Kimitsuki Chapter 1.6 Bahasa Indonesia



Kota Aimi, sebuah kota yang terletak di prefektur sebelah dan memiliki populasi kurang dari setengah juta orang, serta tidak memiliki ciri khas yang khusus.

Jalan- jalan di kota ini diaspal merata dengan beton dan pinggirannya dikuasai oleh toko-toko yang berjejer di sepanjang jalan. Para siswa dari SMA-ku takkan pernah datang ke sini untuk bersenang-senang. Karena kota ini terlalu jauh, dan juga tidak ada yang menarik dari kota ini.

Tentu saja, ada alasan kenapa aku jauh-jauh datang menggunakan kereta selama 3 jam penuh untuk sampai ke sini.

Itu karena, Ayah Mamizu tinggal di kota ini.

Alasan kenapa ayahnya tinggal di tempat yang jauh ini, karena, seperti yang Kayama katakan, orang tua Mamizu sudah bercerai.

Ternyata, melalui diskusi antara ayah Mamizu, yang mengelola sebuah perusahaan, dan ibunya, Ritsu-san, telah memutuskan bahwa Mamizu akan hidup dengan Ritsu-san. Tapi Mamizu tidak pernah mendengar alasan langsung perceraian dari Ritsu-san. Bahkan ketika dia bertanya, jawabannya selalu menghindar.

“Aku ingin bertanya pada ayahku mengapa ia dan ibuku bercerai.”

Kali ini adalah permintan Mamizu dari daftar “hal yang dia ingin lakukan sebelum dia meninggal”.

Bukankah itu sedikit terlalu berat untuk meminta orang lain yang melakukannya? Pikirku.

"Tolong. Aku benar-benar serius; Aku ingin mengetahuinya sebelum aku meninggal,. Tapi aku tidak diberitahu nomor telepon atau alamat e-mail ayahku. Jadi, Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan.”

Memang, Mamizu meminta ini padaku dengan sangat serius. Bersamaan dengan nada serius yang berbeda dari nada yang biasa  dia digunakan sebelumnya.

“Mungkinkah ...?” Sebuah pemikiran terlintas dibenakku. “Apa kau mengujiku sampai sekarang supaya kau bisa memintaku untuk melakukan hal ini?”

Ketika aku memecahkan bola salju, Mamizu memberitahuku bahwa dia ingin aku untuk melakukan “hal yang dia ingin lakukan sebelum dia meninggal” menggantikan dirinya. Bola salju itu adalah sebuah harta berharga yang diberikan kepadanya oleh ayahnya.

Bola salju itu mungkin adalan pemandangan di imajinasi Mamizu.

Sebuah dunia di dalam bola kaca di mana salju terus turun, seakan waktu di dalamnya telah berhenti.

Mungkin bagi Mamizu, rumah yang ada di dalam bola itu telah menjadi pengingat rumah tangga bahagia yang pernah dia miliki.

Itu berarti dia ingin berbicara dengan ayahnya? Tapi, dia tidak bisa bertemu ayahnya. Jadi itu sebabnya dia mendapatkan ide untuk membuatku melakukan itu untuk menggantikan tempatnya?

Bukankah semua hal yang sudah kulakukan sampai sekarang menjadi tes untuk tugas ini? Karena dia tidak ragu-ragu untuk membuat suatu permintaan yang berat ini. Itulah yang kupikirkan.

... Mana mungkin itu benar. Aku hanya bermain-main dengan membuatmu melakukan hal-hal gila, Takuya-kun.”

"Baiklah."

Pada akhirnya, aku mulai merasa seperti aku tidak bisa menolak permintaan Mamizu sesudah aku mendengarnya.

Aku akan melakukan apa yang aku bisa,” kataku sambil meninggalkan kamar rumah 
sakit.


****

Satu-satunya petunjuk yang aku punya hanyalah alamatnya. Ayah Mamizu telah meninggalkan rumah tempat dimana mereka pernah tinggal, dan  nampaknya dia tinggal di rumahnya sendiri. Rumah yang berada di kota Aimi. Mengandalkan aplikasi peta di smartphone, aku menemukan rumah itu.

