Hello, Hello, and Hello Chapter 03 Bahasa Indonesia



Pertemuan 12 - Aroma Musim Semi
“Boleh minta tolongnya sebentar?”
Aku didekati oleh seorang gadis yang tidak pernah kutemui.
Ini terjadi saat aku berada di toko buku sebelah stasiun, mencari-cari karya baru dari penulis favoritku.
Suaranya terdengar agak tinggi dan nyaring, mungkin karena dia sedikit gugup.
“Aku ingin buku itu. Apa kamu bisa mengambilkannya untukku?”
Jari rampingnya menunjuk ke deretan tertinggi di rak buku yang dipenuhi buku. Tapi ada sampul dari berbagai warna yang tersusun berantakan di sana. Aku tidak tahu buku mana yang dia tunjuk.
“Buku yang mana?”
“itu, yang sampulnya biru.”
“Ah.”
Saat aku melihat buku itu, aku berseru.
Itu adalah buku yang aku cari-cari. Seperti yang dia katakan, hanya ada satu buku seperti itu. Itu ditempatkan di rak buku, dan bukan di sudut publikasi terbaru.
“Ada bangku di sebelah sana.”
Dia sama sekali tidak melihat reaksiku saat dia menunjuk jarinya ke bangku yang ada di sebelah aku. Mataku mengikuti jarinya dari rak ke bangku.
Dan kemudian, aku melihat ke arah gadis itu lagi.
Dia memiliki wajah yang imut, rambut pendeknya menutupi matanya. Tingginya hampir sama denganku, atau mungkin sedikit lebih tinggi. Seharusnya dia bisa mengambil buku itu sendiri jika dia mau.
Dia tidak mau mengambilnya sendiri, karena baju yang dia pakai.
Dia mengenakan rok mini.
Karena dia berpakaian seperti itu, mungkin roknya akan tersingkap jika dia menjinjit. Jadi begitu. Sepertinya cewek punya banyak hal yang harus mereka perhatikan.
Aku melakukan apa yang dia suruh, memindahkan bangku, dan meraih buku bersampul biru. Badanku tidak cukup tinggi, jadi aku berjingkat-jingkat, dan nyaris tidak menyentuh sampul buku baru yang mengilap itu. Ini adalah karya baru dari penulis setelah dua tahun hiatus, dan itu berada di genggamanku. Tapi ...
Rasanya agak bertentangan, aku menyerahkan buku yang kuperoleh dengan banyak kesulitan, kepada gadis tersebut.
“Terima kasih.”
Dia mendekap buku itu dengan erat.
“Ah, tidak apa-apa. Kau suka karya penulis ini?”
“Yap.”
“Aku juga suka penulis ini.”
Aku berusaha untuk tidak terdengar terlalu sedih, tapi nampaknya gadis itu menyadari beberapa hal dalam nada suaraku, karena dia terlihat agak muram.
“Apa kamu mencari buku ini juga?”
“Aku tidak pernah mengira kalau bukunya akan berada di tempat itu.”
“Aku juga tidak dapat menemukannya, jadi aku bertanya kepada petugas. Aku diberitahu "Cuma ini satu-satunya yang tersisa". "
“ Begitu ya. Jadi bukunya cuma tinggal satu? Sayang sekali. Kurasa aku akan pergi ke tempat lain untuk mencari. ”
Aku berbohong sambil tersenyum.
Aku sudah mencari semua toko lain sebelum datang ke sini.
Di kota kecil tempat aku tinggal, toko buku takkan menjual buku apa pun kecuali karya yang berharga, buku yang diadaptasi menjadi film, atau karya terlaris, bahkan jika itu adalah karya baru. Ini salahku karena terlalu naif untuk berpikir kalau aku bisa mendapatkannya pada hari penjualan, dan terlalu malas untuk pre-order.
Sepertinya aku harus menyerah.
Aku menjatuhkan bahuku dengan sedih, dan menuju pintu keluar.
“Tunggu!”
Untuk beberapa alasan, dia memanggilku.
“Eh?”
“Jika kamu tidak keberatan, bagaimana kalau aku meminjamkanmu buku ini? Saat aku sudah menyelesaikan buku ini.”
“Mengapa kau meminjamkanku?”
“Karena aku sendiri suka membaca. Aku tahu perasaan ingin membaca buku sesegera mungkin.”
Dan sementara aku bingung bagaimana menjawabnya, dia menundukkan kepalanya dengan canggung karena suatu alasan. "Erm, maafkan aku jika terlalu lancang." Dari suaranya yang sangat kecil itu, aku menyadari butuh keberanian besar bagi dirinya untuk memanggilku.
Tiba-tiba dadaku menjadi panas, dan aku secara alami melihat ke bawah.
“Tidak apa-apa. Terima kasih. Aku sangat berterima kasih. Namaku Segawa Haruyoshi. Senang berkenalan denganmu. ”
Setelah mendengar kata-kataku, dia menghela nafas lega, dan tersenyum cerah.
“Iya. Senang berkenalan denganmu, Segawa-kun. Shiina Yuki.”
Ini terjadi di musim semi, pada akhir semester kelas dua SMP.
Begitulah aku bertemu Yuki Shiina.

❀❀❀

Setelah kami meninggalkan toko buku, kami pergi ke kafe yang ingin dikunjungi Shiina-san.
Kami berhati-hati membuka pintu kayu, dan bel di dalam berdentang dua kali. Saat tiba di dalam, alunan musik jazz yang belum pernah aku dengar memenuhi suasana kafe, dan aroma kopi memenuhi sudut-sudut toko.
Rasanya seperti tempat untuk orang dewasa.
Waktu berlalu dengan lambat dan elegan di sini.
“Selamat datang. Ara, ara, ternyata ada dua tamu imut yang sedang berkunjung. ”
Ada seorang Onee-san yang menyambut kami di toko. Nampaknya cuma kami satu-satunya pelanggan yang ada. "Pilih tempat duduk yang kamu suka." Ucap Onee-san itu sembari berseri-seri.
Aku melihat-lihat interior toko, dan tanpa ragu, Shiina-san duduk di kursi dengan pencahayaan yang paling terang. Aku bergegas, dan duduk di hadapannya.
Sinar matahari bulan Maret yang bersinar dari luar jendela benar-benar hangat.
Aku ingin menguap, tapi aku menggertakkan gigiku, untuk menahannya. Shiina-san yang melihatku terkikik. “Kamu seperti kucing saja.”
“Kita harus memesan sesuatu. Apa yang kamu inginkan, Segawa-kun? ”
Aku melihat menu yang diletakkan di atas meja, dan kaget.
Tidak ada banyak daftar pada menu, tapi masing-masing item sangatlah mahal. Satu kaleng coke seharga 450 yen, dan teh hitam seharga 1000 yen. Siapa yang akan memesan barang seperti itu? Mungkin bos perusahaan. Aku tidak tahu. [TN: Asumsi 1 yen = 130 rupiah]
Shiina-san sepertinya sangat akrab dengan tempat ini ketika dia memesan secangkir kopi hitam, jadi aku memesan yang sama. Walau aku tidak pernah minum kopi.
“Ini untukmu. Ini adalah buku yang baru saja aku bicarakan.”
Setelah kami memesan, Shiina-san mengeluarkan dua buku dari tasnya. Aku menerima salah satu dari dua buku tersebut.
Ini buku yang dia punya, bukan buku yang baru dia beli.
Kami berbicara tentang buku saat dalam perjalanan dari toko buku ke kafe. Selama waktu itu, Shiina-san merekomendasikanku sebuah buku.
Dia kebetulan membawa buku itu, dan meminjamkannya padaku. Sementara dia membaca karya baru, aku bisa menghabiskan waktu untuk membaca ini.
“Aku pikir kamu akan menyukainya.”
“Semoga saja.”
Sebelum mulai membaca, aku membolik-balik beberapa halaman. Kopi yang kami pesan disajikan di atas meja.
Aroma unik nan kaya melayang santai bersama dengan uap.
“Selamat menikmati.”
Onee-san itu membungkuk ke arah kami, dan kembali ke konter. Kepang panjang di belakang kepalanya bergoyang-goyang dengan riang.
Aku memandangnya, meski secara tidak sadar. Untuk beberapa alasan, Shiina-san cemberut, seolah-olah mengomeliku.
“Apa kamu melihat Onee-san yang tadi?”
“Eh?”
“Jadi dia itu tipemu?”
“Tidak. Tapi, yah, aku pikir dia sangat cantik. Rambut panjangnya terlihat bagus, dan dia sangat feminin. ”
“Hmm, jadi kamu suka gadis berambut panjang ya.”
Shiina-san menyentuh rambutnya, dan mendesah. Dengan cara yang akrab, dia mengangkat cangkir dengan tangannya, dan membawanya ke bibirnya. Dia tidak menambahkan susu atau gula, dan terlihat sangat elegan. Bahkan caranya meminum kopi terasa seperti karya lukisan.
Tapi aku harus menambahkan sesuatu di sini. Sampai saat ini, dia secantik lukisan.
Shiina-san perlahan membawa kopi ke bibirnya, dan saat dia meneguknya, dia mengerang. Ada apa dengannya?
“Rasanya pahit. Apa-apaan ini? rasanya pahit banget. "
“ Eh? Kau biasanya tidak minum ini?”
“Sebenarnya, baru pertama kalinya aku minum ini.”
“Tantangan pertamamu adalah kopi hitam, ya?”
“Tapi sepertinya semua wanita yang membaca di kafe ini meminum kopi hitam.”
Shiina-san mengerang, tampak seolah-olah diracuni, dan mengulurkan tangan ke botol kecil di ujung meja. Dia mengambil dua kubus gula ke dalam cairan hitam, mengaduknya dengan sendok, dan menyesapnya. Lagi-lagi dia meringis, dan menambahkan gula batu lagi.
Setelah itu, dia dengan hati-hati meneguk lagi, “Yap.” Dan mengangguk gembira.
“Sekarang bisa diminum.”
Sejujurnya, aku sedikit gugup menghadapi Shiina-san yang terlihat seperti orang dewasa, tapi setelah melihat ini, aku menghela nafas lega. "Ini benar-benar pahit." Ujar Shiina-san seraya terus menambahkan gula ke dalam kopi, dan jelas sekali kalau dia adalah gadis seusiaku. Tak ada alasan bagiku untuk merasa gugup.
“Bagaimana denganmu, Segawa-kun? Apa kamu sering minum kopi? ”
“ Sebenarnya, aku juga baru pertama kalinya minum ini. ”
Aku mengatakan yang sebenarnya. "Ahahaha." Shiina-san tertawa.
“Kalau begitu kamu sama saja seperti aku. Apa kamu mau nambah gula? Atau Kamu akan menantang kopi hitam ini?”
“Yah, karena ini kesempatan yang langka, jadi aku ingin menantangnya.”
Sama seperti Shiina-san sebelumnya, aku menyesap kopi tanpa menambahkan apapun. Pada saat itu, perasaan pedas dan pahit menyengat lidahku. Aku hanya bisa mengerutkan kening. Lidahku terasa kelut. Aku melukai lidahku karena air panas. Aku buru-buru meneguk air, dan meletakkan es di ujung lidahku.
“Bagaimana? Rasanya pahit banget, kan?”
“Lidahku serasa terbakar.”
“Tak disangka kamu ini ceroboh juga ya, Segawa-kun.”
Ucap Shiina-san sembari menyesap kopi, mukanya mengernyit lagi. Setelah ragu-ragu, dia juga mendinginkan lidahnya. Aku tahu apa yang terjadi padanya. Pasti lidahnya merasakan hal yang sama denganku saat ini.
“Kau juga sama cerobohnya.”
Aku berkomentar dengan gembira. Shiina-san terlihat sedikit canggung saat dia memasukan es ke mulutnya.

❀❀❀

Suara membalik kertas bergema di dalam toko. Begitu kami mulai membaca, pelayan Onee-san mematikan musik, dan pergi ke alam mimpi. Dia terlihat sangat nyaman. Mungkin dia mengalami mimpi yang indah, karena dia tersenyum.
“Hei,"”
Aku dipanggil, dan mengangkat kepalaku. Aku melihat Shiina-san menutup buku dan menghadap ke arahku. Aku menyelipkan penanda buku, dan menutupnya. Cangkir kopi di atas meja sudah kosong, dan gelas-gelas air di sebelah kami pun sudah setengah kosong.
“Ada apa?”
“Bagaimana menulis kanji 'Haru Yoshi'?”
“Kenapa kamu mendadak menanyakan itu?”
“Bukan apa-apa, sih, aku cuma sedikit penasaran. Lagipula itu nama yang langka.”
“Apa ini tentang novel? Pertanyaan jebakan yang berkaitan dengan nama, atau sesuatu seperti itu? ”
Tubuh Shiina-san bergetar. "Bu-Bukan seperti itu, kok." Dia bersikeras membantah. Kebohongannya terlihat jelas, saking jelasnya sampai dia meninggikan nada suaranya di akhir.
Setelah memikirkannya beberapa saat, aku mengarahkan jariku pada tetesan di atas kaca, dan menggunakan tetesan itu untuk menulis di atas meja. Tetesan membentuk garis-garis pada permukaan, garis-garis yang menyatu membentuk kata-kata. Segera setelah itu, kata-kata 'Haruyoshi, ' terbentuk.
“Begini kanjinya.”
“Ehh. Ah, kebetulan sekali. ”
Shiina-san menggambar kata 'ki, ' di belakang 'Yoshi, '.  
[TN: Haru [] memiliki arti musim semi, dan Yoshi [] memiliki arti alasan. Kanji yang Haruyoshi menggunakan pengucapan Kunyomi. Kanji [] mempunyai pengucapan Kunyomi [Yoshi] dan Onyomi [Yu, Yuu], Kanji [] mempunyai arti Harapan, doa, atau permohonan.]   
“Yuki ”, Gumamku.
“Kita berdua berbagi kata.”
“Bagus sekali.” Ujar Shiina-san.
Kami terus membaca, mengobrol dari waktu ke waktu, dan memesan kue. Tanpa kami sadari, hampir lima jam berlalu. Tidak ada pelanggan lain yang mengunjungi toko ini.
Suhu malam menurun drastis, dan lampu warna-warni membentuk cahaya buram di kota.
Aku bisa melihat bintang-bintang di langit.
Shiina-san memberitahuku nama-nama dari beberapa bintang, jadi aku bertanya padanya posisi mana bintang yang dia sebutkan, tapi sepertinya dia hanya tahu namanya saja.
Saat aku mengantar Shiina-san kembali ke stasiun, dia memberiku buku biru, seperti yang dijanjikan. "Terima kasih." Aku membungkuk penuh terima kasih. Beratnya hard cover membuatku gembira.
“Ngomong-ngomong, apa kamu besok sibuk, Segawa-kun? Sekarang masih liburan musim semi, bukan?”
“Aku ada latihan lari saat pagi, tapi kalau sore, aku punya waktu luang.”
Jika ada yang harus dilakukan, kurasa aku hanya ingin menghabiskan waktu sore untuk membaca buku ini.
“Kalau begitu, apa kita bisa bertemu lagi di sore hari? Aku ingin berbicara tentang buku ini, dan kesanmu? ”
Aku ingat bahwa, meski kami menghabiskan sepanjang hari hanya dengan membaca dan mengobrol, kami berdua merasa senang. Shiina-san mulai panik, mungkin karena dia melihat kalau aku diam saja, tak membalas ajakannya.
“Ah, tapi kamu tidak perlu menyelesaikannya besok, Segawa-kun. Kamu bisa membicarakan buku yang kamu baca juga. Ya, aku benar-benar menikmati hari ini. ”
Ah. Kenapa? Melihat Shiina-san memiliki perasaan yang sama denganku, aku merasa benar-benar bahagia.
“Baiklah. Sampai jumpa besok.”
“Ya.”
Saat kita akan berpamitan," Ah." Shiina-san berseru saat dia menunjuk ke atas langit. Kabut putih yang terjadi saat kami berbincang-bincang sudah menghilang. Musim semi telah tiba, musim dari semua permulaan. Saat ini, Musim dingin sedang terkubur lenyap menunggu waktu gilirannya.
“Aku tahu bintang itu.”
Dia memberitahuku nama bintang oranye terang itu.
“Namanya Arcturus. Orang Hawaii menyebutnya Hōkūleʻa, sebuah bintang kebahagiaan.

vvvv

Begitu aktivitas klub berakhir, aku berjalan menyusuri koridor. Pada saat ini, objek putih bulat berkelebat dengan cepat. Waktu berlalu perlahan selama liburan musim semi, terutama di blok samping dengan ruang klub. Dengan demikian, kecepatan itu benar-benar menarik perhatianku. Jadi, tadi itu apa?
Aku berjalan sembari memikirkan wujud sebenarnya dari objek yang menarik perhatianku, tiba-tiba kepalaku ditepak dari  belakang.
“Aduh. Siapa sih yang jail?”
“Hei, Haru.”
Namaku kemudian dipanggil. Suaranya terdengar akrab.
“Akane, bisa ngga sih jangan seenaknya nepak kepala orang?”
Aku memanggil nama pelakunya saat berbalik, dan melihat temanku Akane Rindou mengembungkan pipinya dengan marah. Dia memegang plastik putih di tangan kanannya. Jadi ini wujud putih tadi. Sepertinya ada banyak jus di dalamnya.
Mungkin beberapa hadiah untuk juniornya.
Sejak musim panas lalu, dia diangkat menjadi kapten tim renang.
“Tidak, ini memang salahmu, Haru.”
“Memangnya aku melakukan sesuatu yang salah?”
“Ini salahmu karena tidak melakukan apa-apa. Kamu setidaknya harus menyapa teman sekelas yang lewat. Ampun deh, kamu selalu seperti ini, Haru, bertindak seperti tidak ada yang terjadi. Itu tidak baik, loh. ”
Perkataannya sungguh tidak masuk akal, tapi karena Akane berkata begitu, aku yang pasif ini memilih untuk menundukkan kepalaku meminta maaf. Baiklah, ayo selesaikan ini dengan cepat.
“Maaf. Karena tak menyadari kalau kau di sana, Akane. Aku sedang melamun.”
“Jadi maksudmu aku tidak punya hawa keberadaan? Kembalikan hati gadisku yang berharap kalau kamu akan berbicara denganku.”
“Aku terkejut.”
“Terkejut karena apa?”
“Terkejut karena kau memiliki hal seperti itu, Akane.”
Braag.
Ah, entah kenapa, aku mendengar suara yang seharusnya tidak kudengar.
“Kamu pikir aku ini apa?”
Mata tsurime Akane benar-benar menatap tajam. Dia mengangkat senjata tumpul di kedua tangannya. Akane cukup kurus, tapi karena latihan renangnya, tubuhnya cukup berotot. Ya. Aku tahu bahwa kekuatan lengan, dia jauh lebih kuat dariku. Pada titik ini, akan sangat berbahaya. Aku terus menghindarinya berulang kali, demi keselamatanku sendiri.
“Oooi, ini berbahaya. Tolong berhenti.”
“Diam!”
“Aku mengerti. Aku benar-benar minta maaf.”
“Lalu apanya yang kamu mengerti?”
“Eh, Hmm…yah…..”
“Jadi, kamu sama sekali tidak mengerti!”
“Bukan begitu, erm. Ya. Aku mengerti kalau Kau adalah gadis yang sangat menawan. ”
Saat aku meneriakkan itu, senjata tumpul menyerempet hidungku. Jantungku berdebar kencang, dan terdengar sangat keras. Tubuhku gemetaran. Untuk sesaat, tubuhku menggigil, dan keringat dingin bercucuran keluar.
Aku tidak tahu apakah keputusasaanku mencapai dirinya, namun Akane akhirnya menghentikan serangannya.
“Entah kenapa, rasanya seperti kamu mengatakan itu bukan dari lubuk hatimu. Itu menyebalkan.”
“Lalu apa yang harus kukatakan?”
“Ter — serah. Aku juga salah karena terlalu berharap padamu, Haru. Kedua belah pihak sama-sama salah.”
Tidak, Cuma aku satu-satunya yang menderita. Kali ini, aku berhasil menelan kata-kata ini ke tenggorokanku. Jika tidak, aku hanya menambahkan minyak ke dalam kobaran api. Aku takkan membuat kesalahan yang sama lagi.
“Jadi, apa yang sedang kamu lakukan?”
“Apa? Latihannya sudah selesai, jadi aku mau kembali ke ruang klub. Kau sendiri?”
“Yah, aku membersihkan ruang klub dengan yang lainnya sebelum ada anggota baru yang masuk. Kamu boleh bantu kalau mau. Aku bisa mentraktirmu dengan jus.”
“Maaf. Aku sudah ada janji. ”
Usai mendengar itu, alis Akane yang bentuknya bagus sedikit mengerutkan.
“Ada janji lagi? Belakangan ini, rasanya kamu menjadi antisosial, Haru. Apa ini sama seperti terakhir kali saat kamu bilang ada janji tapi ternyata kamu pergi sendirian?”
“Tidak, tidak, tidak. Aku benar-benar punya janji dengan seseorang hari ini. ”
“Hmm. Kurasa apa boleh buat. Sayang sekali. Tapi yah, boleh minta waktunya sedikit?.”
“Sudah kubilang kalau aku punya janji.”
“Aku tidak memintamu untuk membersihkan ruang klub bersamaku. Aku sedang istirahat. Aku takkan menyita banyak waktumu. Lagian, Aku harus mengantarkan jus ini. Karena kamu berjalan sambil melamun, itu artinya kamu punya banyak waktu, ‘kan? ”
Akane benar. Masih ada 40 menit sampai janji ketemuan.
“Yah, itu, aku tidak keberatan.”
“Kalau begitu, sudah diputuskan ...”
Akane menjentikkan jarinya, dan meletakkan tumpukan jus di tiang. Dia kemudian mulai membuka jendela koridor satu per satu.
Setiap kali dia membuka jendela kaca transparan, rambut pendek Akane akan berkibar karena angin. Wajahnya mengepul dengan udara panas, mungkin karena berjalan jauh. Wajahnya terlihat merah muda.
“Ahh — anginnya benar-benar terasa sejuk.”
“Yeah.”
Aku menjulurkan kepalaku dari jendela yang sama dengannya, dan entah kenapa, dia menunjukkan wajah yang aneh. "Hiee," pekiknya. Dia agak menjauh dariku, dan aku benar-benar merasa sakit hati.
Demi menyembuhkan hatiku yang hancur, aku melihat ke arah bukit. Cuaca hari ini sangat cerah, dan tempat-tempat yang jauh semuanya bisa terlihat dengan jelas. Warna merah muda yang tersisa mungkin sisa bunga sakura, atau mungkin bunga prem.
“Senior di klub sudah lulus, kan?”
Ujar Akane sembari mengarahkan jarinya ke jendela di dekatnya.
Suaranya tidak selantang sebelumnya.
“Ya.”
“Apa kamu tidak takut saat ada banyak hal terjadi secara tiba-tiba? Seperti, tahun depan, dan sebagainya. Apa aku benar-benar bisa menangani semuanya? ”
Ah, jadi ini sebabnya Akane memanggilku.
Namun sayangnya, Akane memanggil orang yang salah.
Memang benar baik Akane dan aku akan menjadi senior, dan kami akan menjadi ketua klub.
Namun Akane juga membawa harapan seluruh sekolah. Pada tahun sebelumnya, dia nyaris masuk ke tingkat nasional. Beban yang ditanggungnya adalah sesuatu yang tidak bisa aku tandingi.
Aku berbalik, dan menyandarkan tubuhku di pagar. Aku menyantaikan tubuhku, melihat ke atas, dan melihat matahari setengah tersembunyi di balik atap.Hal  Itu menyebabkanku menyipitkan mata.
Silaunya. pikirku.
Bukan sinar matahari yang membuatku silau, melainkan si Akane.
Bagiku, reaksi alami setelah mengalami kekalahan adalah rasa penyesalan.
Mereka yang tidak memiliki pemikiran seperti itu takkan pernah menjadikannya sebagai pesaing. Akane takut akan hal itu karena ada sesuatu yang setimbang dengan upaya yang dia lakukan.
Dan aku tidak memilikinya.
Pikiranku dipenuhi dengan pola pikir pasif nan klise 'tidak apa-apa', 'kamu bisa melakukannya'. Baginya, kata-kataku yang tidak berguna ini mungkin akan terasa hampa.
Bahkan jika aku berusaha berpikir keras tentang itu—
Ah, bagaimanapun juga ini tidak berguna.
Matahari yang setengah tersembunyi membakar kulitku. "Ahh." Aku membuka mulut, dan untuk beberapa alasan,  terasa kering, mungkin karena kata-kata busuk yang mencapai di belakang gigiku telah menguap.
Aku tidak punya hal lain untuk dikatakan.
“Ngomong-ngomong, tau tidak? Guru matematika, Matsue-chan akan segera menikah, loh. ”
Pada akhirnya, aku memilih untuk melarikan diri dengan mengganti topik pembicaraan.
Akane tidak mengatakan apa-apa, dan memaafkan ketidakjujuran ini yang menjadi ciri khasku.
“Yang bener?  Sama siapa? Guru olahraga, Jimi-sensei? Guru bahasa, Yone-sensei? Ada banyak rumor tentang dirinya. Jadi dia akhirnya memilih salah satu dari mereka?”
“Eh, Matsue-chan punya banyak rumor?”
Aku sedikit terkejut. Aku selalu berpikir kalau beliau adalah guru yang polos dan cantik.
“Kamu terlalu naif, Haru. Jika kamu tidak hati-hati, kamu akan disesatkan oleh gadis nakal, tahu?”
Akane tertawa.
Aku juga ikut tertawa.
Waktu sepele yang berlalu dengan tenang.
Suatu hari,
Apakah aku juga bisa menemukan sesuatu yang bisa membuatku berusaha sekuat tenaga?
Pikirku sembari menatap langit biru yang cerah.

vvvv

Aku mengucapkan selamat tinggal pada Akane, dan bertemu dengan Shiina-san seperti yang dijanjikan. Dia datang ke suatu tempat dekat sekolah untuk menjemputku. Saat aku melihat sosoknya bersandar di telepon, "Selamat sore." Dia menyapaku.
“Karena kau sudah di sini, apa kau mau melihat aktivitas klubku?”
“Aku sebenarnya pengen, tapi kamu tidak berlari sendirian, ‘kan, Segawa-kun?”
“Tentu saja. Lagipula itu adalah aktivitas klub. Aku berlari dengan yang lain.”
“Hm, kalau begitu, tidak jadi, deh. Itu bukan tempat yang bisa aku masuki.”
“Kurasa kau tidak akan ketahuan.”
“Bukan itu masalahnya. Itu hanya aturan yang aku buat untuk diriku sendiri. ”
Kami mengobrol ringan, dan pergi ke daerah pantai di dekat sekolah, seperti yang disarankan Shiina-san. Kupu-kupu dengan sayap putih murni terbang di sekitar bunga Nanohanas keemasan, seolah-olah tengah menari-nari.
Shiina-san dengan gembira meraih satu kupu-kupu yang belum berhenti, dan ujung jarinya menyentuh salah satunya.
Tanpa menatapku, dia bertanya,
“Hei, Segawa-kun, mengapa kamu membantuku mengambilkan buku itu di toko buku?:
Dia menarik kembali jarinya, dan kelopaknya bergetar. Getaran itu mencapai kelopak lainnya, dan kupu-kupu bereaksi ketika mereka terbang ke langit. Sampai akhir, Shiina-san menyaksikan kupu-kupu terbang bersama angin, berkibar dengan anggun.
“Kau sendiri yang memintaku untuk mengambilkannya, bukan?”
“Memang benar. Tapi kamu juga mencari buku itu, Segawa-kun. Kamu menginginkannya juga, jadi kenapa memberikan buku itu padaku?”
“Yah, kaulah yang pertama kali menemukannya, Shiina-san. Itu sebabnya kau punya hak untuk membelinya. ”
“Apa kamu tidak merasa enggan? ”
Kurasa, aku mungkin tidak merasa enggan sama sekali, Cuma sedikit rasa penyesalan.
Aku tidak tahu apakah Shiina-san menganggap jawabanku untuk ya, "kubilang." Karena tingginya hampir sama denganku, matanya menatap mataku.
“Sesuatu yang benar-benar kamu inginkan tidak bisa diperoleh jika kamu tidak menggapainya sendiri.”
“Apa-apaan itu? Kutipan dari siapa? "
“Ini ajaran dari Sesepuh (pengalamanku). ”
Usai mengatakan itu, Shiina-san mengulurkan tangannya ke arahku. Tangannya yang mengepal perlahan terbuka layaknya bunga yang tengah mekar.
“Bisakah kamu memegang tanganku?”
“Eh?”
“Kumohon ?”
“... Yah, aku bisa.”
Tepat ketika dia menyentuh Nanohana, aku dengan lembut menyentuh ujung jarinya, dan jari-jariku meraih miliknya. Akhirnya, telapak tangan kami menyatu satu sama lain.
Pada saat itu, kami mengerahkan kekuatan, dan tangan kami akhirnya saling menggenggam.
“Ya. Inilah yang aku bicarakan. Apa kamu mengerti?”
Aku hanya bisa menggelengkan kepala.
Aku sama tidak mengerti apa maksudnya.
“Andai saja kamu bisa memahami hal ini, Segawa-kun.”
Aku tidak mendengar apa yang dia gumamkan, dan saat aku bertanya, Shiina-san menertawakannya.
“Bukan apa-apa. Lebih penting lagi, hari ini kita pergi kemana? ”
Setelah itu, kami pergi ke banyak tempat.
Kami pergi ke pusat permainan, arena bowling, dan menonton film. Jarum jam melewati angka enam, dan saat mengantar Shiina-san ke stasiun kereta, aku bertemu dengan wajah yang akrab.
Ternyata itu teman sekelasku, Takuma Midou.
Kelihatannya Ia mau nongkrong dengan teman-temannya dari tim bola basket.
“Yo, ternyata itu elu, Haru? Lu lagi ngapain di sini?”
Takuma memberi isyarat agar yang teman-temannya pergi duluan.
“Yah, biasa, cuma jalan-jalan. Baru selesai kegiatan klub, Takuma? ”
“Ya begitulah. Kami akan pergi karaoke nanti. mau ikut?”
“Kurasa tidak. Aku tidak terlalu akrab dengan anak-anak tim basket, dan lagipula aku tidak sendirian.”
“Elu bareng teman-teman klub?”
“Tidak, bukan mereka.”
Begitu aku ditanya pertanyaan ini, tiba-tiba aku memikirkan sesuatu.
Apa hubunganku dengan Shiina-san? Sekedar kenalan? Teman? Sementara aku memikirkan itu, dia menjulurkan kepalanya dari balik bahuku.
“Selamat malam. Apa kamu temannya Segawa-kun?”
“ Eh?”
Setelah melihat Shiina-san, waktu terasa terhenti bagi Takuma, dan baru dimulai kembali lima detik kemudian. Yah, aku sendiri tidak heran kenapa Takuma bertingkah seperti itu. Jika itu aku, aku akan menunjukkan reaksi yang sama persis.
“Hah? Ehhhhhh, tunggu tunggu tunggu. Siapa gadis cantik ini? Dia bukan dari sekolah kita, ‘kan? Ngomong-ngomong, eh, eh, jangan bilang elu ... ”
Ini sungguh pemandangan yang langka.
Takuma adalah cowok cerdas dan atletis, dan Ia biasanya jauh lebih dewasa dibandingkan cowok seumuran di sekolah kami. Dia selalu bisa menangani setiap masalah dengan tenang.
Dan mulut Takuma itu menganga, melihat bolak-balik antara Shiina-san dan aku.
“Tunggu, Takuma. Kau salah paham.”
“Apanya yang salah paham, dasar pengkhianat.”
“Tidak, aku menyuruhmu untuk jangan ambil kesimpulan dengan cepat. Aku tidak mengkhianatimu atau semacamnya.”
Aku mencoba membujuk Takuma, tapi Shiina-san menarik ujung bajuku. " sekarang apa lagi?" Pikirku, dan pada saat itu, dia meletakkan tangannya di telingaku, meniupnya. Itu adalah perasaan yang menghancurkan saraf, dan aku menutupi telingaku dengan tanganku, berteriak kaget. Aku merasakan hawa dingin di punggungku, dan pipiku memanas. Apa yang sedang dia lakukan, sih?
Takuma memelototiku seolah-olah aku adalah musuh yang membunuh saudaranya.
“Hei, apa maksudnya elu ngga ngehianatin gue? Apa yang baru saja dia bisikkan padamu? Apa dia berbisik kalau dia menyukaimu? Bukannya kalian Cuma pamer kemesaraan doang !? ”
“ Tidak, ini bukan seperti yang kau bayangkan. Shiina-san, bantu aku bilang padanya. ”
“ Ehh, apa perasaanku tidak tersampaikan padamu, Segawa-kun? ”
Shiina-san dengan sengaja membalikkan tubuhnya, memberikan kesalahpahaman yang lain. Pukulan fatal yang membuatku benar-benar tak bisa berkata-kata.
"Sialan !!!" Teriak Takuma.
Kemudian, dia dengan lembut menepuk kepalaku, sebelum berlari ke jalan. "Haru, elu pengkhianat !!! Riajuuu bakuhatsu shirooooo !! ”Suara teriakannnya menggema. Begitu dia menghilang dari pandanganku, aku bertanya pada Shiina-san, yang tertawa cekikikan terus.
“Kau sengaja melakukannya, ‘kan?”
“Emangnya aku salah apa, ya?”
Dia meletakkan tangannya di bawah dagunya, berpura-pura tidak tahu.
“Kau adalah penjahat yang mepercayai kalau apa yang sudah dilakukan  merupakan perbuatan yang tidak salah.”
“Oke, oke. Apa kamu tidak menyukai itu, Segawa-kun? "
“Eh?”
“Apa kamu tidak suka kalau orang-orang mengira kamu sedang ada hubungan seperti itu denganku? "
“... Tidak juga.”
“Begitu ya. Lalu, tak masalah, ‘kan? Yang lebih penting lagi, aku sedikit terkejut kalau kamu memanggil teman sekelas dengan nama langsung, Segawa-kun. Kamu sepertinya tidak memberi kesan seperti itu ...”
“Aku hanya memanggil yang akrab denganku saja.”
“Hhmmm. Kalau begitu panggil aku 'Yuki', Segawa-kun. Aku akan mulai memanggilmu 'Yoshi-kun'.”
“Kau tidak memanggilku Haru? “
“Yah, aku benci ‘Musim semi’ untuk 'Haru', tapi aku suka kata 'Yoshi'. Kami berdua memiliki kanji yang sama, jadi aku akan memanggilmu Yoshi-kun. " (TN: Kanji Haru mempunyai arti Musim semi)
“Kau benci musim semi? Kenapa? “
“... Ketika Musim Semi tiba, udara mulai menghangat, dan salju pun mencair, menghilang ditelan bumi. Semua orang akan melupakan salju (Yuki), bukan? Walau masih ada salju di sana, tapi semua orang melupakannya. Aku benar-benar tidak menyukai hal itu. ”
Meski kanjinya berbeda, tapi namanya terdengar seperti kata 'Salju' dalam bahasa Jepang.
Shiina-san mungkin mengalami perasaan dilupakan.
Ini bukanlah sesuatu yang bisa mudah aku terima atau tolak, karena aku tidak tahu apa-apa tentang dirinya.
Yang aku tahu hanyalah saat mendengar 'Aku benci Musim Semi (Haru)’, hatiku terasa sakit  layaknya tertusuk jarum.
Karena aku punya firasat kalau dia akan mengatakan salju dan musim semi tak pernah bisa bersama.
“Hei, Yoshi-kun. Coba panggil aku Yuki. ”
Namun meski begitu, jika dia mengharapkannya, aku akan memanggilnya Yuki.
“Baiklah, Yuki.”
Pada saat itu juga, wajah Yuki memerah.
“Woah, dipanggil dengan nama jauh lebih menakjubkan dari yang aku sangka. Ini mungkin pertama kalinya seorang cowok selain ayahku memanggilku begitu. ”
Aku menyaksikan Yuki berusaha menutupi wajahnya dengan telapak tangannya, dan tingkahnya terlihat lucu. Namun, kata-katanya terus terngiang-ngiang di sudut pikiranku, dan terukir jauh di lubuk hatiku.
——Aku benci musim semi.
vvvv
Pada satu-satunya hari terakhir di liburan musim semi, aku pergi ke taman Yairo bersama Yuki.
Taman yang dibangun di sekitar danau berukuran 5 km, dan katanya mempunyai pemandangan yang berbeda jika dilihat dari delapan titik yang berbeda, demikianlah asal-usul nama Taman Yairo. (TN: Yairo, mempunyai arti delapan warna/pemandangan)
Sekarang masih hari biasa, dan taman jauh lebih tenang dari biasanya. Di malam hari, tempat ini akan dipenuhi dengan orang dewasa yang ingin melihat bunga, tapi kalau siang hari sangat jarang.
Tapi Yuki jauh lebih bahagia dari yang kupikirkan.
“Wow, tak disangka ada tempat seperti ini juga.”
Kutempatkan tanganku di saku mantel seraya mengikuti Yuki, yang menyaksikan dengan penuh rasa penasaran. Aku mencari-cari bentuk benda kecil di sakuku, memeriksa apakah benda itu masih ada di sana. Ini adalah sesuatu yang bisa diletakkan di telapak tanganku dengan mudah, tapi entah kenapa rasanya sangat berat, bukan secara fisik. Melainkan, berat secara emosional yang ditambahkan pada benda ini.
Alasan mengapa aku membawa Yuki ke sini, karena aku ingin mengunnjungi tempat dimana tidak ada orang yang mengganggu kami, dan memberikan kepadanya sesuatu yang aku beli kemarin.
Kondisi lain sudah terpenuhi.
Yang aku butuhkan hanyalah suasana keadaan dan waktu, tapi sulit untuk menemukan waktu yang pas.
Kami berjalan cukup jauh di taman, dan hadiah itu masih memantul di dalam kantongku.


Sejak aku bertemu Yuki, aku merasa tak berguna. Kupikir aku bisa menangani urusan dengan sempurna, tapi akhirnya malah jadi salah tingkah di depan Yuki. Kenapa bisa begitu?
Aku menyaksikan Yuki menunjuk wajahnya dengan jarinya, dan tingkahnya terlihat lucu. Namun, kata-katanya terus terngiang-ngiang di sudut pikiranku, dan terukir jauh di lubuk hatiku.
——Aku benci musim semi.

Pada satu-satunya hari libur di liburan musim semi, aku pergi ke taman Yairo bersama Yuki.
Taman yang dibangun di sekitar danau berukuran 5 km, dan katanya mempunyai pemandangan yang berbeda jika dilihat dari delapan titik yang berbeda, demikianlah asal-usul nama Taman Yairo.
Sekarang masih hari biasa, dan taman jauh lebih tenang dari biasanya. Di malam hari, tempat ini akan dipenuhi dengan orang dewasa yang ingin melihat bunga, tapi kalau siang hari sangat jarang.
Tapi Yuki jauh lebih bahagia dari yang kupikirkan.
"Wow, tak disangka ada tempat seperti ini juga.”
Kutempatkan tanganku di saku mantel seraya mengikuti Yuki, yang menyaksikan dengan penuh rasa penasaran. Aku mencari-cari bentuk benda kecil di sakuku, memeriksa apakah benda itu masih ada di sana. Ini adalah sesuatu yang bisa diletakkan di telapak tanganku dengan mudah, tapi entah kenapa rasanya sangat berat, bukan secara fisik. Melainkan, berat secara emosional yang ditambahkan pada benda ini.
Alasan mengapa aku membawa Yuki ke sini, karena aku ingin tempat yang mana tidak ada orang yang mengganggu kami, dan memberikan kepadanya sesuatu yang aku beli kemarin.
Kondisi lain sudah terpenuhi.
Yang aku butuhkan hanyalah suasana keadaan dan waktu, tapi sulit untuk menemukan waktu yang pas.
Kami berjalan cukup jauh di taman, dan hadiah itu masih memantul di dalam kantongku.
Sejak aku bertemu Yuki, aku merasa tak berguna. Kupikir aku bisa menangani urusan dengan sempurna, tapi akhirnya malah jadi salah tingkah di depan Yuki. Kenapa bisa begitu?
Cahaya sang mentari bersinar ke arah dedaunan, dan menembusnya. Bayangan yang terbentuk membentuk kontras hitam dan putih di wajahku.
Di bawah sinar matahari yang lembut tersebut, aku hendak berbicara. Tapi, aku malah didekati oleh seseorang.
Suara tersebut terdengar lebih dalam, berbeda dari suara Yuki yang nyaring.
“Ah, kalian berdua yang ada di sana. Tunggu sebentar. ”
“ Eh? ”
Kami menoleh ke arah sumber suara, dan ada paman besar seperti beruang sedang berlari ke arah kami. Aku bisa mendengar efek suara gemuruh. Dia terlihat sangat panik, jadi kami langsung berhenti di tempat —— yang mana itu adalah pilihan yang salah.
Pria itu terengah-engah, dia hampir kehabisan nafas. Ia menuju ke arah belakangku, dan tiba-tiba meraih sikuku.
“Ahh —— Syukurlah. Tolong ikut dengan kami dulu.”
“A-apa yang terjadi?”
“Kami sedang melakukan syuting film, tapi kami kekurangan pemain untuk adegan terakhir. Itu menyebabkan kami banyak masalah.”
“Tidak, tidak, tidak, tunggu dulu. Aku tidak mengerti maksud Anda. ”
“ Tidak mengerti, maksudku? ”
Paman tersebut berbalik ke arahku dengan bingung. Aku melihat sosoknya dari dekat, dan tak disangka Ia masih lumayan muda. Dia mungkin berusia dua puluhan, pada fase dimana aku masih bisa memanggilnya Nii-san.
Mata pria itu tertuju pada Yuki yang sedang ada di belakangku, dan mata bundar yang tersembunyi di balik rambutnya mulai bersinar cerah.
Hal tersebut sangat menyiratkan apa yang Ia pikirkan. Aku ingin segera kabur, tapi lenganku langsung dicengkeram, dan aku tidak bisa membebaskan diri. Ia melamun sekitar tiga detik, dan memanggilku lagi.
“Oi, nak.”
“Tidak mau.”
Jika aku sendirian, aku mungkin kewalahan oleh orang ini. Namun, sekarang keadaannya berbeda, karena ada Yuki di belakangku.
“Tapi aku belum mengatakan apapun?”
“Aku tahu apa yang ingin anda katakan. Kamu ingin Yuki muncul di film.”
“Tolong pertimbangkan.”
“Itu mustahil.”
Dan pada titik ini, Yuki, yang dari tadi melihat keadaannya, mengangkat tangannya,
“Mengapa kamu memutuskan seenaknya saja, Yoshi-kun?”
Kami berdua memandang ke arah Yuki.
“... Kamu ingin berakting?”
“Kedengarannya menyenangkan. Ini cara yang bagus untuk memperingati hari ini juga.”
Pria itu tidak melewatkan kesempatan yang ada, dan langsung menimpali dengan keras.
“Ya, ya. Jangan memutuskan apa yang diinginkan gadis itu, Nak.”
Kalau begitu, kenapa Anda tidak bertanya pada Yuki langsung? Omong-omong, sepertinya pria ini tidak berniat untuk bernegosiasi dengan Yuki. Apa yang terjadi.?
“Hei, ayo, Yoshi-kun.”
Seluruh proses ini sedikit tidak menyenangkan, tapi aku terpaksa menerimanya. Bailah, hanya itu yang bisa aku katakan.
“Benarkah? Kalau begitu sudah diputuskan. Kalian berdua akan tampil di film. Yosh, syukurlah.”
Pria itu mengambil kesimpulan seenaknya, mungkin untuk mencegah kita untuk merubah pikiran.
Aku merasa kalah.
Tapi karena aku tidak menyukainya, ijinkan aku melawan sedikit lagi,
“Bisakah Anda melepaskan tanganku sekarang?”

Adegan syuting berada di bangku yang ada di taman.
Aku tidak begitu yakin dengan adegan sebelum dan sesudahnya, tapi sepertinya kami akan merekam adegan dari pasangan yang sedang bertengkar.
Orang yang memanggil kami ternyata adalah sutradara film ini. "Yo direktur." Ada seseorang memanggilnya, dan Ia membalas, memberikan tampilan yang sama sekali berbeda dari apa yang baru saja kita lihat. Aura di sekitarnya segera berubah.
Orang yang memanggilnya adalah Onee-san yang agak gemuk. Dia mendekati kami, melihat-lihat bolak-balik antara Yuki dan aku, dan akhirnya menatap pada sosok Yuki.
"Apa-apaan dengan gadis ini? Bukannya dia ini terlalu imut?"
"Ya. Aku ingin dia bermain di film kita."
"Bagus bagus. Untuk film selanjutnya?”
“Bukan, tapi untuk film sekarang.”
"Heh?"
Tiba-tiba, suasana membeku. "Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak", Onee-san itu terus mengulangi kata-kata. "Tidak tidak tidak tidak tidak tidak tidak."
"Apa yang sebenarnya kamu pikirkan? Ini takkan berhasil, tahu."
"Benarkah? Aku ingin melihat bagaimana penampilannya."
"Oke, aku mengerti perasaanmu. Aku juga ingin melihat penampilannya. Tapi bagaimana dengan film ini? Aku tidak tahu peran apa yang akan dia dapatkan, tapi jika dia berakting juga, seluruh film ini akan jadi sia-sia."
"Jangan khawatir. Aku akan menyelesaikan film ini dengan benar. Tapi yah, aku mungkin menyebabkan kalian beberapa masalah ... usahamu tidak akan sia-sia. Percayalah padaku."
Sutradara memukul dadanya tanpa ragu.
"...Benarkah?"
"Ya itu benar."
Si Onee-san menyerah dan menghela nafas, mungkin karena percakapan kecil ini memungkinkan mereka untuk berkomunikasi beberapa hal.
“Haa. Aku mengerti. Kurasa tak ada yang harus kukatakan lagi. Pokoknya, aku akan menyerahkanmu untuk merekam Kazuha-chan. Dia punya insting tajam, dan dia akan tahu kapan kita tidak menganggap ini serius. cukup. Jika itu terjadi, dia akan membuat keributan, dan takkan ada adegan lain untuk syuting. Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi.”
“Aku mengerti. Aku akan melakukannya. Maaf, tapi aku akan mengandalkanmu untuk membimbing mereka berdua.”
Setelah mengatakan itu, si Sutradara bergegas pergi.
Kami menyaksikan sosoknya, bersama dengan Onee-san yang namanya tidak kami kenal.
Suasana tegang menghilang dalam sekejap. Ada Onee-san yang tersenyum senang seperti sutradara itu, dan kami berdua, yang tidak tahu arti dari percakapan itu.
“Erm, barusan, apa yang kalian berdua bicarakan?”
“Ahh, jangan khawatirkan itu. Kamu akan mengerti. Tapi, aku akan mengatakan ini dulu. Orang itu benar-benar egois dan keras kepala, jadi katakan saja apa kamu ingin katakan padanya.”
Yuki dan aku bertukar pandang, memiringkan kepala kita karena tidak memahami perkataan Onee-san.

Pada akhirnya, kami terjebak selama hampir empat jam.
Walau cuma satu adegan, tapi ada beberapa pengulangan.
Tampaknya ini akan diedit menjadi sebuah adegan nanti.
Peran yang kami dapatkan adalah orang lewat A dan B. Jika Yuki berjalan di depan, dia akan menarik banyak perhatian, jadi si Sutradara memintaku menjadi perisai untuk menghalanginya.
Meski begitu, reaksi si sutradara setelah melihat adegan pendek yang baru saja selesai, "Hmm."
“Kurasa dia terlalu banyak menarik perhatian. Mataku selalu tertuju ke arahnya.”
Gumamnya, memastikan para aktor tidak mendengarnya, tapi ketika Yuki dan aku berada di dekatnya, kami mendengarnya dengan jelas. Setelah itu, kami menyadari si sutradara hanya ingin kami berdua saja yang mendengarnya, dan itulah sebabnya Ia mengecilkan suaranya.
“Mau lihat?”
Dia melambaikan tangan kepada kami. Kami mendekat ke arahnya,dan melihat layar laptop. Layar menunjukkan 10 menit rekaman.
Di tengah rekaman itu ada anak kuliahan yang sedang berpacaran.
Lalu ada kedua pejalan kaki lewat, tidak ada sesuatu yang khusus, dan mereka hanya berbicara. Tanpa kami sadari, adegan di layar laptop sudah berubah. Eh, apa yang terjadi? Aku tidak ingat apa yang dibicarakan si protagonis. Hanya wajah Yuki yang tersisa dalam ingatanku. Dalam ingatan itu, Yuki dan aku tersenyum, mengobrol. Hal kecil ini saja sudah seperti keajaiban.
Jika ini adalah film yang lengkap, tentunya aku tidak ingin menghabiskan waktu untuk menonton adegan lain. Bahkan jika aku melihat seluruh film, pada akhirnya, yang tersisa di pikiranku mungkin hanyalah senyum Yuki.
Seperti yang dikatakan Onee-san tadi, ceritanya akan sia-sia.
“Hei, nak. Apa kau tidak merasa kasihan? Jarang sekali melihat manusia yang begitu cantik seperti dia. Kamu ingin melihat lebih banyak cerita yang melibatkan gadis itu, ‘kan?”
Aku akhirnya mengerti arti percakapan antara sutradara dan Onee-san.
Sutradara tahu film ini akan sia-sia, tapi ia menghabiskan waktu dan upaya hanya untuk mendapatkan aktris Yuki.
Tapi Yuki menggelengkan kepalanya.
“Erm, tidak apa-apa. Jangan khawatir, ini bisa digunakan.”
“Tidak, tidak, tidak, kau sama sekali tidak mengerti. Kami tidak bisa menggunakan film ini. Semua orang yang menonton hanya melihat ke arahmu.”
Sutradara tampak terkejut dengan tanggapan Yuki, dan Ia terlihat panik. Tanpa aku sadari, dia sudah bisa berbicara dengan Yuki secara langsung. Dia mungkin merasa sangat cemas, atau mungkin itu sifatnya sebagai sutradara.
“Bagaimana kalau kita bertaruh?”
Usul Yuki, wajahnya menunjukkan semacam niat.
“Jika adegan ini menyebabkan filmnya dihapus, aku akan mendengarkan apa pun yang akan Anda katakan, sutradara.”
“Jadi itu artinya kamu akan setuju jika aku bilang kalau aku ingin kau muncul di film?”
“Benar. Tapi itu mustahil jika keajaiban tidak terjadi. Keajaiban tidak bisa terjadi berulang kali.”
“Apa maksudmu?”
“... Dengan kata lain, jika keajaiban terjadi sekali, itu cuma keberuntungan, dan itu takkan bisa terjadi untuk kedua kalinya. Tidak, untuk setiap keajaiban, harga yang setara harus dibayar, jadi tidak semuanya tergantung pada keberuntungan.”
Aku tidak mengerti apa yang dikatakan Yuki.
Sutradara juga mungkin merasakan hal yang sama. Setelah berpikir sesaat, "Begitu ya." ucapnya. Ia mungkin sudah puas karena sudah membuat Yuki muncul di film.
Tanpa kami sadari, langit sudah menggelap, dan malam pun tiba.
Sutradara dan yang lainnya buru-buru mulai berkemas.
Aku hanya menatap kosong pada mereka; si Sutradara memperhatikanku, dan mendekatiku.
“Kerja bagus.”
“Ini hari yang panjang.”
“Kamu benar-benar membantuku. Yah, walau kau cuma muncul sekitar 10 detik saja. Tapi rasanya menyenangkan, bukan?”
“Kurasa tidak. Aku tidak terlalu cocok untuk jadi pusat perhatian.”
Kami berbicara di tempat yang agak jauh,  sambil memandang Yuki.
Orang bilang kalau ada tiga wanita berkumpul, maka ributnya hampir mirip seperti pasar, jadi jika ada lima wanita yang berkumpul, maka  ributnya sudah tak terbayangkan lagi. Pada dasarnya, wanita adalah makhluk yang suka mengobrol. Aku tumbuh di lingkungan yang harus mendengarkan percakapan ibu dan adik perempuanku, jadi aku tidak punya pilihan selain menunggu pembicaraan mereka berakhir.
"Jujur saja, apa adegan hari ini bisa digunakan?”
"Yah, kalau boleh jujur, rasanya mustahil. Karena aku sudah bertaruh dengan gadis itu, aku akan mencoba mengeditnya. Jika ulasan kritis internal kita buruk, kita cuma perlu membuangnya. Lalu Aku harus membungkuk kepada orang-orang itu dan meminta mereka mengulanginya. "
"Begitu ya."
Cuma itu saja yang bisa aku katakan. Semua yang tersisa tergantung pada keputusan sutradara, karena ini adalah pertaruhan antara dirinya dan Yuki.
“Oh ya, ini ada tiket untukmu. Nanti ada pemutaran film untuk publik selama festival budaya musim gugur mendatang, jadi datanglah untuk menonton. Aku akan menyajikan film terbaik untuk penonton. "
“Tahun depan? Bukan tahun ini? "
" Proses produksinya mungkin takkan selesai tahun ini. Setelah ini selesai tahun depan, aku akan wisuda. ”
Aku menerima tiket dari tangan Sutradara.
Tiketnya terlihat kusut, mungkin karena dia memasukkannya ke dalam kantongku. Aku mencoba merapihkannya dengan tanganku, tapi ternyata sia-sia. Kata-kata merah 'Universitas Yasaka' sedikit usang.
“Eh? Kenapa ada dua?”
“Ajak gadis itu sekalian. Aku payah dalam hal-hal seperti itu, tapi aku bisa memahami sedikit melalui kamera. Lakukan yang terbaik. Biasanya, si cowok yang mengajak cewek untuk menonton.”
Sutradara mengatakan sesuatu yang tidak jelas, dan menepak punggungku dengan keras sambil tersenyum.
Punggungku terasa sakit.
Kami berpamitan kepada sutradara dan kru yang lainnya, dan tiba di pohon sakura yang besar.
Sayangnya, musim semi sudah terlewat, dan pohon itu tampak sedikit sedih. Bunga-bunga putih jatuh berserakan di bawah, cabang-cabang pohon mulai rimbun. Musim berikutnya akan datang.
“Apa yang kamu bicarakan dengan sutradara?”
“Cuma obrolan biasa. Bagaimana denganmu, Yuki? Apa yang kau bicarakan dengan Onee-san tadi?"
“Rahasia.”
“Rahasia, ya?”
"Rahasia itu sangat penting bagi seorang gadis, tahu?"
Ucapnya sambil tersipu, dan berlari ke arah pohon sakura. Angin sepoi-sepoi berdesir, dan kelopak-kelopak bunga yang berserakan menari terbawa angin. Rok itu berkibar. Rambutnya yang halus bergoyang.
Tiba-tiba, aku merasakan panas yang menyakitkan pada detak jantungku. Tangan sutradara yang besar mendorongku dari belakang.
Aku mengambil keputusan.
"Yuki!"
Aku berteriak, dari jarak yang tidak jauh darinya.
"Ya, ada--apa?"
"Aku punya sesuatu untukmu."
Aku mengeluarkan benda yang ada di dalam kantongku. Tidak ada jalan kembali. Aku mendekati Yuki. Ini Cuma beberapa meter, tapi nafasku terengah-engah. Jantungku berdetak lebih cepat dibandingkan dengan lari 100m.
"Jika kau tidak keberatan, apa kau mau menerima ini?"
Aku menyerahkan kotak yang dibungkus padanya. Kantongku akhirnya sedikit lebih ringan. Ini adalah pertama kalinya aku memberikan hadiah kepada seorang gadis selain keluargaku, dan aku benar-benar gugup.
Aku menelan ludah, dan berkata,
"Coba buka saja."
Mendengar itu, Yuki membuka kotak tersebut, dan mengambil botol kecil berwarna merah muda yang ada di dalamya.
“Parfum sakura?”
“Yap. Kau bilang kalau kau benci musim semi karena semua orang melupakan salju. Kalau ada aroma sakura sepanjang waktu, mungkin kau juga bisa memikirkan salju.”
Yuki bilang kalau dia membenci Musim Semi.
Jadi aku terus kepikiran.
Aku terus berpikir bagaimana membuatnya mengingat salju walaupun salju sudah mencair, saat musim dingin berakhir dan musim semi tiba. Ini adalah jawaban yang aku dapat setelah lama berpikir.
“Begitu ya. Jadi ini aroma musim semi.”
“Ya, itu sebabnya.”
Aku harap Kau tidak bilang lagi kalau Kau membenci musim semi.
Aku tak mengucapkan kata-kata tersebut. Bahkan jika aku tidak mengatakannya, niatku mungkin sudah mencapainya.
Setelah beberapa pertimbangan, Yuki tahu bahwa aku takkan berbicara lagi, dan dia berkata,
“Tapi, apa ini seperti yang kamu katakan?”
“Yeah, mungkin”
"Ah - kamu tidak percaya diri tentang itu."
"Tentu saja, aku akan ingat. Atau lebih tepatnya, aku pasti takkan lupa. Tapi aku tidak bisa mengatakan hal yang sama kepada orang lain."
"Itu saja sudah lebih dari cukup."
Yuki bilang. "Jika kamu bisa mengingatnya, maka itu sudah cukup, Yoshi-kun."
Kami memandangi barisan pohon sakura. Kami mencium aroma manis. Setiap kali aku menciumnya, aku akan mengingat tentang Yuki. Ah, bagaimana aku bisa melupakannya?
“Terus, masih  ada sesuatu yang ingin kamu berikan padaku juga, ‘kan?”
Eh? Ada sesuatu yang lain?
Aku mencoba mengingatnya, "Haaaaaaaa." dan Yuki dengan sengaja menghela nafas panjang, memberitahuku jawabannya dengan tidak sabar,
“Kamu tidak memberiku apa yang diberikan sutradara?”
“jadi kau tahu, ya?”
Aku memasukkan tanganku ke kantong yang lain, dan mengeluarkan dua tiket berwarna. Aku ingin mengajaknya di lain hari, tapi yah, biarlah. Aku menyerahkan tiket film yang agak kusut ke Yuki.
“Ini tiket film. Jika kau punya waktu, apa kau tak keberatan menontonnya bersamaku?”
“Ya.”
Yuki mengangguk. "Tapi." dia menambahkan.
“Aku ingin kamu mengajakku lagi.”
“Apa?”
“Aku ingin melihat apakah kamu masih bisa mengingatku. Tahun depan, aku akan datang dengan aroma parfum sakura ini, jadi ajak aku ke film lagi. Untuk sekarang, biar kamu yang menyimpan dua tiket ini.”
“Baiklah.”
“Pastikan kau melakukannya.”
“Ya, itu janji.”
Mendengar jawabanku, Yuki terlihat sangat gembira, tapi pada saat yang sama, dia menggumamkan sesuatu. Itu adalah suara sedingin es yang sama sekali tidak berhubungan dengan ekspresi yang ditunjukkannya—


“―Dasar pembohong.”



close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama