Penerjemah : Kaito
Editor : -
Chapter 02 - Hujan
lebat
Aku
menyukaimu.
Kata-kata
itu terus bergema di dalam kepalaku, tapi setelah menganalisis kata-kata itu
satu per satu, memasukkan semuanya ke dalam huruf kapital, aku masih tidak
mengerti maksudnya. Saat aku duduk di sana, merasa terkaget, Miyano mengerang
frustrasi dengan tangannya yang mengacak-acak rambutnya sendiri.
Ada apa
dengannya sih?
Keheningan
sesaat terpecah oleh suara pintu terbuka, dan Nakahara-san mulai masuk. Dia
adalah seorang wanita bertubuh tinggi, dan langkahnya panjang saat dia
berjalan, serta gaya rambut ponytail
berayun di belakangnya.
"Kau sudah
bangun?" dia bertanya dengan nada ramah.
Aku
mengangguk sedikit dan menarik selimut lebih dekat ke arahku. Setelah memandang
kami bergantian, dia menepuk-nepuk bahu Miyano dengan nada bercanda.
"Sebaiknya
kau tidak melakukan hal yang tidak senonoh padanya, anak muda."
Mulut
Miyano melengkung ke bawah.
"Mana
mungkin aku melakukan itu!"
Dia
mendorong Miyano ke sisi lain tirai dan meletakkan tangannya dengan lembut di
dahiku. "Kau mungkin masih syok, tapi kurasa hal ini sebagian besar karena
anemia."
Dahiku
masih terasa panas, tapi tangannya yang dingin membuatku merasa baik. Dia
menyuruhku beristirahat sampai aku sedikit tenang, dan aku mengangguk.
"Nakahara-san!"
Sebuah tangan melambai dari balik tirai. Dia masih di sini? Diam-diam, aku
menggumamkan kutukan padanya.
"Aku
akan mengantarnya pulang setelah latihan!"
"Ap-!"
semburan keluar dari mulutku
"Aku tak
apa-apa, aku tidak membutuhkan dia!" Kataku.
"Mengapa
kau tidak menerima tawarannya? Sulit bagi orang tuamu untuk menjemputmu, ‘kan?"
Aku menahan kepalaku dari sakit kepala. Aku tak bisa membantah apa yang
dikatakan Nakahara-san.
Jika
memang begitu, aku hanya perlu membaik sebelum latihannya selesai dan pulang ke
rumah sendiri.
****
Namun
pemulihan penuh memakan waktu lebih lama dari perkiraanku. Pada saat aku
bangun, langit di luar sudah berwarna merah jingga, dan aku merasa dikalahkan
dan terkuras karena kerja terlalu keras. Semua ini terjadi setelah matahari
yang terbakar telah menyedot semua energiku. Pengumuman untuk semua siswa untuk
meninggalkan sekolah mulai terdengar. Sudah waktunya untuk pulang.
Bangun dari
tempat tidur, aku menjulurkan kepalaku melalui tirai. Saat aku sedang melakukan
itu, pintu tiba-tiba terbuka dan Miyano, dengan senyum lebar di wajahnya,
mengintip ke dalam ruangan.
"Waktu
yang tepat!"
Apanya
yang tepat? Itulah yang ingin kukatakan, tapi aku tidak memiliki tenaga yang
cukup untuk melakukannya, jadi aku hanya bisa mendesah lelah. Pada akhirnya, aku
terpaksa mengikuti dia keluar dari ruang kesehatan.
Pintu
keluar sekolah setelah bel terakhir dipenuhi orang-orang dari berbagai klub,
para siswa bergegas kembali ke kelas masing-masing untuk mengganti pakaian, suara
gemerisik para siswa yang mengganti sepatu mereka di depan rak sepatu. Kami
bergabung dengan aliran para siswa menuju ke pintu keluar, saat seseorang
memanggilku dari belakang.
"Natsuko--!"
dia adalah temanku dari sekolah dasar, sambil memegang terompet.
"Mau
pulang sekarang?" dia bertanya.
Aku
mengangguk. "Aku baru saja keluar dari ruang kesehatan."
"Lagi?
Apa kau baik-baik saja?"
Tentu saja
tidak. Tapi aku menjawab dengan "Yeah," mengabaikan kelelahanku dan
tersenyum. Aku penasaran apakah aku bisa tersenyum dengan benar.
"Apa
kau baru selesai latihan?" Tanyaku.
"Yap,
sungguh panas sekali, berlatih di luar ruangan sangat menarik, kompetisi kami
sudah dekat, jadi kurasa mau gimana lagi."
………
"Sampai
jumpa lagi!" Aku melambaikan tangan ke arah temanku, yang pergi ke ruang
musik. Aku melihat kepergiannya, dan langsung mengganti sepatu indoor-ku.