Papan kayu yang terletak di depan pintu tertulis, “Fukami.”

Aku sedikit gugup, tapi aku memberanikan diri membunyikan interkom.

“Siapa itu?” Kata suara seorang pria melalui interkom.

Apa ia ayah Mamizu?

"Apa Fukami Makoto-san ada di sini?" Tanyaku.

“Tak ada orang yang memiliki nama itu di sini.”

Ada sesuatu yang sangat suram dalam suara pria itu. Dan ada sesuatu seperti kecemasan di dalamnya juga. Tapi aku pasti mendengar bahwa ayah Mamizu tinggal di sini. Apa maksud di balik mengatakan bahwa ia tidak di sini?

“Apa urusanmu?” Tanya pria itu.

“Umm, namaku Okada Takuya. Sebenarnya, aku kenalan dari Mamizu..... Mamizu-san. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengan anda, jika anda boleh mengizinkan diriku.”

“Apa sesuatu terjadi  pada Mamizu?” Nada suaranya tiba-tiba berubah; terdengar seperti terdesak.

Dan suara itu terputus. Beberapa saat kemudian, seorang pria paruh baya buru-buru keluar dari rumah.

Dia memiliki rambut yang agak panjang, pria berotot dengan kulit kecokelatan, dan pakaiannya hanya dapat digambarkan sebagai piyama. Aku tidak benar-benar memiliki kesan yang jelas tentang dirinya.

"Aku Fukami Makoto. Aku ayah Mamizu," kata dia.

Jujur saja, ia jauh dari bayangan direktur yang mengelola sebuah perusahaan. Itulah kesan pertamaku dari ayah Mamizu.


****

"Begitu ya. Aku mengerti."

Aku diizinkan masuk ke dalam rumah Makoto-san, dan menjelaskan kepadanya mengapa aku datang ke sini di meja ruang tamunya. Menceritakan padanya bahwa Mamizu ingin mengetahui mengapa ia dan Ritsu-san bercerai.

“Mamizu-san ... bagaimana aku menjelaskannya ya? Tampaknya dia berpikir kalau penyakitnya, fakta bahwa dia memiliki penyakit luminesensi, adalah penyebab perceraian orang tuanya,”kataku. “Dia berpikir bahwa mungkin dia dibuang karena muak.”

“Tidak ... Aku berpikir bahwa kesalahannya terletak pada diriku karena tidak mengatakan yang sebenarnya,” kata Makoto-san, menatapku langsung dengan matanya. “Omong-omong, apa kau pacar Mamizu, Takuya-kun?”

Tanpa sengaja aku hampir menyemburkan teh yang sedang kuminum. “Ti-tidak! Aku, bagaimana bilangnya ... hanya kenalannya saja,” kataku.

“Tapi, terlihat bahwa setidaknya, Mamizu mempercayaimu. Dia takkan meminta seorang kenalan untuk melakukan sesuatu seperti ini untuknya.”

Itu …... Aku juga penasaran, pikirku. Apa yang Mamizu pikirkan tentang diriku? Ini seperti aku sudah mengerti, tapi ternyata tidak.

“Omong-omong, Takuya-kun, apa yang kau pikirkan tentang diriku?” Tanya Makoto-san.

"Hah?"

Aku merasa bahwa ini adalah pertama kalinya aku bertemu orang dewasa yang akan mengajukan pertanyaan ini. Untuk berpikir bahwa Makoto-san akan mengkhawatirkan penampilannya di mata seorang siswa SMA – pertanyaannya terasa sedikit tidak biasa bagiku.

“Kupikir kau benar-benar liar,” kataku dengan jujur.

Makoto-san tertawa hampa. Cara dia tertawa sedikit mirip dengan Mamizu.

“Aku tidak terlihat seperti seorang direktur dari sebuah perusahaan, bukan?” Kata Makoto-san, masih tertawa namun tatapan yang tajam tiba-tiba muncul di matanya. Bagian dari dirinya itu juga sedikit mirip dengan Mamizu.

“Tidak, itu ...” Aku bingung harus berkata apa.

“Jadi, kau ini tipe yang tidak bisa berbohong ... kau akan menderita saat berurusan dengan perempuan.” Dengan perkataan yang mirip petunjuk, Makoto-san menenggak semua air teh di cangkir yang digenggam tangannya. “Sejujurnya, aku bukan direktur perusahaan lagi.”

Dan kemudian Makoto-san mulai menceritakan kebenaran di balik perceraiannya.

****

Makoto-san awalnya mengelola produksi komponen skala kecil di kota kami.

Perusahaan itu, yang cukup mumpuni walau sebagai pabrik kecil di kota, berhasil membuat sejumlah kesepakatan dengan perusahaan-perusahaan besar dan tumbuh dengan cepat. Tapi saat investasi modal besar-besaran dibuat, klien yang bermulut besar rupanya menjadi bangkrut, dan hasilnya, bisnis tersebut gagal.

Makoto-san yang sudah terpojok karena hampir bangkrut, dan setelah berpikir dalam-dalam, memutuskan untuk menceraikan Ritsu-san sebelum dia menyatakan kebangkrutan. Setelah ia menyatakan kebangkrutannya, aset pribadinya seperti rumah dan dana di rekening bank-nya akan disita.

Perawatan Mamizu, yang menderita penyakit luminesensi, membutuhkan biaya yang cukup besar. Itu adalah penyakit yang menumpuk tagihan medis. Ini takkan bisa disembuhkan, dan metode pengobatan masih belum ditetapkan. Biasanya, pasien dengan penyakit itu akan dirawat di rumah sakit dan mendapat perawatan terus menerus. Makoto-san berpikir bahwa melalui perceraian, dia bisa meninggalkan uang untuk membayar perawatan Mamizu.

Akan menjadi bermasalah bagi Makoto-san jika ia bertemu dengan Mamizu dan ibunya di depan kreditor dan kolektor utangnya. Karena itulah, dia bahkan tidak memberitahu nomor kontaknya pada Mamizu. Sekarang, ia kembali ke rumahnya sendiri dan tinggal dengan orang tuanya, kakek dan nenek Mamizu, serta melakukan pekerjaan fisik yang berbahaya di lokasi konstruksi. Dan dia mengirim uang ke Ritsu-san secara rahasia.

Mereka berdua memutuskan untuk merahasiakan ini dari Mamizu. Mereka tidak ingin menimbulkan kekhawatiran yang tidak perlu untuk anak mereka yang sakit dan dirawat di rumah sakit dimana dia hanya mengenal kehidupan yang kaya.
Mereka mengira bahwa jika mereka mengungkapkan semuanya, Mamizu akan berhenti di SMA, di mana dia akan memiliki masa depan yang buruk. Tapi Makoto-san tidak ingin dia berhenti SMA semisal ada keajaiban kalau penyakitnya bisa sembuh.

“Bukan hanya itu, tapi mungkin saat itu, harga diriku terlalu tinggi untuk mengungkapkan segalanya untuk putriku,” kata Makoto-san.

Itulah kebenaran di balik perceraian orang tua Mamizu.

Masalah ini begitu berat sampai aku tidak bisa memberikan tanggapan apapun; Aku hanya duduk di sana dan mendengarkan.

“Apa kau akan memberitahu semua ini pada putriku?” Tanya Makoto-san saat ia selesai bercerita.Tampaknya ia masih memiliki keraguan.

“Ini mungkin sikap yang kurang sopan dari diriku untuk mengatakan ini, tapi ... Kupikir, itu sangat kejam untuk menyembunyikan kebaikan atau perhatian. Rasanya tak tertahankan untuk satu hal yang terus disembunyikan,”kataku.

“Kau cukup pintar dalam mengutarakan sesuatu, bukan?” Makoto-san mendengarkanku berbicara dengan senyum pahit di wajahnya.

Meski begitu, aku terus melanjutkan. “Mamizu-san ingin tahu kebenarannya sebelum dia meninggal.”

“Meninggal, ya. kau memiliki cara yang sangat jelas dalam berbicara, Takuya-kun” 
Kata Makoto-san, wajahnya tiba-tiba menjadi serius. Untuk sesaat, aku pikir dia marah. Tapi aku salah. “Ini mungkin seperti yang kau katakan, Takuya-kun. Mungkin aku harus memberitahu masalah ini dengan benar pada Mamizu.”

Dan kemudian Makoto-san memberikan senyum yang dipaksakan. Aku menutupi wajahku, merasa sedikit malu karena sudah terlalu banyak berbicara.

“Sebenarnya, aku memiliki sesuatu untuk meminta maaf pada anda, Makoto-san,” kataku, dan mengambil objek tertentu dari tasku. Itu adalah bola salju yang dirusak olehku . “Aku menjatuhkannya dan pecah. Maafkan aku."

Isi dari bola salju, rumah kayu yang sekarang tanpa salju, telah runtuh.

“Kau tidak berbohong, ‘kan?” Kata Makoto-san, tampak terkejut. "Tidak apa-apa. Segala sesuatu yang memiliki bentuk akhirnya akan rusak.” Dia mengucapkan kata-kata yang sama persis seperti Mamizu. “Tapi Mamizu ...” Dia tidak bisa melanjutkan kata-katanya.

“Aku yakin dia sangat sedih.” Aku berhasil menyelesaikan kalimatnya.

"Baiklah, aku akan melakukan sesuatu tentang benda ini. Jangan mengkhawatirkan tentang hal itu,” kata Makoto-san.

“Umm, paling tidak, apa anda bisa  memberitahu Mamizu-san rincian kontak anda?” Tanyaku pada Makoto-san saat aku hendak pergi.

Makoto-san merenung cukup lama. “Jika dia berjanji untuk tidak memintaku untuk bertemu dengannya,” katanya, sambil menyerahkan memo dengan alamat e-mail tertulis di atasnya. “Takuya-kun, pastikan kau berteman baik dengan Mamizu,” katanya padaku di akhir.

Aku hanya menjawab, “Iya, pak.”

****

Saat aku pergi ke kamar rumah sakit, Watarase Mamizu tengah menghabiskan waktunya dengan membaca buku juga. Kalau diperhatikan dengan cermat, itu adalah buku kecil yang selalu dia baca. Aku terkejut karena dia bisa terus membaca buku yang sama tanpa bosan.

“Bagaimana hasilnya?” Tanya Mamizu, tidak memalingkan matanya dari halaman buku. “Apa Ayah setidaknya menemukan wanita baru?”

Aku samar-samar merasakan bahwa kata-kata ini bukan cerminan dari perasaan dia yang sebenarnya. Dia merasa gugup mendengar laporanku. Dia hanya mengatakan kalimat itu untuk menyembunyikan kegugupannya dan bertindak sok kuat. Meski begitu, aku tidak ingin dia mendengarkan cerita Makoto-san saat dia berbicara dengan sikap dan nada yang seperti itu.

“Makoto-san sudah menceritakan semuanya.” Aku duduk di kursi bulat di samping tempat tidur Mamizu dan menatapnya dengan serius. Dan kemudian aku menghentikan tangannya yang sedang membolik-balik halaman bukunya. “Jadi, kau perlu mendengarkan dengan baik juga, Mamizu.”

... Baiklah,” kata Mamizu dengan patuh.

Dan begitu, aku menceritakan padanya kisah yang aku dengar dari Makoto-san, dari awal sampai akhir.

Aku mengatakan kepadanya bahwa Makoto-san tidak meninggalkannya, tapi malah kebalikannya, dan bahwa ia sekarang menempatkan semua upaya ke dalam pekerjaan demi putrinya. Alasan kenapa ia terus merahasiakan penyebab perceraiannya karena ia tidak ingin membuat putrinya khawatir tentang gaya hidupnya sementara dia berada di rumah sakit. Bahwa ia tidak ingin Mamizu mencemaskan apapun setelah mengetahui semua ini, dan bahwa dia harus merasakan hal yang sama terhadap dirinya seperti yang dia lakukan sampai sekarang.

Butuh beberapa waktu untuk menceritakan semua ini demi menyampaikan perasaan Makoto-san seakurat mungkin. Dan pada akhirnya, aku menyerahkan memo dengan rincian kontak yang telah diberikan oleh Makoto-san.

“Jadi, Ayah dan Ibu tidak bercerai karena hubungan mereka menjadi buruk.” Itu adalah hal pertama yang Mamizu katakan setelah mendengarkan apa yang aku ceritakan.

"Ya. Makoto-san bilang kalau ibumu masih pasangan yang penting baginya,” kataku.

“Katakanlah Takuya-kun. Jika aku tidak menderita penyakit ini, mereka berdua tidak akan terpisahkan, bukan?” kata Mamizu mengucapkan kata-kata tersebut.

“Itu salah, Mamizu,” kataku.

“Ini lebih baik jika aku tidak pernah lahir, kan?” Kata Mamizu dengan ekspresi kelam.

"Itu tidak benar. Makoto-san, ayahmu, sama sekali tidak berpikiran seperti itu,”kataku dengan refleks, dengan hampir tidak ada pemikiran di balik kata-kataku. Aku bahkan terkejut pada diriku sendiri karena bisa mengatakan kata-kata ini seolah-olah mereka datang secara alami.

“Tapi itu benar, bukan? Aku menjadi sakit dan semua yang aku lakukan hanya membuat orang-orang di sekitarku menderita. Dan bila penyakitku bisa disembuhkan dan aku bisa hidup, itu sendiri tidak menjadi masalah. Tapi aku pasti akan mati. Jadi ini sama sekali tidak ada artinya, bukan?”

Suara Mamizu terdengar begitu putus asa sampai membuatku bergidik. Apa yang harus kukatakan pada saat seperti ini? Aku mencoba mengatakan sesuatu. Semua jenis kalimat melayang ke dalam pikiranku, seperti “Bergembiralah,” atau “Tidak apa-apa,” namun tidak satupun dari mereka yang sesuai dengan situasi ini.

“Ini bahkan mengganggumu, bukan? Bertemu dengan gadis yang sakit-sakitan dan merepotkan seperti diriku. Melakukan apa yang dikatakannya. Aku akan berhenti dimanjakan olehmu sekarang, Takuya-kun.”

Pada saat itu, aku tidak bisa memberikan kata-kata yang positif. Aku berpikir bahwa perasaan tulusnya tidak bisa disembuhkan dengan perkataan dangkal. Aku pikir bahwa aku sebagai manusia, terlalu tak berarti untuk mengatakan kalimat positif seperti itu padanya.

Dan yang paling penting, aku sendiri tidak bisa percaya pada kata-kata semacam itu. Aku berpikir bahwa jika aku mengucapkan kalimat yang aku sendiri tidak percaya, mereka akan terdengar hampa dan tidak jujur.

“Kau masih memiliki banyak hal pada 'hal yang ingin kau lakukan sebelum meninggal', ‘kan? Apa yang harus aku lakukan selanjutnya?” Tanyaku.

Mamizu menatapku dengan ekspresi terkejut. “Tapi bukannya kau tidak menyukainya?”

“Yah ... bukannya aku tidak suka sih,” kataku setelah sedikit berpikir.

Itu agak sulit bagiku untuk menjadi lebih jujur dari itu.

“Takuya-kun, mungkinkah kau ini benar-benar seorang pria yang baik?” Mamizu menatapku dengan penasaran.

“Ya mungkin begitu,” jawabku, merasa jengkel.





close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama