u
Sudut Pandang si Senpai
u
“Selamat pagi.”
“Pagi.”
Aku sudah terbiasa
memulai pagi dengan menyapa Kouhai-chan di peron stasiun. Kuulangi sekali
lagi, aku sudah terbiasa dengannya.
“Besok adalah
festival olahraga, ‘kan? Senpai, bukannya kamu harus bersiap?”
“Aku hanya perlu
memberikan pidato lima detik di acara pembukaan.”
“Kupikir itu bukan
pidato, tapi cuma memanggil nama orang ...”
Susah membantahnya
kalau apa yang dia katakan tidak salah. Hal semacam itu hanyalah ritual,
oke, ritual!
“Tapi orang yang mengorganisir
festival olahraga adalah OSIS, ‘kan? Memangnya tidak ada masalah bagi
ketua OSIS tidak melakukan apa pun?”
“Ketua OSIS adalah
pemimpin pajangan. Ini seperti seorang ketua. Lalu ada presiden,
manajer divisi, dan manajer di bawahnya.”
“Memangnya OSIS di
sekolah kita memiliki hal semacam itu?”
“Tidak, tapi anggota
yang bertanggung jawablah yang akan melakukan pekerjaan.”
Kenapa organisasi ini
dibentuk seperti ini? Aku ingin tahu apa ada yang peduli.
“Haa ...”
“Senpai, pada
akhirnya, lomba apa yang akan kamu ikuti besok?”
“Lomba meminjam barang
...”
Ah ... Meski aku
mencoba untuk tidak mengingatnya, namun ...
Siapa yang nyeletuk “sebagai ketua OSIS, kau harus bertanggung jawab dan ikut
dalam perlombaan meminjam barang”. Orang-orang di
sekitarku juga langsung setuju dengan gagasan itu, sungguh kejam
sekali. Meski mereka biasanya tak pernah bekerja sama dalam hal apa pun,
mereka akan menjadi sebuah tim dan mendorong orang lain yang tidak pernah
menonjol untuk bersinar di acara semacam ini.
Kompetisi lomba
peminjaman dalam festival olahraga sekolah kami berlangsung di akhir acara. Semua
orang akan menontonnya. Para siswa akan menarik lotere untuk memilih tema
dari beberapa tema yang sudah diajukan oleh semua siswa, kecuali untuk ide “meminjam” yang menyinggung hukum dan
moral, atau yang mustahil.
Dengan kata lain,
semua yang mungkin akan terjadi. Benar-benar kacau. Aku tidak ingin
terlibat jika bisa. Mana mungkin aku ingin berjuang dan bertarung dengan
dua puluh siswa lainnya dalam pertarungan barbar. Urgh.
“Apa Senpai sangat
membencinya? Bukannya itu hanya meminjam sesuatu dan berlari?”
“Paling-paling, Kau perlu
meningkatkan keberuntunganmu dalam lotre ...”
Jika aku perlu
menggunakan keberuntunganku, itu hanya perlu digunakan pada acara lotre yang
kadang aku coba di minimarket. Jika aku terlalu menggunakannya, aku merasa
keberuntunganku akan hancur.
“Dan juga, perwakilan
dari setiap kelas akan mulai pada saat yang sama.”
“Semuanya dari kelas
satu, dua, dan tiga?”
“Ya, semua orang akan
mengambil undian sekaligus.”
“Uwahhh ...”
Pengomentaran
langsung juga sangat merepotkan. Mereka menyorot tema yang sepertinya
paling menarik, dan meneriakkannya dalam sekejap. Penyiar, Kau memang bekerja
keras.
“Tapi, itu artinya aku
bisa mulai bareng senpai, ya.”
“Terus?”
“Aku bisa bertanding
dengan senpai.”
“Begitu?”
“Ngomong-ngomong,
gimana kalau kita lakukan itu lagi? Pertandingan di mana yang menang boleh
meminta apa saja kepada yang kalah, bagian 2.”
“Lagi?”
“Tidak masalah, ‘kan?”
Meskipun kita bisa
saling mengajukan satu pertanyaan sehari, tidak ada aturan tentang membuat
permintaan atau meminta bantuan.
Sederhananya, jika
dia mencoba membuat hak istimewa pada "permintaan" sebanyak ini, apa
yang akan dia minta padaku? Aku jadi merasa takut.
“Aku tak berpikir
demikian, tapi aku tidak punya hak untuk memveto, ‘kan?”
“Tuh Senpai sudah
tahu. Lalu, setuju ya.”
Sejujurnya, lotre
pertama akan memutuskan segalanya. Bisa dibilang kalau peringkat akan
ditentukan dengan tema apa yang ditugaskan pada peserta. Aku hanya bisa menimbun
kebaikan sebanyak yang aku bisa sampai besok, dan berharap aku bisa mendapatkan
tema yang akan lebih mudah.