Miyano menungguku di pintu keluar dengan kedua tangan di sakunya. Aku melakukan
kontak mata dengannya.
Sepertinya
dia ingin mengatakan sesuatu, tapi aku mengalihkan pandanganku. Aku menutup
mulutku erat-erat, dan berjalan melewatinya, lalu membuka payung hitamku.
Suasana di
luar sedang lembab, dan udaranya terasa panas dan lengket.
Besok
adalah hari terakhir sekolah sebelum liburan musim panas dimulai. Aku ingat itu
dan beberapa perasaan berat yang aku rasakan menjadi lebih ringan, sebelum datang
kembali. Musim panas mungkin akan berakhir dengan diriku yang tidak melakukan
banyak hal. Aku tidak membenci liburan musim panas, tapi kupikir akan lebih
bagus jika kita mengalami liburan panjang ini lagi. Seperti pada musim gugur.
Aku pergi
dari gerbang belakang, berjalan menyusuri jalan perumahan berbukit. Langit
tampak menakjubkan ketika matahari terbenam saat aku pergi, tapi sekarang ada
awan tebal yang datang dari timur, dan kota ini mulai gelap. Lampu jalan mulai
menyala. Bayangan Miyano membentang di aspal jalan. Dia diam-diam mengikutiku.
Miyano
empat inci lebih tinggi dariku, jadi tentu saja kakinya juga panjang. Jika kita
berjalan dengan tempo normal, dia pasti sudah
berada di depanku, tapi dia berjalan dengan sangat lambat, ini sama
sekali tidak wajar. Aku tidak bisa berbuat apa-apa mengenai itu, jadi aku
menggerakkan kakiku lebih lambat lagi, tapi dia juga melambatkan langkah
kakinya.
"Kau
tidak harus menyelaraskan tempo jalanmu dengan diriku," kataku.
"Membuat
lebih mudah adalah moto hidupku," jawabnya.
Tidak
peduli seberapa banyak aku mencoba memaksanya untuk pergi, dia menjawab dengan
sikap senangnya yang biasa. Haruskah aku menyerah begitu saja karena dia memang
selalu seperti ini, atau haruskah aku marah dan berteriak padanya? Aku tidak
terlalu mengenalnya jadi cukup sulit untuk memutuskan.
Dia
tiba-tiba bertanya, "Hei, gadis tadi ... dia Hanamura dari kelas sebelah kita,
‘kan? Kau tak pernah berada di kelas yang sama dengannya, bagaimana kau bisa
mengenalnya?"
"Bagaimana
kau tahu itu?" Tanyaku, tapi bukannya menjawab, Miyano malah menyeringai
lebar. Seharusnya aku tidak balik bertanya. Kurasa aku harus menjawab pertanyaannya.
"Di
sekolah dasar, kami masuk klub band bersama."
Aku mencoba
membuatnya seperti kalimat terakhir, tapi dia bertanya lagi.
"Kenapa
kau tidak bergabung dengan band di SMP?"
Lihat, dia
bertanya lagi ‘kan.
"Bukan
itu masalahnya," gumamku. Dia langsung mengaitkannya dengan itu.
"Mengapa
kau tidak mengatakannya saja, jika bukan itu masalahnya?"
Aku
terlalu lelah untuk menanggapi argumennya. Inilah sebabnya aku membenci orang
yang tidak bisa peka.
"Karena
band sekolah kami adalah marching band."
Marching band,
yang artinya kau akan melakukan parade di luar ruangan tepat di bawah terik
matahari. Kau bahkan bisa melakukan pertunjukan keren di taman hiburan, dengan
seragam yang terlihat seperti tentara, dengan gerakan dan tarian yang sinkron.
Tak mungkin aku bisa melakukan itu. Jika aku bisa, aku pasti ingin
melakukannya, tapi aku takkan pernah mengatakannya dengan keras.
Miyano
tiba-tiba berhenti, menatap sebuah poster besar di papan buletin kota. Ini
adalah poster untuk festival musim panas Kuil Inahama.
"Kau
masih belum menjawab pertanyaanku."
Pertama, kau
membuatku menjawab pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin aku bicarakan, lalu
sekarang kau hanya mengabaikan diriku?
Aku
benar-benar ingin berteriak padanya.
"Apa
masalahmu sih?"
"Aku
memintamu untuk pergi ke sini bersamaku."
Seharusnya
aku tidak bertanya apa masalahnya.
"Kita
bisa memeriksa semua kedai di sana, aku benar-benar ingin melakukan itu. Kupikir
ini akan sangat menyenangkan," lanjutnya, dengan mata berkilau. Aku tak
percaya dengannya, yang mana mengabaikan semua perasaanku, dan menjanjikan akan
"sangat menyenangkan." Aku merasa jengkel dan kesal padanya.
"Apa
kau bisa berhenti bercanda? Kita bahkan belum pernah berbicara satu sama
lain!"
Miyano
menggaruk rambutnya, menatapku secara tidak langsung dari samping dan bergumam
canggung,
"Baiklah,
aku tahu itu, tapi …..... apa aku tidak diperbolehkan untuk mengajakmu ke
festival, hanya karena kita belum pernah berbicara sebelumnya?"
Aku hampir
mulai membantahnya, tapi mulutku tetap tertutup rapat.
Seakan-akan
bisa membaca pikiranku, dia terus berbicara.
"Aku
sudah memberitahumu, aku tidak sedang bercanda, Itsuko. Aku selalu
memperhatikanmu, dan kupikir kita memiliki banyak kesamaan."
Mataku
menatap tajam padanya saat dia memanggil namaku dengan normalnya.
Lalu, aku
merasakan sesuatu yang hangat menimpa pipiku.
"Hujan,"
gumam Miyano sambil menatap ke langit dengan sedih. Aku mengikuti tatapannya.
Awan kelabu
terus menyebar di atas langit.
Saat aku
melihat tetesan air hujan jatuh dari awan, sesuatu yang gelap menghalangi penglihatanku.
Miyano sedang memegang payung hitam di atasku.
"Aku
akan meminjamkan ini padamu"
Saat aku
tidak meraihnya, dia menempatkannya di tanganku dan berkata,
"Ambil
saja."
Tangannya mengejutkan
besar, dan saat aku mencoba melangkah mundur karena syok, dia menangkap
tanganku.
Aku ingin
memberitahunya bahwa rumahku sudah dekat, dan aku juga sudah memiliki payung, tapi
dia berkata, "Jangan khawatir" seperti semacam samurai tertentu, dan
memaksaku untuk mengambil payung itu dengan kedua tangannya. Tetesan air hujan
semakin besar dan kemeja Miyano mulai berubah warna.
"Rumahku
tak sampai lima menit jika aku berlari, apa kau bisa melihat gedung apartemen
yang tinggi di sana? Rumah tua di seberangnya adalah milikku," Jelasnya.
"Baiklah,
sekarang mulai lebat, jadi aku ingin lari secepat mungkin, beri tahu aku
jawabanmu untuk festival besok! Beristirahatlah!" Itu adalah kata-kata
terakhirnya padaku saat dia menerobos hujan. Aku ditinggalkan sendiri, dan aku
melihatnya pergi.
Tiba-tiba,
aku merasa seolah-olah hujan semakin deras. Pikiran pertamaku adalah bahwa
suara itu terdengar lebih keras karena Miyano yang bising itu sudah pergi, tapi
hujan semakin deras dan terus menjadi lebih kuat. Lalu aku mendengar gemuruh
guntur yang mirip seperti perut kosong.
Sepertinya
malam ini akan terjadi badai.
Aku
menurunkan payung Miyano sampai ke kaki dan menutupnya. Aku tidak ingin
menggunakan payung yang dipaksakan seseorang kepadaku. Ditambah, aku tidak
keberatan dengan hujan. Karena tetesan airnya bisa menghalangi matahari.
Lagipula aku sudah dekat dengan rumah. Aku berlari melewati tirai hujan dengan
payung lipat di tanganku. Hujan hangat yang menghantam lengan dan kakiku yang
terasa panas rasanya cukup nikmat.
Rumahku tepat
berada di tanjakan, dan aku sampai di pintu masuk dengan cepat, bernapas terengah-engah.
Aku meletakkan payung Miyano di dekat kaki dan membuka pintu.
Tidak ada
orang di rumah, dan di dalam sangat gelap gulita, namun aku masuk ke dalam
dengan sedikit santai, karena tubuhku tiba-tiba terasa sangat berat, dan
sedikit nyeri. Bukan ide yang bagus untuk berlari sesaat setelah pingsan.
Karena terlalu merepotkan menyalakan lampu, aku langsung berjalan menyusuri
lorong gelap dengan kaki basah. Kaus kaki yang basah meninggalkan jejak kaki di
belakangku.
Aku
menyeka rambutku dengan handuk dari kamar mandi serta menyeka wajahku juga.
Handuk kering beraroma seperti matahari, dan aku mengingat apa yang Miyano
katakan.
Aku tak
percaya dia memanggilku "Natsuko."
Dengan
handuk yang melilit kepalaku, aku pergi ke kamarku. Kurasa ini tak apa-apa. Aku langsung melepas seragam sekolahku dan
mengatakannya dengan keras kepada bukan siapa pun secara khusus. Terserah. Aku
tak peduli sama sekali.
Aku akan
berbohong jika aku bilang bahwa aku tidak 1% merasa senang bila ada seseorang yang
mengakui perasaannya kepadaku, tapi untuk sisa 99% lainnya ialah rasa jengkel.
Jangan coba-coba
bilang bahwa kita ini sama.