Chapter 02 — Mengembalikan Syal, dan Air
Mata
Usai kejadian itu, Tooru
tidak mendengar sepatah kata pun dari Amane dan waktu berbulan-bulan pun berlalu.
Semester baru ini menandai
awal Tooru duduk di kelas 2 SMA. Ia tertawa dan bercanda dengan teman-temannya
saat dalam perjalanan pulang.
“Ya, Jun tidak bisa
mendapatkannya bahkan setelah 100 kali roll,
jadi Ia membuang ponselnya dan menghancurkannya.” (TN : Pasti maen gacha
nih orang :v)
“Dasar idiot!”
“Ahahahaha!”
“Hei, bukannya itu
...”
Saat mereka sedang
asyik tertawa, salah satu temannya menunjuk ke sosok yang Tooru lihat beberapa
bulan yang lalu.
Satsuki tengah berdiri
di sana.
Syal pemberian Tooru
masih melilitnya dalam cuaca yang dingin ini. Sebelum pikirannya yang
tercengang bisa bereaksi, Satsuki bergegas ke arahnya.
“Aku senang kita bisa
bertemu lagi.”
Suaranya yang semanis
lonceng menggemakan kata-katanya.
Tooru, sekarang lebih
tinggi dari terakhir kali mereka bertemu, merasa tertegun. Ia berkeringat
dingin saat teman-temannya memelototinya dengan tajam.
“Apa artinya ini,
Tooru?”
“Kenapa Satsuki
mengenalmu? Dia itu adik perempuan Amane, tahu? Apa kau tidak merasa takut?”
“B-Bukan berarti aku
... la-lagipula, Miyamoto, syal yang kau pakai itu ...”
Wajah gadis itu
tersipu merah, dia seolah-olah hampir lupa kalau ada syal yang melilitnya sampai Tooru menyebutkannya. Dia
mencengkeramnya erat-erat, seakan-akan memegangi barang yang sangat berharga.
“Ini adalah syal yang
kamu pinjamkan padaku. Aku bertekad mengembalikannya kepadamu hari ini, jadi
aku sudah membersihkannya. ”
“ Ap — jangan bilang
kau masuk ke SMA ini hanya karena alasan itu? ”
“Ya. ”
Jawaban cepat Satsuki
membuat Tooru jatuh ke dalam kegelapan. Kakaknya, Amane, adalah anak yang
bermasalah. Sampai batas tertentu, Satsuki mungkin mempunyai sifat yang
sama dengan Amane juga.
Teman-teman Tooru
mulai memborbardir pertanyaan setelah mendengar percakapan mereka.
“Apa-apaan,
Bung? Sejak kapan kau bertemu dengannya?”
“Ta-Tahun lalu,
setelah ujian tengah semester kita. Hari yang dingin sampai ke tulang.”
“Seharusnya kau
bilang, dong! Bro, kuharap aku bisa jadi kau!”
“Padahal kau baru
saja bertanya padaku apakah aku takut pada Amane? Lebih penting lagi,
bukannya sudah waktunya kalian pulang?”
“Bisakah kalian
berhenti merepotkannya?”
Wajahnya yang cemberut dan memprotes adalah milik seorang
malaikat. Tunggu, bagaimana dia
bisa tahu namaku? Pikir Tooru.
“Jangan cemaskan aku,
tapi bagaimana dengan kakakmu? Jika dia melihat kita di sini ...”
Wajah Satsuki berubah
menjadi suram. Matanya yang baru saja menyala berbinar-binar sampai tadi
langsung meredup dan suram.
Sepertinya jika Amane
melihat mereka, rasanya benar-benar akan menimbulkan masalah. Saat Tooru
hendak menyarankan agar bergegas pulang, Satsuki mulai angkat bicara.
“Boleh aku mampir ke
rumahmu?”
vvvv
Rasanya tak dapat dihindari
bila kamar seorang cowok yang hidup sendirian menjadi berantakan.
Ini bukan lagi pada
tingkat tidak ada tempat untuk berpijak. Untungnya, tidak ada bau busuk
maupun cucian kotor yang berserakan di lantai. Tetapi, selain dari hal
itu, semuanya adalah malapetaka.
Tumpukan manga dan
majalah yang tergeletak di lantai serta tempat tidur yang belum dibereskan.
Alasan mengapa Ia
tinggal sendirian adalah karena Tooru pindah dari prefektur lain untuk belajar
di sini. Sekolahnya sangat terkenal bahkan sampai di kampung halamannya
dan rencana Tooru adalah langsung menuju ke universitas sesudah lulus dari SMA. Kemudian,
memulai karirnya di sebuah perusahaan besar dan membalas budi orang
tuanya.
Awalnya, orang tuanya
mengkhawatirkannya, tetapi Tooru sering menelepon ke rumah dari waktu ke
waktu. Selain itu, Ia mengambil pekerjaan part-time untuk membayar iuran
sekolahnya. Jadi, orang tuanya bisa merasa lega.
Kembali ke peristiwa,
Satsuki berdiri di pintu masuk, tak bergerak sedikitpun karena ketakutan.
Seperti yang
diduga. Meski dia tahu kalau kamar anak cowok bakal berantakan, tingkat ini
sudah berada di tingkat bencana. Wajar-wajar saja kalau responnya merasa
jijik.
Tapi ini adalah kamar
cowok yang tinggal sendirian. Tooru tak pernah memikirkan kalau ada gadis
yang mengunjungi kamar kost-nya. Apalagi gadis tersebut yang minta dan datang
ke sini sendirian. Tooru, menyalahkan dirinya sendiri karena tidak
menolaknya.
“H-Hei,
Miyamoto. Aku akan mengambil syal darimu. Akan berbahaya bagi gadis
sepertimu masuk ke kamar anak cowok.”
“Aku yakin kamu takkan
melakukan hal buruk. Tapi kamarmu ... ini sesuatu yang mengerikan.”
Kata-kata lembut dan
tenang dari Satsuki, terasa menusuk, seolah-olah ada anak panah yang menembus
hati Tooru.
“B-Benar? Itu
sebabnya ...”
“Tapi tetap saja, aku
ingin berbicara denganmu ... kecuali, ngga boleh?”
Bagaimana bisa Tooru
menolak mata memelasnya? Ia tidak tega menyakitinya, apalagi menimbulkan kemarahan
Amane jika dia tahu.
Tooru akhirnya
menyerah dan menjawab. Oke , sebelum membereskan majalah dan
manga supaya ada ruang duduk yang cukup untuk dua orang.
Ia duduk di satu
sisi, tetapi Satsuki memilih tempat duduk yang berlawanan dari Tooru. Pipi
Satsuki terlihat memerah karena malu, hal yang sama juga berlaku untuk Tooru.
“Terima kasih banyak
untuk ini.”
Setelah menenangkan
diri, Satsuki melepas syal dan mengulurkannya.
“Kau tidak
membuangnya?”
“Aku takkan melakukan
hal seperti itu. Aku ... menghargainya. Selalu.”
“Benarkah? Tapi
kenapa aku? Maksudku, tentu saja, aku memberimu syal, tapi ini tidak
seberapa.”
“Itu bukan tidak
seberapa.”
Satsuki merespons
dengan tegas di balik kata-katanya.
“... semua murid lain
melewatiku pada hari itu. Yah itu memang sudah kuduga. Tapi meski
begitu, tetap saja membuatku merasa sedikit sedih. Lalu, kamu memanggilku.”
Sungguh terus terang
sekali.
Tooru tidak bisa
membantah atau menolak pernyataannya.
Ia tahu bahwa Satsuki
berbicara langsung dari lubuk hatinya. Ia yakin karena melihat bagaimana
dia menggenggam erat roknya. Gadis itu merasakan hal ini karena
kemunafikan Tooru.
“Dan setelah
ini, apa aku boleh datang berkunjung lagi? Aku janji, aku takkan
menyusahkanmu di sekolah. ”
Dia menggelayutkan
kepalanya saat gemetaran. Tapi Tooru tidak bisa berbuat apa-apa. Tooru
tidak punya perasaan romantis terhadap Satsuki.
Semua perbuatannya
pada saat itu hanya keegoisannya sendiri. Jika itu bisa melindunginya dari
hawa dingin, meski hanya sedikit saja.
Itu sebabnya Tooru
tidak bisa gegabah sekarang. Ia harus memberikan jawabannya, tetapi juga yang
bertanggung jawab. Singkatnya, Tooru ragu untuk menerima perasaan seorang gadis yang belum Ia
kenal.
“Secara pribadi, aku
tidak keberatan, tapi bagaimana dengan kakakmu dan keluargamu?”
Hasrat yang dia
miliki sampai sekarang terkuras keluar dari wajahnya.
“... Aku punya izin
orang tuaku dan aku tidak mengatakan apa pun kepada Amane.”
“Tapi bukannya ini
agak aneh? Maksudku, bagaimanapun juga, kau ini gadis yang datang sendirian
ke tempat cowok.”
“Meski begitu, jika
itu berarti aku bisa bersamamu. Kumohon, aku ...”
Tooru tak punya
apa-apa lagi yang bisa dikatakan untuk Satsuki, yang lagi-lagi menundukkan
kepalanya.
Kenapa dia begitu
melekat dengan Tooru? Mungkin saja itu bisa ditanyakan, tapi Tooru merasa
kalau hal tersebut akan terlalu kejam.
Melihat bagaimana dia
melangkah sejauh itu, Tooru tidak punya alasan lagi untuk menolaknya.
Mungkin Satsuki
merasa tidak nyaman di rumahnya. Jika dia bisa tersenyum di sekolah dan di
kost-an Tooru, maka tentu saja, hal-hal yang kurang menyenangkan di rumahnya
mungkin akan berkurang.
Dan jika memang
begitu, Tooru hanya memiliki satu pilihan.
“Baiklah. Aku mengerti,
jadi tolong berhenti menundukkan kepalamu. ”
Kemudian, Satsuki
mendongak. Air matanya yang siap tumpah kapan saja, sedang menggenang di sudut
matanya.
Rasanya tak tega
membuatnya menangis.
“Maaf sudah menolakmu
sebelumnya, tapi kau tahu ...”
“Aku tahu. Kamu
mengatakannya karena itikad baik. Itu sebabnya aku sangat senang
mendengarmu berkata ya. "
Senyum di wajahnya sekarang
tampak cepat berlalu. Rasanya terbuat dari kaca; mudah hancur karena
benturan sekecil apa pun. Itulah gambaran terbaik dalam menggambarkan
senyumnya.
“Tapi, terima kasih
juga. Aku belum pernah mendengar ada yang mengatakan sesuatu yang begitu baik
kepadaku sebelumnya.” Ujar Tooru.
“Benarkah? Aku
hampir yakin kalau kamu sudah punya pacar. ” Balas Satsuki sambil tertawa.
Dengan tawanya yang
dipaksakan, sepertinya dia benar-benar berpikir begitu.
Tooru terus menjomblo dan tak pernah berpacaran sekali pun. Di antara teman-temannya yang semuanya berusaha mendapatkan pacar, yang paling populer adalah Tooru.
Tooru terus menjomblo dan tak pernah berpacaran sekali pun. Di antara teman-temannya yang semuanya berusaha mendapatkan pacar, yang paling populer adalah Tooru.
“Ja-Jadi, kau datang
ke tempatku, tapi kapan aku harus menunggumu?”
“Aku bahkan bisa
datang setelah pulang sekolah ...”
“Woke.”
Tidak ada rencana
untuk bergabung dengan klub? Sepertinya situasi keluarganya tidak terlalu
memuaskan baginya. Dan Tooru juga punya pekerjaannya.
“Jika kita pulang
bersama setiap hari, pasti bakal ada yang menyebarkan desas-desus buruk juga
... tapi yang lebih menakutkan dari itu adalah kakakmu.”
Ini tentang Amane
lagi. Tidak terlalu yakin apa yang dibutuhkan seseorang untuk membuatnya
menerima sesuatu seperti ini, tapi yang pasti itu adalah sesuatu yang
mengerikan.
“Oke, kalau begitu
aku akan mengurusnya sebelum kembali.”
“Hah? Bukannya itu
sedikit merepotkan ...? "
“Aku tahu arah jalan
ke sini dan rumahku cukup dekat. Jadi, kupikir mungkin aku bisa mampir
setiap hari. ”
Dengan dia terus
menekan seperti ini, mana mungkin Tooru menarik kembali kata-katanya, jadi Ia
hanya bisa pasrah menerimanya.
“Baiklah, itu
kesepakatannya.”
Senyum cemerlang
mulai menghias wajah Satsuki. Senyum yang benar-benar bahagia dan sekilas.
“Terima kasih.”