Chapter 4 — Perasaan Enami
“Bagaimana
menurutmu, Okusu-kun?”
Setelah
menerima dan memakan bento yang dibuat Hanasaki, dia bertanya seperti itu padaku. Setelah sekolah, aku baru saja
menyelesaikan persiapan di laboratorium atas permintaan guru.
“Hmm, gimana
ya...”
Isi bentonya terdiri dari hal-hal sederhana
seperti hamburger, telur dadar, dan salad kentang. Aku juga mempelajarinya di pelajaran PKK. Jadi, mana mungkin rasanya jadi tidak enak.
“Menurutku
rasanya enak.”
“Benarkah!?”
“Ya. Kupikir itu dimasak dengan hebat. Aku jadi merasa tidak pantas memakannya.”
“Tidak
masalah sama sekali! Aku sempat mencicipinya, tapi aku tidak terlalu yakin.
Syukurlah...”
Saat kami
berjalan menyusuri koridor,
terdengar teriakan dari klub olahraga di luar jendela. Akhir-akhir ini, rentang waktu siang hari semakin
pendek. Langit belum memerah, tetapi dalam satu jam ke depan, matahari akan
mulai terbenam.
“Tapi,
aku penasaran apa masih ada hal
yang bisa diperbaiki di sini?”
“Aku
tidak yakin apa aku berhak memberi pendapat...”
Setelah
membuka pembicaraan seperti itu, aku melanjutkan.
“Telur
dadarnya mungkin sedikit kurang bumbu. Selera orang
memang berbeda-beda tergantung orangnya, jadi jika menurutmu itu sudah cukup, kurasa itu tidak masalah.”
“Kurang
bumbu... Hmm hmm.”
Sepertinya
dia mengeluarkan ponsel untuk mencatatnya.
Rasanya agak canggung.
“Ini
bukan hal yang perlu dicatat. Mungkin aku hanya orang yang suka manis.
Lagipula, ayahku juga suka yang manis-manis,
jadi mungkin jika mengikuti seleraku, bumbunya akan terlalu kuat.”
Aku sudah
sering dibilang begitu oleh Enami-san, pikirku
dalam hati.
“Begitu...”
Rasanya
dia baru saja mengucapkan sesuatu yang tidak bisa diabaikan...
“Apa
ada yang lain?”
“Hmm.
Untuk salad kentangnya, mungkin proses menghaluskan kentangnya masih kurang. Sepertinya ada sedikit
gumpalan yang tersisa. Meskipun begitu, bumbunya tidak masalah, dan kurasa itu
bisa diperbaiki seiring waktu.”
“Oh,
maaf. Aku juga menyadarinya, tapi aku tidak ingin membuangnya...”
“Aku
mengerti. Tidak apa-apa.”
Sebenarnya,
aku sangat berterima kasih bisa mendapatkan masakan darinya. Mengharapkan lebih
dari itu mungkin terlalu berlebihan.
“Hanya itu
saja pendapat dariku. Jika Hanasaki terus berlatih, aku yakin kalau kamu akan
cepat menjadi lebih baik. Mungkin aku akan segera tersalip.”
“Itu terlalu berlebihan... Ngomong-ngomong,
jika aku membuatnya lagi, maukah kamu
mencicipinya?”
“Tentu
saja. Jika aku bisa membantu.”
“Terima
kasih!”
Sebenarnya,
aku yang seharusnya berterima kasih. Berkat dia, aku tidak perlu repot-repot
membuat bento sendiri.
Setelah
kembali ke dalam ruang kelas,
tidak ada seorang pun di dalamnya. Sepertinya semua orang sedang pergi untuk
klub atau komite. Di beberapa meja masih ada tas yang
tertinggal, jadi tampaknya masih banyak orang yang belum
pulang.
“Ngomong-ngomong,
Hanasaki, apa kamu baik-baik saja dengan kegiatan klubmu? Padahal
aku bisa melakukannya sendirian...”
“Hari
ini kebetulan haru libur. Biasanya ada jadwal latihan sih, tapi
guru pembimbingnya tidak hadir, jadi kami merasa tidak ada gunanya juga buat datang...”
“Siapa
guru pembimbing untuk klub bulu
tangkis?”
“Maruo-sensei. Dia tidak terlalu jago, jadi itu saja sudah cukup.”
“Oh,
sepertinya dia sudah cukup tua, ya?”
Sekolah
kami tidak terlalu fokus pada kegiatan klub. Orang-orang yang benar-benar ingin
berpartisipasi dalam klub takkan datang ke sekolah ini. Banyak juga orang-orang yang seperti diriku yang tidak terlibat dalam klub.
“Tapi,
katanya guru itu dulu pernah bermain bulu tangkis. Dia juga memberikan
instruksi yang cukup baik. Dia baik, dan sepertinya tidak ada yang membencinya.”
“Hee~”
Rupanya ada
sisi yang tidak terduga darinya.
“Okusu-kun,
kamu tidak terlibat dalam klub mana pun, kan? Sudah
kuduga itu sulit ya?”
“Kalau
aku sih, mungkin bisa dibilang 'klub
belajar' dalam arti tertentu.”
“Kamu
sudah mendapatkan peringkat pertama, jadi prestasi kegiatanmu sudah sangat
baik.”
Dalam
artian itu, mungkin aku juga terlibat
dalam klub penelitian masakan.
Di luar
jendela, aku bisa melihat para anggota klub tenis sedang berlari.
Dari jauh tidak terlihat jelas, tetapi mungkin ada Tsuno di sana.
──Mungkin
aku terlalu memikirkan hal ini.
Aku mulai
memahami sedikit demi sedikit alasan mengapa Tsuno membenciku. Hanya dirinya yang tahu dengan pasti, tetapi
mungkin nilai ujian menjadi salah satu penyebabnya... Bagaimanapun juga, aku tidak bersalah. Hanya saja,
usaha kerasku dalam belajar mungkin bisa membuat emosi tidak terkontrol.
──Bagaimanapun,
semoga saja tidak ada
hal lain yang terjadi.
“Ada
apa, Okusu-kun? Kamu masih mau tinggal di sini?”
“Tidak,
aku sudah mau pulang.”
Aku
menjawab Hanasaki seperti itu. Perilaku Tsuno terhadapku bukanlah hal baru.
Tidak ada jaminan bahwa tidak ada yang akan terjadi.
Selain
itu.
Setelah
menyandang tas di bahu, aku sekali lagi memandang para pemain tenis yang sedang
berlari. Ada satu orang yang terlambat berlari. Dalam sekejap, aku merasa
seolah-olah mataku bertemu dengan matanya saat aku melihatnya dari jendela.
◇◇◇◇
Keesokan
harinya, istirahat siang dengan Enami-san,
aku, dan Hanasaki yang merupakan kombinasi yang mengerikan terjadi lagi.
“......”
Aku tidak
bisa memikirkan Tsuno saat ini. Aku harus mengatasi situasi ini terlebih
dahulu. Tubuhku terasa tegang karena ketegangan yang misterius.
