Hello, Hello, and Hello Chapter 05 Bahasa Indonesia

Pertemuan 137 - Melampaui Kata-Kata yang Hilang

“Boleh aku duduk disini?”
Aku didekati oleh seorang gadis yang belum pernah aku temui sebelumnya.
Ini terjadi ketika aku berada di perpustakaan kota, saat sedang menyelesaikan tugas musim panas.
Suara jernihnya bak bel angin gemerincing.
Aku memeriksa ke sekelilingku, dan melihat kalau meja-meja lain sudah ditempati oleh siswa lain yang sama seperti diriku. Kebanyakan dari mereka menggunakan seri buku merah, buku khusus yang berisi soal-soal ujian masuk perguruan tinggi. Setahun kemudian, aku mungkin akan seperti orang-orang ini.
“Iya, silahkan saja.”
Aku hendak membereskan buku-buku yang tak terpakai dari meja, “Ngga usah.” Tapi dia melambaikan tangannya, “Aku cuma mau membaca. Ngga usah repot-repot beresin segala. Apa kamu sedang mengerjakan tugas musim panasmu?”
“Ya.”
“Kalau begitu aku akan membaca dengan tenang.”
Dia meletakkan jari telunjuk di bibirnya, seakan tidak ingin menggangguku. Giginya yang putih pucat terlihat sedikit, dan kesan pertama yang kudapatkan darinya ialah dia sedikit tidak dewasa. Meski begitu, dia tampak sedikit lebih tua dariku. Disposisi-bijaksana, dia tampak agak santai.
Seperti yang dia katakan, dia hanya diam-diam membolik-balik halaman, tapi kadang-kadang, dia akan tertawa kecil, atau bersenandung. Aku merasa terpesona oleh suaranya, lalu memandang ke arahnya, dan kemudian, aku menundukkan kepala. Aku merasa sedikit bersalah, maaf, aku meminta maaf padanya. Dia tampak sedikit terkejut dengan permintaan maafku.
“Kenapa kamu yang meminta maaf?”
Dia tertawa kecil. Serius, aku ingin mendengar suaranya lagi.
Keinginan itu terpenuhi lebih cepat dari yang aku harapkan. Aku pergi ke toilet, dan setelah kembali, aku melihat kalau dia tidak sedang membaca bukunya, melainkan melihat buku tugasku.
Aku kembali ke tempat dudukku, dan dia berbisik kepadaku,
“Jawabanmu untuk pertanyaan ketiga salah.”
Dia mengambil pensil mekanikku, dan mulai menulis. Dalam satu menit, dia sampai pada jawaban yang berbeda. Aku menengok, dan melihat kalau jawabannya sama persis dengan yang ada di lembar jawaban.
“Kamu kurang mahir di matematika? Mau aku ajari?”
Dia tersenyum manis, jari-jarinya yang ramping dengan lembut menarik rambutnya ke belakang telinganya. Tiba-tiba, ada aroma manis yang tercium hidungku. Aroma apa ini? Setelah berpikir sejenak, aku mendapatkan jawabannya–
Ini aroma sakura.
Itu terjadi di musim panas, saat aku di kelas 2 SMA.
Begitulah caranya aku bertemu Yuki Shiina.

uuuu

Aku menghirup udara pagi dan berlari keluar rumah.
Tugas musim panas, alat tulis, dompet, smartphone, dan handuk. Setiap langkah yang aku ambil, barang-barang di tasku bersentuhan dan berdentangan.
Aku melangkah maju, dan dunia mulai berputar sedikit lebih cepat. Jadi aku terus berlari seiring dengan emosiku. Di tengah jalan, aku berbelok ke kanan, dan menuruni jalur joging di tepi sungai. Kilau cahaya muncul di permukaan sungai, dan sepertinya udara dipenuhi dengan cahaya musim panas. Fuu, haa. Keringat mulai muncul di dahiku.
Setelah aku meninggalkan klub lari di SMP, aku mulai berlari secara teratur, tapi tubuhku sangat lamban dibandingkan dengan yang dulu. Yah, ini sudah cukup, pikirku. Semuanya sudah menjadi bagian dari masa lalu.
Pada hari musim panas terakhir saat SMP, aku melampaui seseorang yang aku 'kagumi'.
Tanpa aku sadari, garis finish sudah berada di belakangku. Ah, akhirnya aku melakukannya. Itulah yang aku pikirkan pada saat itu, aku tidak terlalu berharap. Tapi, nyatanya aku sudah melewati garis finish.
Itulah tempat yang akhirnya aku capai setelah berlari selama 3 tahun di SMP.
Aku merasakan sesuatu yang meledak di hatiku.
Itu adalah sesuatu yang sudah aku tinggalkan.
Itu adalah sesuatu yang aku pasrahkan.
Itu adalah sesuatu yang telah berakhir.
Aku melambat, diam-diam menunggu hal tersebut untuk tenang. Di samping kakiku ada bayangan hitam yang berbeda. Suara jangkrik bisa terdengar dari jauh. Ingatanku perlahan terbangun.
Sepertinya aku sendirian ketika sedang memecahkan rekorku pada hari terpanas di musim panas itu dan mengakhiri karir klub lariku, ‘kan?
Sambil memikirkan ini, mendadak aku mendengar suara seseorang.
“Apa yang kamu lakukan berdiri di tengah jalan begitu?”
Itu mengejutkanku.
Ternyata suara itu milik teman sekelasku, Akane Rindou.
Rambutnya yang sedikit lebih pendek dari kebanyakan gadis, menutupi dahinya, dan butiran-butiran keringat mengalir dengan tenang.
Meski sekarang sudah liburan musim panas, tapi dia mengenakan seragamnya ketimbang pakaian kasualnya. Apa dia ada kegiatan klub?
“Cuma sedikit melamun.”
Ahahaha. Aku mencoba menutupinya dengan tawa, tapi Akane bertanya dengan cemas.
“Apa kamu kena dehidrasi? Apa kamu baik baik saja? Mau kubelikan air? ”
“Aku hendak pergi ke perpustakaan. Disana ada AC, jadi jangan khawatir. Apa kau ada kegiatan klub sekarang, Akane?”
Akane duduk di sepedanya, dan keranjang di bagian depan ada tas yang dimasukkan ke sana dengan cara acak-acakan. Ini adalah tas oranye yang akan selalu dia bawa untuk kegiatan klubnya, dan aku sering melihatnya.
“Mesum.”
Akane mengartikan pandanganku sebagai sesuatu yang lain.
“Apa?”
“Kamu melihat tasku. Kamu tahu apa yang ada di dalamnya, bukan? ”
“Baju renangmu, ‘kan? Aku cuma melihat tasnya. Jangan seenaknya memanggilku dengan panggilan mesum. ”
Tapi setelah mendengar jawabanku, Akane melirik dengan nakal.
“Ehehe sayang sekali. Ini pakaian dalam.”
“Mengapa?”
“Karena aku sudah memakai baju renangku.”
Akane mengangkat sedikit roknya. Baju renang sekolah hitam bisa terlihat.
“Akane, sekedar mengingatkan, jangan pernah lakukan itu meski itu adalah pakaian renang. Bukankah ada lagu lama dengan lirik, 'semua cowok itu mesum, jadi teruslah waspada'. ”
“Tuh, ‘kan? Lagipula kau mesum.”
Akane tersenyum dengan gembira. Aku pasrah menerima kekalahanku
Tiba-tiba, aku menyadari kalau hal yang mengamuk di dalam diriku telah menghilang sepenuhnya. Ketimbang hal itu, ada sesuatu yang sedikit lebih jujur, mencoba mengintip. Baju renang, baju renang. Bagian bawah rok yang tidak bisa dilihat mengusik naluriku sebagai cowok.
Yah, mau bagaimana lagi, ‘kan? Jadi aku bergumam dan membela diri.
Lagipula aku anak kelas 2 SMA yang sehat.
“Terima kasih.”
Aku berkata dengan malu-malu, dan Akane segera tertegun, lalu melarikan diri dariku.
“Da-Dasar ca-ca-cabul– !!”
Jadi, kenapa kau memanggilku cabul setelah aku mengucapkan terima kasih?
Setelah berpikir sejenak, aku menyadari kesalahanku.
Apa aku ini bego? Mengucapkan terima kasih setelah melihat rok yang terangkat? Diriku yang cabul.
“Tidak, ini berbeda, Akane.”
“Apa bedanya?”
Tanya dia dengan nada jijik.
“Aku emang mesum, tapi aku bukan orang cabul.”
“Apanya yang beda coba?”
Akane terus melangkah lebih jauh. Ah, aku bilang itu berbeda, beneran. Tapi semakin aku menyangkalnya, jarak antara kami semakin melebar. Sampai pada titik, kami berada di jarak saling berteriak, bukan jarak saling bicara.
“Hei – cabul–!”
“Berhenti memanggil cabul seolah-olah itu namaku. Namaku bukan itu, tau. ”
“Hei, cowok cabul. Kamu masih ingat janji lusa nanti?”
Ahh sial, tidak bisa menyangkal apa yang baru saja aku akui.
“Ingat!! Jam 6 sore di kuil, ‘kan?”
“Ya-! Aku-!”
“Hm?”
“Sangat menantikannya!!”
“Oke!”
“Aku akan memakai yukata, jadi nantikan itu, cowok cabul!”
Begitu dia mengatakan itu, Akane mengayuh sepedanya tanpa mendengar jawabanku. Aku menyaksikannya pergi ke sekolah, memikirkan hal yang sepele. Ahh, itu benar-benar tidak perlu.
Memangnya orang bakal memberitahu seseorang ketika ingin mengenakan yukata?

❀❀❀

Aku sedang berada di lobi perpustakaan, tengah melepas dahaga. Air dingin yang kuminum mengalir melalui tenggorokanku, dan langsung menuju ke perutku.
Dulu, aku kesulitan melakukannya, karena aku kesulitan menurunkan kepala untuk minum. Air di mulutku selalu tumpah karena gravitasi.
Sejak kapan aku bisa minum seperti ini?
Ingatan ini tetap tersimpan di sudut kesadaran samarku, dan berbeda dari ingatan lain. Ini seperti makan, pergi ke toilet sendirian, atau naik sepeda.
Aku kira itu sama, entah bagaimana, aku belajar cara melakukannya.
Setelah memuaskan tenggorokanku, aku pergi ke ruang belajar mandiri. Aku menggeser pintu kaca ke samping, dan udara di ruangan ber-AC menyelimuti diriku. Rasanya sangat nyaman.
Aku menemukan sosok Yuki di meja dekat dinding.
Pada hari pertama kami bertemu, dia membawa dua buku di atas meja, dan sedang membaca salah satunya. Sudah tiga hari sejak kami bertemu, namun dia belum membaca buku kedua-nya, dan alasannya adalah karena diriku. Sejak hari itu, aku merepotkannya dengan dengan tugas-tugasku. Terutama tugas Matematika; tanpa bantuannya, aku takkan bisa menyelesaikan sebagian dari tugas yang ada.
“Selamat pagi.”
Aku mendekati Yuki, dan duduk di seberangnya.
“Selamat pagi, Yoshi-kun.”
“Maaf aku terlambat.”
Kami tidak janjian untuk bertemu, tapi aku meminta maaf. Aku merasa kalau aku sangat berutang padanya, dan datang terlambat merupakan hal yang tak baik bagiku.
Aku berangkat dari rumah lebih awal, dan berlari karena aku takut terlambat, tapi percakapanku dengan Akane hari ini tak kusangka menyita banyak waktu. Aku akan berangkat dari rumah sedikit lebih awal besok, gumamku sembari memutuskan hal tersebut.
“Tidak apa-apa. Jangan khawatir. Aku juga baru sampai kok. ”
“Tapi aku tidak bisa membuat seorang gadis menunggu.”
“Hmmm, kamu perhatian juga, Yoshi-kun. Kamu masih sama seperti sebelumnya.”
“Eh?”
“Bukan apa-apa. Ngomong-ngomong, apa kamu sudah menyelesaikan pertanyaan kemarin? ”
“Belum. Aku masih tidak mengerti. Rumus yang dipakai sudah  benar, tapi jawabannya masih belum ketemu.”
“Hmm, kamu selalu membuat beberapa kesalahan kecil Yoshi-kun. Jika kamu masih belum menemukan jawaban yang benar, biasanya karena masalah itu. Coba lihat sebentar.”
Yuki mengambil buku catatanku, setelah mencari-cari kurang dari satu menit, dia mengucap “ahh” seakan menemukan sesuatu.
“Lihat? Ini kesalahan kecil yang kamu lakukan.”
Yuki tampak sedikit tercengang, dan menunjuk simbol operasi.
Sepertinya aku lupa memberi tanda minus.
Ahahahaha, aku mencoba untuk menertawakannya, dan malah diselentik oleh Yuki. Lalu, Aku secara naluriah memegang dahiku. Rasanya tidak terlalu sakit, mungkin karena dia menahan diri.
“Maaf.”
“Lain kali hati-hati.”
“Iya, Sensei.”
Yuki mungkin terlalu menyukai bagian kata 'sensei', karena ada senyum yang menyilaukan menghias wajahnya.
“Anak baik.”

❀❀❀

Kami menghabiskan seluruh waktu belajar sampai jam tutup perpustakaan, tetapi matahari belum terbenam. Aku masih bisa melihatnya sepenuhnya dengan jelas.
Matahari terbenam mewarnai dunia dengan cerah, menyeret bayang-bayang kita.
Aku menemani Yuki ke stasiun, seperti biasa, dan dia menginjak bayanganku. Tempat yang diinjak tepat di hatiku.
“Apa yang sedang kau lakukan?”
“Menginjak bayanganmu. Sekarang kamu akan menjadi seperti diriku, Yoshi-kun. ”
“Eh? Memangnya ada aturan semacam itu dalam permainan menginjak bayangan? Aku ingat aturannya lebih seperti kejar-kejaran. ”
“Apa? Jadi kamu tidak mau menjadi seperti diriku, Yoshi-kun? ”
“Apa maksudmu, seperti dirimu?”
Yuki meletakkan jari telunjuknya di dagunya, dan menggoda,
“Errm, menjadi gadis cantik?”
“Jangan membual terus.”
Ehhh, aku menepak kepalanya, dan dia menjerit seperti kesakitan, Aduh, sakit tau. Dasar kejam, memukul seorang gadis. Dia terus menggerutu, dan aku terus mendengarkan suaranya yang menyenangkan, mengabaikan keluhannya.
Yuki yang cemberut sangat imut, dan aku terus menatapnya.
Kami terus berjalan, dan posisi bayangan berubah. Bayangan Yuki bergeser ke kakiku, sementara aku mengikuti dari belakang.
“Sekarang giliranmu, Yuki.”
“Umu.”
Kami terus berjalan, memeriksa posisi matahari tepat di bawah kaki kami ketika kami mencoba untuk saling menandai. Beberapa saat yang lalu, kupikir bayanganku bergerak ke arah Yuki, tetapi pada saat selanjutnya, bayangan Yuki bergeser ke arah kakiku. Bahkan di tempat yang berbeda, aku bisa melihat banyak pemandangan berbeda.
Dari waktu ke waktu, kami berbelok ke kiri, lalu ke kanan, dan masuk ke gang. Kami hanya fokus pada posisi matahari, dan tanpa kami sadari, kami tidak tahu di mana kami berada.
Akulah orang pertama yang menyadarinya.
“Yuki, apa kau tau daerah ini?”
“Nggak. Sama sekali tidak tahu.”
“Yah, lagipula tidak terlalu jauh juga, jadi kurasa kita baik-baik saja. Ayo putar balik.”
“Kamu benar.”
Aku hendak berbalik, tapi Yuki tiba-tiba meraih tanganku, jari-jarinya terjalin dengan tanganku. Pada saat itu, saraf di tubuhku langsung membeku. Jari-jari Yuki bergerak-gerak dengan kikuk, berusaha meredakan keteganganku, dan begitu dia menemukan cara untuk mengunci jari-jarinya, dia menggenggam tanganku dengan erat. Dengan demikian telapak tangan kami saling bersentuhan.
“Eh?”
“Ah, maaf, aku takut tersesat, jadi….”
“Erm, apa kau mengkhawatirkan itu?”
“Tidak. Umm, ini kebiasaanku sejak kecil. Aku berpegangan tangan dengan adikku, untuk memastikan kalau dia tidak tersesat. ”
“Begitu ya. Yah, aku juga pernah mengalami itu. ”
Dia tak berniat untuk melepaskan tanganku, jadi aku tidak mengucapkan apa-apa lagi, dan memegang tangannya dengan lembut.
Aku tak tahu seberapa banyak tenaga yang harus aku gunakan, dan sulit untuk mencari tahu. Adik perempuanku Natsuna memiliki tangan yang lebih kecil daripada Yuki, tetapi ini adalah situasi yang berbeda. Aku jauh lebih gugup memegang tangan Yuki.
“Lebih erat lagi.”
“Eh?”
“Aku tahu kamu merasa khawatir, Yoshi-kun. Kamu ingin memperlakukanku dengan lembut. Tapi sekarang, tolong pegang tanganku sedikit lebih erat, sama seperti ketika kamu meraih tanganku di minimarket.”
“Apa kejadian itu pernah terjadi?”
Mendengar balasanku, untuk beberapa alasan, Yuki mengerahkan lebih banyak kekuatan di tangannya, tampaknya dia marah.
“Ow.”
“Tenaga sebanyak ini juga baik-baik saja.”
“Tapi bukannya nanti akan terasa menyakitkan?”
“Aku ingin kamu memegang tanganku ... erat. Tolong jangan lepaskan. ”
“Baiklah.”
Jadi aku dengan hati-hati mengerahkan tenaga ke tanganku. Telapak tanganku mulai memanas, pipi serta telingaku juga ikutan terasa panas. Aku diam-diam berharap kalau telapak tangan yang panas ini takkan melepaskannya. Apa ini?
Nama kehangatan yang kurasakan ini adalah–
“Ya, sesekali tersesat rasanya tak terlalu buruk juga”
Yuki mengangguk puas.
“Eh, ah, ya. Kurasa sesekali melakukan sesuatu yang tak biasa memang tidak terlalu buruk.”
“Bukan itu yang aku maksud.”
Kami memutar balik sebentar, dan melihat jalan yang sudah kami kenali. Sepertinya kami baru saja masuk ke sisi jalan yang jauh dari jalan yang biasa. Menjorok turun, kami bisa melihat aula publik, dan kami tiba di jalan utama.
“Apa? Jadi, kita tidak benar-benar tersesat. ”
Yuki tiba-tiba melambaikan tangannya, tersenyum padaku. Tanganku ditarik, dan aku akhirnya melambai juga. Ahahaha. Yah biarlah, yang penting Yuki terlihat senang. Aku akhirnya mengayunkan tanganku juga. Tubuh kecil Yuki tak pernah jatuh, dan ditarik kembali karena mundur. Ahahaha. Aku pun ikut tertawa.
Aku pikir itu akan berlanjut, tapi Yuki dengan cepat berhenti.
Dia berhenti mengayun, dan mendadak diam ketika dia melihat papan reklame di ruang publik. Apa ada sesuatu yang langka di sana?
“Ada apa?”
“Itu.”
Yuki menunjuk poster festival musim panas lokal. Pamflet hitam itu berisi foto kembang api. Pada waktu seperti ini, poster-poster seperti itu akan ditempelkan di seluruh jalan-jalan perbelanjaan dan sejenisnya; jadi, ini bukanlah pemandangan langka.
“Ahh, festival Nobume? Dua hari nanti. Aku-“
“Hei, Yoshi-kun, jika kamu punya waktu….”
“Tapi aku sudah janji untuk pergi dengan teman sekelasku.”
Yuki yang telah mengambil keputusan, memanggilku, dan kata-kataku yang tertinggal tumpang tindih dengan ucapannya.
““Eh???””
Reaksi, tanggapan, dan emosi kami hampir dilakukan secara bersamaan. Namun, Yuki kembali tenang  sebelum diriku. Aku sendiri masih belum bisa tenang; hatiku masih terasa kacau.
“Kapan?”
“Eh?”
“Kapan kamu diajak?”
“Ehh ... dua hari yang lalu. Aku hanya ngikut semua yang ada di kelas. ”
“Dua hari yang lalu? Awal liburan musim panas ya, aku ceroboh.”
Yuki mendongak ke atas, tampak frustrasi oleh sesuatu saat dia menutup matanya. Rambut depannya terurai ke wajahnya. Yah, aku menyaksikan lehernya yang mulus itu indah. Dia mengerutkan kening, mendesah, dan mengikhlaskan. Suhu tubuhnya menjadi jauh.
“... Kurasa janji itu akan hilang juga.”
Yuki meninggalkanku, dan pergi menjauh. Aku bisa saja mengatakan "Tunggu", tapi aku masih dilanda kebingungan, tidak bisa mengucapkan kata sesederhana itu.
Sedikit lebih jauh dariku, Yuki berbalik, dan lalu menatapku. Ketika cahaya matahari menyinari punggungnya, aku tidak tahu ekspresi macam apa yang dibuatnya.
“Selamat tinggal.”
Yuki kemudian berbalik lagi untuk pergi. Ketika dia mengucapkan selamat tinggal, aku secara alami berpikir kalau kami akan bertemu lagi pada esok hari, jadi aku melambai padanya, byebye,
Tetapi pada hari berikutnya, dan lusa, Yuki tak pernah muncul lagi di perpustakaan.

❀❀❀
(Perubahan Sudut Pandang)
“Jika kamu tidak memakai ini, itu akan terlihat jelas.”
Aku mendengar suara seseorang ketika aku hendak mengenakan yukata. Itu adalah suara serak orang tua yang tegas, dengan dialek yang tidak dikenal. Ya ya. Letakkan tangan melalui lengan baju, dan tarik. Bukannya sudah bagus sekarang? Langsung keluar sisi itu. Tidak bisa berpakaian di sana. Yap, terlihat bagus.
Aku melihat sekeliling, tetapi tentu saja, hanya ada aku di kamar hotel ini.
Di sebelah sini aku harus melilitnya.
Sudah setahun sejak aku tidak mengenakan yukata, tapi aku berhasil memakainya dengan bantuan suara nenek tua yang membimbingku. Yukata yang kupakai adalah yukata biru tua, bermotif ikan mas merah dan hitam yang berenang di sungai. Ini adalah sesuatu yang nenek tua tinggalkan untukku, meski aku hanya bertemu beliau sekali, dan tidak tahu namanya sama sekali.
Aku berputar-putar di depan cermin, memeriksa apakah ada kerutan di yukata. Tidak ada, sempurna. Sayang sekali, yukata-ku sepertinya tidak sesuai dengan suasana kamar bergaya Barat ini.
Yukata benar-benar cocok dengan rumah tua nostalgia tempat nenek itu tinggal.
Musim panas tahun lalu, aku bertemu nenek tua itu.
Pada hari itu, aku akan pergi ke festival musim panas bersama Yoshi-kun. Jika membicarakan festival musim panas dan kembang api, maka yukata juga harus disebutkan. Jadi, aku pergi ke rumah tua biasa.
Sebenarnya, aku selalu ingin tahu mengenai tempat itu.
Ada papan nama dengan tulisan 'Rental Yukata / Kimono'. Aku menggeser pagar yang tingginya sepinggang, dan diikuti suara derit tersebut, aku melihat jalan yang menghubungkan ke rumah. Nenek tua itu berada di ujung rumah, sedang mengepakkan kipasnya.
Dia menyipitkan matanya, dan karena keriput, untuk sesaat, aku tidak tahu di mana dia melihat. Rambut putih bersihnya terlihat terawat, halus dan berkilau.
“Ada apa. Siapa kamu?”
Suaranya terdengar keras, tapi ada kehangatan di dalamnya. Kenapa bisa begitu?
“Erm, aku melihat papan nama di luar. Aku ingin menyewa yukata dari anda, nek.”
“Papan nama. Papan nama. Ahh, yang itu ya. Aku sudah tidak melakukan itu lagi, Maaf.”
“Eh, begitu ya.”
Aku menurunkan bahuku dengan sedih. Aku benar-benar berharap untuk memakainya.
Meski beliau meminta maaf, nenek tua itu pergi dengan gembira.
“Tapi Nona, wajahmu cantik. Kamu ingin menjadi lebih imut, ya?”
“…Iya.”
“Untuk anak laki-laki?”
“Iya.”
“Kamu menyukainya?”
Nenek tua itu berseri-seri, tapi sayangnya, ini sedikit berbeda.
“Tidak. Tapi aku ingin Ia yang bilang kalau Ia menyukaiku.”
“Kamu ini gadis yang jahat, ya.”
“Anda pikir begitu?”
Tentu saja, aku tahu itu, tetapi aku berpura-pura tidak mengetahuinya.
“Yah, memang bagus bagi seorang gadis untuk menjadi bersemangat, tapi yah, kamu harus berpakaian lebih baik. Nenek tua ini tak bisa memakainya lagi, jadi anggap saja ini takdir, ya. Ini sesuatu yang bagus untukmu, Nona muda.”
Yoisho, nenek itu berusaha untuk berdiri, dan pergi dari teras menuju ke dalam rumah. Aku tidak tahu harus berbuat apa, jadi aku hanya berdiri di sana. Setelah beberapa saat, nenek itu memanggilku,
“Jangan bengong terus. Kemarilah. Nenek tua ini akan memberimu sesuatu yang bagus.”
Aku melakukan apa yang diperintahkan nenek, dan mengikuti di belakangnya. Hanya ada sedikit barang, apalagi perabotan, dan sepertinya hanya kebutuhan minimum yang ada. Ada lemari yang terlihat berkelas di antara barang-barang ini, dan nenek tua tersebut dengan hati-hati mengobrak-abriknya.
Ruangan itu dipenuhi aroma unik dari rumah tua. Udaranya kental, dipenuhi dengan berbagai hal, kehidupan, usia, kematian, pengalaman hidup manusia.
Aku melihat sekeliling ruangan, “Ah, ini, ini.” gumam si Nenek.
“Meski sedikit jadul, ya, tapi masih bisa dipakai. Ayo, buka bajumu dan pakai ini.”
Nenek itu mengeluarkan apa yang kelihatannya yukata biru tua yang mahal.
“Eh?”
“Ayo cepat.”
Dengan suara keras nenek yang tanpa henti memaksaku, aku menelanjangi diri, seperti yang diperintahkannya.
Dan tepat ketika aku hendak memakai yukata.
“Ya ampun, jika kamu tidak memakai ini, nanti bisa tembus pandang.”
Usai mengatakan itu, nenek memberiku baju dalam. Alih-alih dipakai dari lengan, slip yang jatuh dari dada ke pinggang tampak sangat menyedihkan. Aku sedikit ragu, merasa bimbang apa aku harus memakainya, tapi pada akhirnya aku mengenakannya dengan patuh.
“Ya ya. Letakkan tangan melalui lengan baju, dan tarik. Bukannya sudah telihat  bagus sekarang? Langsung keluar sisi itu. Tidak bisa berpakaian di sana. Yap, terlihat bagus. ”
Nenek itu memilih untuk tidak membantuku, dan berulang kali mengingatkanku ketika aku melakukan kesalahan. Sementara aku kesulitan bagaimana cara mengikat obi, beliau bertanya,
“Kamu hendak pergi ke festival Nobume-sama, ‘kan?”
“Iya.”
“Aku juga pernah ke sana bersama beberapa orang lain saat masih muda.”
“Iya.”
“Tapi sejak para tetua itu pergi, aku tak pernah ke sana lagi. Kembang api itu tampak sangat tak berwarna bagiku. ”
“Apakah begitu?”
“Ini bukan masalah usia. Hanya masalah perasaan saja. Itu salah. Ya, tahan di sana ya.”
“Seperti ini?”
“Ya. Kemudian tarik kembali. Benar, sudah selesai. ”
Sebelum aku menyadarinya, aku melihat diriku di cermin. Aku sedikit tersentuh.
“Hm, cantik sekali. Setiap laki-laki akan jatuh cinta pada kecantikan semacam dirimu. Pergilah ke sana dan buat Ia berkata 'Aku menyukaimu'. Ahh, pergilah ke sana dengan yukata ini dengan senyum imut tahun depan, dan tahun depannya lagi. ”
Aku berterima kasih kepada nenek itu, dan pergi ke tempat janjian untuk bertemu dengan Yoshi-kun.
Begitu Ia melihatku, matanya melebar. Aku belum pernah melihat ekspresinya seperti itu sebelumnya. Setelah itu, Ia menggelengkan kepalanya seperti anak anjing yang basah kuyup. Sungguh imut sekali. Aku berharap Ia mengatakan kata-kata seperti itu, jadi aku sedikit tidak senang dengan jawabannya. Kurasa aku sedikit senang melihat wajahnya yang memerah.
Kami berjalan menyusuri jembatan, berdampingan, dan menunggu pertunjukkan kembang api sambil makan es serut.
“Kau tahu, Yuki? Sirup es serut semua rasanya sama, cuma warnanya saja yang berbeda. ”
Aku berdiri di sebelah Yoshi-kun, yang lidahnya berwarna lemon, dan membawa es biru ke mulutku. Awalnya terasa kenyal, tetapi semakin aku mengunyah, esnya meleleh, dan menjadi tak bertekstur.
“Begitu ya.”
Sebenarnya, aku tahu hal itu.
Hal itu ditulis dalam novel yang aku pinjamkan pada Yoshi-kun, tapi Ia tidak tahu itu. Kenyataannya mungkin berubah sedemikian rupa sehingga Ia akhirnya meminjam novel dari perpustakaan.
“Aku pernah membacanya di novel.”
“Jadi itu milikku punya rasa yang sama dengan milikmu.”
“Yah kemungkinan begitu.”
“Aku ingin mencobanya.”
Sebelum aku mendapat persetujuan Yoshi-kun, aku mengambil sesendok es lemon dari cangkirnya, menggunakan sendokku, dan memakannya. Ah. Serunya. Aku merasa rasanya sangat manis.
“Bagaimana?”
“Hmm, tidak tahu. Bagaimana kalau kamu juga mencobanya? ”
Kali ini, aku menyendok dari milikku, dan menjulurkan ke arahnya. Pada saat yang sama, dia agak kelagapan, tapi aku pura-pura tidak menyadarinya. Ada apa? Aku memiringkan kepalaku.
Dua detik kemudian, Yoshi-kun menyerah saat Ia menggigit sendok yang kujulurkan.
“Bagaimana rasanya?”
“Hmm, entah. Ini seperti rasa yang sama, tapi sedikit berbeda. “
“Yah, yang namanya manis tetap saja manis.”
Kami melanjutkan dengan obrolan santai, dan lalu sebuah kembang api mekar di udara, seolah-olah mengakhiri pembicaraan kami sebelum memudar. Dentuman suara kerasnya mengguncang hati kami, dan kembang api, yang berwarna seperti lidah kami, secara bertahap mewarnai dunia secara berbeda. Biru, hijau, kuning, merah.
“Cantik sekali.”
Ujarku dengan nada takjub.
“Ya.” Balasnya.
Setelah itu, banyak hal berkembang secara alami.
“Aku ingin melihat ini lagi bersamamu tahun depan, Yoshi-kun.”
“Oke. Ayo kita lihat lagi tahun depan. ”
Mungkin ini pertama kalinya sejak kecelakaan itu, aku sangat menantikan melihat masa depan setelah momen ini.
………………………………………………………………..
………………………………………………………..
………………………………………..
……………………………
……………..
Ya, masa depan itu tidak pernah terjadi.
Aku sendirian, mengenakan yukata yang sama, dan pergi ke kuil sendirian.
Setiap langkah yang aku tapaki, geta yang sedikit lebih besar dari kakiku berbunyi. (TN : sandal kayu)
Aku tiba di rumah tua yang telah dijual, dan menghentikan langkahku.
Pagarnya dikunci oleh benda-benda seperti kawat logam. Ini sudah seperti ini sejak beberapa hari usai festival tahun lalu.

Pergilah ke sana dan buat Ia berkata 'Aku menyukaimu'.

Nenek tua yang tersenyum dengan beberapa gigi tersisa sudah tidak ada lagi.
Yukata ini adalah satu-satunya bukti bahwa aku pernah berinteraksi dengannya.
“Maafkan aku, nek. Anda sudah melakukan begitu banyak untuk mendandaniku, namun aku tidak bisa melakukannya. ”

❀❀❀❀
(TN : Perubahan sudut pandang lagi, sekarang dari sudut pandang MC)
Aku pergi ke kuil, dan untuk beberapa alasan, langkah kakiku terasa berat.
Bukannya aku tidak senang pergi ke festival, tapi aku sudah seperti ini sejak kemarin. Pikiranku selalu memikirkan gadis tertentu.
“Oh, kau beneran datang, Segawa.”
Teman-teman sekelas yang berkumpul di halaman kuil berseru saat melihatku.
Biasanya, aku takkan berpartisipasi dalam pertemuan kelompok semacam ini, jadi mereka mungkin sangat terkejut melihat kehadiranku.
Aku biasanya pergi sendirian, dan mereka mungkin memiliki pandangan kalau aku suka sendirian. Itu sama saat Festival Nobume tahun lalu. Aku makan es serut sendirian, dan menyaksikan kembang api sendirian.
Para lelaki mengenakan pakaian yang sama, entah setelan kolor yang cocok, atau celana jeans yang cocok. Beberapa gadis memakai yukata. Omong-omong, Akane menyebutkan kalau dia akan mengenakan yukata.
“Hei, itu tidak sopan. Bukannya aku sudah bilang kalau aku akan datang, jadi aku beneran datang. ”
“Kenapa nadamu terdengar marah-marah begitu?”
Nada bicaraku terdengar kasar karena suatu alasan, dan teman sekelas yang lain menjauhkan diri dariku.
“Yah, Haru mungkin tidak terbiasa dengan ini. Mungkin Ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi.”
Mengaitkan leherku dengan lengan berototnya adalah temanku, Takuma. Yeah, ucapnya ketika dekat denganku, terdengar sedikit mengintimidasi dan khawatir. Rasanya terlalu kekanak-kanakan bila aku tidak mengubah sikapku setelah mengetahui hal itu. Aku mengendurkan otot-otot pundakku. Jarang-jarang bagi aku untuk diajak main keluar, jadi aku harus sedikit menikmatinya.
“Ah maaf. Sebenarnya, aku tidak banyak mengalami kemajuan dengan tugasku. Cuma sedikit kesal saja. ”
“Heh, jarang-jarang melihat Haru si murid teladan tidak bisa mengerjakan tugasnya.”
Aku mengerti apa yang Ia maksud, jadi aku dengan senang hati mengikuti arus.
“Ngajak berantem? Kaulah yang punya nilai bagus.”
“Yah, karena aku jenius.”
“Oi, kalian pengen ngegebukin Takuma kagak?”
Setelah mengatakan itu, beberapa anak laki-laki dengan sengaja bersorak setuju.
Aku akan memukulnya dengan baik. Woke, waktunya festival darah. Aku bisa mendengar kata-kata kejam seperti itu di luar imajinasiku. Tunggu, tahan dulu, serius, jangan lakukan ini. Ow Orang bego mana yang tadi mukul? Takuma dikelilingi oleh orang-orang, berteriak; Aku bertukar pandang dengannya, dan melihat dirinya masih tertawa. Aku mengangguk padanya. Suasana canggung dari sebelumnya telah hilang dalam sekejap. Ini pasti bagus. Lihat, penting sekali untuk terus berjalan sampai akhir, tapi kita masih anak-anak. Tak perlu bersikap begitu keras kepala.
Takuma kemudian meminta pertolonganku, bantuin gue, oi. Dia mengerjap beberapa kali, memberiku beberapa ekspresi kaku.
Secara alami, aku menggelengkan kepala.
Adapun apa yang harus aku lakukan, situasinya sudah di luar kendali. Yang benar saja. Usai mengucapkan kata-kata pasrah seperti itu, tubuh besar Takuma berjongkok saat Ia menutupi kepalanya, menghilang dalam kerumunan saat dirinya terus dipukuli oleh anak-anak kelas. Aku bertepuk tangan. Namusan.
Tiba-tiba, aku merasa ada yang menatapku.
Aku menoleh, dan menemukan seorang gadis yang agak jauh dari kami. Dia tampaknya sedang melihat sesuatu yang menyilaukan saat dia menyipitkan matanya. Dia mengenakan yukata biru tua, dengan pola desain yang menggambarkan sungai dengan ikan mas merah dan hitam di dalamnya.
Aku ingin memanggil namanya, dan keluar dari keributan. Saat aku hendak memanggil namanya, namaku dipanggil seseorang.
“Hei, Haru–“
Yang memanggilku adalah Akane. Seperti yang dia katakan, dia juga mengenakan yukata. Warnanya hijau polkadot, dengan pola bunga Morning Glories hijau dan kuning. Warna-warna cerah yang cocok untuk dirinya yang ceria.
Sementara aku terganggu oleh suara Akane, sosok gadis itu menghilang ke dalam kegelapan. Tempat dirinya berdiri tak ada siapa-siapa lagi.
Diam-diam aku memanggil namanya.
Namun, itu tidak ada gunanya.
“Yuki.”
Dan Akane, yang baru tiba di sampingku, memiringkan kepalanya dengan bingung?
“Yuki? Padahal ‘kan sekarang musim panas.”
Saat kami mengobrol, Takuma akhirnya berhasil kembali hidup-hidup dari jurang Neraka, dan memanggil semua orang. Ayo pergi. Ajaknya, sambil berjalan terhuyung. Aku pun mengikuti mereka di belakang.
Lalu, aku berhenti sebentar untuk menoleh kembali ke tempat itu dengan harapan, namun apa yang kudapatkan hanyalah harapan palsu belaka.

vvvv

Festival Nobume adalah festival turun temurun dari waktu 150 tahun yang lalu.
Rupanya, festival ini adalah festival untuk merayakan gadis kuil bernama Nobume yang menikahi dewa naga yang mengganggu umat manusia. Namun, dewa naga di sini merujuk pada sungai, dan festival ini diadakan untuk menghibur jiwa para gadis yang menjadi pilar manusia untuk menghentikan banjir.
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, orang-orang memukul drum dan meniup seruling untuk Nobume-sama.
Aku mendengar hiruk pikuk keramaian festival, dan duduk sendirian di tangga batu, menjaga barang-barang yang lain.
Lima ayam panggang mentega, baby castellas. Bagi anak SMA seperti kami yang memiliki uang saku terbatas, wajar-wajar saja untuk patungan pada acara-acara seperti ini.
Semua orang pergi membeli makanan yang gampang dibagikan.                                 
Setelah menunggu sejenak, Akane kembali sendirian. Dia memegang dua botol ramune, tiga tusuk daging sapi, dan sebungkus takoyaki. Maaf sudah membuatmu menunggu, katanya dengan malu-malu.
“Ini untukmu. Jaga rahasia ini dari yang lain.”
Ujarnya sambil memberiku botol berawarna biru muda.
“Buat aku?”
“Ya. Tapi ini hanya untukmu dan aku saja. Habiskan sebelum semua orang kembali.”
“Oke. Terima kasih. Apa semuanya sedang membeli yang lain? Mereka lama sekali. Apa mereka terlibat masalah? ”
Aku berterima kasih pada Akane dan menerima Ramune. Kurasa ramune ini di simpan dengan es, karena rasanya dingin. Aku memegang gelas marmer dengan lidahku, dan meminum air soda. Gelembung-gelembung itu meledak, menyebabkan sensasi pahit di dalam mulutku.
“Tidak, aku tidak tahu apakah mereka terlalu khawatir, atau terlalu pengertian.”
“Apa maksudmu?”
“Bukan apa-apa. Jika kamu tidak mengerti, lupakan saja. Kamu tidak perlu tahu.”
Akane duduk di sampingku, dia tampak tersipu saat mengangguk beberapa kali.
Sambil duduk di sebelahnya, aku melihat pemandangan yang ramai dari festival, terpesona saat mulutku berada di mulut botol Ramune, meneguk sedikit demi sedikit. Ada berbagai suara yang bergema, warna-warna mempesona yang menarik perhatianku, dan kerumunan orang yang berkumpul di sekitarnya. Berbagai hal memenuhi tempat festival.
Jadi aku terus mengobrol dengan Akane, setelah menunggu beberapa lama, tidak ada teman sekelasku yang muncul.
“Bukannya mereka terlalu lama? Aku akan pergi mencari mereka– ”
Setelah mengatakan itu, aku berniat bangun, tapi Akane mengucapkan…
“.. Aku merasa agak pusing sekarang.”
“Eh? Ah, ini festival. Wajar saja kalau kau merasa capek.”
“Hm? Sungguh? Kurasa begitu jika kamu mengatakannya.”
Angin sepoi-sepoi bertiup, membelai rambutku dengan lembut.
“Tapi kamu tampak sedikit terganggu hari ini.”
“... Kurasa tidak.”
Aku berkata jujur. Aku tidak berbohong. Aku benar-benar menikmati hari ini, bermain-main dengan Takuma dan yang lainnya, menikmati pemandangan gadis-gadis yang dibalut Yukata, menikmati suasana festival. Aku benar-benar menikmati semuanya, tapi–
“Lalu, kamu mau pergi kemana?”
“Sudah kubilang kalau aku akan mencari mereka.”
“Sungguh? Bukan itu, ‘kan? Kamu mungkin tidak menyadarinya, Haru, tapi Kau terlihat terganggu. Apa yang sedang kamu cari?”
Begitu dia bertanya, aku mendapati diriku terdiam.
Terganggu, ya?
Mungkin itu benar mengenai apa yang dikatakan Akane.
Aku bersenang-senang, bercanda ria dengan semua orang, tapi pikiranku sibuk dengan seseorang . Aku melihat sekeliling, bahkan ketika kami sedang mengantri di stand-stand, atau ketika menunggu di tangga batu dengan semua orang. Aku sebenarnya tidak mencari teman sekelasku. Aku tengah mencari Yuki
Hanya ada satu gadis yang ingin aku temui.
Hatiku mengingat kelembutan telapak tangannya, perasaannya, serta kehangatannya.
Begitu aku menyadari perasaan tersebut, tubuhku mulai bergerak.
“Maaf, waktu habis.”
“Eh?”
“Aku akan memanggil seseorang. Berkumpul kembali dengan semua orang terlebih dahulu, Yuki. ”
Tunggu, sementara Akane memanggil di belakangku, aku terus berlari.
Aku terus berlari, mencari, dan ingin mengajaknya untuk melihat kembang api. Aku ingin menggunakan semua keberanian yang aku kumpulkan untuk mengajaknya.
Apa dia akan terkejut? Apa dia akan bahagia? Jika dia bahagia, baguslah. Bila dia bisa tersenyum bahagia, itu bahkan  lebih baik.
Aku menuju ke kerumunan, melihat sekeliling, dan mencari. Adegan berubah saat aku berjalan ke area lain. Aku melihat sekeliling, namun belum berhasil juga, jadi aku terus berlari, mengulangi kejadian terebsut.
Di jalan, aku bertemu dengan Takuma.
“Haru, ngapain kau di sini? Bagaimana dengan Akane? ”
“Maaf, aku akan menjelaskannya nanti. Ini penting.”
“Ahh? Serius, kau mau pergi kemana? Hei, dimana Akane? ”
Suara sedih Takuma memudar di belakangku.
Dimana dia? Dimana Yuki berada?

❀❀❀❀
(Perubahan Sudut Pandang lagi~)
Dunia masih terasa sunyi seperti biasa. Rasanya seakan-akan waktu telah terhenti. Diam-diam aku menghitung mundur. 3, 2, 1, 0. Setelah itu selesai, aku bisa mendengar suara keras yang merobek keheningan, dan pada saat berikutnya, ada suara sorakan.
Sepertinya pertunjukkan kembang api sudah mulai.
Dipicu oleh suara kembang api, bayangan dari sebelumnya muncul di benakku. Ia dikelilingi oleh teman-teman sekelasnya, terlihat sangat bahagia, bersenang-senang. Entah kenapa, aku merasa hatiku sakit ketika melihatnya.
Aku benar-benar tidak bisa menangani perasaanku sendiri ketika aku mencari sumber suara.
Kembang api merah menerangi kegelapan.
Namun cahaya itu langsung lenyap.
Eh, ada apa? Itu aneh.
Aku memiringkan kepalaku.
Warna-warna dunia perlahan hilang.
Begitu pula suaranya.
Baru tahun lalu, aku mengtahui bahwa kembang api itu indah, tapi pada saat ini, mereka tampak hambar dan monoton, terlihat hitam dan putih di mataku.
Rasanya seperti aku menonton TV hitam putih tanpa suara.
Jadi ketertarikanku sudah hilang ya, menatap poster di depanku dengan enggan. Poster itu memiliki gambar kembang api tahun lalu. Warnanya hitam dan putih juga di sini. Ahh, sangat membosankan. Aku sedikit bosan. Padahal, akulah yang membuat janji tahun lalu.
Dan dengan suara yang tak bisa didengar orang lain, aku bergumam,
“Idiot.”

❀❀❀❀
(Sudut Pandang MC )
Mulainya pertunjukkan kembang api semakin membuatku cemas. Suara ledakannya terdengar cukup kuat untuk menembus udara malam. BANG. BANG. Saat kembang api berdentum, detak jantungku menjadi lebih kencang.
Tiga puluh menit lagi, pertunjukkan kembang api akan berakhir. Ada seseorang di luar sana yang meneriaki “Tamaya” selama pertunjukan, sementara di tempat lain ada orang  yang berteriak “Kagiya” dengan suara yang tidak kalah kerasnya.
Aku berlari ke belakang arena, jembatan yang merupakan tempat terbaik untuk melihat kembang api.
Dia tidak ada disini.
Aku bergegas menerobos kerumunan yang menuju ke stasiun. Ada anak-anak, bersama dengan kakek yang memegang tangan anak-anak tersebut. Ada lima anak SD. Orang yang mengambil foto dengan smartphone mungkin adalah mahasiswa.
Dan ketika semua orang melihat ke atas langit, hanya aku satu-satunya yang berlari.
Tenggorokan terasa sakit. Napas beratku tidak bisa tenang. Ahh. Rasanya sulit bernafas. Hah hah. Tak peduli seberapa banyak aku terengah-engah, oksigen yang kuhirup  tak cukup. Kepalaku pusing. Ini melelahkan. Hah, aku merasa tidak kuat lagi.
Aku mengelap keringatku yang bercucuran, dan menyeka keringat yang jatuh ke mataku. Meski tubuhku terasa sangat lelah, aku terus berlari.
Aku tidak bisa menemukannya, baik di stasiun maupun di perpustakaan.
Ahh, bintang milikku mulai. Berbagai suara bergema saat kembang api menerangi langit dengan warna-warna yang berbeda. Pertunjukkan sudah  hampir mencapai klimaks.
“Sialan.”
Aku mengumpat sambil terus berlari menuju gang tempat dimana aku pernah membawa Yuki.
Kami pernah berpegangan tangan, saling mengayun-ayunkan lengan, saling tertawa, dan menghabiskan waktu bersama.
Api menyala di langit gelap gulita, dan hujan cahaya menimpalinya. Pemandangan yang menakjubkan meluncur seperti bintang jatuh. Ketika aku terus berlari, aku diam-diam berdoa memohon kepada ratusan cahaya yang tertinggal.

–Ini bukan harapan konyol. Jadi tolong bantu aku.
–Bawa aku ke tempat gadis itu berada.

Aku melewati gang, dan terus berlari, namun aku langsung berhenti.
Cahaya samar-samar bilik telepon menyinari gedung sebelah yang kukenal.
Aku menghela nafas lega.
Yuki ada di sini.
Dia berdiri di papan iklan di depan aula publik, tangannya menyentuh poster festival musim panas. Dia memakai yukata yang kulihat dua jam yang lalu, tapi dia tidak melihat kembang api yang bermekaran di langit. Wajah sampingannya berwarna biru, kuning, hijau dan merah.
“Yuki.”
Aku merasa capek, mungkin karena rasa lega. Aku tak punya kekuatan untuk terus berlari, jadi aku terhuyung langkah demi langkah untuk mendekatinya.
“Kenapa kamu ada di sini?”
Wajah Yuki menunjukkan  kebingungan dan keterkejutan, dan dia mengerutkan kening, sebelum menatapku dengan tatapan tajam. Wajahnya secantik biasanya, dan dia yang mengangkat alisnya sedikit membuatku agak terintimidasi.
Tapi, meski begitu, aku tidak bisa mundur.
“Dengar, aku di sini untuk mendengar ucapan yang tidak kamu selesaikan.”
Kata-kata tertinggal yang menghilang ketika dia berbicara pada saat yang bersamaan dengan apa yang kukatakan.
“Kamu membicarakan itu sekarang? Yoshi-kun, kamu jahat.”
“Ya.”
Lima langkah lagi. Wajah Yuki menunduk ke bawah.
“Kamu tahu apa yang ingin aku katakan.”
“Yah kurang lebih.”
Empat langkah lagi. Sosok Yuki semakin dekat.
“Padahal kamu tahu apa yang ingin aku katakan, tapi kamu tidak mengatakan apa-apa.”
“Maaf.”
Aku mengambil langkah ketiga.
“Dan, dan, kamu itu laki-laki, dan kamu ingin seorang gadis mengatakan itu?”
Dua langkah lagi.
“Dasar tidak tahu malu.”
Dengan semua keinginanku, aku mengambil langkah terakhir.
Yuki tepat ada di hadapanku.
“Jadi aku akan mengulanginya lagi. Apa kau mau menonton kembang api bersamaku? Jika aku bersamamu, aku merasa senang.”
“…”
“Tidak mau?”
“…Tidak.”
“Kenapa?”
“Karena pertunjukkan kembang apinya sudah  berakhir.”
Yuki mengangkat kepalanya. Ada tanda kesedihan dan kemarahan di matanya, tetapi pada saat ini, dia terkikik.
“Kau juga sama jahatnya, Yuki.”
Saat Yuki menatap langit, kembang api kecil mekar di langit dengan suara bang.
Berdiri di samping Yuki, hanya aku satu-satunya yang melihat mata hitamnya, diterangi oleh cahaya merah.
close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama