Senin,
22 April - Pat pat. Kencan malam. Mulai dari sekarang.
"Apa yang akan kau lakukan
jika menjadi adikku bisa mendapatkan banyak uang?"
Aku mencoba bertanya pada
Mariko pertanyaan ini, saat kita sedang
bersiap-siap untuk pulang ke rumah.
Mariko menunduk ke bawah;
mengangkat alisnya dan berkata "Itu sedikit bermasalah". Ketika aku
bertanya mengapa, dia marah dan mulai berteriak padaku "Idiot",
"tidak peka!" dan seterusnya.
Aku terkejut karena dia
biasanya tidak pernah marah seperti itu. Aku tidak bisa menjawab ketika Mariko
bertanya "Mengapa kau mengajukan pertanyaan seperti itu?".
Untuk saat ini aku hanya berkata
"Ini hanya perumpamaan saja" untuk menghindari pertanyaan. Awalnya
Mariko membuat ekspresi bingung, kemudian dia tersipu dan tertawa malu.
"Serius, apa kau
benar-benar mempertimbangkan itu?"
Setelah itu Mariko merubah topik
pembicaraan.
Di toko hamburger di depan
stasiun——McDannos, tampaknya ada produk
terbatas yang akan dijual hanya untuk dua minggu—— burger pedas. Aku diajak Mariko untuk pergi dan makan bersama-sama
... tapi aku harus kembali ke rumah dan mengkonfirmasi apakah kunci elektrik
masih berfungsi atau tidak.
Kali ini, ketika aku berpisah
dengan Mariko, Aku berjanji untuk menemaninya nanti dan bergegas pulang.
Selalu saja seperti ini dengan
Mariko. Setelah semuanya sudah ditetapkan aku perlu ... menggantinya.
Saat aku bergegas kembali ke
apartemen Taishido, aku menyadari kalau nomor yang ditampilkan pada layar LCD kunci
elektrik ini menunjukkan angka 101.
Aku merasa lega, dan berpikir
'Apa ini baik-baik saja untuk terus seperti ini?'. perasaanku bercampur aduk
dan tidak bisa mengendalikan emosiku.
Saat tiba di pintu depan
Selene, aku mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan perasaanku dan
membunyikan bel pintu.
Setelah sekitar sepuluh detik,
pintu pun terbuka.
"... ada apa
Onii-chan?"
Mengintip dari celah pintu yang
sedikit terbuka dan memiringkan kepalanya, ada seorang gadis cantik berambut
hitam. Dia memiliki kulit halus putih seperti salju.
Aku merasa kulitnya sedikit
lebih segar ketimbang saat pertemuan pertama kami.
Aku mengangguk saat melihat
mata berwarna gelap Selene.
"Daripada memiliki urusan
tertentu ... um ... sepertinya situasi dari pekan lalu terus berlanjut."
Dia berpikir sejenak dan mengangguk.
Biasanya dia bertingkah seolah-olah dia linglung, tapi anehnya ada saat di mana
Dia bertindak berdasarkan intuisinya. Ibunya adalah seorang peramal, jadi ada
kemungkinan Selene mewarisi bakat itu.
"... datang untuk
sementara waktu. Karena udara luar itu sangat beracun."
"Hey hey. Apa kau kembali
menjadi hikkikomori lagi?"
"... cepatlah
Onii-chan."
Tangan rampingnya menjulur dari
celah pintu terbuka. Selene meraih tanganku dan menarikku ke dalam.
Meski kami sudah membersihkannya
bersama-sama minggu kemarin, ruangan Selene kembali berubah menjadi berantakan
lagi.
"Ya ampun. Mengapa ada
baju menumpuk di sudut ruangan?"
"... Kupikir itu lebih baik
daripada mengeringkannya. Bahkan jika baju itu dilipat, baju tersebut harus
disetrika terlebih dahulu , sehingga lebih masuk akal untuk membiarkannya terus
seperti itu."
"Haa ..."
100% dari kemampuan
membersihkan Selene berfokus pada membersihkan dan memisahkan aksesoris kain
yang terkait dengan pekerjaannya.
Kemampuan bersih-bersih yang tersisa
tidak cukup untuk membersihkan pakaian yang digunakan setiap hari.
"... tapi aku mampu
merapihkan rak itu dengan figura-figura favoritku."
"O-oh, itu
mengagumkan."
Saat aku melihat di dalam rak
akrilik, di atas rak itu tersusun rapi jejeran figura-figura. Selene mendekatiku
tanpa membuat suara apapun, kepalanya menghadap ke arahku.
"Um, ada apa,
Selene-san?"
"... gadis yang sudah
berusaha keras harus dipuji."
"Y-ya. Um ... dan lebih
khususnya?"
"... tolong elus kepalaku."
Aku membelai lembut kepalanya.
Rambut hitamnya terasa halus untuk disentuh, rasanya mengalir melalui telapak
tanganku. Itu benar-benar indah.
"... Ini adalah
kebahagiaan."
Selene bergumam tanpa intonasi
apapun dan duduk di tempat dia berdiri.
"... setelah kebahagiaan,
akan lebih bagus untuk minum teh atau kopi."
"Seperti biasa, kau selalu
siap untuk bermalas-malasan lagi."
Dia menunjuk pada tulisan yang tercetak
di T-shirt favoritnya, yang tertulis 'bekerja = kalah'.
Filosofi anehnya masih sama
seperti biasa.
"... jadi, apa yang Onii-chan
inginkan?"
Aku mencari dua cangkir di
dapur. Karena ada kantong teh hitam dalam lemari, jadi aku menempatkannya di
setiap cangkir dan menuangkan air dari ketel listrik.
Dengan cangkir yang masih memiliki
teh celup di dalamnya, dengan bangga kubusungkan dadaku.
"Apa yang aku inginkan ……….
jadilah adikku!"
"...Aku menolak."
Jawabannya cepat sekali.
"Ke-kenapa?"
"... Tolong duduk dulu,
Onii-chan."
Aku meletakkan cangkir di atas
meja dan duduk di sisi lain meja tepat di depan Selene.
"... dengar Onii-chan. Aku
ingin mengikuti pilihanku sendiri. Tanpa mengandalkan Onii-chan, aku ingin
hidup sebagai gadis yang mandiri."
Dia menyesap teh dari cangkir
yang masih memiliki kantong teh di dalamnya, dan membuat ekspresi bangga.
Aku berdiri dan menuju dapur,
mengambil piring kecil dari dapur dan menaruhnya di bawah cangkir untuk
dijadikan alas.
"Onii-chan terlalu khawatir
tentang Selene, karena dia tidak bisa mengambil teh celup dari cangkir."
"... itu mengganggu jadi aku
tidak. Ini keputusan yang wajar. Kupikir Onii-chan akan memahaminya."
Dia menatap ke arahku dengan
ekspresi sedih, aku mendesah dalam pikiranku.
"Lalu Selene ... Bagaimana
... sekolah hari ini?"
Seragam SMP-nya yang lucu masih
tergatung tanpa debu. Setelah mendengar perkataanku, matanya yang tampak mengabadikan
semua kesedihan di dunia ini mendadak berkilau dan air matanya mulai mengalir.
"... umm, sekolahku sedang
ada perayaan pendirian."
"Aku akan melihat ke sana
nanti."
"...Maafkan aku."
"Mengingat kau sangat jujur,
aku akan berpura-pura tidak mendengar yang tadi ... tapi kau harus bersekolah
dari sekarang ..."
"... Onii-chan. Bahkan, aku
sendiri tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang."
"Kau tidak tahu?"
"... ya. Aku memiliki
tekad untuk menapaki jalan yang sudah aku temukan ... tapi aku tidak tahu apa
yang sedang menungguku di depan jalan tersebut."
Selene yang sudah memutuskan
apa yang dia ingin lakukan dan menyongsong masa depan, menyadari bahwa kemampuannya untuk
mempersiapkan dan melaksanakan rencana masih sangat kurang ... mungkin sesuatu
seperti itu.
Karena aku sudah mendukungnya,
menyebabkan dia merasa tidak nyaman.
Mendengarkan masalah adik
adalah tugas sekaligus kegembiraan sang kakak. Aku mengatakan padanya apa yang
kupikirkan.
"Kenapa kau tidak mencoba
pergi ke sekolah dulu? Meski dengan keadaan yang tidak pasti kita saat ini, kita
tidak tahu apa yang akan terjadi padamu setelah itu dan kita akan terus menjadi
gelisah."
"... Onii-chan, apa yang
ingin kau lakukan dari sekarang?"
Mungkin kebetulan tapi Selene
bertanya padaku tentang apa yang sedang aku cari juga ... apa yang harus aku
lakukan ... apa yang ingin aku lakukan.
Ya, sebenarnya orang yang
sedang mencari bantuan adalah diriku.
Aku merasa cemas, tidak tahu
apakah aku bisa meyakinkan Murasaki-san atau tidak.
Tapi rasanya sulit untuk
mengatakan 'Ayo pergi dan berbicara dengan Murasaki-san bersama-sama' untuk
Selene yang sekarang. Tampaknya dia tidak mampu bertahan di bawah tekanan dua
masalah sekaligus.
"Dalam waktu dekat, aku
berniat untuk menemukan waktu yang tepat dan
berdiskusi dengan Murasaki-san serta mengkonfirmasi keadaan kita. Kau
harus berpikir tentang masalahmu sendiri, jangan khawatir tentang diriku."
"... mengerti. Aku minta
maaf karena tidak bisa membantu Onii-chan."
"Ka-Kau tidak perlu
meminta maaf. Ini peran Onii-chan untuk melindungi adiknya."
Selene mengangguk ringan dan kembali
menyesap teh.
"... apa yang harus kita
lakukan hari ini."
"Entahlah. Aku tidak bisa
kembali ke kamarku sendiri sampai saatnya tiba ... itu akan menjadi bagus jika
aku bisa tinggal di sini."
Dia sekali lagi menatap lurus
ke arahku.
"... Onii-chan ... um ...
apa tak apa untuk terus memanggilmu Onii-chan?"
"Tentu saja! Kau boleh
memanggilku Onii-chan sesuka hatimu."
Dia tidak ingin menjadi adikku,
tapi masih memanggilku seperti itu rasanya sedikit aneh.
"... oke. Umm, jika
Onii-chan tidak keberatan, aku punya permintaan."
"Membersihkan bersama
lagi?"
Selene dengan penuh semangat
menggeleng, rambut hitamnya yang halus berkibar dengan elegan. Dia melanjutkan
dengan suara gemetaran.
"... pergi be-berkencan
... denganku ..."
"Kencan ... Kau ingin
pergi sekarang ?!"
"... tepatnya, mulai dari
sinar matahari lenyap. Jika aku terkena sinar matahari, aku akan
menghilang."
"Perasaan minggu kemarin kau
jadi putri, sejak kapan kau berubah menjadi vampir?"
"... jika aku menggabungkan
esensi dari chuunibyou, aku bisa memperluas jangkauan desain pakaian yang aku
buat."
(TN: istilah sehari-hari dan sedikit mengejek di Jepang,
menggambarkan bocah 14 tahun dan bertingkah seolah tahu semuanya, atau
berpikir memiliki kekuatan khusus yang
tidak dimiliki orang lain.)
Mudah sekali untuk mengatakan
'Aku ingin tahu tentang itu' dan menyangkalnya tapi aku tidak ingin mencegah
Selene yang akhirnya mulai berpikir positif.
"Kalau begitu, mari kita
pergi keluar setelah matahari terbenam."
Dia memejamkan mata dengan
bahagia.
"... terima kasih banyak.
Jika bersama Onii-chan, aku akan pergi keluar."
Rasanya akan bermasalah jika
dia tidak bisa pergi keluar tanpa diriku. Tapi karena Selene bilang kalau dia
ingin pergi keluar dengan inisiatifnya sendiri, maka itu adalah perubahan yang
baik. Aku harus menghormati perasaan miliknya.
Selene dan aku menunggu
matahari terbenam tiba, dan menuju ke kota. Namun, rasanya tidak ada yang
berubah, kami pergi ke stasiun, sama seperti pekan lalu.
Aku menemaninya saat dia
membeli mug baru - dan saat dia bilang dia ingin makan burger pedas yang baru.
Makanan ini sama persis seperti
yang diiklankan, bentuknya besar dan sangat pedas sampai membuat lidahku mati
rasa.
Makan burger besar sendiri
bukanlah masalah. Tapi menghabiskan selada renyah dari burger adalah tugas
tingkat tinggi.
Namun masalah utamanya,
adalah rasa pedasnya.
Sekilas, itu hanya saus yang
terbuat dari jalapeño, habanero dan Jolokia*. Aku masih ingat pedasnya dan
betapa menyakitkan itu. Aku merasakan ilusi seolah-olah semua pori-pori di
tubuhku terbuka.
(TN: Bahan masakan yang biasa untuk masakan pedas)
Berkat itu, keringat yang bercucuran
di tubuhku mengalir seperti air terjun. Melihat bibir kita berdua membengkak,
baik Selene dan diriku mulai tertawa.
Selene tertarik pada game center yang terletak di pusat kota.
Karena ini sudah pukul enam sore, dia tidak bisa masuk karena masih di bawah
umur; merasa frustrasi, dia berjanji untuk kembali lagi untuk pembalasan.
Setelah itu, kami menghabiskan
waktu dengan melihat gerombolan orang yang membanjiri stasiun, dan Selene
mengambil istirahat di bangku taman setelah lelah melihat keramaian.
Kami berkeliling kota
bersama-sama, dan sekitar pukul delapan, kencan kami pun berakhir.
Dalam perjalanan pulang, Selene
duduk di kursi dekat jendela bus. Dia diam-diam bergumam ketika bus berhenti di
salah satu stasiun.
"... Onii-chan, apa yang
akan kamu lakukan dari sekarang?"
Tatapannya masih menatap ke
luar jendela. Dia menatap kosong pemandangan di luar jendela. Karena di luar sangat
gelap, kaca jendela memantulkan wajahnya seperti cermin.
Aku, yang duduk di sampingnya,
mengangguk.
"Sama seperti yang sudah
aku bilang sebelumnya, aku akan mengkonfirmasi dengan Murasaki-san dulu. Ada
kemungkinan kalau kita semua akan berpisah, tapi bahkan jika kau tinggal di
tempat lain kau masihlah adikku."
Setelah mengambil napas, aku terus
melanjutkan.
"Akan lebih bagus lagi
jika semuanya bisa tinggal bersama-sama, itu sebabnya aku akan bertanya dengan
Murasaki-san. Itulah hal pertama yang harus kulakukan."
"... dan apa yang
kedua?"
"Untuk berbicara dengan
kalian semua. Sama seperti yang aku lakukan hari ini denganmu."
Sambil terus melanjutkan,
sebuah pertanyaan mendadak muncul dalam pikiranku.
"Omong-omong, mengapa
kalian mengatakan 'Haruskah aku membuatmu
menjadi kakak ?!'? Waktu itu bersama dengan yang lain."
"... itu."
Selene berbalik dan membuat
ekspresi merenung.
"... kebetulan?"
Dia memiringkan kepalanya dan
balik bertanya, menatapku dengan tatapan kosong.
"Mana ada kebetulan
seperti itu bisa terjadi!"
"... kita semua
bersaudara, jadi kita berpikiran sama."
Mereka berlima memiliki
kepribadian yang berbeda, apalagi mereka semua berada di usia yang berbeda pula.
Apalagi Mika, anak bungsu yang masih di sekolah dasar, mana mungkiin bisa
memikirkan kata-kata ini.
Mungkin saat aku sedang tidur,
atau ketika aku sedang mandi, mereka berlima sudah mendiskusikan ini.
Jika aku menanyainya lagi,
mungkin akan menyakiti hatinya. Dia enggan mengatakan apapun. jadi, aku hanya
bisa menyerah dan berpikir itu adalah rahasia mereka.
Selene menyandarkan berat
badannya di pundakku.
Aroma sampo yang mengalir dari
rambutnya membuat hatiku berdetak lebih cepat ... tidak, itu menenangkanku.
"... tolong biarkan aku
tetap seperti ini untuk sementara waktu."
Aku mengangguk ringan.
Guncangan bus terasa nyaman, dan aku pun tertidur.
Aku punya keluarga di sampingku.
Pada jarak yang bisa kurasakan kehangatannya.
Ini adalah perasaan yang
menyenangkan dan nyaman.
Hanya untuk beberapa saat lagi,
mari kita tetap seperti ini untuk sedikit lebih lama ...
Dan dengan keadaan seperti itu,
kami berdua melewati halte bus yang dekat dengan apartemen.
Pen chapter khusus moriko juga :(
BalasHapus