Chapter 03 - Mari Mengunjungi Kediaman Sakaki
Yuichi mengambil rute dengan sedikit orang saat berjalan pulang.
Yuichi mencuri pandang pada Aiko, yang berjalan di sebelahnya. Blazer milik Yuichi digunakan untuk menutupi noda darah yang mengotori seragamnya. Itu tidak menutupi semua bagian, namun setidaknya lebih baik daripada tidak ada samasekali.
Aiko, yang sadar dirinya diperhatikan, berbicara.
“Hei… ”
“Ada apa?”
“Hah? Em, aku penasaran… apa kau benar-benar kuat? Apa kau melakukan olahraga atau semacamnya?” Semburat merah bisa dilihat dari pipi Aiko. Dia mungkin masih mengingat saat Yuichi memangkunya dengan satu tangan.
“Em, aku tidak bermain olahraga.”
Aiko bersenandung sembari berpikir untuk beberapa saat, kemudian kembali berbicara. “Hei. Apa kau selalu membawa benda seperti air suci dan tourniquet itu kemanapun kau pergi?” Rasa ingin tahu Aiko sangat wajar. Tidak banyak siswa SMA yang membawa benda-benda semacam itu.
“Ini salah satu hobi kakakku. Dia memaksaku membawa benda-benda ini kemanapun aku pergi. Dia itu, ‘Bagaimana kalau kamu tiba-tiba terjebak saat terjadi gempa? Bagaimana jika ada iblis yang menyerangmu?’ itu yang dikatakannya.”
“Hah?”
Sekali lagi, Yuichi tidak bisa menyalahkan Aiko jika ia menanggapinya seperti itu. Ini tentunya terdengar konyol saat dirinya mengatakan itu keras-keras.
“Baik, em, aku mengerti perasaanmu. Aku juga merasakan hal yang sama… namun setelah melihat hal-hal semacam itu di kehidupan nyata.. kupikir kakakku ada benarnya juga.”
Yuichi mengingat kembali kerangka-kerangka dengan pakaian compang-camping itu. Sulit menganggap hobi kakaknya adalah hal yang konyol setelah apa yang ia lihat sebelumnya.
“Tapi itu tidak bekerja kan?”
“Yah, ‘air suci’ mungkin hanya air biasa. Jika kita memercikan ini padamu—” Sebelum Yuichi bisa menyelesaikan kalimatnya, ia disambut oleh tatapan marah Aiko. Yuichi menutup mulutnya, menyadari betapa sembrono dirinya.
“Maaf. Kita bisa membicarakannya kembali di rumahku.”
Mereka tiba di sana tak lama sesudahnya.
✽✽✽✽✽
Rumah Yuichi memiliki dua lantai dan sebuah halaman berumput. Dindingnya dihiasi dengan garis berwarna putih, kemungkinan dibangun selama trend perumahan import. Rumah ini tidak cukup besar untuk menyebutnya sebuah mansion, namun masih memberi kesan berkelas.
“Aku pulang!” Yuichi berseru.
“Permisi… ” Aiko menambahkan.
Yuichi berjalan melewati pintu, dan Aiko mengikutinya.
Seorang wanita yang memiliki kesan riang menyambut mereka.
Apakah Sakaki mirip ibunya? Aiko bertanya-tanya. Itu adalah kesan pertamanya. Dia cantik, sangat jarang ditemui untuk wanita sesusianya. Aiko belum bertemu ayah Yuichi, namun mudah membayangkan bahwa Yuichi banyak mewarisi kecantikan ibunya.
“Selamat datang. Oh? Apa kamu membawa seorang teman?” Dia nampaknya terkejut dengan kehadiran seorang tamu.
“Ya. Ini Noro.”
“Saya Aiko Noro. Salam kenal.”
“Yu tidak terlalu sering mengajak perempuan ke rumah. Senang bisa berkenalan. Bertemanlah yang baik dengan Yuichi ya!”
“B-baik,” kata Aiko. Meskipun ia tidak tahu apakah mereka bisa berteman dengan baik atau tidak. Mengingat hari ini adalah pertama kalinya mereka berbincang.
“Apa boleh Noro mandi sebentar? Dia terkena tumpahan cat.”
“Oh, sayang. Tunggu sebentar. Ibu akan menyiapakannya.” Ibu Yuichi bergegas menuju lorong.
“Apa itu berarti dia mempercayainya?” Aiko tercengang. Kalau dirinya pasti akan punya banyak pertanyaan mendengar alasan seperti itu.
“Ibuku bukan jenis orang yang akan mempertanyakan rinciannya. Aku akan mecarikanmu pakaian ganti. Ikuti aku.” Yuichi naik ke lantai dua dan menunjukan kamar kakaknya pada Aiko.
Pemandangan di depan Aiko membuatnya terhenti. Kamar ini penuh dengan tumpukan barang … Barang-barang yang bahkan ia tidak tahu namanya. Dia punya dugaan samar bahwa ada sebuah kegiatan gila disini, namun masih terlihat seperti sampah yang berserakan baginya.
Yuichi masuk ke kamar dengan langkah berat dan mulai membuka lemari pakaian.
“Em, harusnya ada di sekitar sini… Ini dia!” Yuici mengambil satu set kancut, bra, rok, dan kaos secara acak
.
“Hah? Tunggu sebentar. Apa yang kau lakukan?!” Pemandangan di depan matanya sungguh diluar nalar. Seorang anak laki-laki menggeledah lemari pakaian milik kakak perempuannya, mengambilnya seolah itu bukan apa-apa.
.
“Hah? Tunggu sebentar. Apa yang kau lakukan?!” Pemandangan di depan matanya sungguh diluar nalar. Seorang anak laki-laki menggeledah lemari pakaian milik kakak perempuannya, mengambilnya seolah itu bukan apa-apa.
“Apa lagi? Aku sedang mencari sesuatu untuk kau pakai!?”
“Hei… Apa kau bahkan tidak sadar benda apa yang kau pegang itu?”
Yuichi melirik benda yang ia pegang: bra milik kakak perempuannya. “Oh! Maaf. Ini terlalu tepos. Aku kira tidak akan muat padamu, ya?”
Mata Yuichi tertuju pada dada Aiko saat ia mengatakan itu. Aiko secara refleks menutupi dadanya dan memelototinya.
“Baik, kau bisa meninjam pakaian adikku,” katanya. “Mungkin akan lebih pas untukmu.”
Yuichi mengabaikan tatapan Aiko, dan meninggalkan kamar kakak perempuannya lalu menuju kamar adiknya.
Aiko mengikutinya ragu-ragu. Dia bisa merasakan ekspresi miliknya menjadi tegang.
Yuici berdiri di depan pintu. Ada sebuah papan nama disana yang tertulis “YUICHI.”
Jadi apa dia bercanda soal meminjamiku pakaian adik perempuannya? Tapi aku tidak yakin ingin meminjam pakaian milik Sakaki…
Yuichi melangkah ke dalam kamarnya dan mempersilahkan Aiko masuk.
Ada seorang anak perempuan di dalam. Dia sedang melepaskan seragam sekolahkanya.
“Hah?! Hah? Apa yang terjadi? Hah? Kenapa? Bukankah ini kamarmu…?!” Aiko memeriksa papan nama di pintu sekali lagi. Memang benar, itu tertulis YUICHI. Tapi kalau diperhatikan, ada juga tulisan kecil yang tepat berada di bawahnya, itu tertulis YORIKO.
“Hei, Yori. Jadi kau sudah pulang. Oh, ini adik perempuanku, Yoriko.” Yuichi menunjuk seorang gadis tanpa busana.
“Hai, kak. Hah?…. Seorang gadis?” Mata Yoriko terbelalak saat ia melihat Aiko.
“Ya, aku membawa seorang teman. Namanya Noro. Pakaiannya kotor. Bisakah kamu meminjamkan seragammu?”
“Tentu. Tunggu sebentar.” Yoriko telah benar-benar melepaskan kancutnya, kemudian berganti menjadi pakaian biasa.
“Kenapa adik perempuanmu berganti pakaian diasini?”
“Karena…. ini kamarnya juga.”
“Hah? Itu tidak masuk akal! Kenapa? Kamar kakak perempuanmu ada di sebelah kan? Bukankah harusnya yang berbagi kamar adalah antara saudara perempuan!?”
Postur tubuh adik perempuannya jelas berkembang dengan baik, dalam hal kewanitaan. Kebanyakan orang tidak bisa menerima jika saudara perempuan dan laki-laki berbagi kamar pada usia mereka.
“Beberapa keluarga melakukan itu. Hanya ada dua kamar tidur untuk anak-anak, dan Mutsuko lebih tua, jadi dia mendapatkan kamar untuknya sendiri.”
“Hah? Apa? Apa kau tidak keberatan dengan itu? Yori?” Kepala Aiko dipenuhi berbagai pertanyaan.
Tanggapan Yoriko adalah menghadap lurus ke arah Aiko lalu membawanya ke luar.
Setelah hanya tersisa mereka berdua, Yoriko menutup pintu di belakangnya. Apapun yang akan dia katakan, Yoriko tidak ingin Yuichi mendengarnya.
“Namamu adalah Noro, akan kuingat. Kalau tebakanku benar, saat ini kau berpacaran dengan kakakku kan?” Yoriko mendorong Aiko ke dinding, ekspresinya sangat mengerikan. Suaranya juga serak yang menambah berat dalam ucapannya. Meskipun wajahnya sangat cantik, seperti ibu mereka.
“Hah? Oh, em, tidak, kami tidak pacaran. Sebenarnya hari ini adalah pertama kalinya kami berbicara,” Aiko tergagap, merasakan tekanan yang aneh.
Gadis ini tampaknya sangat dewasa untuk ukuran anak SMP.
“Aku paham… Aku sangat senang mendengarnya. Kalau begitu sudah jelas, kakakku itu hanya mencoba membantu orang yang kesulitan. Sekarang, Noro. Karena kau adalah temannya, biarkan aku memberi peringatan dengan sopan: Kau tidak boleh ikut campur urusan rumah ini.”
“Hah?”
“Aku puas dengan keadaan sekarang. Aku tidak ingin jika sesama saudara yang berbagi kamar menjadi persoalan. Apa kau paham?”
“Tidak, aku takut aku tak bisa.” Kata Aiko menolak dengan sopan.
“Karena…maksudku, benar! Siapa juga yang akan melakukan hal semacam itu.
“Kami melakukannya, disini di rumah ini. Apa kau tidak sadar betapa kasarnya ikut campur dalam kehidupan orang lain?”
Aiko tidak bisa menjawab jika tanggapannya seperti itu. Dia tentunya tahu ini hal yang tidak wajar, tapi jika Yoriko sendiri tidak keberatan, maka tidak ada lagi yang bisa ia katakan. Itu hanya menyisakan rasa bersalah yang menggangu.
“Sekarang, aku yakin kau perlu berganti pakaian. Kau beruntung. Aku akan meminjamimu beberapa. Aku baru membeli yang baru, dan belum pernah kupakai. Mengingat kakakku yang seperti itu, dia tidak akan memperdulikan apa yang wanita pakai.”
“Oh, benar, dia juga mencoba meminjamiku pakaian dalam milik kakak perempuannya tadi….”
“Sekarang kita harus kembali ke kamar. Kau tidak boleh memberitahu isi percakapan kita padanya.”
“B-baik.”
Yoriko telah menguasai percakapan. Aiko tidak bisa melakukan apapun kecuali mengikutinya.
Yoriko membuka pintu dan masuk kembali ke kamarnya.
“Apa yang kalian berdua bicarakan diluar?” Tanya Yuichi, menatap mereka berdua dengan bingung.
“Em, maaf, kak. Ini hanya percakapan sesama gadis! Benar kan?”
“Eh? B-benar… ” Aiko tergagap saat memberikan persetujuan.
“Hmmm. Yah, itu bagus. Cepat pilihlah pakaian yang ingin kamu pinjamkan padanya. Dia mungkin merasa tidak nyaman, terus berdiri seperti itu.”
“Baiiiik!” Sikap Yoriko berbanding 180° dari sebelumnya. Sikapnya yang dingin sekarang sudah lenyap. Dia nampak seperti gadis polos untuk anak seumurannya.
Aiko menatapnya, terbelalak, saat Yoriko memilah-milah pakaian.
✽✽✽✽✽
Yuichi tengah menunggu di meja pendek ketika Aiko datang.
Sekarang semua noda darahnya telah dibersihkan dan ia mengenakan pakaian Yoriko, Aiko terlihat benar-benar segar kembali.
Aiko duduk berhadapan dengannya.
Yoriko telah turun dari lantai dua, meninggalakan Yuichi dan Aiko berduaan di dalam kamar.
“Baiklah. Sekarang, tolong beritahu aku. Apa yang membuatmu berpikir bahwa aku seorang vampir? Aku tahu itu aneh jika lukaku sembuh begitu cepat, tapi kenapa harus ‘vampir’? Apa sebelumnya kau sudah tahu siapa aku sebenarnya? Jika benar, kenapa?”
“Kau harus berjanji tidak boleh memberitahu ini pada siapapun. Dan sebagi gantinya, aku juga tidak akan memberitahu siapapun tentang dirimu. Apa kau setuju?”
“Ya.”
“Baiklah. Alasan aku tahu kau seorang vampir adalah…. karena suatu hari, entah kenapa, aku mulai melihat label di atas kepala orang-orang. Label itu menunjukan jati diri orang tersebut… dan diatas kepalamu tertulis ‘Vampir’.”
“Hah?” Mulut Aiko menganga.
Jelas itu bukan jawaban yang ia perkirakan.
“Aku tahu kau mungkin tidak mempercayaiku, tapi aku mengatakan yang sebenarnya.”
“Yah…. kurasa aku akan mempercayaimu untuk sekarang. Jadi kau tidak mendengarnya dari orang lain? Tak ada orang lain yang tahu?”
“Ya, aku benar-benar mengetahuinya berdasarkan label itu. Dan aku belum memberitahu siapapun kalau kau seorang vampir. Aku cuma bilang ada seorang vampir di kelasku saat aku memberitahu kakakku tentang penglihatanku ini, tapi aku tidak menyebutkan nama.”
“Oh, baik. Bagus kalau begitu.. Cuma memperjelas, ini adalah rahasia. Jangan beritahu siapapun.” Kata Aiko meyakinkan kembali, sembari memberi peringatan.
“Aku tidak akan memberitahu siapapun. Aku benar-benar tidak ingin terlibat masalah.”
“Tapi… lalu kenapa kau menyelamatkanku, jika kau tidak ingin terlibat masalah?”
“Aku tidak bisa mengabaikan orang yang terluka begitu saja kan? Omong-omong, kenapa orang itu menyerangmu?”
“Aku sendiri pun tidak yakin.. aku menemukan sebuah surat di loker sepatuku. Isinya ‘Aku ingin membicarakan sesuatu yang penting denganmu. ‘. Pengirimnya adalah Hiromichi Rokuhara dari kelas 2-A. Aku sebenarnya ragu menerima undangan dari seseorang yang belum aku kenal, tapi dia kakak kelas, jadi akan tidak sopan jika aku tidak datang. Tapi saat aku bertemu dengannya di halaman, langit tiba-tiba menjadi gelap, dan kerangka-kerangka itu memburuku.”
“Orang itu siapa? Apa yang ia lakukan padamu?”
“Dia memanggilku seorang monster. Dia bilang dia akan melenyapkanku…” Suara Aiko semakin turun saat ia mengingat terror pada saat itu.
“…Hei, apa maksudnya orang yang bernama Rokuhara ini tahu tentangmu juga?”
“Aku bersumpah, aku tidak melakukan kejahatan apapun! Aku hampir seperti manusia! Terkadang bahkan aku lupa kalau aku seorang vampir.”
“Label orang itu adalah ‘Pemburu Monster Magang.’ Apa kau tahu sesuatu? Misal, pemburu vampir yang mempunyai kekuatan untuk melihat identitasmu yang sebenarnya.”
“Aku pernah dengar orang-orang seperti itu memang ada, namun aku rasa mereka tidak pernah muncul di depan keluargaku, jadi aku tidak yakin.”
“Tapi kebenarannya, seorang pemburu monster telah muncul tepat di hadapanmu. Kau harus hati-hati mulai sekarang.”
“…Apa yang harus aku lakukan? Ayah akan sangat marah jika dia tahu kalau identitasku ketahuan.”
Aiko terlihat putus asa. Ayahnya pasti orang yang mengerikan.
“Tapi jika dia memang pemburu monster, dia mungkin tidak akan melibatkan manusia. Itu artinya kau tidak boleh sendirian sebisa mungkin, kurasa.”
“Kau pikir dia tidak akan melakukan apapun jika ada manusia di sekitarku?”
“Kukira begitu. Mungkin itu juga yang menjadi alasan kenapa ia lari setelah kemunculanku.”
“Tapi aku benar-benar tidak paham… kalaupun aku seorang vampir, bukankah masih akan menyebabkan keributan besar seandainya aku mati….?”
Yuichi setuju dengan itu. Aiko bukanlah monster yang bersembunyi dalam kegelapan. Jika dia mati atau menghilang, itu akan menjadi berita besar.
“Aku tidak yakin apa yang sebenarnya dipikirkan orang itu. Akan tetapi… ” Yuichi menyandarkan dirinya sedikit ke depan meja.
“….Aku akan tetap menjaga rahasiamu, Noro. Sebagai gantinya… maukah kau menjadi orang kepercayaanku? Aku punya banyak beban pikiran, dengan penglihatanku ini, kau tahu?”
Yuichi menatap mata Aiko dengan sungguh-sungguh. Dia memerlukan orang kepercayaan yang akan menjaga rahasianya. Seorang vampir yang berbaur akan menjadi sempurna untuk itu.
“Baikkah. Kau menyelamatkanku sebelumnya, jadi setidaknya itu yang bisa kulakukan sebagai balasan. Meskipun yang bisa kulakukan tidak lebih dari mendengarkan sih.”
“Kau bersedia? Wow, kupikir kau akan bilang tidak! Tentu saja aku tidak keberatan dengan itu, meski begitu.. Astaga, itu hebat. Kau benar-benar orang baik, Noro!”
“Eh? A-aku, benarkah?” Sanjungan Yuichi yang sungguh-sungguh menyebabkan semburat merah di pipi Aiko. Mungkin dia menikmatinya.
“Oke, kita langsung saja. Ada satu hal yang sangat membebani pikiranku.”
“Baik.”
“Ada seorang pembunuh berantai di kelas kita.”
“Hah?”
“Dia tahu bahwa aku mengetahui identitasnya.”
“Hah?!”
“Menanggung beban ini sendirian sangatlah berat, aku telah lama mencari seseorang untuk menjadi sandaran. Lalu, orang itu adala—”
“Tunggu dulu! Aku tidak mau mendengarnya! Jangan bicara lagi!” Aiko berteriak. Topik ini bukanlah yang ia harapkan sama sekali.
“Dia adalah Natsuki Takeuchi.”
Aiko terkulai lemas untuk sesaat, namun tiba-tiba ia bangkit kembali, berdiri untuk mengeluarkan isi pikirannya. “Keparat?! Itu mengerikan! Aku bahkan tidak mengira kau akan membicarakan ini.”
“Kau bilang akan mendengarkanku! Ini yang selalu membuatku cemas, memangnya apa lagi? Dia bilang jika ada orang lain yang tahu, dia akan membunuh semua orang di sekolah! Mustahil aku bisa menyembunyikan hal semacam ini sendirian!” Yuichi balik berteriak. Tidak mau kalah.
“Hei! Pelan-pelan!” Aiko berbisik. “Kau tidak ingin orang lain tahu kan?”
“Oh… benar. Em, maaf.” Yuichi meminta maaf dengan tulus. Dia benar-benar sudah kelewatan.
Aiko tidak mampu mempertahankan kemarahannya melihat wajah Yuichi yang seperti itu. Perlahan, dia duduk kembali.
“…Baiklah. Lagipula aku yang bilang akan mendengarkanmu. Dan kita sudah setuju untuk saling menjaga rahasia. Ah! Jangan memberitahuku rahasia orang lain kecuali memang perlu, bisa? Aku tidak ingin mendengar yang seperti ini lagi!”
“Terimakasih. Jadi…kau bilang tidak bisa melakukan apapun selain mendengarkan, tapi masih ada yang membuatku penasaran. Apa kau bisa bertarung, Noro?”
“Hah? Bertarung?”
“Kau tahu, mengetahui kau mempunyai beberapa jenis kekuatan vampir yang bisa mengalahkan pembunuh berantai akan meringankan pikiranku.”
Vampir dalam kisah fiksi cenderung merupakan mahluk yang kuat. Jika Aiko memilikinya, itu akan membuatnya menjadi sekutu yang bernilai dalam pertarungan.
“Tidak mungkin. Aku tidak terlalu berbeda dengan manusia biasa. Yang bisa kulakukan cuma menyembuhkan diri sedikit lebih cepat.”
“Hah? Kau tidak bisa berubah menjadi kelelawar atau kabut atau membuat sekutumu dengan menghisap darah mereka?”
“Tidak. Oh, dan mumpung kita lagi ngebahas ini: aku bisa terlihat di cermin, aku bisa menembus air yang mengalir, dan masuk ke rumah orang tanpa diundang.”
“Memang apanya yang membuatmu menjadi vampir dengan melakukan itu?”
“Siapa juga yang meminta dilahirkan sebagai vampir!?”
“Kau benar. Aku minta maaf.”
“Lagian, jika aku bisa melakukan hal semacam itu, aku bisa menjaga rahasiaku dengan cukup menghisap darahmu dan membuatmu menjadi budakku. Apa kau tidak berpikir sampai kesana?”
“Ah,” Yuichi tidak berpikir sampai kesana. “Aku cuma mengira kau bukan tipe yang membahayakan. Takeuchi memiliki semacam aura mengancam di sekitarnya… meskipun mungkin itu cuma prasangka pribadiku.” Hal pertama yang ia lihat dari Natsuki adalah label pembunuh berantai, dan dia langsung mengancamnya setelah itu. Yuichi tidak bisa menilai dirinya secara obyektif. Semua yang dilakukan gadis itu nampak mencurigakan baginya.
“Yah, bagus kalau begitu. Lagian, aku tidak punya kekuatan vampir atau titik kelemahan apapun. Jika aku punya, aku tidak bisa berangkat ke sekolah.”
“Tapi kau tidak tahan saat mendengarkan sutra kan? Tidakkah itu berefek padamu?”
“Tidak sama sekali. Maksudku, aku tidak terlalu terikat dengan Buddisme dalam kehidupan sehari-hariku. Dan aku bisa tahan terhadap sutra selama yang kumau.”
Itu bukanlah yang Yuichi perkirakan sama sekali, dan mungkin karena itu terlihat jelas di wajahnya. Sikap Aiko berubah melakukan pembelaan.
“Kau seperinya tidak mempercayaiku. Lihat, aku orang Jepang, jadi aku tidak peduli dengan salib yang mana itu bukan titik kelemahan untukku. Salib dan air suci hanya bekerja jika vampir tersebut menganggapnya suci. Jadi itu hanya bekerja pada vampir dari budaya kristiani.”
“Jadi seperti itu cara kerjanya?”
“Ya. Jadi seorang vampir ateis tidak mempunyai kelemahan terhadap agama apapun, kau paham?”
“Hah. Jadi bukankah akan menguntungkan jika semua vampir tidak mempercayai tuhan?”
“Kakekku orang Prancis. Sulit membayangkan orang-orang disana menjadi ateis.”
“Ah, pantas saja.”
“Maksudnya?”
“Kau tampak manis mirip-mirip orang Prancis gitu. Jadi ternyata itu karena kakekmu.” Memiliki seperempat darah Prancis menjelaskan itu.
“Eh? Em, yah, er… O-omong omong, seperti yang kukatakan, aku tidak punya kekuatan vampir! Em, aku merasa kurang pantas memainkan peran yang besar ini!”
Aiko jelas frustasi, namun Yuichi tidak keberatan. Dia berbicara. “Itu bukanlah yang aku perkirakan… Hei, kau bilang kau tidak menghisap darah bukan?”
“Ugh apa kau benar-benar harus menanyakan itu?”
“Huh? Apa tidak boleh! Kau cuma perlu menolaknya jika tidak ingin menjawab.”
“Yah, ini agak canggung sih, tapi… aku sebenarnya memasak darah dan mencampurkannya ke dalam makananku. Darah segar itu kotor dan menjijikan. Aku tidak bisa kalau yang itu.”
“Apa itu darah manusia?”
“Ya. Tapi aku tidak menyerang manusia atau semacamnya. Kami memakai darah hasil transfusi. Keluarga kami menjalankan sebuah rumah sakit. Apa kau tahu Rumah Sakit Umum Noro?”
“Eh? Jadi itu rumah sakit keluargamu?” RSU Noro. Itu adalah rumah sakit pusat di wilayah ini. Semua orang mengetahuinya. Itu juga dikenal sebagai rumah sakit besar dengan lebih dari 1000 tempat tidur.
“Benar.”
“Dan semua orang di keluargamu adalah vampir?”
“Ya. Sudah turun-temurun.”
Sepertinya dia memang tidak mempunyai kemampuan bertarung apapun. Sayang sekali. Jika suatu pertarungan terjadi, Yuichi hanya bisa melakukannya sendirian.
Yuichi akhirnya menemukan seorang sekutu, tapi dia masih jauh untuk menuntaskan semuanya.
✽✽✽✽✽
Sebelum hari itu, Aiko pernah sekilas memperhatikan anak yang bernama Yuichi.
Dia mempunyai beberapa teman laki-laki yang dia ajak bicara di kelas, dan tampaknya tidak punya ketertarikan untuk mengenal orang lain selain mereka. Aiko bahkan tidak ingat ia pernah berbicara dengannya.
Penampilannya tergolong tampan, jadi gadis-gadis membicarakannya cukup sering, namun dia nampak cuek dan sulit didekati, yang memberinya kesan buruk. Karena itulah, ketertarikan para gadis menjadi berkurang.
Tapi setelah berbicara dengannya hari ini Ako akhirnya tahu kenapa ia bersikap seperti itu. Dia bisa melihat label aneh di atas kepala orang-orang. Dia terkesan menghindar karena takut terlibat masalah dengan mereka. Sekarang Aiko sudah mengobrol dengannya, dia tidak cuek sama sekali. Dia bicara terus terang dan membuka apapun yang ada di pikirannya.
Tahu bahwa Aiko seorang vampir tidak membuat dirinya takut, dan menganggapnya hal yang biasa. Dia berbincang dengannya seperti pada orang normal. Aiko selalu kurang percaya diri tentang identitas dirinya yang sebenarnya, jadi melihat Yuichi menerimannya begitu mudah membuat perasaan Aiko lebih baik tentang dirinya sendiri.
Meskipun dia sedikit aneh. Terutama soal hubungannya dengan saudara-saudara perempuannya…
Sekalipun mereka adalah keluarga, Aiko tidak habis pikir kenapa dia sampai berbagi kamar dengan seorang gadis SMP.
Dan mengungkapkan rahasia Takeuchi itu cukup kejam.
Namun Aiko tidak boleh keras kepala untuk orang yang sudah menyelamatkan hidupnya. Aiko tidak bisa banyak membantunya, jadi yang bisa ia lakukan setidaknya menjadi orang kepercayaannya.
“Hei. Aku tahu aku sudah bercerita banyak padamu, tapi jika kau punya masalah, kau bisa curhat padaku juga. Apa menjadi seorang vampir membuatmu kesulitan?” Tanya Yuichi, membuyarkan lamunan Aiko.
Mungkin Yuichi merasa menyesal memaksakan perihal Natsuki pada Aiko.
“Hah? Kesulitan menjadi vampir? Gak ada efeknya. Kalau yang membuatku cemas, itu…” Aiko terhenti, mengingat-ingat. Dia memiliki masalah kecil, meskipun dia tidak yakin apakah harus menceritakannya pada Yuichi.
“Apa itu?”
“Ini soal kakakku.. apa kau tahu apa itu Chunibyou?
“…Ya, aku sudah cukup pengalaman dengan itu. Yuichi meringis dan tersenyum.
“Kakakku memilikinya.”
“Semua orang mempunyai hobi kan? Selama dia tidak merepotkan orang lain… ”
“Kurasa… dia mulai berbuat masalah, sih. Dia suka membual berasal dari klan kuno yang mengontrol kekuatan kegelapan, dan menjadi vampir sejati.. menguasai dunia dan semacamnya.”
“Oh, jadi dia chunibyou yang semacam itu toh?”
“Hah? Apa maksudmu, ‘semacam itu’?”
Apakah ada banyak jenis chunibyou? Aiko baru tahu.
“…Oh, chunibyou itu ada banyak jenisnya. Awalnya istilah itu dipakai untuk anak-anak kelas dua SMP yang tiba-tiba mencoba bersikap dewasa. Namun bercabang menjadi beberapa arti yang berbeda dari sana. Baru-baru ini, itu merujuk pada orang-orang yang percaya dirinya mempunyai kekuatan terpendam atau semacamnya. Yang ini yang kau maksud kan?”
“Ya. Aku tidak terlalu berharap sampai ingin ia kembali normal, atau semacamnya. Namun aku ingin memastikan dia tidak berbuat masalah apapun untuk orang lain.”
Jika dia berbuat masalah, orang dewasa di keluarganya akan turun tangan, dan mungkin kakak Aiko akan mendapatkan hukuman. Tentu saja, dia pantas mendapatkannya, namun Aiko ingin mencegahnya sebelum benar-benar terjadi.
“Dipahami. Aku akan membantumu menemukan cara menolong kakakmu,” kata Yuichi dengan mantap.
“Baiklah! Ini menjadi kesepakatan! Aku akan membantumu perihal penglihatanmu, dan kau akan menolongku soal kakaku. Kan?” Aiko menjulurkan tangan pada Yuichi.
“Hah? Apa?”
“Kita sekarang berjabat tangan! Begitulah sebuah kontrak dibuat kan?”
“Apa kita, orang Amerika?” Meski begitu, Yuichi tetap berjabat dengannya. Aiko merasakan tangannya yang kasar dan kuat.
“Dan…. aku tahu ini sedikit terlambat, tapi aku tetap harus melakukannya. Terimakasih telah menyelamatkanku.” Aiko tersenyum cerah.
Tags:
Nee-chan wa Chuunibyou
Adeknya brocon?? :v
BalasHapus