Masalah
terbesar dalam situasi ini bukanlah aku atau Hanasaki, melainkan Enami-san. Enami-san
kadang-kadang mencoba untuk bergabung ketika aku dan Hanasaki sedang bersama. Hari ini juga begitu.
Namun, Enami-san tidak berpikir untuk mencairkan suasana atau membuatnya lebih
meriah, sehingga suasana menjadi aneh.
“......
Fyuh.”
Namun,
hanya aku yang bisa mengubah situasi ini.
“Ngomong-ngomong,
apa Enami-san ada urusan hari ini?"
“Apa-apaan dengan cara
bicaramu itu...?”
Dia
tertawa. Mau bagaimana lagi.
Aku terjebak di antara Hanasaki dan Enami-san, tetapi hubungan yang rumit
antara keduanya membuatku kesulitan.
Aku harus
berusaha.
“Eh?
Bukannya kamu bilang ada urusan dan itulah sebabnya kamu makan
bersama kami?”
“Apa iya?”
Aduh.
Tolonglah. Setidaknya, aku ingin dia melakukannya saat Hanasaki tidak ada.
“Yah,
anggap saja aku merasa kesepian jika makan sendirian. Itu hal yang wajar, ‘kan?”
“Ya.”
“Kalau
begitu, tidak masalah. ‘kan?”
Aku
dengan mudah terpengaruh. Memang, jika dia mengatakannya seperti itu, tidak ada
ruang untuk membantah. Dalam
keadaan seperti ini, lebih baik jika Hanasaki dan Enami-san berbicara satu sama
lain.
“Oh,
benar! Bagaimana jika Enami-san dan Hanasaki belajar bersama lain kali?”
“......
Ehhhh!?”
Orang
yang berteriak keras adalah Hanasaki. Setelah merasakan tatapan dari orang-orang di sekitarnya, dia segera menutup mulutnya
dengan tangan.
“Lihat,
Hanasaki juga bisa belajar. Kadang-kadang, ada hal yang lebih mudah ditanyakan
antar sesama perempuan. Sepertinya Enami-san berusaha meningkatkan nilainya.”
“Ak-Aku sih tidak masalah...”
Hanasaki
mencuri pandang ke arah ekspresi Enami-san. Sebaliknya, Enami-san menunjukkan wajah tanpa
ekspresi.
Tatapan Hanasaki
yang segera beralih ke arahku seolah berkata, “Ini menakutkan~.” Memang
benar. Seorang wanita cantik bisa tampak menakutkan hanya dengan wajah tanpa
ekspresi.
“Hanasaki
‘kan orang yang baik, dan aku yakin kamu
bisa akrab dengan Enami-san.”
“......”
“Jadi,
bagaimana?”
Ini
mungkin sia-sia. Jika ada kesempatan seperti ini di masa depan, rasanya akan sangat membantu jika
keduanya bisa akrab. Hanasaki sudah dikenal sebagai
gadis yang baik, tetapi Enami-san juga orang yang baik.
Jadi, jika mereka bisa berbicara baik-baik,
suasana aneh tidak akan terjadi.
Kepala Enami-san
mengangguk sedikit. Reaksi yang sangat
kecil. Mungkin itu adalah anggukan yang malu-malu.
“Apa itu berarti baik-baik saja?”
“Yah,
begitu.”
“Begitulah
katanya, Hanasaki...”
Aku tidak
mengerti mengapa aku harus berperan mirip
seperti mak comblang di antara
dua gadis, tetapi masalah ini sudah
selesai.
Kekakuan
dalam bersosialisasi masih sama saja.
“Ehm,
Hanasaki-san.”
Aku bisa
mendengar dengan jelas perkataan Enami-san yang
terputus-putus.
“Eh,
ya!”
“Bisa
tolong ambilkan kecap asin?”
“......
Ya.”
Memang benar kalau Enami-san tidak
bisa menjangkau dari tempatnya. Hanasaki dengan enggan menyerahkan botol kecap tersebut. Dia menuangkan banyak kecap ke
atas potongan ikan sanma dan mengucapkan, “Terima
kasih.”
“Hanasaki...-san,
apa kamu mengenal Nishikawa-san?”
“Nishikawa-san?
Aku juga sering bicara dengannya. Dia orang yang sangat baik.”
Akhirnya
suasananya mulai mencair. Aku juga membuka kotak makan
siang dan mulai makan dengan tenang. Rasanya lebih enak dibandingkan
sebelumnya. Ternyata rasa dan mental saling berkaitan erat.
“En-Enami-san sering bersama
Nishikawa-san, ‘kan?
Mungkin kalian sudah bersama sejak SMP?”
“Tidak.”
Dengan
penggunaan sumpit yang rapi, dia dengan hati-hati mengambil daging ikan sanma.
“Aku baru
mengenalnya di kelas satu. Ketika ada pergantian tempat
duduk, kami jadi dekat. Tanpa kusadari,
kami sudah menjadi akrab.”
“Oh,
begitu ya. Nishikawa-san memang pandai
masuk ke dalam kelompok orang, ya. Aku juga merasa seperti itu.”
“......
Kalian berdua juga terlihat sangat akrab.”
Dia
bertanya dengan tatapan yang menunjukkan “kamu” = aku, “kamu” = Hanasaki.
Entah
kenapa, sepertinya suasana mulai memburuk lagi.
“Ya,
kami juga mengenal satu sama lain sejak kelas satu.
Awalnya, kami berada di komite yang sama. Secara alami, kami jadi sering
bersama setelah sekolah dan mulai berbicara... Tahun ini kami satu kelas dan
menjadi ketua serta wakil ketua kelas...”
“Benar.
Hanasaki dan aku sudah bersama selama dua tahun berturut-turut.”
“Jadi,
sepertinya kami tidak memiliki interaksi saat SMP.”
Jika kami
memiliki interaksi, mungkin kami tidak akan akrab. Karena dia tidak tahu tentang masa laluku, kami bisa berinteraksi tanpa merasa
canggung.
“Hmm...
Begitu.”
Enami-san
memperhatikan kami bergantian.
“Ta-Tapi, aku tidak menyangka bahwa
Okusu-kun dan Enami-san bisa akrab. Kalian sama sekali tidak memiliki interaksi
sebelumnya. Ternyata semuanya dimulai ketika Okusu-kun yang mengajak berbicara, ya?”
“Tidak
diragukan lagi mengenai hal itu. Tentang ini juga, yah, bisa dibilang
terjadi tanpa terasa.”
“Ada banyak
hal yang terjadi. Aku jadi tertarik.”
Kalau
dipikir-pikir, aku belum menanyakan alasan Enami-san mulai
berbicara denganku. Kata-kata “karena
diperlukan." Sebagian dari cerita Enami-san
yang kudengar di kafe. Bagaimana semuanya terhubung, aku masih belum bisa
membayangkannya.
Hanasaki
hanya menunduk dan berkata, “O-Oh, begitu ya.”
“......” “......”
Percakapan langsung terhenti. Hanya suara sumpit dan
piring yang saling beradu yang terdengar.
Apa yang
harus kulakukan? Jika bukan orang seperti Nishikawa yang punya kemampuan
komunikasi luar biasa, aku sudah mencapai batas kemampuanku.
──Apa
memang mustahil untuk membuat kedua orang ini akrab?
“Ngomong-ngomong──”
Aku secara paksa mencoba melanjutkan
pembicaraan untuk mengisi keheningan.
Baik Enami-san
maupun Hanasaki tampak menyisipkan emosi berbeda dalam percakapan satu lawan
satu mereka. Aku berusaha menciptakan suasana yang pas, tetapi itu tidak
berjalan dengan baik.
──Aku
harus menghindari makan bersama dengan
kedua orang
ini.
◇◇◇◇
Memasuki
bulan November, cuacanya mulai
semakin dingin. Hingga bulan Oktober, hanya sedikit siswa yang mengenakan
mantel, tetapi sekarang hampir setengahnya sudah mengenakannya. Karena ramalan
cuaca pagi menunjukkan suhu minimum satu digit semakin sering, sepertinya
orang-orang juga semakin sedikit yang berbicara di lorong.
Sayangnya,
sepertinya pemanas tidak akan dinyalakan dengan baik sebelum bulan Desember,
jadi semua orang mengenakan pakaian tebal saat mendengarkan pelajaran.
Sekitar
dua minggu setelah pengumuman hasil ujian tengah semester, tidak ada perubahan
besar di sekitarku. Saito dan lainnya
tidak terlalu serius sampai-sampai merasa panik. Hanasaki dan Nishikawa juga
seperti biasa, dan hubungan dengan Enami-san tetap sama.
Oleh karena
itu, aku tidak mengira akan terjadi sesuatu. Hingga suatu hari.
◇◇◇◇
“Hmm?”
Pagi itu,
saat aku sedang mengambil sepatu dari kotak
sepatu di pintu masuk, aku menyadari sesuatu yang aneh ketika meletakkan sepatu
sneakersku yang sudah tua dan tidak bisa dibilang modis di lantai.
Salah
satu sepatu sneakers terjatuh ke samping. Sekilas tidak ada yang aneh, tetapi
aku melihat selembar kertas misterius yang menempel di bawahnya.
──Apa
ini?
Aku
mengambil kembali sepatu sneakers itu dan mengangkat selembar kertas berukuran
catatan kecil. Di sana tertulis:
《Sepulang
sekolah nanti, datanglah ke atap.》
Sepertinya
ditulis dengan pensil mekanik. Meskipun tipis dan sulit terlihat, tulisan besar
yang acak itu pasti adalah sembilan karakter tersebut.
──Siapa?
Pertama-tama,
aku merasa tidak bisa masuk ke atap karena terkunci. Aku tidak tahu apa
maksudnya, tetapi mungkin sebaiknya menunjukkan ini kepada guru. Sayangnya, aku
bukan orang yang bisa terlibat dalam hal-hal seperti tantangan semacam ini.
Aku
membalik kertas itu, tetapi tidak ada yang tertulis di sisi lainnya.
...Sejujurnya,
hanya ada satu orang yang terlintas di pikiranku yang akan melakukan hal
seperti ini.
Orang yang
menulisnya mungkin Tsuno. Meskipun Enami-san juga cukup
memaksa, dia tidak akan menulis “Datanglah” seperti itu, dan dia pasti akan
langsung mengajakku berbicara tanpa cara yang berbelit-belit.
Akhirnya,
ya? Sejujurnya, aku sudah merasa
tenang karena berpikir ini tidak akan terjadi, tetapi sepertinya tidak
demikian.
Ketika
aku masuk ke dalam kelas,
Tsuno belum ada. Aku berpikir mungkin dia tidak masuk sekolah, tetapi ada tas
raket Tsuno di samping mejaku, jadi mungkin ia sedang latihan pagi. Ia pasti sengaja menaruhnya di
kotak sepatuku. Terima kasih.
Aku akan
langsung bertanya padanya setelah ia kembali.
◇◇◇◇
Setelah jam pelajaran pertama selesai, tidak
ada orang di sekitar Tsuno. Aku memutuskan untuk mendekatinya.
“Hei.”
Ketika
aku mulai berbicara, tubuhnya terkejut sejenak sebelum ia menghadapkan wajahnya
ke arahku.
“Ada
apa? Kenapa orang sepertimu berbicara padaku?”
“Ini,
kamu yang menaruhnya, ‘kan?”
Aku
meletakkan kertas itu di atas meja. Namun, reaksi Tsuno seakan-akan menyiratkan, “Aku tidak tahu”.
“Benarkah?
Tidak ada orang lain yang melakukan hal seperti ini selain kamu.”
“Ngotot
banget. Sudah dibilang
bukan aku.”
Ketika
aku menatapnya diam-diam, ia
perlahan-lahan mengalihkan pandangannya. Aku merasa itu pasti bohong.
“Baiklah.
Maaf jika tiba-tiba mengganggu. Untuk saat
ini, aku akan membawanya ke ruang guru
dan berkonsultasi.”
“Hah?
Tunggu sebentar.”
“Eh,
ada apa?”
Seharusnya
ia tidak perlu mengatakan kebohongan yang
begitu jelas. Lagipula, aku sudah
mengetahui kalau dirinya berniat menunggu di atap.
“…Cih.
Merepotkan. Ya sudah, memang
aku yang melakukannya.”
“Bisakah
kamu menghentikannya? Karena ini menggangguku. Ini aku
kembalikan.”
Ketika
aku menekan kertas itu ke dada Tsuno, ia menunjukkan ekspresi marah. Namun, ia segera mencoba menenangkan
dirinya karena berada di dalam kelas.
“Pokoknya,
datanglah setelah sekolah. Paham?”
“Aku
tidak mau...”
“Aku
tidak peduli apakah kamu tidak mau. Jika kamu tidak mematuhi, aku akan
mengganggumu dengan berbagai cara.”
Apa-apaan
ini? Seharusnya aku yang berhak mengatakan kata-kata
‘merepotkan’, dan jika dirinya ingin aku datang, seharusnya ia
bisa meminta dengan cara yang lebih baik.
“Sebaliknya,
jika aku beneran pergi, bisakah kamu berhenti menggangguku? Kalau bisa, selamanya...”
“Ah,
aku akan melakukannya.”
Kalau
begitu, aku juga mendapatkan keuntungan. Apa boleh
buat, kali ini aku akan mengalah.
“Baiklah.”
Aku
menjawab seperti itu. Ketika aku kembali ke tempat dudukku, Saito memanggilku.
“Ada
apa?”
“Tidak,
bukan apa-apa. Sepertinya ada sedikit
kesalahpahaman.”
“Aku
tidak begitu mengerti, tapi kalau itu bukan masalah besar, itu bagus.”
Sepertinya
ia merasa khawatir. Namun, aku tidak
berencana melibatkan siapa pun dalam masalah ini. Meskipun Tsuno membenciku,
itu adalah masalah yang harus aku selesaikan sendiri. Memikirkan tentang
melibatkan Enami-san membuatku merasa perlu untuk menyelesaikan ini dengan baik
agar dia tidak terlibat lagi di masa depan.
Mungkin,
ini adalah tentang Tsuno. Dia pasti punya pemikiran tertentu. Mengajakku ke
atap juga demikian. Aku tidak tahu bagaimana cara masuk, tetapi jelas sekali kalau tempat itu merupakan tempat yang sepi.
Fakta bahwa ia ingin membawaku ke tempat seperti itu menunjukkan bahwa dirinya tidak punya niat baik.
Meskipun
begitu, mungkin untuk meyakinkannya,
lebih baik jika aku tidak melibatkan orang lain. Meskipun aku tidak bisa
menghapus kebenciannya yang ada
padaku, jika aku bisa mengubahnya menjadi perasaan lain.
Saat itu,
aku sedang memikirkan hal-hal semacam itu.
◇◇◇◇
Setelah
menaiki tangga dan melewati tempat yang penuh debu tempat di mana aku
pernah
berbicara dengan Enami-san dan yang lainnya, aku melihat pintu
yang mengarah ke atap.
Pintu itu
terlihat tua dan usang. Terbuat dari
aluminium tipis, tetapi tidak ada tanda-tanda kerusakan. Pada akhirnya, aku
tidak bisa keluar ke atap──.
Saat aku
berpikir begitu, aku menyadari bahwa gagang pintu berputar hingga akhir.
──Apa?
Di masa
lalu, aku pernah mencoba membuka pintu ini sekali. Seharusnya pintu ini terkunci, jadi akan terhenti di
tengah jalan karena terikat sesuatu. Namun, sekarang tidak ada hal seperti itu.
Mungkin
Tsuno yang membukanya.
Sesuatu
yang tidak bisa aku pahami tidak akan menjadi jelas meskipun aku terus memikirkannya. Ketika
aku mendorong pintu ke dalam, pintu itu terbuka dengan suara berderit.
Bersamaan dengan pemandangan atap yang belum pernah kulihat sebelumnya, udara
dingin dari luar mengalir masuk.
Atap itu
adalah tempat yang gersang dan keras, terbuat dari beton. Dikelilingi oleh
pagar tinggi, jadi jika seseorang mencoba bunuh diri di sini, itu tidak mungkin
dilakukan. Mungkin tempat ini tidak
dibersihkan secara teratur karena
beton itu terlihat kotor. Ada sedikit bekas yang tampaknya berasal dari kotoran
burung.
Setelah
menutup pintu, aku berdiri di atap dan segera menemukan sosok Tsuno.
──Sudah kuduga, ia
sudah datang duluan.
Sepertinya
Tsuno menyadari kedatanganku dari suara pintu yang terbuka. Tatapan mata kami bertemu.
“Apa
begini sudah cukup?”
Aku
mendekat ke arah Tsuno yang berdiri di tengah atap. Di tempat terbuka seperti
ini, mana mungkin ada pembicaraan serius.
Aku sendiri juga datang dengan niat yang sama.
“Seharusnya
ini bukan tempat yang boleh dimasuki, kan? Biasanya terkunci dengan baik, dan
tidak ada yang bisa keluar ke atap.”
“Maksudmu
ini?”
Menjawab
pertanyaanku, Tsuno menunjukkan sesuatu yang dia pegang di tangan kanannya.
Sebuah kunci berwarna perak yang berkarat. Tidak ada aksesori atau apa pun yang
menempel padanya, bentuknya datar seperti papan tipis.
“Ini adalah
rahasia yang diketahui semua
orang di klub kami, disembunyikan di salah satu meja di tangga.”
“Kamu
yakin mau memberitahuku rahasia itu?”
“Tidak
masalah.”
Ia
menyimpan kunci itu kembali ke dalam saku.
Tsuno juga tidak membawa apa-apa.
Tempat
ini merupakan atap sekolah. Hanya
ada satu keuntungan, yaitu tidak ada yang melihat kami.
Di tempat
yang luas dan keras yang tertutup beton, hanya ada kami
berdua. Meskipun Tsuno berniat melakukan
sesuatu di sini, mungkin takkan
ada yang mengetahuinya.
Tapi.
Hal itu
juga menguntungkan bagiku.
“Tidak
ada masalah? Apa alasannya?”
“Bukannya
itu sudah jelas. Karena kamu akan merasa tidak ingin
datang ke sini lagi.”
“…Begitu ya.”
Aku
melihat sekeliling. Mungkin ada seseorang yang bersembunyi di suatu tempat.
Namun, pada tahap ini, aku tidak
dapat memastikan apakah itu merupakan
titik buta atau bukan.
“Boleh
aku bertanya satu hal?”
“Hah?”
Aku
bertanya kepada Tsuno yang tersenyum sinis di dekatku.
“Aneh
juga kalau aku sendiri yang
mengatakannya, tapi aku adalah siswa teladan. Aku tidak ingat pernah berbuat
sesuatu yang membuat orang lain membenciku. Aku tidak pernah membicarakan
keburukan orang lain, dan tidak pernah merendahkan orang lain. Meskipun ada
yang menganggap keseriusanku mengganggu, aku tidak memaksakan kehendakku, jadi pada dasarnya aku berpikir kalau tidak ada orang yang
ingin menghukumku.”
“Hentikan.
Hal-hal seperti itulah yang membuangku jengkel padamu.”
“Meski
begitu, aku berpikir kalau kamu tidak mempunyai
alasan untuk membenciku
sampai sejauh itu.”
Aku telah
menjalani hidup dengan tenang dan damai.
Hampir tidak ada perkelahian
seperti saat aku dihadang
di gang sempit. Aku menjalani kehidupan
sehari-hari sebagai siswa SMA yang biasa.
“Namun,
meskipun ada kemungkinan aku bersalah, cuma
ada satu hal yang bisa kupikirkan.”
Nama-nama
yang tertera di bagian kanan kertas besar yang panjang. Rasanya aku sudah
melihat pemandangan serupa berkali-kali.
“Apa itu masalah nilai?"
“……”
Ekspresi
Tsuno seketika langsung berubah.
Tawa yang sadis menunjukkan bahwa ketenangannya kembali.
“Aku
memang terkadang peduli apa peringkatku pertama atau tidak, tapi aku tidak terlalu tertarik
pada peringkat di bawahnya. Untuk itu, aku minta maaf. Namun, jika ini hanyalah balas dendam karena kamu
tidak bisa mengalahkanku dalam nilai, bukannya
itu sangat menyedihkan?”
Aku
hampir yakin. Salah satu perasaan buruk terhadapku pasti ada hubungannya dengan
itu. Aku tidak bisa memikirkan alasan lain mengapa Tsuno menatapku seperti itu
pada hari pengumuman peringkat.
“Aku
juga berusaha keras untuk meningkatkan nilai akademisku.
Akan merepotkan jika dibalas dengan dendam. Jangan jadikan aku sebagai sasaran
pelampiasan seperti anak kecil. Kamu juga tahu itu, ‘kan?”
“……Hah.”
Ia
tertawa dengan nada meremehkan. Aku diam dan menunggu jawabannya.
Ia
berjalan beberapa langkah seolah-olah
menghentakkan beton dengan sepatunya, dan suara desisan terdengar
bersamaan dengan napas Tsuno.
“Nilai,
nilai, ya. Ah, memang, sifat-sifatmu yang seperti itu juga menjengkelkan.”
“Memangnya ada
alasan lain?”
“Dasar
keparat! Apa kamu pikir aku akan menjawab semuanya?”
Tentu
saja aku tidak berpikir begitu. Hanya saja, aku ingin mengetahui alasannya sebanyak mungkin.
“Aku
adalah sosok yang berbeda darimu. Aku jauh di atasmu,
jadi kenapa aku harus mendengarkan keluhanmu?”
Ia
mulai melontarkan hal-hal yang tidak masuk akal. Aku berpikir kalau ia merupakan orang
yang memiliki harga diri tinggi, tetapi ternyata itu
lebih tinggi dari yang aku bayangkan. Tsuno tampaknya disukai oleh gadis-gadis,
jadi tidak mengherankan jika dirinya memiliki rasa percaya diri yang
kuat.
"Hah…”
“Mana
mungkin kamu bisa memahami diriku. Sudah menjadi hukum alam kalau orang yang
lebih rendah akan selalu diintimidasi oleh yang lebih tinggi, dan aku tidak memerlukan alasan lain. Jadi
mendingan kamu diam saja dan
jalani peranmu sebagai samsak
tinju.”
Ia
berbicara dengan sembrono, seolah-olah ia berpikir
kalau aku cuma bisa mendengarkannya saja.
“Aku hanya
menghancurkan orang yang terlalu percaya diri. Keberadaannya
saja sudah mengganggu, hanya dengan bernapas pun sudah menjengkelkan. Dan siapa
yang harus dihancurkan ditentukan oleh orang-orang sepertiku. Setelah
ditentukan, patuhi dengan tenang.”
Saat itu,
Tsuno melepas blazer-nya, melepaskan dasi, dan meletakkannya di dekat pagar. Ia menggulung lengan kemejanya.
Aku bertanya-tanya apa ia tidak kedinginan, tetapi melihat ekspresi kesal di
wajah Tsuno, sepertinya ia tidak dalam situasi untuk merasakannya.
Aku
berdiri di tempat itu dan bertanya,
“Jadi, apa
yang ingin kamu lakukan?”
“Hah, bukannya itu sudah jelas,”
Tsuno
mendekat sambil menggosok dagunya.
“Sedari tadi
kamu cuma terus berceloteh... Jangan terus-menerus tanya melulu. Aku akan membuat mulut
berisikmu ini tidak bisa terbuka lagi.”
Dia
menangkap kerah bajuku, lalu berkata,
“Mati saja
sana!”
Dengan
kata-kata yang langsung, aku melihat kakinya terangkat. Sol sepatu yang
membentuk sudut tegak lurus dengan tanah meluncur ke arah perutku.
Ah, pada akhirnya beginilah yang
akan terjadi.
Namun,
aku tidak menyangka ia akan menyerang satu lawan satu. Demi memastikan kemenangan, kupikir ia akan menyembunyikan teman-temannya dan menyerang secara tiba-tiba.
Tapi tidak mengambil langkah itu mungkin menunjukkan bahwa dirinya sangat percaya diri dengan
kemampuannya...
Melihat raut wajahnya yang dipenuhi kepercayaan diri seolah-olah ia pasti
menang, aku jadi merasa
kasihan padanya.
Aku
menambahkan sedikit gerakan untuk mengalihkan serangan dari sol sepatunya yang kasar itu.
“Ugh...”
Ia
hampir kehilangan keseimbangan. Mungkin karena sensasi yang dia bayangkan tidak
sesuai dengan kenyataan.
Tangan
Tsuno menjauh dari dadaku. Badannya
mundur dengan goyah.
“...Cih, mungkin aku terlalu memberi ampun.”
Apa yang
ia salah pahami? Sepertinya ia mengira masalahnya ada pada tendangannya.
“Jangan
berharap aku akan memberi ampun sekarang! Kamu harus dipukuli oleh tanganku dan
merintih meminta ampun! Aku akan menendang kepalamu sambil tertawa
terbahak-bahak!”
Kemudian,
ia maju dengan semangat ke arahku. Apa kali ini dia berniat untuk
mendorongku?
Seolah-olah
gong yang menandakan dimulainya pertarungan telah berbunyi.
Aliran
darahku berdenyut-denyut, mengalir melalui lenganku dan memberikan panas hingga
ujung kaki.
Gerakan
yang terlihat di mataku yang terbelalak kini terlihat
sangat jelas.
Pemandangan
ini terasa sangat akrab.
Seluruh
tubuhku berdenyut ketika mengingat masa lalu. Sesuatu yang
terpendam di dalam hatiku bangkit kembali seiring dengan detak jantungku.
Gerakan
Tsuno kini terlihat seperti dalam gerakan lambat.
Aku
sedikit menurunkan pinggangku, sementara Tsuno berusaha menghantamkan seluruh
berat badannya ke arahku. Apa dirinya
lupa bahwa di bawahnya adalah beton, atau ia memang tahu dan tetap
melakukannya? Dari gerakannya, aku merasakan niat kuat untuk menghancurkanku
dengan sekuat tenaga.
“Oryaaaaaaaaaaaaaahhhhhhh!”
Suara kerasnya
yang menusuk telinga membuatku terasa
kosong sesaat.
Aku
segera menggeser tubuhku ke samping dan berdiri sedikit di depan arah geraknya.
Kemudian, aku menyentuh lengan kanan Tsuno yang meluncur dengan cepat, memutar
tubuhnya sekali. Segera, momentum Tsuno
terhenti karena rasa nyeri di sendinya.
“Ugh,
aduh!”
Aku
berputar di belakangnya dan mendorong punggungnya dengan keras. Saat melepaskan
tanganku, sisa tenaga yang tidak dapat ia kendalikan membuat tubuhnya terjatuh
secara acak ke tanah.
“Ugh!
Hah, apa-apaan itu tadi?”
“Ada
apa? Apa segitu sudah
selesai?”
Ia
merangkak dengan posisi tengkurap, melihatku dari belakang.
“Kamu
ingin menghajarku, ‘kan? Kenapa kamu malah jatuh
sendiri? Atau, apa kamu memanggilku ke sini untuk menunjukkan tarian aneh?”
“Keparat!
Jangan main-main denganku,
brengsek!”
Dengan
ekspresi marah, Tsuno langsung berdiri
dan mendekat sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Jelas sekali dia sedang mengincar
rambutku.
“Ora!”
Namun, tentu saja aku tidak akan membiarkannya.
Setelah menurunkan posisi tubuhku, aku menyapu kakinya dengan tendangan.
Mungkin
Tsuno tidak mengerti apa yang terjadi. Dirinyaa
jatuh terduduk di beton dengan pantatnya.
“...Hah?”
“Kamu
baik-baik saja?”
Aku
sengaja melakukan apa yang ingin dilakukan Tsuno. Aku berjalan ke sampingnya
yang terkejut dan berjongkok. Lalu, aku menjambak
rambutnya dan perlahan-lahan menekannya
ke bawah.
“Itu
sakit! Brengsek!"
Aku
tersenyum lebar.
“Jadi terasa
sakit ya, ya wajar saja kalau rasanya sakit.”
“Lepaskan!
Brengsek, lepaskan!”
Pada saat
yang sama ketika bagian
belakang kepala Tsuno menyentuh beton tanpa suara, aku meletakkan lututku di
bahunya untuk membatasi gerakannya. Aku bisa menahan Tsuno hanya dengan dua
titik itu saat ia berusaha melawan.
Aku
berkata,
“Kamu
datang untuk berkelahi, dan kupikir kamu cukup kuat, tapi tak kusangka kalau kemampuanmu hanya
segini...”
Aku
menyipitkan mataku. Mungkin
Tsuno yang masih berjuang tidak mendengarnya.
Aku sedikit demi sedikit mengerahkan tenaga pada
lututku.
“Ugh...!”
“Rasanya
sakit, iya ‘kan? Jadi, tetap tenanglah sebentar.”
“Ap-Apa ini...?”
Namun,
perlawanan Tsuno tiba-tiba
berhenti. Matanya yang terbuka menatap wajahku.
“...Kamu.”
Aku
mendengar dirinya berbisik, wajahnya setengah terdistorsi
oleh rasa sakit.
“Apa?”
“...Tidak
ada apa-apa...”
Aku
merasakan kekuatan Tsuno semakin menghilang
dari seluruh tubuhnya. Apa ini rencananya untuk membuatku lengah? Sekilas, aku
berpikir begitu, tetapi sepertinya suasananya tidak seperti itu. Sambil
mempertahankan sedikit tenaga, aku berkata kepada Tsuno.
“Tendanganmu yang barusan. Apa kamu juga belajar
karate? Tapi sepertinya tidak begitu kuat. Atau mungkin kamu sudah lama
berhenti dan lupa cara menendang. Dan di
tengah tendangan serangan tadi kamu mulai mengacau. Mungkin
serangan nekatmu itu tidak sepenuhnya buruk.”
“......”
“Tapi
kepercayaan diri dan kemampuanmu tidak berbanding lurus. Entah kenapa rasanya
jadi kurang memuaskan.”
“....Cih,”
Tsuno
yang menyingkirkan poni dan menatapku dengan air liur di mulutnya kini tidak
terlihat seperti pria segar, melainkan seperti anak kecil yang
kekanak-kanakan.
“Keparat...”
Ia mengerang
dengan ekspresi wajah
yang begitu menyedihkan.
“Dasar keparat...
Aku sudah tidak mengerti lagi. Apa-apaan
ini...”
Emosi
negatif yang sebelumnya
menguasai Tsuno kini mulai
berubah menjadi sesuatu yang lain. Mungkin dirinya merasa bingung menghadapi kekalahan
yang sangat menyakitkan. Aku berusaha untuk tidak lengah dan berbicara dengan
suara rendah.
“Seharusnya
aku melakukan ini lebih awal. Seharusnya aku tidak membiarkanmu menggangguku
dengan tuduhan yang tidak jelas. Kekerasan memiliki kekuatan itu.”
“Kamu
ini sebenarnya siapa? Ini sama sekali tidak normal. Mana mungkin aku bisa kalah dengan mudah
seperti ini...”
“Normal──.
Terlepas dari apa artinya, satu hal yang pasti adalah aku lebih kuat darimu.”
“Apa-apaan itu maksudnya...?”
Suara
Tsuno semakin lama semakin hampir
tidak terdengar.
Aku terus
berbicara sambil memperhatikan sekeliling.
“Aku
orangnya seperti ini. Aku tidak sejujur
yang kamu pikirkan. Jadi, apa yang kamu katakan itu tidak tepat.”
“Haha...”
Tawanya terdengar kering. Aku tidak tahu
apakah ia mempercayainya atau tidak. Mungkin ia hanya
tertawa karena bingung.
“Aku
berhenti menggunakan tinjuku.
Tepatnya, aku memutuskan untuk hidup agar tidak membuat keluargaku sedih.
Meskipun aku bisa menggunakannya untuk melindungi diriku, aku bertekad untuk
tidak menggunakannya untuk menyakiti orang lain. Namun, kamu sudah melampaui
batas. Aku akan menghentikanmu di sini.”
Sembari
menjambak rambutnya, aku menjepit
tengkuknya di antara ibu jari dan jari telunjukku. Ia pasti merasakan sentuhan dingin
itu. Tanpa menambah kekuatanku,
aku menajamkan tatapanku seolah mengancam.
“Jangan
pernah berurusan denganku lagi. Jangan menggangguku dan orang-orang di
sekitarku. Kamu tidak mengetahui semua tentang diriku. Hari ini,
kamu sudah mengerti, ‘kan?”
“......”
Tsuno
menggigit bibirnya. Ia tidak
menangis, tetapi dalam hatinya pasti tidak tenang.
“Meski
aku tidak memberikan kekerasan yang
jelas──”
Aku
sedikit menambah kekuatan pada tangan yang terletak di leher Tsuno.
“Aku
bisa memberikan rasa takut. Kamu bilang kalau kamu
lebih baik dariku. Itu salah. Siapa yang sedang berada
di atasmu sekarang? Dan itu tidak akan berubah.”
“Ugh,
uhh...”
“Jika
ke depannya kamu tidak mengikuti nasihatku dan mencoba melakukan sesuatu lagi, aku tidak akan segan-segan. Dengan cara apapun, aku akan
memberikan rasa takut maksimal kepadamu.”
Kemudian,
aku melepaskan tanganku dari lehernya. Aku melonggarkan kekuatan di lututku dan
perlahan berdiri. Tsuno yang tampak kebingungan tidak berusaha untuk bangkit
meskipun sudah dibebaskan.
Saat kejadian di gang sempit, peristiwa itu juga
berlalu dengan sekejap. Namun, sudah lama sejak aku memberikan
tekanan seperti ini dalam waktu yang lama, sehingga aku sedikit
berkeringat.
──Tidak
apa-apa.
Seharusnya
sekarang sudah baik-baik saja. Aku tidak merasakan lagi keinginan perlawanan
dari Tsuno yang terbaring.
Dengan
memilih lokasi di atap, mana mungkin
Tsuno menggunakan ancaman aneh. Karena jika ia melakukannya, semua itu akan ketahuan bahwa ia
menggunakan atap. Jika anggota klub tenis mengetahuinya, itu seharusnya menjadi hak
bersama klub tenis. Tidak mungkin dirinya
mengorbankan itu hanya untuk satu orang.
Saat aku
berusaha meninggalkan tempat itu, tiba-tiba terdengar suara berderit dari jauh.
Arah suara itu berasal dari pintu yang aku gunakan untuk masuk, pintu
masuk.
──Apa
itu?
Saat aku merasa
curiga, seseorang muncul di sana.
Rambut
cokelat yang panjang. Gaya yang bisa menyaingi
model. Kulit putih dengan tatapan tajam yang berkilau adalah milik seseorang
yang aku kenal baik.
......Enami-san.
Aku
terkejut dan terdiam di tempat.
Mengapa
dia bisa ada di sini? Jangan-jangan dia
mengikutiku?
Enami-san
melangkah tanpa ragu menuju diriku
yang sedang berdiri linglung dan Tsuno yang berbaring di atas beton.
“Hmm.”
Setelah
melihatku dan Tsuno secara bergantian, dia hanya
mengatakan itu seperti biasa.
“......Enami-san,
kenapa kamu ada di sini?”
“Aku
mengikutimu dan melihatnya.”
Itu
adalah jawaban yang sangat singkat. Ngomong-ngomong, Enami-san sepertinya
memperhatikan tentang aku dan Tsuno. Mungkin dia juga mengawasi interaksi kami
di pagi hari.
“Apa
maksudmu dengan 'melihat'?”
“Lebih
dari itu, berarti kamu sudah
menghukum orang ini, ya.”
“……Entahlah.”
Tsuno
tampaknya yang paling
terkejut dengan kedatangan Enami-san. Berbeda dengan sebelumnya, dirinya segera bangkit dengan panik.
Wajahnya dipenuhi kegetiran.
Kemudian, ia bersandar pada pagar dan meregangkan kakinya.
“……Sudah kuduga……”
Bisikan
pelan itu dibalas dengan tatapan tajam oleh Enami-san.
“……Si-Sialan……”
Ia
tampak putus asa. Sikapnya terlihat berbeda dari yang dia tunjukkan padaku
sebelumnya.
Enami-san
berkata,
“Kamu
itu benar-benar keras kepala, ya. Jadi itu juga ada alasannya.”
Aku tidak
bisa memahami situasinya. Hanya suasana menyesal dari Tsuno dan penghinaan Enami-san
terhadap Tsuno yang bisa aku rasakan.
Hanya
ada kami bertiga di atap sekolah.
Angin kencang berhembus ke atap dan mengguncang kami. Blazer Tsuno yang
terbuang tergeletak tanpa diambil.
Seperti
biasa, Enami-san terlihat percaya diri.
“Egois,
terlalu percaya diri, merasa paling
hebat, pemarah…… Ini semua yang diceritakan Nishikawa padaku. Kamu
mengungkapkan perasaanmu padaku sekitar
tiga bulan yang lalu, kan?”
Aku
terkejut.
“Aku
tidak ingat banyak isi percakapan waktu itu,
tapi aku meyakini kalau aku sudah menolakmu. Setelah itu, selama sekitar
sebulan, kamu terus-menerus bilang 'aku tidak mengerti alasannya' atau 'Memangnya kamu tidak masalah kalau aku
boleh direnggut
oleh gadis lain'. Jadi, setelah aku mulai berbicara dengan
Okusu, aku mengerti bahwa itu juga menjadi alasan kamu mulai mengganggu Okusu.”
“Jangan
seenaknya memutuskan itu.”
“Bagaimana
pendapatmu?”
Sepertinya pertanyaan itu ditujukan padaku. Karena pertanyaan itu terlalu tiba-tiba,
aku jadi terkejut.
“Meski
ditanya bagaimana……”
“Reaksi
kamu tadi. Peristiwa yang terjadi sampai sekarang. Lebih masuk akal jika
dipikirkan seperti itu.”
“……Mungkin.”
Tujuan
Tsuno adalah memisahkan aku dan Enami-san. Mungkin prestasi nilai di antara kami yang jadi
pemicunya, tetapi sepertinya ia merasa tidak tahan
lagi ketika melihatku berhubungan dengan Enami-san.
“Jangan
bercanda! Memangnya kamu pikir aku,
diriku ini, merasa cemburu pada orang seperti ini!?”
“Aku
sudah bilang begitu sejak tadi. Faktanya memang begitu, ‘kan?”
“Mana
mungkin! Dengan si brengsek ini!”
Namun,
saat aku menatapnya dengan tajam, Tsuno terdiam. Ia
mengusap lehernya yang tadi tercekik.
“Tidak
mungkin……”
“Hmm.”
Sepertinya
dia sudah kehilangan minat pada Tsuno. Enami-san meninggalkan Tsuno yang masih menggerutu dan berjalan kembali ke arah dia datang.
“Tunggu.”
Aku
mengejar Enami-san.
Akhirnya
aku bisa berdiri di depan Enami-san tepat setelah keluar dari atap. Dia berdiri
dengan tangan disilangkan di dekat tangga yang sedikit gelap. Aku lalu berkata padanya,
“Sebenarnya,
kita belum selesai berbicara.”
“……”
Ini bukan
tentang Tsuno. Masalah dengan dirinya sudah
tidak penting lagi. Orang yang aku khawatirkan
adalah Enami-san.
Aku punya
banyak pertanyaan yang ingin ditanyakan.
“Kamu
melihatnya, kan?”
Aku
merasa seolah mendengar suara kulit siswa teladan yang biasa aku lihat
terlepas.
Jika Enami-san
mengikutiku, itu berarti
dia sudah melihat kami sejak awal. Dalam hal ini, aku sudah menunjukkan sisi
diriku sebagai “mantan
anak berandalan”.
Namun, Enami-san
tidak menyentuh hal itu.
“……Hanya itu saja?”
Kata-katanya
menunjukkan bahwa dia memahami maksud ucapanku. Dia tersenyum seolah itu bukan
masalah.
“Kamu
ingin aku diam? Baiklah. Aku tidak berniat menyebarkannya
juga.”
“Itu sangat membantuku, tetapi bukan itu
maksudku……"
Aku tidak
ingin menunjukkan sisi kekerasanku kepada siapa pun.
Dulu, aku
pernah gagal karena itu. Aku kehilangan sesuatu. Jadi, aku memutuskan untuk
meninggalkan dunia itu dan berusaha keras di jalur yang serius.
“Jadi,
apa maksudmu?”
“Mengapa
Enami-san sangat peduli
padaku sampai sejauh itu……”
Kepercayaan?
Pemahaman? Atau hanya acuh tak acuh?
Di tempat
ini. Dalam ruang ini, aku menghadapi Enami-san, memberi nasihat, dan entah
bagaimana Enami-san mulai tertarik padaku. Alasannya tidak jelas. Apa yang dia
pikirkan juga tidak jelas. Dia pernah sangat membenciku, tetapi kini dia
membenarkanku.
Apa yang
membuat Enami-san berubah seperti itu?
“Aku
masih belum memahami arti
kata 'perlu'.”
Enami-san
tidak menjawab apa pun dan mulai turun tangga dengan tenang. Dari ruang gelap
yang minim cahaya menuju tempat yang sedikit lebih ramai. Namun, aku merasakan
bahwa dia tidak mengabaikanku.
Ketika
kami hampir sampai di lantai empat, Enami-san berhenti lagi.
“Karena aku
mengenal tentang dirimu.”
“Eh?”
Enami-san
menoleh ke arahku. Dia menatap wajahku dengan penuh perhatian.
“Maksudmu mengenalku……”
Saat aku
mengucapkannya, aku terhenti.
Suara
bola yang mengenai pemukul
terdengar dari arah lapangan. Atau suara angin yang menggoyang jendela. Atau
suara obrolan siswa yang terdengar dari bawah.
Dan kini,
aku bisa mendengar suara
napas Enami-san yang lembut di depanku.
Aku
menyusutkan lengan karena udara dingin yang melilit tubuhku.
Sepertinya
sepotong kertas kecil yang jatuh dari suatu tempat melayang-layang. Suara Enami-san
juga masuk ke telinga dengan kelembutan yang seolah menyatu dengan udara.
“Pada awalnya
adalah ekspresi wajahmu.”
Sekarang,
dia masih mengamati ekspresiku, tidak melepaskan pandangannya dan menatap lurus ke arahku.
“Tentu
saja, maksudnya tentang saat aku berbicara
denganmu di sini.”
Aku kembali teringat. Enami-san mengatakan
itu saat berbicara denganku di gerbang utama sekolah.
(Kamu
memang mudah terbaca, ya.)
Itu bukan
hanya dari Enami-san. Orang lain juga pernah menunjukkannya.
“Aku
lebih melihat ekspresi dan sikap daripada kata-kata. Pada saat itu, awalnya aku merasakan
sesuatu yang mengganggu dari ekspresimu, dan menjadi emosional. Tapi setelah
itu, ketika kamu benar-benar marah, aku menyadari kesalahpahamanku.”
“……Kesalahpahaman?”
“Ya.”
Untuk
pertama kalinya, aku merasa telah menyentuh isi hati
Enami-san.
“Kenapa
orang ini begitu marah
dengan ekspresi seperti itu? Itulah pertanyaan pertamaku.”
Misalnya,
saat melihat diriku di cermin, ada rasa bingung. Perbedaan antara diriku yang
aku bayangkan dan diriku yang terlihat oleh orang lain bisa muncul dari suatu
kejadian kecil.
“……Tidak,
bukannya itu normal?”
“Tidak.”
Perlawanan
yang sedikit itu berakhir tanpa arti.
“Ada
rasa sakit seolah-olah kamu memotong dagingmu sendiri dan melemparkannya.
Seperti sedang menangis atau menahan air mata. Aku terkejut dengan betapa besar
jurang perbedaan antara apa yang kamu katakan dan
ekspresimu.”
Aku tidak
begitu ingat perasaanku saat itu. Aku tidak cukup tenang untuk
mengingatnya.
Yang aku
ingat hanyalah perasaan kalau isi kepalaku
menjadi kosong.
“Itulah
sebabnya aku mulai tertarik.
Aku jadi penasaran apa
yang dipikirkan orang ini? Begitu.”
“Jika
dilihat dari sisi itu, Enami-san juga, ya?”
Aku juga
pernah memikirkan hal yang sama meskipun di waktu dan tempat yang berbeda.
Karena aku tidak mengerti Enami-san, aku ingin tahu lebih banyak
tentangnya.
“Aku
pulang ke rumah dan merenungkannya. Tapi aku mencoba mensimulasikan
berbagai emosi dan tidak berhasil. Akhirnya, aku memutuskan untuk mencari tahu
pada akhir pekan.”
“……Bagaimana
caranya?”
“Rahasia.”
Sambil
menggenggam tangan di belakang
punggungnya, Enami-san melangkah satu langkah maju.
“Itu
bukan hal yang besar.
Aku hanya kebetulan bertemu dengan seseorang
yang tahu tentang masa lalumu. Tapi, dengan cara itu, aku mengenalmu, mengenal
hidupmu, dan akhirnya mengerti, 'Oh, orang ini tidak merendahkanku, dan tidak hanya memberikan
nasihat kosong.' Jadi, aku merasa perlu lebih mengenalmu.”
Satu kata “perlu” tiba-tiba muncul seolah-olah
terlihat di atas kertas. Itu terhubung dengan rasa pemahaman.
“Aku…”
Enami-san
mengulurkan tangan kanannya di depanku. Tangan itu menyentuh bahuku.
“Ketika aku mengetahui
kalau kamu berusaha mencoba memulai lagi setelah 'hancur'
sekali, aku sangat ingin menjadi seperti dirimu.
Itulah sebabnya aku mendekatimu.”
“……Setelah
hancur, mencoba memulai lagi, ya. Jadi Enami-san
juga ingin memperbaiki sesuatu yang hancur.”
“Kamu
mengerti, kan?”
Aku sudah
mendengar tentang situasi Enami-san. Meskipun aku tidak menganggap itu adalah
keseluruhan ceritanya, pasti itulah yang dimaksud Enami-san.
“Aku
ingin tahu tentangmu.”
Sama seperti dalam perjalanan pulang waktu itu, Enami-san
mengatakannya.
Di sana
tidak ada daya tarik khas romansa
antara pria dan wanita, dan juga
bukan sesuatu yang didasarkan pada hubungan pertemanan yang santai. Ada sesuatu
yang lebih mendalam dan mendesak, terjalin kuat.
“Aku
juga berpikir kalau aku tidak bisa memahami semuanya
dengan cepat. Sedikit demi sedikit saja. Jika kita bersama, mungkin aku bisa
menemukan jawaban untuk masalahku. Jadi, tolong terus jaga hubungan ini.”
Tangan
yang diletakkan di bahuku meluncur dan melayang di depanku.
Pergelangan
tangannya yang ramping dan ujung jari yang tampak halus terlihat bahkan dalam
kegelapan. Meskipun dia sangat cantik dan memiliki kepribadian yang unik,
tangannya tidak jauh berbeda dari orang biasa. Aku menghela napas dalam-dalam.
Karena
aku mengetahui kecanggungan Enami-san, aku bisa mengerti bahwa ini merupakan usaha terbaiknya. Dia bukan
orang yang bisa dekat-dekat atau bermanja
dengan orang lain.
Aku diam-diam
menggenggam tangannya kembali.
Suhu tubuhnya lebih dingin daripada milikku.
Ujung jarinya terasa seperti porselen.
“Mungkin
aku bukan orang yang istimewa seperti yang kamu pikirkan.”
Itu
pasti. Masa laluku merupakan akibat
dari kesalahanku. Meskipun aku berusaha memperbaikinya, aku tidak bisa, dan
pada akhirnya, aku hanya terus berlari.
“Tapi,
aku mungkin bisa mengerti perasaan Enami-san.”
Aku
melepaskan tanganku.
Enami-san
dan aku berbeda. Situasi dan cara berpikir kami
sangat berbeda. Apa yang ingin kami capai di masa depan
juga pasti tidak sama.
Namun, pasti
ada sesuatu yang saling terkait antara aku dan Enami-san.
Saat aku
diam-diam menatap telapak tanganku, aku kembali
mendengar suara lembut Enami-san
“Ya.
Itu saja sudah cukup,” katanya pelan.
