Pertemuan 12
- Aroma Musim Semi
“Boleh minta tolongnya
sebentar?”
Aku didekati oleh seorang gadis
yang tidak pernah kutemui.
Ini terjadi saat aku berada di
toko buku sebelah stasiun, mencari-cari karya baru dari penulis favoritku.
Suaranya terdengar agak tinggi
dan nyaring, mungkin karena dia sedikit gugup.
“Aku ingin buku itu. Apa kamu
bisa mengambilkannya untukku?”
Jari rampingnya menunjuk ke
deretan tertinggi di rak buku yang dipenuhi buku. Tapi ada sampul dari berbagai
warna yang tersusun berantakan di sana. Aku tidak tahu buku mana yang dia
tunjuk.
“Buku yang mana?”
“itu, yang sampulnya biru.”
“Ah.”
Saat aku melihat buku itu, aku
berseru.
Itu adalah buku yang aku cari-cari.
Seperti yang dia katakan, hanya ada satu buku seperti itu. Itu ditempatkan di
rak buku, dan bukan di sudut publikasi terbaru.
“Ada bangku di sebelah sana.”
Dia sama sekali tidak melihat
reaksiku saat dia menunjuk jarinya ke bangku yang ada di sebelah aku. Mataku
mengikuti jarinya dari rak ke bangku.
Dan kemudian, aku melihat ke
arah gadis itu lagi.
Dia memiliki wajah yang imut,
rambut pendeknya menutupi matanya. Tingginya hampir sama denganku, atau mungkin
sedikit lebih tinggi. Seharusnya dia bisa mengambil buku itu sendiri jika dia
mau.
Dia tidak mau mengambilnya
sendiri, karena baju yang dia pakai.
Dia mengenakan rok mini.
Karena dia berpakaian seperti
itu, mungkin roknya akan tersingkap jika dia menjinjit. Jadi begitu. Sepertinya
cewek punya banyak hal yang harus mereka perhatikan.
Aku melakukan apa yang dia
suruh, memindahkan bangku, dan meraih buku bersampul biru. Badanku tidak cukup
tinggi, jadi aku berjingkat-jingkat, dan nyaris tidak menyentuh sampul buku
baru yang mengilap itu. Ini adalah karya baru dari penulis setelah dua tahun
hiatus, dan itu berada di genggamanku. Tapi ...
Rasanya agak bertentangan, aku
menyerahkan buku yang kuperoleh dengan banyak kesulitan, kepada gadis tersebut.
“Terima kasih.”
Dia mendekap buku itu dengan
erat.
“Ah, tidak apa-apa. Kau suka
karya penulis ini?”
“Yap.”
“Aku juga suka penulis ini.”
Aku berusaha untuk tidak
terdengar terlalu sedih, tapi nampaknya gadis itu menyadari beberapa hal dalam
nada suaraku, karena dia terlihat agak muram.
“Apa kamu mencari buku ini
juga?”
“Aku tidak pernah mengira kalau
bukunya akan berada di tempat itu.”
“Aku juga tidak dapat menemukannya,
jadi aku bertanya kepada petugas. Aku diberitahu "Cuma ini satu-satunya
yang tersisa". "
“ Begitu ya. Jadi bukunya cuma
tinggal satu? Sayang sekali. Kurasa aku akan pergi ke tempat lain untuk
mencari. ”
Aku berbohong sambil tersenyum.
Aku sudah mencari semua toko
lain sebelum datang ke sini.
Di kota kecil tempat aku
tinggal, toko buku takkan menjual buku apa pun kecuali karya yang berharga,
buku yang diadaptasi menjadi film, atau karya terlaris, bahkan jika itu adalah
karya baru. Ini salahku karena terlalu naif untuk berpikir kalau aku bisa
mendapatkannya pada hari penjualan, dan terlalu malas untuk pre-order.
Sepertinya aku harus menyerah.
Aku menjatuhkan bahuku dengan
sedih, dan menuju pintu keluar.
“Tunggu!”
Untuk beberapa alasan, dia
memanggilku.
“Eh?”
“Jika kamu tidak keberatan,
bagaimana kalau aku meminjamkanmu buku ini? Saat aku sudah menyelesaikan buku
ini.”
“Mengapa kau meminjamkanku?”
“Karena aku sendiri suka
membaca. Aku tahu perasaan ingin membaca buku sesegera mungkin.”
Dan sementara aku bingung
bagaimana menjawabnya, dia menundukkan kepalanya dengan canggung karena suatu
alasan. "Erm, maafkan aku jika terlalu lancang." Dari suaranya yang
sangat kecil itu, aku menyadari butuh keberanian besar bagi dirinya untuk memanggilku.
Tiba-tiba dadaku menjadi panas,
dan aku secara alami melihat ke bawah.
“Tidak apa-apa. Terima kasih. Aku
sangat berterima kasih. Namaku Segawa Haruyoshi. Senang berkenalan denganmu. ”
Setelah mendengar kata-kataku,
dia menghela nafas lega, dan tersenyum cerah.
“Iya. Senang berkenalan
denganmu, Segawa-kun. 我 叫 Shiina
Yuki.”
Ini terjadi di musim semi, pada
akhir semester kelas dua SMP.
Begitulah aku bertemu Yuki
Shiina.
❀❀❀
Setelah kami meninggalkan toko
buku, kami pergi ke kafe yang ingin dikunjungi Shiina-san.
Kami berhati-hati membuka pintu
kayu, dan bel di dalam berdentang dua kali. Saat tiba di dalam, alunan musik
jazz yang belum pernah aku dengar memenuhi suasana kafe, dan aroma kopi
memenuhi sudut-sudut toko.
Rasanya seperti tempat untuk
orang dewasa.
Waktu berlalu dengan lambat dan
elegan di sini.
“Selamat datang. Ara, ara,
ternyata ada dua tamu imut yang sedang berkunjung. ”
Ada seorang Onee-san yang
menyambut kami di toko. Nampaknya cuma kami satu-satunya pelanggan yang ada.
"Pilih tempat duduk yang kamu suka." Ucap Onee-san itu sembari berseri-seri.
Aku melihat-lihat interior
toko, dan tanpa ragu, Shiina-san duduk di kursi dengan pencahayaan yang paling
terang. Aku bergegas, dan duduk di hadapannya.
Sinar matahari bulan Maret yang
bersinar dari luar jendela benar-benar hangat.
Aku ingin menguap, tapi aku
menggertakkan gigiku, untuk menahannya. Shiina-san yang melihatku terkikik.
“Kamu seperti kucing saja.”
“Kita harus memesan sesuatu.
Apa yang kamu inginkan, Segawa-kun? ”
Aku melihat menu yang diletakkan
di atas meja, dan kaget.
Tidak ada banyak daftar pada
menu, tapi masing-masing item sangatlah mahal. Satu kaleng coke seharga 450
yen, dan teh hitam seharga 1000 yen. Siapa yang akan memesan barang seperti
itu? Mungkin bos perusahaan. Aku tidak tahu. [TN: Asumsi 1 yen = 130 rupiah]
Shiina-san sepertinya sangat
akrab dengan tempat ini ketika dia memesan secangkir kopi hitam, jadi aku
memesan yang sama. Walau aku tidak pernah minum kopi.
“Ini untukmu. Ini adalah buku yang
baru saja aku bicarakan.”
Setelah kami memesan,
Shiina-san mengeluarkan dua buku dari tasnya. Aku menerima salah satu dari dua
buku tersebut.
Ini buku yang dia punya, bukan
buku yang baru dia beli.
Kami berbicara tentang buku
saat dalam perjalanan dari toko buku ke kafe. Selama waktu itu, Shiina-san
merekomendasikanku sebuah buku.
Dia kebetulan membawa buku itu,
dan meminjamkannya padaku. Sementara dia membaca karya baru, aku bisa
menghabiskan waktu untuk membaca ini.
“Aku pikir kamu akan
menyukainya.”
“Semoga saja.”
Sebelum mulai membaca, aku
membolik-balik beberapa halaman. Kopi yang kami pesan disajikan di atas meja.
Aroma unik nan kaya melayang
santai bersama dengan uap.
“Selamat menikmati.”
Onee-san itu membungkuk ke arah
kami, dan kembali ke konter. Kepang panjang di belakang kepalanya
bergoyang-goyang dengan riang.
Aku memandangnya, meski secara tidak
sadar. Untuk beberapa alasan, Shiina-san cemberut, seolah-olah mengomeliku.
“Apa kamu melihat Onee-san yang
tadi?”
“Eh?”
“Jadi dia itu tipemu?”
“Tidak. Tapi, yah, aku pikir
dia sangat cantik. Rambut panjangnya terlihat bagus, dan dia sangat feminin. ”
“Hmm, jadi kamu suka gadis berambut
panjang ya.”
Shiina-san menyentuh rambutnya,
dan mendesah. Dengan cara yang akrab, dia mengangkat cangkir dengan tangannya,
dan membawanya ke bibirnya. Dia tidak menambahkan susu atau gula, dan terlihat
sangat elegan. Bahkan caranya meminum kopi terasa seperti karya lukisan.
Tapi aku harus menambahkan
sesuatu di sini. Sampai saat ini, dia secantik lukisan.
Shiina-san perlahan membawa
kopi ke bibirnya, dan saat dia meneguknya, dia mengerang. Ada apa dengannya?
“Rasanya pahit. Apa-apaan ini?
rasanya pahit banget. "
“ Eh? Kau biasanya tidak minum
ini?”
“Sebenarnya, baru pertama
kalinya aku minum ini.”
“Tantangan pertamamu adalah
kopi hitam, ya?”
“Tapi sepertinya semua wanita yang
membaca di kafe ini meminum kopi hitam.”
Shiina-san mengerang, tampak
seolah-olah diracuni, dan mengulurkan tangan ke botol kecil di ujung meja. Dia
mengambil dua kubus gula ke dalam cairan hitam, mengaduknya dengan sendok, dan
menyesapnya. Lagi-lagi dia meringis, dan menambahkan gula batu lagi.
Setelah itu, dia dengan
hati-hati meneguk lagi, “Yap.” Dan mengangguk gembira.
“Sekarang bisa diminum.”
Sejujurnya, aku sedikit gugup
menghadapi Shiina-san yang terlihat seperti orang dewasa, tapi setelah melihat
ini, aku menghela nafas lega. "Ini benar-benar pahit." Ujar
Shiina-san seraya terus menambahkan gula ke dalam kopi, dan jelas sekali kalau
dia adalah gadis seusiaku. Tak ada alasan bagiku untuk merasa gugup.
“Bagaimana denganmu,
Segawa-kun? Apa kamu sering minum kopi? ”
“ Sebenarnya, aku juga baru
pertama kalinya minum ini. ”
Aku mengatakan yang sebenarnya.
"Ahahaha." Shiina-san tertawa.
“Kalau begitu kamu sama saja
seperti aku. Apa kamu mau nambah gula? Atau Kamu akan menantang kopi hitam ini?”
“Yah, karena ini kesempatan yang
langka, jadi aku ingin menantangnya.”
Sama seperti Shiina-san sebelumnya,
aku menyesap kopi tanpa menambahkan apapun. Pada saat itu, perasaan pedas dan
pahit menyengat lidahku. Aku hanya bisa mengerutkan kening. Lidahku terasa
kelut. Aku melukai lidahku karena air panas. Aku buru-buru meneguk air, dan
meletakkan es di ujung lidahku.
“Bagaimana? Rasanya pahit
banget, kan?”
“Lidahku serasa terbakar.”
“Tak disangka kamu ini ceroboh
juga ya, Segawa-kun.”
Ucap Shiina-san sembari menyesap
kopi, mukanya mengernyit lagi. Setelah ragu-ragu, dia juga mendinginkan
lidahnya. Aku tahu apa yang terjadi padanya. Pasti lidahnya merasakan hal yang
sama denganku saat ini.
“Kau juga sama cerobohnya.”
Aku berkomentar dengan gembira.
Shiina-san terlihat sedikit canggung saat dia memasukan es ke mulutnya.
❀❀❀
Suara membalik kertas bergema
di dalam toko. Begitu kami mulai membaca, pelayan Onee-san mematikan musik, dan
pergi ke alam mimpi. Dia terlihat sangat nyaman. Mungkin dia mengalami mimpi
yang indah, karena dia tersenyum.
“Hei,"”
Aku dipanggil, dan mengangkat
kepalaku. Aku melihat Shiina-san menutup buku dan menghadap ke arahku. Aku
menyelipkan penanda buku, dan menutupnya. Cangkir kopi di atas meja sudah kosong,
dan gelas-gelas air di sebelah kami pun sudah setengah kosong.
“Ada apa?”
“Bagaimana menulis kanji 'Haru Yoshi'?”
“Kenapa kamu mendadak
menanyakan itu?”
“Bukan apa-apa, sih, aku cuma
sedikit penasaran. Lagipula itu nama yang langka.”
“Apa ini tentang novel?
Pertanyaan jebakan yang berkaitan dengan nama, atau sesuatu seperti itu? ”
Tubuh Shiina-san bergetar. "Bu-Bukan
seperti itu, kok." Dia bersikeras membantah. Kebohongannya terlihat jelas,
saking jelasnya sampai dia meninggikan nada suaranya di akhir.
Setelah memikirkannya beberapa saat,
aku mengarahkan jariku pada tetesan di atas kaca, dan menggunakan tetesan itu untuk
menulis di atas meja. Tetesan membentuk garis-garis pada permukaan, garis-garis
yang menyatu membentuk kata-kata. Segera setelah itu, kata-kata 'Haruyoshi, 春 由'
terbentuk.
“Begini kanjinya.”
“Ehh. Ah, kebetulan sekali. ”
Shiina-san menggambar kata 'ki,
希' di belakang 'Yoshi, 由'.
[TN: Haru [春] memiliki arti musim semi, dan Yoshi [由] memiliki arti alasan. Kanji yang
Haruyoshi menggunakan pengucapan Kunyomi. Kanji [由] mempunyai pengucapan Kunyomi
[Yoshi] dan Onyomi [Yu, Yuu], Kanji [希] mempunyai arti Harapan, doa, atau permohonan.]
“Yuki 由 希”,
Gumamku.
“Kita berdua berbagi kata.”
“Bagus sekali.” Ujar Shiina-san.
Kami terus membaca, mengobrol
dari waktu ke waktu, dan memesan kue. Tanpa kami sadari, hampir lima jam
berlalu. Tidak ada pelanggan lain yang mengunjungi toko ini.
Suhu malam menurun drastis, dan
lampu warna-warni membentuk cahaya buram di kota.
Aku bisa melihat
bintang-bintang di langit.
Shiina-san memberitahuku
nama-nama dari beberapa bintang, jadi aku bertanya padanya posisi mana bintang
yang dia sebutkan, tapi sepertinya dia hanya tahu namanya saja.
Saat aku mengantar Shiina-san
kembali ke stasiun, dia memberiku buku biru, seperti yang dijanjikan.
"Terima kasih." Aku membungkuk penuh terima kasih. Beratnya hard cover membuatku gembira.
“Ngomong-ngomong, apa kamu besok
sibuk, Segawa-kun? Sekarang masih liburan musim semi, bukan?”
“Aku ada latihan lari saat
pagi, tapi kalau sore, aku punya waktu luang.”
Jika ada yang harus dilakukan, kurasa
aku hanya ingin menghabiskan waktu sore untuk membaca buku ini.
“Kalau begitu, apa kita bisa
bertemu lagi di sore hari? Aku ingin berbicara tentang buku ini, dan kesanmu? ”
Aku ingat bahwa, meski kami menghabiskan
sepanjang hari hanya dengan membaca dan mengobrol, kami berdua merasa senang.
Shiina-san mulai panik, mungkin karena dia melihat kalau aku diam saja, tak
membalas ajakannya.
“Ah, tapi kamu tidak perlu menyelesaikannya
besok, Segawa-kun. Kamu bisa membicarakan buku yang kamu baca juga. Ya, aku
benar-benar menikmati hari ini. ”
Ah. Kenapa? Melihat Shiina-san
memiliki perasaan yang sama denganku, aku merasa benar-benar bahagia.
“Baiklah. Sampai jumpa besok.”
“Ya.”
Saat kita akan berpamitan," Ah." Shiina-san berseru
saat dia menunjuk ke atas langit. Kabut putih yang terjadi saat kami
berbincang-bincang sudah menghilang. Musim semi telah tiba, musim dari semua
permulaan. Saat ini, Musim dingin sedang terkubur lenyap menunggu waktu
gilirannya.
“Aku tahu bintang itu.”
Dia memberitahuku nama bintang
oranye terang itu.
“Namanya Arcturus. Orang Hawaii
menyebutnya Hōkūleʻa, sebuah bintang kebahagiaan. ”
vvvv
Begitu aktivitas klub berakhir,
aku berjalan menyusuri koridor. Pada saat ini, objek putih bulat berkelebat
dengan cepat. Waktu berlalu perlahan selama liburan musim semi, terutama di
blok samping dengan ruang klub. Dengan demikian, kecepatan itu benar-benar
menarik perhatianku. Jadi, tadi itu apa?
Aku berjalan sembari memikirkan
wujud sebenarnya dari objek yang menarik perhatianku, tiba-tiba kepalaku
ditepak dari belakang.
“Aduh. Siapa sih yang jail?”
“Hei, Haru.”
Namaku kemudian dipanggil. Suaranya
terdengar akrab.
“Akane, bisa ngga sih jangan
seenaknya nepak kepala orang?”
Aku memanggil nama pelakunya
saat berbalik, dan melihat temanku Akane Rindou mengembungkan pipinya dengan
marah. Dia memegang plastik putih di tangan kanannya. Jadi ini wujud putih tadi.
Sepertinya ada banyak jus di dalamnya.
Mungkin beberapa hadiah untuk
juniornya.
Sejak musim panas lalu, dia
diangkat menjadi kapten tim renang.
“Tidak, ini memang salahmu,
Haru.”
“Memangnya aku melakukan
sesuatu yang salah?”
“Ini salahmu karena tidak
melakukan apa-apa. Kamu setidaknya harus menyapa teman sekelas yang lewat.
Ampun deh, kamu selalu seperti ini, Haru, bertindak seperti tidak ada yang
terjadi. Itu tidak baik, loh. ”
Perkataannya sungguh tidak
masuk akal, tapi karena Akane berkata begitu, aku yang pasif ini memilih untuk
menundukkan kepalaku meminta maaf. Baiklah, ayo selesaikan ini dengan cepat.
“Maaf. Karena tak menyadari
kalau kau di sana, Akane. Aku sedang melamun.”
“Jadi maksudmu aku tidak punya
hawa keberadaan? Kembalikan hati gadisku yang berharap kalau kamu akan
berbicara denganku.”
“Aku terkejut.”
“Terkejut karena apa?”
“Terkejut karena kau memiliki
hal seperti itu, Akane.”
Braag.
Ah, entah kenapa, aku mendengar
suara yang seharusnya tidak kudengar.
“Kamu pikir aku ini apa?”
Mata tsurime Akane benar-benar menatap tajam. Dia mengangkat senjata
tumpul di kedua tangannya. Akane cukup kurus, tapi karena latihan renangnya,
tubuhnya cukup berotot. Ya. Aku tahu bahwa kekuatan lengan, dia jauh lebih kuat
dariku. Pada titik ini, akan sangat berbahaya. Aku terus menghindarinya berulang
kali, demi keselamatanku sendiri.
“Oooi, ini berbahaya. Tolong berhenti.”
“Diam!”
“Aku mengerti. Aku benar-benar
minta maaf.”
“Lalu apanya yang kamu
mengerti?”
“Eh, Hmm…yah…..”
“Jadi, kamu sama sekali tidak
mengerti!”
“Bukan begitu, erm. Ya. Aku
mengerti kalau Kau adalah gadis yang sangat menawan. ”
Saat aku meneriakkan itu, senjata
tumpul menyerempet hidungku. Jantungku berdebar kencang, dan terdengar sangat
keras. Tubuhku gemetaran. Untuk sesaat, tubuhku menggigil, dan keringat dingin bercucuran
keluar.
Aku tidak tahu apakah
keputusasaanku mencapai dirinya, namun Akane akhirnya menghentikan serangannya.
“Entah kenapa, rasanya seperti
kamu mengatakan itu bukan dari lubuk hatimu. Itu menyebalkan.”
“Lalu apa yang harus kukatakan?”
“Ter — serah. Aku juga salah
karena terlalu berharap padamu, Haru. Kedua belah pihak sama-sama salah.”
Tidak, Cuma aku satu-satunya
yang menderita. Kali ini, aku berhasil menelan kata-kata ini ke tenggorokanku. Jika
tidak, aku hanya menambahkan minyak ke dalam kobaran api. Aku takkan membuat
kesalahan yang sama lagi.
“Jadi, apa yang sedang kamu
lakukan?”
“Apa? Latihannya sudah selesai,
jadi aku mau kembali ke ruang klub. Kau sendiri?”
“Yah, aku membersihkan ruang
klub dengan yang lainnya sebelum ada anggota baru yang masuk. Kamu boleh bantu
kalau mau. Aku bisa mentraktirmu dengan jus.”
“Maaf. Aku sudah ada janji. ”
Usai mendengar itu, alis Akane
yang bentuknya bagus sedikit mengerutkan.
“Ada janji lagi? Belakangan
ini, rasanya kamu menjadi antisosial, Haru. Apa ini sama seperti terakhir kali
saat kamu bilang ada janji tapi ternyata kamu pergi sendirian?”
“Tidak, tidak, tidak. Aku
benar-benar punya janji dengan seseorang hari ini. ”
“Hmm. Kurasa apa boleh buat. Sayang
sekali. Tapi yah, boleh minta waktunya sedikit?.”
“Sudah kubilang kalau aku punya
janji.”
“Aku tidak memintamu untuk
membersihkan ruang klub bersamaku. Aku sedang istirahat. Aku takkan menyita
banyak waktumu. Lagian, Aku harus mengantarkan jus ini. Karena kamu berjalan
sambil melamun, itu artinya kamu punya banyak waktu, ‘kan? ”
Akane benar. Masih ada 40 menit
sampai janji ketemuan.
“Yah, itu, aku tidak keberatan.”
“Kalau begitu, sudah diputuskan
...”
Akane menjentikkan jarinya, dan
meletakkan tumpukan jus di tiang. Dia kemudian mulai membuka jendela koridor
satu per satu.
Setiap kali dia membuka jendela
kaca transparan, rambut pendek Akane akan berkibar karena angin. Wajahnya
mengepul dengan udara panas, mungkin karena berjalan jauh. Wajahnya terlihat
merah muda.
“Ahh — anginnya benar-benar
terasa sejuk.”
“Yeah.”
Aku menjulurkan kepalaku dari
jendela yang sama dengannya, dan entah kenapa, dia menunjukkan wajah yang aneh.
"Hiee," pekiknya. Dia agak menjauh dariku, dan aku benar-benar merasa
sakit hati.
Demi menyembuhkan hatiku yang
hancur, aku melihat ke arah bukit. Cuaca hari ini sangat cerah, dan
tempat-tempat yang jauh semuanya bisa terlihat dengan jelas. Warna merah muda
yang tersisa mungkin sisa bunga sakura, atau mungkin bunga prem.
“Senior di klub sudah lulus,
kan?”
Ujar Akane sembari mengarahkan
jarinya ke jendela di dekatnya.
Suaranya tidak selantang sebelumnya.
“Ya.”
“Apa kamu tidak takut saat ada
banyak hal terjadi secara tiba-tiba? Seperti, tahun depan, dan sebagainya. Apa
aku benar-benar bisa menangani semuanya? ”
Ah, jadi ini sebabnya Akane
memanggilku.
Namun sayangnya, Akane
memanggil orang yang salah.
Memang benar baik Akane dan aku
akan menjadi senior, dan kami akan menjadi ketua klub.
Namun Akane juga membawa
harapan seluruh sekolah. Pada tahun sebelumnya, dia nyaris masuk ke tingkat
nasional. Beban yang ditanggungnya adalah sesuatu yang tidak bisa aku tandingi.
Aku berbalik, dan menyandarkan
tubuhku di pagar. Aku menyantaikan tubuhku, melihat ke atas, dan melihat
matahari setengah tersembunyi di balik atap.Hal
Itu menyebabkanku menyipitkan mata.
Silaunya.
pikirku.
Bukan sinar matahari yang
membuatku silau, melainkan si Akane.
Bagiku, reaksi alami setelah
mengalami kekalahan adalah rasa penyesalan.
Mereka yang tidak memiliki
pemikiran seperti itu takkan pernah menjadikannya sebagai pesaing. Akane takut
akan hal itu karena ada sesuatu yang setimbang dengan upaya yang dia lakukan.
Dan aku tidak memilikinya.
Pikiranku dipenuhi dengan pola
pikir pasif nan klise 'tidak apa-apa',
'kamu bisa melakukannya'. Baginya, kata-kataku yang tidak berguna ini
mungkin akan terasa hampa.
Bahkan jika aku berusaha
berpikir keras tentang itu—
Ah, bagaimanapun juga ini tidak
berguna.
Matahari yang setengah
tersembunyi membakar kulitku. "Ahh." Aku membuka mulut, dan untuk
beberapa alasan, terasa kering, mungkin
karena kata-kata busuk yang mencapai di belakang gigiku telah menguap.
Aku tidak punya hal lain untuk
dikatakan.
“Ngomong-ngomong, tau tidak?
Guru matematika, Matsue-chan akan segera menikah, loh. ”
Pada akhirnya, aku memilih
untuk melarikan diri dengan mengganti topik pembicaraan.
Akane tidak mengatakan apa-apa,
dan memaafkan ketidakjujuran ini yang menjadi ciri khasku.
“Yang bener? Sama siapa? Guru olahraga, Jimi-sensei? Guru
bahasa, Yone-sensei? Ada banyak rumor tentang dirinya. Jadi dia akhirnya
memilih salah satu dari mereka?”
“Eh, Matsue-chan punya banyak
rumor?”
Aku sedikit terkejut. Aku
selalu berpikir kalau beliau adalah guru yang polos dan cantik.
“Kamu terlalu naif, Haru. Jika
kamu tidak hati-hati, kamu akan disesatkan oleh gadis nakal, tahu?”
Akane tertawa.
Aku juga ikut tertawa.
Waktu sepele yang berlalu
dengan tenang.
Suatu hari,
Apakah aku juga bisa menemukan
sesuatu yang bisa membuatku berusaha sekuat tenaga?
Pikirku sembari menatap langit
biru yang cerah.
vvvv
Aku mengucapkan selamat tinggal
pada Akane, dan bertemu dengan Shiina-san seperti yang dijanjikan. Dia datang
ke suatu tempat dekat sekolah untuk menjemputku. Saat aku melihat sosoknya bersandar
di telepon, "Selamat sore." Dia menyapaku.
“Karena kau sudah di sini, apa
kau mau melihat aktivitas klubku?”
“Aku sebenarnya pengen, tapi
kamu tidak berlari sendirian, ‘kan, Segawa-kun?”
“Tentu saja. Lagipula itu
adalah aktivitas klub. Aku berlari dengan yang lain.”
“Hm, kalau begitu, tidak jadi,
deh. Itu bukan tempat yang bisa aku masuki.”
“Kurasa kau tidak akan
ketahuan.”
“Bukan itu masalahnya. Itu
hanya aturan yang aku buat untuk diriku sendiri. ”
Kami mengobrol ringan, dan
pergi ke daerah pantai di dekat sekolah, seperti yang disarankan Shiina-san.
Kupu-kupu dengan sayap putih murni terbang di sekitar bunga Nanohanas keemasan, seolah-olah tengah
menari-nari.
Shiina-san dengan gembira
meraih satu kupu-kupu yang belum berhenti, dan ujung jarinya menyentuh salah
satunya.
Tanpa menatapku, dia bertanya,
“Hei, Segawa-kun, mengapa kamu
membantuku mengambilkan buku itu di toko buku?:
Dia menarik kembali jarinya, dan
kelopaknya bergetar. Getaran itu mencapai kelopak lainnya, dan kupu-kupu
bereaksi ketika mereka terbang ke langit. Sampai akhir, Shiina-san menyaksikan
kupu-kupu terbang bersama angin, berkibar dengan anggun.
“Kau sendiri yang memintaku
untuk mengambilkannya, bukan?”
“Memang benar. Tapi kamu juga
mencari buku itu, Segawa-kun. Kamu menginginkannya juga, jadi kenapa memberikan
buku itu padaku?”
“Yah, kaulah yang pertama kali
menemukannya, Shiina-san. Itu sebabnya kau punya hak untuk membelinya. ”
“Apa kamu tidak merasa enggan?
”
Kurasa, aku mungkin tidak merasa
enggan sama sekali, Cuma sedikit rasa penyesalan.
Aku tidak tahu apakah Shiina-san
menganggap jawabanku untuk ya, "kubilang." Karena tingginya hampir
sama denganku, matanya menatap mataku.
“Sesuatu yang benar-benar kamu inginkan
tidak bisa diperoleh jika kamu tidak menggapainya sendiri.”
“Apa-apaan itu? Kutipan dari
siapa? "
“Ini ajaran dari Sesepuh (pengalamanku). ”
Usai mengatakan itu, Shiina-san
mengulurkan tangannya ke arahku. Tangannya yang mengepal perlahan terbuka
layaknya bunga yang tengah mekar.
“Bisakah kamu memegang
tanganku?”
“Eh?”
“Kumohon ?”
“... Yah, aku bisa.”
Tepat ketika dia menyentuh
Nanohana, aku dengan lembut menyentuh ujung jarinya, dan jari-jariku meraih
miliknya. Akhirnya, telapak tangan kami menyatu satu sama lain.
Pada saat itu, kami mengerahkan
kekuatan, dan tangan kami akhirnya saling menggenggam.
“Ya. Inilah yang aku bicarakan.
Apa kamu mengerti?”
Aku hanya bisa menggelengkan
kepala.
Aku sama tidak mengerti apa
maksudnya.
“Andai saja kamu bisa memahami
hal ini, Segawa-kun.”
Aku tidak mendengar apa yang
dia gumamkan, dan saat aku bertanya, Shiina-san menertawakannya.
“Bukan apa-apa. Lebih penting
lagi, hari ini kita pergi kemana? ”
Setelah itu, kami pergi ke
banyak tempat.
Kami pergi ke pusat permainan,
arena bowling, dan menonton film.
Jarum jam melewati angka enam, dan saat mengantar Shiina-san ke stasiun kereta,
aku bertemu dengan wajah yang akrab.
Ternyata itu teman sekelasku,
Takuma Midou.
Kelihatannya Ia mau nongkrong
dengan teman-temannya dari tim bola basket.
“Yo, ternyata itu elu, Haru? Lu
lagi ngapain di sini?”
Takuma memberi isyarat agar
yang teman-temannya pergi duluan.
“Yah, biasa, cuma jalan-jalan.
Baru selesai kegiatan klub, Takuma? ”
“Ya begitulah. Kami akan pergi
karaoke nanti. mau ikut?”
“Kurasa tidak. Aku tidak terlalu
akrab dengan anak-anak tim basket, dan lagipula aku tidak sendirian.”
“Elu bareng teman-teman klub?”
“Tidak, bukan mereka.”
Begitu aku ditanya pertanyaan
ini, tiba-tiba aku memikirkan sesuatu.
Apa hubunganku dengan
Shiina-san? Sekedar kenalan? Teman? Sementara aku memikirkan itu, dia
menjulurkan kepalanya dari balik bahuku.
“Selamat malam. Apa kamu temannya
Segawa-kun?”
“ Eh?”
Setelah melihat Shiina-san, waktu
terasa terhenti bagi Takuma, dan baru dimulai kembali lima detik kemudian. Yah,
aku sendiri tidak heran kenapa Takuma bertingkah seperti itu. Jika itu aku, aku
akan menunjukkan reaksi yang sama persis.
“Hah? Ehhhhhh, tunggu tunggu
tunggu. Siapa gadis cantik ini? Dia bukan dari sekolah kita, ‘kan? Ngomong-ngomong,
eh, eh, jangan bilang elu ... ”
Ini sungguh pemandangan yang
langka.
Takuma adalah cowok cerdas dan
atletis, dan Ia biasanya jauh lebih dewasa dibandingkan cowok seumuran di
sekolah kami. Dia selalu bisa menangani setiap masalah dengan tenang.
Dan mulut Takuma itu menganga,
melihat bolak-balik antara Shiina-san dan aku.
“Tunggu, Takuma. Kau salah
paham.”
“Apanya yang salah paham, dasar
pengkhianat.”
“Tidak, aku menyuruhmu untuk
jangan ambil kesimpulan dengan cepat. Aku tidak mengkhianatimu atau semacamnya.”
Aku mencoba membujuk Takuma,
tapi Shiina-san menarik ujung bajuku. " sekarang apa lagi?" Pikirku,
dan pada saat itu, dia meletakkan tangannya di telingaku, meniupnya. Itu adalah
perasaan yang menghancurkan saraf, dan aku menutupi telingaku dengan tanganku,
berteriak kaget. Aku merasakan hawa dingin di punggungku, dan pipiku memanas.
Apa yang sedang dia lakukan, sih?
Takuma memelototiku seolah-olah
aku adalah musuh yang membunuh saudaranya.
“Hei, apa maksudnya elu ngga
ngehianatin gue? Apa yang baru saja dia bisikkan padamu? Apa dia berbisik kalau
dia menyukaimu? Bukannya kalian Cuma pamer kemesaraan doang !? ”
“ Tidak, ini bukan seperti yang
kau bayangkan. Shiina-san, bantu aku bilang padanya. ”
“ Ehh, apa perasaanku tidak
tersampaikan padamu, Segawa-kun? ”
Shiina-san dengan sengaja
membalikkan tubuhnya, memberikan kesalahpahaman yang lain. Pukulan fatal yang
membuatku benar-benar tak bisa berkata-kata.
"Sialan !!!" Teriak
Takuma.
Kemudian, dia dengan lembut
menepuk kepalaku, sebelum berlari ke jalan. "Haru, elu pengkhianat !!! Riajuuu bakuhatsu shirooooo !! ”Suara
teriakannnya menggema. Begitu dia menghilang dari pandanganku, aku bertanya pada
Shiina-san, yang tertawa cekikikan terus.
“Kau sengaja melakukannya, ‘kan?”
“Emangnya aku salah apa, ya?”
Dia meletakkan tangannya di
bawah dagunya, berpura-pura tidak tahu.
“Kau adalah penjahat yang mepercayai
kalau apa yang sudah dilakukan merupakan
perbuatan yang tidak salah.”
“Oke, oke. Apa kamu tidak
menyukai itu, Segawa-kun? "
“Eh?”
“Apa kamu tidak suka kalau
orang-orang mengira kamu sedang ada hubungan seperti itu denganku? "
“... Tidak juga.”
“Begitu ya. Lalu, tak masalah,
‘kan? Yang lebih penting lagi, aku sedikit terkejut kalau kamu memanggil teman
sekelas dengan nama langsung, Segawa-kun. Kamu sepertinya tidak memberi kesan
seperti itu ...”
“Aku hanya memanggil yang akrab
denganku saja.”
“Hhmmm. Kalau begitu panggil
aku 'Yuki', Segawa-kun. Aku akan mulai memanggilmu 'Yoshi-kun'.”
“Kau tidak memanggilku Haru? “
“Yah, aku benci ‘Musim semi’ untuk 'Haru', tapi aku suka kata 'Yoshi'. Kami berdua memiliki kanji yang
sama, jadi aku akan memanggilmu Yoshi-kun. " (TN: Kanji Haru mempunyai arti Musim semi)
“Kau benci musim semi? Kenapa? “
“... Ketika Musim Semi tiba,
udara mulai menghangat, dan salju pun mencair, menghilang ditelan bumi. Semua
orang akan melupakan salju (Yuki),
bukan? Walau masih ada salju di sana, tapi semua orang melupakannya. Aku
benar-benar tidak menyukai hal itu. ”
Meski kanjinya berbeda, tapi namanya
terdengar seperti kata 'Salju' dalam
bahasa Jepang.
Shiina-san mungkin mengalami
perasaan dilupakan.
Ini bukanlah sesuatu yang bisa
mudah aku terima atau tolak, karena aku tidak tahu apa-apa tentang dirinya.
Yang aku tahu hanyalah saat
mendengar 'Aku benci Musim Semi (Haru)’,
hatiku terasa sakit layaknya tertusuk
jarum.
Karena aku punya firasat kalau
dia akan mengatakan salju dan musim semi tak pernah bisa bersama.
“Hei, Yoshi-kun. Coba panggil
aku Yuki. ”
Namun meski begitu, jika dia
mengharapkannya, aku akan memanggilnya Yuki.
“Baiklah, Yuki.”
Pada saat itu juga, wajah Yuki
memerah.
“Woah, dipanggil dengan nama
jauh lebih menakjubkan dari yang aku sangka. Ini mungkin pertama kalinya
seorang cowok selain ayahku memanggilku begitu. ”
Aku menyaksikan Yuki berusaha
menutupi wajahnya dengan telapak tangannya, dan tingkahnya terlihat lucu.
Namun, kata-katanya terus terngiang-ngiang di sudut pikiranku, dan terukir jauh
di lubuk hatiku.
——Aku benci musim semi.
vvvv
Pada satu-satunya hari terakhir
di liburan musim semi, aku pergi ke taman Yairo bersama Yuki.
Taman yang dibangun di sekitar
danau berukuran 5 km, dan katanya mempunyai pemandangan yang berbeda jika
dilihat dari delapan titik yang berbeda, demikianlah asal-usul nama Taman
Yairo. (TN:
Yairo, mempunyai arti delapan warna/pemandangan)
Sekarang masih hari biasa, dan
taman jauh lebih tenang dari biasanya. Di malam hari, tempat ini akan dipenuhi
dengan orang dewasa yang ingin melihat bunga, tapi kalau siang hari sangat
jarang.
Tapi Yuki jauh lebih bahagia
dari yang kupikirkan.
“Wow, tak disangka ada tempat
seperti ini juga.”
Kutempatkan tanganku di saku
mantel seraya mengikuti Yuki, yang menyaksikan dengan penuh rasa penasaran. Aku
mencari-cari bentuk benda kecil di sakuku, memeriksa apakah benda itu masih ada
di sana. Ini adalah sesuatu yang bisa diletakkan di telapak tanganku dengan
mudah, tapi entah kenapa rasanya sangat berat, bukan secara fisik. Melainkan,
berat secara emosional yang ditambahkan pada benda ini.
Alasan mengapa aku membawa Yuki
ke sini, karena aku ingin mengunnjungi tempat dimana tidak ada orang yang
mengganggu kami, dan memberikan kepadanya sesuatu yang aku beli kemarin.
Kondisi lain sudah terpenuhi.
Yang aku butuhkan hanyalah
suasana keadaan dan waktu, tapi sulit untuk menemukan waktu yang pas.
Kami berjalan cukup jauh di
taman, dan hadiah itu masih memantul di dalam kantongku.
Sejak aku bertemu Yuki, aku
merasa tak berguna. Kupikir aku bisa menangani urusan dengan sempurna, tapi
akhirnya malah jadi salah tingkah di depan Yuki. Kenapa bisa begitu?
Aku menyaksikan Yuki menunjuk
wajahnya dengan jarinya, dan tingkahnya terlihat lucu. Namun, kata-katanya
terus terngiang-ngiang di sudut pikiranku, dan terukir jauh di lubuk hatiku.
——Aku
benci musim semi.
Pada satu-satunya hari libur di
liburan musim semi, aku pergi ke taman Yairo bersama Yuki.
Taman yang dibangun di sekitar
danau berukuran 5 km, dan katanya mempunyai pemandangan yang berbeda jika
dilihat dari delapan titik yang berbeda, demikianlah asal-usul nama Taman
Yairo.
Sekarang masih hari biasa, dan
taman jauh lebih tenang dari biasanya. Di malam hari, tempat ini akan dipenuhi
dengan orang dewasa yang ingin melihat bunga, tapi kalau siang hari sangat
jarang.
Tapi Yuki jauh lebih bahagia dari
yang kupikirkan.
"Wow, tak disangka ada
tempat seperti ini juga.”
Kutempatkan tanganku di saku
mantel seraya mengikuti Yuki, yang menyaksikan dengan penuh rasa penasaran. Aku
mencari-cari bentuk benda kecil di sakuku, memeriksa apakah benda itu masih ada
di sana. Ini adalah sesuatu yang bisa diletakkan di telapak tanganku dengan
mudah, tapi entah kenapa rasanya sangat berat, bukan secara fisik. Melainkan,
berat secara emosional yang ditambahkan pada benda ini.
Alasan mengapa aku membawa Yuki
ke sini, karena aku ingin tempat yang mana tidak ada orang yang mengganggu
kami, dan memberikan kepadanya sesuatu yang aku beli kemarin.
Kondisi lain sudah terpenuhi.
Yang aku butuhkan hanyalah
suasana keadaan dan waktu, tapi sulit untuk menemukan waktu yang pas.
Kami berjalan cukup jauh di
taman, dan hadiah itu masih memantul di dalam kantongku.
Sejak aku bertemu Yuki, aku
merasa tak berguna. Kupikir aku bisa menangani urusan dengan sempurna, tapi
akhirnya malah jadi salah tingkah di depan Yuki. Kenapa bisa begitu?
Cahaya sang mentari bersinar ke
arah dedaunan, dan menembusnya. Bayangan yang terbentuk membentuk kontras hitam
dan putih di wajahku.
Di bawah sinar matahari yang
lembut tersebut, aku hendak berbicara. Tapi, aku malah didekati oleh seseorang.
Suara tersebut terdengar lebih
dalam, berbeda dari suara Yuki yang nyaring.
“Ah, kalian berdua yang ada di
sana. Tunggu sebentar. ”
“ Eh? ”
Kami menoleh ke arah sumber
suara, dan ada paman besar seperti beruang sedang berlari ke arah kami. Aku
bisa mendengar efek suara gemuruh. Dia terlihat sangat panik, jadi kami langsung
berhenti di tempat —— yang mana itu adalah pilihan yang salah.
Pria itu terengah-engah, dia
hampir kehabisan nafas. Ia menuju ke arah belakangku, dan tiba-tiba meraih
sikuku.
“Ahh —— Syukurlah. Tolong ikut
dengan kami dulu.”
“A-apa yang terjadi?”
“Kami sedang melakukan syuting
film, tapi kami kekurangan pemain untuk adegan terakhir. Itu menyebabkan kami
banyak masalah.”
“Tidak, tidak, tidak, tunggu
dulu. Aku tidak mengerti maksud Anda. ”
“ Tidak mengerti, maksudku? ”
Paman tersebut berbalik ke
arahku dengan bingung. Aku melihat sosoknya dari dekat, dan tak disangka Ia
masih lumayan muda. Dia mungkin berusia dua puluhan, pada fase dimana aku masih
bisa memanggilnya Nii-san.
Mata pria itu tertuju pada Yuki
yang sedang ada di belakangku, dan mata bundar yang tersembunyi di balik rambutnya
mulai bersinar cerah.
Hal tersebut sangat menyiratkan
apa yang Ia pikirkan. Aku ingin segera kabur, tapi lenganku langsung dicengkeram,
dan aku tidak bisa membebaskan diri. Ia melamun sekitar tiga detik, dan
memanggilku lagi.
“Oi, nak.”
“Tidak mau.”
Jika aku sendirian, aku mungkin
kewalahan oleh orang ini. Namun, sekarang keadaannya berbeda, karena ada Yuki
di belakangku.
“Tapi aku belum mengatakan
apapun?”
“Aku tahu apa yang ingin anda
katakan. Kamu ingin Yuki muncul di film.”
“Tolong pertimbangkan.”
“Itu mustahil.”
Dan pada titik ini, Yuki, yang
dari tadi melihat keadaannya, mengangkat tangannya,
“Mengapa kamu memutuskan
seenaknya saja, Yoshi-kun?”
Kami berdua memandang ke arah
Yuki.
“... Kamu ingin berakting?”
“Kedengarannya menyenangkan.
Ini cara yang bagus untuk memperingati hari ini juga.”
Pria itu tidak melewatkan
kesempatan yang ada, dan langsung menimpali dengan keras.
“Ya, ya. Jangan memutuskan apa
yang diinginkan gadis itu, Nak.”
Kalau begitu, kenapa Anda tidak
bertanya pada Yuki langsung? Omong-omong, sepertinya pria ini tidak berniat
untuk bernegosiasi dengan Yuki. Apa yang terjadi.?
“Hei, ayo, Yoshi-kun.”
Seluruh proses ini sedikit
tidak menyenangkan, tapi aku terpaksa menerimanya. Bailah, hanya itu yang bisa aku
katakan.
“Benarkah? Kalau begitu sudah
diputuskan. Kalian berdua akan tampil di film. Yosh, syukurlah.”
Pria itu mengambil kesimpulan
seenaknya, mungkin untuk mencegah kita untuk merubah pikiran.
Aku merasa kalah.
Tapi karena aku tidak
menyukainya, ijinkan aku melawan sedikit lagi,
“Bisakah Anda melepaskan
tanganku sekarang?”
Adegan syuting berada di bangku
yang ada di taman.
Aku tidak begitu yakin dengan
adegan sebelum dan sesudahnya, tapi sepertinya kami akan merekam adegan dari
pasangan yang sedang bertengkar.
Orang yang memanggil kami
ternyata adalah sutradara film ini. "Yo direktur." Ada seseorang
memanggilnya, dan Ia membalas, memberikan tampilan yang sama sekali berbeda
dari apa yang baru saja kita lihat. Aura di sekitarnya segera berubah.
Orang yang memanggilnya adalah
Onee-san yang agak gemuk. Dia mendekati kami, melihat-lihat bolak-balik antara
Yuki dan aku, dan akhirnya menatap pada sosok Yuki.
"Apa-apaan dengan gadis
ini? Bukannya dia ini terlalu imut?"
"Ya. Aku ingin dia bermain
di film kita."
"Bagus bagus. Untuk film
selanjutnya?”
“Bukan, tapi untuk film
sekarang.”
"Heh?"
Tiba-tiba, suasana membeku.
"Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak", Onee-san itu terus
mengulangi kata-kata. "Tidak tidak tidak tidak tidak tidak tidak."
"Apa yang sebenarnya kamu
pikirkan? Ini takkan berhasil, tahu."
"Benarkah? Aku ingin
melihat bagaimana penampilannya."
"Oke, aku mengerti
perasaanmu. Aku juga ingin melihat penampilannya. Tapi bagaimana dengan film
ini? Aku tidak tahu peran apa yang akan dia dapatkan, tapi jika dia berakting
juga, seluruh film ini akan jadi sia-sia."
"Jangan khawatir. Aku akan
menyelesaikan film ini dengan benar. Tapi yah, aku mungkin menyebabkan kalian
beberapa masalah ... usahamu tidak akan sia-sia. Percayalah padaku."
Sutradara memukul dadanya tanpa
ragu.
"...Benarkah?"
"Ya itu benar."
Si Onee-san menyerah dan
menghela nafas, mungkin karena percakapan kecil ini memungkinkan mereka untuk
berkomunikasi beberapa hal.
“Haa. Aku mengerti. Kurasa tak
ada yang harus kukatakan lagi. Pokoknya, aku akan menyerahkanmu untuk merekam
Kazuha-chan. Dia punya insting tajam, dan dia akan tahu kapan kita tidak
menganggap ini serius. cukup. Jika itu terjadi, dia akan membuat keributan, dan
takkan ada adegan lain untuk syuting. Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi.”
“Aku mengerti. Aku akan
melakukannya. Maaf, tapi aku akan mengandalkanmu untuk membimbing mereka
berdua.”
Setelah mengatakan itu, si
Sutradara bergegas pergi.
Kami menyaksikan sosoknya,
bersama dengan Onee-san yang namanya tidak kami kenal.
Suasana tegang menghilang dalam
sekejap. Ada Onee-san yang tersenyum senang seperti sutradara itu, dan kami
berdua, yang tidak tahu arti dari percakapan itu.
“Erm, barusan, apa yang kalian
berdua bicarakan?”
“Ahh, jangan khawatirkan itu.
Kamu akan mengerti. Tapi, aku akan mengatakan ini dulu. Orang itu benar-benar
egois dan keras kepala, jadi katakan saja apa kamu ingin katakan padanya.”
Yuki dan aku bertukar pandang,
memiringkan kepala kita karena tidak memahami perkataan Onee-san.
Pada akhirnya, kami terjebak
selama hampir empat jam.
Walau cuma satu adegan, tapi
ada beberapa pengulangan.
Tampaknya ini akan diedit menjadi
sebuah adegan nanti.
Peran yang kami dapatkan adalah
orang lewat A dan B. Jika Yuki berjalan di depan, dia akan menarik banyak perhatian,
jadi si Sutradara memintaku menjadi perisai untuk menghalanginya.
Meski begitu, reaksi si
sutradara setelah melihat adegan pendek yang baru saja selesai,
"Hmm."
“Kurasa dia terlalu banyak
menarik perhatian. Mataku selalu tertuju ke arahnya.”
Gumamnya, memastikan para aktor
tidak mendengarnya, tapi ketika Yuki dan aku berada di dekatnya, kami
mendengarnya dengan jelas. Setelah itu, kami menyadari si sutradara hanya ingin
kami berdua saja yang mendengarnya, dan itulah sebabnya Ia mengecilkan
suaranya.
“Mau lihat?”
Dia melambaikan tangan kepada
kami. Kami mendekat ke arahnya,dan melihat layar laptop. Layar menunjukkan 10
menit rekaman.
Di tengah rekaman itu ada anak
kuliahan yang sedang berpacaran.
Lalu ada kedua pejalan kaki
lewat, tidak ada sesuatu yang khusus, dan mereka hanya berbicara. Tanpa kami
sadari, adegan di layar laptop sudah berubah. Eh, apa yang terjadi? Aku tidak
ingat apa yang dibicarakan si protagonis. Hanya wajah Yuki yang tersisa dalam
ingatanku. Dalam ingatan itu, Yuki dan aku tersenyum, mengobrol. Hal kecil ini
saja sudah seperti keajaiban.
Jika ini adalah film yang
lengkap, tentunya aku tidak ingin menghabiskan waktu untuk menonton adegan
lain. Bahkan jika aku melihat seluruh film, pada akhirnya, yang tersisa di
pikiranku mungkin hanyalah senyum Yuki.
Seperti yang dikatakan Onee-san
tadi, ceritanya akan sia-sia.
“Hei, nak. Apa kau tidak merasa
kasihan? Jarang sekali melihat manusia yang begitu cantik seperti dia. Kamu
ingin melihat lebih banyak cerita yang melibatkan gadis itu, ‘kan?”
Aku akhirnya mengerti arti
percakapan antara sutradara dan Onee-san.
Sutradara tahu film ini akan
sia-sia, tapi ia menghabiskan waktu dan upaya hanya untuk mendapatkan aktris
Yuki.
Tapi Yuki menggelengkan
kepalanya.
“Erm, tidak apa-apa. Jangan
khawatir, ini bisa digunakan.”
“Tidak, tidak, tidak, kau sama
sekali tidak mengerti. Kami tidak bisa menggunakan film ini. Semua orang yang
menonton hanya melihat ke arahmu.”
Sutradara tampak terkejut
dengan tanggapan Yuki, dan Ia terlihat panik. Tanpa aku sadari, dia sudah bisa berbicara
dengan Yuki secara langsung. Dia mungkin merasa sangat cemas, atau mungkin itu
sifatnya sebagai sutradara.
“Bagaimana kalau kita bertaruh?”
Usul Yuki, wajahnya menunjukkan
semacam niat.
“Jika adegan ini menyebabkan
filmnya dihapus, aku akan mendengarkan apa pun yang akan Anda katakan,
sutradara.”
“Jadi itu artinya kamu akan setuju
jika aku bilang kalau aku ingin kau muncul di film?”
“Benar. Tapi itu mustahil jika
keajaiban tidak terjadi. Keajaiban tidak bisa terjadi berulang kali.”
“Apa maksudmu?”
“... Dengan kata lain, jika
keajaiban terjadi sekali, itu cuma keberuntungan, dan itu takkan bisa terjadi
untuk kedua kalinya. Tidak, untuk setiap keajaiban, harga yang setara harus
dibayar, jadi tidak semuanya tergantung pada keberuntungan.”
Aku tidak mengerti apa yang
dikatakan Yuki.
Sutradara juga mungkin
merasakan hal yang sama. Setelah berpikir sesaat, "Begitu ya."
ucapnya. Ia mungkin sudah puas karena sudah membuat Yuki muncul di film.
Tanpa kami sadari, langit sudah
menggelap, dan malam pun tiba.
Sutradara dan yang lainnya
buru-buru mulai berkemas.
Aku hanya menatap kosong pada
mereka; si Sutradara memperhatikanku, dan mendekatiku.
“Kerja bagus.”
“Ini hari yang panjang.”
“Kamu benar-benar membantuku.
Yah, walau kau cuma muncul sekitar 10 detik saja. Tapi rasanya menyenangkan,
bukan?”
“Kurasa tidak. Aku tidak
terlalu cocok untuk jadi pusat perhatian.”
Kami berbicara di tempat yang
agak jauh, sambil memandang Yuki.
Orang bilang kalau ada tiga
wanita berkumpul, maka ributnya hampir mirip seperti pasar, jadi jika ada lima
wanita yang berkumpul, maka ributnya
sudah tak terbayangkan lagi. Pada dasarnya, wanita adalah makhluk yang suka
mengobrol. Aku tumbuh di lingkungan yang harus mendengarkan percakapan ibu dan
adik perempuanku, jadi aku tidak punya pilihan selain menunggu pembicaraan
mereka berakhir.
"Jujur saja, apa adegan
hari ini bisa digunakan?”
"Yah, kalau boleh jujur,
rasanya mustahil. Karena aku sudah bertaruh dengan gadis itu, aku akan mencoba
mengeditnya. Jika ulasan kritis internal kita buruk, kita cuma perlu
membuangnya. Lalu Aku harus membungkuk kepada orang-orang itu dan meminta
mereka mengulanginya. "
"Begitu ya."
Cuma itu saja yang bisa aku
katakan. Semua yang tersisa tergantung pada keputusan sutradara, karena ini
adalah pertaruhan antara dirinya dan Yuki.
“Oh ya, ini ada tiket untukmu.
Nanti ada pemutaran film untuk publik selama festival budaya musim gugur
mendatang, jadi datanglah untuk menonton. Aku akan menyajikan film terbaik
untuk penonton. "
“Tahun depan? Bukan tahun ini?
"
" Proses produksinya
mungkin takkan selesai tahun ini. Setelah ini selesai tahun depan, aku akan
wisuda. ”
Aku menerima tiket dari tangan
Sutradara.
Tiketnya terlihat kusut,
mungkin karena dia memasukkannya ke dalam kantongku. Aku mencoba merapihkannya
dengan tanganku, tapi ternyata sia-sia. Kata-kata merah 'Universitas Yasaka'
sedikit usang.
“Eh? Kenapa ada dua?”
“Ajak gadis itu sekalian. Aku
payah dalam hal-hal seperti itu, tapi aku bisa memahami sedikit melalui kamera.
Lakukan yang terbaik. Biasanya, si cowok yang mengajak cewek untuk menonton.”
Sutradara mengatakan sesuatu
yang tidak jelas, dan menepak punggungku dengan keras sambil tersenyum.
Punggungku terasa sakit.
Kami berpamitan kepada
sutradara dan kru yang lainnya, dan tiba di pohon sakura yang besar.
Sayangnya, musim semi sudah
terlewat, dan pohon itu tampak sedikit sedih. Bunga-bunga putih jatuh
berserakan di bawah, cabang-cabang pohon mulai rimbun. Musim berikutnya akan
datang.
“Apa yang kamu bicarakan dengan
sutradara?”
“Cuma obrolan biasa. Bagaimana
denganmu, Yuki? Apa yang kau bicarakan dengan Onee-san tadi?"
“Rahasia.”
“Rahasia, ya?”
"Rahasia itu sangat
penting bagi seorang gadis, tahu?"
Ucapnya sambil tersipu, dan
berlari ke arah pohon sakura. Angin sepoi-sepoi berdesir, dan kelopak-kelopak
bunga yang berserakan menari terbawa angin. Rok itu berkibar. Rambutnya yang
halus bergoyang.
Tiba-tiba, aku merasakan panas
yang menyakitkan pada detak jantungku. Tangan sutradara yang besar mendorongku
dari belakang.
Aku mengambil keputusan.
"Yuki!"
Aku berteriak, dari jarak yang
tidak jauh darinya.
"Ya, ada--apa?"
"Aku punya sesuatu
untukmu."
Aku mengeluarkan benda yang ada
di dalam kantongku. Tidak ada jalan kembali. Aku mendekati Yuki. Ini Cuma
beberapa meter, tapi nafasku terengah-engah. Jantungku berdetak lebih cepat
dibandingkan dengan lari 100m.
"Jika kau tidak keberatan,
apa kau mau menerima ini?"
Aku menyerahkan kotak yang
dibungkus padanya. Kantongku akhirnya sedikit lebih ringan. Ini adalah pertama
kalinya aku memberikan hadiah kepada seorang gadis selain keluargaku, dan aku
benar-benar gugup.
Aku menelan ludah, dan berkata,
"Coba buka saja."
Mendengar itu, Yuki membuka
kotak tersebut, dan mengambil botol kecil berwarna merah muda yang ada di dalamya.
“Parfum sakura?”
“Yap. Kau bilang kalau kau
benci musim semi karena semua orang melupakan salju. Kalau ada aroma sakura
sepanjang waktu, mungkin kau juga bisa memikirkan salju.”
Yuki bilang kalau dia membenci
Musim Semi.
Jadi aku terus kepikiran.
Aku terus berpikir bagaimana
membuatnya mengingat salju walaupun salju sudah mencair, saat musim dingin
berakhir dan musim semi tiba. Ini adalah jawaban yang aku dapat setelah lama
berpikir.
“Begitu ya. Jadi ini aroma
musim semi.”
“Ya, itu sebabnya.”
Aku harap Kau tidak bilang lagi
kalau Kau membenci musim semi.
Aku tak mengucapkan kata-kata
tersebut. Bahkan jika aku tidak mengatakannya, niatku mungkin sudah mencapainya.
Setelah beberapa pertimbangan,
Yuki tahu bahwa aku takkan berbicara lagi, dan dia berkata,
“Tapi, apa ini seperti yang
kamu katakan?”
“Yeah, mungkin”
"Ah - kamu tidak percaya
diri tentang itu."
"Tentu saja, aku akan
ingat. Atau lebih tepatnya, aku pasti takkan lupa. Tapi aku tidak bisa
mengatakan hal yang sama kepada orang lain."
"Itu saja sudah lebih dari
cukup."
Yuki bilang. "Jika kamu bisa mengingatnya, maka itu sudah
cukup, Yoshi-kun."
Kami memandangi barisan pohon
sakura. Kami mencium aroma manis. Setiap kali aku menciumnya, aku akan mengingat
tentang Yuki. Ah, bagaimana aku bisa melupakannya?
“Terus, masih ada sesuatu yang ingin kamu berikan padaku
juga, ‘kan?”
Eh? Ada sesuatu yang lain?
Aku mencoba mengingatnya,
"Haaaaaaaa." dan Yuki dengan sengaja menghela nafas panjang,
memberitahuku jawabannya dengan tidak sabar,
“Kamu tidak memberiku apa yang
diberikan sutradara?”
“jadi kau tahu, ya?”
Aku memasukkan tanganku ke
kantong yang lain, dan mengeluarkan dua tiket berwarna. Aku ingin mengajaknya
di lain hari, tapi yah, biarlah. Aku menyerahkan tiket film yang agak kusut ke
Yuki.
“Ini tiket film. Jika kau punya
waktu, apa kau tak keberatan menontonnya bersamaku?”
“Ya.”
Yuki mengangguk. "Tapi."
dia menambahkan.
“Aku ingin kamu mengajakku
lagi.”
“Apa?”
“Aku ingin melihat apakah kamu masih
bisa mengingatku. Tahun depan, aku akan datang dengan aroma parfum sakura ini,
jadi ajak aku ke film lagi. Untuk sekarang, biar kamu yang menyimpan dua tiket
ini.”
“Baiklah.”
“Pastikan kau melakukannya.”
“Ya, itu janji.”
Mendengar jawabanku, Yuki
terlihat sangat gembira, tapi pada saat yang sama, dia menggumamkan sesuatu.
Itu adalah suara sedingin es yang sama sekali tidak berhubungan dengan ekspresi
yang ditunjukkannya—
“―Dasar pembohong.”