Sachiusukei Bishoujo Chapter 05



Chapter 05 — Kehangatan Sinar Mentari, dan Makan Siang

“Terus? Apa yang terjadi setelah itu?”
“Mendadak ngoceh apaan sih?”
Ooyodo Jun — teman sekelas yang duduk di depan Tooru — menyandarkan lengannya di sandaran kursi dan menoleh pada Tooru. 
Bukan hal yang aneh lagi bagi Jun untuk mulai mengoceh sesuatu yang tidak dapat dimengerti, tetapi kedengarannya bakal buruk jika Ia berbicara tentang Satsuki. Dia adalah penyelamat untuk membersihkan kamar Tooru. 
Jun menyeringai nakal dan menatap Tooru.
“Sesuatu pasti terjadi, ‘kan? Dia benar-benar jatuh cinta padamu.” Tanya Jun. 
“Apa, kau pikir aku punya nyali untuk melakukan hal yang aneh-aneh pada seorang gadis semanis dia?” 
“ ... Serius amat sih. Yah, kurasa tidak ada kejadian apa-apa ya. ”
Untuk beberapa alasan, Jun dengan cemberut mencibir ketika Ia menggeser lengannya dari kursi belakang ke meja Tooru.
“Sungguh mengecewakan, bung. Kau harusnya punya cerita yang lebih baik untuk diceritakan.”
“Kenapa aku harus berkorban hanya untuk menghiburmu?” 
“Begitulah cara kerjanya. Cepat dan dapat pacar sana.” 
“Ow, berisik kau.”
Tooru mendepak Jun, yang memukul kepalanya, dan kemudian meletakkan sikunya di atas mejanya juga.
“Pertama-tama, kau sendiri tidak punya pacar. Mending ngaca sendiri dulu sana.”
“Gah! Nyelekit banget! Kau benar-benar tanpa ampun, ya? ”
Mengabaikan reaksi Jun yang berlebihan, Tooru malah menguping pembicaraan kelompok lain.
“Oi, Apa lu pernah denger gosip dari adik perempuan Miyamoto Amane?” 
“Ya, bung. Dia benar-benar hot banget, tidak seperti Amane. Gue mau coba PDKT ah.” 
“Lu gila? Gue ngga mau mengganggu beruang liar, terima kasih banyak.”
Sudah terkenal di hari kedua sekolah? Yah, toh dari awal dia sudah dikenal, jadi rasanya tidak mengejutkan lagi. 
Sepertinya semua orang sangat takut pada Amane sehingga tidak ada yang mau mendekati Satsuki. Itu juga rencana Tooru, tapi entah bagaimana semuanya berakhir jadi seperti ini.
Untungnya, Amane ada di kelas lain, jadi Tooru tidak terlibat dalam urusannya sama sekali. Tidak seperti Satsuki, tidak banyak yang patut diperhatikan dari penampilan Amane, kecuali dari teteknya. Dia mungkin menduduki peringkat nomor satu di sekolah dalam aspek itu. 
Semuanya masih menjadi misteri mengenai apa yang dia pikirkan tentang adiknya, tetapi Tooru tak semerta-merta menemui Amane dan menanyainya. 
Dan mengapa Satsuki juga terlihat murung? 
Pasti ada hubungannya dengan keadaan keluarga, tapi sepertinya dia tidak ingin membicarakannya. Karena Tooru hanya kenalannya, Tooru hanya bisa tetap menjadi orang luar — entah demi dirinya sendiri atau demi Tooru. 
Kelihatannya Jun mendengar pembicaraan kelompok lain juga. Sembari masih duduk di kursinya, Ia menghadap ke Tooru.
“Pasti rasanya sulit ya.” 
“Tidak terlalu buruk juga kok. Kita akan pulang secara terpisah.”
“Hah? Kalian berdua berencana bertemu setiap hari?” 
“Ah ...”
Tooru menggali kuburannya sendiri dan wajah Jun menyeringai lebar.
“Akhirnya kau menunjukkan sifat aslimu.” 
“Bukannya aku sudah melakukan—” 
“Diam! Dan traktir aku sesuatu dengan gajimu!” 
“Apa ?! Kenapa aku harus mentraktirmu?! ”
Tooru menghindari serangan Jun dan kemudian duduk kembali, lalu melamun. Wajah Satsuki muncul di benaknya. 
Hubungan kita itu teman atau sesuatu atau yang lain sekarang, ‘kan? Dia tidak sendirian lagi seperti di hari musim dingin itu, ‘kan? 
Lamunan Tooru tersadarkan oleh bunyi bel.

zzzzz

Tooru selalu makan siang di tempat yang sama — tempat yang cerah di belakang sekolah. Ini sudah menjadi rutinitas hariannya untuk duduk di beton di luar ruang kelas yang tidak digunakan di lantai pertama. Dan tentu saja, jika hujan atau turun salju, Ia akan makan siang di dalam.
Tapi hari ini, udara musim semi yang hangat sangatlah menyegarkan. Makan siang semari berjemur di matahari adalah kebiasaan Tooru dan ini adalah tempatnya. Atau begitulah setidaknya sampai…… 
Ia melihat sosok yang dikenal.
“Hei, Miyamoto. Senang bisa bertemu denganmu di sini.”
“Ap— ?!”
Satsuki sedang duduk di sana hendak membuka kotak makan siangnya. Wajahnya merah padam karena dibuat terkejut. 
Setelah memastikan tidak ada orang lain di sekitar mereka, Tooru duduk di sebelah Satsuki, dan hanya meninggalkan sedikit ruang di antara mereka. 
Di sisi lain, mungkin masih dalam keadaan terkejut, wajah Satsuki masih memerah.
Setelah duduk berdampingan, Tooru menyadari betapa mungilnya Satsuki. Bahkan mungkin tingginya tidak sampai 160 cm. 
Sementara itu, tinggi Tooru sendiri sudah melewati 180 cm. Tentu, tinggi rata-rata anak SMA semakin tinggi, tetapi Tooru sendiri tak berbikir kalau Ia masih bisa tumbuh tinggi lagi.
Itu sebabnya, wajar baginya untuk bisa melihat isi bekal Satsuki. 
Sosis yang dipotong menjadi mirip gurita, terlur dadar, dan tumis sayuran dengan nasi putih yang sedikit. Bisa dibilang kalau ini adalah bekal yang paling tradisional. 
Di sisi lain, bekal makan siang Tooru adalah ayam goreng yang dibekukan dan nasi. Ia baru saja mendapat bagian dari Jun, lalu dibilang kalau Ia akan jadi gendut nanti. Jadi, Tooru membalasnya dengan pukulan.
“Makan siangmu benar-benar terlihat enak.” 
“Oh, menurutmu begitu?” 
“Aku hanya punya ayam dan nasi yang dihangatkan dengan oven. Mungkin tidak ada gunanya bagi tubuhku.”
“Itu benar ...”
Walau Tooru lebih suka kalau dia mengatakan sebaliknya, tapi sauasan hati Tooru menjadi santai setelah melihat Satsuki tertawa. 
Ia tidak yakin apa yang harus dilakukan, tetapi Satsuki mendadak mengibaskan tangannya.
“Umm, aku akan tetap menyukaimu meski kamu jadi sedikit gemuk juga!” 
“Et tu, Satsuki?"
Tooru hanya bisa terdiam sembari membuka kotak bekal makan siangnya. 
Apa itu masa depanku? Apa aku ditakdirkan untuk kelebihan berat badan? pikir Tooru sambil meringis. 
Tetapi meski begitu, Di pagi hari Ia sibuk bersiap-siap untuk sekolah dan sibuk belajar di malam hari. Ia hanya ingin menjaga agar nilainya tetap tinggi.
Namun, rasanya begitu menakutkannya bisa menjadi gemuk sebelum lulus. Seperti, sebenarnya. 
Tidak ingin Tooru merasa sedih, Satsuki yang tampaknya bingung memberinya kepalan tangan kecil sebagai tanda dukungannya.
“Tidak masalah. Jika kamu mengkhawatirkan masalah itu, kalau begitu aku akan membantumu!”
Satsuki menyarankan itu dengan nada positif. Tooru yang sedari tadi menundukkan kepalanya menatap gadis yang begitu penuh antusiasme dan merespon seperti petinju yang terbakar semangat.
“Mendukung? Dukungan macam apa? “
“Bagaimana kalau membuatmu makan siang dan makan malam ?!”
“Haah?!”
Tentu saja Tooru terkejut. 
Satsuki pasti sibuk di pagi hari, tapi bukankah dia akan jadi seperti ibunya yang mengepakkannya bekal makan siang? Ia merasa ragu karena terus merepotkan Satsuki.
“Tidak mungkin aku bisa melakukan itu padamu ...”
“Ini bukan masalah besar. Palingan masalahnya cuma memasak tambah satu porsi lagi, tahu?”
Tooru hanya bisa mengangguk. Kelihatannya dia sedang tidak bercanda. 
Tooru tidak terbiasa memasak, tetapi kedengarannya masuk akal.
Dan ini juga baik untuk kesehatannya. Tooru bisa menghindari sembarang makanan yang bisa membuatnya gemuk. Namun, Ia tidak bisa meminta bantuan ini; karena yang ini lebih memakan banyak waktu dan usaha. Apa tidak ada sesuatu yang bisa Ia pikirkan? 
Satsuki menatap Tooru yang tengah berpikir. Wajahnya yang masih muda benar-benar memancarkan aura adik perempuan. Ia serius memikirkan sesuatu, tetapi kehabisan akal sampai menepak kepalanya sendiri.
Tak perlu dikatakan lagi, Tooru tak punya nyali maupun perasaan pada Satsuki. Ia menyingkirkan pemikiran itu dan terus berpikir. Dan kemudian, sebuah ide pun muncul, walaupun itu ide yang sepele.
“Kalau begitu, aku akan membayarmu untuk setiap bekal makan siang yang kau siapkan.”
“Tapi, kamu ...”
“Kau akan menggunakan bahan masakanmu sendiri, kan? Justru karena itu aku berhak membayar bagianku.”
Satsuki terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi dia menghela nafas kecil dan mengangguk sambil tersenyum.
“Baiklah kalau begitu, jika kamu setuju dengan begitu.” 
“Baiklah, kita sepakat. Terima kasih, Nyonya Miyamoto, karena sudah menyelamatkanku dari obesitas.”
“Kamu terlalu melebih-lebihkan ... dan panggil aku seperti biasanya.”
Satsuki melambaikan tangannya seolah-olah dia sedikit malu, membuat Tooru semakin ingin melindunginya. Walau dia mungkin merasa sedih karena keadaan rumahnya, sepertinya itu bukan masalah besar baginya.
“Bagaimanapun, ayo kita makan? Waktu makan siang hampir selesai.”
“Kau benar. Aku salut, makanan beku. Kau telah melayaniku dengan baik.”
“Makanan beku memang berguna.”
Tooru merespon dengan canda tawa saat Satsuki menggodanya.
Dan kemudian, sekali lagi, Tooru melihat makan siang Satsuki. 
Sekilas, makanan Satsuki terlihat enak, dan masih terlihat bagus sekarang. Ia ingin sekali mencobanya. 
Seakan-akan membaca pikiran Tooru, Satsuki mengambil sepotong telur dadar dengan sumpitnya dan menatapnya. Rambutnya tergerai ke bahu lainnya.
“Mau nyoba? Tes rasa.”
“Uhh, kau yakin?”
“Tentu saja. Anggap saja sebagai riset untuk mengetahui apa yang kamu sukai. ”
Oh terimakasih banyak. Bahkan Tooru ragu apakah ayamnya cukup untuk makan siang.
“Oh, kau tidak perlu menyuapiku ... rasanya sedikit memalukan.” 
“Oh, benarkah?” 
“Bukannya kau ...? Ngomong-ngomong, kau bisa memasukkannya ke dalam wadahku dan aku akan memakannya sendiri.”
Wajah Satsuki kembali memerah setelah mendengar apa yang Tooru katakan. Kemudian, dia diam-diam menaruh telur di atas makanan Tooru. Jadi, yang kemarin tidak sengaja, ya. pikir Tooru 
Tooru kemudian melihat telur dadar yang ada di wadahnya.
Kelihatannya dibuat dengan baik dan aromanya sedikit manis. Mana mungkin rasanya tidak enak. 
Dia membuka mulutnya dan mengisi pipinya dengan telur dadar. Tooru melirik ke samping dan kaget melihat Satsuki dengan ekspresi gugup di wajahnya.
Matanya terbuka lebar.
Lezat. Bumbu antara garan dan gula terpadu sempurna. Bahkan ada sedikit rasa kaldu di dalamnya. Tooru belum pernah memakan telur dadar selexat ini sebelumnya. Rasanya bahkan lebih baik dari buatan ibunya.
“Miyamoto, ini enak banget.”
Tooru menyatakan pendapatnya dengan mulut penuh makanan dan Satsuki memperingatinya karena tidak pantas. Suasana tegang pun memudar dan dia merilekskan bahunya.
“Terima kasih. Aku senang kamu menyukainya.”
Senyumnya tampak menyilaukan seperti biasa. Tooru tak menyangka dia bisa tersenyum secerah ini pada awalnya, tapi sekarang Ia tahu lebih baik. 
Menelan makanannya mengungkapkan sedikit rasa manis dan kaldu. Dia bahkan memperhitungkan sampai sedetailnya.
“Aku sangat menantikan untuk makan siang besok.”
“Ya, harap nantikan itu, oke?”
Waktu bersama mereka terasa lembut dan nyaman, dan berlalu terlalu cepat.


close

1 Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

  1. Ceritanya menarik, lanjutkan updatenya project barunya min.

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama