u
Sudut Pandang si Senpai u
“Selamat pagi ~”
Minggu, 5
November. Walau ada angin dingin bertiup, hari ini adalah hari musim gugur
yang cerah dan menyenangkan. Tanganku terasa dingin, jadi aku memasukkan
kedua tanganku ke dalam saku.
“Kenapa kau sudah datang
pagi-pagi begini ...”
“Aku tidak tahu butuh
waktu berapa lama untuk mempelajarinya.”
Oh? Tumben-tumbenan
Kouhai-chan membuat pernyataan pesimistis begitu.
Karena itu adalah
Kouhai-chan, aku pikir dia akan mengatakan sesuatu seperti “Aku akan menguasai ini dalam sekejap!”, Atau sesuatu semacam itu.
Beberapa waktu yang
lalu (sekitar sebulan yang lalu?),
saat aku mengetahui kalau Kouhai-chan tidak bisa mengendarai sepeda, aku bilang
kepadanya kalau aku akan menemaninya berlatih mengendarai sepeda karena suatu
alasan.
Sejak saat itu, kami
menanti kapan hari akan cerah, dan akhirnya hari cerah ini pun tiba. Angin
topan sudah berlalu. Sebaliknya, jangan muncul lagi. Tapi jika topan
dari masa lalu, sekarang, dan masa depan menghilang ... akankah Jepang
kekurangan air? Bagaimanapun, jika bakal terjadi lagi, tolong lakukan pada
hari kerja.
Itu sebabnya saat
ini, aku sedang mengendarai sepeda ke taman terdekat, untuk bertemu
dengannya. Aku penasaran memangnya aku harus bawa sepedaku sendiri segala,
tapi jika dia perlu melihat contoh, aku tidak bisa melakukan apa pun selain
menaatinya.
Kouhai-chan mengenakan
helm dan sarung tangan, full set (tentu
saja tidak berkaki telanjang, dia mengenakan jins). Aku bahkan tidak
bisa membenci bagaimana penampilan canggungnya terlihat lucu di mataku.
“Aku meminjam ini dari
kakakku, karena Ia belum menggunakannya baru-baru ini.”
Jika aku tidak salah,
kakaknya masuk di universitas lokal, ‘kan? Aku ingin tahu apa Ia akan
kembali ke rumah pada akhir tahun.
Aku melihat sepeda
perempuan di sebelah Kouhai-chan yang menyeringai. Itu sepeda perempuan
biasa, dengan beberapa gir tambahan terpasang.
Hmm..Bannya terlihat
aneh. Aku mencoba mendorongnya.
ckittttt.
Bannya kempes,
mengesalkan sekali.
“Yosh. Pertama-tama,
bagaimana kalau kita pemanasan dulu?”
Jika dia berlatih dengan
sepeda macam begini, nanti akan sulit baginya untuk belajar mengendarainya.
vvvv
Aku buru-buru kembali
ke rumah dan mengambil pompa udara.
Sambil memompa dengan
susah payah, aku bertanya.
“Ngomong-ngomong, apa
helm semacam itu tak masalah untukmu?”
Ketimbang untuk
keselamatan dalam mengendarai sepeda, helm yang Kouhai-chan kenakan justru
lebih mirip seperti pekerja konstruksi. Atau bahkan untuk pencegahan
bencana.
“Tidak apa-apa.”
“Apa-apaan dengan
kepercayaan diri itu?”
“Celana jins yang aku
pakai saat ini tebal. Apa kamu ingin mencoba menyentuhnya, senpai?”
Dia mengangkat kain
di sekitar pahanya dan memperlihatkannya.
“…Ogah.”
“Dan bila aku jatuh, Senpai
akan melindungiku, kan?”
Aku tidak bisa
mengatakan apa-apa lagi setelah melihat senyumnya ketika dia mengatakan hal
semacam itu.
u Sudut Pandang si Kouhai u
Senpai memompakan ban
untukku, dan latihan naik sepeda pun akhirnya dimulai.
Ketika aku masih
kecil, aku entah bagaimana melewatkan waktu untuk berlatih mengendarai sepeda,
dan tanpa mempelajarinya, waktu pun terus berlalu. Tanpa aku sadari, aku
tidak bisa mengendarainya meski aku sudah jadi murid SMA.
Jika ini terus
terjadi, Senpai pasti akan mengolok-olokku ….. dan dengan alasan semacam itu,
Ia berjanji akan mengajariku. Tetapi sekarang setelah aku memikirkan hal
ini, Ia bahkan mungkin menggunakan pertemuan latihan ini sendiri untuk
menggodaku. Aku harus memikirkan kemungkinan itu setelah ini.
Bagaimanapun, ini
menakutkan. Meminjam kata senpai, ini karena sesuatu “tidak diketahui” untukku.
Ada banyak orang yang
biasanya naik sepeda, tapi aku pernah dengar beberapa cerita di mana mereka terjatuh
ketika berlatih.
“Tolong lakukan dengan
lembut ya, Senpai?”
Ketika aku
memintanya, ekspresi Senpai tiba-tiba berubah serius, dan berkata,
“Cara bicara itu,
hentikan. Itu membuat orang jadi salah paham.”
Iya?
... Setelah beberapa
detik, aku baru mengerti apa yang Ia maksud.
“Tolong berhenti
melecehkanku secara seksual.”
“Bukannya kau sendiri
yang mengatakannya!”
Semangatku dari
sebelumnya menghilang karena suatu alasan, dan berubah jadi rasa malu.
u
Sudut Pandang si Senpai u
“Lalu, sebagai awalan,
lihat.”
Teringat isi beranda
yang aku baca kemarin malam, aku mengangkangi sepedaku.
Dengan posisi seperti
itu, aku mendepak tanah, menjaga kakiku tetap seimbang tanpa mengayuh pedal,
dan bergerak maju. Kecepatannya perlahan menurun saat kaki kananku
menyentuh tanah. Aku mengubah arahku dan mengulanginya sekali lagi, sampai
aku tiba di sebelah Kouhai-chan.
“Coba lakukan seperti
tadi.”
“Ha?”
Ah, aku lupa
menjelaskannya padanya.
Aku menjelaskan apa
yang harus dia lakukan, apa yang perlu dia perhatikan, dan tujuan dari latihan
ini.
Setelah aku selesai
menjelaskan, Kouhai-chan mengangguk, dan duduk di sepedanya.
Dia mencoba meletakkan
pantatnya di atas sadel sambil berdiri berjinjit, matanya berkaca-kaca.
Jika seorang pemula
sepeda melakukan hal semacam itu, tentu saja mereka akan kehilangan
keseimbangan.
Yah, dia akan
jatuh. Aku segera menghentikannya agar tidak jatuh, memegangi sisinya.
“Sadelmu terlalu
tinggi.”
Masih memegangi tubuh
lembutnya di lenganku, aku mengatakan apa yang aku sadari saat itu.
“Tolong katakan itu
dari awal ...”
Ucap Kouhai-chan yang
wajahnya memerah sambil terdengar lelah meskipun kita belum mulai berlatih.
u Sudut Pandang si Kouhai u
Senpai segera menangkapku,
mencegahku agar tidak jatuh. Aku tidak tahu apakah aku harus merasa senang
atau sedih.
Aku menurunkan sadelku
dan mencobanya lagi.
Aku memegangi
pegangan, meletakkan tanganku di rem, dan menyiapkan diriku. Aku lalu
menyeimbangkan sepeda dengan kakiku. Rasanya menakutkan sekali.
Aku bergerak maju
sedikit, sekitar 30 cm sampai kakiku menyentuh tanah lagi.
“Itu hebat.”
Aku merasa termotivasi
dengan kata-kata senpai, dan mencobanya sekali lagi.
Kali ini, aku maju
sekitar 50cm ke depan.
Hah? Tak
kusangka ini lebih mudah daripada apa yang aku pikirkan.
Aku mendepak tanah
lebih kuat dari sebelumnya. Aku ingin mencapai sekitar 3m sekarang.
Jika aku membuat kakiku
terbuka lebar, aku tidak bisa berkonsentrasi. Aku mengaturnya di tengah
sepeda.
Kemudian, rasa sakit
menghantamku dari belakang betis.
“Aduh!”
Kata-kata itu keluar
dari mulutku ketika merentangkan kakiku lagi, sepatu olahragaku menyentuh pasir
di taman. Laju sepeda akhirnya berhenti.
Barusan, apa yang
terjadi?
Ketika aku melihat
kaki kananku yang merasakan sensasi menyakitkan itu, aku menyadari bagaimana
pedal kananku mengubah posisinya.
“Ahaha!”
“Apa?”
Senpai tertawa
keras. Apa? Apa kemalangan orang lain terlihat menarik baginya? Tanpa
sadar aku bersikap dingin.
“Maaf,
maaf. Pedalnya akan berputar sendiri. Pasti tadi mengejutkanmu, ya.”
“Tapi rasanya sakit.”
“Namun kau tidak
jatuh, ‘kan? Ngomong-ngomong, saat kau dalam keadaan darurat seperti itu, Kau
bisa menghentikan sepeda lebih cepat dengan menggunakan rem. “
“Ah, begitu rupanya...”
Aku benar-benar lupa. Rem
digunakan untuk situasi seperti itu, ya.
u
Sudut Pandang si Senpai u
Setelah itu, aku
memberi tahu dia cara menyetir (itu cuma memiringkan sepeda ke kanan dan kiri),
dan mengembalikan tinggi sadel.
Ketika aku
menyuruhnya memutar pedal dan bergerak maju, Kouhai-chan segera
menguasainya. Walau masih terlihat tidak stabil, dia bisa meletakkan
kakinya di tanah sebelum jatuh.
“Cepat sekali.”
“Ini berkat bakatku,
ya!”
“Hei, jika kau ingin
menyanjung sesuatu, Kau harus mengatakan itu berkat pengajaranku, ‘kan ...”
“Ah, kalau begitu ini
berkat pengajaran senpai.”
“Ucapanmu terdengar
terlalu monoton ...”
Sambil bercanda satu
sama lain, kami duduk di bangku taman untuk beristirahat.
Kami juga membeli
minuman panas dari mesin penjual otomatis terdekat. Tubuhku yang terkena
angin dingin musim dingin mulai sedikit memanas.
“Ngomong-ngomong,
inilah『 pertanyaan hari ini 』dariku.”
“Hari ini dari Senpai
duluan, ya.”
“Mengapa kau ingin
naik sepeda? Jika kau tidak punya alasan untuk mengendarainya sejak masih
kecil, maka tidak ada alasan untuk mempelajarinya sekarang,”
“Oh, Senpai serius mau
menanyakan hal itu?”
“Ya, aku serius.”
Kouhai-chan terlihat
sedikit malu.
u Sudut Pandang si Kouhai u
“Kupikir akan lebih
mudah untuk pergi ke rumah senpai.”
Aku tidak memikirkan
ini tiga minggu lalu, tapi sekarang, hal itu adalah motivasi utamaku. Rumah
Senpai terasa jauh jika aku pergi dengan berjalan kaki. Lagipula itu
berada di sisi lain stasiun.
... Tapi ini agak
memalukan untuk dikatakan.
“Begitu ya.”
Senpai berbalik ke
sisi lain.
“Terima kasih.”
“Aku juga, terima
kasih banyak sudah menemani latihanku, Senpai.”
“Jangan jatuh di
jalan, oke? Jatuh di aspal rasanya sakit, tahu?”
“Senpai, ini adalah『 pertanyaan hari ini 』dariku.”
Ketika aku
mendengarkan kata-kata senpai, aku menyadari bagaimana itu terdengar
aneh. Tanpa sadar aku bertanya tentang hal itu.
“Senpai, apa kamu
pernah jatuh dari sepeda?”
“Yah begitulah.”
“Tolong beritahu secara
detail.”
“Eh?”
Senpai membuat wajah
tidak menyenangkan. Pasti ada sesuatu tentang ini.
“Ayolah. Bagaimanapun,
ini adalah 『pertanyaan hari ini』.”
“Aku mengerti ...
Jangan ketawa, oke?”
“Aku pasti akan
tertawa.”
“Oi.Yah, baiklah. Itu
terjadi saat aku masih di SMP. Aku membawa sepeda setiap hari, jadi aku
merasa agak belagu.”
Ini dia.
“Ahaha,”
“Oi, kenapa kau
tertawa?”
“Senpai membuat
lelucon yang membosankan.”
“Eh?”
Ia akhirnya mengerti.
“Ah, bukan itu. Aku
mengendarai sepeda sambil melepaskan kedua tanganku dari setang. Kalau
tidak salah, itu terjadi pada pertengahan musim gugur.”
“Melepaskan kedua
tangan, ya?”
“Ngomong-ngomong, melepaskan
satu tangan gampang dilakukan, loh.”
“Iya.”
u
Sudut Pandang si Senpai u
“Lalu, aku jatuh
begitu saja. Rasanya menyakitkan.”
Ini bukan karena
kulitku yang lecet atau apa karena aku memakai celana panjang, tapi rasanya sakit.
Luka itu
berdenyut-denyut.
“Hee. Senpai juga
pernah melakukan hal semacam itu, ya.”
Ini agak tak terduga, atau begitulah kata
Kouhai-chan. Aku meminum sup jagung hangat ketika aku mendengarkannya.
“Lagipula aku anak
laki-laki.”
Aku menatap kaleng
itu, menggumamkannya dalam volume yang takkan bisa didengar Kouhai-chan.
Hal yang kuketahui
tentang Senpai-ku, nomor ㊿
Sepertinya Senpai pernah
jatuh dari sepedanya setelah melepaskan kedua tangannya dari setang.