Chapter 4 – Pintu Menuju Eina
"Lima tahun yang lalu terjadi topan besar di bulan Oktober, dan di hari itu ada bencana longsor sewaktu Eina pergi dari rumah malamnya. Kau ingat bencana longsor itu, ‘kan?"
"… Ya, aku ingat."
"Bencana tersebut diberitakan juga di koran, dan seorang gadis telah dinyatakan hilang. Dinilai dari situasinya, kemungkinan besar dia tertimbun longsor tersebut."
"Jadi, begitu.."
"Maafkan aku, Shuu."
"Makasih atas semuanya. Aku… senang bisa mengenalnya. Senpai juga, makasih."
"Shuu-kun…"
Dia kelihatan enggak bisa mencari kata-kata yang tepat. Itu bisa dimaklumi.
Aku juga sudah bersemangat, mengatakan sesuatu seperti ‘Dia itu gadis seperti apa, ya.’ atau ‘Aku ingin membicarakan soal buku-buku kesukaan kita sebertemu dengannya nanti’.
Aku merasa enggak enak karena mengabaikan perasaan mereka.
Sepulang dari rumahnya, kami pergi ke perpustakaan dan memeriksa koran-koran lama untuk memastikan apakah yang dikatakan sepupunya Eina itu memang benar adanya.
Sekalipun kejadian itu memang benar karena sepupunya sendirilah yang memberitahukannya, aku belum menyerah.
Tanpa berkata apa pun, Sakai dan Ruka-senpai membantuku.
"Aku mau pulang."
"Aku antar," tawar Ruka-senpai.
"Makasih, aku baik-baik saja, kok."
"Tapi…"
"Untuk sementara ini aku ingin sendirian. Maaf sudah melibatkanmu seperti ini," ucapku, dan dia enggak menimpalinya.
Sendirian, aku berjalan pulang. Air mata memenuhi mataku sewaktu kami berpisah.
Eina sudah meninggal?
Aku enggak bisa memercayainya, aku enggak mau memercayainya. Tapi memang itulah kenyataannya.
Manusia hidupnya sangat singkat. Itu adalah kenyataan mengejutkan yang kejam.
Enggak ada yang namanya keajaiban.
Enggak ada yang namanya sih—
"Enggak, itu ada."
Kukeluarkan ponselku. Ada sihir dalam genggamanku. Ponselku ini terhubung ke lima tahun lalu.
Aku tinggal memberitahu Eina.
Kuyakin pasti berhasil.
Kubuka aplikasi dan meneleponnya, tapi…
Enggak ada nama Eina di daftar temanku. Meski dicari nama akunnya juga sama. Riwayat pesanku juga hilang.
"Ini aneh."
Kuotak-atik ponselnya dengan kekalutan. Lewat aplikasi, dan lewat berkas-berkasku juga.
Namun, aku enggak bisa menemukan cara untuk menghubunginya.
Mantranya akan patah seberbunyi lonceng tengah malam.
Perginya ke rumah Eina seakan merupakan suatu pertanda, kini ponselku hanyalah sekedar ponsel biasa.
*****
Aku enggak ingat betul apa yang terjadi setelahnya. Yang jelas, aku masih ada di kotanya Eina.
Aku keluyuran di tempat yang ada pada foto yang dipostingnya. Mencari-cari jejak dirinya.
Kuterus melanjutkan pencarian yang sia-sia ini, bertanya-tanya apakah mungkin dia masih hidup.
Pohon sakuranya benar-benar belum mekar. Gimnasium di SD-nya juga sudah dicat ulang.
Sedikit demi sedikit, kota ini mulai berubah selama lima tahun terakhir.
Postingannya Eina juga tiba-tiba terhenti lima tahun lalu. Andai kata si penulis meninggal, maka tentu saja postingannya akan terhenti.
Lalu, aku pun sampai.
Di TKP terjadinya longsor.
Terdapat jejak seekor binatang di sepanjang bukit. Pepohonan pada tumbang seolah-olah lereng tersebut sudah digunduli. Masih ada bekas-bekas pergeserannya. Bekas-bekasnya tersebut menjalar di kedua sisi jalan.
Tempat ini masih tetap sama semenjak lima tahun lalu.
Kalau kau tertimbun di sini, kau enggak akan bisa selamat.
"Eina…" seruku. Dia terkubur di sini, karena dia belum pulang.
"Eina!"
Dia pasti terluka dan merasa sakit. Bagaimana rasanya? Ataukah kejadian itu terjadi tiba-tiba tanpa sepengetahuannya?
Kucengkram erat ponselku.
Gantungan yang dia berikan padaku sudah dipasangkan.
Mengapa aku enggak bisa menyelamatkannya?
Mengapa…?
Mengapa?!
"Eina!!"
Bukit kembali hening usai kuberteriak, suaraku bergema sia-sia. Lalu…
Vzzzt, vzzzt.
Ponsel yang kugenggam bergetar. Getarannya cukup keras hingga bisa kudengar.
Meski kubertanya pada diri sendiri siapa yang meneleponku di saat seperti ini, aku tetap melihat layarnya karena sudah kebiasaan.
Itu nomor yang enggak dikenal.
Perasaan enggak enak menetap dalam dadaku. Atau mungkin itu adalah harapan.
Meskipun merasa takut dikhianati, walaupun enggak mau terluka lagi, aku enggak sanggup menghentikan tanganku untuk menjawabnya.
Panggilannya pun tersambung.
《Shuu-san?!》
Itu adalah suara soprannya yang indah dan merdu.
"Eina?!"
Enggak mungkin aku salah dengar, tapi aku harus tanya.
《Tidak mungkin! Berhasil tersambung!!》
Dia enggak menjawab pertanyaanku, tapi itu jelas Eina. Cucuran hujan terdengar lewat speaker, dia lagi hujanan.
Aku pun teringat sepupunya ada bilang dia mendaki bukit di belakang rumahnya saat terjadi badai, dan perasaan dingin pun menjalar ke punggungku.
"Eina, apa kau lagi di luar?! Kalau iya, cepetan pulang!"
《Shuu-san? Itu kamu, ‘kan? Maaf, aku tidak bisa mendengarmu.》
Beep.
Teleponnya terputus.
"Sial, kenapa harus sekarang."
Kutelepon lagi.
"Kumohon, tersambunglah…" tapi enggak ada tanda-tanda tersambung, "Eina! Semoga kau selamat, Eina!"
Hanya sekedar memanggil namanya lah yang bisa kulakukan.
Lalu, aku menyadari gantungan ponselku bersinar redup.
Itu adalah maskot versi iblis yang kuperankan. Aku mengerutkan kening dan melihatnya.
Cahayanya semakin tambah terang, saking terangnya hingga membuatku sulit untuk membuka mataku.
Suatu kilauan pun melandaku dan seketika itu juga, dunia menjadi gelap.
******
Ada suatu sosok di hadapanku.
Sosok itu kecil, layaknya sosok seorang gadis.
Tingginya bahkan enggak sampai sedadaku.
Dia basah kuyup, demikian juga dengan rambutnya. Dia menggenggam erat ponsel di depan dadanya.
"Shuu-san!"
Seru… gadis itu.
"Eina… apa itu kau?"
"Ya! ini aku!"
Gadis itu berlari menghampiriku selagi bicara, mendekapku. Kurangkul dia dalam pelukanku.
Kami saling peluk di tengah-tengah hujan deras dan deruan angin.
"Shuu-san, kamu hangat…"
"Syukurlah, kau masih hidup."
"Oh iya, kenapa kamu ada di sini?" tanyanya.
"Aku juga enggak tahu, aku meneriakkan namamu di tempat terjadinya bencana, dan entah bagaimana aku berakhir di sini. Oh iya, bencananya!" Aku agak memisahkan diri darinya dan menatap matanya, "Eina, di sini berbahaya, kalau kau tetap di sini, kau akan terkubur dalam longsor dan mati."
"Eh…?"
"Aku pergi menemui dirimu di lima tahun mendatang. Maaf, aku melanggar janjiku. Tapi aku sangat ingin bertemu denganmu. Lalu sepupumu bilang, bahwa kau sudah meninggal dan akan hilang dalam topan ini."
Wajahnya memucat dan kugenggam tangannya.
"Tenang saja," ucapku, selembut mungkin, "Aku pasti akan menyelamatkanmu."
Saat itu, tampang kaku Eina pun menjadi sedikit tenang.
Aku yang merasa lega pun bersumpah pada diriku sendiri, bahwa aku akan menyelamatkannya.
"Baiklah. Ayo kita cepat per—"
Mendengar suara gemuruh yang membenamkan suaraku, secara spontan kutarik dia kebelakangku. Segera setelahnya, tanah di hadapanku pun roboh. Tulang punggungku langsung menggigil.
"… Nyaris saja." suara Eina gemetaran.
"Pokoknya, ayo kita pulang… Eina, kau ke sini dari arah mana tadi?"
Dia menunjuk ke daerah yang baru saja ditutupi lumpur sembari gemetaran.
"Kita enggak bisa lewat sana, terlalu bahaya."
Aku menghubungi 119 untuk meminta bantuan, tapi enggak bisa.
Wajar sih, lagian ponselku ini dari lima tahun mendatang.
"Maaf Eina, bisa kau hubungi 119 untuk minta bantuan?"
"Ponselku dirusak Teteh," ucapnya dengan meminta maaf sembari menunjukkannya padaku. Terdapat retakan besar yang menjalar pada layar dan bodi ponselnya, "Ponselnya sudah tidak nyala lagi, rasanya sudah seperti sebuah keajaiban saja aku bisa meneleponmu sebelumnya."
Jadi itu yang dimaksud ia ada masalah yang enggak berjalan dengan baik di antara mereka, dan sekarang aku paham kenapa kami enggak bisa bicara lagi.
"Kalau begitu, ayo kita turun."
Kami mulai berjalan sambil hujanan. Aku menggenggam tangan kiri Eina dengan tangan kananku. Tangannya dingin karena hujan, dan lambat laun aku juga bakalan sama sepertinya, aku bisa merasakan suhu tubuhku yang menurun. Langit sudah gelap, dan hujan yang deras membuatnya jadi sangat sulit melihat.
Kuharap kita bisa menemukan tempat untuk berteduh dan menunggu bantuan, tapi enggak ada apa pun yang bisa berguna.
Selangkah demi selangkah, kami terus melangkah maju dengan hati-hati.
Terus terang saja, aku ketakutan. Eina juga pasti sama. Tanganku digenggam erat oleh tangan mungilnya yang gemetaran, dan itu bukan hanya sekedar karena kedinginan. Akan tetapi…
Berulang kali, kumenatapnya.
Berulang kali juga, dia menatapku.
Tiap kali kami saling memandang, kami sedikit tersenyum.
… Situasinya mungkin mengenaskan.
Tapi kami enggak sendirian, kami bertemu dengan orang yang ingin kami temui. Itu sendiri sudah memberi kami keberanian.
Lalu…
"Eina! Lihat! Ada cahaya!"
Kami pun turun ke jalan di sisi tebing.
"Kita berhasil!"
Secara spontan kami pun saling lompat ke pelukan masing-masing. Sekarang kita hanya perlu mengikuti turunan jalan ini ke kota.
Lalu, aku menyadari sesuatu yang mendekat dengan cepat.
Untuk sesaat, cahaya putih terang memenuhi pandanganku. Itu adalah truk. Sampe sekarang aku enggak menyadarinya karena hujan. Ditambah, truk itu juga datang dari tikungan, jadi aku enggak melihat adanya cahaya.
Sewaktu kumenyadarinya, truk itu sudah sangat dekat. Sopirnya sama sekali enggak menyadari kami, tapi itu wajar karena betapa buruk jarak pandangnya.
Enggak ada waktu buat berpikir.
Kupegang Eina dan melompat mundur.
Entah bagaimana, aku pun berhasil mendarat.
Truk itu tepat melewati tempat di mana kami berada barusan.
"Nyaris saja… makasih, Shuu-san."
"Ya, syukurlah kau sela—"
Di saat itu jugalah aku kehilangan keseimbangan dan mundur selangkah.
Akan tetapi, enggak ada pijakan di bawah kakiku.
Rentangan duniaku, dan hal terakhir yang kulihat adalah Eina, yang melihatku terjatuh dengan mata terbelalak.
Aku terguling menuruni tebing, tubuhku terbentur berkali-kali, bahkan aku enggak bisa menggertakkan gigiku saat terguling.
"Shuu-san!!"
Kumendegar teriakan sedih Eina dari jauh, lalu aku pun pingsan.
*****
Aku terbaring, melihat ke atas langit.
"Dimana… aku?"
Gumamku dengan suara serak.
Sudah enggak hujan, aku bisa lihat matahari lewat celah-celah pepohonan.
"Apa aku sudah kembali… ke masaku sendiri?"
Kucoba berdiri, namun aku enggak bisa menggerakkan tubuhku karena sakit. Aku enggak bakalan bisa pulang sendiri, nih.
Aku harus minta bantuan.
Kupaksa tanganku yang babak belur ini untuk mencari ponsel di kantungku, namun enggak ada.
Lalu, aku melihat benda berbentuk segi empat di hadapanku.
"Haha, yang benar saja."
Kutertawa. Ponselku ternyata sudah rusak. Layarnya hancur dan bodinya bengkok. Hanya gantungan iblisnya saja yang enggak rusak, jadi itu pasti ponselku.
Aku enggak bisa minta bantuan.
Aku enggak bisa gerak.
Tubuhku kedinginan karena hujan.
Jadi, aku bakalan mati.
Cukup anehnya, aku enggak merasa putus asa.
Hanya Eina yang kupikirkan, bertanya-tanya apa dia sudah berhasil pulang.
Dia mah pasti bisa, soalnya dia pintar. Dia mah tinggal pergi ke suatu tempat dan meminta bantuan. Sayangnya, mereka enggak bakalan bisa menemukanku, sebab aku sudah kembali ke masaku.
Kejadian ini enggak membahagiakan, tapi juga bukan akhir yang buruk. Setidaknya, aku sudah bisa menyelamatkan Eina.
Aku pun menutup mataku.
Sewaktu kumembuka mata lagi, langit-langit lah yang pertama kulihat.
Kurasa langit-langitnya amat rendah.
Ruangannya itu sendiri berguncang.
"Di mana…"
"Kamu ada di ambulan," terdengar suara dari sampingku.
Jantungku berdebar kencang. Itu adalah Ketua. Kusadar dia menggenggam tanganku
sewaktu merasakan kehangatannya.
"… Kau menyelamatkanku? Kenapa?"
"Sudah jangan bicara dulu."
Seperti yang dibilangnya, aku pun menutup mulutku, kelopak mataku jadi terasa berat, dan aku pun pingsan kembali.
Sewaktu kusadar, aku sudah berada di rumah sakit, berbaring di tempat tidur dan benar-benar dibaluti perban. Seluruh tubuhku terasa nyeri.
"Shuu! Syukurlah…!" Ibuku mengamati wajahku dan mendesah lega. Ayahku ada di belakangnya, "Terima kasih banyak Minekawa-san."
Karena yang bicara adalah ibuku, jadinya perlu sedikit waktu untuk menyadari bahwa yang dimaksudnya Minekawa itu adakah Ketua.
"Apa maksudnya… terima kasih banyak?"
"Minekawa-san lah yang sudah menyelamatkanmu," ucap ayah padaku.
"Nampaknya dia mendengar kau pergi ke tempat terjadinya longsor dan dia tidak mendapat kabar darimu, jadi dia pikir pasti sudah terjadi sesuatu. Kemudian dia mendapatimu terjatuh dari tebing dan tak bisa bergerak, lalu dia pun meminta bantuan."
Dalam hati aku mempertanyakan penjelasannya.
Bagaimana bisa dia tahu aku ada di sana? Apa dia dengar dari Ruka-senpai atau Sakai?
Enggak, aku enggak ada bilang apa pun sama mereka.
Selain itu, aku enggak meneleponnya. Lagian, aku enggak tahu nomor teleponnya.
Dia berbohong.
Tapi kenapa?
Besoknya, banyak orang yang menjengukku.
Yang pertama adalah Sakai, dia bolos. Untuk sejenak, aku merasa tersentuh dia mengkhawatirkanku, tapi kemudian:
"Jadi kau jatuh dari tebing? Gimana rasanya, sakit?"
Sakai memasuki mode reporternya. Karenanya aku sedikit marah, namun juga sedikit terhibur.
"Ya iyalah sakit."
"Beritahu aku semua yang kau ingat. Akan kujadikan sebuah artikel."
"Aku enggak terlalu ingat. Itu terjadi tiba-tiba, dan aku segera pingsan."
"Ah, sungguh disayangkan. Tapi, syukurlah kau selamat."
Dia memang enggak pernah berubah.
Orang yang menjenguk selanjutnya adalah Ruka-senpai. Sepertinya dia berkunjung tepat seusai pulang sekolah.
"Shuu-kuuuuuun, kau masih hiduuuuuuup!"
Teriaknya begitu melihatku.
"Maaf sudah membuatmu khawatir."
"Tak apa selama kau baik-baik saja… Eng, aku mau tanya sesuatu yang aneh," dia menyeka air matanya dan menatapku dengan tatapan serius, "Kau tidak melompat, ‘kan?"
Rupanya, dia pikir aku ini berusaha bunuh diri.
"Enggaklah! Itu murni kecelakaan!"
"Syukurlah. Jangan coba-coba berpikir begitu, ya?"
"Iya, aku juga enggak sebodoh itu, kok."
Aku berusaha untuk tersenyum dan menyembunyikan kegelisahanku. Rasanya aku sudah melihat Eina, tapi apa itu mimpi? Kalau aku baru saja terjatuh dari terbing memang beneran…
Sepertinya mungkin sekali.
Tapi aku segera kepikiran lagi, itu enggak mungkin, aku masih bisa mendengar suara dan merasakan kehangatan dirinya.
Aku masih bisa melihat matanya, masih melihatnya…
Itu mah hanya kecenderungan orang-orang di rumah sakit saja untuk berpikiran buruk. Aku harus segera menemuinya begitu sudah dipulangkan.
Di hari-hari berikutnya, teman-teman sekelasku lainnya, beserta dua anggota klub lainnya juga datang menjenguk. Hanya seorang saja yang belum, Ketua.
Biarpun dialah orang yang paling ingin kuajak bicara.
"Mungkin dia memang benar-benar membenciku…"
Tepat saat kumulai merasa sedih memikirkan itu, dia pun menjenguk di hari kelimat semenjak aku dirawat.
"Ketua!"
Seruku dengan senang, karena sempat menyerah.
"Apa ada orang yang datang hari ini?"
"Enggak."
"Kalau yang berencana datang? Seperti teman-teman sekelas kita, atau klubmu?"
"Aku belum dengar apa pun. Kurasa semuanya sudah menjengukku."
"Begitu, ya. Baguslah."
Apanya yang bagus?
Dia menarik bangku dan duduk di samping tempat tidur.
"Maafkan aku, sebenarnya aku ingin segera menemuimu. Tapi selalu saja ada orang lain di sini, jadinya aku tidak bisa bicara empat mata denganmu. Ada yang ingin kau tanyakan juga, bukan, Klub Literatur?"
"Ya, aku enggak memberitahu siapa pun ke mana aku pergi, jadi kenapa kau bisa tahu?"
"Karena kau memberitahuku, lima tahun yang lalu, ‘kan? Kau meneriakkan namaku dan entah bagaimana bisa jadi bersamaku."
Lima tahun lalu?
Memanggilnya?
"Jangan-jangan…"
"Benar," dia sedikit tersenyum, "Aku Eina."
Dia menyatakannya dengan soprannya yang indah. Aku hanya menatapnya dengan mata terbelalak, dan terdiam membisu karena terkejut.
"Sewaktu kamu terjatuh dari tebing, aku melihatmu menghilang, Shuu-san." Ketua, Eina, bicara padaku seperti biasanya, menggunakan namaku ketimbang ‘Klub Literatur’ dan bicara sopan, "Kamu benar-benar menghilang. Hujannya sedikit reda, jadi untuk berjaga-jaga aku pergi untuk memastikan, dan kamu tidak ada di sana, jadi kurasa kamu sudah kembali ke masamu sendiri."
Ketua, yang biasanya seperti bilah tanpa sarung, sekarang nampak seperti gadis biasa.
Rasanya seperti enggak nyata, tapi sisi feminimnya ternyata manis juga, dan membuatku merasa senang juga.
"Aku khawatir. Aku tidak tahu apakah kamu pergi ke tempat yang sama, atau terjatuh ke tebing di sana juga. Kalau kamu tak memberitahu siapa pun, kamu tidak akan ditemukan, jadi kuputuskan untuk menghubungimu pada hari itu."
"Kau mengingatnya selama lima tahun?"
"Ya, sedetik pun takkan pernah kulupakan."
Eina mengangguk dengan mantap, dan aku yang keheranan pun ingin menanyakan sesuatu padanya, ingin bertanya apakah dia sebegitunya memikirkanku.
"Jadi aku berusaha menggunakan jaringan kelas supaya bisa menghubungimu, tapi seperti yang kukira, aku tidak bisa…" dia melanjutkan penjelasannya saat aku tetap terdiam, "Jadi aku pergi ke tebing itu, dan meminta bantuan."
"Jadi itu yang terjadi… Kau sudah menyelamatkan hidupku, Eina, terima kasih banyak."
"Ehehe," dia tergelak malu.
"Tapi kalau hari itu kamu tidak datang, aku akan tertimbun longsor. Terima kasih banyak." Dia menundukkan kepalanya padaku.
"Tapi tunggu dulu, namamu bukan Yokota Yukino, tapi Minekawa Yukino…? Apa rumah yang kami kunjungi itu bukan rumahmu?"
"Itu rumahnya bibi dan pamanku. Bukannya aku sudah pernah bilang? Kedua orangtuaku sudah meninggal dan aku tinggal bersama saudari ibuku dan suaminya."
Rasanya aku memang sudah pernah mendengarnya.
"Huh? Tapi bukannya kau tinggal di panti asuhan?"
Aku pun dibuat bingung dengan keadaan yang rumit itu.
"Ujung-ujungnya, hubungan kami jadi tambah buruk dan aku pergi ke panti asuhan. Atau lebih tepatnya, aku sudah tak tahan lagi. Karena aku berhasil selamat, aku pergi mencari tempat agar bisa hidup sesuai kenginanku. Aku sudah tak punya wali lagi karena kedua orangtuaku sudah meninggal, jadi aku mendapatkan izin setelah sedikit pemeriksaan."
"Jadi begitu…"
"Banyak yang berubah dalam lima tahun ini."
Kami saling mengangguk dengan mantap. Rasanya semuanya sudah terselesaikan, tapi aku menyadari sesuatu yang penting.
"Tunggu, kalau kau Eina, maka selama ini kau masih hidup, ‘kan? Tapi gadis yang bernama Yokota, sepupumu itu, bilang kau sudah meninggal?"
"Ahh, itu mah…" Dia sempat terhenti karena suatu alasan. Lalu membungkuk dalam-dalam.
"Maafkan aku! Aku menyuruh Teteh untuk berbohong padamu!"
"Huh? Berbohong?"
"Kamu bilang lima tahun lalu saat bencana, ‘kan? Kamu ada bilang padaku, bahwa kamu dengar darinya kalau aku ini hilang dan meninggal saat terjadinya topan."
"Ya, benar."
"Kalau dia bilang ‘Eina adalah Minekawa Yukino’, kamu tidak akan kembali ke masa lalu, ‘kan? Kalau begitu, kemungkinan aku akan mati. Aku tak menginginkannya, aku ingin bertemu denganmu, jadi aku minta tolong pada Teteh."
"Be-Benar juga."
Aku kelewat senang karena dia ingin bertemu denganku, dan aku enggak peduli soal kebohongannya.
"Yah, aku senang karena bisa menyelamatkanmu, jadi enggak masalah."
"Terima kasih."
"Tapi kurasa hubunganmu enggak berjalan dengan baik?" tanyaku, dan Eina tersenyum erat.
"Saat itu… kami tidak, saat itu memang parah. Tapi saat kami mulai hidup terpisah, aku jadi mengerti bahwa dia bukan hanya ingin sekedar menindasku, dia memikirkan banyak hal dengan caranya tersendiri, dan dia mungkin sudah merenungkannya, sehingga dia sudah jadi lebih ramah sekarang."
Kuingat kata-kata sepupunya.
"Aku selalu memperlakukannya dengan buruk… tapi dia hanya selalu mengurung diri di kamarnya, dan hanya menggunakan barang-barang orang lain. Lalu ada juga perselisihan dengan mama dan papa, dan kekhawatirannya…"
Itu bukan hanya sekedar sandiwara, dia benar-benar membicarakan mengenai apa yang telah terjadi saat itu, pikirku saat hatiku terasa hangat.
"Ahh, tapi aku sungguh bersyukur semuanya berjalan dengan baik," Eina tiba-tiba menghela napas, senang rasanya melihat kerenggangan pada wajah Ketua yang biasanya sempurna,
"Kalau aku ketahuan, semuanya akan berakhir, jadi aku benar-benar ketakutan."
"Begitu ya, sewaktu kutahu kau adalah Eina, aku akan tahu kau masih hidup, dan enggak kembali ke masa lalu," terus Eina akan tertimbun longsor dan mati. Dari sudut pandang tersebut, dia memang selalu berjuang demi hidupnya, "Apakah sulit? Harus berpura-pura enggak mengenalku?"
Akan tetapi, dia enggak kelihatan sedih, dan hanya sedikit cemberut.
"Apa kamu ingat saat pertama kali kita bertemu? Aku ragu kamu mengingatnya."
"Ingatlah, di perpustakaan, ‘kan?"
Napas Eina tersendat karena terkejut.
"Ya, aku bicara terlalu akrab denganmu, ‘kan? Aku merenungkannya dan menyadari itu semua akan berakhir kalau kami bersama, jadi aku tak bisa bergabung dengan Klub Literatur, dan bahkan ketika kita akhirnya berada di kelas yang sama, aku menjaga jarak sejauh mungkin."
"Jadi itu alasan kenapa kau bersikap sangat dingin? Kupikir kau membenciku?"
"Mana mungkin aku bisa membencimu!"
"Be-Benarkah…?" Aku enggak begitu bisa bicara dengan senang, tapi perilaku dinginnya terlintas dalam benakku dan aku enggak bisa langsung memercayainya. "Tapi kau mengambil ruangan klub kami tanpa ampun…"
"Aku mesti bertindak seperti iblis untuk melakukannya, itu sangat sulit, lo! Aku tak bisa menunjukkan sikap pilih kasih."
"Dan kau selalu kelihatan enggak senang saat bersamaku."
"Itu karena aku berusaha sebisa mungkin untuk mengendalikan ekspresiku. Hanya berbicara denganmu saja sudah membuatku ingin tersenyum, jadi aku gugup karena takut ketahuan…"
Mukanya mulai memerah. Aku juga mungkin sama.
Kami saling pandang untuk sejenak.
"Begini, Eina."
"Eng, Shuu-san…"
Kami berdua terhenti bareng sebelum tertawa bersama.
"Kalau begitu, aku duluan…" ucapnya, tapi kutikung dia.
"Maaf, di saat seperti ini harus laki-laki duluan."
"… Baiklah."
Eina membenarkan duduknya dengan agak formal.
"Eina… " kuambil napas dalam-dalam dan berkata, "Aku mencintaimu. Sebenarnya aku sudah mencintaimu semenjak pertama kali bertemu denganmu, saat aku bertemu denganmu di perpustakaan sebagai Minekawa Yukino. Kupikir kau membenciku, jadi sewaktu Eina mengirimiku pesan, aku semmpat melupakanmu, tapi aku selalu mencintaimu."
Wajahnya memerah, tapi pandangannya tetap tertuju padaku. Air mata berkilau di matanya.
"Aku sangat senang, karena kini kutahu bahwa Eina dan Minkewa Yukino itu adalah orang yang sama, dan orang yang kucintai. Karena akhirnya aku tahu, bahwa aku ini jatuh cinta pada orang yang sama."
"Aku…" ucapnya dengan gemetaran, "Aku juga selalu mencintaimu, Shuu-san. Bahkan dari semenjak lima tahun lalu hingga sekarang! Selalu…"
Saat dia bicara, dia mendekatiku. Kurangkul dan kepeluk dia.
"Ini bukan mimpi, ‘kan?"
"Aku juga ingin tahu, tapi kurasa bukan. Kita benar-benar bersama," ucapnya, tersenyum dalam pelukanku, membuatku tersenyum juga.
Kupikir kami terpisah sangat jauh, tapi ternyata dia ada tepat di sampingku…
Dia ada tepat di depan mataku. Ada begitu banyak yang ingin kubicarakan dengannya. Ada begitu banyak tempat yang ingin kukunjungi bersamanya.
Mungkin akan menyenangkan untuk saling tukar buku.
Tapi untuk saat ini, aku hanya memeluknya, menikmati kebahagiaan yang kurasakan karena dia ada di sisiku.
Tamat.
Tags:
Hoshizora no Shita
Njir plot twist wkwkw
BalasHapus