Pertemuan 0 – Kucing Putih Bermata Biru
(TN : Ada Perubahan Sudut Pandang)
“Kurasa kau harus berhenti sampai di situ.”
Aku dipanggil oleh suara yang tidak dikenal.
Itu terjadi ketika aku mencoba diam-diam mengutil bungkus
cokelat ke dalam kantongku di minimarket.
Itu adalah suara seseorang yang sangat yakin kalau dirinya
melakukan hal yang benar.
“Lepaskan tanganku.”
Aku ingin melepaskan tangan yang memegang tanganku, tapi
percuma saja.
Ia memiliki wajah kurus seperti gadis.
Ia juga sedikit lebih pendek dariku, tapi Ia masih
seorang cowok.
Ia lebih kuat dariku.
Dan suaranya lebih dalam dari milikku.
“Aku akan melepaskannya jika kau berhenti.”
“Ini tidak ada hubungannya denganmu, ‘kan?”
“Tapi perbuatanmu masih termasuk kejahatan.”
Meski begitu, aku ingin mengatakan sesuatu. Walau
Ini salahku.
Kata-kata di tenggorokanku berubah menjadi helaan, dan
aku melotot ke arah jam di dinding. Jarum menit dan jarum jam berada di
arah yang berlawanan, membagi jam menjadi setengah. Dengan kata lain, sekarang
jam 6 sore.
Dalam 5 jam lagi, dunia akan ditulis ulang.
Semua yang kulakukan, dan semua jejak keberadaanku akan
lenyap. Terlepas dari aku berhasil mencuri atau tidak, itu bukan masalah
lagi. Perbuatan ini kulakukan demi menghabiskan waktu.
“Baiklah.”
Aku menaruh cokelat itu kembali ke rak, dan seperti yang
Ia janjikan, Ia melepaskan tanganku. Mungkin karena Ia memegangku dengan sangat erat, lenganku masih terasa sakit meski Ia sudah melepaskanku. Aku
meletakkan tanganku yang lain di tempat yang panas dan menyakitkan, dan keluar
menuju pintu tanpa melihat bocah itu.
Begitu aku pergi, hembusan angin menerpa wajahku layaknya
pedang tajam.
Ketimbang dingin, aku malah merasakan sakit.
Ow, ow, gumamku.
Tapi tidak ada orang yang memperhatikanku.
Semua orang terus tersenyum, dengan semacam kewajiban
untuk terus hidup bahagia, dan tidak pernah memperhatikan orang seperti diriku. Semua
orang menikmati cahaya dan warna jalanan yang semarak.
Aku sengaja menghindar dari berbagai suara dunia, mendengarkan napas dan langkah kakiku
sendiri. Aku punya kaki. Aku bergerak maju. Aku
bernafas. Jantungku berdetak.
Aku berada di tempat seperti itu.
Dan masih hidup.
Seharusnya inilah yang aku rindukan, sesuatu yang dengan
putus asa aku raih.
Walau begitu, mengapa aku merasa sesakit ini?
Ini bukan rasa sakit fisik, juga bukan rasa takut yang
kuat, tapi dalam artian lain, hidup di dunia ini sama saja dengan hidup di
Neraka. Kesepian dan perasaan sedih yang menumpuk setiap hari perlahan-lahan
membunuh hatiku.
“Tunggu.”
Tiba-tiba, aku mendengar seseorang memanggilku.
Bagi orang seperti diriku, yang iri dengan hal-hal yang
sepele, aku mungkin sudah bosan dengan apa yang namanya “hidup. ”
“Tunggu.”
Dan aku mendengar suara itu lagi.
Suara itu lebih dekat dari sebelumnya, dengan
keras. Pada saat yang sama, aku merasa kalau aku pernah mendengar suara
ini.
“Kubilang….”
Aku terus berjalan untuk melarikan diri dari jalanan yang
dipenuhi dengan kebahagiaan.
Bagiku, musik yang membahagiakan, wajah-wajah yang
tersenyum, atau bahkan panggilan dari orang lain terlihat seperti racun.
"Tunggu aku. Dari tadi aku memanggilmu, jadi
apa kau bisa berhenti sebentar? ”
Bahuku dicengkram, dan merasa terkejut. Kupikir
jantungku akan copot karena kaget. Sudah berapa tahun sejak aku mendengar
suaraku yang terkejut?
Aku menengok, dan melihat seorang cowok yang sedang
terengah-engah, berdiri di belakangku.
Karena merasa canggung, aku mengambil jarak agak menjauh,
dan memelototinya.
“A-apa? Apa ada sesuatu yang kamu inginkan?”
“Yah, tidak juga. Jika Kau tidak keberatan, ini untukmu,
terimalah. ”
Dari plastik kresek minimarket yang dipegangnya, cowok
itu menyerahkan cokelat yang aku coba curi.
Begitu aku menyadari apa yang Ia coba lakukan, aku
langsung geram.
“Aku tidak membutuhkannya!”
“Kenapa? Bukannya kau mau makan ini?”
Aku tidak menginginkan cokelat. Aku menginginkan
sesuatu yang berbeda.
Tapi aku tidak bisa mengekspresikan diriku dengan jelas.
Karena aku tidak tahu apa yang aku inginkan.
“Kamu sama sekali tidak mengerti diriku, jadi kenapa kamu
melakukan ini? Serius, aku sangat membenci tipe orang yang suka mencampuri
urusan orang lain seperti dirimu. Aku sangat, sangat membencimu !! ”
Aku berteriak seperti anak kecil, napasku tidak teratur. Aku
terkesiap, dan udara dingin memasuki tubuhku, membuatku sangat sakit.
Tetapi aku takkan bilang kalau aku terluka lagi.
Karena aku tidak ingin dikasihani oleh cowok di depanku.
Usai mendengar teriakanku, cowok itu menunduk ke bawah.
Setelah beberapa saat, Ia mencengkram plastic kresek di
tangannya dengan kuat seraya mengangkat kepalanya. Ia melihat langsung ke
arahku. Bagian tengah matanya berkilauan dengan cahaya.
“Tapi yah, jika kau tidak membenci yang manis-manis.
Setidaknya, kau bisa menerima ini, ‘kan?”
“Mengapa?”
“Dengar, aku sadar kalau aku melakukan sesuatu yang
sangat berbeda dari diriku yang biasa, tapi kurasa aku bisa memberikan hadiah
kepada seseorang yang tidak kukenal hanya karena aku menginginkannya. Selain
itu……”
Cowok itu tampak sedih, dan tersenyum ragu.
“Lagipula, Sekarang adalah Malam Natal.”
“Kamu ini orang yang aneh.”
Cowok tersebut tidak membantah; Ia menyerahkan
plastik kresek itu kepadaku, dan langsung lari. Segera setelah itu, Ia
menghilang ke dalam kegelapan kota. Langkah kaki yang berderu terus
bergema di dadaku.
- Orang
aneh.
Sekali lagi, aku menggumamkan itu.
Itu adalah hari di musim dingin, ketika aku baru berumur
15 tahun.
Begitulah pertemuanku dengan cowok yang namanya tidak aku
kenal.
❀❀❀
Setiap hari Selasa, mulai dari jam 10.54 malam.
Mungkin kelihatannya seperti iklan pada dini hari, tapi
tidak ada orang lain selain diriku yang tahu kalau dunia mengalami perubahan
pada waktu segitu.
Dunia baru akan lahir setelah semua catatan dan jejak
mengenai gadis tertentu dihapus.
Karena kecelakaan lalu lintas delapan tahun lalu, ada
sedikit perubahan pada bagaimana dunia yang seharusnya.
Kecelakaan lalu lintas bukanlah kejadian tidak biasa.
Berita kejadian seperti itu sering muncul di TV.
Di negara tempat aku tinggal, termasuk kecelakaan kecil,
sepertinya hampir 500.000 kecelakaan lalu lintas terjadi. Di antara
angka-angka tersebut, sekitar 4.000 di antaranya melibatkan kematian, dan
jumlah kematiannya hampir sama. Dengan kata lain, setiap hari 11 orang
meninggal dunia, dan untuk setiap dua jam atau lebih, seseorang meninggal
karena kecelakaan lalu lintas.
Ya...
Kalau dilihat-lihat lagi, itu bukanlah hal yang langka.
Tapi, saat data 500.000 atau bahkan 4.000 bukan hanya
data biasa, melainkan nama-nama orang terdekat, seberapa banyak rasa sakit dan
keputusasaan yang ditimbulkannya? Secara pribadi, aku sendiri pernah
mengalaminya.
Ayo kita bicarakan tentang masa lalu.
Ini adalah kisah sebuah keluarga, yang menjadi bagian
dari angka 500.000, 3 dari 4.000.
Tidak, mungkin ini sedikit berbeda.
Setelah itu, aku akan membicarakan kisah seorang gadis
yang melarikan diri dari salah satu bagian dari angka 4.000 tersebut.
Pada ulang tahunnya yang ke-7, gadis itu kehilangan
segalanya.
Hari itu seharusnya menjadi hari yang istimewa
baginya. Mereka pergi ke taman hiburan yang sangat disukainya, bersama
dengan keluarga tercinta. Tidak ada alasan baginya untuk tak bahagia.
“Bangun, bangun, kita sudah sampai.”
Gadis yang tertidur di dalam mobil dibangunkan oleh
ibunya. Dia membuka matanya, dan menemukan sosok buram. Sosok yang
lebih kecil tersebut adalah adik perempuannya, Umi. “Onee-tan, kita di
sini.” Dia menirukan ibunya, mengguncang tubuh gadis itu.
“Nnn. Pagi, Umi.”
“Ai. Pagi juga onee-tan.”
Ayah dan ibunya tersenyum melihat sapaan keduanya.
Mungkin itu adalah bentuk kebahagiaan murni yang tersebar
di mana-mana di dunia ini.
“Ayo pergi. Kita akan bersenang-senang sepanjang
hari. Ayo bersiap!”
Dan dengan dorongan antusias dari sang ayah, gadis itu
turun dari mobil, dan menemukan kastil yang dia lihat di TV di depan matanya.
Wahh, gadis itu berteriak takjub. Kesadarannya terfokus
pada taman hiburan di depannya. Baginya, pemandangan tersebut hanya bisa
digambarkan sebagai pemandangan magis. Lampu berkelap-kelip di mana-mana,
dan bahkan suara-suara yang ada tampak penuh warna.
Seperti yang dikatakan ayahnya, semua orang tampak sedang
bersenang-senang—
Mereka bermain di beberapa area permainan, menikmati
makanan lezat, dan melakukan tur di beberapa tempat wisata.
Mereka benar-benar sedang bersenang-senang.
Itu adalah ulang tahun terbaik yang pernah ada.
Ayahnya, memegang banyak hadiah dengan kedua tangan,
membawa Umi yang tertidur kembali ke mobil, dan jam 9 malam mereka pulang ke
rumah.
Biasanya, pada jam segitu, keluarga mereka sudah selesai
mandi dan memakai baju tidur, tapi mereka belum mengantuk sama
sekali. Masih ada keajaiban yang tersisa.
