Otonari no Tenshi-sama Jilid 10 Bab 5 Bahasa Indonesia

Chapter 5 — Hadiah Rahasia

 

 

Itsuki dan Chitose meninggalkan rumah Amane sebelum matahari benar-benar terbenam. Rupanya, mereka mau mampir ke pertunjukan cahaya iluminasi dalam perjalanan pulang, dan jika mereka tidak berangkat lebih awal, mereka akan dimarahi oleh orang tua mereka.

(Meski mereka terus-menerus mengejek, tapi mereka melakukan lebih banyak hal berpasangan daripada kami)

Setelah mereka pergi, Amane dan Mahiru menjalani malam mereka seperti biasa, menyiapkan makan malam bersama, menikmati hidangan yang sedikit lebih mewah dari biasanya, dan kemudian bersantai berdampingan setelahnya. Itu adalah rutinitas yang sama sekali tidak mencerminkan semangat Natal. Jika ada perbedaan, dekorasi khas natal masih terpasang, makan malamnya sedikit lebih mewah, dan acara spesial Natal ditayangkan di TV.

“Tidak ada yang lain selain hal-hal Natal di TV, ya?”

Seperti biasa, Amane dan Mahiru duduk bersebelahan di sofa, perhatian mereka terpaku pada TV. Segmen khusus yang ditayangkan memutar lagu-lagu Natal di latar belakang sambil menunjukkan berbagai hadiah yang dipilih untuk berbagai kelompok usia dan jenis kelamin. Itu adalah acara kuis di mana para peserta memprediksi peringkat hadiah berdasarkan survei jalanan, mendapatkan poin jika mereka menebak dengan benar. Mereka dapat melihat para kontestan berdebat bolak-balik, tidak yakin dengan pilihan mereka.

Topik musiman mudah untuk dibahas dan menarik bagi pemirsa umum. Terutama Natal. Ini adalah acara komersial besar, jadi kurasa mempromosikannya membantu mendorong orang untuk membeli lebih banyak?

“Kita seharusnya tidak membicarakan hal-hal komersial pada Malam Natal.”

“Hehe… Menurutmu, obrolan apa yang cocok untuk Natal, Amane-kun?”

“Mungkin seperti, 'Kapan Sinterklas datang?' atau 'Hadiah apa yang akan dibawa Sinterklas?'”

“Itu pemikiran yang cukup lucu.”

“Jika kita berbicara tentang Natal, bukannya hal semacam itu yang terlintas di dalam pikiran kita?”

Amane hanya memberikan komentar umum, tetapi Mahiru tampaknya menganggap jika pemikirannya itu justru menggemaskan. Dia tersenyum hangat padanya, matanya lembut dan penuh kasih sayang. Dari ekspresinya, jelas bahwa dia benar-benar menganggap ide-ide Amane lucu. Sambil menggaruk kepalanya karena sedikit malu, Amane dapat dengan mudah menebak apa yang mungkin dibayangkan Mahiru, jadi ia angkat bicara untuk melanjutkan pembicaraan.

“…Mungkin aku harus bilang kalau aku baru menyadarinya saat aku masih SD kalau ibu dan ayahku yang meletakkan hadiah-hadiah di samping bantalku.”

“Jadi, selama ini kamu percaya pada Sinterklas?”

“Uhh, kurasa.... begitu. Maksudku, aku sempat ragu, tapi ayahku akan menjawab semuanya dengan senyuman dan tanpa ragu. Kebohongan cerdik mereka berhasil menipuku.”

Perkataan mereka tidaklah salah jika mereka mengatakan kalau Amane terlalu lambat memahami sesuatu, tetapi ada alasannya. Cara Shuuto berbicara terlalu pintar.

“Keraguan?”

Misalnya seperti, 'Bagaimana Sinterklas bisa mengirimkan hadiah ke setiap anak di dunia sendirian?' atau 'Apa yang ia dapatkan dari melakukan itu?' dan 'Dari mana dia mendapatkan semua uangnya?' Hal-hal semacam itu.”

Sungguh pertanyaan yang sulit dijawab. Fakta bahwa kamu memiliki keraguan bahkan saat masih anak-anak menunjukkan banyak hal tentangmu, Amane-kun… Dan bagaimana Shuuto-san menjawabnya?”

“Ia mengatakan kepadaku bahwa Sinterklas tidak memberikan hadiah sendirian. Ia mengatakan ada organisasi nirlaba besar yang berbasis di Finlandia yang dikenal sebagai 'Sinterklas' yang memiliki cabang di seluruh dunia. Dan cabang-cabang tersebut menangani logistik. Mereka memberikan hadiah untuk membuat anak-anak bahagia dalam skala global, tanpa memandang kekayaan, dan dengan melindungi hati generasi mendatang, hal itu berkontribusi pada perdamaian dunia dalam jangka panjang. Rupanya, pendanaan tersebut berasal dari sumbangan orang dewasa dan perusahaan di seluruh dunia yang mendoakan pertumbuhan dan kebahagiaan anak-anak yang sehat.”

Cerita ini agak terlalu rumit untuk dipahami anak-anak, tetapi juga agak terlalu mudah dipercayai orang dewasa. Cerita ini ditulis dengan sangat baik dan hampir terdengar masuk akal.

“Kalau dipikir-pikir sekarang, rasanya pasti sangat mengkhawatirkan jika informasi pribadimu tersebar luas seperti itu—perusahaan ini akan melacak alamat, detail keluarga, dan bahkan preferensimu.”

Melihat kembali penjelasan Shuuto yang sekarang sudah dewasa, Amane dapat dengan mudah melihat betapa absurdnya semua itu. Namun, Shuuto adalah pria yang jujur dan terus terang yang tidak pernah berbohong atau mengingkari janji. Ketika ia menjelaskan semuanya dengan tenang dan lancar, Amane yang masih bocil dan mudah terpengaruh itu menganggapnya sebagai kebenaran. Tidak semuanya benar-benar bohong—meskipun tidak ada organisasi Sinterklas nirlaba atau pasukan Sinterklas, tapi ada yang namanya Desa Sinterklas di Finlandia. Campuran kebenaran dengan fiksi itu membuat cerita itu terasa aneh dan kredibel, sehingga Amane mudah tertipu waktu itu.

“Dan begitulah ceritanya. Alih-alih mengelak pertanyaanku atau mengabaikannya, ia menjawabnya seolah-olah ia mengatakan kebenaran sepenuhnya. Saat itu, ketika aku masih sangat naif dan, yah, lebih bodoh dari sekarang...aku mempercayai setiap ucapannya.”

Sungguh menggemas—”

“Itu sama sekali tidak menggemaskan. Jangan membuat wajah sedih seperti itu.”

“Setidaknya kamu bisa membiarkanku menyelesaikan apa yang kukatakan.”

Karena Amane tahu persis bagaimana tanggapan Mahiru, ia menyela pembicaraannya terlebih dahulu. Sebagai balasan, Mahiru menggembungkan pipinya dengan cara yang menggemaskan. Merasa reaksi kekanak-kanakannya terlalu manis untuk ditolak, Amane menepuk-nepuk kepalanya. Mahiru bergumam, Tapi kamu memanggilku seperti itu sepanjang waktu... dengan suara pelan sebagai protes, tetapi Amane berhasil berdamai dengan membiarkan Mahiru menepuk kepalanya sebagai balasan, seperti yang tampaknya diinginkannya.

“Orang tuaku tidak pernah berbohong padaku… Itu pasti sesuatu yang istimewa.”

“Apa kamu marah pada mereka?”

Tidak.

Menyadari bahwa orang tuanya telah berbohong kepadanya merupakan hal yang besar bagi Amane sebagai seorang anak kecil, tapi ia merasa kalau dirinya tidak perlu menyalahkan mereka atas hal itu. Pada saat ia menyadari kebohongan tersebut, ia sudah cukup dewasa dalam pikiran dan emosi untuk melihat lebih jauh dari kenyataan bahwa itu hanyalah kebohongan dan mempertimbangkan mengapa mereka mengatakannya sejak awal.

“Tentu, aku terkejut saat menghubungkan semua petunjuknya, tetapi kupikir orang tuaku hanya ingin aku memiliki mimpi itu. Mereka tidak ingin aku merasa tersisih dari mimpi yang dialami orang lain. Bahkan jika suatu saat kamu terbangun dari mimpi itu, lebih baik kamu menyadarinya sendiri daripada dipaksa bangun oleh orang lain. Itu membantumu berdamai dengan mimpi itu di hatimu.”

Amane tidak suka kebohongan. Ia percaya kebohongan bukanlah sesuatu yang bisa dikatakan dengan enteng. Namun, di saat yang sama, ia juga belajar bahwa mengungkapkan kebenaran kepada seseorang tanpa berpikir juga tidak selalu merupakan hal yang baik. Apa itu benar-benar demi kepentingan terbaik seorang anak untuk mengetahui sejak awal bahwa Sinterklas tidak ada dan bahwa orang tua merekalah yang menyediakan hadiah? Haruskah orang tua yang menghancurkan keberadaan dan cita-cita Sinterklas, tokoh dari buku bergambar, dengan tangan mereka sendiri? Bahkan jika suatu hari nanti anak itu akan mengerti bahwa itu semua hanyalah khayalan, apa hal semacam itu perlu diungkapkan oleh orang lain tanpa persetujuan mereka? Amane yakin bahwa orang tuanya tidak berpikir demikian.

Itulah sebabnya ketika tiba saatnya Amane mengetahui kebenarannya, Shuuto dan Shihoko membiarkannya berpegang teguh pada fantasinya. Ia dapat menerimanya dan memprosesnya dengan caranya sendiri.

Lagipula, tidak dapat dipungkiri bahwa mereka masih memikirkanku ketika mereka menaruh hadiah-hadiah itu di samping bantalku. Aku tidak bisa marah karenanya.

Meskipun merekalah yang menyiapkan hadiah, mereka tidak pernah menunjukkannya, hanya merayakan bersamanya saat dia bersukacita menerima hadiah dari Sinterklas’. Kebaikan dan kasih sayang yang mereka tunjukkan, berbagi kebahagiaannya, merupakan hal yang nyata dan tidak dapat disangkal.

Mengetahui hal itu, Amane tidak bisa marah karena dibohongi. Namun, ia merasa sedikit malu, menyadari bagaimana orang tuanya telah mengawasinya, mempercayai kebohongan itu selama bertahun-tahun dengan senyum penuh kasih, yang membuatnya sedikit kesal. Namun, itu sendiri merupakan bagian dari pesonanya.

“Kamu memiliki orang tua yang hebat.”

“Ya. Aku bangga pada mereka dan tidak akan malu untuk bersama mereka ke mana pun aku pergi… Yah, sebenarnya, saat mereka bersama, aku merasa keadaan bisa jadi sedikit memalukan.”

Bagi Mahiru, Shihoko dan Shuuto tampak seperti sosok orang tua yang ideal, tetapi dari sudut pandang Amane sebagai anak mereka, ia sungguh berharap mereka mengurangi sedikit godaan.

“Hehe, mereka benar-benar pasangan yang sangat dekat, ya? Melihat mereka saja membuat wajahku terasa panas.”

“Jika hal itu mengganggumu, kamu selalu bisa menegur mereka, lho.”

“Aku tidak ingin ikut campur dalam momen mesra pasangan. Bukannya itu hal yang baik?”

“Tapi tetap saja…”

“Amane-kun, apa kamu tidak menyukai hal semacam itu?”

Ragu-ragu, hati-hati. Seolah mencari jawaban, Mahiru menatapnya dengan khawatir. Amane menggelengkan kepalanya pelan.

Bukannya aku tidak menyukainya. Lebih seperti, sebagai anak mereka, aku hanya berharap mereka tidak melakukannya di depan umum.

“Aku percaya bahwa orang tua harus menunjukkan kasih sayang, asalkan tidak berlebihan. Melihat orang tua terus-menerus bertengkar tidak baik untuk perkembangan emosional anak. Menunjukkan rasa saling menghormati dan peduli juga merupakan hal yang penting.”

“Ya, aku setuju.”

Apa yang dipikirkan Mahiru? Bagaimana perasaannya saat ini? Kenangan apa yang diingatnya? Dengan apa dia membandingkannya? Amane tidak perlu menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini—karena ia sudah tahu jawabannya. Namun, jika Amane menunjukkan bahwa ia sudah mengetahuinya, Mahiru hanya akan menjadi lebih sadar diri dan mencoba untuk mempertimbangkannya. Jadi, dengan wajah lurus, Amane mengangkat bahunya.

Saat ini, Mahiru sedang melihat segala sesuatunya secara objektif dan rasional, melihat segala sesuatunya sebagaimana adanya. Tidak ada tanda-tanda trauma atau keputusasaan dalam ekspresinya. Jelas bahwa dia hanya merasa iri terhadap orang tua Amane, dan karena itu, dia menghindari mengungkapkan kekhawatirannya untuk sementara waktu.

Yah, selama mereka tidak berlebihan, aku tidak keberatan. Sebenarnya, biasanya ayahku yang melakukannya tanpa menyadarinya. Namun, karena aku mengenalnya, mungkin ia tahu persis apa yang dilakukannya.

“Ah, ya…”

“Tunggu, kenapa kamu malah setuju di sana?”

“Oh, tidak apa-apa.” Mahiru mengalihkan pandangannya, pura-pura tidak tahu.

“…Ngomong-ngomong, apa pendapatmu tentang orang tuaku, Mahiru?”

“Dalam pandangan apa khususnya?”

“Maksudku, kamu tahu, kamu tampaknya sangat menyukai orang tuaku, kan? Aku hanya ingin tahu bagaimana penampilan mereka di matamu.”

“Bagiku, mereka tampak seperti pasangan yang luar biasa dan penuh kasih sayang.”

Hal ini pasti pendapatnya yang jujur dan tulus. Mahiru sering mengagumi Shihoko dan Shuuto. Baginya, mereka adalah pasangan yang sempurna dan bahkan mungkin keluarga yang ideal.

“Secara neurologis, dikatakan bahwa perasaan romantis cenderung mendingin setelah beberapa tahun karena perubahan hormonal, bukan?”

"Ya, aku pernah mendengarnya.

“Namun, orang tuamu tampaknya masih saling mencintai. Menurutku, itu karena perasaan sekilas mereka telah tumbuh menjadi sesuatu yang lebih besar. Ada banyak bentuk cinta, tapi aku mengagumi jenis cinta yang mereka bagikan dengan sepenuh hati.”

Kallimat yang diucapkan Mahiru dengan penuh kerinduan berasal dari harapan yang dalam dan tulus.

Aku harap kita bisa seperti itu juga," kata Amane. Yah, tentu saja dengan mempertimbangkan waktu dan tempatnya.

“…Ya, aku juga berharap begitu.”

Saat Amane melihat pipi pucat Mahiru tiba-tiba memerah, ia menyadari bahwa dirinya telah mengatakan sesuatu yang keterlaluan tanpa berpikir. Meski begitu—Amane tidak berniat menariknya kembali. Mahiru tampaknya sepenuhnya memahami maksud dari perkataannya bahwa mereka seharusnya seperti itu suatu hari nanti. Dia menempelkan telapak tangannya ke pipinya yang terbakar, mencoba mendinginkan panas yang berkobar di dalam dirinya, tetapi tangannya yang sedikit dingin tidak sebanding dengan kehangatan yang menyebar melalui dirinya. Amane juga merasakan panas yang meningkat dalam dirinya, dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda dalam waktu dekat.

 

 

Setelah tersipu malu berkali-kali, saling menatap lalu segera mengalihkan pandangan, waktu telah berlalu tanpa mereka sadari. Sekaranglah saatnya Mahiru pulang ke rumah.

Meskipun rasa panas dan canggung itu sudah lama menghilang, yang Amane rasakan sekarang adalah keengganan. Keengganan untuk berpisah dengannya. Mereka tidak merencanakan sesuatu yang istimewa untuk Natal, tetapi keinginan untuk tetap dekat, untuk tetap berada di sisinya, begitu kuat hingga meluap dari dalam.

Waktunya sudah larut malam.”

“Ya…itu benar.”

Mahiru pasti tahu sudah waktunya baginya untuk bangun dan pergi, seperti yang biasa dilakukannya, namun dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan berdiri.

Amane mengerti apa yang ingin disampaikan Mahiru. Dirinya tidak sebodoh itu, dan tidak pula terlalu banyak berpikir. Mahiru hanya ingin tinggal di sisinya sedikit lebih lama dan menghabiskan malam yang dingin ini bersamanya.

Umm, kamu tahu…”

Tenggorokan Amane terasa kering.

Mengingat mereka sudah menghabiskan banyak malam bersama dengan cara yang sangat sehat, ajakan ini seharusnya tidak membuatnya segugup ini. Namun, Amane tidak pernah menyangka bahwa kenyataan bahwa saat itu adalah malam Natal akan meningkatkan risikonya begitu besar.

Mahiru tersentak pelan mendengar ucapan Amane yang gugup, lalu dia meliriknya dengan sopan.

“…Malam ini mungkin malam Natal, tapi, yah…kita selalu bersama, jadi tidak ada yang benar-benar berbeda, tapi…”

Ya…

Bagaimana kalau…kita tidur bersama malam ini?”

“…O-Oke.” Setelah beberapa saat terdiam, Mahiru tergagap.

Pipi Mahiru langsung memerah seketika. Melihat pemandangan itu, Amane segera menyadari bahwa Mahiru salah paham dengan kata-katanya. Ia melambaikan tangannya dengan panik. Sejak menginap bersama terakhir kali, mereka hampir tidak pernah berbagi momen intim seperti itu, terutama karena sibuk, minta maaf, dan, yang terpenting, canggung. Namun sekarang malam Natal—waktu ketika pasangan cenderung semakin dekat. Amane pasti secara tidak sengaja membuat pikiran Mahiru berpacu ke arah itu.

“Ak-Aku tidak bermaksud begituan, oke? Hanya menginap biasa! Bukan sesuatu yang tidak senonoh, aku bersumpah!”

“Kamu tidak perlu panik begitu! Tidak apa-apa, aku mengerti!”

Amane tampak begitu putus asa hingga Mahiru pun mulai menggerakkan tangannya dengan panik. Dengan wajah mereka berdua yang sama-sama memerah dan bertingkah canggung, mereka merasa lebih malu dari sebelumnya. Saat mereka kembali tenang, absurditas situasi itu tiba-tiba menyerang mereka, dan mereka tertawa terbahak-bahak.

“…Mahiru.”

Setelah mereka tertawa dan kembali tenang, Amane dengan lembut memegang tangannya.

“Apa kamu tidak keberatan?”

Dirinya tidak akan memaksa Mahiru melakukan apa pun, dan jika dia merasa tidak nyaman, Amane siap untuk mundur. Mahiru juga memahami hal ini, karena dia tersenyum tipis dan lembut sebelum menggelengkan kepalanya.

“Y-Ya, itu tidak malah. Aku senang.”

“Suaramu kedengarannya sangat kaku.”

“I-Itu karena, di antara kita, semuanya berjalan, kamu tahu, datar, jadi bisa dibilang… seperti tidak terjadi apa-apa, kan? Jadi, aku tidak menyangka kamu akan mengundangku seperti ini…

“Benarkah? Sedikit pun tidak?”

“Baka.

Maaf.

Jika Amane terlalu banyak menggodanya, Mahiru pasti akan menemukan cara untuk membalasnya, jadi Amane meminta maaf dengan tulus sambil melepaskan tangannya dengan lembut. Mahiru sedikit cemberut sebagai tanggapan, bibirnya membentuk cemberut kecil yang menggemaskan.

“Apa kamu lebih suka jika aku sudah menduganya sejak awal?”

“Apa pun caranya.... aku tetap akan mengundangmu untuk tetap tinggal.”

“Duhh~.

Mahiru menepuk lengan atasnya pelan-pelan. Alih-alih menyerang dengan maksud memarahinya, itu adalah gerakan penuh kasih sayang. Seolah-olah dia berkata, Apa boleh buat deh”. Merasa semua tingkah lakunya itu menggemaskan, Amane melengkungkan bibirnya menjadi senyum main-main, mendorong Mahiru untuk berkata baka’ dengan lembut—hinaan yang benar-benar menggemaskan.

 

 

“Aku benar-benar tidak akan berbuat yang aneh-aneh, kok.”

Menghadap Mahiru saat mereka duduk di atas tempat tidur, Amane mengangkat tangannya sedikit ke atas, dengan telapak tangannya menghadap ke arahnya, untuk menunjukkan niatnya yang sehat.

Karena sudah waktunya untuk tidur, jadi mereka berdua sudah mandi dan berganti pakaian tidur. Namun, Amane tahu bahwa Mahiru masih merasa tegang karena harus duduk di ranjang yang sama dengan pakaian tipis seperti itu. Ia ingin meyakinkannya, jadi Amane berusaha sebisa mungkin untuk meyakinkan Mahiru bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Karena saat ini sedang musim dingin, Mahiru mengenakan gaun tidur yang terbuat dari kain yang agak tebal. Meski begitu, gaun itu masih jauh lebih tipis dari pakaiannya yang biasa. Mengenakan bahan yang sangat bagus, dia menatap Amane dengan pandangan sedikit tidak percaya.

“Aku benar-benar tidak akan mengingkari janjiku. Aku bersumpah. Jika kamu masih khawatir, apa kamu mau mengikat tanganku?”

“Mengapa kamu begitu keras pada dirimu sendiri? Aku percaya padamu, lho.”

“Aku tidak akan terlalu percaya padaku jika aku jadi kamu.”

Mengapa tidak!?

Tentu saja, Amane akan berhati-hati sebisa mungkin dan tidak pernah berniat mengingkari janjinya dengan Mahiru. Akan tetapi, bukannya berarti ia ingin Mahiru lengah sepenuhnya.

Amane diizinkan untuk menyentuhnya dalam batasan janji mereka. Dengan kata lain, selama masih dalam batasan tersebut, Amane bebas menjelajahi tubuh Mahiru yang belum dijelajahi kapan pun dirinya mau. Namun, itu adalah sesuatu yang hanya boleh dilakukan saat Mahiru menginginkannya dan bukan sesuatu yang boleh dipaksakan padanya. Hanya karena mereka menjalin hubungan berpacaran bukan berarti dia harus menerima semua yang ingin dilakukan Amane, dan jika Mahiru tidak menyukai sesuatu, dia berhak menolaknya.

Amane bersikeras melakukan ini karena ia merasa perlu untuk tidak terbawa suasana Natal dan berakhir melakukan sesuatu yang mungkin akan disesalinya. Namun, tatapan Mahiru tetap menunjukkan sedikit kejengkelan.

“…Mau sampai berapa lama kamu berencana untuk mempertahankan pola pikir itu?” tanya Mahiru.

“Sampai kamu merasa aman?”

“Aku sudah merasa aman, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan… Malah,an aku jadi lebih cemas saat kamu menolak menyentuhku sama sekali.”

Saat Amane berdiri di sana dengan tangan terangkat, Mahiru mengulurkan tangan ke arahnya. Terperanjat di tengah pose menyerahnya, Amane tidak dapat bereaksi tepat waktu dan mendapati dirinya dengan mudah ditangkap oleh lengan Mahiru. Daripada ditangkap, lebih baik mengatakan bahwa dia memeluknya. Merasa jengkel dengan perilaku pacarnya, Mahiru menunduk sedikit, cemberut, dan menempelkan dahinya di dada Amane.

“Kamu bilang kamu takkan melakukan apa pun…tapi kalau sekedar ciuman tidak ada salahnya, kan?”

“…Kamu cukup nakal juga, ya, Ojou-sama?”

Amane bertanya-tanya apa yang akan dilakukannya jika setiap bagian dari pengendalian dirinya mulai hancur satu per satu karena godaan Mahiru. Namun karena ia tidak ingin memberi Mahiru masalah yang tidak diinginkan, ia segera menenangkan diri dan menyingkirkan pikiran itu sebelum memeluk punggung Mahiru. Saat ia merasakan sensasi lembut dan unik dari tubuh Mahiru, Amane menatap mata berwarna karamel Mahiru, yang dipenuhi dengan sedikit rasa kesal dan gelisah, menatapnya dari dekat.

Saat matanya, yang kini tersembunyi di balik kelopak matanya yang pucat, menghilang dari pandangan, Amane tak dapat menahan rasa sesal. Perlahan, ia membungkuk dan membungkam bibirnya, membungkam kata-kata manis yang baru saja diucapkannya.

EranganMmm” yang samar dan manis terdengar lemah, langsung mencapai telinganya.

Bibir Mahiru yang terasa begitu lembut dan ranum sehingga sulit dipercaya bahwa bibirnya seperti bibirnya sendiri, terasa lembut dan lembap. Hanya dengan menyentuhnya, bibirnya terasa semakin hangat, seolah-olah meleleh karena sentuhan lembut tubuhnya.

Aku penasaran apakah rasa manis itu berasal dari sini... Saat Amane perlahan menyentuh bibir Mahiru dengan lidahnya, bibirnya melunak, meleleh di bawah sentuhannya. Bahkan tubuhnya, yang sedikit menegang, mulai rileks, kehangatan dan kelembutan yang dirasakannya tumbuh dan menyebar lebih jauh.

Merasa bahwa jika ia terus menikmati buah manis ini, ia mungkin tidak akan bisa berhenti, Amane menjaga ciumannya tetap ringan, hanya menyentuh bibirnya sekilas sebelum melepaskannya. Kelopak mata Mahiru perlahan terangkat, memperlihatkan mata berwarna karamel yang dipenuhi kilau manis. Amane merasa lega karena ia telah berhenti saat melakukannya.

Kalau saja dirinya melihat mata seperti itu di tengah-tengah ciuman, Amane tidak yakin ia bisa berhenti menciumnya.

Napas yang keluar dari bibirnya yang sekarang sedikit basah lebih lembap dari sebelumnya, dan suara yang keluar bersamanya disertai dengan rasa manis yang bertahan di udara. Saat Amane menggigit bibirnya, menggunakan rasa sakit untuk menenangkan dirinya, Mahiru mendongak dengan mata yang telah kehilangan sebagian kilaunya sebelumnya. Gerakan polosnya dengan memiringkan kepalanya sedikit, seolah merasa penasaran, begitu menggemaskan sehingga Amane merasakan dorongan kuat untuk memeluknya erat dan menciumnya dalam sekali lagi. Namun, bagian pikirannya yang tenang yang tahu apa yang akan terjadi jika ia menyerah memperingatkannya untuk berhenti, memungkinkannya untuk tetap bertahan.

“…Aku merasa akhir-akhir ini aku banyak berlatih…” gumam Amane.

Mahiru, yang selalu bersikap defensif terhadap orang lain, bersikap lembut dan penuh kasih sayang di sekitar orang-orang yang dekat dengannya—terutama dengan Amane, pacarnya. Dia suka dimanja dan menghargai kedekatan fisik di atas segalanya. Berkencan dengan seseorang seperti dirinya, mau tak mau Amane merasa bahwa pengendalian diri dan kemampuannya untuk menjaga naluri yang lebih mendasar dari bagian tubuh bawahnya terus dilatih. Namun, itu bukanlah sesuatu yang bisa diakui Amane kepadanya.

“Kurasa hasil latihanmu sudah terlihat sejak lama,” Mahiru mengatakan itu dengan santai dan polos, dia menempelkan telapak tangannya ke tubuh Amane.

Amane menggigit bagian dalam pipinya, berusaha tidak menunjukkan betapa terguncangnya dirinya, dan menggelengkan kepalanya. “Aku tidak bermaksud begitu. Aku lebih berbicara tentang, kamu tahu, pengendalian diriku dan sejenisnya.”

“…Apa menurutmu itu akan runtuh?”

“Aku tidak akan mengingkari janji kita atau melewati batas. Namun, tetap saja rasanya sulit untuk menahan diri dan sedikit gelisah… Bahkan dengan semua itu, aku tetap mencintaimu, yang membuatku ingin lebih menghargaimu.”

Entah Mahiru melakukannya dengan sengaja atau tidak, Amane sering tidak bisa membedakannya, tetapi Mahiru punya cara untuk memicu nafsunya. Bagaimanapun, dia tidak akan melakukannya—itu lebih seperti bentuk pelatihan baginya, jadi bisa dibilang, itu bukan masalah. Tetapi Mahiru begitu berharga baginya sehingga keinginan untuk menyentuhnya lebih banyak dan memeluknya lebih erat terus tumbuh dalam dirinya.

Mencintai seseorang terlalu banyak juga bukan hal yang mulus… Amane merenung.

Mendengar jawabannya, Mahiru mengedipkan matanya berulang kali. “…Aku benar-benar sangat dicintai, ya?”

“Kenapa kamu berkata seperti itu urusan orang lain?”

“T-Tyolhong jhangyan chubiyt pyipyiku!”

“Kenapa kamu kehilangan rasa percaya diri saat kamu sadar kamu dicintai?”

Baru-baru ini, Mahiru dengan bangga menyatakan bahwa dia dicintai oleh Amane, sepenuhnya menyadari kasih sayang yang diterimanya. Namun, untuk beberapa alasan, komentarnya kali ini terlalu acuh tak acuh. Dia berbicara seolah-olah mengamati dirinya sendiri dari luar sambil melihat ke dalam. Amane dengan lembut mencubit pipinya yang lembut, merasa bahwa ekspresi cintanya mungkin masih kurang meskipun ia sudah berusaha sebaik mungkin.

Setelah menikmati dengan puas sensasi lembut dan elastis dari pipi pucat Mahiru yang seperti kue mochi, Amane melepaskannya dengan gerakan cepat. Pandangan matanya bertemu dengan mata Mahiru saat dia menekan pipinya yang sedikit memerah dengan tangannya.

“Bu-Bukannya aku kehilangan rasa percaya diri, oke? … Hanya saja, aku baru sadar, di saat-saat seperti ini, tidak peduli seberapa keras kamu berusaha menahan perasaanmu, kamu selalu mengutamakan diriku.”

Kalimat “menahan perasaanmumembuat Amane menyadari bahwa Mahiru menyadari bahwa dirinya tengah berjuang untuk mengendalikan diri, yang membuatnya ingin membenamkan wajahnya di antara kedua tangannya. Namun, Mahiru tidak kelihatan tidak nyaman; sebaliknya, dia tampak sedikit malu, tatapannya sedikit mengembara.

Amane dan Mahiru pernah saling terbuka satu sama lain, memperlihatkan jati diri mereka yang sebenarnya. Oleh karena itu, Mahiru tampaknya menyadari situasi itu dengan caranya sendiri. Bagi Amane, alasan mengapa ia memilih untuk tidak menghubunginya dengan sembarangan adalah sederhana—perbedaan dalam apa yang ada di ujung gairah mereka terlalu signifikan. Ia tidak ingin mengambil risiko sesuatu yang dapat berakibat buruk bagi Mahiru, jadi ia bersikap sungkan.

“Aku bisa menangani semuanya sendiri, tetapi dalam kasusmu, Mahiru, semuanya sedikit lebih rumit… Kamu berarti segalanya bagiku, dan aku tidak ingin mengganggu jalan yang kamu buat sendiri. Kumohon, biarkan aku mengurusmu.”

“…Baiklah,” jawab Mahiru lembut.

Selama Mahiru benar-benar mengerti betapa berarti keberadaannya bagi Amane, itu sudah cukup baginya.

Ekspresi Mahiru melembut dengan sedikit rona merah saat dia dengan malu-malu namun tulus menerima kata-katanya. Amane tidak dapat menahan diri untuk berpikir bahwa mungkin dirinya dapat menunjukkan kasih sayangnya sedikit lebih banyak, cukup agar Mahiru benar-benar merasakannya.

Sambil mencondongkan tubuhnya sedikit, Amane menatap ke bawah ke arahnya dari jarak yang sangat dekat sehingga bisa ditutup hanya dengan gerakan kecil. Baiklah, jika kamu ingin merasa lebih dicintai, aku bisa mencurahimu dengan banyak kasih sayang sekarang—hanya sedikit saja tanpa melanggar janji kita, tentu saja."

“Fweh!?” Mahiru menjerit kaget. Itu adalah tawaran yang tidak pernah diharakannya, karena dalam sekejap, wajahnya berubah dari memerah menjadi terperangah karena kebingungan.

Kali ini, Amane tidak menarik kembali perkataannya. Ia sudah mempertimbangkan segala cara yang mungkin bisa disalahartikan Mahiru. Ia mengulurkan tangannya lagi, melingkarkan lengannya di punggung ramping Mahiru. Ia bisa merasakan ketegangan tubuh Mahiru dan kehangatan yang muncul di antara mereka. Namun, Mahiru tidak mencoba menjauh. Sebaliknya, dia malah memejamkan mata, meninggalkan apa yang ada di sebelahnya. Amane dengan lembut mendekatkan bibirnya ke telinga Mahiru dan berbisik.

Sini, peluk. Saat dia memeluk tubuh mungil Mahiru dengan penuh kasih sayang, ekspresi wajah Mahiru berubah drastis. Setelah sesaat kebingungan, ekspresi kekecewaan tampak jelas di wajahnya, membuat perasaannya tak terbantahkan.

“Kenapa kamu terlihat kecewa?” tanya Amane kemudian.

Bu-Bukan apa-apa.”

“…Kamu tahu, kamu gampang sekali terbaca tau, Mahiru.”

Ka-Karena aku cuma menunjukkannya padamu, Amane-kun!”

“Aku tahu… Jadi, silakan—tunjukkan lebih banyak lagi perasaanmu padaku. Hanya aku.”

“…Baka,” bisiknya, suaranya lembut.

Ya.

Peluk aku lebih erat lagi.”

“Jika aku melakukannya lagi, kau akan tergencet.”

Tubuh ramping Mahiru, meskipun tidak rapuh, tampak begitu ramping dibandingkan dengan tubuhnya sendiri. Amane tidak dapat menahan rasa gugupnya karena jika ia memeluknya terlalu erat, tubuhnya akan hancur. Tubuhnya memang sekecil itu.

“Aku tidak serapuh itu, tahu.”

“Benarkah? Tapi kamu sangat kurus.”

"Aku benar-benar bertambah berat badan akhir-akhir ini... karena mencicipi kue. Meskipun aku memastikan untuk segera menurunkan berat badan!

“Kamu ini sangat pekerja keras sekali…”

Mahiru telah menempati sedikit lebih banyak ruang di dunia karena banyaknya kue percobaan untuk ulang tahun Amane. Meskipun, Amane tidak menyadari perbedaannya. Bahkan jika ada beberapa fluktuasi pada bentuk tubuhnya, Mahiru kemungkinan besar telah menjaga semuanya tetap seimbang melalui diet dan olahraga yang cermat.

“Kamu tidak perlu memaksakan diri untuk menurunkan berat badan, oke? Kesehatanmu—baik fisik maupun mental—harus selalu diutamakan.”

“Aku ingin bangga dengan diriku sendiri, jadi aku ingin mempertahankan bentuk tubuh yang memuaskan. Tentu saja, aku selalu menjaga semuanya dalam batas yang sehat.”

Sebagai pacarnya, Amane menganggap dia terlalu kurus dan tidak keberatan jika berat badannya bertambah sedikit. Namun, ia tahu kalau rasanya kurang sopan jika mengganggu wanita yang terus-menerus mengejar kecantikan. Pasti ada bentuk tubuh yang sehat dan ideal untuknya, dan bukan haknya untuk mengomentarinya dengan sembarangan. Yang bisa dikatakan Amane hanyalah ia tidak ingin Mahiru terlalu memaksakan diri saat mengelola berat badannya.

Baiklah. Kalau begitu, aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi. Jangan terlalu memaksakan diri... Kalau kau akhirnya menderita, maka aku juga akan menderita.

“Iya.

Amane merasa senang karena Mahiru menerima perhatiannya. Dirinya dengan hati-hati menghindari menyentuh bagian perut Mahiru yang membuatnya tampak malu. Sebaliknya, Amane memeluknya dengan lembut, hanya memikirkan bagian-bagian tubuhnya yang menekannya—namun, tidak peduli bagaimana ia memikirkannya, Mahiru tetap merasa ramping seperti sebelumnya.

“…Persis seperti yang kupikir, kamu sangat kurus. Aku sudah agak gemuk, jadi bandingkan dengan kita sekarang…”

“Itu hanya karena tubuhmu sebelumnya hanya tulang dan kulit, Amane-kun.”

Aku tidak bisa membantahnya.”

Ketimbang menambah berat badan, kamu justru membentuk otot karena berolahraga. Postur tubuhmu juga membaik, yang pada gilirannya membuat bentuk tubuhmu lebih ramping. Aku sama sekali tidak merasakan lemak berlebih.”

Pada waktu itu, saat ia selalu membungkuk dan melihat ke lantai, Amane menyadari betul bahwa badannya kurus dan lemah. Jadi, masuk akal jika ia menjadi lebih besar setelah latihan dibandingkan saat itu, dan sepenuhnya mengerti apa yang dikatakan Mahiru. Meskipun begitu…

“Kamu tidak segan-segan menyentuhku di mana pun kamu mau, ya.”

Amane terkejut melihat betapa beraninya Mahiru. Dia membiarkan tangannya meluncur di atas tubuh Amane, meskipun di atas piyamanya. Tindakan tersebut tidak mengganggunya, dan Amane tidak merasa rugi sama sekali, tapi mau tak mau dirinya jadi berpikir tentang seberapa nyamannya Mahiru dengan tubuhnya dibandingkan dengan masa lalu. Namun, jika Mahiru tahu apa yang dipikirkan Amane, dia mungkin akan memerah dan mulai merajuk.

Apa aku perlu merasa sungkan?”

“Oh tidak, bukan apa-apa. Aku hanya tidak mengerti apa menariknya menyentuh badanku.”

“Aku suka menyentuhmu, Amane-kun.”

“Kamu tidak seharusnya mengatakannya seperti itu. Bisa jadi itu disalahartikan.”

Cara Mahiru mengatakannya dapat dengan mudah disalahpahami, tetapi Amane tahu bahwa Mahiru tidak bermaksud apa-apa lagi, jadi ia hanya memberikan teguran ringan. Namun, Mahiru, yang tidak puas dengan komentarnya, mendengus Hmph, jelas tidak senang dikoreksi.

Cuma ada kita di sini, jadi tidak ada ruang untuk kesalahpahaman.”

“Ya, itu benar, tapi…”

Selain itu, bukannya kamu juga suka menyentuhku, Amane-kun?”

“…Ya, itu benar ,” Amane mengakui.

Apa dia benar-benar mengira ada orang yang tidak suka menyentuh pasangannya? Amane tidak bisa membayangkan ada orang yang merasa seperti itu.

Tentu saja, Amane suka menyentuh Mahiru. Wajar saja. Jika diizinkan, Amane akan semakin ingin menyentuhnya, untuk mengetahui segalanya tentangnya, secara mendalam dan sepenuhnya. Ia menginginkan Mahiru seutuhnya. Namun, masih belum saatnya untuk bertindak berdasarkan perasaan yang mendidih di dalam dirinya, terutama ketika Amane ingin menghindari kemungkinan menyakitinya. Amane memendam perasaan ini di dalam dirinya, hampir terkejut pada dirinya sendiri betapa kuat perasaannya terhadapnya sambil berusaha sebaik mungkin untuk menyembunyikannya dari Mahiru. Entah dia menyadarinya atau tidak, Mahiru dengan polos dan tidak sengaja mengipasi api, membuat keadaan sedikit lebih sulit bagi Amane.

Saat Mahiru, yang berada di pelukannya, berbisik, Maukah kamu menyentuhku? sifatnya yang menggoda namun polos membuat kepala Amane pusing sejenak. Untungnya, itu tidak cukup membuatnya kehilangan ketenangannya, dan untuk itu, dirinya bersyukur.

Amane tidak bisa membiarkan dirinya dipermainkan begitu saja. Ia tidak bisa membiarkan dirinya menari di telapak tangan Mahiru yang tidak menyadari apa pun tanpa melakukan apa pun sebagai balasannya. Sebagai tindakan balas dendam yang jenaka, Amane dengan lembut membelai area di sekitar perutnya, tempat dia sedikit merasa malu, dan menelusuri garis-garis ramping tubuhnya dengan ujung jarinya. Saat tangannya membelai pinggangnya, yang terlalu ramping untuk menunjukkan tanda-tanda berat yang pernah dia sebutkan, Mahiru menggeliat karena terkejut, jelas terkejut.

“Bukannya kamu sendiri yang memintaku untuk menyentuhmu?”

“Ak-Aku rasa itu bukan inti persoalannya!”

“Lalu di bagian mana kamu ingin aku menyentuhnya, Mahiru?”

“…Yang penting bukan di mana aku ingin kamu menyentuhku, Amane-kun. Yang penting di mana kau ingin menyentuhku.”

Tapi aku ingin menyentuh bagian tubuh yang kamu inginkan... Aku ingin mendengarnya dari bibirmu sendiri, bisik Amane di telinganya. Saat kata-kata itu terdengar, wajah Mahiru perlahan memerah karena panas yang menjalar di pipinya.

Apa pun yang dibayangkan Mahiru, wajahnya berubah merah padam saat dia segera berbaring di tempat tidur, memunggungi Amane seolah-olah ingin melarikan diri. Menyadari kalau dirinya terlalu menggodanya, Amane memutuskan untuk tidak mendesaknya lebih jauh tentang imajinasinya. Sebaliknya, ia dengan lembut menyentuh ruang di sampingnya dan duduk dengan tenang.

Tubuh Mahiru bergetar hebat, mungkin karena dia berharap Amane akan melakukan sesuatu. Amane menahan tawanya agar Mahiru tidak menyadarinya dan tersenyum. Dirinya merasa geli melihat reaksi pacarnya yang begitu lemah saat digoda. Berhati-hati agar tidak berbaring di atas helaian rambut pirangnya yang berserakan, Amane perlahan bergeser mendekati Mahiru dan berbaring di sampingnya.

“Jangan khawatir, aku takkan melakukan apa pun yang tidak kamu suka… Tapi, setidaknya biarkan aku memelukmu seperti ini.”

Bohong rasanya jika Amane tidak ingin menyentuhnya, dan mana mungkin ia bisa mengatakan tidak ingin mengulangi apa yang terjadi pada malam festival budaya itu. Namun, Amane cukup waras untuk menyimpan perasaan itu jauh di dalam hatinya untuk sementara. Sejujurnya, Amane cukup yakin Mahiru tidak akan menghentikannya melakukannya lagi, tetapi ia mencoba menahan diri untuk tidak memaksanya melakukan hal seperti itu kecuali Mahiru benar-benar menginginkannya. Dan lagi pula—jika mereka begadang terlalu lama, itu mungkin akan mengganggu rencananya nanti.

Apa kamu beneran yakin?” tanya Mahiru berbisik.

"Tentu saja. Aku takkan melakukan apa pun malam ini sejak awal. Aku sebenarnya berpikir kita harus tidur lebih awal. Lagipula, malam ini adalah malam ketika Sinterklas mengunjungi anak-anak yang baik.

“…Ih, dasar.” Mahiru tertawa pelan, mungkin mengingat percakapan mereka sebelumnya.

Amane tersenyum hangat padanya. Rasa malunya pasti sudah berkurang, karena dia membalas senyum Amane dengan ekspresi malu-malu. Amane lalu dengan lembut melingkarkan lengannya di punggung Mahiru, menariknya lebih dekat, dan tanpa perlawanan, Mahiru duduk dengan nyaman dalam pelukannya.

Malam ini, Amane tidak bisa menawarkan lengannya sebagai bantal, jadi mereka harus puas hanya dengan tetap berdekatan. Namun, Mahiru tampaknya tidak mengeluh sama sekali—sebenarnya, justru sebaliknya. Dia menempelkan wajahnya dengan puas di dada Amane, sangat puas dengan posisi itu.

“…Sinterklass tidak datang untukku, tapi aku menerima begitu banyak hadiah darimu sebagai balasannya, Amane-kun. Aku sudah sangat senang.”

Rasanya bakal tidak seru kalau itu sudah cukup memuaskanmu. Ini baru permulaan, bukan?”

Amane tidak dapat mengubah kenangan masa kecil Mahiru yang indah, tetapi ia mampu memuaskan hatinya sekarang. Sama seperti ia telah dihujani cinta dari orang tuanya, ia ingin memberikan kehangatan dan perhatian yang sama kepada Mahiru—cinta bukan sebagai orang tua, tetapi sebagai pacarnya.

“…Tolong jangan bertindak terlalu jauh, oke? Kamu, um, jauh lebih bersemangat dari yang kamu kira, Amane-kun.”

“Aku akan melakukan hal-hal dengan santai agar kamu tidak kepanasan. Cukup didihkan dengan api yang tepat. Itu sempurna.”

“Tolong jangan membuatku mendidih!”

“…Jadi, jawabannya berarti tidak?”

Saat Amane menatap mata Mahiru, menyadari bahwa dia sudah mulai menghangat, dia tersenyum padanya. Tidak dapat menanggapi lebih jauh, bibir merah muda lembut Mahiru bergetar tanpa suara. Dia kehilangan kata-kata.

Setelah bisikan lembut yang hampir melelehkan hati, Aku tidak bilang begitu kok... keluar dari bibir Mahiru, Amane tidak dapat menahan diri. Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, ingin merasakan kehangatan yang menawan dari Mahiru, yang terasa sedikit lebih hangat dari biasanya. Karena merasa malu, Mahiru membenamkan wajahnya di dada Amane untuk menghindari tatapannya, tidak menyadari bahwa reaksinya yang menggemaskan hanya membuat senyum Amane semakin lebar.

Seperti yang dijanjikan, Amane menepuk punggungnya dengan lembut untuk menenangkannya. Mahiru perlahan mengangkat wajahnya dan menatapnya. Tampaknya dia tidak merajuk sama sekali—matanya menunjukkan sedikit rasa malu, tetapi dia menatap langsung ke mata Amane sejenak sebelum menutupnya.

“Selamat malam, Amane-kun.”

Suaranya hanya bisikan—tenang, manis, dan puas.

Tanpa menunggu jawaban Amane, Mahiru membenamkan wajahnya kembali ke dada Amane, mencari posisi tidur yang nyaman. Amane menghela napas pelan, mereregangkan tubuhnya dan menyesuaikan posisi, memeluknya dengan lembut agar Mahiru bisa tidur dengan nyaman.

“…Selamat malam, Mahiru.” Bisiknya lembut, membujuknya agar tertidur.

Mahiru benar-benar rileks, bersandar padanya dan sepenuhnya merengkuh tubuhnya dalam pelukannya. Saat napasnya mulai teratur, Amane bisa merasakan sedikit ketegangan yang tersisa dari tubuhnya. Dengan ekspresi lembut, Amane terus memeluknya dengan lembut, membelainya dengan hangat, hingga Mahiru benar-benar tenggelam dalam dunia mimpi.

 

 

“Sekarang…”

Amane menunggu dengan sabar hingga Mahiru tertidur lelap. Setelah yakin Mahiru sudah tertidur nyenyak, ia berbisik pada dirinya sendiri dengan suara yang nyaris tak terdengar dan dengan hati-hati, dan pelan-pelan, mulai bangkit dari tempat tidur.

 

 

Di antara mereka berdua, Mahiru biasanya yang bangun pagi. Namun hari ini, Amane yang bangun lebih dulu. Entah karena ingin melihat wajah Mahiru yang sedang tidur atau ingin melihat reaksinya, tubuhnya terbangun secara alami tanpa ia sengaja.

Jika Mahiru bangun lebih dulu, Amane pasti kecewa karena tidak melihat reaksinya, tetapi sepertinya kekhawatiran itu sia-sia. Di sampingnya ada pacarnya, yang wajahnya yang tenang dan tidak terjaga saat tidur terpampang.

Wajahnya yang manis dan polos saat tidur—mungkin merupakan cerminan kenyamanan yang dirasakannya di samping Amane—merupakan gambaran kemurnian yang sesungguhnya. Ekspresi yang begitu damai dan bebas dari kekhawatiran atau kecemasan sekecil apa pun. Bahkan di ruangan yang remang-remang, di mana satu-satunya cahaya adalah matahari pagi yang mengintip melalui tirai, wajah tidur Mahiru tampak bersinar lebih terang daripada apa pun—tidak diragukan lagi karena Amane benar-benar terpikat padanya.

Setelah beberapa menit mengawasinya, yang tidak pernah membuatnya bosan, Amane menyadari ada sedikit kedutan. Mungkin karena dia telah bergerak, gerakan lembut itu tampaknya membangunkannya. Bulu mata panjang Mahiru bergetar, dan dengan gerakan lambat dan hati-hati, kelopak matanya terbuka.

Matanya yang berwarna caramel yang masih tidak fokus dan kabur, belum sepenuhnya terjaga. Kelopak matanya terkulai, hampir menutup sekali lagi. Kemudian, dia sepertinya merasakan kehadiran Amane, dan setelah beberapa saat kelinglungan, dia perlahan bangkit, menggosok matanya dan dengan malas melirik ke sekeliling—sampai dia membeku.

Matanya yang setengah terjaga langsung terbuka karena terkejut.

“Hah—?”

"Selamat pagi."

Amane tahu betul bahwa kehadirannya bukanlah hal yang mengejutkannya.

Buktinya, pandangan Mahiru tidak tertuju padanya yang sedang berbaring di sampingnya, melainkan pada suatu benda yang terletak di samping bantalnya.

“…Ada apa?”

Amane tahu bahwa tindakannya sedikit jahil, tapi ia tidak bisa menahan diri untuk berpura-pura tidak tahu dan bertanya meskipun sudah tahu alasannya. Tetap saja, ia ingin melihat reaksi Mahiru apa pun yang terjadi. Saat Amane duduk, ia mencondongkan tubuh untuk melihat wajah Mahiru, yang sekarang tampak bingung dan sedikit gelisah.

“Hah? Ko-Kotak?”

“Ya, pasti ada beberapa kotak.”

Meskipun Mahiru sangat terkejut hingga hanya bisa mengucapkan satu kata, Amane benar-benar mengerti apa yang ingin diucapkannya. Dua kotak kecil yang dibungkus rapi berada di sisi tempat tidurnya, tertata rapi di samping bantal.

“T-Tapi bagaimana?”

Yah, ada kakek tua periang dengan janggut putih besar tidak... mengirimkannya—ini sebenarnya dari pacarmu yang tampak pemarah. Aku harap kamu memaafkanku untuk itu.

“K-Kita sepakat kalau tidak akan ada hadiah…” Mahiru cemberut pelan. Dengan suara lemah dan gemetar penuh keluhan, dia dengan pelan memukul dada Amane. Matanya dipenuhi kebingungan, frustrasi, dan kegembiraan, membuatnya tidak yakin emosi mana yang paling kuat.

Beberapa minggu yang lalu, saat ulang tahun Mahiru, mereka sepakat untuk tidak bertukar kado Natal saat ini. Mahiru tidak ingin Amane bersusah payah memilih kado lain saat dirinya sudah sibuk. Sebagai gantinya, mereka memutuskan untuk menghabiskan banyak waktu bersama di hari Natal sebagai gantinya. Namun…

Sejujurnya, aku sudah lama mengetahui bahwa Mahiru diam-diam berharap Sinterklas mengunjunginya, bahkan sebelum kami membicarakannya.

Menurut Mahiru, Sinterklas tidak pernah sekalipun mengunjunginya, dan dia juga tidak percaya padanya. Jadi, Amane diam-diam berencana untuk mengejutkannya kali ini dengan membiarkannya merasakan kejutan menemukan hadiah di dekat bantalnya saat dia tidur.

"Kami melakukannya. Maaf.

“Itu tidak adil!” Mahiru berseru.

Amane benar-benar merasa bersalah karena mengingkari janjinya, dan yang bisa dilakukannya hanyalah meminta maaf. Namun, dia tidak menyesali tindakannya sedikit pun. Lagipula, ini bukanlah sesuatu yang dia lakukan sepenuhnya atas kemauannya sendiri.

“Namun, bukan cuma aku saja yang melakukannya.”

Hah?

Ibu dan Ayah juga mengirimimu hadiah.”

Ya, ada dua kotak yang dibungkus. Satu dari Amane, dan satu lagi datang bersama pohon Natal yang dikirim orang tuanya.

Awalnya, Amane bertanya-tanya apa itu, tapi kemudian ia menerima pesan dari Shihoko yang mengatakan, “Yang ini hadiah Natal untuk Mahiru-chan! Selagi kamu melakukannya, berpura-puralah menjadi Sinterklas untuknya!” Jadi, Amane menaruhnya di samping hadiahnya di dekat bantal. Amane tidak tahu bagaimana ibunya meramalkan dia akan memiliki kesempatan untuk menaruhnya di sana di tengah malam, yang sedikit meresahkan, tetapi jika itu membuat Mahiru lebih bahagia, tidak ada alasan baginya untuk tidak melakukannya.

“…Shihoko-san, Shuuto-san…”

“Sebagai pengingat, aku tidak tahu hadiah apa yang mereka kirimkan. Aku hanya dikontrak oleh Cabang Fujimiya dari organisasi Sinterklas untuk menangani logistik.”

“Hehe,” Mahiru terkekeh pelan.

Mahiru mengingat percakapan mereka tadi malam dan tertawa pelan, rasa frustrasi dan kebingungannya sebelumnya sepenuhnya tergantikan oleh kebahagiaan yang lembut. Sambil memegang kedua kotak itu di dadanya, dia memandanginya dengan saksama. Melihatnya seperti itu, Amane mengulurkan tangan dan menepuk kepalanya dengan lembut, merapikan rambutnya yang sedikit kusut.

“Aku ragu orang tuaku akan mengirimimu sesuatu yang aneh, tapi aku tidak tahu apa yang mereka pilih untukmu.”

Mengetahui seberapa besar Shihoko memanjakannya, tidak mengherankan jika dia memberikan apa saja untuk Mahiru. Namun, dengan adanya Shuuto yang membujuknya untuk berpikir jernih, setidaknya itu adalah hadiah yang biasa saja.

Kotak itu berbentuk persegi panjang dan tipis, hanya sedikit lebih besar dari ukuran yang muat di telapak tangannya. Kotak itu terasa ringan saat dipegang Mahiru, dan tidak ada suara saat bergerak, jadi Amane menduga ada semacam benda kecil di dalamnya. Dirinya tidak mengira Shihoko akan menaruh sesuatu yang mungkin dianggap tidak nyaman oleh anak SMA, tapi mau tak mau Amane merasa ragu, mengingat sifat ibunya... Kemudian, ia melihat Mahiru meliriknya seolah bertanya apakah dia boleh membuka kotak itu.

Tentu saja, karena itu adalah hadiah dari Mahiru, Amane mengangguk, memberi isyarat bahwa dia bebas melakukan apa yang dia suka. Dengan sedikit gugup, Mahiru dengan hati-hati melepaskan pita dan mengupas kertas pembungkusnya, memastikan agar tidak merobeknya.

Dia pasti berhati-hati agar tidak merobek kertasnya agar bisa dipakai lagi. Amane tersenyum, mengingat sifat Mahiru yang selalu teliti. Tak lama kemudian, kotak itu terlihat dari balik kertas pembungkus yang dikupas dengan hati-hati.

Saat itu, Amane mengenali kotak itu dan sudah bisa menebak apa isinya. Namun, Amane tidak ingin merusak kegembiraan Mahiru, jadi ia menutup mulutnya rapat-rapat dan memperhatikan tangan Mahiru yang berhati-hati membuka kotak itu.

Dengan takut-takut, Mahiru perlahan mengangkat tutup kotak itu.

Di dalamnya ada dua alat tulis.

“Pulpen dan pensil mekanik,” kata Mahiru dengan hati-hati.

Pensil mekanik dan pulpen kayu tersusun rapi di tempatnya. Dihiasi aksen kuningan yang berkilau saat terkena sinar matahari pagi, warna kayu yang hangat melengkapi jemari pucat Mahiru dengan indah.

“Mereka pasti sudah memutuskan ini bersama-sama. Ini benar-benar praktis. Tidak goyang, menulis dengan lancar, dan terasa nyaman di tangan,” Amane menjelaskan.

“Kupikir aku mengenali benda-benda ini,” kata Mahiru sambil tersenyum. “Desainnya sama dengan yang ada di kotak pensilmu, bukan?”

Amane tahu apa isinya bahkan sebelum Mahiru membuka kotaknya, karena orang tuanya telah memberinya seperangkat alat tulis dan jam tangan yang sama saat ia pertama kali masuk sekolah SMA.

Orang tuanya memiliki penilaian yang tajam. Meskipun mereka tampil dengan gaya, mereka mengutamakan kepraktisan saat memilih hadiah. Itulah sebabnya mereka memilih sesuatu yang berguna dan tahan lama untuk hadiah masuk SMA Amane. Meskipun kayu yang digunakan dalam set Mahiru berbeda dari milik Amane, merek dan serinya sama. Amane secara pribadi dapat menjamin kenyamanan dan ketahanannya, karena ia telah menggunakannya dalam waktu yang lama.

Mereka mungkin menghabiskan waktu untuk memutuskan apa yang akan dibeli. Kurasa mereka merasa ragu untuk memberimu sesuatu yang tidak akan kamu gunakan. Mereka tidak memilih pulpen, mungkin karena, yah, anak SMA tidak punya banyak kesempatan untuk menggunakannya.

Hanya dengan menerima hadiah dari mereka saja sudah membuatku tersentuh…”

“Begitulah yang namanya orang tua. Mereka ingin memberimu sesuatu yang praktis yang akan melekat pada dirimu, dan dapat kamu gunakan untuk jangka waktu yang lama.”

Di mata Shihoko dan Shuuto, Mahiru sudah menjadi putri mereka. Mereka ingin berperan sebagai orang tua dalam kehidupan Mahiru, dan pilihan hadiah mereka mencerminkan sesuatu yang akan mereka pilih untuk anak mereka sendiri.

Meskipun Amane merasakan campuran antara kekaguman dan sedikit kecemburuan pada seberapa baik orang tuanya memahami apa yang akan membuat Mahiru bahagia, perasaan itu dengan cepat menghilang. Mahiru, tersipu dan berseri-seri karena kegembiraan, dengan malu-malu berkata, “Aku sangat bahagia. Aku harus berterima kasih kepada mereka nanti.”

Kegembiraannya yang tulus memenuhi ruangan, dan semua emosi rumit yang dimiliki Amane pun sirna. Lagipuka, yang terpenting adalah melihat Mahiru bahagia. Kecemburuannya yang remeh sama sekali tidak penting—sangat konyol untuk menyimpannya. Sebaliknya, Amane berterima kasih kepada orang tuanya karena telah membawa kebahagiaan bagi Mahiru.

Mahiru menutup tutupnya dengan lembut dan gerakan hati-hati, memegangnya seperti barang berharga.

Sebagai orang tua pengganti Mahiru, Ibu dan Ayah pasti senang melihatnya terlihat bahagia.

Jika saja Mahiru tidak mengenakan pakaian tidurnya, Amane bisa saja merekam momen saat ia membuka hadiah itu dan mengirimkannya kepada mereka—tetapi Amane segera menepis pikiran itu. Yang lebih penting adalah memberi Mahiru pengalaman bangun tidur dan mendapati hadiah telah menunggunya, sesuatu yang belum pernah dia alami sebelumnya.

Setelah menutup kotak dengan hati-hati dan melipat kertas kado serta pita dengan rapi, Mahiru meletakkan hadiah dari Shihoko dan Shuuto di meja samping tempat tidur. Kemudian, dia mengalihkan pandangannya kembali ke Amane. Yang tersisa di tangannya adalah hadiah yang telah disiapkan Amane untuknya.

“Boleh aku…membukanya?”

“Aku akan merasa sedih kalau kamu menyimpannya begitu saja tanpa membukanya,” jawab Amane dengan bercanda.

“A-Aku tidak akan melakukan itu! Hanya saja beberapa orang tidak suka hadiah mereka dibuka di depan mereka.”

“Aku memilih sesuatu yang menurutku cocok untukmu, jadi aku ingin kamu membukanya. Aku harap ini sesuai dengan seleramu.”

Amane tidak meragukan seleranya, tetapi ia masih belum sepenuhnya yakin apakah pilihannya akan sesuai dengan standar Mahiru. Sama seperti saat memilih hadiah ulang tahunnya, Amane merasa bimbang dengan keputusannya karena ia tahu Mahiru akan menghargai apa pun, yang membuatnya semakin penting untuk melakukannya dengan benar. Kali ini, Amane tidak berkonsultasi dengan siapa pun, jadi ia tidak yakin apakah Mahiru akan benar-benar menyukai apa yang telah dipilihnya.

Tanpa memperlihatkan kegelisahan di wajahnya, Amane diam-diam memperhatikan jari-jari ramping Mahiru dengan hati-hati melepaskan pita itu. Kotak itu memperlihatkan sepasang anting dan kalung yang semodel.

Mahiru tidak menyukai aksesori yang mencolok, jadi Amane memilih desain yang relatif sederhana. Anting dan kalungnya dibuat menyerupai bunga-bunga yang indah, dengan batu-batu kecil berkilau yang tersebar di seluruh bagian. Meskipun keanggunannya sederhana, keduanya tidak akan terlihat pucat jika dibandingkan dengan penampilan Mahiru yang cantik. Meskipun memberinya perhiasan bukanlah hal yang aneh, memberikannya sebagai hadiah pada hari Natal—klise terbesar yang pernah ada—membuat Amane merasa sedikit malu, karena hal itu terasa agak tidak pada tempatnya baginya.

“Aku memberimu kotak perhiasan untuk ulang tahunmu, ingat? Jadi, um, kupikir akan menyenangkan untuk memberimu sesuatu yang bisa kamu masukkan ke dalamnya, sesuatu yang belum pernah kuberikan padamu sebelumnya,” Amane menjelaskan sembari merasa sedikit malu.

Untuk White Day, Amane memberinya sebuah gelang, dan di festival musim panas, sebuah jepit rambut. Karena ingin menghindari memberinya hadiah yang sama dua kali, ia dengan hati-hati memilih sesuatu yang sesuai dengan Mahiru dan mudah-mudahan melengkapi gayanya.

Biasanya, tempat lain di mana orang-orang akan mengenakan aksesori adalah telinga, leher, dan jari—tetapi jari-jari itu disediakan untuk sesuatu yang lain yang telah ia rencanakan untuk masa depan dan bukan untuk hari ini. Jadi, Amane memutuskan untuk menghiasi telinga dan leher Mahiru dengan perhiasan yang dipilih dengan saksama. Itu adalah pemikiran yang sederhana, bahkan mungkin berlebihan.

Sekarang, apa yang dipikirkannya?

Amane hampir merasa ingin mengejek dirinya sendiri, menyadari bahwa sifat posesifnya benar-benar terungkap pada saat-saat seperti ini. Namun, ia tidak menjauh dan malah memperhatikan dengan saksama reaksi Mahiru.

“Bagaimana?” tanyanya, suaranya sedikit ragu.

Pada akhirnya, yang terpenting ialah apa Mahiru menyukainya atau tidak. Amane terus memperhatikannya dengan saksama dan sedikit rasa grogi. Mahiru telah menatap bunga-bunga berkilauan di dalam kotak itu dengan kagum selama beberapa saat sebelum akhirnya menyadari tatapannya dan perlahan mengangkat kepalanya untuk menatap matanya.

Melihat ekspresi di wajahnya, Amane menghela napas lega.

Sepertinya kekhawatiranku sia-sia saja.

“Ini…menggemaskan. Sungguh, ini sangat menakjubkan.”

“Syukurlah. Aku khawatir kalau itu bukan seleramu.”

Tentu saja, aku senang dengan apa pun yang kamu berikan padaku, Amane-kun. Tapi selain itu, ini melengkapi gayaku dengan sempurna. Ini sangat indah.

“Jika itu membuatmu bahagia, maka tak ada lagi yang bisa kuminta sebagai Sinterklas—maksudku, pacarmu.”

Berdasarkan selera Mahiru dalam hal pakaian dan jenis aksesori yang biasa dikenakannya, Amane telah mempersempit pilihannya menjadi desain ini, dengan pemikiran bahwa desain ini akan cocok untuknya. Tampaknya ia telah menemukan jawabannya, dan jantungnya yang berdebar kencang akhirnya mulai tenang.

“Amane-kun, kamu sering memilih perhiasan dengan desain bunga, bukan?”

“Apa itu pilihan yang salah?” tanya Amane, sedikit khawatir.

“Tidak, aku hanya berpikir mungkin ada alasannya.”

Sejujurnya, tidak ada alasan khusus... Kupikir itu cocok untukmu dan cocok dengan pakaian yang biasa kamu kenakan. Sesuatu yang terlalu polos tidak akan cocok dengan gayamu.

Mahiru menyukai desain yang sederhana, tetapi tidak yang terlalu polos atau memiliki bentuk dasar. Dia lebih menyukai desain anggun yang menonjolkan lekuk tubuh dengan baik atau memiliki sedikit kesan imut. Mengingat hal itu, Amane memilih desain bunga ini, karena yakin desain ini akan sangat sesuai dengan seleranya.

Mahiru bukanlah tipe gadis yang suka memberikan pujian palsu, jadi Amane merasa lega. Tidak ada keraguan dalam benaknya bahwa Mahiru benar-benar menyukai hadiah itu. Mahiru menutup tutupnya dengan lembut, memegang kotak itu dengan hati-hati seolah-olah itu adalah harta karun yang berharga, senyum lembut muncul di bibirnya.

Terus terang saja, dia memasang ekspresi seperti sedang menahan senyum.

“…Aku akan menghargainya,” kata Mahiru dengan lembut.

“Terima kasih. Tapi tunjukkan padaku kapan kamu akan memakainya—aku akan memujimu seperti tidak ada hari esok.”

“T-Tolong jangan mulai mengumumkan terlebih dahulu bahwa kamu akan memujiku. Lagipula, kamu tidak boleh memaksakan diri untuk melakukannya.”

“Kenapa tidak? Aku membelinya karena kupikir itu akan cocok untukmu, dan aku yakin itu akan cocok. Jika itu cocok untukmu, tentu saja aku akan memujimu. Memangnya aku salah ya ingin mengatakan pada pacarku bahwa dia manis?”

Membayangkan Mahiru mengenakan sesuatu yang diberikannya saja sudah membuat Amane sangat senang, dan itu pasti akan memanjakan matanya juga. Selain itu, Mahiru juga tidak akan merasa bersalah jika dipuji—tidak ada yang salah dengan pujian itu. Memuji aspek-aspek baik dari pasanganmu adalah rahasia untuk menjaga hubungan yang sehat dan penuh kasih. Lagipula, jika ia tidak mengungkapkan perasaannya, perasaan itu tidak akan tersampaikan dengan baik, jadi tidak ada salahnya untuk mengungkapkannya dengan lantang.

Ketika Amane memiringkan kepalanya, berpikir tidak ada yang aneh dengan apa yang dia katakan, Mahiru bergumam, Beginilah cara Shuuto-san membentukmu... seolah-olah dia telah dibentuk seperti adonan yang siap dipanggang dalam oven. Amane tidak bisa menahan tawa. Sebenarnya, Shuuto memang telah menanamkan dalam dirinya gagasan bahwa memuji kebaikan orang lain secara terbuka membuat kedua orang merasa lebih baik, jadi dalam hal itu, dia telah dibentuk. Menyaksikan orang tuanya berinteraksi selama bertahun-tahun hanya memperkuat keyakinan itu, menjadikannya prinsip panduan bagi Amane.

Ketika Amane berkata terus terang, Kamu juga menggemaskan saat bertingkah seperti ini, Mahiru menanggapi dengan erangan lembut dan malu. Karena tidak ingin memperpanjang waktu pemulihannya, Amane menghentikan ejekannya di sana. Sambil tertawa kecil, ia dengan sabar menunggu Mahiru tenang. Setelah beberapa kali menarik napas dalam, akhirnya ia berhasil mengurangi kemerahan di pipinya dan menatapnya lagi.

Entah kenapa Mahiru memasang ekspresi sedikit cemberut.

“…Aku juga ingin memberimu hadiah. Tidak adil kalau hanya kamu saja yang memberikannya.”

Setelah melihatnya kesal atas sesuatu yang tidak terduga, sekarang giliran Amane yang tersenyum hangat.

Mahiru tidak senang karena menjadi satu-satunya yang menerima hadiah dan menggembungkan pipinya dengan manis untuk menunjukkan sedikit rasa frustrasi. Amane menganggap ini sangat lucu, tetapi ia tahu bahwa jika ia mengatakannya, Mahiru akan mencuri selimut karena malu. Mengantisipasi hal ini, dAmane menelan kata-kata yang hendak diucapkannya.

“Jangan khawatir, aku sudah menerima hadiahnya,” katanya.

“…Kamu tidak akan mengatakan kalau itu 'aku', kan?”

“Hampir, tapi belum. Aku sudah memesan masa depanmu, lho.”

“Itu tidak adil! Aku sudah memesan milikmu juga!”

Hahaha.

Meskipun dia tidak menyambar selimut, tinju Mahiru dengan lembut memukul paha Amane. Meskipun dirinya sedang diserang, pemandangan itu hanya memicu naluri protektifnya. Aduh, aduh, gumamnya, meskipun Amane tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa ketukan ringan itu lebih menenangkan daripada menyakitkan. Hampir mengkhawatirkan betapa dia menikmatinya—mungkin, dalam satu hal, itu juga agak tidak ada harapan baginya.

Amane tersenyum lagi. Mungkin karena kabut pagi yang masih tersisa, tetapi emosi Mahiru jauh lebih mudah dibaca daripada biasanya. Merasakan pikirannya, dia bergumam dengan nada bercanda, Kamu benar-benar bodoh, Amane-kun, menggodanya dengan hinaan kecil yang lucu. Hal ini hanya memperlebar senyumnya, membuatnya semakin sulit untuk tetap berwajah datar.

 

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama