u
Sudut Pandang si Senpai
u
“Selamat pagi.”
“Nn, pagi.”
Senin. Ketika aku
bangun pagi ini, aku merasa lebih segar setelah jumlah rambutku berkurang.
“Bagus.”
“Apa? Aku tidak
terlambat, ‘kan?”
“Bukan itu. Seperti
yang aku pikirkan, Senpai benar-benar tidak terlihat bagus dengan kacamata.”
“Cerewet. Aku
baik-baik saja seperti ini.”
“Iya. Aku pikir itu
tidak apa-apa.”
“Ha?”
Oi. Mana yang
lebih baik, pakai kontak atau kacamata?
u Sudut Pandang si Kohai u
Senpai mungkin lebih
baik tetap seperti ini, terlihat sedikit membosankan seperti biasanya.
... Terutama di
sekolah. Ya. Lebih baik baginya untuk tidak menonjol.
Kami menempati posisi
kami yang biasa di kereta (sudah tiga hari sejak kami terakhir di sini), dan aku
mulai berbicara dengan senpai.
“Senpai, apa yang kamu
lakukan di akhir pekan?”
“Apa kamu sibuk?”
“Maukah kamu menyelamatkan
kami? ... bukan itu!” (TN : Parodi dari LN
sukasuka, tau ‘kan animenya? Itu loh yang MC-nya adalah ras manusia terakhir di
bumi)
“Itu dari Kadokawa Sneaker
Bunko, kalau aku tidak salah.”
Karena Ia mengatakan
itu dengan sangat serius, aku melihat ke arah senpai dengan tatapan penuh
makna.
Lalu, senpai juga
memfokuskan matanya ke arahku, dan pandangan kami bertemu.
Kereta bergetar
sekali.
Baik Senpai maupun
aku mengalihkan pandangan kami dari satu sama lain.
Kereta bergetar
sekali lagi.
Aku menggembungkan
kedua pipiku. Jika senpai memandangi wajahku dari atas, Ia seharusnya tahu
aku mencoba melakukan kesan ikan buntal.
Aku mendengar suara
berderek. Kereta lain berpapasan dengan kereta kami.
Senpai menjulurkan
lidah ke arahku.
Mungkin, senpai tidak
punya daftar wajah-wajah aneh.
Meski begitu, Ia yang
ingin membuat wajah aneh sudah cukup bagiku.
“Pfft ...”
“Hahaha…!”
Begitu aku meredam
tawa, Senpai mulai tertawa terbahak-bahak.
“Jika ini adalah
permainan saling menatap, maka ini seri, Senpai.”
Senpai menghela nafas.
“Lagian, apa yang
sedang kita lakukan tadi?”
“Ini salah Senpai
karena mengatakan hal yang aneh tadi.”
“Jika kau bilang
begitu, Kau sendiri yang mulai duluan menatapku.”
“Pada saat itu, karena
senpai balas menatapku, jadi ini menjadi semacam lomba menatap.”
“Karena kau harus
menjadi orang yang berbicara berikutnya, kenapa kau terus diam?”
“Itu karena senpai
mulai mengatakan sesuatu yang membosankan lagi.”
“Meski kau benar-benar
mengabaikanku, Kau setidaknya harus mengubah topik pembicaraan, ‘kan?”
“Aku benar-benar
mengabaikan senpai, jadi itu valid.”
u
Sudut Pandang si Senpai
u
Kami terus berdebat
sampai melewati satu stasiun, dan kemudian kami menenangkan diri.
Tatapan orang-orang
di sekitar kami terasa sedikit menyakitkan.
Yah, biasanya memang seperti
ini di kereta, jadi ayo abaikan saja.
“Apa aku boleh mengajukan『 pertanyaan hari ini 』, Senpai?”
“Apa kau baru
memikirkan apa yang harus ditanyakan hari ini?”
“Aku sudah memikirkan
ini dari kemarin.”
“Haa ...”
“Senpai, berapa banyak
uang saku yang biasanya kamu terima?”
Wow. Dia
sekarang menanyakan sesuatu yang agak pribadi, ya.
“Sayangnya, aku tidak
dilahirkan dengan sendok perak di mulutku.” (TN : Yang sering baca
novel korea pasti ngerti arti peribahasa ini. Yah, artinya sih lahir di
keluarga tajir)
“Kira-kira, berapa
banyak yang Senpai dapatkan?”
“Kau ini, apa-apaan
dengan ekspresi yang memberitahuku jika aku dapat lebih banyak darimu, aku
harus mentraktirmu?”
“Seperti yang kuduga,
Senpai tidak mau menjawab? Kalau begitu—”
“Tidak, karena ini
adalah『 pertanyaan hari ini 』, aku akan
menjawabnya.”
Sebagai gantinya, aku
akan menanyakan hal yang sama nanti.
“Mungkin bisa dibilang
kalau aku punya uang saku 0 yen per bulan.”
“Ah?”
“Ya, memang begitu
adanya. Jika aku memiliki sesuatu yang aku butuhkan, aku tinggal
memberitahu ibuku. Dia akan membelinya untukku. Selain itu, aku harus
puas dengan uang Tahun Baru, atau yang lainnya.”
“Begitu ya.”
Sebenarnya, aku tak
berpikir ada banyak orang yang memiliki sistem uang saku semacam itu.
Jika anak SMA
memiliki kekuatan finansial, sebagian besar pemasukannya berasal dari pekerjaan
part-time mereka daripada uang saku. Sebagian besar dari
mereka. Mungkin.
“Tidak, ini sulit, tau?”
“Ngga masalah ‘kan? Toh,
Ibu Senpai akan membiarkanmu membeli sebagian besar persediaanmu.”
Kouhai-chan menambahkan
bahwa untuk gadis, mereka perlu membeli lebih banyak barang seperti kosmetik.
“Itu tidak benar.”
Aku memiliki sesuatu
yang lebih penting untuk dibeli!
“Kau tidak tau gimana
rasanya aku berjuang setiap hari untuk membuat ibuku bisa menerima buku yang
aku inginkan sebagai『 buku yang diperlukan 』!”
Karena aku membaca
banyak buku, mengamankan buku yang aku inginkan adalah salah satu masalah
terpenting bagiku.
Jika aku ingin
membaca klasik, aku dapat menemukannya di perpustakaan, tetapi jika ini adalah
publikasi yang lebih baru, tidak ada pilihan lain selain membelinya di toko
buku.
Dan juga, haraga buku
tidaklah murah.
Light Novel biasanya
berharga sekitar 700 yen, dan biaya volume terpisah sekitar 1500-2000
yen. Jumlah uang itu cukup tinggi bagi siswa SMA untuk bermain sepanjang
hari. Berbicara tentang LN, aku bahkan bisa membaca 2 atau 3 LN dalam
sehari.
Karena itu, aku memerlukan
subsidi dari keluargaku. Jika kau bisa berbicara baik-baik dengan ibumu, dan
mengatakan padanya itu untuk belajar, atau membuatnya yakin kalau itu
"perlu" untuk masa depanku (meskipun aku tidak tahu standar apa), aku
bisa mendapatkan buku baru tanpa menguras isi dompet. Jika berjalan dengan
baik, itu akan menjadi fantastis.
“Ini salahku bertanya
hal begitu kepada Senpai.”
Kouhai-chan menyela
pembicaraanku, seolah-olah dia sudah menyerah bertanya kepadaku. Sungguh orang
tak berperasaan.
“Bagaimana dengan uang
saku Kouhai-chan sendiri?”
Ah, aku lupa
mengatakan ini.
“Itu adalah『 pertanyaan hari ini 』dariku.”
“Ya ya. Uang sakuku
sekitar 5.000 yen sebulan.”
“Begitu ya.”
Ya, itu jumlah yang standar.
…Hah?
“Terus..”
“Tunggu, tunggu,
tunggu.”
Aku menghentikan
kata-kata Kouhai-chan.
“Itu artinya kau menghabiskan
setengah dari uang sakumu di salon kecantikan kemarin?”
Karena dia bilang
sendiri kalau dia akan mentraktirku dan takkan mengijinkanku membayar untuk
itu, aku hanya bisa melihatnya membayar diam-diam, tapi jika aku tidak salah,
total biayanya sekitar 2.500 yen.
“Jika Senpai
membicarakan uangku, maka jawabannya iya.”
“Apa kau baik-baik
saja menggunakan uang sebanyak itu untuk cowok yang bahkan bukan pacarmu?”
“Aku merasa jengkel
dengan bagaimana Senpai mengutarakannya, tapi yah, tidak apa-apa.”
“Tapi—”
“Aku akan
menjelaskannya. Senpai, Kamu tahu kalau aku punya kakak laki-laki, bukan?”
“Kau pernah bilang
kalau Ia pergi ke pedesaan sebelumnya.”
“Iya. Senpai
ingat, ya.”
Kami pernah
membicarakan ini dulu, tapi jika aku tidak salah, saat ini Ia kuliah di universitas
lokal, dan tidak tinggal bersama dengannya.
“Lalu, apa ada
hubungannya dengan kakakmu?”
“Ia mentransfer
beberapa kepadaku.”
“Mentransfer apa?”
“Apa lagi yang bisa seseorang
transfer selain uang, Senpai?”
“Kenapa?”
“Aku tidak tahu, tapi
sepertinya jumlahnya setengah dari upah yang Ia dapatkan dari pekerjaan
part-time.”
“Untuk apa?”
“Aku bilang aku tidak
tahu, senpai.”
“Hah, apa kau
sebelumnya pernah memintanya?”
“Tidak kok. Ia
tiba-tiba mulai melakukan itu ketika masuk universitas.”
“Tapi kau menggunakannya
juga, ‘kan.”
“Nah, itu sih masalah
yang berbeda.”
Aku butuh banyak uang sebagai seorang
gadis, tau, pungkasnya.
Lagi pula, bukankah
kakaknya terlalu perhatian? Bukannya Ia siscon, mengirim setengah dari
upah yang Ia terima untuk adiknya?
Jika kakaknya tahu
kalau adik perempuannya bertemu denganku, yang bahkan bukan pacarnya, setiap
pagi di kereta, dan pergi ke sekolah sambil berjalan bersama ...
Aku merasa Ia takkan
memaafkanku begitu saja.
Hal yang kuketahui
tentang Senpai-ku, nomor ㊹
Sepertinya Ia tidak
punya sistem uang saku.