Penerjemah : Nero
Editor : Nero
Chapter 02 - Penjamuan di Kediaman Noro
Keluarga Noro secara teratur
mengadakan penjamuan di rumah mereka.
Ini adalah acara besar dimana semua
klan Noro berkumpul bersama-sama di aula besar, namun Aiko tidak menyukai
mereka, karena tujuan penjamuan ini adalah untuk meminum darah.
Tanpa meminum darah manusia, vampir
akan semakin lemah dan akhirnya mati. Aiko mengetahuinya dengan baik setelah
menyaksikan ibunya yang sakit dan memerlukan darah manusia untuk bertahan
hidup.
Dia diberitahu bahwa mereka umumnya
memakai darah yang dibuat dari produk transfusi, dan konsumsinya dibatasi hanya
pada malam penjamuan, karena mungkin kepala keluarga menyadari bahwa membiarkan
mereka memiliki darah-darah itu sendiri tanpa pengawasan akan cepat berakhir
dengan kekacauan.
Aiko pulang ke rumah setelah hari
terakhir ujiannya, dan menghabiskan beberapa waktu untuk merenungkan diri di
kamarnya. Namun ketika waktu penjamuan kian mendekat, dia mengenakan gaunnya
dan pergi menuju ruang makan, membiarkan helaan napas keluar saat ia sampai.
Ini cara yang mengecewakan untuk mengakhiri hari yang menyenangkan.
Para partisipan–semua anggota klan
Noro, semua vampir–sudah tertata rapi duduk di meja makan.
Tempat duduk anggota keluarga dekat
lebih menjurus ke dalam, sedangkan kerabat jauh lebih dekat dengan pintu masuk.
Sang ketua klan, ayah Aiko, Kazuya,
duduk di ujung terjauh meja. Dia adalah pria berbadan besar dengan fisik
berotot yang bahkan terlihat dibalik setelan pakaiannya. Sebagai direktur dari
Rumah Sakit Umum Noro, dia mempunyai jadwal yang sangat sibuk, namun sepertinya
ia masih bisa menyempatkan waktu untuk pelatihan di sela-sela kesibukannya.
Duduk bersebrangan dari Kazuya
adalah kakek Aiko, Genzo, seorang pria tua berkumis yang nampak ramah. Dia
kelahiran Prancis, namun telah dinaturalisasi dan mengubah namanya setelah
datang ke Jepang. Dia juga fasih berbahasa Jepang dan tidak mengalami kesulitan
dalam bersosialisasi.
Normalnya, tempat duduk di sebelah
Kazuya disediakan untuk ibu Aiko, Mariko, namun ia telah berdiam diri di
kamarnya selama bertahun-tahun, dan tidak berpartisipasi dalam penjamuan.
Duduk di sebelah kanan Kazuya
adalah kakak laki-laki Aiko, Kyoya. Dia saat ini kelas tiga di SMA Seishin,
sekolah yang sama dengan Aiko. Darah Perancis dalam dirinya lebih menonjol
secara penampilan, dengan fitur yang kental dibandingkan sebagian besar
anak-anak Jepang. Rambutnya yang perak berkilauan tergerai sampai bahu.
Huh? Perak?
Rambutnya berwarna hitam beberapa
saat lalu…apakah kondisinya semakin memburuk?
“Kondisi” Kyoya adalah
chunibyounya. Versi miliknya jauh lebih delusional dibandingkan kakak perempuan
Yuichi. Menjadi sekedar vampir saja tidak cukup baginya, karena dia masih tidak
memiliki terlalu banyak kekuatan. Dia selalu membual tentang menjadi bangsawan
dan “ras murni” yang sangat mengganggu Aiko.
Saat ini, ia dengan tenang
bermain-main dengan gelas winenya. Perangainya mungkin terlihat kurang
aktraktif bagi pengamat luar, namun ketika ia sudah bicara, Aiko tahu bahwa
semua ilusi itu akan lenyap seketika.
Aiko juga memiliki kakak perempuan
yang bernama Namiko, namun dia sudah menikah dan tidak duduk bersama keluarga
Noro. Tempat duduknya agak lebih jauh bersama bayinya yang baru lahir.
Sisa para hadirin adalah kerabat
jauh dari keluarga cabang. Aiko hanya mengenal setengah dari mereka.
Ada sekitar dua puluh orang, mereka
mengenakan gaun dan setelan mewah sambil berbincang-bincang riang. Suasananya
mengingatkan pada era berabad-abad lalu.
Aiko duduk bersebelahan dengan
Kyoya, dan akhirnya seluruh anggota keluarga pun sudah hadir.
Meja berisi berbagai hidangan mewah
yang dipilih, alternatif bagi orang-orang seperti Aiko yang ragu meminum darah
secara langsung. Meski begitu, semua itu tidak menggugah seleranya, karena Aiko
tahu bahwa ada darah manusia yang tercampur disana.
“Aku dengar kamu baru saja masuk
SMA, Aiko. Sekarang kamu berubah menjadi gadis cantik.” Seorang wanita yang
mengenakan gaun berwarna merah, duduk di sebelah kiri Aiko, menyapanya.
“Kamu juga terlihat cantik seperti
biasanya, bibi.” Balas Aiko.
Eriko Kamiya adalah saudara
perempuan ibunya. Dia mengenakan gaun potongan rendah yang sangat cocok
dengannya, serta mengeluarkan aura memikat yang bahkan membuat jantung Aiko
berdegup kencang. Usianya lebih dari empat puluh tahun, Aiko tahu, namun
penampilannya seperti gadis usia dua puluhan.
Aiko merasakan sedikit kecurigaan.
Bibinya selalu terlihat muda, namun apakah dia selalu semuda ini?
“Aiko, kamu harus mendapatkan darah
yang cukup,” bibinya bicara. “Kamu diberkati dengan tubuh yang sangat indah.
Jangan sampai menyia-nyiakannya.” Eriko meneguk cairan merah di gelas wine-nya.
“Ini sangat lezat. Kuharap aku bisa meminumnya setiap hari,” lanjutnya, dengan
penuh kebahagiaan, memain-mainkan lidahnya yang semerah darah.
Melihatnya saja sudah membuat Aiko
mual; tidak mungkin dia bisa menikmatinya seperti yang bibinya lakukan.
Dia melihat sekeliling ruangan dan
mendapati bahwa yang lainnya juga tengah meneguk darah dari gelas mereka.
Mereka yang melakukan itu penampilannya tampak sangat awet muda, sementara yang
menyantap darah yang dicampur makanan penampilannya terlihat agak lebih tua.
“Aiko, kamu berada di usia yang
tepat untuk memulainya. Tidaklah kamu ingin mempertahankan kecantikan yang kamu
miliki?” Eriko bertanya.
“Aku cuma tidak menyukai rasanya…”
Aiko bergumam. Dia tidak benar-benar tahu rasanya darah segar, namun sepertinya
itu cara termudah untuk mengakhiri pembicaraan.
“Eriko, setiap orang boleh membuat
pilihan. Jangan memaksanya.” Kazuya mengingatkan dengan suara rendah.
“Aku tidak memaksanya. Aku cuma
tidak mengerti kenapa dia tidak menyukai rasanya. Ini manis lho,” Tanggap
Eriko. Dia sepertinya tidak terima.
“Aiko, hari ini kamu baru
menyelesaikan ujian akhir, kan? Apa kamu mengalami kesulitan?” Tanya Kazuya,
mengubah topik.
“Hmmm, hampir sama dengan ujian
tengah semester, kupikir..”
Dengan kata lain, tidak begitu
bagus. Nilai Aiko cenderung lebih rendah dari rata-rata. Dia selalu melakukan
yang terbaik, namun tidak pernah membuahkan hasil.
“Itu tidak bagus. Bagaimana kalau
ayah mengajarimu?” Kazuya bertanya antusias. Sebagai seorang “dokter super”
yang terkenal, akan mudah baginya mengajari seorang anak SMA.
“Tidak perlu. Ayah sangat sibuk
kan? Aku akan meminta seorang teman untuk mengajariku. Nilainya sangat bagus,”
ujar Aiko, teringat Yuichi. Meskipun Yuichi tidak tampak seperti anak yang
rajin atau aktif di kelas, dia mendapat nilai yang bagus. Aiko tidak terlalu
berpikir akan mendapat nilai bagus dalam ujian akhirnya, jadi secepatnya dia
mungkin harus meminta bantuannya.
“Jadi begitu. Mungkin belajar
dengan teman akan lebih baik. Omong-omong, kamu sebelumnya bilang bergabung
dengan klub bertahan hidup di sekolah, kan? Apakah itu berbahaya?”
“Tidak berbahaya sama sekali.
Kebanyakan kami hanya duduk di ruang klub dan mengobrol.” Dia memilih untuk
tidak menyebutkan hal-hal berbahaya yang mereka obrolkan. Bagaimana bisa dia
menjelaskan kepada ayahnya bahwa “cara membuat bom dan stun guns” adalah salah
satu dari kegiatan mingguan mereka?
“Begitu. Yah, atletik tidak pernah
cocok untukmu. Mungkin itu klub terbaik untuk-” Kyoya menyelanya, yang
tiba-tiba berdiri.
“Aku sudah cukup dengan lelucon
ini!” Dia berteriak.
Seluruh aula menjadi sunyi.
“Ada apa, Kyoya?” Tanya Kazuya. Dia
merasa heran dengan perubahan sikap Kyoya yang tiba-tiba.
“Aku muak dengan “produk darah”
sampah ini! Ini Konyol! Dimana kebanggaan kita sebagai klan bangsawan? Tidak
bolehkah kita menancapkan taring kita ke leher mereka dan meminum darah secara
langsung?”
“Apa yang kau bicarakan?” Kazuya
bertanya heran.
Aiko juga tidak tahu apa yang
memicu kemarahan kakak laki-lakinya itu.
Semua mata tertuju pada Kyouya.
Karena merasa tidak nyaman semua orang menatapnya, Kyoya tiba-tiba begegas
keluar aula.
“Kakak..” Kata Aiko.
“Aku penasaran apakah dia
menumbuhkan taringnya…” Dia bisa mendengar Eriko bergumam di sebelahnya.
Itu adalah saran yang menggelikan.
Sejauh yang Aiko tahu, vampir, termasuk kakak laki-lakinya, tidak mempunyai
taring. Jadi tidak mungkin mereka bisa menggigit leher seseorang dan menghisap
darahnya.
Ayah Aiko memecah keheningan di
dalam aula.
“Yah, dia sedang dalam masa
pubertas. Bukankah kita juga sama sewaktu masih muda?”
Pernyataan itu nampaknya untuk
memecah ketegangan, mengingatkan semua orang saat masa-masa muda mereka.
Kecanggungan yang memenuhi ruangan akhirnya bisa diredakan.
“Aku sedikit khawatir. Mungkin aku
harus memeriksa keadaannya.” Kata Eriko, beranjak dari tempat duduknya.
Aiko sekilas melihat bibinya menatapnya.
Dia merasa tidak nyaman tentang ini.
Eriko tersenyum.
✽✽✽✽✽
Kamar Kyouya tidak dikunci, jadi
Eriko membukanya tanpa mengetuk, dan masuk ke dalam.
Kamar sederhana dengan sedikit
barang-barang di dalamnya. Kyouya melemparkan dirinya ke tempat tidur dan
berbaring disana, sambil menatap langit-langit.
“Saat ini, apa yang membuatmu
murung?” tanya bibinya.
“Apa maumu?” Kyouya dengan ketus
balik bertanya, namun ia tidak mengusirnya. Mungkin ia teringat betapa sering
bibinya menggodanya sewaktu kecil.
“Aku cuma sedikit penasaran. Ohh…”
Eriko mendesah saat ia hendak duduk di tempat tidur.
Dia tidak melawan saat bibinya
mendekati wajahnya lalu menempelkan jarinya di bibir Kyouya. “Aku tahu itu.
Taringmu tumbuh kan?”
Taring Kyouya lebih panjang dan
lebih runcing dari kebanyakan orang, tanda bahwa dia telah menghisap darah
manusia. Tentu saja, meminum yang palsu akan membuatnya tidak nyaman setelah
meminum yang asli untuk pertama kalinya.
“Berapa kali kamu melakukan itu?”
Tanya Eriko.
Itu juga menjelaskan sikap anehnya
di aula penjamuan. Menghisap darah meningkatkan perubahan sikap yang tidak
menentu, membuatnya semakin sulit untuk menahannya.
“Apa maksudmu?” Kyouya bertanya,
sambil menatap Eriko.
Eriko membuka mulutnya untuk
menunjukan taring miliknya. Kyouya melihatnya memanjang, yang pada akhirnya
tumbuh dua kali lebih panjang dari taring orang normal.
Mata Kyouya terbelalak terkejut.
“Kurasa aku sudah sepuluh kali,”
ujar Eriko setelah ia mengembalikan taringya ke bentuk normal. Dalam keadaan
masih panjang tentu akan sulit baginya untuk berbicara.
“Kau bisa melakukan itu?” tanya
Kyouya, makin mendekat ke arahnya.
“Ya, dan hal-hal lainnya juga.
Contohnya…” Eriko menarik bahu Kyouya.
Mungkin karena dikejutkan oleh
sikapnya yang tiba-tiba, Kyouya berusaha berontak, namun tidak bisa. Menghisap
darah membuat Eriko menjadi jauh lebih kuat.
Dia bersandar pada leher Kyouya dan
menancapkan taringnya, menghasilkan dua lubang kecil di lehernya dan mulai
menghisap darah dari sana.
“Apa yang kau lakukan?!”
“Tenanglah. Vampir yang berada di
klan yang sama tidak akan saling mendominasi karena menghisap darah,” katanya.
Luka di leher Kyouya pulih dengan cepat. “Namun ini adalah salah satu hal yang
bisa kulakukan.”
Eriko bisa melihat dirinya sendiri
menjilat bibirnya melalui mata Kyouya. Kyouya sepertinya juga bisa melihat
dirinya melalui penglihatan bibinya.
Ini adalah salah satu kemampuan
yang dimiliki Eriko: Saling berbagi penglihatan dan perasaan dengan mereka yang
ia hisap darahnya.
“Apa ini benar-benar nyata?” Kyouya
gemetar penuh emosi. Dia pastinya merasakan bahwa kekuatan ini bahkan lebih
hebat dari sekedar memanjangkan taring.
“Kekuatan ini hanya berpengaruh
kepada orang yang kau minum darahnya, dan akan kehilangan keefektifannya jika
targetmu terlalu jauh.” Meskipun efek samping itu terbilang kecil jika
dibandingkan tujuan asli Eriko.
“Aku cuma pernah mengsisap darah
seseorang,” Kyouya menjawab, tidak yakin, seperti dia sedang
memikirkan sesuatu.
memikirkan sesuatu.
“Siapa itu? Aku harap orang itu
tidak akan menyebabkan masalah untukmu nantinya.”
“Seorang gadis dari sekolahku. Dia
menyukaiku, jadi kurasa dia tidak akan menyebabkan masalah.”
“Pria tampan memang hebat. Tapi
kupikir menghisap darah tidak cukup untuk menjadikannya budak, jadi kau tetap
harus hati-hati.”
“Apa yang harus kulakukan? Bisakah
aku terus menghisap darahnya?” Kyoya bertanya, matanya berbinar penuh harapan.
Eriko melihat itu sangat menarik.
“Ya. Tapi kau tidak akan dewasa
jika menghisap darah dari orang yang sama. Kau harus menghisap darah dari
banyak orang. Banyak….kau paham?”
Dia lebih mudah dipengaruhi
daripada yang Eriko bayangkan.
✽✽✽✽✽
Suasana di dalam kelas benar-benar
penuh kegembiraan.
Hari ini adalah jum’at, sehari
setelah ujian berakhir, tidak mengherankan jika semua orang malas mengikuti
pelajaran mereka, Yuichi tidak terkecuali, yang dia lakukan seharian ini cuma
melamun di kelas.
Setelah kelas berakhir, dia
mengamati sekitar.
Natsuki, yang sepertinya kebagian
piket hari ini, sedang membersihkan papan tulis. Dia masih perlu mengisi buku
harian kelas dan mengantarkannya.
Aiko sedang berbincang-bincang
dengan Tomoya. Saat Yuichi melihat ke arahnya, Aiko berbalik dan dengan ringan
mengatupkan tangannya seolah bilang, “Kau bisa pergi duluan.”
Mereka akan bertemu lagi nanti,
jadi mungkin tidak perlu baginya untuk menunggu. Yuichi perlahan bangkit.
“Yu! Mari pergi ke ruang klub
sama-sama!” Pintu kelas dibuka dengan keras yang sebenarnya tidak perlu,
diikuti teriakan Mutsuko yang cetar membahana.
Seisi kelas mulai berbisik-bisik.
Yuichi merasa malu. Mutsuko sudah terkenal
di seantero sekolah, jadi tidak ada gunanya menyembunyikannya lagi. Tapi bukan
berarti juga dia sudi kakaknya berbuat konyol seperti itu di depan teman-teman
sekelasnya.
“Hey, ada apa?” Mutsuko bertanya,
menerobos masuk ke kelas dan berjalan ke arah Yuichi.
Semua mata tertuju padanya.
Bagaimanapun juga seorang gadis cantik telah datang.
“Baikah!” Karena waktu dan
tempatnya tidak tepat, Yuchi dengan cepat menarik tangan Mutsuko dan bergegas
ke keluar kelas.
“Jangan menjemputku ke kelas! Itu
memalukan!” Bentaknya setelah mereka berada di luar bangunan.
“Oh? Yu, kalimat itu biasanya
dikatakan seorang siscon tsundere kepada saudara perempuannya! Sekarang jiwa
deremu telah bangkit! Coba katakan ‘Tapi aku sangat senang karena kau datang
untukku!'” kata Mutsuko menirukan adegan di anime.
“Aku tidak punya perasaan seperti
itu terhadapmu. Aku tidak begitu, kau paham?”
“Oh, kamu,” kata Mutsuko
melambaikan tangannya ringan. “Kakak perempuanmu ini tidak keberatan jika
memanjakanmu sekali-kali lho!” Dia sepertinya tidak mendengarkannya sama
sekali.
Teringat kejadian sehari
sebelumnya, Yuichi memeriksa pakaian Mutsuko. Dia mengenakan kaos lengan
panjang lagi.
“Kau membawa belati itu lagi kan?”
Yuichi mulai menyesal tidak memeriksanya saat pagi. Akan mengakibatkan bencana
jika belati itu terbang saat mereka di tengah-tengah kota.
“Oh itu! Perangkat pendorongnya
tidak berfungsi, jadi aku memodifikasinya! Nantikan ya!”
“Lagipula, bagaimana caramu
menggunakan itu?” Belati itu mencuat di sepanjang lengannya. Awalnya Yuichi
menduga cara penggunaanya seperti sebuah tonfa1 , namun itu dipatenkan ke lengan,
jadi Mutsuko mana mungkin memutarnya.
“Aku tidak tahu. Mungkin aku akan
menggunakannya seperti sebuah roost knife2.”
“Apa itu?’
“Senjata yang digunakan dalam
Baguazhang3. Bukankah aku sudah megajarkanmu itu?”
“Kau hanya mengajariku pisau bebek
Mandarin.” Pisau bebek Mandarin adalah senjata yang digunakan dalam Baguazhang
membentuk seperti sebuah sabit. Meski begitu benda tersebut tidak menyerupai
belati milik kakaknya, jadi Yuichi tidak bisa melihat bagaimana kedua hal itu
berhubungan.
“Senjata ini dipasang ke lengan.
Pendiri Baguazhang, Dong Haichun, mengembangkan itu dan dia bilang dia
menyukainya! Belati milikku sedikit lebih sederhana, namun digunakan dengan
cara yang sama, kupikir! Setelah aku menyelesaikannya, aku akan mengajarimu
bagaimana menggunakannya, Yu!”
“Gak, makasih.”
“Huh? Tapi itu keren lho! Sangat
Guvyer! Sangat Baoh!”
“Jadi itu cuma cosplay huh?” Tanya
Yuichi.
Dia mengabaikan Mutsuko saat ia
mencibir di belakangnya.
Mereka melewati lapangan sepakbola
menuju bangunan sekolah tua. Karena ini baru awal musim panas, jadi cuacanya
tidak begitu terik. Yuichi bisa melihat para pemain berlari dengan enerjik di
sisi lain pagar.
“Yo! Hey, Sakaki! Lago dalam
perjalanan ke klub?”
Shota, yang mengenakan seragam
timnya, memanggil Yuichi dari sisi lain pagar. Yuichi ingat kalau dia tadi
terburu-buru meninggalkan kelas setelah pelajaran berakhir. Ternyata dia ikut
latihan sepakbola.
“Kak, apa kalian berdua sudah
kenalan?” Tanyanya. “Ini adalah Shota Saeki. Dia seorang pemain sepakbola, dia
teman sekelasku.”
“Hai! Aku kakak perempuannya Yu,
Mutsuko. Senang berkenalan denganmu!”
“Oh, aku sudah mendengar
tentangmu…” Shota menanggapi dengan beberapa keraguan. Dia pasti teringat rumor
tentang kepribadiannya yang bermasalah.
“Ah maaf, aku tidak tahu banyak
soal sepakbola. Aku hampir tidak pernah membaca manga tentang itu!” Teriak
Mutsuko. Semua pengetahuan Mutsuko bersumber dari manga. Dia suka menyelidiki
dan meneliti hal-hal yang dia anggap menarik. “Tapi aku tahu sedikit! Aku sudah
memperagakan Skylab Hurricane4 dengan Yu!”
“Dan mereka memarahi kita karena
itu benar-benar melawan peraturan!” Yuichi dengan ketus menimpali.
Dalam Skylab Hurricane, satu orang
berbaring di atas tanah sebagai pelontar agar menerbangkan yang satunya lagi ke
udara, lalu mereka bisa menyundulkan bola ke gawang. Tentu saja, itu melawan
peraturan dan sangat-sangat berbahaya.
“Huh? Kesampingkan dulu soal
peraturan, apa itu bisa dilakukan?’ Shota memiringkan kepalanya.
“Huh? Oh…uh, tidak, tentu tidak
mungkin. Bayangan Mutsuko yang terbang dengan ringan ke udara mengisi kepalanya
sehingga Yuichi berusaha mengalihkan topik.
“Kalau begitu, apa ya… kami juga
sudah mencoba membuktikan apakah kami bisa melakukan Explosive Dissapearing
Ball, tapi kami gagal!”
“Ya, karena secara fisik itu
mustahil!” Teriak Yuichi.
Itu adalah tembakan goal aneh
dimana pemain memantik ledakan kedalam bola tepat di depan penjaga gawang untuk
membuatnya seolah bola tersebut telah menghilang.
Yuichi sudah mencapai poin dimana
ia mampu menendang bola yang tidak berputar menggunakan tendangan salto, namun
tidak peduli seberapa keras ia berusaha, dia tidak mampu melakukan bagian yang
paling penting, yakni bola terlihat seolah meledak dan menghilang di depan mata
penjaga gawang. Namun itu tidak aneh. Lagipula itu gerakan yang tidak masuk
akal.
Yuichi memutuskan menghentikan
Mutsuko sebelum dia semakin jauh membawa-bawa True Soccer Warrior, Real
Mannism, yang menggunakan sepakbola untuk melawan organisisasi kejahatan di
dunia dimana sepakbola adalah segalanya. “Cukup soal sepakbolanya, kak. Ayo
pergi.”
Ruangan klub penuh sesak seperti
biasanya.
Sebagai ruang kelas bekas bangunan
sekolah tua, dalamnya cukup luas sebenarnya, namun karena deretan lemari mirip
perpustakaan dan banyaknya barang yang berserakan membuatnya tampak seolah
kecil dan sempit.
Dinding dipenuhi wall climbing
countour5 berwarna-warni, yang menambah kesan
semrawut. Yuichi tampaknya satu-satunya orang yang menggunakan benda itu.
Lalu, pada tengah ruangan terdapat
whiteboard dan sebuah meja panjang, dimana Kanako tengah duduk, dengan elegan
menyesap tehnya. Dirinya menyerupai gambaran seorang Ojou-sama muda, meskipun
keluarganya tidak terlalu kaya.
Yuichi mengambil tempat duduknya
saat Mutsuko bergerak beridiri di depan whiteboard. Aiko dan Natsuki muncul
taklama kemudian.
“Sekarang, kita harus semangat,
atau liburan musim panas akan dimulai sebelum kita menyadarinya! Kita akan
membahas mengenai kamp pelatihan kita!” Kata Mutsuko dengan ceria.
Yuichi ingat percakapan mereka
sehari sebelumnya di restoran Cina. Dia mengira awalnya itu cuma obrolan kedai
kopi, namun sepertinya Mutsuko serius tentang itu.
“Jika kita jadi pergi, aku ingin ke
tempat yang menyenangkan!” Katanya. “Baiklah! Berikan ide-ide kalian!”
Yuichi benar-benar tidak ingin
pergi, ia tahu itu tidak akan menyenangkan, namun mengatakan itu tidak akan ada
gunanya.
“Kita kemping di sekolah saja. Di
ruang klub ini,” Kata Yuichi dengan nada malas.
“…. Baiklah. Kita dapat satu.”
Mutsuko sedikit tidak senang, namun ia masih mencatat saran tersebut di
whiteboard.
Dengan cekatan, Aiko, yang duduk
disebelahnya, mulai menuliskan itu di buku catatannya. Sepertinya dia sudah
terbiasa dengan tulis-menulis seperti ini.
“Bagaimana denganmu, Noro?” Tanya
Mutsuko.
“Coba kupikir. Ini musim panas,
jadi kupikir pantai adalah pilihan terbaik. Bukankah lebih baik jika kita pergi
ke tempat yang jauh?”
“Saran yang bagus. Ada kolam renang
umum di sekitar sini, tapi kita tidak bisa menggunakannya jika malam….Yah, kita
akan memikirkan tempatnya nanti. Baik pantai. Selanjutnya, Takeuchi.” Mutsuko
menuliskan saran lainnya di whiteboard.
“Noro. Kau sadar kita sedang
mendiskusikan kamp pelatihan untuk klub bertahan hidup, kan?” Tanya Natsuki
pada Aiko dengan dingin.
“Huh? Kurasa aku tidak memikirkan
itu… Yah, Takeuchi, apa kau punya saran?” Aiko sedikit tersinggung saat ia menjawabnya.
Dia sepertinya tidak mengira akan ditanyai seperti itu.
“Ya. Aku merekomendasikan TPA
sebagai lokasi pelatihan,” kata Natsuki tak tahu malu.
“Apaan itu?” Tanya Yuichi,
merasakan firasat buruk. Nama itu darimanapun terdengar bukan tempat yang layak
dikunjungi.
“Itu tempat “pembuangan sampah”.
Suatu tempat yang tidak bisa ditemukan di peta manapun. Aku pernah
menggunakannya sebagai tempat berburu. Bagaimana menurutmu? Ini cocok sebagai
tempat bertahan hidup kan?” Kata Yuichi kepada Aiko dengan nada penuh
kemenangan.
“Tidak mungkin! Aku tidak mau
kesana!” Kata Yuichi sangat lantang.
Yuichi penasaran apa yang dia
maksud “sampah”, namun memutuskan untuk tidak bertanya. Sudah pasti itu bukan
sesuatu yang ingin dia dengar.
“Bagus! Kedengarannya menyenangkan,
Takeuchi!” Tanggap Mutsuko.
Mungkin Natsuki dan Mitsuki
memiliki selera yang sama; bagaimanapun juga Mutsuko menyukai misteri dan
reruntuhan.
“Well, Orihara? Ada saran?” Tanya
Mutsuko saat menuliskan “tempat pembuangan sampah” di whiteboard.
“Apakah mungkin kita bisa bepergian
ke isekai?” Tanya Kanako. Itu permintaan yang aneh – untuk bepergian ke dunia
lain atau periode waktu tertentu.
“Tentu tidak!” Potong Yuichi dengan
cepat. “Dan meskipun mungkin, kita tidak boleh melakukannya!”
“Apa kau punya petunjuk?” Tanya
Natsuki.
“Um, yah. Aku dengar kita bisa
pergi ke isekai melalui elevator!” Balas Kanako. Dia sepertinya bener-benar
menikmati cerita isekai.
“Bukankah itu cuma legenda
perkotaan?” Tanya Yuichi. Bahkan dirinya sudah mendengar cerita tersebut. Jika
kita menekan tombol lantai di dalam elevator dalam urutan yang benar, itu akan
membawa kita ke dunia lain.
“Mencari isekai elevator…” Mutsuko
menambahkannya di whiteboard.
“Apa kau punya saran, kak?” Tanya
Yuichi.
“Tentu saja!” Serunya. “Kurasa kita
harus pergi ke luar negri!”
“Tunggu sebentar! Itu terlalu
gila!” Keberatan yang tak terhitung jumlahnya meletus di dalam kepala Yuichi
dalam sekali waktu. “Sebenarnya, aku baru menyadari hal yang paling penting.
Kita bahkan tidak mempunyai izin untuk melakukan kamp pelatihan, kan? Apakah
klub ini memiliki pembina?”
Aktifitas klub resmi memerlukan
seorang pembina, tapi Yuichi tidak pernah bertemu orang semacam itu di klub
ini.
“Itu Bu Nodayama, guru bahasa! Dia
bilang aku boleh melakukan apapun yang kusuka, jadi aku melakukannya!”
“Dan kau sepertinya tidak melihat
masalah dengan penafsiran mu tentang ‘lakukan sesukamu’?” Yuichi tidak bisa
membayangkan guru itu menguzinkannya menempelkan wall climbing contour di
dinding dan meletakan puluhan lemari buku disana.
Pada saat yang sama, dia tahu bahwa
guru bahasa, Ibu Nodayama – dengan kata lain, Hanako – adalah pembina mereka,
maka itu tidak jadi masalah. Hanako benci diganggu. Dia tidak akan pernah
datang ke ruang klub untuk membimbing mereka.
“Kemana tepatnya, kau ingin ke kuat
negri?” Tanya Natsuki, dengan penuh gairah.
“Bagaimana kalau Taiwan?” Tanya
Mutsuko. “Itu adalah rumahnya seni bela diri! Seni bela diri ditekan selama
rovolusi budaya Cina, jadi sebagian besar pendekar seni beladiri melarikan diri
ke Taiwan. Itu juga alasan kenapa Taiwan dipenuhi master seni bela diri!”
“Kupikir hanya kau yang akan
menikmatinya, kak,” Balas Yuichi ketus. Meskipun rasa keberatannya itu datang
sedikit terlambat. Aktivitas klub mereka cenderung pada apapun yang disukai Mutsuko.
“Ataukah kita harus ke India umtuk
belajar Kalaripayattu? Ah! Atau mungkin belajar Muay Thai kuno! Apa kalian tahu
bahwa Muay Thai berasal dari Indian Kalariapayattu? Atau mungkin..oh! Bagaimana
dengan Inggris? Quarterstaff! Yang kukaksud bukan PC game jadul; tapi senjata!”
“Dengar, kita tidak akan pergi ke
luar negri! Ada banyak kendalanya, dan yang paling utamanya adalah biayanya
yang mahal!” Teriak Yuichi.
Mutsuko telah menggabungkan banyak
seni bela diri yang berbeda untuk menciptakan sesuatu yang Yuichi praktekan,
menghasilkan suatu teknik yang rumit dan membingungkan. Jadi meskipun dia
bilang tidak menampik suka seni bela diri, dia juga tidak terlalu menggebu-gebu
sampai mau pergi ke luar negri untuk mempelajarinya.
“Um, jika uang adalah masalahnya,
aku mungkin bisa sedikit membantu,” kata Aiko dengan ragu-ragu.
Keluarganya menjalankan sebuah
rumah sakit, dan mereka kaya. Sepertinya Aiko juga mempunyai dana penting dalam
kendalinya.
“Tidak,” Yuichi keberatan. “Tidak
peduli berapa banyak uang yang kau punya, itu terasa tidak benar.” Dia tidak
menyukai gagasan membebankan keuangan klub mereka pada salah satu anggota.
“Ah, aku lupa bilang sesuatu di
awal, tidak ada masalah dalam keuangan klub, jadi jangan khawatir! Kalian bebas
menyerukan ide semahal apapun!” Kata Mutsuko.
“Berapa banyak uang yang kita punya
di klub untuk membiayai kamp pelatihan ke luar negeri?!”
Kalau dipikir-pikir, dengan
banyaknya barang-barang aneh baik di kamarnya maupun di ruang klub mereka, maka
tidak mengherankan jika dia mempunyai sumber dana misterius. Yuichi memutuskan
untuk tidak bertanya, karena dia cukup yakin tidak ingin mendengar jawabannya.
Pada akhirnya, mereka memikirkan
kembali ide-ide mereka setelah diberi tahu bahwa uang bukanlah masalah.
Sebelumnya | Daftar isi |Selanjutnya
Sebelumnya | Daftar isi |
Catatan Penerjemah:
1. Tonfa bentuknya seperti ini:
2. Roost knife
3. Baguazhang adalah seni bela diri Cina yang mengambil prinsip dasar dari buku kuno I Ching. Baguazhang adalah salah satu dari tiga ilmu bela diri Cina yang melatih organ dalam dahulu dengan melatih kekuatan kuda-kuda dan tidak melatih diri dengan kekerasan yang juga disebut Neijia (dua lainnya adalah Xingyi dan Taijiquan) Orang Cina mengenal Taijiquan dengan kekuatan pinggangnya. Xingyi kekuatan tinjunya dan Baguazhang mahsyur dengan langkah kakinya. (sumber: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Baguazhang)
2. Roost knife
3. Baguazhang adalah seni bela diri Cina yang mengambil prinsip dasar dari buku kuno I Ching. Baguazhang adalah salah satu dari tiga ilmu bela diri Cina yang melatih organ dalam dahulu dengan melatih kekuatan kuda-kuda dan tidak melatih diri dengan kekerasan yang juga disebut Neijia (dua lainnya adalah Xingyi dan Taijiquan) Orang Cina mengenal Taijiquan dengan kekuatan pinggangnya. Xingyi kekuatan tinjunya dan Baguazhang mahsyur dengan langkah kakinya. (sumber: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Baguazhang)
4. Skylab Hurricane Shoot alias
tendangan akrobatik ini bagai adegan film silat. Kalau yang ini merupakan jurus
andalan si kembar Tachibana. Untuk melakukannya, kedua pemain harus melakukan
serangkaian gerakan akrobatik seperti menerbangkan rekannya ke udara. Lihat
di https://www.youtube.com/watch?v=GbOp5aWD8YY
Tags:
Nee-chan wa Chuunibyou