Aku akan melakukan
yang terbaik.
u Sudut Pandang si Kouhai u
Aku berhasil meminta
lagi untuk mendapatkan hak istimewa. Akan menyenangkan jika aku bisa
menang kali ini.
“Ngomong-ngomong, ini
adalah『 pertanyaan hari ini 』dariku.”
Saat kami berbicara
kemarin, aku ingin tahu tentang masalah ini.
“Senpai, apa kamu bisa
memasak?”
“Umm ...”
Senpai meletakkan
tangannya di dagu, dan mempertimbangkannya sekitar tiga detik.
“Jika mengenai apakah aku
bisa atau tidak, kupikir aku bisa, tapi jika kau bertanya apa『 aku bisa memasak 』, aku tidak bisa.”
“Haa ...”
Aku merasa seperti aku
bisa mengerti apa yang Ia katakan untuk beberapa alasan, tapi aku tidak
benar-benar mengerti.
Ayo kitaa
memverifikasi keahliannya satu per satu.
“Bagaimana dengan mie
gelas?”
“Bukankah aku cuma
perlu memasukkan air panas ke dalamnya?”
“Kalau memasak nasi?”
“Bukannya itu cuma
mencuci beras, menuangkan air bersih, dan menekan tombol?”
Kelihatannya senpai
setidaknya bisa memasak hidangan paling mudah. Untuk saat ini, Ia lulus
ujianku.
“Apa spesialisasi
hidangan senpai?”
“Aku benar-benar tidak
jago memasak sampai-sampai punya spesialisasi tersendiri. Keahlianku hanya
minimum saja.”
Ayo kita ubah cara
bertanyaku.
“Misalnya, apa yang
bisa dibuat senpai? Apa yang pernah senpai buat sebelumnya?”
“Mungkin sesuatu
seperti telur ceplok, atau nasi goreng?”
“Senpai bisa
memecahkan telur, ya.”
“Jangan meremehkanku,
tentu saja aku bisa melakukan itu.”
Aku merasa ingin
menghasutnya.
“Ngomong-ngomong, aku bisa
memecahkan telur dengan satu tangan.”
Ekspresi Senpai agak
berkedut, tapi kelihatannya Ia tidak bisa mengatakan apa-apa. Menarik
sekali.
u
Sudut Pandang si Senpai
u
“Telur ceplok, ya.”
Ketika kami membahas
tentang hidangan yang bisa aku buat, aku mengingat kontroversi tentang telur
ceplok.
“『Pertanyaan hari ini 』dariku. Kouhai-chan,
apa yang kau tambahkan pada telur ceplok?”
“Tentu saja kecap.”
“Ha?”
Kepercayaan kita terbelah.
“Jangan ngaco, tentu saja pakai
garam. Kau harus menambahkan garam pada telur ceplok.”
“Tidak, pakai kecap.”
Apa, sekarang ngajak
berantem nih, oi.
“Pertama-tama, telur
ceplok mungkin hidangan yang datang dari barat, ‘kan? Karena itu, jelas
saja mereka takkan menggunakan kecap (LOL) yang sebagian besar digunakan di
Asia, dan menggunakan garam serta merica.”
“Tidak, itu tidak
benar. Dari awal, Jepang adalah negara yang telah mengadaptasi beberapa
makanan dari luar negeri agar sesuai dengan lidah orang lokal, dan
disublimasikan ke dalam hidangan baru. Ramen adalah salah satu contohnya,
dan nikujaga juga merupakan improvisasi dari sup daging sapi Inggris.”
“Jadi seperti itu ...”
“Iya. Itu
sebabnya, kecap adalah langkah pertama dalam adaptasi telur ceplok ke dalam
masakan Jepang. Karena orang Jepang sangat menyukai kecap, mereka pasti
akan menambahkan kecap pada telur ceplok mereka, tak diragukan
lagi. Memasukkan saus pada telur goreng merupakan hal yang tidak masuk
akal.”
“Ngaco, aku tetap mendukung
tim garam ...”
“Kecap.”
“Garam.”
“Kecap.”
“Seledri.”
“Kue puding beras.”
“Salad rumput laut
dengan tahu.”
“Parfait buah.”
“Fait ... Fue ...
Fueee ...”
Aku tidak bisa
memikirkan hal lain, dan mulai berbicara seperti seorang gadis yang
kikuk. Karena suaraku adalah suara rendah pria, kedengarannya tidak lucu
sama sekali.
“Mengapa kita malah
memainkan sambung kata, Senpai?”
“Kau memang sangat
suka manisan seperti biasa, ya.”
“Ha?”
“Cokelat dan parfait.”
“Ah.”
Dia mengatakan kepadaku
kalau dia mengucapkan itu secara tidak sadar, dan mengalihkan pandangannya.
Hal yang kuketahui
tentang Senpai-ku, nomor ㊴
Sepertinya Senpai menambahkan
garam pada telur ceploknya.