[LN] Tanin wo Yosetsukenai Vol 1 Epilog Bahasa Indonesia

 Epilog

 

Musim dingin. Saat bulan Desember tiba, aku sudah terbiasa melihat orang-orang mengenakan mantel. Ketika aku berjalan di antara para siswa yang berjalan dengan kedinginan, aku melihat Enami-san yang tampak sedikit tidak senang berdiri di sana. Dia bersandar pada tiang gerbang utama, terus-menerus mengikat dan melepas syalnya.

“Kamu sudah lama membuatku menunggu.” ucapnya menghembuskan napas yang terlihat putih ke udara.

“Meski kamu mengeluh begitu...”

Kamu terlalu gampang menerima permintaan guru. Bagaimana kalau sesekali mencoba menolaknya?”

Karena aku tidak memiliki alasan untuk menolak, kurasa itu hanya alasan saja ya.

Dalam hal ini, perkataan Enami-san ada benarnya. Pada akhirnya, aku selalu kalah dengan rasa bersalah karena menolak. Jika tidak, aku tidak perlu memberi tahu Enami-san untuk datang untuk pertemuan.

Yah, ayo pergi,

Aku balas dengan mengangguk.

Aku mengikuti Enami-san dari belakang. Kakinya yang telanjang terlihat dari rok yang lebih pendek dari lututnya. Memangnya dia tidak merasa kedinginan?

Kamu melihatnya, ya?

Tidak.

Rupanya dia menyadari pandangan mataku saat berjalan di depanku.

Kamu itu benar-benar mesum, ya.

Menurutku kamu terlalu sadar diri. Kamu terlalu memperhatikan tatapanku.

“Sudah kuduga, kamu memang menatapnya.

Aku hanya berpikir pasti rasanya dingin, cuma itu saja.

Aku masih merasa kedinginan meski sudah menggosokkan tangan pada pemanas tangan yang ada di saku dan menutup kerah mantalku. Jika aku telanjang kaki, badanku pasti terasa akan membeku. Dalam hal ini, gadis-gadis memang mengalami kesulitan. Tidak mengherankan jika ada yang memakai celana olahraga di bawah rok mereka.

Ujian akhir semester akan segera datang, dan setelah itu akan ada liburan musim dingin. Ujian masuk untuk kelas berikutnya akan segera dimulai. Sekolah kami banyak memberikan rekomendasi, tetapi tetap saja masih ada banyak yang mengikuti ujian. Jadi, tanpa disadari, suasana ujian mulai terasa di antara para murid.

Ah.

Aku melihat seorang siswa laki-laki di depan suara Enami-san yang terdengar jijik.

Rupanya itu Tsuno. Sepertinya dia juga sendirian hari ini. Belakangan ini, ia semakin sering sendirian, mungkin karena dirinya mulai dibenci di klub tenis.

Akhirnya, Tsuno menyadari keberadaan kami, tetapi hanya melirik sekilas tanpa mengajak bicara.

Sudah kuduga.

Dalam beberapa waktu terakhir, keadaan memang seperti ini.

Aku merasa ia tidak akan pernah lagi mengganggu kami.

Kurasa orang yang ditolak tetap tidak ingin dibenci oleh orang yang disukainya, ya?

Hah?

Tidak, bukan apa-apa.

Bagiku, berarti kedamaian telah kembali. Anggota klub tenis lainnya hanya mengikuti Tsuno dan tidak berusaha menggangguku.

…Meskipun Sayaka memang sering menggangguku.

Ngomong-ngomong, sudah jelas rasanya dingin. Itulah sebabnya aku benci musim dingin.

Oh, ya. Tapi bukan berarti ada yang bisa aku lakukan tentang itu.

Aku merasa sedikit kasihan pada Tsuno yang hanya dianggap dengan satu huruf ah.

Aku berjalan berdampingan dengan Enami-san, melangkah perlahan.

Wajah Enami-san yang tampak ceria, tetapi juga terlihat sedikit kesepian. Dia menunjukkan kepadaku berbagai ekspresi yang tidak bisa aku bayangkan hanya beberapa bulan yang lalu.

Ketika truk yang melaju di jalan raya lewat dengan suara keras, aku berhenti dan membuka telapak tanganku. Aku menghembuskan napas hangat ke tangan yang kedinginan.

Pada saat itu.

Ketika Enami-san mengulurkan tangannya dan aku menanggapi dengan menggenggamnya kembali.

Sambil berdiri di depan Enami-san, aku memikirkan hal yang sama sekali berbeda. Rasa dingin itu mengangkat kembali kenangan. Jadi, aku segera memutuskan untuk melepaskan tangan itu.

Tangan putih. Sensasi kekuatan yang perlahan mengendur. Rasa putus asa saat tangan itu terlepas.

Sesuatu yang tidak ingin kurasakan lagi.

—Apa aku sudah melalukan sesuatu dengan benar?

Aku selalu merasa cemas. Banyaknya poster yang ada di kamarku juga dimaksudkan untuk mengusir rasa cemas itu. Aku bertanya-tanya, apa suatu hari nanti aku bisa melepaskan diri dari masa lalu dan menempuh jalanku sendiri?

Aku mengangkat wajahku.

Di sana, ada Enami-san yang sudah berjalan lebih dulu. Dia menatapku dengan keheranan saat aku melamun.

Ada apa?

Tidak ada apa-apa.

Aku segera berlari menyusul Enami-san.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Baik aku maupun Enami-san memiliki masalah penting yang harus dihadapi, dan kami tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menyelesaikannya.

Karena itulah, mungkin kami akan terus merenung, berpikir keras, dan menderita.

Enami-san tersenyum lega ketika aku berhasil mengejarnya.

Ayo.

Aku mengangguk pelan saat mendengar kata-katanya.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama