Hari Senin pun tiba di minggu ini.
Ada perdebatan serius mengenai apakah hari Senin atau hari Minggu adalah awal pekan, tapi siapa yang peduli tentang itu. Lagian, ketika minggu dimulai, hari Senin pasti akan datang pula.
“Ayo kembali ke standar, Senpai.”
Ketika kami masuk ke gerbong kereta dan menempati posisi yang biasanya, Kouhai-chan menganjurkan itu.
“Uhn.”
Aku menggosok mataku yang mengantuk dan mencoba menarik keluar kesadaranku yang belum terbangun sepenuhnya.
“Uh, eh?”
Aku bangun sekarang. Iya. Aku sudah bangun sepenuhnya.
“Apa yang kau katakan tadi?”
“Barusan aku bilang, ayo kembali ke standar, Senpai.”
“Apa maksudmu dengan standar?”
Kouhai-chan mulai menyeringai, seolah-olah dia sudah menungguku untuk menanyakan itu.
“Apa Senpai tidak menyadarinya?”
Kouhai-chan menatapku, dan bertanya begitu.
“Kemarin, kita mencapai 50『 pertanyaan hari ini. 』”
“Kita sudah mencapai sebanyak itu?”
Dia mulai berbicara kepadaku di pertengahan September, dan sekarang sudah bulan November. Kurang dari dua bulan telah berlalu, jadi melewati lima puluh hari tentu terdengar valid.
“Ini hari peringatan pertanyaan ke-50 kita, Senpai!”
“Ahh.”
u Sudut Pandang si Kouhai u
Benar. Lima puluh hari sudah berlalu.
Tidak, mungkin lebih tepatnya, lima puluh dua hari, ‘kan? Kami tidak menanyakan apa pun pada akhir pekan pertama karena kami masih belum bertukar akun LINE pada saat itu.
Senpai, yang kelihatannya sedang mempertimbangkan sesuatu, mendadak mengajukan pertanyaan seolah-olah baru memikirkannya.
“Ngomong-ngomong, kenapa kau bisa tahu persis harinya?”
Pada saat itu, pikiranku menjadi benar-benar kosong.
Tidak, aku tak menyangka Senpai akan menanyakan hal itu. Itu seharusnya hanya menjadi pengantar dari pembicaraan saja. Kenapa kamu jadi peka pada saat seperti ini sih, Senpai?
“…Tidak mau. Aku takkan mengatakannya.”
Aku merasa bakal tidak adil bagiku untuk berbohong dan melupakannya. Namun, itu masalah yang berbeda untuk menjawabnya dengan jujur begitu saja, dan apa yang bisa aku lakukan hanya butuh waktu lebih lama.
Aku tidak tahu apakah Senpai tidak tahu apa yang aku rasakan atau pura-pura tidak tahu dengan sengaja ― tidak, itu pasti yang terakhir. Ia menyeringai ― dan dia melakukan serangan terakhir ke arahku.
“Yang tadi adalah『 pertanyaan hari ini 』, Kouhai-chan.”
“Ah, ampun deh ... Ya. Aku akan mengaku.”
“Apa? Apa ini sesuatu yang serius?”
“Tidak sih, umm ...”
Ah, ini memalukan sekali. Aku tidak pernah memberi tahu siapapun. Mungkin, bahkan orang tuaku tidak pernah mengetahuinya.
“Aku punya buku harian.”
Buku harian sederhana. Aku menulis apa yang terjadi pada hari itu, Cuma itu saja.
Ada begitu banyak aplikasi di smartphone yang secara khusus digunakan sebagai buku harian, tapi aku menulisnya langsung di buku. Penuh dengan motivasi, aku membeli buku catatan baru, menulis judul, dan meletakkannya di laci mejaku secara diam-diam.
u Sudut Pandang si Senpai u
Karena dia terlihat sangat malu (wajah imutnya benar-benar merah padam), aku pikir itu sesuatu yang serius, tetapi sepertinya dia cuma menulis buku harian.
Kupikir itu hal yang bagus. Kapasitas otak manusia sangatlah buruk, dan ingatan kita (atau bisa dibilang "perekam") dengan cepat menjadi redup, kabur, dan suatu hari nanti, akan dilupakan. Oleh karena itu, secara pribadi aku bpikir itu bagus untuk mengenang peristiwa hari ini, pikiran, dan perasaan dalam sesuatu yang memiliki semacam bentuk, seperti kalimat.
Tetapi meskipun aku pikir itu hal yang baik,
aku tidak bisa melakukannya karena aku tidak punya motivasi yang cukup untuk menulisnya setiap hari.
aku tidak bisa melakukannya karena aku tidak punya motivasi yang cukup untuk menulisnya setiap hari.
“Hee, sejak kapan?”
Karena itu, aku terus bertanya padanya tanpa niat buruk, sungguh.
Rasanya sungguh menakjubkan bila dia sudah melakukannya sejak sekolah dasar, karena itu berarti sudah menjadi kebiasaannya. Tapi bahkan jika dia mulai melakukannya setelah termotivasi untuk memulai kehidupan sekolah SMA-nya, aku pikir itu adalah dedikasi yang luar biasa juga.
“Sejak 14 September.”
Dia mengingat tanggalnya dengan jelas, ya, atau begitulah pikirku.
Bukannya itu baru-baru ini? Bahkan dua bulan belum berlalu.
Kemudian, aku menyadari sesuatu yang aneh.
“Hmm?”
Aku merasa kaita baru saja membahas sesuatu yang belum berlalu dua bulan.
Jika aku tidak salah, apa ya? Ah iya. Ini tentang jumlah pertanyaan Kouhai-chan yang telah melampaui lima puluh pertanyaan.
“Betul. Aku mulai menulis buku harian sejak hari pertama aku berbicara dengan Senpai! Apa itu salah!”
Ahh.
Ini jadi terhubung.
“Yah, toh tidak masalah juga, ‘kan?”
“Apa-apaan dengan sikap santaimu itu, Senpai ...”
“Lagi pula, itu hakmu untuk menulis buku harian.”
“Bukan itu masalahnya ... Haa. Baiklah, lupakan saja.”
Jadi dia ingin menulis buku harian karena suatu alasan. Secara khusus, itu setelah berbicara denganku. Bukannya itu bagus juga?
“Hhmm…..buku harian, ya.”
“Ada apa, senpai? Apa kamu akan mengungkitnya?”
“Apa itu tulis tangan? Atau di smartphone?”
“Aku menulisnya langsung.”
Uwah. Bonafid sekali.
“Ngomong-ngomong, rasanya tidak adil kalau aku terus yang ditanyai. Senpai, ini 『pertanyaan hari ini』dariku. Apa Senpai pernah menulis buku harian sebelumnya?”
Dia tiba-tiba berubah menjadi posisi menyerang.
“Dulu aku pernah menulisnya juga.”
“Dulu? Kapan?”
“Ketika aku masih SD.”
Ketika aku masih duduk di kelas satu, guruku menugaskan kami untuk menulis buku harian. Dengan itu, semua orang di kelas mulai menulisnya.
Pada saat aku memasuki kelas dua, cuma ada setengah dari teman sekelasku yang masih menulis buku harian dengan benar, karena yang lain menganggap itu merepotkan.
Selain itu, jumlah orang yang menulis buku harian secara bertahap menurun seiring tahun berlalu. Hanya aku satu-satunya yang masih terus menulis buku harian sampai kelulusan.
Apa artinya menulis buku harian?
Aku berpikir demikian dengan pikiran polosku. Lalu, ketika aku lulus SD, aku berhenti menulis buku harian.
“Hee, jadi Senpai memiliki masa lalu semacam itu, ya.”
“Namun, aku pikir akan lebih baik jika aku terus menulisnya sampai sekarang.”
“Tolong izinkan aku membacanya lain kali.”
“Eh, tidak mungkin. Isinya bahkan tidak membentuk kalimat yang baik, karena aku menulisnya saat masih SD dulu.”
“Aku ingin melihat tulisan Senpai saat masih kecil.”
“Tidak, tidak.”
“Tolong tunjukkan kepadaku saat aku mengunjungi rumahmu nanti ya, Senpai.”
“Ehh...”
“Janji, oke?
“Aku bilang tidak mau.”
Dia menatapku dengan mata yang berbinar-binar, tapi aku takkan kalah oleh itu.
“Ayolah, Senpai.”
Tiba-tiba aku memikirkan ide yang bagus.
“Aku akan mempertimbangkannya jika kau bersedia menukarnya dengan buku harianmu.”
“Eh? Beneran?”
Senyum Kouhai-chan mekar sesaat, tetapi segera layu pada saat berikutnya.
“Ah, tapi itu berarti aku harus menunjukkan punyaku, ya ...”
“Tentu saja.”
Sebenarnya, aku juga sedikit penasaran dengan apa yang ditulis Kouhai-chan.
“Uu ... Tulisan senpai kecil…... menarik, tapi ...”
Saat aku menyaksikan keadaan Kouhai-chan yang terombang-ambing mengenai mau melihat buku harianku atau tidak, gerbong kereta akhirnya tiba di stasiun dekat sekolah.
Hal yang kuketahui tentang Senpai-ku, nomor (51)
Sepertinya Senpai pernah menulis buku harian saat masih SD dulu.