Gadis itu mengobrol dengan ibunya tentang makanan penutup
yang mereka nikmati hari itu, dan ayahnya terkadang ikut berbincang, yang mana
hal itu jarang baginya. Namun tak boleh; percakapan antar gadis
dilarang untuk pria.
Keduanya sengaja mengabaikan sang ayah, yang mendecakkan
lidahnya seperti teman-teman sekelas gadis itu, dan cemberut. Sang ayah
mungkin tidak marah. Sepertinya Ia menikmati kenyataan bahwa dia diejek
oleh putri dan istrinya.
Sikapnya tersebut agak mencolok, dan gadis itu tertawa.
Ibunya juga ikut tertawa.
Dan Umi yang tertidur melengkungkan bibirnya dengan
gembira.
Lalu, semuanya lenyap.
Itu semua terjadi dalam sekejap.
Cahaya putih terang menghalangi pandangannya, dibarengi
dengan tubrukan yang luar biasa. Setelah itu, gadis itu tidak tahu apa
yang terjadi.
Terdengar suara sesuatu yang pecah.
Terdengar suara sesuatu yang terkoyak robek.
Terdengar suara sesuatu yang hancur.
Jeritan orang tuanya tumpang tindih dengan suara yang lebih
keras. Adik perempuannya yang masih kecil mungkin tidak bisa berteriak.
Akhirnya, terdengar suara menandakan akhir dari semua
orang yang penting bagi gadis itu. Ahh, tepatnya, bukan suara yang
berdering, melainkan menghilang. Ya, orangtuanya menemui ajalnya.
Sudah berapa lama waktu telah berlalu?
Huuu
huuu.
Tenggorokan kering gadis itu akhirnya menghembuskan
napas, dan dia mengerahkan tenaganya untuk membuka matanya lagi. Tiga
kali, kelopak matanya berkedip, sebelum dia membukanya. Dunia diwarnai
nyala api.
Gadis itu berpikir bahwa dia harus bergegas dan menemukan
keluarganya, tapi tubuhnya tak bisa bergerak sama sekali. Seolah-olah itu
bukan tubuhnya sendiri. Beberapa saat yang lalu, dia bisa bebas
menggerakkan anggota tubuhnya, namun sekarang dia tak bisa menggerakannya sama
sekali, tidak peduli berapa banyak
kekuatan yang dia berikan.
Cuma panas yang satu-satunya keluar dari mulutnya,
berteriak pada tubuhnya yang tak bergerak dan jantung yang mati rasa.
Dia ingin tetap hidup.
Dia tidak mau berakhir seperti ini.
Karena ini terlalu menyedihkan.
Dia masih punya banyak hal yang ingin dia lakukan.
Dia ingin melihat kembang api besar selama liburan musim
panas sekali lagi, membaca buku, mengenakan baju-baju yang lucu, dan
mengunjungi taman hiburan lagi. Dia ingin mengalami cinta dengan cowok
yang luar biasa, persis seperti kisah-kisah dalam novel.
Namun, semuanya harus diambil dengan kejam.
Itu adalah tempat yang tidak bisa dijangkau oleh apa pun,
bahkan amarah, kesedihan, atau jeritan memilukan. 'Kematian' melambai di depan matanya.
“Aku tidak menginginkan ini.”
Gadis itu menjerit dengan sekuat tenaga.
“Aku benci ini.”
Dunia diwarnai dengan air mata.
Dan kontras emosi gadis itu, kesadarannya
memudar. Sepertinya, akhir untuknya sudah membayangi.
Tidak.
Dia hanya tak bisa membuka matanya.
Tidak.
Cahaya-Nya sudah dekat.
Tidak.
Dia tidak bisa mengeluarkan suara, dan tak tahu apakah
dia bernafas atau tidak.
Tidak.
Bahkan jika itu adalah tempat yang kejam, dia ingin tetap
tinggal.
Dia ingin tetap di dunia ini.
Tiba-tiba, gadis yang menolak kematian tersebut mendengar
sesuatu.
Tidak, mungkin kurang tepat kalau dia mendengar
sesuatu. Itu adalah pertanyaan tanpa konsep kata atau suara.
Dia hanya merasakannya.
Dia menyadari kalau dia bisa hidup jika dia menganggukkan
kepala.
Dan demikian, gadis itu mengulurkan tangannya.
Dengan putus asa, dengan penuh kerinduan, dia
merentangkan tangannya ke depan.
“Aku ingin hidup.”
Gadis itu meraih cahaya.
Dia pulih dan menemukan dirinya berbaring di tempat
tidur.
Langit-langit putih, kamar putih.
Orang asing datang dan pergi silih
berganti. Orang-orang ini semua mengenakan pakaian putih. Gadis itu
ditanyai namanya, dan tidak tau banyak tentang kecelakaan itu.
Sambil merasa lega, dia merasa jijik karena ditinggalkan.
Dia membawa makanan yang tidak enak ke mulutnya, dan
menghabiskan sepanjang hari menonton TV. Ada laporan berita tentang
kecelakaan lalu lintas yang melibatkan keluarga beranggotakan tiga orang, dan
reporter berita itu melanjutkan dengan nada yang monoton. Seorang
pengemudi truk yang kelelahan karena mengemudi selama 36 jam berturut-turut,
pingsan selama beberapa detik, dan empat nyawa, termasuk miliknya, lenyap dari
dunia ini.
Itu salah. Seharusnya bukan seperti itu.
Seharusnya keluarga tersebut beranggotakan 4 orang, dan
Umi seharusnya bukan anak tunggal. Dia punya kakak perempuan. Namun,
apa yang dikatakan penyiar itu adalah kenyataan bagi dunia.
Dunia merah yang terang menyala.
Di dunia ini tak ada yang tahu kalau di tempat yang sulit
bernafas itu, ada gadis yang selamat secara ajaib. Bukan, tak ada yang
tahu kalau ada seorang gadis di sana. Keberadaannya seakan-akan lenyap.
Gadis itu ingin berteriak, tapi dia berusaha menutup
mulutnya dengan segala cara. Dia menggenggam seprai dengan kuat,
meninggalkan bekas kerutan, menahan kesengsaraan yang dideritanya.
Karena inilah jalan yang dia pilih.
vvvv
Lalu, seminggu pun berlalu setelah kecelakaan itu.
Pada hari itu, gadis itu melihat jarum jam
berjalan. Jarum menit berdenting, dan waktu berlalu dengan mudahnya. Jam
10.54 malam. Dalam sekejap mata, dunia ditulis ulang lagi.
Itu adalah kedua kalinya dunia ditulis ulang.
Jika terus begini, dia tak bisa bertahan lama.
Gadis itu, menyusup ke dalam selimutnya, mencoba untuk
meninggalkan rumah sakit. Tapi, dia menunggu waktu yang tepat, karena dia ingin
menyaksikan secara pribadi apa yang akan terjadi.
Dan demikian, insiden itu terjadi.
Awalnya, dia mendengar teriakan dari suara yang dia
kenal. Ternyata, suara tersebut berasal dari suster muda, yang ramah
kepada gadis tersebut di rumah sakit. Dia memberikan permen kepada gadis
itu, dan saat gadis itu bilang kalau dia suka membaca, suster tersebut
meminjaminya beberapa buku yang menarik. Tapi kali ini, suster muda itu
terkejut melihat gadis itu, Dia seolah-olah sedang memandang keberadaan yang
tidak diketahui asalnya.
Usai mendengar teriakan, banyak orang yang berkumpul.
Di antara mereka ada dokter yang merawat gadis itu.
Gadis tersebut tahu nama dokter dan suster itu. Di dalam
benaknya, dia mencoba mengatakannya. Beliau adalah Kanzaki-sensei. Dan
si Suster adalah Tanio-san.
Kanzaki-sensei mendekat. Gadis itu bangkit dari
tempat tidur, dan berdiri, menghadap dokter. Dokter pun berkata,
“Kau…...siapa?”
Kata-kata yang dianggap tak berbobot ini memberikan
banyak beban kepada gadis itu daripada apa yang bisa dia bayangkan.
Gadis itu berlari keluar dari kamar rumah sakit dengan
linglung, dan orang-orang di sekitarnya membuka jalan untuk membiarkan dia
lewat. Dia pergi, melihat sekeliling, dan menemukan tulisan di papan nama
telah menghilang. Sebelum tidur, dia memeriksa kalau namanya ada di
sana. Padahal, baru 30 menit yang lalu. Selama waktu itu, tak ada orang
yang lewat di depannya kamarnya.
Gadis itu menuruni tangga, dan meninggalkan rumah sakit
melalui pintu belakang.
Tanpa ada keluarga.
Tanpa ada tempat untuk kembali.
Yang dia miliki hanyalah hidupnya sendiri.
Memikirkan hal ini, perasaan gadis itu membludak tak
terbendung. Tak ada yang berhenti. Emosi yang terpusat terus meraung
di dalam dirinya, dan jika dia tak membiarkannya keluar, gadis itu bisa-bisa
hancur.
“Ah, AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHHHH──”
Gadis itu pun menjerit.
Di malam tanpa rembulan, dan hanya ditemani bintang-bintang
yang berkelap-kelip. Udara yang dihembuskan menjadi kabut putih bak musim
dingin, tapi salju tidak pernah turun. Entah kenapa, gadis itu merasa
kedinginan. Tenggorokannya terasa berapi-api.
“AAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHHHH──”
Dia berteriak ke langit malam.
Dia berteriak ke dunia yang meninggalkannya.
Butiran air mata jatuh dari matanya.
Orang-orang yang mengenal gadis itu sudah tidak ada lagi.
Gadis tersebut adalah aku, dan aku sendirian di dunia
ini.
vvvv
Aku berada di bangku taman, sedang mengunyah cokelat yang
kuterima dari cowok yang namanya tidak kukenal. Aku menggigit sepotong,
dan sedikit terkejut, karena aku bisa merasakan rasa manis. Selama
bertahun-tahun, aku tak bisa merasakan apa pun apa pun yang aku makan.
Setiap kali aku menggigit, cokelatnya menjadi sedikit
lebih kecil. Aku memandangi cokelat yang menyusut itu, dan merasa sedih. Ah, begitu ya. Jadi ini
yang namanya 'kesedihan'. Aku tak
pernah berpikir kalau aku akan memiliki perasaan seperti itu.
“Ayo pergi.”
Aku tidak punya kekuatan untuk berdiri, dan aku bergumam
dengan lemah.
Mungkin karena terlalu dingin, dan tanganku mati rasa,
jadi aku tidak bisa merasakan apa-apa bahkan setelah menyentuhnya. Aku merasa
seperti mayat, jadi aku berpikir sambil menggigiti cokelat yang
menyusut. Ini sangat manis, sangat manis sampai-sampai air mataku akan
jatuh.
5 menit berlalu, dan cokelat itu masuk ke perut
sepenuhnya.
Aku bersandar di sandaran, dan menatap ke atas langit.
Awan kelabu yang melayang, seolah-olah meninggalkanku
sendirian saat ini. Mungkin karena angin sepoi-sepoi yang terlalu kencang,
awan-awan itu melayang dengan kecepatan yang mengejutkan, mengubah bentuk, dan
akhirnya pergi.
“Apa yang aku lakukan…”
Tidak ada yang menjawab celotehku. Yah, walau aku sudah
tahu itu akan terjadi.
Aku hendak melemparkan kemasan kusut yang sudah digulung
menjadi bola, ke tempat sampah, tapi entah kenapa, aku malah memegangnya dengan
kedua tangan, sebelum memasukkannya lagi ke dalam kantong saku.
Setelah berpikir sebentar, aku meletakkan tanganku di kantong
saku, berdiri, dan mulai berjalan tanpa tujuan.
Taka da alasan khusus kenapa aku tidak membuang
kemasannya. Namun, kehidupanku saat ini pada dasarnya memang seperti
itu. Bernafas, berjalan, membiarkan waktu terus berlalu. Lihat ‘kan,
tak ada arti apa-apa. Tapi, meski pun
ada “arti”, itu akan segera menghilang.
Ini adalah harga yang harus kubayar untuk tetap hidup.
Cahaya yang aku raih hari itu adalah “sesuatu”. Ya,
“sesuatu”. Bahkan dengan semua bahasa di dunia ini, aku mungkin tak bisa
menggambarkannya. Jika aku harus menggambarkannya, mungkin cahaya itu
adalah sebuah “keajaiban”.
Dan diriku, yang menyentuh 'sesuatu' itu, mengetahui
banyak hal.
Misalnya saja, sudah diputuskan dari dulu kalau
keberadaan yang disebut dunia akan
bergerak menuju akhir. Umat manusia
menyebut bahwa aliran takdir, atau sejarah, dan prosesnya tidak bisa diubah.
Aku terus berpikir sambil berjalan, ada kerikil yang menyentuh
sepatuku, dan berguling-guling di tanah. Kemudian, anak laki-laki di belakangku
menendang kerikil itu. Kerikil tersebut berguling ke rumput, dan seekor
burung yang tampaknya baru berada di rumput itu pun terbang.
Semuanya dimulai karena aku menendang kerikil di sini.
Roda takdir kembali diposisikan sedikit.
Perubahan kecil ini mungkin akan menyebabkan sesuatu yang
besar di masa depan. Sesuatu seperti merubah nasib dunia──
Diriku yang seharusnya meninggal pada saat itu, menjadi
sebuah eksistensi yang tidak lagi ada di dunia ini. Dengan demikian, semua
tindakanku akan menjadi Black Box,
dengan potensi tersembunyi untuk mengubah nasib dunia.
Di sisi lain, gerak-gerik makhluk hidup semuanya bergerak
menuju masa depan. Masa depan yang diambil dariku sama sekali tidak ada
artinya.
Jadi, sebagai harga untuk tetap hidup, masa laluku yang diambil. Sebelum
taring perubahan dapat mencapai masa depan yang jauh, sumbernya terputus
terlebih dahulu, dan jalan menuju masa depan bisa disesuaikan kembali.
Setiap Selasa, jam 10.54 malam, semua yang terjadi akan
dianggap 'masa lalu', dan keberadaanku
akan terhapus dari 'masa lalu'
tersebut, semua kenangan tentang namaku, wajahku, maupun perbuatanku tidak ada
yang ingat. Dan kemudian, semua perbedaan yang disebabkan oleh hilangnya “keberadaanku” akan ikut tersapu bersih.
Semua yang kudapat sebagai imbalan atas hidupku ialah
satu minggu di masa depan.
Tuhan sendiri takkan menawarkan hari yang ke-8.
Ini mirip seperti aku sedang memainkan Kursi Musik.
Setiap hari, kursi hilang, dan pada hari ke 8, semuanya
akan lenyap. Selesai. Untuk melanjutkan, aku harus memulai lagi dari awal.
Aku tahu. Aku yang meraih cahaya, tahu itu akan
terjadi.
Jadi, aku tak bisa menyalahkan siapa pun.
Aku hanya bisa terus melanjutkan hidup.
Demi menghabiskan waktu, aku mengambil jalan
memutar menuju stasiun, lalu mendengar dengung di suatu tempat.
“Meong meong.”
Suara tersebut datang dari dekat
selokan. Semak-semak ilalang tumbuh di sana, dan aku tidak bisa melihat
apa itu, tapi pasti ada sesuatu di sana. Aku melihat sekeliling, tetapi tak
ada orang lain selain aku. Meong. Itu
adalah suara yang hanya bisa didengar olehku.
Aku tahu rasa sakit itu.
Aku tahu rasa kesepian itu.
Aku sangat memahami keputusasaan itu lebih dari orang
lain
Tanpa aku sadari, aku sudah menyingkirkan ilalang ke
samping, dan melihat jauh ke dalam selokan.
“Meong.”
Ada anak kucing, badannya sedikit kotor karena tertutupi
lumpur, dan warna bulunya tidak terlalu jelas. Mungkin dia baru saja lahir. Cakar,
kaki, serta tubuhnya sangatlah kecil, suaranya terdengar sangat lembut. Hanya
Mata birunya yang besar, seakan-akan memandang Bumi dari angkasa, meski aku tak
pernah melihat Bumi dari luar angkasa.
“Meong.”
Tangisan untuk seseorang menjadi tangisan untukku.
Mata birunya memikat hatiku.
Cuma aku sendiri.
“Apa kamu mau ikut denganku?"
Kuulurkan tanganku untuk menyentuh bulunya. Rasanya
sangat lembut dan hangat. Sudah lama sekali aku tidak merasakan
kehangatan.
Aku membawa anak kucing itu ke hotel, dan menamainya 'Shiro'. Setelah aku memandikannya,
bulu di tubuhnya menunjukkan bulu putih yang indah.
Shiro adalah kucing betina yang pendiam, saking pendiamnya
sampai-sampai suara meow-nya terdengar seperti ilusi.
Untuk memberinya makan, aku memberinya susu melalui
pipet. Sepertinya dia membenci susu bubuk, tapi begitu aku membawanya ke
mulutnya, dia dengan patuh menelan.
Shiro masih kecil, fisiknya masih lemah, jadi aku tak
punya niat untuk membawanya keluar. Tentu saja, aku tak pernah pergi
karena aku harus merawatnya.
Aku tetap di samping Shiro, duduk di kursi sembari
membaca untuk menghabiskan hari.
Kadang-kadang Shiro suka menempel di kakiku, dan pada
saat seperti itu, aku akan menggendongnya dan meletakkannya di pahaku. Dia
kemudian akan tertidur dengan puas. Aku bisa merasakan berat dan
kehangatan hidupnya ketika aku membalik-balik halaman. Sudah lama sejak
aku merasakan kehangatan seseorang. Aku merasa bahwa aku diselamatkan oleh
hal sekecil ini.
“Jika kamu terus tidur, kamu akan jadi gemuk loh.”
Shiro terus tertidur, tidak mendengkur sama
sekali. Rasanya agak membosankan. Hei, ayo berbincang.
“Kamu benar-benar punya bulu yang cantik. Kamu juga
kurus. Rasanya akan sia-sia jika kamu jadi gemuk. "
“Meong.”
Kamu berisik, jadi aku dimarahi.
Dia tampak agak kesal karena tidurnya
diganggu. Namun itu membuatku sedikit senang. Ada kalanya ketika aku terlalu
menjahilinya, dan aku dicakar olehnya. Namun rasa sakit ini membuatku
bahagia.
Lagipula, luka yang disebabkan oleh seseorang adalah
bukti bahwa aku melakukan kontak dengan orang lain.
“Maaf maaf.”
Aku mengusap bulu Shiro dengan lembut, dan dia tertidur
lagi.
“Ahh, aku ingin tidur juga.”
Aku menutup bacaanku, meletakkannya di atas meja, lalu menutup
mataku. Aku duduk di kursi, bersama Shiro yang tertidur di
pangkuanku. Itu adalah postur yang sulit untuk tidur, tapi aku bisa tertidur
dengan mudah. Kesadaranku mengambang di antara mimpi dan igauan. Lalu,
aku cepat tertidur, seolah-olah jatuh ke dalam perangkap.
Waktu pun terus berlalu.
Saat aku bangun, area di sekitarku sudah benar-benar
gelap. Mungkin karena postur tidurku yang aneh, saat aku terbangun, hal
pertama yang aku rasakan adalah rasa sakit di leherku, dan kemudian punggungku. Kakiku
benar-benar mati rasa, tapi Shiro masih tidur di kakiku, jadi aku tidak bisa
bergerak. Aku mengulurkan tanganku, dan bersusah payah, aku meraih remote control di atas meja, dan menekan
tombol. Setelah itu, cahaya oranye memenuhi ruanagn berukuran 4 tatami
seperti api lemah.
"Nn." Aku meregangkan punggungku untuk
mengendurkan ototku yang kaku, dan memeriksa waktu saat ini. Jam 10.57
malam. 3 menit berlalu dari jam 10.54 malam. Sepertinya aku tidur selama
hampir 8 jam.
Sekarang adalah hari Selasa. Penulisan ulang dunia
sudah dilaksanakan.
Aku harus bergegas pergi. Tapi sebelum itu, aku
harus membangunkan kucing malas yang mengantuk ini.
Apakah Shiro akan terkejut saat dia bangun nanti?
Lagipula, dia tidak memiliki ingatan tentang diriku.
Tapi karena Shiro masih anak kucing, dia mungkin takkan
bertanya padaku, "Siapa kamu?", iya ‘kan? Setelah aku memberinya
makan, dia akan menempel lagi padaku.
“Hei, Shiro.”
Aku memanggil Shiro sembari membelai bulunya. Tapi
saat menyentuh tubuhnya, aku terkejut, dan menarik kembali tanganku.
Tubuh Shiro terasa kaku dan dingin.
“Shiro, apa kamu meninggal?”
Aku bertanya dengan lembut, seakan-akan ingin
menegaskannya.
Tapi Shiro takkan pernah mendengkur lagi.
Itulah jawabannya.
Shiro pasti ditakdirkan untuk mati di
selokan. Mungkin karena kelaparan dan kedinginan. Namun aku mencegah
kematiannya.
Namun, makhluk yang ditakdirkan untuk mati takkan pernah
bisa melewati titik kematian.
Realitas menganggap bahwa selama seminggu, aku tak pernah
memberi makan Shiro. Dunia sekali lagi terkoreksi.
Tubuh Shiro kehilangan tenaga dan kehangatannya, dan terasa
jauh lebih ringan ketimbang saat dia masih hidup. Ada penelitian kalau
berat jiwa itu sebesar 21 gram. Tapi, apa itu benar?
Butiran air mata mengalir, lalu mendarat di bulu lembut
Shiro.
“Ahh, uuuu.”
Aku menggertakkan gigi, berusaha menahan
tangisanku. Biasanya, pada hari-hari biasa, aku bisa dengan mudah tutup
mulut, tapi entah kenapa, aku tidak bisa menahan diri bahkan setelah
mengerahkan diri lebih dari biasanya. Suara gumam terus terdengar dari
sela bibirku.
Aku ingin menghentikan air mataku.
Karena itu sama sekali tidak cantik.
Aku tidak menangisi Shiro, melainkan menangisi diriku
sendiri. Kesepian yang kurasakan setelah kehangatan yang akhirnya kudapat
ini telah lenyap, dan kegelisahan di hatiku jatuh dalam bentuk air
mata. Dadaku terasa sakit. Bagian terlembut hatiku serasa tersayat-sayat.
Aku terus gemetaran, menggertakkan gigiku, menggenggam
tanganku dengan kuat. Sangat menyakitkan.
Tapi hatiku sangat sakit.
Aku tidak bisa meninggalkan tubuh Shiro begitu saja, dan pada hari berikutnya, aku mulai mencari tempat untuk menguburkannya.
Jika aku mati, aku takkan berharap orang lain melihat
tubuhku yang membusuk. Itu pasti yang dipikirkan Shiro.
Aku membeli sebuah kotak kardus di sebuah supermarket,
dan meletakkan handuk mandi putih yang cantik, meletakkan Shiro di
atasnya. Dia tampak seperti sedang tertidur. Jika aku berbicara
dengannya, apakah dia mau membuka matanya? Apakah dia akan mendengkur
padaku lagi? Dia bisa mencakarku lagi.
Walau aku tahu itu adalah hal yang mustahil.
Pada akhirnya, aku memutuskan untuk mengubur tubuh Shiro
di lahan kosong yang tidak terlalu jauh dari stasiun. Sementara ada papan
nama 'properti pribadi' di sana, siapa yang peduli? Aku menggali tanah
dengan sekop.
"Apa yang sedang dia lakukan?" aku bisa
merasakan tatapan penasaran dari orang yang berlalu lalang. Ini adalah
sebidang tanah yang jarang dilewati orang, tapi bukan berarti tak ada
orang. Tidak ada orang aneh yang datang untuk berbicara padaku. Semua
orang hanya menatapku, dan kemudian memalingkan muka.
Aku terus menggali, tapi saat terus menggali, bahuku
semakin berat karena takut dan lelah bertanya-tanya apakah ini akan
dihapus. Setiap tindakan yang aku lakukan mungkin dianggap 'tidak pernah
dilakukan'. Jika ada banyak saksi, kemungkinan itu menjadi lebih tinggi.
Meski begitu, aku hanya bisa melanjutkan.
Karena aku tidak punya orang lain untuk diandalkan.
Selama beberapa tahun terakhir, kekuatan fisikku telah
menurun, dan mungkin itu sebabnya, aku butuh waktu lama untuk menggali lubang
yang cukup besar bagi Shiro untuk beristirahat. Tiba-tiba, ada suara yang tajam
mengguncang telingaku.
“Aduh.”
Sepertinya aku mengenai sebuah batu yang terkubur di
bawah tanah. Tangan yang memegang sekop terasa sakit. Aku jatuh
terduduk, yang biasanya takkan kulakukan. Aku meminum teh dari botol PET
yang aku beli. Setelah menunggu sejenak, mati rasa di tanganku menghilang.
Tiba-tiba, aku mendengar suara dari atas.
“Apa yang sedang kau lakukan?”
Aku mendongak, dan menemukan sosok cowok seusiaku sedang berdiri
di sana. Dia mengenakan kemeja hitam dengan trim merah, tas besar
tersampir di bahunya. Sosoknya sangat familiar di mataku.
“Lagi-lagi kamu?”
“Eh, memangnya kita pernah bertemu?”
Cowok itu tampak tidak percaya.
Ah, begitu ya. Dua kali penulisan ulang terjadi
sejak kami bertemu. Tidak ada informasi tentang diriku dalam
ingatannya. Dia tidak ingat apa-apa tentang diriku, dan juga tentang
bagian ketika dia mengejarku, atau saat Ia memberiku cokelat.
Tetapi
jika itu Cowok ini, pikirku.
Jika itu dia, orang asing sok akrab yang memberiku
cokelat, mungkin dia akan mendengarkan permintaanku.
Aku berdiri, membersihkan debu kotor dari pantatku, dan
menundukkan kepala. Aku memaksakan senyum, mungkin, karena agak
kaku. Yah, mau bagaimana lagi, karena aku sudah lama lupa bagaimana
membuat senyum alami.
“Maaf. Aku pikir aku salah orang. Sebenarnya,
kucing peliharaanku sudah mati, jadi aku membuat kuburan untuknya. Jika kamu
tidak keberatan, apa kamu mau membantuku? ”
Aku pikir dia akan sedikit tidak rela, “Baiklah.” Tetapi
dia menjawab dengan enteng. Dia mengangguk, meletakkan tasnya ke bawah,
dan menarik keluar sekop yang ada di tanah, mulai menggali itu. Kali ini,
aku memastikan bahwa aku tidak duduk di tanah, mengawasi bagian belakang yang
ternyata lebih dapat diandalkan daripada yang terlihat.
“Hei, mengapa kamu berbicara denganku?”
Cowok itu melanjutkan apa yang dia kerjakan sembari
menjawab,
“Kau tampak seperti akan menangis.”
“Kamu bohong. Aku tidak membuat wajah seperti itu.”
Aku menyentuh pipiku dengan tangan, dan jari-jariku tidak
basah.
Aku tidak menangis, ‘kan?
“Ya. Tapi di mataku, kau terlihat seperti itu. Kau
tampak bermasalah, merasa tidak berdaya, tapi kau masih bekerja keras,
menampilkan sosok yang penuh tekad. Aku tidak bisa mengabaikanmu begitu
saja. ”
“Aku paham sekarang. Kamu itu orang aneh. ”
“Enak aja, aku ini normal."
“Tak ada yang pernah mengatakan itu tentangmu?”
Ia menghindari pertanyaan itu.
“... Yah, sepertinya aku tidak punya ambisi atau disiplin
untuk melakukan sesuatu, jadi kurasa itu sebabnya. Aku benar-benar
mengagumi mereka yang benar-benar berbeda dariku, orang-orang yang berjuang
keras demi meraih apa yang mereka inginkan. Kelihatannya memang sedikit
keras kepala, tapi aku berharap orang-orang seperti itu tidak menyerah. Mungkin
aku memaksakan idealismeku pada orang lain, tapi jika ada yang membutuhkan
bantuan, aku akan membantu.”
“Apa ada orang seperti itu sebelumnya?"
Aku bertanya dengan cuek.
“Entah, menurutmu?"
“Aku mengenal orang yang seperti itu. Orang yang awalnya terlihat
keren, tapi akhirnya mengacaukan semuanya.”
“Aku mengerti. Itu sangat sulit, rasanya tak
tertahankan. Meski begitu–”
Suaranya perlahan-lahan menjadi lebih lembut, lalu lenyap
terbawa angin. Namun, kata-katanya memiliki kekuatan tersendiri, kurasa,
dan bagiku sepertinya dia bukan seseorang tanpa hasrat atau
disiplin. Hanya saja dia menganggap dirinya sebagai orang seperti itu.
Atau mungkin, Ia belum menemukan sesuatu yang bisa
membuatnya bersemangat.
“Hmm. Kalau begitu, kuharap kamu bisa menemukannya
suatu hari nanti. ”
“Eh?”
“Aku sedang membicarakan dirimu yang ingin menemukan
sesuatu yang kamu inginkan.”
Cowok itu hanya tertawa kecil, tidak menjawab apa
pun. Ia terus menggali dengan diam.
Akhirnya, di depanku ada lubang yang dalam. Cukup dalam
untuk mengubur Shiro.
“Apa ini kucingnya?"
Cowok itu melihat ke arah Shiro yang ada di dalam kotak.
“Ya.”
“Namanya?”
“Aku memanggilnya Shiro.”
“Karena dia memiliki bulu berwarna putih?"
“Iya. Sederhana bukan? ”
“Yah, kupikir itu nama yang bagus. Pepatah
mengatakan kalau nama adalah gambaran dari orangnya. ”
Setelah mengubur bangkai Shiro di dalam tanah, kami
bertepuk tangan dua kali untuk berdoa. Kami tidak membangun
kuburan. Aku adalah orang yang berdoa, tetapi aku tidak tahu harus berdoa
apa.
“Saat aku pertama kali bertemu dengannya, Si kecil ini
sedang sendirian di selokan.”
Cowok itu hanya mendengarkan diam-diam, tidak merasa
curiga saat aku mendadak bercerita.
“Seminggu berlalu sejak itu. Sepertinya aku
dipanggil olehnya. Ketika aku bertanya padanya, Apa kamu ingin ikut, dia
mengeong seakan-akan menjawab iya. Tapi kehidupan Shiro hanya diperpanjang
satu minggu. Jadi kupikir. Jika dia tinggal di selokan selama
seminggu, apa lebih baik begitu? Katakanlah, apa ada artinya untuk
memperpanjang umurnya hanya seminggu?”
Sama halnya dengan hidupku.
Aku menyaksikan orang tuaku dan Umi mati, dan menipu
kematian. Tapi kenyataan tidak selalu hanya hal yang baik. Aku tidak
tahu kapan itu dimulai, tapi aku terus bertanya, mengapa aku ingin terus hidup.
Di langit Musim Dingin, aku menemukan aliran kuat Sirius.
Dalam bahasa Yunani, cahaya putih kebiruan yang berarti
panas. Kalau begitu, aku seharusnya menghilang dalam nyala api saat itu.
Tapi kenyataannya aku masih hidup. Aku memilih untuk
hidup atas kemauanku sendiri, dan sejak malam aku kehilangan segalanya, aku
telah mencari alasanku untuk hidup.
“Walau begitu, kau tetap menemaninya, ‘kan?”
Cowok itu, yang dari tadi mendengarkan dengan tenang, ikut
berbicara,
“Jika kau bertanya apakah ada artinya membiarkan hidup
Shiro seminggu lebih lama, kurasa jawabannya ada di dalam hatimu. Dia
mendapatkan cintamu, sehingga kematiannya membuatmu sedih. Hanya itu saja sudah
membuatnya bahagia. Yeah, Itu mungkin karena……
–Kau takkan melupakan seminggu ini, ‘kan?”
Ucapnya menyimpulkan.
“Apa itu tujuan hidupnya?”
“Kurasa begitu. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan
Shiro, tapi itulah yang aku pikirkan. Jika seseorang dapat tetap berada di
hati orang tertentu dan dicintai, itu adalah berkah bagi Kehidupan.”
Kata-kata cowok itu terukir sangat dalam di hatiku.
Begitu ya. Jika aku bisa tetap berada di hati orang
tertentu, maka ada tujuan hidup. Jika aku bisa melakukannya, mungkin aku
bisa menemukan sedikit arti dalam hidupku.
Aku melihat ke arah cowok di sebelahku. Cowok sok akrab
ini mungkin bisa mengingatku, tak peduli berapa tahun setelah aku menghilang.
Aku sudah berpikir bagaimana menggunakan hidupku.
Yup. Aku sudah memutuskannya.
“Hei, siapa namamu?”
“Haruyoshi Segawa. Kau sendiri?”
Keberadaan bocah itu mengambil bentuk Haruyoshi Segawa di
hatiku.
Aku tidak mengatakan ini kepada Segawa-kun.
Hei, Segawa-kun.
Tolong sukailah aku.
Tolong tandai aku di dalam hatimu, dan ingatlah aku
selamanya.
Ketika kenyataan itu terjadi, tentunya, aku akan–
Seraya memikirkan tentang itu, wajahku jadi berseri-seri,
“Aku Shiina Yuki. Senang bisa bertemu denganmu. ”