
Sekilas
tubuhku terasa kaku, tapi aku berusaha supaya mereka tidak menyadari dan
menghela napas kecil sambil tersenyum. Nah, aku tidak terlalu keberatan lagi
dengan hal ini. “Yeay!” Kyouka berseru sambil mengambil
foto. Mayu bahkan melakukan tanda peace
ganda dengan kedua tangannya.
Tanda peace ganda?
Kelihatannya
seperti mahasiswi yang digambarkan dalam gambar—ah, memang begitu. Kami memang mahasiswi yang bersinar—JD tulen. (TN: JD itu
singkatan dari Joushi Daigakusei ‘Cewek Kuliahan’)
Setelah
mempostingnya di
Instagram, akhirnya kami bisa mulai makan. Ngomong-ngomong, foto yang diposting
adalah di akun privat, jadi hanya pengikut yang disetujui yang bisa melihatnya.
Ternyata, postingan yang terikat dengan lokasi seperti ini sebaiknya tidak
diunggah secara langsung
untuk banyak orang, karena bisa segera mengetahui lokasi kita. Aku tidak
percaya ada orang yang punya waktu untuk melakukan itu,
tetapi karena aku tidak terlalu paham tentang literasi internet, aku memutuskan
untuk mengikuti saran itu.
Aku
memotong kue panekuk menjadi
ukuran satu suap dan langsung memakannya.
Sambil merasakan
udara lembut dan hangat mengepul dari adonan di sekitar mulutku, aku
memasukkannya ke dalam mulutku dan mengunyahnya.
—Ah,
enak.
Rasa
manisnya tidak berlebihan untuk makanan, dan adonannya juga lembut, meleleh saat digigit.
Perubahan rasa saat dimakan bersama bacon yang renyah dan telur mata sapi yang
berbumbu juga sangat menggugah selera.
Rasanya benar-benar enak. Tidak disangka
ada kafe kecil dalam jarak berjalan kaki dari universitas yang menyajikan panekuk seenak
ini!
“Kafe
ini, bagaimana kamu menemukannya?”
Aku
bertanya kepada Kyouka yang sudah hampir menghabiskan panekuknya.
“Ngugh?”
“Ah, santai saja, aku bisa menunggunya sampai kamu selesai
makan.”
“Um...” *kunyah**kunyah**kunyah*. “Jadi gini, Mayu lah yang tahu banyak tentang ini~”
Aku
mengalihkan pandanganku ke arah
Mayu yang duduk di sebelah kiri.
Dia lebih
lambat dalam makan dan menikmati makanan dengan sangat perlahan.
Dia
bahkan belum makan sepertiga dari piringnya. Apa dia akan sempat untuk perkuliahan sore? Aku sedikit khawatir.
Mayu
mengetuk layar smartphone-nya
yang terletak di meja dengan tangan yang kosong. Dia membuka Instagram dan
menggeser smartphone-nya ke arahku.
Hmm...
Apa dia ingin aku melihatnya?
Instagram
Mayu menyimpan daftar semua tempat
yang pernah dikunjunginya berdasarkan daerah, dan
menggunakan foto-foto tersebut sebagai ‘daftar
restoran favorit’.
Aku
merasa terkesan dengan cara penggunaan seperti ini. Selain itu, meskipun cara
Mayu menggunakan Instagram sangat hebat, tapi
yang paling mengejutkanku ialah bahwa dia telah mengunjungi banyak
tempat yang terkesan mahal dan bergaya. Mana munkgin
kita bisa mengambil foto jika
tidak benar-benar pergi ke sana, jadi banyaknya foto ini
berarti—apalagi, kadang-kadang Mayu sendiri juga terlihat di dalam foto, jadi
tidak diragukan lagi.
“Ehmm... foto ini, bukannya ini set sarapan
di kafe Nagoya?”
Kyouka yang berada di hadapanku bertanya, “Apa iya?”,
tapi
aku yakin hidangan pagi yang tak biasa ini pasti dari Nagoya. Lagipula,
ada pasta kacang yang banyak di roti panggangnya.
“Dan,
kafe yang ini mungkin di Kanazawa. Aku ingat bentuk mangkuk parfait yang khas
ini. Aku pernah melihatnya di media sosial lain dan merasa tertarik, lalu
mencari tahu tentang tempatnya.”
Umumnya,
gelas parfait berbentuk tinggi, tetapi mangkuk kaca ini seperti... apa bisa
dibilang seperti kue baumkuchen yang dipotong melingkar? Bentuknya seperti itu.
Bagian sampingnya terlihat seperti daging buah dan krim yang menempel rapat,
seolah-olah itulah pola gelasnya.
"Hee. Imut
banget. Bagus untuk difoto, ya.”
Itu
memang benar, tetapi lebih dari itu—.
“Kamu
sudah mengambil banyak foto, dan sudah ke mana-mana... tapi tujuannya sepertinya tidak
konsisten... Apa kamu hobi jalan-jalan?”
Ketika aku
bertanya demikian, Mayu perlahan-lahan menggelengkan kepala.
Setelah
menelan makanannya, dia membuka mulutnya.
“Aku
hanya diajak pergi.”
Aku memiringkan kepalaku dengan kebingungan karena tidak memahami maksud ucapannya.
“Mungkin
jalan-jalan keluarga?”
Aku hanya
berpikir dan mengatakan itu, tetapi dia dengan mudah menggelengkan kepala
menolak.
“Hahan~,
jadi begitu,
begitu rupanya!”
Sepertinya
Kyouka dengan cepat memecahkan teka-teki yang tidak kupahami. Dia tersenyum lebar dan
berkata,
“Kamu diajak
Papa, iya ‘kan?”
... Memangnya itu berbeda dengan jalan-jalan
keluarga yang kutanyakan tadi?
Namun,
Mayu tidak membantahnya. Dia
hanya tersenyum samar.
“Uwah,
ajib bener~. Aku iri banget!”
“Eh?
Tunggu sebentar. Aku tidak mengerti.”
Ketika aku
berkata demikian, Kyouka terlihat terkejut dan berkata, “Jadi, kamu cuma setia sama pacarmu doang, Master?
Wah, itu mengejutkan!”
Tunggu.
Apanya yang mengejutkan?
“Habisnya,
master gyaru pastinya
selalu bergonta-ganti pria, ‘kan? Seharusnya bisa
mengganti-ganti pria yang mendekat, kan?”
“Aku sudah punya pacar, jadi mana mungkin aku melakukan
hal seperti itu.”
Ketika aku
berkata tegas, Kyouka terkejut dengan mata terbelalak. ... Aku merasa
sepertinya perlu segera memperbaiki kesalahpahamannya mengenai diriku sebagai ‘master gyaru’ saat
itu juga.
“Po-Pokoknya, aku memang pernah bilang kalau aku punya pasangan, tapi hanya
satu orang, dan tidak ada yang lain.”
Melissa mempunyai prinsip bahwa dirinya tidak cukup untuk mencintai satu orang saja, dan sekarang aku tidak bisa sepenuhnya
membantahnya, tapi aku
sendiri merasa satu pasangan saja sudah
cukup. Lagipula, memiliki banyak pasangan pasti
akan merepotkan.
Tidak, aku
tidak ingin membahas diriku.
Kyouka
menyilangkan tangan di belakang kepalanya.
Sambil bersandar pada sandaran kursi, dia berkata,
“Bagaimanapun
juga, baik master maupun
Mayu adalah orang-orang yang aku kagumi. Aku sangat iri!”
Jadi, apa
itu berarti Kyouka tidak memiliki pasangan, sementara Mayu memilikinya?
Mayu
kembali mengetuk layar
smartphone-nya.
Saat aku melihatnya secara sekilas, ada aplikasi lain yang bukan
Instagram muncul di layar.
“…Apa
itu?”
“Itu
adalah MachiApp. Aku juga menggunakannya. Ini milikku.”
Sambil
berkata demikian, Kyouka
mengoperasikan layar
smartphone-nya dan menunjukkan aplikasinya. Tapi,
sepertinya aplikasinya berbeda dari aplikasi yang digunakan Mayu tadi.
MachiApp...
Hmm, aku
tahu istilah itu. Itu adalah singkatan dari “Matching
Application/Aplikasi Pencocokkan”.
Intinya,
itu adalah aplikasi yang
mempertemukan orang-orang yang tidak dikenal. Bisa dibilang ini adalah versi
modern dari [perjodohan].
"Konsep
itu sudah ketinggalan zaman, Master!
Sekarang penggunaannya jauh lebih luas tau!”
“Jangan
panggil aku master. Kita
sebaya. Rasanya aneh kalau hanya aku saja yang
merasa lebih tua.”
Setelah aku
bilang begitu, dia langsung minta maaf. Kyouka memang orang yang jujur.
“Mulai
sekarang, aku akan memanggilmu Gyaru-sensei.”
Itu sih sama
saja!
“Itu
juga tidak boleh.”
“Eh~~?”
“Panggil aku
dengan namaku saja.”
“Begitu?
Padahal aku menghormatimu. Ya sudah...
baiklah. Jadi, Saki."
Aku
setuju dan mengangguk sebelum kembali ke topik pembicaraan. Jadi, apa yang
sedang kita bicarakan?
Aku
menoleh ke arah Mayu.
Dia baru
saja menyelesaikan makan siangnya. Setelah menyeruput sedikit es teh yang
dipesan sebagai minuman dan membuka mulutnya.
“Jadi,
aku hanya diajak pergi oleh orang yang aku kenal.”
Dia
mengatakan itu dengan senyuman lembut. Aku tidak sepenuhnya memahami maksud
kata-katanya, tetapi Kyouka terus melanjutkan percakapan dengan Mayu.
“Jadi,
orang itu adalah Papa,
‘kan?”
“Sembarangan
saja kalau bicara. Dan mungkin suaramu agak keras.”
Setelah
mengingatkan dengan lembut, Mayu kembali tersenyum samar. (TN: Bener-bener parah nih cewek,
diam-diam menghanyutkan wkwkwk :v)
◇◇◇◇
Sambil menikmati
kopi setelah makan, aku memikirkan kembali
percakapan mereka berdua.
Jadi
maksudnya, Mayu diajak pergi ke kafe di berbagai daerah di
Jepang oleh ‘Papa’
yang dikenalnya melalui
aplikasi pencocokan, dan karena itu bukan perjalanan keluarga, berarti ‘Papa’ yang dimaksud
bukanlah ayah kandungnya.
... Apa
maksudnya itu?
“Aku
tidak... mengerti. Apa orang yang dikenal melalui aplikasi pencocokan biasanya
langsung pergi berlibur bersama?”
Ketika aku
bertanya demikian, Kyouka berpikir sejenak sebelum
memberikan penjelasan.
Rupanya, aplikasi
pencocokan modern adalah aplikasi yang mencocokkan pengguna berdasarkan tujuan
seperti cinta, pernikahan, atau persahabatan. Tujuannya tidak selalu hanya
untuk cinta.
“Ini
adalah aplikasi untuk menemukan teman dengan hobi yang sama atau mencari rekan
yang memiliki tujuan yang sama, dan apa yang kamu sebut 'perjodohan' hanyalah
salah satu fungsi dari aplikasi pencocokan modern. Misalnya, tergantung pada
fitur aplikasinya, kita bisa membuat grup untuk berkumpul dan menjelajahi
tempat-tempat bersejarah bersama.”
“Hee, begitu
ya...”
“Banyak
orang yang menggunakan aplikasi dengan cara yang tidak melibatkan hubungan yang
rumit. Aplikasi yang kugunakan juga tidak hanya untuk mencari pria. Memang ada tujuan begitu, tetapi
bukan cuma itu satu-satunya tujuan.”
Jadi memang ada tujuan begitu ya.
“Tapi,
begitu aplikasi diberi label 'sering digunakan untuk hal semacam ini,'
aplikasi tersebut cenderung
akan mengarah ke sana.”
“Jadi
maksudnya, cara penggunaan bisa membatasi
tipe orang yang menggunakannya?”
“Benar
sekali. Perusahaan yang merilis aplikasi sering kali terkejut dengan cara
penggunaan yang tidak terduga. Itulah sebabnya,
mereka berusaha keras untuk mengubah citra aplikasi.”
Kemudian,
setelah jeda sejenak, Kyouka
sedikit menurunkan volume suaranya.
“Aplikasi
yang digunakan Mayu merupakan salah satu aplikasi
yang saat ini sedang banyak digunakan untuk tujuan
itu.”
Untuk
tujuan itu...
“Itulah yang disebut 'papa-katsu.'
Tentu saja, tidak semua orang menggunakannya dengan cara itu, dan banyak orang
yang tidak suka jika aplikasi digunakan dengan cara yang tidak terduga. Namun,
sekali citra terbentuk, rasanya sulit
untuk mengubahnya.”
Papa...
katsu?
“Eh?
Kamu tidak tahu tentang 'papa-katsu,' Saki?”
Aku hanya balas mengangguk dengan jujur.
Kyouka
terlihat terkejut. Seolah-olah dia tidak percaya ada orang yang tidak tahu
tentang itu di zaman sekarang.
“Seperti
yang diharapkan dari lulusan SMA Suisei... sepertinya kamu dari sekolah
yang sangat baik dan bergengsi.
Apa kamu sebenarnya seorang
putri bangsawan?”
Tidak, tidak, aku ini cuma orang biasa. Aku hanya pernah
mendengar istilah itu. Aku punya gambaran samar tentangnya. Namun, jika aku
bersikeras bahwa aku tahu lebih banyak, aku khawatir akan salah paham lagi,
jadi lebih baik aku katakan tidak tahu agar tidak terbakar.
“Padahal kupikir
kamu memiliki sertifikat gyaru kelas atas.”
“Aku
tidak memilikinya.”
“Baiklah,
izinkan aku, Kyouka, untuk menjelaskan. Itu berarti 'kegiatan bantuan yang
didasarkan pada kesepakatan antara wanita muda yang ingin menerima bantuan
finansial dan pria yang ingin mendukung mereka.'”
Dia
menjelaskannya dengan begitu lancar. Meskipun kedengarannya sepele, tapi dia juga merupakan mahasiswi dari Universitas Tsukinomiya, jadi aku bisa memuji cara
bicaranya yang rumit.
Tapi, apa
yang dia katakana tadi—apa
maksudnya? Kegiatan bantuan yang didasarkan pada kesepakatan...?
Apa-apaan itu?
Meskipun aku
terus-menerus memutar otakku, Kyouka tampak puas dengan
penjelasannya. Mayu, dengan suara lembutnya, menjelaskan.
“Begini
maksudnya, orang dewasa yang memiliki uang lebih akan
memberi kita 10.000 yen atau 20.000 yen.” (TN: Sekitaran 1,2 juta atau 2,2 juta rupiah)
20.000
yen... Hah, 20.000 yen? Mahal banget!
Saat
mendengarnya, hal pertama yang membuatku terkejut adalah jumlah uangnya. Aku
mengerti bahwa dia menerima bantuan finansial, tapi apa itu berarti dia
membutuhkan uang sebanyak itu?
“Maaf.
Boleh aku bertanya sebentar?
Mayu, buat apa kamu menerima bantuan
sebesar itu?”
“Eh?... Hmm, sepertinya Kyouka
menjelaskan tentang 'papa-katsu' dengan kalimat
yang diperindah, jadi kurasa mungkin
ada kesalahpahaman.”
“...?”
“Aku
tidak melakukan 'papa-katsu' karena
kekurangan uang, kok?”
“Hah...?”
“Saki
memang polos banget ya~.”
Sekilas, senyuman
Mayu tidak selembut
seperti biasanya, tapi dia justru menyipitkan
matanya seolah melihat sesuatu yang sangat berkilauan,
lalu tersenyum kepadaku. Namun, aku terlalu terkejut untuk menyadari makna
senyumannya. Juga, aku ingin dia berhenti memanggilku polos, karena aku hanya
tidak tahu banyak tentang rahasia orang dewasa.
“Aku
tidak sedang dalam situasi sulit, dan tidak ada alasan yang mendesak untuk
meminta bantuan. Keluargaku tidak mengalami masalah keuangan. Aku juga membayar
biaya kuliah dengan baik. Jadi, bisa dibilang aku hanya ingin menikmati makan
siang yang lebih baik atau membeli pakaian? Mungkin itu bisa kamu pahami, Saki?”
Kemudian
dia tersenyum anggun.
... Jadi,
dia tidak dalam kesulitan finansial. Syukurlah.
Aku sempat berpikir apakah lebih baik jika dia makan di kantin.
Tapi,
jika begitu, jika itu berdasarkan kesepakatan—.
“Jadi,
pria yang kamu ajak bicara itu memberikan bantuan untuk mewujudkan keinginan
kecilmu, seperti mentraktir makan atau mengobrol?”
Mayu
sedikit mengangkat bahunya dan menjawab.
“Yah,
kurasa bisa dibilang begitu. Dan dari sisiku sih, aku hanya ingin uang untuk
bersenang-senang. Aku hanya ingin tampil modis. Aku hanya ingin makan siang
yang sedikit lebih mewah. Tidak ada yang salah, ‘kan?
Jika dipikir-pikir seperti itu, rasanya aku sedang melakukan pekerjaan paruh waktu dengan bayaran tinggi
untuk mendapatkan uang untuk penampilan.” ucap Mayu.
Pekerjaan
paruh waktu dengan bayaran tinggi...
Usai mendengar
itu, aku teringat pada 'pekerjaan paruh waktu dengan bayaran tinggi'
yang pernah coba kulakukan
di masa lalu.
“...
Saki?”
“Eh?
Ah, maaf. Aku sedikit melamun...
Tapi, berapa jam dalam seminggu kamu melakukannya?”
“Eh...
Hmm, sekitar 2 atau 3 jam di akhir pekan.”
Begitu
Mayu mengatakannya, Kyouka segera menyela.
“Boong banget~! Jika sampai menginap, paling tidak butuh
setengah hari.”
“Pembicaraan
tentang lembur tidak boleh dibahas sampai waktunya gelap.
Sekarang masih terang, ‘kan? Nah,
jadi jika dihitung per jam, itu sekitar 7.000 hingga 8.000 yen.”
“Jika
sehari 2 jam, berarti 20.000 yen. Itu berarti, sebulan 80.000 yen. Jika hanya
bisa melakukan itu, rasanya tidak cukup.”
Begitu aku mengatakannya, Kyouka tiba-tiba
tampak terkejut. Aku tidak tahu alasannya, tetapi saat itu aku lebih memikirkan
hal lain daripada ekspresi terkejutnya. Saat SMA, alasanku mencari pekerjaan
dengan bayaran tinggi adalah karena aku tidak ingin membebani ibuku secara
berlebihan secara finansial. Sekarang, aku menyadari bahwa itu sangat
berlebihan, tetapi pada saat itu, aku membayangkan bisa mendapatkan uang
sebanyak itu dengan bekerja untuk
Yuuta. Jadi, sekitar 80 ribu yen sebulan.
Pada akhirnya,
aku bekerja paruh waktu di toko
buku, dengan upah saat itu 1.200 yen. Jadi, jika aku bekerja dari jam 5 sore hingga 9 malam selama 4 jam, aku akan
mendapatkan 4.800 yen. Jika dilakukan dua kali dalam seminggu, totalnya menjadi sekitar 10.000 yen. Di
akhir pekan, aku bisa bekerja hampir 8 jam, jadi dengan tunjangan hari libur, jumlahnya juga sekitar 10.000 yen. Jadi,
totalnya sekitar 20 ribu yen
seminggu. Jika dijumlahkan, itu sekitar 80 ribu
yen sebulan. Jumlah yang kuinginkan sebenarnya sama. Meskipun itu bukan
pekerjaan paruh waktu yang menguntungkan, aku juga belajar bahwa tidak ada
pekerjaan paruh waktu yang benar-benar menguntungkan. Dan jika aku menerima 80 ribu yen dari Yuuta, itu berarti dirinya harus membayar semua uang yang
didapatkan dari pekerjaannya di toko buku kepadaku... Memikirkan betapa
mengerikannya usulanku waktu itu
membuatku merinding sekarang.
Meskipun
begitu, jumlah uang segitu hanya cukup untuk menambah biaya hidup, dan setelah
mencari tahu biaya kuliah, aku menyadari bahwa itu sama sekali tidak mencukupi.
Bahkan untuk memulai hidup sendiri pun tidak cukup. Namun, jika aku menambah
jam kerja, aku takkan punya waktu untuk belajar agar bisa masuk universitas
yang aku impikan. Itu akan menjadi kontraproduktif.
“Ah,
tapi kalau dua jam sehari, dan jika melakukannya di kedua hari akhir
pekan, berarti bisa dua kali lipat. Mungkin aku bisa meluangkan waktu sekitar
dua jam di hari biasa. Jadi, bisa tiga kali di
hari biasa dan dua kali di akhir pekan. Jika sekali kerja mendapatkan dua puluh
ribu dan aku bisa melakukannya lima kali dalam seminggu, totalnya saja sudah seratus ribu. Dalam sebulan bisa sekitar
empat ratus ribu yen... Tapi, karena ada pajak,
mungkin penghasilan bersihnya akan lebih sedikit. Selain itu...”
“Tunggu
dulu, tunggu dulu, Eh,
Saki? Dari tadi kamu
ngomong apaan sih?”
“Hah?”
Aku mendongak kaget dan melihat
Kyouka yang berkata “keren” sambil tersenyum canggung. Dan
Mayu hanya melongo—kenapa mereka berdua bereaksi begitu?
“Kenapa
pembicaraan ini jadi soal menghasilkan uang?”
“Kalau
ada uang segitu, aku bisa membayar biaya kuliah tanpa harus meminta orang tua,
dan mungkin juga bisa hidup sendiri. Tapi, rasanya
pasti sulit. Aku bahkan tidak bisa membayangkan percakapan yang memuaskan orang
yang memberi bantuan. Aku rasa menghasilkan dua puluh ribu dalam dua jam itu
sulit.”
Ibuku
juga melakukan hal yang sama. Dia pernah bercerita tentang pekerjaan
bartender-nya. Selain menyajikan koktail, dia juga harus menjadi teman bicara.
Ibuku bekerja hingga larut malam, mungkin sekitar delapan jam. Dan saat hari
libur adalah waktu sibuk, jadi dia tidak bisa istirahat di akhir pekan. Dari
catatan keuangannya, pendapatannya sekitar tiga
ratus ribu yen hingga empat ratus ribu
yen.
Artinya,
seseorang yang melakukan pekerjaan penuh waktu sebagai sugar baby akan
mendapatkan penghasilan per jam yang lebih tinggi dibandingkan pendapatan ibuku. Jika demikian, berapa
banyak keterampilan berbicara yang dibutuhkan untuk itu...
“Aku
tidak pernah melakukan percakapan seperti itu kok~.”
“Hah?”
“Yang
penting bagi mereka adalah bisa berbicara dengan gadis muda.”
“Hah?”
“Asalkan
dengan gadis-gadis muda. Sisanya, mungkin senyuman. Ya,
itu hanya aset sementara sih~.”
Sambil
berkata demikian, dia tersenyum manis. Dia memang
cantik. Melihat senyum Mayu yang lembut dan cantik saja sudah cukup
menenangkanku. Aku juga merasa begitu, tapi......
Mengapa
itu bisa bernilai 20 ribu yen?
Aku merasa begitu penasaran sampai-sampai
tidak bisa menangkap isi materi perkuliahan
di sore itu.
...Setelah
pulang, mungkin aku akan bertanya kepada Yuuta. Aku merasa dia mungkin bisa
memberikan jawaban untuk pertanyaan yang membingungkan ini. Mungkin aku hanya bermanja padanya saja, sih...
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya

