Chapter 5 — Hadiah Rahasia
Itsuki
dan Chitose meninggalkan rumah Amane sebelum matahari benar-benar terbenam.
Rupanya, mereka mau mampir ke
pertunjukan cahaya iluminasi
dalam perjalanan pulang, dan jika mereka tidak berangkat lebih awal, mereka
akan dimarahi oleh orang tua mereka.
(Meski mereka terus-menerus mengejek, tapi mereka melakukan lebih
banyak hal berpasangan daripada kami)
Setelah
mereka pergi, Amane dan Mahiru menjalani malam mereka seperti biasa, menyiapkan
makan malam bersama, menikmati hidangan yang sedikit lebih mewah dari biasanya,
dan kemudian bersantai berdampingan setelahnya. Itu adalah rutinitas yang sama
sekali tidak mencerminkan semangat Natal. Jika ada perbedaan, dekorasi khas natal masih terpasang, makan malamnya
sedikit lebih mewah, dan acara spesial Natal ditayangkan di TV.
“Tidak
ada yang lain selain hal-hal Natal di TV, ya?”
Seperti
biasa, Amane dan Mahiru duduk bersebelahan di sofa, perhatian mereka terpaku pada TV. Segmen
khusus yang ditayangkan memutar lagu-lagu Natal di latar belakang sambil
menunjukkan berbagai hadiah yang dipilih untuk berbagai kelompok usia dan jenis
kelamin. Itu adalah acara kuis di
mana para peserta memprediksi peringkat hadiah berdasarkan survei jalanan,
mendapatkan poin jika mereka menebak dengan benar. Mereka dapat melihat para
kontestan berdebat bolak-balik, tidak yakin dengan pilihan mereka.
“Topik
musiman mudah untuk dibahas dan menarik bagi pemirsa umum. Terutama Natal. Ini adalah
acara komersial besar, jadi kurasa
mempromosikannya membantu mendorong orang untuk membeli lebih banyak?”
“Kita
seharusnya tidak membicarakan hal-hal komersial pada Malam Natal.”
“Hehe…
Menurutmu, obrolan apa yang cocok untuk Natal, Amane-kun?”
“Mungkin
seperti, 'Kapan Sinterklas datang?' atau 'Hadiah apa yang akan dibawa
Sinterklas?'”
“Itu
pemikiran yang cukup lucu.”
“Jika
kita berbicara tentang Natal, bukannya hal
semacam itu yang terlintas di dalam
pikiran kita?”
Amane
hanya memberikan komentar umum, tetapi Mahiru tampaknya menganggap jika pemikirannya itu justru menggemaskan. Dia tersenyum hangat padanya,
matanya lembut dan penuh kasih sayang.
Dari ekspresinya, jelas bahwa dia
benar-benar menganggap ide-ide Amane lucu. Sambil menggaruk kepalanya karena
sedikit malu, Amane dapat dengan mudah menebak apa yang mungkin dibayangkan
Mahiru, jadi ia angkat bicara untuk melanjutkan pembicaraan.
“…Mungkin
aku harus bilang kalau aku baru menyadarinya
saat aku masih SD kalau ibu dan ayahku yang meletakkan hadiah-hadiah di samping
bantalku.”
“Jadi,
selama ini kamu percaya pada Sinterklas?”
“Uhh,
kurasa.... begitu. Maksudku, aku sempat
ragu, tapi ayahku akan menjawab semuanya dengan senyuman dan tanpa ragu.
Kebohongan cerdik mereka berhasil menipuku.”
Perkataan
mereka tidaklah salah jika mereka mengatakan kalau Amane terlalu lambat
memahami sesuatu, tetapi ada alasannya. Cara Shuuto berbicara terlalu pintar.
“Keraguan?”
“Misalnya seperti, 'Bagaimana Sinterklas
bisa mengirimkan hadiah ke setiap anak di dunia sendirian?' atau 'Apa
yang ia dapatkan dari melakukan itu?'
dan 'Dari mana dia mendapatkan semua uangnya?' Hal-hal semacam itu.”
“Sungguh pertanyaan yang sulit dijawab.
Fakta bahwa kamu memiliki keraguan bahkan saat masih anak-anak menunjukkan
banyak hal tentangmu, Amane-kun… Dan bagaimana Shuuto-san menjawabnya?”
“Ia
mengatakan kepadaku bahwa
Sinterklas tidak memberikan hadiah sendirian. Ia mengatakan ada organisasi
nirlaba besar yang berbasis di Finlandia yang dikenal sebagai 'Sinterklas'
yang memiliki cabang di seluruh dunia. Dan cabang-cabang tersebut menangani
logistik. Mereka memberikan hadiah untuk membuat anak-anak bahagia dalam skala
global, tanpa memandang kekayaan, dan dengan melindungi hati generasi
mendatang, hal itu berkontribusi pada perdamaian dunia dalam jangka panjang.
Rupanya, pendanaan tersebut berasal dari sumbangan orang dewasa dan perusahaan
di seluruh dunia yang mendoakan pertumbuhan dan kebahagiaan anak-anak yang
sehat.”
“Cerita
ini agak terlalu rumit untuk dipahami anak-anak, tetapi juga agak terlalu mudah
dipercayai orang dewasa. Cerita ini ditulis dengan sangat baik dan hampir
terdengar masuk akal.”
“Kalau
dipikir-pikir sekarang, rasanya pasti
sangat mengkhawatirkan jika informasi pribadimu
tersebar luas seperti itu—perusahaan ini akan melacak alamat, detail keluarga,
dan bahkan preferensimu.”
Melihat
kembali penjelasan Shuuto yang sekarang sudah dewasa, Amane dapat dengan mudah
melihat betapa absurdnya semua itu. Namun, Shuuto adalah pria yang jujur dan
terus terang yang tidak pernah berbohong atau mengingkari janji. Ketika ia
menjelaskan semuanya dengan tenang dan lancar, Amane yang masih bocil dan mudah terpengaruh itu
menganggapnya sebagai kebenaran. Tidak semuanya benar-benar bohong—meskipun
tidak ada organisasi Sinterklas nirlaba atau pasukan Sinterklas, tapi ada yang namanya Desa Sinterklas di
Finlandia. Campuran kebenaran dengan fiksi itu membuat cerita itu terasa aneh
dan kredibel, sehingga Amane mudah tertipu waktu itu.
“Dan
begitulah ceritanya. Alih-alih mengelak pertanyaanku atau mengabaikannya, ia
menjawabnya seolah-olah ia mengatakan kebenaran sepenuhnya. Saat itu, ketika
aku masih sangat
naif dan, yah, lebih bodoh dari sekarang...aku mempercayai
setiap ucapannya.”
“Sungguh menggemas—”
“Itu sama sekali tidak menggemaskan. Jangan
membuat wajah sedih seperti itu.”
“Setidaknya
kamu bisa membiarkanku menyelesaikan
apa yang kukatakan.”
Karena
Amane tahu persis bagaimana tanggapan Mahiru,
ia menyela pembicaraannya terlebih dahulu.
Sebagai balasan, Mahiru menggembungkan pipinya dengan cara yang menggemaskan.
Merasa reaksi kekanak-kanakannya terlalu manis untuk ditolak, Amane menepuk-nepuk kepalanya. Mahiru bergumam, “Tapi kamu memanggilku seperti itu
sepanjang waktu...” dengan
suara pelan sebagai protes, tetapi Amane berhasil berdamai dengan membiarkan
Mahiru menepuk kepalanya sebagai balasan, seperti yang tampaknya diinginkannya.
“Orang
tuaku tidak pernah berbohong padaku… Itu pasti sesuatu yang istimewa.”
“Apa kamu
marah pada mereka?”
“Tidak.”
Menyadari
bahwa orang tuanya telah berbohong kepadanya merupakan hal yang besar bagi
Amane sebagai seorang anak kecil,
tapi ia merasa kalau dirinya tidak
perlu menyalahkan mereka atas hal itu. Pada saat ia menyadari kebohongan
tersebut, ia sudah cukup
dewasa dalam pikiran dan emosi untuk melihat lebih jauh dari kenyataan bahwa
itu hanyalah kebohongan dan
mempertimbangkan mengapa mereka mengatakannya sejak awal.
“Tentu, aku terkejut saat menghubungkan semua petunjuknya, tetapi kupikir orang tuaku hanya ingin aku memiliki mimpi
itu. Mereka tidak ingin aku merasa tersisih dari mimpi yang dialami orang lain.
Bahkan jika suatu saat kamu
terbangun dari mimpi itu, lebih baik kamu
menyadarinya sendiri daripada dipaksa bangun oleh orang lain. Itu membantumu
berdamai dengan mimpi itu di hatimu.”
Amane
tidak suka kebohongan. Ia percaya kebohongan
bukanlah sesuatu yang bisa dikatakan dengan enteng. Namun, di saat yang sama,
ia juga belajar bahwa mengungkapkan kebenaran kepada seseorang tanpa berpikir
juga tidak selalu merupakan hal yang baik. Apa itu
benar-benar demi kepentingan terbaik seorang anak untuk mengetahui sejak awal
bahwa Sinterklas tidak ada dan bahwa orang tua merekalah yang menyediakan
hadiah? Haruskah orang tua yang menghancurkan keberadaan dan cita-cita
Sinterklas, tokoh dari buku bergambar, dengan tangan mereka sendiri? Bahkan
jika suatu hari nanti anak itu akan mengerti bahwa itu semua hanyalah khayalan,
apa hal semacam itu perlu
diungkapkan oleh orang lain tanpa persetujuan mereka? Amane yakin bahwa orang
tuanya tidak berpikir demikian.
Itulah
sebabnya ketika tiba saatnya Amane mengetahui kebenarannya, Shuuto dan Shihoko
membiarkannya berpegang teguh pada fantasinya. Ia dapat menerimanya dan
memprosesnya dengan caranya sendiri.
“Lagipula,
tidak dapat dipungkiri bahwa mereka masih memikirkanku ketika mereka menaruh
hadiah-hadiah itu di samping bantalku. Aku tidak bisa marah karenanya.”
Meskipun
merekalah yang menyiapkan hadiah, mereka tidak pernah menunjukkannya, hanya
merayakan bersamanya saat dia bersukacita menerima hadiah dari ‘Sinterklas’.
Kebaikan dan kasih sayang yang
mereka tunjukkan, berbagi kebahagiaannya, merupakan
hal yang nyata dan tidak dapat disangkal.
Mengetahui
hal itu, Amane tidak bisa marah karena dibohongi. Namun, ia merasa sedikit
malu, menyadari bagaimana orang tuanya telah mengawasinya, mempercayai kebohongan
itu selama bertahun-tahun dengan senyum penuh kasih, yang membuatnya sedikit
kesal. Namun, itu sendiri merupakan bagian dari pesonanya.
“Kamu
memiliki orang tua yang hebat.”
“Ya. Aku
bangga pada mereka dan tidak akan malu untuk bersama mereka ke mana pun aku
pergi… Yah, sebenarnya, saat mereka bersama, aku merasa keadaan bisa jadi
sedikit memalukan.”
Bagi
Mahiru, Shihoko dan Shuuto tampak seperti sosok orang
tua yang ideal, tetapi dari sudut pandang
Amane sebagai anak mereka, ia sungguh berharap mereka mengurangi sedikit
godaan.
“Hehe,
mereka benar-benar pasangan yang sangat dekat,
ya? Melihat mereka saja membuat wajahku terasa panas.”
“Jika hal
itu mengganggumu, kamu selalu
bisa menegur mereka, lho.”
“Aku
tidak ingin ikut campur dalam momen mesra pasangan. Bukannya itu hal yang baik?”
“Tapi
tetap saja…”
“Amane-kun,
apa kamu tidak menyukai hal semacam itu?”
Ragu-ragu,
hati-hati. Seolah mencari jawaban, Mahiru menatapnya dengan khawatir. Amane
menggelengkan kepalanya pelan.
“Bukannya
aku tidak menyukainya. Lebih seperti, sebagai anak mereka, aku hanya berharap
mereka tidak melakukannya di depan umum.”
“Aku
percaya bahwa orang tua harus menunjukkan kasih sayang,
asalkan tidak berlebihan. Melihat orang tua terus-menerus bertengkar tidak baik
untuk perkembangan emosional anak. Menunjukkan rasa saling menghormati dan
peduli juga merupakan hal yang
penting.”
“Ya, aku
setuju.”
Apa yang
dipikirkan Mahiru? Bagaimana perasaannya saat ini? Kenangan apa yang
diingatnya? Dengan apa dia membandingkannya? Amane tidak perlu menanyakan
pertanyaan-pertanyaan ini—karena ia
sudah tahu jawabannya. Namun, jika Amane
menunjukkan bahwa ia sudah mengetahuinya, Mahiru hanya akan menjadi lebih sadar
diri dan mencoba untuk mempertimbangkannya. Jadi, dengan wajah lurus, Amane mengangkat bahunya.
Saat ini,
Mahiru sedang melihat segala sesuatunya secara objektif dan rasional, melihat
segala sesuatunya sebagaimana adanya. Tidak ada tanda-tanda trauma atau keputusasaan dalam
ekspresinya. Jelas bahwa dia hanya merasa iri terhadap orang tua Amane, dan
karena itu, dia menghindari mengungkapkan kekhawatirannya untuk sementara
waktu.
“Yah,
selama mereka tidak berlebihan, aku tidak keberatan. Sebenarnya, biasanya
ayahku yang melakukannya tanpa menyadarinya. Namun, karena aku mengenalnya,
mungkin ia tahu persis apa yang dilakukannya.”
“Ah, ya…”
“Tunggu,
kenapa kamu malah setuju di
sana?”
“Oh,
tidak apa-apa.” Mahiru mengalihkan pandangannya,
pura-pura tidak tahu.
“…Ngomong-ngomong,
apa pendapatmu tentang orang tuaku, Mahiru?”
“Dalam pandangan apa khususnya?”
“Maksudku,
kamu tahu, kamu tampaknya sangat menyukai orang
tuaku, kan? Aku hanya ingin tahu bagaimana penampilan mereka di matamu.”
“Bagiku,
mereka tampak seperti pasangan yang luar biasa dan penuh kasih sayang.”
Hal ini
pasti pendapatnya yang jujur dan tulus. Mahiru sering mengagumi Shihoko dan
Shuuto. Baginya, mereka adalah pasangan yang sempurna dan bahkan mungkin
keluarga yang ideal.
“Secara
neurologis, dikatakan bahwa perasaan romantis cenderung mendingin setelah beberapa
tahun karena perubahan hormonal, bukan?”
"Ya,
aku pernah mendengarnya.”
“Namun,
orang tuamu tampaknya masih saling mencintai. Menurutku, itu karena perasaan
sekilas mereka telah tumbuh menjadi sesuatu yang lebih besar. Ada banyak bentuk
cinta, tapi aku mengagumi jenis cinta yang mereka bagikan dengan sepenuh hati.”
Kallimat yang diucapkan Mahiru dengan
penuh kerinduan berasal dari harapan yang dalam dan tulus.
“Aku
harap kita bisa seperti itu juga," kata Amane. “Yah, tentu saja dengan mempertimbangkan waktu dan tempatnya.”
“…Ya, aku
juga berharap begitu.”
Saat
Amane melihat pipi pucat Mahiru tiba-tiba memerah, ia menyadari bahwa dirinya telah mengatakan sesuatu yang
keterlaluan tanpa berpikir. Meski begitu—Amane
tidak berniat menariknya kembali. Mahiru tampaknya sepenuhnya memahami maksud dari perkataannya bahwa mereka
seharusnya seperti itu suatu hari nanti. Dia menempelkan telapak tangannya ke
pipinya yang terbakar, mencoba mendinginkan panas yang berkobar di dalam
dirinya, tetapi tangannya yang sedikit dingin tidak sebanding dengan kehangatan
yang menyebar melalui dirinya. Amane juga merasakan panas yang meningkat dalam dirinya, dan tidak menunjukkan tanda-tanda
akan mereda dalam waktu dekat.
✧ ₊
✦
₊ ✧
Setelah
tersipu malu berkali-kali, saling menatap
lalu segera mengalihkan pandangan, waktu telah berlalu tanpa mereka sadari.
Sekaranglah saatnya Mahiru pulang ke rumah.
Meskipun
rasa panas dan canggung itu sudah lama menghilang, yang Amane rasakan sekarang
adalah keengganan. Keengganan untuk berpisah dengannya. Mereka tidak
merencanakan sesuatu yang istimewa untuk Natal, tetapi keinginan untuk tetap
dekat, untuk tetap berada di sisinya, begitu kuat hingga meluap dari dalam.
“Waktunya sudah larut malam.”
“Ya…itu
benar.”
Mahiru
pasti tahu sudah waktunya baginya untuk bangun dan pergi, seperti yang biasa
dilakukannya, namun dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan berdiri.
Amane
mengerti apa yang ingin disampaikan Mahiru. Dirinya
tidak sebodoh itu, dan tidak pula terlalu banyak berpikir. Mahiru hanya ingin
tinggal di sisinya sedikit lebih lama dan menghabiskan malam yang dingin ini
bersamanya.
“Umm, kamu tahu…”
Tenggorokan Amane terasa kering.
Mengingat
mereka sudah menghabiskan banyak malam
bersama dengan cara yang sangat sehat, ajakan
ini seharusnya tidak membuatnya segugup ini. Namun, Amane tidak pernah menyangka bahwa
kenyataan bahwa saat itu adalah malam Natal akan meningkatkan risikonya begitu
besar.
Mahiru
tersentak pelan mendengar ucapan Amane yang gugup, lalu dia meliriknya dengan
sopan.
“…Malam ini mungkin malam Natal,
tapi, yah…kita selalu
bersama, jadi tidak ada yang benar-benar berbeda, tapi…”
“Ya…”
“Bagaimana
kalau…kita tidur bersama malam ini?”
“…O-Oke.”
Setelah beberapa saat terdiam, Mahiru tergagap.
Pipi
Mahiru langsung memerah seketika.
Melihat pemandangan itu, Amane segera menyadari
bahwa Mahiru salah paham dengan kata-katanya. Ia
melambaikan tangannya dengan panik. Sejak menginap bersama terakhir kali,
mereka hampir tidak pernah berbagi momen intim seperti itu, terutama karena sibuk,
minta maaf, dan, yang terpenting, canggung. Namun sekarang malam Natal—waktu ketika pasangan
cenderung semakin dekat. Amane pasti
secara tidak sengaja membuat pikiran Mahiru
berpacu ke arah itu.
“Ak-Aku
tidak bermaksud begituan,
oke? Hanya menginap biasa! Bukan sesuatu
yang tidak senonoh, aku
bersumpah!”
“Kamu
tidak perlu panik begitu! Tidak apa-apa, aku mengerti!”
Amane
tampak begitu putus asa hingga Mahiru pun mulai menggerakkan tangannya dengan
panik. Dengan wajah mereka berdua yang
sama-sama memerah dan bertingkah canggung, mereka merasa
lebih malu dari sebelumnya. Saat mereka kembali tenang, absurditas situasi itu
tiba-tiba menyerang mereka, dan mereka tertawa terbahak-bahak.
“…Mahiru.”
Setelah
mereka tertawa dan kembali tenang,
Amane dengan lembut memegang tangannya.
“Apa kamu tidak keberatan?”
Dirinya tidak akan memaksa Mahiru
melakukan apa pun, dan jika dia merasa tidak nyaman, Amane siap untuk mundur. Mahiru juga
memahami hal ini, karena dia tersenyum tipis dan lembut sebelum menggelengkan
kepalanya.
“Y-Ya,
itu tidak malah. Aku senang.”
“Suaramu
kedengarannya sangat kaku.”
“I-Itu
karena, di antara kita, semuanya berjalan, kamu
tahu, datar, jadi bisa dibilang… seperti tidak terjadi apa-apa, ‘kan? Jadi, aku tidak menyangka kamu akan mengundangku seperti ini…”
“Benarkah?
Sedikit pun tidak?”
“Baka.”
“Maaf.”
Jika Amane terlalu banyak menggodanya, Mahiru pasti akan menemukan
cara untuk membalasnya, jadi Amane meminta maaf dengan tulus sambil melepaskan
tangannya dengan lembut. Mahiru sedikit cemberut
sebagai tanggapan, bibirnya membentuk cemberut kecil yang
menggemaskan.
“Apa kamu
lebih suka jika aku sudah menduganya sejak awal?”
“Apa pun
caranya.... aku tetap akan mengundangmu
untuk tetap tinggal.”
“Duhh~.”
Mahiru
menepuk lengan atasnya pelan-pelan. Alih-alih menyerang dengan maksud
memarahinya, itu adalah gerakan penuh kasih sayang. Seolah-olah dia berkata, “Apa boleh buat deh”.
Merasa semua tingkah lakunya itu
menggemaskan, Amane melengkungkan bibirnya menjadi senyum main-main, mendorong
Mahiru untuk berkata ‘baka’ dengan
lembut—hinaan yang benar-benar menggemaskan.
✧ ₊
✦
₊ ✧
“Aku
benar-benar tidak akan berbuat yang aneh-aneh, kok.”
Menghadap
Mahiru saat mereka duduk di atas tempat tidur, Amane mengangkat tangannya
sedikit ke atas, dengan telapak tangannya menghadap ke arahnya, untuk
menunjukkan niatnya yang sehat.
Karena sudah
waktunya untuk tidur, jadi mereka berdua sudah mandi dan
berganti pakaian tidur. Namun, Amane tahu bahwa Mahiru masih merasa tegang
karena harus duduk di ranjang yang sama dengan pakaian tipis seperti itu. Ia
ingin meyakinkannya, jadi Amane
berusaha sebisa mungkin untuk meyakinkan Mahiru bahwa tidak ada yang perlu
dikhawatirkan.
Karena
saat ini sedang musim dingin, Mahiru mengenakan
gaun tidur yang terbuat dari kain yang agak tebal. Meski begitu, gaun itu masih
jauh lebih tipis dari pakaiannya yang biasa. Mengenakan bahan yang sangat
bagus, dia menatap Amane dengan pandangan sedikit tidak percaya.
“Aku
benar-benar tidak akan mengingkari janjiku. Aku bersumpah. Jika kamu masih
khawatir, apa kamu mau mengikat
tanganku?”
“Mengapa
kamu begitu keras pada dirimu sendiri? Aku percaya padamu, lho.”
“Aku
tidak akan terlalu percaya padaku jika aku jadi kamu.”
“Mengapa
tidak!?”
Tentu
saja, Amane akan berhati-hati sebisa mungkin dan tidak pernah berniat
mengingkari janjinya dengan Mahiru. Akan tetapi,
bukannya berarti ia ingin Mahiru lengah sepenuhnya.
Amane diizinkan untuk menyentuhnya dalam
batasan janji mereka. Dengan kata lain, selama masih dalam batasan tersebut, Amane bebas menjelajahi tubuh Mahiru yang
belum dijelajahi kapan pun dirinya
mau. Namun, itu adalah sesuatu yang hanya boleh dilakukan saat Mahiru
menginginkannya dan bukan sesuatu yang boleh dipaksakan padanya. Hanya karena
mereka menjalin hubungan berpacaran
bukan berarti dia harus menerima semua yang ingin dilakukan Amane, dan jika Mahiru tidak
menyukai sesuatu, dia berhak menolaknya.
Amane
bersikeras melakukan ini karena ia merasa perlu untuk tidak terbawa suasana
Natal dan berakhir melakukan sesuatu yang mungkin akan disesalinya. Namun,
tatapan Mahiru tetap menunjukkan sedikit kejengkelan.
“…Mau sampai berapa lama kamu berencana
untuk mempertahankan pola pikir itu?” tanya Mahiru.
“Sampai
kamu merasa aman?”
“Aku
sudah merasa aman, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan… Malah,an aku jadi lebih cemas saat kamu
menolak menyentuhku sama sekali.”
Saat
Amane berdiri di sana dengan tangan terangkat, Mahiru mengulurkan tangan ke
arahnya. Terperanjat di tengah pose menyerahnya, Amane
tidak dapat bereaksi tepat waktu dan mendapati dirinya dengan mudah ditangkap
oleh lengan Mahiru.
Daripada ditangkap, lebih baik mengatakan bahwa dia memeluknya. Merasa jengkel dengan perilaku pacarnya, Mahiru menunduk sedikit,
cemberut, dan menempelkan dahinya di dada Amane.
“Kamu
bilang kamu takkan
melakukan apa pun…tapi kalau sekedar ciuman
tidak ada salahnya, kan?”
“…Kamu cukup nakal juga, ya, Ojou-sama?”
Amane
bertanya-tanya apa yang akan dilakukannya jika setiap bagian dari pengendalian
dirinya mulai hancur satu per satu karena godaan
Mahiru. Namun karena ia tidak ingin memberi Mahiru masalah yang tidak
diinginkan, ia segera menenangkan diri dan menyingkirkan pikiran itu sebelum
memeluk punggung Mahiru. Saat ia merasakan sensasi lembut dan unik dari tubuh
Mahiru, Amane menatap mata berwarna karamel
Mahiru, yang dipenuhi dengan sedikit rasa kesal dan gelisah, menatapnya dari
dekat.
Saat
matanya, yang kini tersembunyi di balik kelopak matanya yang pucat, menghilang
dari pandangan, Amane tak dapat menahan rasa sesal. Perlahan, ia membungkuk dan
membungkam bibirnya, membungkam kata-kata manis yang baru saja diucapkannya.
Erangan
“Mmm” yang samar dan manis terdengar lemah, langsung mencapai
telinganya.
Bibir Mahiru yang terasa begitu
lembut dan ranum sehingga
sulit dipercaya bahwa bibirnya seperti bibirnya sendiri, terasa lembut dan
lembap. Hanya dengan menyentuhnya, bibirnya terasa semakin hangat, seolah-olah
meleleh karena sentuhan lembut tubuhnya.
Aku penasaran apakah rasa manis itu
berasal dari sini... Saat Amane perlahan menyentuh
bibir Mahiru dengan lidahnya, bibirnya
melunak, meleleh di bawah sentuhannya. Bahkan tubuhnya, yang sedikit menegang,
mulai rileks, kehangatan dan kelembutan yang dirasakannya tumbuh dan menyebar
lebih jauh.
Merasa
bahwa jika ia terus menikmati buah manis ini, ia mungkin tidak akan bisa
berhenti, Amane menjaga ciumannya tetap ringan, hanya menyentuh bibirnya
sekilas sebelum melepaskannya. Kelopak mata Mahiru
perlahan terangkat, memperlihatkan mata berwarna karamel yang dipenuhi kilau
manis. Amane merasa lega karena ia telah berhenti saat melakukannya.
Kalau
saja dirinya melihat mata seperti itu di
tengah-tengah ciuman, Amane tidak
yakin ia bisa berhenti menciumnya.
Napas
yang keluar dari bibirnya yang sekarang sedikit basah lebih lembap dari
sebelumnya, dan suara yang keluar bersamanya disertai
dengan rasa manis yang bertahan di udara. Saat Amane menggigit bibirnya,
menggunakan rasa sakit untuk menenangkan dirinya, Mahiru mendongak dengan mata
yang telah kehilangan sebagian kilaunya sebelumnya. Gerakan polosnya dengan
memiringkan kepalanya sedikit, seolah merasa
penasaran, begitu menggemaskan sehingga Amane merasakan
dorongan kuat untuk memeluknya erat dan menciumnya dalam sekali lagi. Namun,
bagian pikirannya yang tenang yang tahu apa yang akan terjadi jika ia menyerah
memperingatkannya untuk berhenti, memungkinkannya untuk tetap bertahan.
“…Aku
merasa akhir-akhir ini aku banyak berlatih…” gumam Amane.
Mahiru,
yang selalu bersikap defensif terhadap orang lain, bersikap lembut dan penuh
kasih sayang di sekitar orang-orang yang dekat dengannya—terutama dengan Amane,
pacarnya. Dia suka dimanja dan menghargai kedekatan fisik di atas segalanya.
Berkencan dengan seseorang seperti dirinya, mau tak mau Amane merasa bahwa
pengendalian diri dan kemampuannya untuk menjaga naluri yang lebih mendasar
dari bagian tubuh bawahnya
terus dilatih. Namun, itu bukanlah sesuatu yang bisa diakui Amane kepadanya.
“Kurasa
hasil latihanmu sudah terlihat sejak lama,” Mahiru mengatakan itu dengan santai dan polos, dia menempelkan telapak
tangannya ke tubuh Amane.
Amane
menggigit bagian dalam pipinya, berusaha tidak menunjukkan betapa terguncangnya
dirinya, dan menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak bermaksud begitu. Aku lebih berbicara tentang, kamu tahu, pengendalian diriku dan sejenisnya.”
“…Apa
menurutmu itu akan runtuh?”
“Aku
tidak akan mengingkari janji kita atau melewati batas. Namun, tetap saja rasanya sulit untuk menahan diri dan
sedikit gelisah… Bahkan dengan semua itu, aku tetap mencintaimu, yang membuatku
ingin lebih menghargaimu.”
Entah Mahiru melakukannya dengan sengaja atau
tidak, Amane sering tidak bisa membedakannya,
tetapi Mahiru punya cara untuk memicu nafsunya.
Bagaimanapun, dia tidak akan melakukannya—itu lebih seperti bentuk pelatihan
baginya, jadi bisa dibilang, itu bukan masalah. Tetapi Mahiru begitu berharga
baginya sehingga keinginan untuk menyentuhnya lebih banyak dan memeluknya lebih
erat terus tumbuh dalam dirinya.
Mencintai
seseorang terlalu banyak juga bukan hal yang mulus… Amane
merenung.
Mendengar
jawabannya, Mahiru mengedipkan
matanya berulang kali. “…Aku benar-benar sangat
dicintai, ya?”
“Kenapa
kamu berkata seperti itu urusan orang lain?”
“T-Tyolhong jhangyan chubiyt pyipyiku!”
“Kenapa
kamu kehilangan rasa percaya diri saat kamu sadar kamu dicintai?”
Baru-baru
ini, Mahiru dengan bangga menyatakan bahwa dia dicintai oleh Amane, sepenuhnya
menyadari kasih sayang yang diterimanya. Namun, untuk beberapa alasan,
komentarnya kali ini terlalu acuh tak acuh. Dia berbicara seolah-olah mengamati
dirinya sendiri dari luar sambil melihat ke dalam. Amane dengan lembut mencubit
pipinya yang lembut, merasa bahwa ekspresi cintanya mungkin masih kurang
meskipun ia sudah berusaha sebaik mungkin.
Setelah
menikmati dengan puas sensasi
lembut dan elastis dari pipi pucat Mahiru
yang seperti kue mochi, Amane melepaskannya dengan gerakan cepat. Pandangan matanya bertemu dengan mata Mahiru
saat dia menekan pipinya yang sedikit memerah dengan tangannya.
“Bu-Bukannya
aku kehilangan rasa percaya diri, oke? … Hanya saja, aku baru sadar, di
saat-saat seperti ini, tidak peduli seberapa keras kamu berusaha menahan perasaanmu, kamu selalu mengutamakan diriku.”
Kalimat “menahan perasaanmu” membuat Amane menyadari bahwa
Mahiru menyadari bahwa dirinya tengah berjuang untuk mengendalikan diri, yang
membuatnya ingin membenamkan wajahnya di antara kedua tangannya. Namun, Mahiru
tidak kelihatan tidak nyaman; sebaliknya, dia
tampak sedikit malu, tatapannya sedikit mengembara.
Amane dan
Mahiru pernah saling terbuka satu sama lain, memperlihatkan jati diri mereka
yang sebenarnya. Oleh karena
itu, Mahiru tampaknya menyadari situasi itu dengan caranya sendiri. Bagi Amane,
alasan mengapa ia memilih untuk tidak menghubunginya dengan sembarangan adalah
sederhana—perbedaan dalam apa yang ada di ujung gairah mereka terlalu
signifikan. Ia tidak ingin mengambil risiko sesuatu yang dapat berakibat buruk
bagi Mahiru, jadi ia bersikap sungkan.
“Aku bisa
menangani semuanya sendiri, tetapi dalam kasusmu, Mahiru, semuanya sedikit
lebih rumit… Kamu berarti
segalanya bagiku, dan aku tidak ingin mengganggu jalan yang kamu buat sendiri. Kumohon, biarkan
aku mengurusmu.”
“…Baiklah,”
jawab Mahiru lembut.
Selama
Mahiru benar-benar mengerti betapa berarti keberadaannya
bagi Amane, itu sudah cukup baginya.
Ekspresi
Mahiru melembut dengan sedikit rona merah saat dia dengan malu-malu namun tulus
menerima kata-katanya. Amane tidak dapat menahan diri untuk berpikir bahwa
mungkin dirinya dapat
menunjukkan kasih sayangnya sedikit lebih banyak, cukup agar Mahiru benar-benar
merasakannya.
Sambil
mencondongkan tubuhnya sedikit, Amane
menatap ke bawah ke arahnya dari jarak yang sangat dekat sehingga bisa ditutup
hanya dengan gerakan kecil. “Baiklah,
jika kamu ingin merasa lebih dicintai, aku bisa mencurahimu dengan banyak kasih sayang
sekarang—hanya sedikit saja tanpa melanggar janji kita, tentu saja."
“Fweh!?”
Mahiru menjerit kaget. Itu adalah tawaran yang tidak pernah diharakannya, karena dalam sekejap,
wajahnya berubah dari memerah menjadi terperangah
karena kebingungan.
Kali ini,
Amane tidak menarik kembali perkataannya.
Ia sudah mempertimbangkan segala cara yang mungkin bisa disalahartikan Mahiru.
Ia mengulurkan tangannya lagi, melingkarkan lengannya di punggung ramping
Mahiru. Ia bisa merasakan ketegangan tubuh Mahiru dan kehangatan yang muncul di
antara mereka. Namun, Mahiru tidak mencoba menjauh. Sebaliknya, dia
malah memejamkan mata, meninggalkan apa yang ada di
sebelahnya. Amane dengan lembut mendekatkan bibirnya ke telinga Mahiru dan
berbisik.
“Sini,
peluk.” Saat dia memeluk tubuh mungil
Mahiru dengan penuh kasih sayang, ekspresi wajah Mahiru berubah drastis.
Setelah sesaat kebingungan, ekspresi kekecewaan tampak jelas di wajahnya,
membuat perasaannya tak terbantahkan.
“Kenapa
kamu terlihat kecewa?” tanya Amane kemudian.
“Bu-Bukan apa-apa.”
“…Kamu tahu, kamu gampang sekali terbaca tau,
Mahiru.”
“Ka-Karena aku cuma menunjukkannya padamu,
Amane-kun!”
“Aku
tahu… Jadi, silakan—tunjukkan lebih banyak lagi perasaanmu padaku. Hanya aku.”
“…Baka,” bisiknya, suaranya lembut.
“Ya.”
“Peluk
aku lebih erat lagi.”
“Jika aku
melakukannya lagi, kau akan tergencet.”
Tubuh
ramping Mahiru, meskipun tidak rapuh, tampak begitu ramping dibandingkan dengan tubuhnya
sendiri. Amane tidak dapat menahan rasa gugupnya karena jika ia memeluknya
terlalu erat, tubuhnya akan hancur. Tubuhnya memang sekecil itu.
“Aku
tidak serapuh itu, tahu.”
“Benarkah?
Tapi kamu sangat kurus.”
"Aku
benar-benar bertambah berat badan akhir-akhir ini... karena mencicipi kue.
Meskipun aku memastikan untuk segera menurunkan berat badan!”
“Kamu ini sangat pekerja keras sekali…”
Mahiru
telah menempati sedikit lebih banyak “ruang
di dunia” karena
banyaknya kue percobaan untuk ulang tahun Amane. Meskipun, Amane tidak
menyadari perbedaannya. Bahkan
jika ada beberapa fluktuasi pada bentuk tubuhnya, Mahiru kemungkinan besar
telah menjaga semuanya tetap seimbang melalui diet dan olahraga yang cermat.
“Kamu
tidak perlu memaksakan diri untuk menurunkan berat badan, oke? Kesehatanmu—baik
fisik maupun mental—harus selalu diutamakan.”
“Aku
ingin bangga dengan diriku sendiri, jadi aku ingin mempertahankan bentuk tubuh
yang memuaskan. Tentu saja, aku selalu menjaga semuanya dalam batas yang
sehat.”
Sebagai
pacarnya, Amane menganggap dia terlalu kurus dan tidak keberatan jika berat
badannya bertambah sedikit. Namun, ia tahu
kalau rasanya kurang sopan jika mengganggu wanita yang
terus-menerus mengejar kecantikan. Pasti ada bentuk tubuh yang sehat dan ideal
untuknya, dan bukan haknya untuk mengomentarinya dengan sembarangan. Yang bisa
dikatakan Amane hanyalah ia tidak ingin Mahiru terlalu memaksakan diri saat
mengelola berat badannya.
“Baiklah.
Kalau begitu, aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi. Jangan terlalu memaksakan
diri... Kalau kau akhirnya menderita, maka aku juga akan menderita.”
“Iya.”
Amane
merasa senang karena Mahiru menerima perhatiannya. Dirinya dengan hati-hati menghindari
menyentuh bagian perut Mahiru yang membuatnya tampak malu. Sebaliknya, Amane memeluknya dengan lembut, hanya
memikirkan bagian-bagian tubuhnya yang menekannya—namun, tidak peduli bagaimana
ia memikirkannya, Mahiru tetap merasa ramping seperti sebelumnya.
“…Persis seperti yang kupikir, kamu
sangat kurus. Aku sudah agak gemuk, jadi bandingkan dengan kita sekarang…”
“Itu
hanya karena tubuhmu sebelumnya hanya tulang dan kulit, Amane-kun.”
“Aku tidak bisa membantahnya.”
“Ketimbang menambah berat badan, kamu justru membentuk otot karena
berolahraga. Postur tubuhmu juga membaik, yang pada gilirannya membuat bentuk
tubuhmu lebih ramping. Aku sama sekali tidak merasakan lemak berlebih.”
Pada waktu
itu, saat ia selalu membungkuk dan melihat ke lantai, Amane menyadari betul bahwa badannya kurus
dan lemah. Jadi, masuk akal jika ia
menjadi lebih besar setelah latihan dibandingkan saat itu, dan sepenuhnya
mengerti apa yang dikatakan Mahiru. Meskipun begitu…
“Kamu tidak segan-segan menyentuhku di mana pun kamu mau, ya.”
Amane
terkejut melihat betapa beraninya Mahiru. Dia membiarkan tangannya meluncur di
atas tubuh Amane, meskipun di atas piyamanya. Tindakan
tersebut tidak mengganggunya, dan Amane tidak merasa rugi sama sekali, tapi mau tak mau dirinya jadi berpikir
tentang seberapa nyamannya Mahiru
dengan tubuhnya dibandingkan dengan masa lalu. Namun, jika Mahiru tahu apa yang
dipikirkan Amane, dia mungkin akan memerah dan mulai merajuk.
“Apa aku perlu merasa
sungkan?”
“Oh
tidak, bukan apa-apa. Aku hanya tidak mengerti apa menariknya
menyentuh badanku.”
“Aku suka
menyentuhmu, Amane-kun.”
“Kamu
tidak seharusnya mengatakannya seperti itu. Bisa jadi itu disalahartikan.”
Cara Mahiru mengatakannya dapat dengan mudah
disalahpahami, tetapi Amane tahu bahwa Mahiru
tidak bermaksud apa-apa lagi, jadi ia hanya memberikan teguran ringan. Namun,
Mahiru, yang tidak puas dengan komentarnya, mendengus “Hmph”, jelas
tidak senang dikoreksi.
“Cuma ada kita di sini, jadi tidak ada
ruang untuk kesalahpahaman.”
“Ya, itu
benar, tapi…”
“Selain itu, bukannya kamu juga
suka menyentuhku, Amane-kun?”
“…Ya, itu
benar ,” Amane mengakui.
Apa dia
benar-benar mengira ada orang yang tidak suka menyentuh pasangannya?
Amane tidak bisa membayangkan ada orang yang merasa seperti itu.
Tentu
saja, Amane suka menyentuh Mahiru. Wajar saja.
Jika diizinkan, Amane akan
semakin ingin menyentuhnya, untuk mengetahui segalanya tentangnya, secara
mendalam dan sepenuhnya. Ia
menginginkan Mahiru
seutuhnya. Namun, masih belum saatnya untuk bertindak berdasarkan perasaan yang
mendidih di dalam dirinya, terutama ketika Amane
ingin menghindari kemungkinan menyakitinya. Amane
memendam perasaan ini di dalam dirinya, hampir terkejut pada dirinya sendiri
betapa kuat perasaannya terhadapnya sambil berusaha sebaik mungkin untuk
menyembunyikannya dari Mahiru. Entah dia menyadarinya atau tidak, Mahiru dengan
polos dan tidak sengaja mengipasi api, membuat keadaan sedikit lebih sulit bagi
Amane.
Saat
Mahiru, yang berada di pelukannya, berbisik, “Maukah
kamu menyentuhku?” sifatnya yang menggoda namun
polos membuat kepala Amane pusing
sejenak. Untungnya, itu tidak cukup membuatnya kehilangan ketenangannya, dan
untuk itu, dirinya
bersyukur.
Amane
tidak bisa membiarkan dirinya dipermainkan begitu saja. Ia tidak bisa membiarkan dirinya
menari di telapak tangan Mahiru yang tidak menyadari apa pun tanpa melakukan
apa pun sebagai balasannya. Sebagai tindakan balas dendam yang jenaka, Amane dengan lembut membelai area di
sekitar perutnya, tempat dia sedikit merasa malu, dan menelusuri garis-garis
ramping tubuhnya dengan ujung jarinya. Saat tangannya membelai pinggangnya,
yang terlalu ramping untuk menunjukkan tanda-tanda berat yang pernah dia
sebutkan, Mahiru menggeliat karena terkejut, jelas terkejut.
“Bukannya kamu sendiri yang
memintaku untuk menyentuhmu?”
“Ak-Aku rasa itu bukan inti
persoalannya!”
“Lalu di
bagian mana kamu ingin
aku menyentuhnya, Mahiru?”
“…Yang
penting bukan di mana aku ingin kamu
menyentuhku, Amane-kun. Yang penting di mana kau ingin menyentuhku.”
“Tapi
aku ingin menyentuh bagian tubuh yang kamu
inginkan... Aku ingin mendengarnya dari bibirmu
sendiri,”
bisik Amane di telinganya. Saat kata-kata itu terdengar,
wajah Mahiru perlahan memerah karena panas yang menjalar di pipinya.
Apa pun
yang dibayangkan Mahiru, wajahnya berubah merah padam saat dia segera berbaring di tempat
tidur, memunggungi Amane seolah-olah
ingin melarikan diri. Menyadari kalau
dirinya terlalu menggodanya, Amane memutuskan untuk tidak
mendesaknya lebih jauh tentang imajinasinya. Sebaliknya, ia dengan
lembut menyentuh ruang di sampingnya dan duduk dengan tenang.
Tubuh
Mahiru bergetar hebat, mungkin karena dia
berharap Amane akan melakukan sesuatu. Amane menahan tawanya agar Mahiru tidak
menyadarinya dan tersenyum. Dirinya merasa
geli melihat reaksi pacarnya yang begitu lemah saat digoda. Berhati-hati agar
tidak berbaring di atas helaian rambut pirangnya yang berserakan, Amane perlahan bergeser mendekati
Mahiru dan berbaring di sampingnya.
“Jangan
khawatir, aku takkan melakukan apa pun yang tidak kamu suka… Tapi, setidaknya
biarkan aku memelukmu seperti ini.”
Bohong rasanya jika Amane tidak ingin menyentuhnya, dan mana mungkin ia bisa mengatakan tidak
ingin mengulangi apa yang terjadi pada malam festival budaya itu. Namun, Amane
cukup waras untuk menyimpan perasaan itu jauh di dalam hatinya untuk sementara.
Sejujurnya, Amane cukup yakin Mahiru tidak akan menghentikannya melakukannya
lagi, tetapi ia mencoba menahan diri untuk tidak memaksanya melakukan hal
seperti itu kecuali Mahiru benar-benar menginginkannya. Dan lagi pula—jika
mereka begadang terlalu lama, itu mungkin akan mengganggu rencananya nanti.
“Apa
kamu beneran yakin?” tanya Mahiru berbisik.
"Tentu
saja. Aku takkan melakukan apa pun malam ini sejak awal. Aku sebenarnya
berpikir kita harus tidur lebih awal. Lagipula, malam ini adalah malam ketika
Sinterklas mengunjungi anak-anak yang baik.”
“…Ih, dasar.”
Mahiru tertawa pelan, mungkin mengingat percakapan mereka sebelumnya.
Amane
tersenyum hangat padanya. Rasa malunya pasti sudah berkurang, karena dia
membalas senyum Amane dengan ekspresi
malu-malu. Amane lalu dengan
lembut melingkarkan lengannya di punggung Mahiru, menariknya lebih dekat, dan
tanpa perlawanan, Mahiru duduk dengan nyaman dalam pelukannya.
Malam
ini, Amane tidak bisa menawarkan lengannya sebagai bantal, jadi mereka harus
puas hanya dengan tetap berdekatan. Namun, Mahiru tampaknya tidak mengeluh sama
sekali—sebenarnya, justru sebaliknya. Dia menempelkan wajahnya dengan puas di
dada Amane, sangat puas dengan posisi itu.
“…Sinterklass tidak datang untukku, tapi aku
menerima begitu banyak hadiah darimu sebagai balasannya, Amane-kun. Aku sudah
sangat senang.”
“Rasanya bakal tidak seru kalau
itu sudah cukup memuaskanmu. Ini baru permulaan, bukan?”
Amane
tidak dapat mengubah kenangan masa kecil Mahiru yang indah, tetapi ia mampu
memuaskan hatinya sekarang. Sama seperti ia telah dihujani cinta dari orang
tuanya, ia ingin memberikan kehangatan dan perhatian yang sama kepada
Mahiru—cinta bukan sebagai orang tua, tetapi sebagai pacarnya.
“…Tolong
jangan bertindak terlalu jauh, oke? Kamu, um, jauh lebih bersemangat dari yang
kamu kira, Amane-kun.”
“Aku akan
melakukan hal-hal dengan santai agar kamu
tidak kepanasan. Cukup didihkan dengan api yang tepat. Itu sempurna.”
“Tolong
jangan membuatku mendidih!”
“…Jadi, jawabannya
berarti tidak?”
Saat
Amane menatap mata Mahiru, menyadari bahwa dia sudah mulai menghangat, dia
tersenyum padanya. Tidak dapat menanggapi lebih jauh, bibir merah muda lembut
Mahiru bergetar tanpa suara. Dia kehilangan kata-kata.
Setelah
bisikan lembut yang hampir melelehkan hati, “Aku
tidak bilang begitu kok...” keluar dari bibir Mahiru, Amane
tidak dapat menahan diri. Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, ingin merasakan
kehangatan yang menawan dari Mahiru, yang terasa sedikit lebih hangat dari
biasanya. Karena merasa malu,
Mahiru membenamkan wajahnya di dada Amane untuk menghindari tatapannya, tidak
menyadari bahwa reaksinya yang menggemaskan hanya membuat senyum Amane semakin
lebar.
Seperti
yang dijanjikan, Amane menepuk punggungnya dengan lembut untuk menenangkannya.
Mahiru perlahan mengangkat wajahnya dan menatapnya. Tampaknya dia tidak merajuk
sama sekali—matanya menunjukkan sedikit rasa malu, tetapi dia menatap langsung
ke mata Amane sejenak sebelum menutupnya.
“Selamat
malam, Amane-kun.”
Suaranya
hanya bisikan—tenang, manis, dan puas.
Tanpa
menunggu jawaban Amane, Mahiru membenamkan wajahnya kembali ke dada Amane,
mencari posisi tidur yang nyaman. Amane menghela napas pelan, mereregangkan tubuhnya dan menyesuaikan
posisi, memeluknya dengan lembut agar Mahiru bisa tidur dengan nyaman.
“…Selamat
malam, Mahiru.” Bisiknya lembut, membujuknya agar tertidur.
Mahiru
benar-benar rileks, bersandar padanya
dan sepenuhnya merengkuh tubuhnya dalam pelukannya. Saat napasnya mulai
teratur, Amane bisa merasakan sedikit ketegangan yang tersisa dari tubuhnya.
Dengan ekspresi lembut, Amane terus memeluknya dengan lembut, membelainya
dengan hangat, hingga Mahiru benar-benar tenggelam dalam dunia mimpi.
✧ ₊
✦
₊ ✧
“Sekarang…”
Amane
menunggu dengan sabar hingga Mahiru tertidur lelap. Setelah yakin Mahiru sudah tertidur
nyenyak, ia berbisik pada dirinya sendiri dengan suara yang nyaris tak
terdengar dan dengan hati-hati, dan pelan-pelan, mulai bangkit dari
tempat tidur.
✧ ₊
✦
₊ ✧
Di antara
mereka berdua, Mahiru biasanya yang bangun pagi. Namun hari ini, Amane yang
bangun lebih dulu. Entah karena ingin melihat wajah Mahiru yang sedang tidur
atau ingin melihat reaksinya, tubuhnya terbangun secara alami tanpa ia sengaja.
Jika
Mahiru bangun lebih dulu, Amane
pasti kecewa karena tidak melihat reaksinya, tetapi sepertinya kekhawatiran itu
sia-sia. Di sampingnya ada pacarnya, yang wajahnya yang tenang dan tidak
terjaga saat tidur terpampang.
Wajahnya
yang manis dan polos saat tidur—mungkin merupakan cerminan kenyamanan yang
dirasakannya di samping Amane—merupakan
gambaran kemurnian yang sesungguhnya. Ekspresi yang begitu damai dan bebas dari
kekhawatiran atau kecemasan sekecil apa pun. Bahkan di ruangan yang
remang-remang, di mana satu-satunya cahaya adalah matahari pagi yang mengintip
melalui tirai, wajah tidur Mahiru tampak bersinar lebih terang daripada apa
pun—tidak diragukan lagi karena Amane benar-benar terpikat padanya.
Setelah
beberapa menit mengawasinya, yang tidak pernah membuatnya bosan, Amane
menyadari ada sedikit kedutan. Mungkin karena dia telah bergerak, gerakan
lembut itu tampaknya membangunkannya. Bulu mata panjang Mahiru bergetar, dan
dengan gerakan lambat dan hati-hati, kelopak matanya terbuka.
Matanya
yang berwarna caramel yang masih tidak fokus dan kabur,
belum sepenuhnya terjaga. Kelopak matanya terkulai, hampir menutup sekali lagi.
Kemudian, dia sepertinya merasakan kehadiran Amane, dan setelah beberapa saat kelinglungan, dia perlahan bangkit, menggosok
matanya dan dengan malas melirik ke sekeliling—sampai dia membeku.
Matanya
yang setengah terjaga langsung terbuka karena terkejut.
“Hah—?”
"Selamat
pagi."
Amane
tahu betul bahwa kehadirannya bukanlah hal yang mengejutkannya.
Buktinya,
pandangan Mahiru tidak tertuju padanya yang sedang berbaring di sampingnya,
melainkan pada suatu benda yang terletak di samping bantalnya.
“…Ada
apa?”
Amane
tahu bahwa tindakannya sedikit jahil,
tapi ia tidak bisa menahan diri untuk berpura-pura tidak tahu dan bertanya
meskipun sudah tahu alasannya. Tetap saja, ia ingin melihat reaksi Mahiru apa
pun yang terjadi. Saat Amane duduk, ia
mencondongkan tubuh untuk melihat wajah Mahiru, yang sekarang tampak bingung
dan sedikit gelisah.
“Hah? Ko-Kotak?”
“Ya,
pasti ada beberapa kotak.”
Meskipun
Mahiru sangat terkejut hingga hanya bisa mengucapkan satu kata, Amane
benar-benar mengerti apa yang ingin diucapkannya. Dua kotak kecil yang
dibungkus rapi berada di sisi tempat tidurnya, tertata rapi di samping bantal.
“T-Tapi
bagaimana?”
“Yah,
ada kakek tua periang dengan janggut putih
besar tidak... mengirimkannya—ini sebenarnya dari pacarmu yang tampak pemarah.
Aku harap kamu
memaafkanku untuk itu.”
“K-Kita
sepakat kalau tidak akan ada hadiah…” Mahiru
cemberut pelan. Dengan suara lemah dan gemetar penuh keluhan, dia dengan pelan memukul dada Amane.
Matanya dipenuhi kebingungan, frustrasi, dan kegembiraan, membuatnya tidak
yakin emosi mana yang paling kuat.
Beberapa
minggu yang lalu, saat ulang tahun Mahiru, mereka sepakat untuk tidak bertukar
kado Natal saat ini. Mahiru tidak ingin Amane bersusah payah memilih kado lain
saat dirinya sudah sibuk. Sebagai gantinya,
mereka memutuskan untuk menghabiskan banyak waktu bersama di hari Natal sebagai
gantinya. Namun…
Sejujurnya,
aku sudah lama mengetahui bahwa Mahiru diam-diam berharap Sinterklas
mengunjunginya, bahkan sebelum kami membicarakannya.
Menurut
Mahiru, Sinterklas tidak pernah sekalipun mengunjunginya, dan dia juga tidak
percaya padanya. Jadi, Amane diam-diam berencana untuk mengejutkannya kali ini
dengan membiarkannya merasakan kejutan menemukan hadiah di dekat bantalnya saat
dia tidur.
"Kami
melakukannya. Maaf.”
“Itu
tidak adil!” Mahiru berseru.
Amane
benar-benar merasa bersalah karena mengingkari janjinya, dan yang bisa
dilakukannya hanyalah meminta maaf. Namun, dia tidak menyesali tindakannya
sedikit pun. Lagipula, ini bukanlah sesuatu yang dia lakukan sepenuhnya atas
kemauannya sendiri.
“Namun, bukan cuma aku saja yang melakukannya.”
“Hah?”
“Ibu
dan Ayah juga mengirimimu hadiah.”
Ya, ada
dua kotak yang dibungkus. Satu dari Amane, dan satu lagi datang bersama pohon
Natal yang dikirim orang tuanya.
Awalnya,
Amane bertanya-tanya apa itu, tapi kemudian ia menerima pesan dari Shihoko yang
mengatakan, “Yang ini hadiah Natal untuk Mahiru-chan! Selagi kamu
melakukannya, berpura-puralah menjadi Sinterklas untuknya!” Jadi, Amane menaruhnya di samping hadiahnya
di dekat bantal. Amane tidak
tahu bagaimana ibunya meramalkan dia akan memiliki kesempatan untuk menaruhnya
di sana di tengah malam, yang sedikit meresahkan, tetapi jika itu membuat
Mahiru lebih bahagia, tidak ada alasan baginya untuk tidak melakukannya.
“…Shihoko-san,
Shuuto-san…”
“Sebagai pengingat, aku tidak tahu hadiah apa yang mereka kirimkan. Aku
hanya dikontrak oleh Cabang Fujimiya dari organisasi Sinterklas untuk menangani logistik.”
“Hehe,”
Mahiru terkekeh pelan.
Mahiru
mengingat percakapan mereka tadi malam dan tertawa pelan, rasa frustrasi dan
kebingungannya sebelumnya sepenuhnya tergantikan oleh kebahagiaan yang lembut.
Sambil memegang kedua kotak itu di dadanya, dia memandanginya dengan saksama.
Melihatnya seperti itu, Amane mengulurkan tangan dan menepuk kepalanya dengan
lembut, merapikan rambutnya yang sedikit kusut.
“Aku ragu
orang tuaku akan mengirimimu sesuatu yang aneh, tapi aku tidak tahu apa yang
mereka pilih untukmu.”
Mengetahui
seberapa besar Shihoko memanjakannya,
tidak mengherankan jika dia memberikan apa saja untuk Mahiru. Namun, dengan
adanya Shuuto yang membujuknya untuk berpikir jernih, setidaknya itu adalah
hadiah yang biasa saja.
Kotak itu
berbentuk persegi panjang dan tipis, hanya sedikit lebih besar dari ukuran yang
muat di telapak tangannya. Kotak itu terasa ringan saat dipegang Mahiru, dan
tidak ada suara saat bergerak, jadi Amane menduga ada semacam benda kecil di
dalamnya. Dirinya tidak
mengira Shihoko akan menaruh sesuatu yang mungkin dianggap tidak nyaman oleh
anak SMA, tapi mau tak mau Amane
merasa ragu, mengingat sifat ibunya...
Kemudian, ia melihat Mahiru meliriknya seolah bertanya apakah dia boleh membuka
kotak itu.
Tentu
saja, karena itu adalah hadiah dari Mahiru, Amane mengangguk, memberi isyarat
bahwa dia bebas melakukan apa yang dia suka. Dengan sedikit gugup, Mahiru
dengan hati-hati melepaskan pita dan mengupas kertas pembungkusnya, memastikan
agar tidak merobeknya.
Dia pasti
berhati-hati agar tidak merobek kertasnya agar bisa dipakai lagi.
Amane tersenyum, mengingat sifat Mahiru
yang selalu teliti. Tak lama kemudian,
kotak itu terlihat dari balik kertas pembungkus yang dikupas dengan hati-hati.
Saat itu,
Amane mengenali kotak itu dan sudah bisa menebak apa isinya. Namun, Amane tidak ingin merusak
kegembiraan Mahiru, jadi ia menutup mulutnya rapat-rapat dan memperhatikan
tangan Mahiru yang berhati-hati membuka kotak itu.
Dengan
takut-takut, Mahiru perlahan mengangkat tutup kotak itu.
Di
dalamnya ada dua alat tulis.
“Pulpen
dan pensil mekanik,” kata Mahiru dengan hati-hati.
Pensil
mekanik dan pulpen kayu tersusun rapi di tempatnya. Dihiasi aksen kuningan yang
berkilau saat terkena sinar matahari pagi, warna kayu yang hangat melengkapi
jemari pucat Mahiru dengan indah.
“Mereka
pasti sudah memutuskan ini bersama-sama. Ini benar-benar praktis. Tidak goyang,
menulis dengan lancar, dan terasa nyaman di tangan,” Amane menjelaskan.
“Kupikir
aku mengenali benda-benda ini,” kata Mahiru sambil tersenyum. “Desainnya sama
dengan yang ada di kotak pensilmu, bukan?”
Amane
tahu apa isinya bahkan sebelum Mahiru membuka kotaknya, karena orang tuanya
telah memberinya seperangkat alat tulis dan jam tangan yang sama saat ia
pertama kali masuk sekolah SMA.
Orang
tuanya memiliki penilaian yang tajam. Meskipun mereka tampil dengan gaya,
mereka mengutamakan kepraktisan saat memilih hadiah. Itulah sebabnya mereka
memilih sesuatu yang berguna dan tahan lama untuk hadiah masuk SMA Amane.
Meskipun kayu yang digunakan dalam set Mahiru berbeda dari milik Amane, merek
dan serinya sama. Amane secara pribadi dapat menjamin kenyamanan dan
ketahanannya, karena ia telah menggunakannya dalam waktu yang lama.
“Mereka
mungkin menghabiskan waktu untuk memutuskan apa yang akan dibeli. Kurasa mereka merasa ragu untuk memberimu sesuatu
yang tidak akan kamu
gunakan. Mereka tidak memilih pulpen, mungkin karena, yah, anak SMA tidak punya
banyak kesempatan untuk menggunakannya.”
“Hanya dengan menerima hadiah dari mereka saja sudah membuatku tersentuh…”
“Begitulah
yang namanya orang tua. Mereka ingin
memberimu sesuatu yang praktis yang akan melekat pada dirimu, dan dapat kamu gunakan untuk jangka waktu
yang lama.”
Di mata
Shihoko dan Shuuto, Mahiru sudah menjadi putri mereka. Mereka ingin berperan
sebagai orang tua dalam kehidupan Mahiru, dan pilihan hadiah mereka
mencerminkan sesuatu yang akan mereka pilih untuk anak mereka sendiri.
Meskipun
Amane merasakan campuran antara kekaguman dan sedikit kecemburuan pada seberapa
baik orang tuanya memahami apa yang akan membuat Mahiru bahagia, perasaan itu
dengan cepat menghilang. Mahiru, tersipu dan berseri-seri karena kegembiraan,
dengan malu-malu berkata, “Aku sangat bahagia. Aku harus berterima kasih kepada
mereka nanti.”
Kegembiraannya
yang tulus memenuhi ruangan, dan semua emosi rumit yang dimiliki Amane pun
sirna. Lagipuka, yang terpenting adalah melihat
Mahiru bahagia. Kecemburuannya yang remeh sama sekali tidak penting—sangat
konyol untuk menyimpannya. Sebaliknya, Amane berterima kasih kepada orang
tuanya karena telah membawa kebahagiaan bagi Mahiru.
Mahiru
menutup tutupnya dengan lembut dan gerakan hati-hati, memegangnya seperti
barang berharga.
Sebagai
orang tua pengganti Mahiru, Ibu dan Ayah pasti senang melihatnya terlihat
bahagia.
Jika saja
Mahiru tidak mengenakan pakaian tidurnya, Amane bisa saja merekam momen saat ia
membuka hadiah itu dan mengirimkannya kepada mereka—tetapi Amane segera menepis
pikiran itu. Yang lebih penting adalah memberi Mahiru pengalaman bangun tidur
dan mendapati hadiah telah menunggunya, sesuatu yang belum pernah dia alami sebelumnya.
Setelah
menutup kotak dengan hati-hati dan melipat kertas kado serta pita dengan rapi,
Mahiru meletakkan hadiah dari Shihoko dan Shuuto di meja samping tempat tidur.
Kemudian, dia mengalihkan pandangannya kembali ke Amane. Yang tersisa di
tangannya adalah hadiah yang telah disiapkan Amane untuknya.
“Boleh
aku…membukanya?”
“Aku akan
merasa sedih kalau kamu menyimpannya begitu saja tanpa membukanya,”
jawab Amane dengan bercanda.
“A-Aku tidak akan melakukan itu!
Hanya saja beberapa orang tidak suka hadiah mereka dibuka di depan mereka.”
“Aku
memilih sesuatu yang menurutku cocok untukmu, jadi aku ingin kamu membukanya. Aku harap ini sesuai
dengan seleramu.”
Amane
tidak meragukan seleranya, tetapi ia masih belum sepenuhnya yakin apakah
pilihannya akan sesuai dengan standar Mahiru. Sama seperti saat memilih hadiah
ulang tahunnya, Amane merasa
bimbang dengan keputusannya karena ia tahu Mahiru akan menghargai apa pun, yang
membuatnya semakin penting untuk melakukannya dengan benar. Kali ini, Amane tidak berkonsultasi dengan siapa
pun, jadi ia tidak yakin apakah Mahiru akan benar-benar menyukai apa yang telah
dipilihnya.
Tanpa
memperlihatkan kegelisahan di wajahnya, Amane diam-diam memperhatikan jari-jari
ramping Mahiru dengan hati-hati melepaskan pita itu. Kotak itu memperlihatkan
sepasang anting dan kalung yang semodel.
Mahiru
tidak menyukai aksesori yang mencolok, jadi Amane memilih desain yang relatif
sederhana. Anting dan kalungnya dibuat menyerupai bunga-bunga yang indah,
dengan batu-batu kecil berkilau yang tersebar di seluruh bagian. Meskipun
keanggunannya sederhana, keduanya tidak akan terlihat pucat jika dibandingkan
dengan penampilan Mahiru yang cantik. Meskipun memberinya perhiasan bukanlah
hal yang aneh, memberikannya sebagai hadiah pada hari Natal—klise terbesar yang
pernah ada—membuat Amane merasa sedikit malu, karena hal itu terasa agak tidak
pada tempatnya baginya.
“Aku memberimu
kotak perhiasan untuk ulang tahunmu, ingat? Jadi, um, kupikir akan menyenangkan
untuk memberimu sesuatu yang bisa kamu
masukkan ke dalamnya, sesuatu yang belum pernah kuberikan padamu sebelumnya,”
Amane menjelaskan sembari
merasa sedikit malu.
Untuk
White Day, Amane memberinya sebuah gelang, dan di festival musim panas, sebuah
jepit rambut. Karena ingin menghindari memberinya hadiah yang sama dua kali, ia
dengan hati-hati memilih sesuatu yang sesuai dengan Mahiru dan mudah-mudahan
melengkapi gayanya.
Biasanya,
tempat lain di mana orang-orang
akan mengenakan aksesori adalah telinga,
leher, dan jari—tetapi jari-jari itu disediakan untuk sesuatu yang lain yang
telah ia rencanakan untuk masa depan dan bukan untuk hari ini. Jadi, Amane
memutuskan untuk menghiasi telinga dan leher Mahiru dengan perhiasan yang
dipilih dengan saksama. Itu adalah pemikiran yang sederhana, bahkan mungkin
berlebihan.
Sekarang,
apa yang dipikirkannya?
Amane
hampir merasa ingin mengejek dirinya sendiri, menyadari bahwa sifat posesifnya
benar-benar terungkap pada saat-saat seperti ini. Namun, ia tidak menjauh dan
malah memperhatikan dengan saksama reaksi Mahiru.
“Bagaimana?”
tanyanya, suaranya sedikit ragu.
Pada
akhirnya, yang terpenting ialah apa
Mahiru menyukainya atau tidak. Amane terus memperhatikannya dengan saksama dan sedikit rasa grogi. Mahiru
telah menatap bunga-bunga berkilauan di dalam kotak itu dengan kagum selama
beberapa saat sebelum akhirnya menyadari tatapannya dan perlahan mengangkat
kepalanya untuk menatap matanya.
Melihat ekspresi
di wajahnya, Amane menghela napas lega.
Sepertinya
kekhawatiranku sia-sia saja.
“Ini…menggemaskan.
Sungguh, ini sangat menakjubkan.”
“Syukurlah.
Aku khawatir kalau itu bukan
seleramu.”
“Tentu
saja, aku senang dengan apa pun yang kamu
berikan padaku, Amane-kun. Tapi selain itu, ini melengkapi gayaku dengan
sempurna. Ini sangat indah.”
“Jika itu
membuatmu bahagia, maka tak ada lagi yang bisa kuminta sebagai
Sinterklas—maksudku, pacarmu.”
Berdasarkan
selera Mahiru dalam hal pakaian dan jenis aksesori yang biasa dikenakannya,
Amane telah mempersempit pilihannya menjadi desain ini, dengan pemikiran bahwa
desain ini akan cocok untuknya. Tampaknya ia telah menemukan jawabannya, dan
jantungnya yang berdebar kencang akhirnya mulai tenang.
“Amane-kun,
kamu sering memilih perhiasan dengan desain bunga, bukan?”
“Apa itu
pilihan yang salah?” tanya Amane, sedikit khawatir.
“Tidak,
aku hanya berpikir mungkin ada alasannya.”
“Sejujurnya,
tidak ada alasan khusus... Kupikir itu cocok untukmu dan cocok dengan pakaian
yang biasa kamu kenakan. Sesuatu yang terlalu polos tidak akan cocok dengan
gayamu.”
Mahiru
menyukai desain yang sederhana, tetapi tidak yang terlalu polos atau memiliki
bentuk dasar. Dia lebih
menyukai desain anggun yang menonjolkan lekuk tubuh dengan baik atau memiliki
sedikit kesan imut. Mengingat hal itu, Amane memilih desain bunga ini, karena
yakin desain ini akan sangat sesuai dengan seleranya.
Mahiru
bukanlah tipe gadis yang suka memberikan pujian palsu, jadi Amane merasa lega.
Tidak ada keraguan dalam benaknya bahwa Mahiru benar-benar menyukai hadiah itu.
Mahiru menutup tutupnya dengan lembut, memegang kotak itu dengan hati-hati
seolah-olah itu adalah harta karun yang berharga, senyum lembut muncul di
bibirnya.
Terus
terang saja, dia memasang ekspresi seperti sedang menahan senyum.
“…Aku
akan menghargainya,” kata Mahiru dengan lembut.
“Terima
kasih. Tapi tunjukkan padaku kapan kamu
akan memakainya—aku akan memujimu seperti tidak ada hari esok.”
“T-Tolong
jangan mulai mengumumkan terlebih dahulu bahwa kamu akan memujiku. Lagipula,
kamu tidak boleh memaksakan diri untuk melakukannya.”
“Kenapa
tidak? Aku membelinya karena kupikir itu akan cocok untukmu, dan aku yakin itu
akan cocok. Jika itu cocok untukmu, tentu saja aku akan memujimu. Memangnya aku salah ya ingin mengatakan pada pacarku bahwa dia manis?”
Membayangkan
Mahiru mengenakan sesuatu yang diberikannya saja sudah membuat Amane sangat
senang, dan itu pasti akan memanjakan matanya juga. Selain itu, Mahiru juga
tidak akan merasa bersalah jika dipuji—tidak ada yang salah dengan pujian itu.
Memuji aspek-aspek baik dari pasanganmu adalah rahasia untuk menjaga hubungan
yang sehat dan penuh kasih. Lagipula, jika ia tidak mengungkapkan perasaannya,
perasaan itu tidak akan tersampaikan dengan baik, jadi tidak ada salahnya untuk
mengungkapkannya dengan lantang.
Ketika
Amane memiringkan kepalanya, berpikir tidak ada yang aneh dengan apa yang dia
katakan, Mahiru bergumam, “Beginilah
cara Shuuto-san membentukmu...”
seolah-olah dia telah dibentuk seperti adonan yang siap dipanggang dalam oven.
Amane tidak bisa menahan tawa. Sebenarnya, Shuuto memang telah menanamkan dalam
dirinya gagasan bahwa memuji kebaikan orang lain secara terbuka membuat kedua
orang merasa lebih baik, jadi dalam hal itu, dia telah ‘dibentuk’. Menyaksikan orang tuanya
berinteraksi selama bertahun-tahun hanya memperkuat keyakinan itu,
menjadikannya prinsip panduan bagi Amane.
Ketika
Amane berkata terus terang, “Kamu juga menggemaskan saat
bertingkah seperti ini,” Mahiru
menanggapi dengan erangan lembut dan malu. Karena tidak ingin memperpanjang
waktu pemulihannya, Amane menghentikan ejekannya di sana. Sambil tertawa kecil,
ia dengan sabar menunggu Mahiru tenang. Setelah beberapa kali menarik napas
dalam, akhirnya ia berhasil mengurangi kemerahan di pipinya dan menatapnya
lagi.
Entah
kenapa Mahiru memasang ekspresi sedikit cemberut.
“…Aku
juga ingin memberimu hadiah. Tidak adil kalau hanya kamu saja yang memberikannya.”
Setelah
melihatnya kesal atas sesuatu yang tidak terduga, sekarang giliran Amane yang
tersenyum hangat.
Mahiru
tidak senang karena menjadi satu-satunya yang menerima hadiah dan
menggembungkan pipinya dengan manis untuk menunjukkan sedikit rasa frustrasi.
Amane menganggap ini sangat lucu, tetapi ia tahu bahwa jika ia mengatakannya,
Mahiru akan mencuri selimut karena malu. Mengantisipasi hal ini, dAmane menelan kata-kata yang hendak
diucapkannya.
“Jangan
khawatir, aku sudah menerima hadiahnya,” katanya.
“…Kamu tidak akan mengatakan kalau itu
'aku', kan?”
“Hampir,
tapi belum. Aku sudah memesan masa depanmu, lho.”
“Itu
tidak adil! Aku sudah memesan milikmu juga!”
“Hahaha.”
Meskipun
dia tidak menyambar selimut, tinju Mahiru dengan lembut memukul paha Amane.
Meskipun dirinya sedang diserang,
pemandangan itu hanya memicu naluri protektifnya. “Aduh, aduh,” gumamnya, meskipun Amane tidak bisa menahan diri untuk
tidak merasa ketukan ringan itu lebih menenangkan daripada menyakitkan. Hampir
mengkhawatirkan betapa dia menikmatinya—mungkin, dalam satu hal, itu juga agak
tidak ada harapan baginya.
Amane
tersenyum lagi. Mungkin karena kabut pagi yang masih tersisa, tetapi emosi
Mahiru jauh lebih mudah dibaca daripada biasanya. Merasakan pikirannya, dia
bergumam dengan nada bercanda, “Kamu benar-benar bodoh, Amane-kun,” menggodanya dengan hinaan kecil
yang lucu. Hal ini hanya memperlebar senyumnya, membuatnya semakin sulit untuk
tetap berwajah datar.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya