Pertemuan 137 - Melampaui Kata-Kata yang
Hilang
“Boleh aku duduk disini?”
Aku didekati oleh seorang gadis yang belum pernah aku
temui sebelumnya.
Ini terjadi ketika aku berada di perpustakaan kota, saat
sedang menyelesaikan tugas musim panas.
Suara jernihnya bak bel angin gemerincing.
Aku memeriksa ke sekelilingku, dan melihat kalau
meja-meja lain sudah ditempati oleh siswa lain yang sama seperti diriku. Kebanyakan
dari mereka menggunakan seri buku merah, buku khusus yang berisi soal-soal
ujian masuk perguruan tinggi. Setahun kemudian, aku mungkin akan seperti
orang-orang ini.
“Iya, silahkan saja.”
Aku hendak membereskan buku-buku yang tak terpakai dari
meja, “Ngga usah.” Tapi dia melambaikan tangannya, “Aku cuma mau membaca. Ngga
usah repot-repot beresin segala. Apa kamu sedang mengerjakan tugas musim
panasmu?”
“Ya.”
“Kalau begitu aku akan membaca dengan tenang.”
Dia meletakkan jari telunjuk di bibirnya, seakan tidak
ingin menggangguku. Giginya yang putih pucat terlihat sedikit, dan kesan pertama
yang kudapatkan darinya ialah dia sedikit tidak dewasa. Meski begitu, dia
tampak sedikit lebih tua dariku. Disposisi-bijaksana, dia tampak agak
santai.
Seperti yang dia katakan, dia hanya diam-diam
membolik-balik halaman, tapi kadang-kadang, dia akan tertawa kecil, atau
bersenandung. Aku merasa terpesona oleh suaranya, lalu memandang ke
arahnya, dan kemudian, aku menundukkan kepala. Aku merasa sedikit bersalah,
maaf, aku meminta maaf padanya. Dia
tampak sedikit terkejut dengan permintaan maafku.
“Kenapa kamu yang meminta maaf?”
Dia tertawa kecil. Serius, aku ingin mendengar
suaranya lagi.
Keinginan itu terpenuhi lebih cepat dari yang aku
harapkan. Aku pergi ke toilet, dan setelah kembali, aku melihat kalau dia
tidak sedang membaca bukunya, melainkan melihat buku tugasku.
Aku kembali ke tempat dudukku, dan dia berbisik kepadaku,
“Jawabanmu untuk pertanyaan ketiga salah.”
Dia mengambil pensil mekanikku, dan mulai
menulis. Dalam satu menit, dia sampai pada jawaban yang berbeda. Aku
menengok, dan melihat kalau jawabannya sama persis dengan yang ada di lembar
jawaban.
“Kamu kurang mahir di matematika? Mau aku ajari?”
Dia tersenyum manis, jari-jarinya yang ramping dengan
lembut menarik rambutnya ke belakang telinganya. Tiba-tiba, ada aroma
manis yang tercium hidungku. Aroma apa ini? Setelah berpikir sejenak,
aku mendapatkan jawabannya–
Ini aroma sakura.
Itu terjadi di musim panas, saat aku di kelas 2 SMA.
Begitulah caranya aku bertemu Yuki Shiina.
uuuu
Aku menghirup udara pagi dan berlari keluar rumah.
Tugas musim panas, alat tulis, dompet, smartphone, dan
handuk. Setiap langkah yang aku ambil, barang-barang di tasku bersentuhan
dan berdentangan.
Aku melangkah maju, dan dunia mulai berputar sedikit
lebih cepat. Jadi aku terus berlari seiring dengan emosiku. Di tengah
jalan, aku berbelok ke kanan, dan menuruni jalur joging di tepi sungai. Kilau cahaya muncul di permukaan
sungai, dan sepertinya udara dipenuhi dengan cahaya musim panas. Fuu, haa. Keringat mulai muncul di
dahiku.
Setelah aku meninggalkan klub lari di SMP, aku mulai
berlari secara teratur, tapi tubuhku sangat lamban dibandingkan dengan yang
dulu. Yah, ini sudah cukup,
pikirku. Semuanya sudah menjadi bagian dari masa lalu.
Pada hari musim panas terakhir saat SMP, aku melampaui seseorang
yang aku 'kagumi'.
Tanpa aku sadari, garis finish sudah berada di belakangku. Ah, akhirnya aku melakukannya. Itulah yang aku pikirkan pada
saat itu, aku tidak terlalu berharap. Tapi, nyatanya aku sudah melewati
garis finish.
Itulah tempat yang akhirnya aku capai setelah berlari
selama 3 tahun di SMP.
Aku merasakan sesuatu yang meledak di hatiku.
Itu adalah sesuatu yang sudah aku tinggalkan.
Itu adalah sesuatu yang aku pasrahkan.
Itu adalah sesuatu yang telah berakhir.
Aku melambat, diam-diam menunggu hal tersebut untuk
tenang. Di samping kakiku ada bayangan hitam yang berbeda. Suara
jangkrik bisa terdengar dari jauh. Ingatanku perlahan terbangun.
Sepertinya aku sendirian ketika sedang memecahkan rekorku
pada hari terpanas di musim panas itu dan mengakhiri karir klub lariku, ‘kan?
Sambil memikirkan ini, mendadak aku mendengar suara
seseorang.
“Apa yang kamu lakukan berdiri di tengah jalan begitu?”
Itu mengejutkanku.
Ternyata suara itu milik teman sekelasku, Akane Rindou.
Rambutnya yang sedikit lebih pendek dari kebanyakan
gadis, menutupi dahinya, dan butiran-butiran keringat mengalir dengan tenang.
Meski sekarang sudah liburan musim panas, tapi dia
mengenakan seragamnya ketimbang pakaian kasualnya. Apa dia ada kegiatan
klub?
“Cuma sedikit melamun.”
Ahahaha. Aku mencoba menutupinya dengan tawa, tapi Akane
bertanya dengan cemas.
“Apa kamu kena dehidrasi? Apa kamu baik baik
saja? Mau kubelikan air? ”
“Aku hendak pergi ke perpustakaan. Disana ada AC, jadi
jangan khawatir. Apa kau ada kegiatan klub sekarang, Akane?”
Akane duduk di sepedanya, dan keranjang di bagian depan
ada tas yang dimasukkan ke sana dengan cara acak-acakan. Ini adalah tas
oranye yang akan selalu dia bawa untuk kegiatan klubnya, dan aku sering
melihatnya.
“Mesum.”
Akane mengartikan pandanganku sebagai sesuatu yang lain.
“Apa?”
“Kamu melihat tasku. Kamu tahu apa yang ada di
dalamnya, bukan? ”
“Baju renangmu, ‘kan? Aku cuma melihat tasnya. Jangan
seenaknya memanggilku dengan panggilan mesum. ”
Tapi setelah mendengar jawabanku, Akane melirik dengan
nakal.
“Ehehe sayang sekali. Ini pakaian dalam.”
“Mengapa?”
“Karena aku sudah memakai baju renangku.”
Akane mengangkat sedikit roknya. Baju renang sekolah
hitam bisa terlihat.
“Akane, sekedar mengingatkan, jangan pernah lakukan itu
meski itu adalah pakaian renang. Bukankah ada lagu lama dengan lirik, 'semua cowok itu mesum, jadi teruslah
waspada'. ”
“Tuh, ‘kan? Lagipula kau mesum.”
Akane tersenyum dengan gembira. Aku pasrah menerima
kekalahanku
Tiba-tiba, aku menyadari kalau hal yang mengamuk di dalam
diriku telah menghilang sepenuhnya. Ketimbang hal itu, ada sesuatu yang
sedikit lebih jujur, mencoba mengintip. Baju renang, baju
renang. Bagian bawah rok yang tidak bisa dilihat mengusik naluriku sebagai
cowok.
Yah, mau bagaimana lagi, ‘kan? Jadi aku bergumam dan
membela diri.
Lagipula aku anak kelas 2 SMA yang sehat.
“Terima kasih.”
Aku berkata dengan malu-malu, dan Akane segera tertegun, lalu
melarikan diri dariku.
“Da-Dasar ca-ca-cabul– !!”
Jadi, kenapa kau memanggilku cabul setelah aku
mengucapkan terima kasih?
Setelah berpikir sejenak, aku menyadari kesalahanku.
Apa aku ini bego? Mengucapkan terima kasih setelah
melihat rok yang terangkat? Diriku yang cabul.
“Tidak, ini berbeda, Akane.”
“Apa bedanya?”
Tanya dia dengan nada jijik.
“Aku emang mesum, tapi aku bukan orang cabul.”
“Apanya yang beda coba?”
Akane terus melangkah lebih jauh. Ah, aku bilang itu
berbeda, beneran. Tapi semakin aku menyangkalnya, jarak antara kami
semakin melebar. Sampai pada titik, kami berada di jarak saling berteriak,
bukan jarak saling bicara.
“Hei – cabul–!”
“Berhenti memanggil cabul seolah-olah itu
namaku. Namaku bukan itu, tau. ”
“Hei, cowok cabul. Kamu masih ingat janji lusa
nanti?”
Ahh sial, tidak bisa menyangkal apa yang baru saja aku
akui.
“Ingat!! Jam 6 sore di kuil, ‘kan?”
“Ya-! Aku-!”
“Hm?”
“Sangat menantikannya!!”
“Oke!”
“Aku akan memakai yukata, jadi nantikan itu, cowok
cabul!”
Begitu dia mengatakan itu, Akane mengayuh sepedanya tanpa
mendengar jawabanku. Aku menyaksikannya pergi ke sekolah, memikirkan hal
yang sepele. Ahh, itu benar-benar tidak perlu.
Memangnya orang bakal memberitahu seseorang ketika ingin
mengenakan yukata?
❀❀❀
Aku sedang berada di lobi perpustakaan, tengah melepas
dahaga. Air dingin yang kuminum mengalir melalui tenggorokanku, dan
langsung menuju ke perutku.
Dulu, aku kesulitan melakukannya, karena aku kesulitan
menurunkan kepala untuk minum. Air di mulutku selalu tumpah karena
gravitasi.
Sejak kapan aku bisa minum seperti ini?
Ingatan ini tetap tersimpan di sudut kesadaran samarku,
dan berbeda dari ingatan lain. Ini seperti makan, pergi ke toilet
sendirian, atau naik sepeda.
Aku kira itu sama, entah bagaimana, aku belajar cara
melakukannya.
Setelah memuaskan tenggorokanku, aku pergi ke ruang
belajar mandiri. Aku menggeser pintu kaca ke samping, dan udara di ruangan
ber-AC menyelimuti diriku. Rasanya sangat nyaman.
Aku menemukan sosok Yuki di meja dekat dinding.
Pada hari pertama kami bertemu, dia membawa dua buku di
atas meja, dan sedang membaca salah satunya. Sudah tiga hari sejak kami
bertemu, namun dia belum membaca buku kedua-nya, dan alasannya adalah karena
diriku. Sejak hari itu, aku merepotkannya dengan dengan tugas-tugasku. Terutama
tugas Matematika; tanpa bantuannya, aku takkan bisa menyelesaikan sebagian
dari tugas yang ada.
“Selamat pagi.”
Aku mendekati Yuki, dan duduk di seberangnya.
“Selamat pagi, Yoshi-kun.”
“Maaf aku terlambat.”
Kami tidak janjian untuk bertemu, tapi aku meminta
maaf. Aku merasa kalau aku sangat berutang padanya, dan datang terlambat
merupakan hal yang tak baik bagiku.
Aku berangkat dari rumah lebih awal, dan berlari karena aku
takut terlambat, tapi percakapanku dengan Akane hari ini tak kusangka menyita
banyak waktu. Aku akan berangkat
dari rumah sedikit lebih awal besok, gumamku sembari memutuskan hal
tersebut.
“Tidak apa-apa. Jangan khawatir. Aku juga baru
sampai kok. ”
“Tapi aku tidak bisa membuat seorang gadis menunggu.”
“Hmmm, kamu perhatian juga, Yoshi-kun. Kamu masih sama
seperti sebelumnya.”
“Eh?”
“Bukan apa-apa. Ngomong-ngomong, apa kamu sudah
menyelesaikan pertanyaan kemarin? ”
“Belum. Aku masih tidak mengerti. Rumus yang
dipakai sudah benar, tapi jawabannya masih
belum ketemu.”
“Hmm, kamu selalu membuat beberapa kesalahan kecil
Yoshi-kun. Jika kamu masih belum menemukan jawaban yang benar, biasanya
karena masalah itu. Coba lihat sebentar.”
Yuki mengambil buku catatanku, setelah mencari-cari
kurang dari satu menit, dia mengucap “ahh”
seakan menemukan sesuatu.
“Lihat? Ini kesalahan kecil yang kamu lakukan.”
Yuki tampak sedikit tercengang, dan menunjuk simbol
operasi.
Sepertinya aku lupa memberi tanda minus.
Ahahahaha, aku mencoba untuk menertawakannya, dan malah diselentik
oleh Yuki. Lalu, Aku secara naluriah memegang dahiku. Rasanya tidak
terlalu sakit, mungkin karena dia menahan diri.
“Maaf.”
“Lain kali hati-hati.”
“Iya, Sensei.”
Yuki mungkin terlalu menyukai bagian kata 'sensei', karena ada senyum yang
menyilaukan menghias wajahnya.
“Anak baik.”
❀❀❀
Kami menghabiskan seluruh waktu belajar sampai jam tutup
perpustakaan, tetapi matahari belum terbenam. Aku masih bisa melihatnya
sepenuhnya dengan jelas.
Matahari terbenam mewarnai dunia dengan cerah, menyeret
bayang-bayang kita.
Aku menemani Yuki ke stasiun, seperti biasa, dan dia
menginjak bayanganku. Tempat yang diinjak tepat di hatiku.
“Apa yang sedang kau lakukan?”
“Menginjak bayanganmu. Sekarang kamu akan menjadi
seperti diriku, Yoshi-kun. ”
“Eh? Memangnya ada aturan semacam itu dalam
permainan menginjak bayangan? Aku ingat aturannya lebih seperti
kejar-kejaran. ”
“Apa? Jadi kamu tidak mau menjadi seperti diriku,
Yoshi-kun? ”
“Apa maksudmu, seperti dirimu?”
Yuki meletakkan jari telunjuknya di dagunya, dan
menggoda,
“Errm, menjadi gadis cantik?”
“Jangan membual terus.”
Ehhh, aku menepak kepalanya, dan dia menjerit seperti
kesakitan, Aduh, sakit tau. Dasar
kejam, memukul seorang gadis. Dia terus menggerutu, dan aku terus
mendengarkan suaranya yang menyenangkan, mengabaikan keluhannya.
Yuki yang cemberut sangat imut, dan aku terus menatapnya.
Kami terus berjalan, dan posisi bayangan
berubah. Bayangan Yuki bergeser ke kakiku, sementara aku mengikuti dari
belakang.
“Sekarang giliranmu, Yuki.”
“Umu.”
Kami terus berjalan, memeriksa posisi matahari tepat di
bawah kaki kami ketika kami mencoba untuk saling menandai. Beberapa saat
yang lalu, kupikir bayanganku bergerak ke arah Yuki, tetapi pada saat
selanjutnya, bayangan Yuki bergeser ke arah kakiku. Bahkan di tempat yang
berbeda, aku bisa melihat banyak pemandangan berbeda.
Dari waktu ke waktu, kami berbelok ke kiri, lalu ke
kanan, dan masuk ke gang. Kami hanya fokus pada posisi matahari, dan tanpa
kami sadari, kami tidak tahu di mana kami berada.
Akulah orang pertama yang menyadarinya.
“Yuki, apa kau tau daerah ini?”
“Nggak. Sama sekali tidak tahu.”
“Yah, lagipula tidak terlalu jauh juga, jadi kurasa kita
baik-baik saja. Ayo putar balik.”
“Kamu benar.”
Aku hendak berbalik, tapi Yuki tiba-tiba meraih tanganku,
jari-jarinya terjalin dengan tanganku. Pada saat itu, saraf di tubuhku langsung
membeku. Jari-jari Yuki bergerak-gerak dengan kikuk, berusaha meredakan
keteganganku, dan begitu dia menemukan cara untuk mengunci jari-jarinya, dia menggenggam
tanganku dengan erat. Dengan demikian telapak tangan kami saling
bersentuhan.
“Eh?”
“Ah, maaf, aku takut tersesat, jadi….”
“Erm, apa kau mengkhawatirkan itu?”
“Tidak. Umm, ini kebiasaanku sejak kecil. Aku
berpegangan tangan dengan adikku, untuk memastikan kalau dia tidak tersesat. ”
“Begitu ya. Yah, aku juga pernah mengalami itu. ”
Dia tak berniat untuk melepaskan tanganku, jadi aku tidak
mengucapkan apa-apa lagi, dan memegang tangannya dengan lembut.
Aku tak tahu seberapa banyak tenaga yang harus aku
gunakan, dan sulit untuk mencari tahu. Adik perempuanku Natsuna memiliki
tangan yang lebih kecil daripada Yuki, tetapi ini adalah situasi yang
berbeda. Aku jauh lebih gugup memegang tangan Yuki.
“Lebih erat lagi.”
“Eh?”
“Aku tahu kamu merasa khawatir, Yoshi-kun. Kamu
ingin memperlakukanku dengan lembut. Tapi sekarang, tolong pegang tanganku
sedikit lebih erat, sama seperti ketika kamu meraih tanganku di minimarket.”
“Apa kejadian itu pernah terjadi?”
Mendengar balasanku, untuk beberapa alasan, Yuki
mengerahkan lebih banyak kekuatan di tangannya, tampaknya dia marah.
“Ow.”
“Tenaga sebanyak ini juga baik-baik saja.”
“Tapi bukannya nanti akan terasa menyakitkan?”
“Aku ingin kamu memegang tanganku ... erat. Tolong jangan
lepaskan. ”
“Baiklah.”
Jadi aku dengan hati-hati mengerahkan tenaga ke tanganku. Telapak
tanganku mulai memanas, pipi serta telingaku juga ikutan terasa panas. Aku
diam-diam berharap kalau telapak tangan yang panas ini takkan
melepaskannya. Apa ini?
Nama kehangatan yang kurasakan ini adalah–
“Ya, sesekali tersesat rasanya tak terlalu buruk juga”
Yuki mengangguk puas.
“Eh, ah, ya. Kurasa sesekali melakukan sesuatu yang
tak biasa memang tidak terlalu buruk.”
“Bukan itu yang aku maksud.”
Kami memutar balik sebentar, dan melihat jalan yang sudah
kami kenali. Sepertinya kami baru saja masuk ke sisi jalan yang jauh dari jalan
yang biasa. Menjorok turun, kami bisa melihat aula publik, dan kami tiba
di jalan utama.
“Apa? Jadi, kita tidak benar-benar tersesat. ”
Yuki tiba-tiba melambaikan tangannya, tersenyum
padaku. Tanganku ditarik, dan aku akhirnya melambai juga. Ahahaha. Yah biarlah, yang penting Yuki
terlihat senang. Aku akhirnya mengayunkan tanganku juga. Tubuh kecil
Yuki tak pernah jatuh, dan ditarik kembali karena mundur. Ahahaha. Aku pun ikut tertawa.
Aku pikir itu akan berlanjut, tapi Yuki dengan cepat
berhenti.
Dia berhenti mengayun, dan mendadak diam ketika dia
melihat papan reklame di ruang publik. Apa ada sesuatu yang langka di
sana?
“Ada apa?”
“Itu.”
Yuki menunjuk poster festival musim panas
lokal. Pamflet hitam itu berisi foto kembang api. Pada waktu seperti
ini, poster-poster seperti itu akan ditempelkan di seluruh jalan-jalan perbelanjaan
dan sejenisnya; jadi, ini bukanlah pemandangan langka.
“Ahh, festival Nobume? Dua hari nanti. Aku-“
“Hei, Yoshi-kun, jika kamu punya waktu….”
“Tapi aku sudah janji untuk pergi dengan teman sekelasku.”
Yuki yang telah mengambil keputusan, memanggilku, dan
kata-kataku yang tertinggal tumpang tindih dengan ucapannya.
““Eh???””
Reaksi, tanggapan, dan emosi kami hampir dilakukan secara
bersamaan. Namun, Yuki kembali tenang
sebelum diriku. Aku sendiri masih belum bisa tenang; hatiku
masih terasa kacau.
“Kapan?”
“Eh?”
“Kapan kamu diajak?”
“Ehh ... dua hari yang lalu. Aku hanya ngikut semua
yang ada di kelas. ”
“Dua hari yang lalu? Awal liburan musim panas ya,
aku ceroboh.”
Yuki mendongak ke atas, tampak frustrasi oleh sesuatu
saat dia menutup matanya. Rambut depannya terurai ke wajahnya. Yah,
aku menyaksikan lehernya yang mulus itu indah. Dia mengerutkan kening,
mendesah, dan mengikhlaskan. Suhu tubuhnya menjadi jauh.
“... Kurasa janji itu akan hilang juga.”
Yuki meninggalkanku, dan pergi menjauh. Aku bisa
saja mengatakan "Tunggu", tapi
aku masih dilanda kebingungan, tidak bisa mengucapkan kata sesederhana itu.
Sedikit lebih jauh dariku, Yuki berbalik, dan lalu menatapku. Ketika
cahaya matahari menyinari punggungnya, aku tidak tahu ekspresi macam apa yang
dibuatnya.
“Selamat tinggal.”
Yuki kemudian berbalik lagi untuk pergi. Ketika dia
mengucapkan selamat tinggal, aku secara alami berpikir kalau kami akan bertemu lagi
pada esok hari, jadi aku melambai padanya, byebye,
Tetapi pada hari berikutnya, dan lusa, Yuki tak pernah muncul
lagi di perpustakaan.
❀❀❀
(Perubahan Sudut Pandang)
“Jika kamu tidak memakai ini, itu akan terlihat jelas.”
Aku mendengar suara seseorang ketika aku hendak
mengenakan yukata. Itu adalah suara serak orang tua yang tegas, dengan
dialek yang tidak dikenal. Ya ya. Letakkan tangan melalui lengan
baju, dan tarik. Bukannya sudah bagus sekarang? Langsung keluar sisi
itu. Tidak bisa berpakaian di sana. Yap, terlihat bagus.
Aku melihat sekeliling, tetapi tentu saja, hanya ada aku
di kamar hotel ini.
Di sebelah sini aku harus melilitnya.
Sudah setahun sejak aku tidak mengenakan yukata, tapi aku
berhasil memakainya dengan bantuan suara nenek tua yang membimbingku. Yukata
yang kupakai adalah yukata biru tua, bermotif ikan mas merah dan hitam yang
berenang di sungai. Ini adalah sesuatu yang nenek tua tinggalkan untukku,
meski aku hanya bertemu beliau sekali, dan tidak tahu namanya sama sekali.
Aku berputar-putar di depan cermin, memeriksa apakah ada
kerutan di yukata. Tidak ada, sempurna. Sayang sekali, yukata-ku
sepertinya tidak sesuai dengan suasana kamar bergaya Barat ini.
Yukata benar-benar cocok dengan rumah tua nostalgia
tempat nenek itu tinggal.
Musim panas tahun lalu, aku bertemu nenek tua itu.
Pada hari itu, aku akan pergi ke festival musim panas
bersama Yoshi-kun. Jika membicarakan festival musim panas dan kembang api,
maka yukata juga harus disebutkan. Jadi, aku pergi ke rumah tua biasa.
Sebenarnya, aku selalu ingin tahu mengenai tempat itu.
Ada papan nama dengan tulisan 'Rental Yukata / Kimono'. Aku menggeser pagar yang tingginya
sepinggang, dan diikuti suara derit tersebut, aku melihat jalan yang
menghubungkan ke rumah. Nenek tua itu berada di ujung rumah, sedang
mengepakkan kipasnya.
Dia menyipitkan matanya, dan karena keriput, untuk
sesaat, aku tidak tahu di mana dia melihat. Rambut putih bersihnya
terlihat terawat, halus dan berkilau.
“Ada apa. Siapa kamu?”
Suaranya terdengar keras, tapi ada kehangatan di
dalamnya. Kenapa bisa begitu?
“Erm, aku melihat papan nama di luar. Aku ingin
menyewa yukata dari anda, nek.”
“Papan nama. Papan nama. Ahh, yang itu
ya. Aku sudah tidak melakukan itu lagi, Maaf.”
“Eh, begitu ya.”
Aku menurunkan bahuku dengan sedih. Aku benar-benar
berharap untuk memakainya.
Meski beliau meminta maaf, nenek tua itu pergi dengan
gembira.
“Tapi Nona, wajahmu cantik. Kamu ingin menjadi lebih
imut, ya?”
“…Iya.”
“Untuk anak laki-laki?”
“Iya.”
“Kamu menyukainya?”
Nenek tua itu berseri-seri, tapi sayangnya, ini sedikit
berbeda.
“Tidak. Tapi aku ingin Ia yang bilang kalau Ia
menyukaiku.”
“Kamu ini gadis yang jahat, ya.”
“Anda pikir begitu?”
Tentu saja, aku tahu itu, tetapi aku berpura-pura tidak
mengetahuinya.
“Yah, memang bagus bagi seorang gadis untuk menjadi
bersemangat, tapi yah, kamu harus berpakaian lebih baik. Nenek tua ini tak
bisa memakainya lagi, jadi anggap saja ini takdir, ya. Ini sesuatu yang
bagus untukmu, Nona muda.”
Yoisho, nenek itu berusaha untuk berdiri, dan pergi dari teras menuju
ke dalam rumah. Aku tidak tahu harus berbuat apa, jadi aku hanya berdiri
di sana. Setelah beberapa saat, nenek itu memanggilku,
“Jangan bengong terus. Kemarilah. Nenek tua ini
akan memberimu sesuatu yang bagus.”
Aku melakukan apa yang diperintahkan nenek, dan mengikuti
di belakangnya. Hanya ada sedikit barang, apalagi perabotan, dan sepertinya
hanya kebutuhan minimum yang ada. Ada lemari yang terlihat berkelas di
antara barang-barang ini, dan nenek tua tersebut dengan hati-hati mengobrak-abriknya.
Ruangan itu dipenuhi aroma unik dari rumah
tua. Udaranya kental, dipenuhi dengan berbagai hal, kehidupan, usia,
kematian, pengalaman hidup manusia.
Aku melihat sekeliling ruangan, “Ah, ini, ini.” gumam si
Nenek.
“Meski sedikit jadul, ya, tapi masih bisa dipakai. Ayo,
buka bajumu dan pakai ini.”
Nenek itu mengeluarkan apa yang kelihatannya yukata biru
tua yang mahal.
“Eh?”
“Ayo cepat.”
Dengan suara keras nenek yang tanpa henti memaksaku, aku
menelanjangi diri, seperti yang diperintahkannya.
Dan tepat ketika aku hendak memakai yukata.
“Ya ampun, jika kamu tidak memakai ini, nanti bisa tembus
pandang.”
Usai mengatakan itu, nenek memberiku baju
dalam. Alih-alih dipakai dari lengan, slip yang jatuh dari dada ke
pinggang tampak sangat menyedihkan. Aku sedikit ragu, merasa bimbang apa
aku harus memakainya, tapi pada akhirnya aku mengenakannya dengan patuh.
“Ya ya. Letakkan tangan melalui lengan baju, dan
tarik. Bukannya sudah telihat bagus
sekarang? Langsung keluar sisi itu. Tidak bisa berpakaian di sana. Yap,
terlihat bagus. ”
Nenek itu memilih untuk tidak membantuku, dan berulang
kali mengingatkanku ketika aku melakukan kesalahan. Sementara aku
kesulitan bagaimana cara mengikat obi, beliau bertanya,
“Kamu hendak pergi ke festival Nobume-sama, ‘kan?”
“Iya.”
“Aku juga pernah ke sana bersama beberapa orang lain saat
masih muda.”
“Iya.”
“Tapi sejak para tetua itu pergi, aku tak pernah ke sana
lagi. Kembang api itu tampak sangat tak berwarna bagiku. ”
“Apakah begitu?”
“Ini bukan masalah usia. Hanya masalah perasaan saja. Itu
salah. Ya, tahan di sana ya.”
“Seperti ini?”
“Ya. Kemudian tarik kembali. Benar, sudah
selesai. ”
Sebelum aku menyadarinya, aku melihat diriku di
cermin. Aku sedikit tersentuh.
“Hm, cantik sekali. Setiap laki-laki akan jatuh cinta
pada kecantikan semacam dirimu. Pergilah ke sana dan buat Ia berkata 'Aku menyukaimu'. Ahh, pergilah ke
sana dengan yukata ini dengan senyum imut tahun depan, dan tahun depannya lagi.
”
Aku berterima kasih kepada nenek itu, dan pergi ke tempat
janjian untuk bertemu dengan Yoshi-kun.
Begitu Ia melihatku, matanya melebar. Aku belum
pernah melihat ekspresinya seperti itu sebelumnya. Setelah itu, Ia
menggelengkan kepalanya seperti anak anjing yang basah kuyup. Sungguh imut
sekali. Aku berharap Ia mengatakan kata-kata seperti itu, jadi aku sedikit
tidak senang dengan jawabannya. Kurasa aku sedikit senang melihat wajahnya
yang memerah.
Kami berjalan menyusuri jembatan, berdampingan, dan
menunggu pertunjukkan kembang api sambil makan es serut.
“Kau tahu, Yuki? Sirup es serut semua rasanya sama,
cuma warnanya saja yang berbeda. ”
Aku berdiri di sebelah Yoshi-kun, yang lidahnya berwarna
lemon, dan membawa es biru ke mulutku. Awalnya terasa kenyal, tetapi
semakin aku mengunyah, esnya meleleh, dan menjadi tak bertekstur.
“Begitu ya.”
Sebenarnya, aku tahu hal itu.
Hal itu ditulis dalam novel yang aku pinjamkan pada
Yoshi-kun, tapi Ia tidak tahu itu. Kenyataannya mungkin berubah sedemikian
rupa sehingga Ia akhirnya meminjam novel dari perpustakaan.
“Aku pernah membacanya di novel.”
“Jadi itu milikku punya rasa yang sama dengan milikmu.”
“Yah kemungkinan begitu.”
“Aku ingin mencobanya.”
Sebelum aku mendapat persetujuan Yoshi-kun, aku mengambil
sesendok es lemon dari cangkirnya, menggunakan sendokku, dan memakannya. Ah. Serunya. Aku merasa rasanya
sangat manis.
“Bagaimana?”
“Hmm, tidak tahu. Bagaimana kalau kamu juga mencobanya?
”
Kali ini, aku menyendok dari milikku, dan menjulurkan ke
arahnya. Pada saat yang sama, dia agak kelagapan, tapi aku pura-pura tidak
menyadarinya. Ada apa? Aku
memiringkan kepalaku.
Dua detik kemudian, Yoshi-kun menyerah saat Ia menggigit
sendok yang kujulurkan.
“Bagaimana rasanya?”
“Hmm, entah. Ini seperti rasa yang sama, tapi
sedikit berbeda. “
“Yah, yang namanya manis tetap saja manis.”
Kami melanjutkan dengan obrolan santai, dan lalu sebuah kembang
api mekar di udara, seolah-olah mengakhiri pembicaraan kami sebelum
memudar. Dentuman suara kerasnya mengguncang hati kami, dan kembang api, yang
berwarna seperti lidah kami, secara bertahap mewarnai dunia secara
berbeda. Biru, hijau, kuning, merah.
“Cantik sekali.”
Ujarku dengan nada takjub.
“Ya.” Balasnya.
Setelah itu, banyak hal berkembang secara alami.
“Aku ingin melihat ini lagi bersamamu tahun depan,
Yoshi-kun.”
“Oke. Ayo kita lihat lagi tahun depan. ”
Mungkin ini pertama kalinya sejak kecelakaan itu, aku sangat
menantikan melihat masa depan setelah momen ini.
………………………………………………………………..
………………………………………………………..
………………………………………..
……………………………
……………..
Ya, masa depan itu tidak pernah terjadi.
Aku sendirian, mengenakan yukata yang sama, dan pergi ke
kuil sendirian.
Setiap langkah yang aku tapaki, geta yang sedikit lebih besar dari kakiku berbunyi. (TN : sandal kayu)
Aku tiba di rumah tua yang telah dijual, dan menghentikan
langkahku.
Pagarnya dikunci oleh benda-benda seperti kawat
logam. Ini sudah seperti ini sejak beberapa hari usai festival tahun lalu.
– Pergilah ke sana
dan buat Ia berkata 'Aku menyukaimu'.
Nenek tua yang tersenyum dengan beberapa gigi tersisa sudah
tidak ada lagi.
Yukata ini adalah satu-satunya bukti bahwa aku pernah berinteraksi
dengannya.
“Maafkan aku, nek. Anda sudah melakukan begitu
banyak untuk mendandaniku, namun aku tidak bisa melakukannya. ”
❀❀❀❀
(TN : Perubahan sudut pandang
lagi, sekarang dari sudut pandang MC)
Aku pergi ke kuil, dan untuk beberapa alasan, langkah
kakiku terasa berat.
Bukannya aku tidak senang pergi ke festival, tapi aku
sudah seperti ini sejak kemarin. Pikiranku selalu memikirkan gadis
tertentu.
“Oh, kau beneran datang, Segawa.”
Teman-teman sekelas yang berkumpul di halaman kuil
berseru saat melihatku.
Biasanya, aku takkan berpartisipasi dalam pertemuan
kelompok semacam ini, jadi mereka mungkin sangat terkejut melihat kehadiranku.
Aku biasanya pergi sendirian, dan mereka mungkin memiliki
pandangan kalau aku suka sendirian. Itu sama saat Festival Nobume tahun
lalu. Aku makan es serut sendirian, dan menyaksikan kembang api sendirian.
Para lelaki mengenakan pakaian yang sama, entah setelan
kolor yang cocok, atau celana jeans yang cocok. Beberapa gadis memakai
yukata. Omong-omong, Akane menyebutkan kalau dia akan mengenakan yukata.
“Hei, itu tidak sopan. Bukannya aku sudah bilang kalau
aku akan datang, jadi aku beneran datang. ”
“Kenapa nadamu terdengar marah-marah begitu?”
Nada bicaraku terdengar kasar karena suatu alasan, dan
teman sekelas yang lain menjauhkan diri dariku.
“Yah, Haru mungkin tidak terbiasa dengan
ini. Mungkin Ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi.”
Mengaitkan leherku dengan lengan berototnya adalah
temanku, Takuma. Yeah, ucapnya
ketika dekat denganku, terdengar sedikit mengintimidasi dan khawatir. Rasanya
terlalu kekanak-kanakan bila aku tidak mengubah sikapku setelah mengetahui hal
itu. Aku mengendurkan otot-otot pundakku. Jarang-jarang bagi aku
untuk diajak main keluar, jadi aku harus sedikit menikmatinya.
“Ah maaf. Sebenarnya, aku tidak banyak mengalami
kemajuan dengan tugasku. Cuma sedikit kesal saja. ”
“Heh, jarang-jarang melihat Haru si murid teladan tidak
bisa mengerjakan tugasnya.”
Aku mengerti apa yang Ia maksud, jadi aku dengan senang
hati mengikuti arus.
“Ngajak berantem? Kaulah yang punya nilai bagus.”
“Yah, karena aku jenius.”
“Oi, kalian pengen ngegebukin Takuma kagak?”
Setelah mengatakan itu, beberapa anak laki-laki dengan
sengaja bersorak setuju.
Aku akan memukulnya dengan baik. Woke, waktunya festival darah. Aku
bisa mendengar kata-kata kejam seperti itu di luar imajinasiku. Tunggu, tahan dulu, serius, jangan lakukan
ini. Ow Orang bego mana yang tadi mukul? Takuma dikelilingi
oleh orang-orang, berteriak; Aku bertukar pandang dengannya, dan melihat
dirinya masih tertawa. Aku mengangguk padanya. Suasana canggung dari
sebelumnya telah hilang dalam sekejap. Ini pasti bagus. Lihat,
penting sekali untuk terus berjalan sampai akhir, tapi kita masih
anak-anak. Tak perlu bersikap begitu keras kepala.
Takuma kemudian meminta pertolonganku, bantuin gue, oi. Dia mengerjap
beberapa kali, memberiku beberapa ekspresi kaku.
Secara alami, aku menggelengkan kepala.
Adapun apa yang harus aku lakukan, situasinya sudah di
luar kendali. Yang benar saja. Usai
mengucapkan kata-kata pasrah seperti itu, tubuh besar Takuma berjongkok saat Ia
menutupi kepalanya, menghilang dalam kerumunan saat dirinya terus dipukuli oleh
anak-anak kelas. Aku bertepuk tangan. Namusan.
Tiba-tiba, aku merasa ada yang menatapku.
Aku menoleh, dan menemukan seorang gadis yang agak jauh
dari kami. Dia tampaknya sedang melihat sesuatu yang menyilaukan saat dia
menyipitkan matanya. Dia mengenakan yukata biru tua, dengan pola desain yang
menggambarkan sungai dengan ikan mas merah dan hitam di dalamnya.
Aku ingin memanggil namanya, dan keluar dari keributan. Saat
aku hendak memanggil namanya, namaku dipanggil seseorang.
“Hei, Haru–“
Yang memanggilku adalah Akane. Seperti yang dia
katakan, dia juga mengenakan yukata. Warnanya hijau polkadot, dengan pola
bunga Morning Glories hijau dan
kuning. Warna-warna cerah yang cocok untuk dirinya yang ceria.
Sementara aku terganggu oleh suara Akane, sosok gadis itu
menghilang ke dalam kegelapan. Tempat dirinya berdiri tak ada siapa-siapa
lagi.
Diam-diam aku memanggil namanya.
Namun, itu tidak ada gunanya.
“Yuki.”
Dan Akane, yang baru tiba di sampingku, memiringkan
kepalanya dengan bingung?
“Yuki? Padahal ‘kan sekarang musim panas.”
Saat kami mengobrol, Takuma akhirnya berhasil kembali
hidup-hidup dari jurang Neraka, dan memanggil semua orang. Ayo pergi. Ajaknya, sambil berjalan
terhuyung. Aku pun mengikuti mereka di belakang.
Lalu, aku berhenti sebentar untuk menoleh kembali ke tempat
itu dengan harapan, namun apa yang kudapatkan hanyalah harapan palsu belaka.
vvvv
Festival Nobume adalah festival turun temurun dari waktu
150 tahun yang lalu.
Rupanya, festival ini adalah festival untuk merayakan
gadis kuil bernama Nobume yang menikahi dewa naga yang mengganggu umat
manusia. Namun, dewa naga di sini merujuk pada sungai, dan festival ini
diadakan untuk menghibur jiwa para gadis yang menjadi pilar manusia untuk
menghentikan banjir.
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, orang-orang memukul
drum dan meniup seruling untuk Nobume-sama.
Aku mendengar hiruk pikuk keramaian festival, dan duduk
sendirian di tangga batu, menjaga barang-barang yang lain.
Lima ayam panggang mentega, baby castellas. Bagi anak SMA seperti kami yang memiliki uang
saku terbatas, wajar-wajar saja untuk patungan pada acara-acara seperti ini.
Semua orang pergi membeli makanan yang
gampang dibagikan.
Setelah menunggu sejenak, Akane kembali sendirian. Dia
memegang dua botol ramune, tiga tusuk daging sapi, dan sebungkus
takoyaki. Maaf sudah membuatmu
menunggu, katanya dengan malu-malu.
“Ini untukmu. Jaga rahasia ini dari yang lain.”
Ujarnya sambil memberiku botol berawarna biru muda.
“Buat aku?”
“Ya. Tapi ini hanya untukmu dan aku saja. Habiskan
sebelum semua orang kembali.”
“Oke. Terima kasih. Apa semuanya sedang membeli
yang lain? Mereka lama sekali. Apa mereka terlibat masalah? ”
Aku berterima kasih pada Akane dan menerima Ramune. Kurasa
ramune ini di simpan dengan es, karena rasanya dingin. Aku memegang gelas
marmer dengan lidahku, dan meminum air soda. Gelembung-gelembung itu
meledak, menyebabkan sensasi pahit di dalam mulutku.
“Tidak, aku tidak tahu apakah mereka terlalu khawatir,
atau terlalu pengertian.”
“Apa maksudmu?”
“Bukan apa-apa. Jika kamu tidak mengerti, lupakan
saja. Kamu tidak perlu tahu.”
Akane duduk di sampingku, dia tampak tersipu saat
mengangguk beberapa kali.
Sambil duduk di sebelahnya, aku melihat pemandangan yang
ramai dari festival, terpesona saat mulutku berada di mulut botol Ramune,
meneguk sedikit demi sedikit. Ada berbagai suara yang bergema, warna-warna
mempesona yang menarik perhatianku, dan kerumunan orang yang berkumpul di
sekitarnya. Berbagai hal memenuhi tempat festival.
Jadi aku terus mengobrol dengan Akane, setelah menunggu
beberapa lama, tidak ada teman sekelasku yang muncul.
“Bukannya mereka terlalu lama? Aku akan pergi
mencari mereka– ”
Setelah mengatakan itu, aku berniat bangun, tapi Akane
mengucapkan…
“.. Aku merasa agak pusing sekarang.”
“Eh? Ah, ini festival. Wajar saja kalau kau
merasa capek.”
“Hm? Sungguh? Kurasa begitu jika kamu
mengatakannya.”
Angin sepoi-sepoi bertiup, membelai rambutku dengan
lembut.
“Tapi kamu tampak sedikit terganggu hari ini.”
“... Kurasa tidak.”
Aku berkata jujur. Aku tidak berbohong. Aku
benar-benar menikmati hari ini, bermain-main dengan Takuma dan yang lainnya,
menikmati pemandangan gadis-gadis yang dibalut Yukata, menikmati suasana
festival. Aku benar-benar menikmati semuanya, tapi–
“Lalu, kamu mau pergi kemana?”
“Sudah kubilang kalau aku akan mencari mereka.”
“Sungguh? Bukan itu, ‘kan? Kamu mungkin tidak
menyadarinya, Haru, tapi Kau terlihat terganggu. Apa yang sedang kamu
cari?”
Begitu dia bertanya, aku mendapati diriku terdiam.
Terganggu, ya?
Mungkin itu benar mengenai apa yang dikatakan Akane.
Aku bersenang-senang, bercanda ria dengan semua orang,
tapi pikiranku sibuk dengan seseorang . Aku melihat sekeliling, bahkan
ketika kami sedang mengantri di stand-stand, atau ketika menunggu di tangga
batu dengan semua orang. Aku sebenarnya tidak mencari teman
sekelasku. Aku tengah mencari Yuki
Hanya ada satu gadis yang ingin aku temui.
Hatiku mengingat kelembutan telapak tangannya, perasaannya,
serta kehangatannya.
Begitu aku menyadari perasaan tersebut, tubuhku mulai
bergerak.
“Maaf, waktu habis.”
“Eh?”
“Aku akan memanggil seseorang. Berkumpul kembali
dengan semua orang terlebih dahulu, Yuki. ”
Tunggu, sementara Akane memanggil di belakangku, aku terus
berlari.
Aku terus berlari, mencari, dan ingin mengajaknya untuk
melihat kembang api. Aku ingin menggunakan semua keberanian yang aku
kumpulkan untuk mengajaknya.
Apa dia akan terkejut? Apa dia akan
bahagia? Jika dia bahagia, baguslah. Bila dia bisa tersenyum bahagia,
itu bahkan lebih baik.
Aku menuju ke kerumunan, melihat sekeliling, dan
mencari. Adegan berubah saat aku berjalan ke area lain. Aku melihat
sekeliling, namun belum berhasil juga, jadi aku terus berlari, mengulangi
kejadian terebsut.
Di jalan, aku bertemu dengan Takuma.
“Haru, ngapain kau di sini? Bagaimana dengan Akane?
”
“Maaf, aku akan menjelaskannya nanti. Ini penting.”
“Ahh? Serius, kau mau pergi kemana? Hei, dimana
Akane? ”
Suara sedih Takuma memudar di belakangku.
Dimana dia? Dimana Yuki berada?
❀❀❀❀
(Perubahan Sudut Pandang
lagi~)
Dunia masih terasa sunyi seperti biasa. Rasanya
seakan-akan waktu telah terhenti. Diam-diam aku menghitung mundur. 3,
2, 1, 0. Setelah itu selesai, aku bisa mendengar suara keras yang merobek
keheningan, dan pada saat berikutnya, ada suara sorakan.
Sepertinya pertunjukkan kembang api sudah mulai.
Dipicu oleh suara kembang api, bayangan dari sebelumnya
muncul di benakku. Ia dikelilingi oleh teman-teman sekelasnya, terlihat
sangat bahagia, bersenang-senang. Entah kenapa, aku merasa hatiku sakit
ketika melihatnya.
Aku benar-benar tidak bisa menangani perasaanku sendiri
ketika aku mencari sumber suara.
Kembang api merah menerangi kegelapan.
Namun cahaya itu langsung lenyap.
Eh, ada apa? Itu aneh.
Aku memiringkan kepalaku.
Warna-warna dunia perlahan hilang.
Begitu pula suaranya.
Baru tahun lalu, aku mengtahui bahwa kembang api itu
indah, tapi pada saat ini, mereka tampak hambar dan monoton, terlihat hitam dan
putih di mataku.
Rasanya seperti aku menonton TV hitam putih tanpa suara.
Jadi ketertarikanku sudah hilang ya, menatap poster di
depanku dengan enggan. Poster itu memiliki gambar kembang api tahun
lalu. Warnanya hitam dan putih juga di sini. Ahh, sangat
membosankan. Aku sedikit bosan. Padahal, akulah yang membuat janji
tahun lalu.
Dan dengan suara yang tak bisa didengar orang lain, aku
bergumam,
“Idiot.”
❀❀❀❀
(Sudut Pandang MC )
Mulainya pertunjukkan kembang api semakin membuatku
cemas. Suara ledakannya terdengar cukup kuat untuk menembus udara
malam. BANG. BANG. Saat kembang api berdentum, detak jantungku
menjadi lebih kencang.
Tiga puluh menit lagi, pertunjukkan kembang api akan
berakhir. Ada seseorang di luar sana yang meneriaki “Tamaya” selama pertunjukan, sementara di tempat lain ada
orang yang berteriak “Kagiya” dengan suara yang tidak kalah
kerasnya.
Aku berlari ke belakang arena, jembatan yang merupakan
tempat terbaik untuk melihat kembang api.
Dia tidak ada disini.
Aku bergegas menerobos kerumunan yang menuju ke stasiun. Ada
anak-anak, bersama dengan kakek yang memegang tangan anak-anak
tersebut. Ada lima anak SD. Orang yang mengambil foto dengan
smartphone mungkin adalah mahasiswa.
Dan ketika semua orang melihat ke atas langit, hanya aku
satu-satunya yang berlari.
Tenggorokan terasa sakit. Napas beratku tidak bisa
tenang. Ahh. Rasanya sulit bernafas. Hah hah. Tak peduli seberapa
banyak aku terengah-engah, oksigen yang kuhirup
tak cukup. Kepalaku pusing. Ini melelahkan. Hah, aku
merasa tidak kuat lagi.
Aku mengelap keringatku yang bercucuran, dan menyeka
keringat yang jatuh ke mataku. Meski tubuhku terasa sangat lelah, aku
terus berlari.
Aku tidak bisa menemukannya, baik di stasiun maupun di
perpustakaan.
Ahh, bintang milikku mulai. Berbagai suara bergema
saat kembang api menerangi langit dengan warna-warna yang
berbeda. Pertunjukkan sudah hampir mencapai
klimaks.
“Sialan.”
Aku mengumpat sambil terus berlari menuju gang tempat
dimana aku pernah membawa Yuki.
Kami pernah berpegangan tangan, saling mengayun-ayunkan
lengan, saling tertawa, dan menghabiskan waktu bersama.
Api menyala di langit gelap gulita, dan hujan cahaya
menimpalinya. Pemandangan yang menakjubkan meluncur seperti bintang
jatuh. Ketika aku terus berlari, aku diam-diam berdoa memohon kepada
ratusan cahaya yang tertinggal.
–Ini
bukan harapan konyol. Jadi tolong bantu aku.
–Bawa
aku ke tempat gadis itu berada.
Aku melewati gang, dan terus berlari, namun aku langsung berhenti.
Cahaya samar-samar bilik telepon menyinari gedung sebelah
yang kukenal.
Aku menghela nafas lega.
Yuki ada di sini.
Dia berdiri di papan iklan di depan aula publik,
tangannya menyentuh poster festival musim panas. Dia memakai yukata yang
kulihat dua jam yang lalu, tapi dia tidak melihat kembang api yang bermekaran
di langit. Wajah sampingannya berwarna biru, kuning, hijau dan merah.
“Yuki.”
Aku merasa capek, mungkin karena rasa lega. Aku tak
punya kekuatan untuk terus berlari, jadi aku terhuyung langkah demi langkah
untuk mendekatinya.
“Kenapa kamu ada di sini?”
Wajah Yuki menunjukkan kebingungan dan keterkejutan, dan dia
mengerutkan kening, sebelum menatapku dengan tatapan tajam. Wajahnya
secantik biasanya, dan dia yang mengangkat alisnya sedikit membuatku agak
terintimidasi.
Tapi, meski begitu, aku tidak bisa mundur.
“Dengar, aku di sini untuk mendengar ucapan yang tidak
kamu selesaikan.”
Kata-kata tertinggal yang menghilang ketika dia berbicara
pada saat yang bersamaan dengan apa yang kukatakan.
“Kamu membicarakan itu sekarang? Yoshi-kun, kamu
jahat.”
“Ya.”
Lima langkah lagi. Wajah Yuki menunduk ke bawah.
“Kamu tahu apa yang ingin aku katakan.”
“Yah kurang lebih.”
Empat langkah lagi. Sosok Yuki semakin dekat.
“Padahal kamu tahu apa yang ingin aku katakan, tapi kamu
tidak mengatakan apa-apa.”
“Maaf.”
Aku mengambil langkah ketiga.
“Dan, dan, kamu itu laki-laki, dan kamu ingin seorang
gadis mengatakan itu?”
Dua langkah lagi.
“Dasar tidak tahu malu.”
Dengan semua keinginanku, aku mengambil langkah terakhir.
Yuki tepat ada di hadapanku.
“Jadi aku akan mengulanginya lagi. Apa kau mau menonton
kembang api bersamaku? Jika aku bersamamu, aku merasa senang.”
“…”
“Tidak mau?”
“…Tidak.”
“Kenapa?”
“Karena pertunjukkan kembang apinya sudah berakhir.”
Yuki mengangkat kepalanya. Ada tanda kesedihan dan
kemarahan di matanya, tetapi pada saat ini, dia terkikik.
“Kau juga sama jahatnya, Yuki.”
Saat Yuki menatap langit, kembang api kecil mekar di
langit dengan suara bang.
Berdiri di samping Yuki, hanya aku satu-satunya yang
melihat mata hitamnya, diterangi oleh cahaya merah.