u Sudut Pandang si Senpai u
Hari ini, aku bangun
jam 8 pagi. Bisa dibilang kalau aku bangun sendiri tanpa bantuan alarm.
Lagipula, sekarang
ada festival tahunan yang sudah lama kutunggu-tunggu. Mana mungkin aku
tidak menantikannya.
Jika kita berbicara
tentang mengapa aku tidak bisa bangun dengan cepat kemarin, tapi ... Yah,
mungkin, aku merasa lelah di akhir pekan.
Nah
sekarang. Meski aku pergi sepagi ini, acaranya sendiri akan dimulai pukul
sepuluh siang.
Aku memakan sarapanku
dengan santai, dan mengganti pakaianku.
u Sudut Pandang si Kouhai u
Menuruti arahan Senpai
kemarin, aku menuju stasiun Jimbocho pada jam 10 pagi.
Karena hari ini
adalah hari Minggu, penumpang yang ada di dalam kereta tidak terlalu ramai.
“Oh, kau akhirnya datang. Pagi.”
Rasanya agak segar
bisa melihat bagaimana mata senpai berkilau meski masih pagi. Karena Ia
selalu terlihat mengantuk.
“Ya, selamat pagi.”
“Kalau begitu, ayo
pergi sekarang.”
Senpai mengakhiri
salam kita begitu saja, dan segera mulai berjalan menuju tangga yang mengarah
ke bawah tanah. Aku segera mengejarnya.
Biasanya, aku yang
selalu berjalan di depan, jadi ini juga segar ... atau tidak, ya. Ia juga
melakukan ini ketika kami berjalan menuju sekolah, karena Ia mencapai gerbang
belakang sekolah terlebih dahulu sebelum diriku.
Tapi biasanya, jarak
kami sedikit lebih jauh, dan juga, kami sekarang mengenakan pakaian kasual
ketimbang seragam. Aku pikir aku bisa menyebut ini cukup menyegarkan.
Meski begitu, Senpai
sama sekali tidak menatapku. Ia bahkan tidak melirik sama sekali.
Senpai berjalan dua
langkah di depanku, matanya yang berkilauan terpaku pada iklan di depannya.
Ada beberapa teks
besar yang ditulis di sana, yang mengiklankan “Festival Festival Buku Jimbocho, diadakan selama tiga hari tahun ini!”
Hari ini adalah yang kedua, ya.
Baiklah, tidak
apa-apa. Kemarin Senpai bilang kepadaku kalau Ia takkan menemaniku, dan aku
datang ke sini karena memahami hal itu sepenuhnya. Lagipula aku tidak terlalu banyak
berharap.
vvvv
Ketika kami
meninggalkan stasiun bawah tanah, sinar matahari yang menyinari kami, membuatku
merasa terpesona.
Menurut iklan,
sepertinya seluruh jalan akan penuh dengan pejalan kaki, dan mereka akan
menjual buku-buku di kios-kios. Ada juga pemberitahuan “Akan Dibatalkan bila Cuaca
Hujan” yang tertulis di sana, karena akan repot jika buku menjadi basah.
“Untung saja cuacanya
cerah, ya?”
“Aku bahkan memikirkan
apa yang harus aku lakukan jika BMKG Jepang berbohong.”
Senpai terus memandang
ke depan jalan seperti biasa, tapi sepertinya aku berhasil memulai percakapan
dengannya.
Setelah melewati satu
blok dari pintu keluar kereta bawah tanah, kami akhirnya tiba juga di tempat perselenggaraan
festival buku. Ada spanduk yang menandai pintu masuk jalan, dengan banyak
gerobak berbaris di dua baris di tengah jalan.
“Waktu sudah
menunjukkan pukul 10 pagi. Dengan demikian, Festival Buku Jimbocho ke-27 hari
kedua dimulai sekarang!”
Melihat smartphone-ku,
sekarang memang sudah jam 10.
Tepuk tangan yang
meriah memenuhi jalan. Senpai yang berdiri di depanku juga ikut bertepuk
tangan.
“Meski ini terjadi
setiap tahun, aku tak pernah merasa bosan!”, Gumam Senpai, yang hampir tidak
mencapai telingaku. Ia tampak sangat bersemangat.
“Yosh. Gimana
kalau kita pergi sekarang?”
u Sudut Pandang si Senpai u
Kouhai-chan datang
agak pagi, jadi kami bisa datang tepat waktu pada hari kedua.
Sama halnya seperti Comiket,
momen sebelum “festival” dimulai selalu
membuat setiap orang merasakan ketegangan dan kegembiraan yang unik, tak
tertahankan bahkan bagi pengunjung yang keluar karena penasaran.
Sebagian besar orang
di sini adalah para “pecinta buku”,
baik yang menjual maupun membeli buku. Sepertinya ada juga yang reseller, tapi aku tidak peduli dengan
orang-orang semacam itu.
Bagaimanapun juga,
itulah yang membuat kumpulan orang asing ini memiliki kesamaan. Aku senang
karena mengetahui bagaimana semua orang di sini menciptakan udara semacam itu.
Semangatku meningkat.
Hari ini, aku membawa
10.000 yen. Artinya, aku bisa membeli sepuluh buku yang harganya
masing-masing 1.000 yen.
Mumpung lagi ada
banyak diskon, jadi aku bisa membeli banyak buku. Jumlah buku yang buat
dibaca semakin meningkat.
Nah, buku seperti apa
yang akan aku temukan hari ini?
Semoga saja aku bisa
menemukan bacaan yang menarik.
Sambil memikirkan hal
itu, aku menghampiri gerobak terdekat di mana ada banyak orang yang berkumpul.
“Yang ini berapa
harganya? ... 500 yen? Murah banget, aku mau beli yang ini!”
“Tolong, buku ini!”
“Apa ini, luar
biasa! Ini, 1.000 yen!”
Seperti yang aku
pikirkan, tempat ini benar-benar terasa surga.
Kalau begitu, selanjutnya
adalah, oh? Bukannya itu dari Percetakan Hayakawa? Saat aku ingin
melihat lebih dekat dengan harapan penuh, seseorang meraih pergelangan tangan
kiriku dari belakang.
Ternyata itu dari
Kouhai-chan, yang menggembungkan pipinya.
“Senpai, uhm,”
“Ada apa?”
“Aku merasa seperti
kita akan tersesat kalau begini terus, jadi apa aku boleh…memegang tanganmu?”
Memang di sini sangat
ramai sekali.
Karena dia tidak suka
dalam kerumunan, rasanya akan jadi buruk jika dia terpisah dariku.
Sebenarnya, aku ingin
membenamkan diri dalam festival buku, tapi ...
“Yah apa boleh buat.”
“Terima kasih
banyak.”
vvvv
“Uhh... Sulit buat bacanya.”
Aku melihat ada masalah
pada posisi ini di gerobak berikutnya.
Karena tangan kiriku
memegang tangan Kouhai-chan, jadi aku hanya bisa menggunakan tangan kananku.
Rasanya sulit untuk menggali
judul buku yang membuatku tertarik dari gerobak dan memeriksa isinya hanya
dengan menggunakan satu tangan. Tingkat kesulitannya sekitar 8/10.
Selain itu, bukan
berarti ini tidak mungkin, tapi nanti aku bisa merusak buku yang
dijajakan. Meski buku ini dalam diskon 50% atau bahkan 70%, itu juga
sesuatu yang dijual orang. Aku tidak ingin menjadi pembaca buruk yang
tidak memperlakukan buku dengan baik.
“Apa itu tidak bagus?”
“Ini sedikit sulit.”
Ada orang yang
memilih buku di depan gerobak. Kami akan mengganggu mereka jika terlalu
banyak bicara.
“Nn, ini cukup sulit
karena pakai satu tangan. Itu sebabnya ...”
Sebelum aku bisa
memberitahunya untuk memegang tasku, Kouhai-chan menyela kata-kataku.
“Lalu, bagaimana
dengan bergandengan tangan?”
Kouhai-chan bergerak
ke sampingku dan meletakkan tangan kanannya di bawah ketiakku, selain tangan
kirinya. Dia benar-benar memeluk lenganku.
Apa yang dia lakukan
pada dasarnya adalah apa yang biasanya pasangan lakukan, menggandengkan
lengannya dengan milikku.
Memang tanganku bisa
bergerak bebas dengan posisi seperti ini.
Bukannya tidak ada
masalah dengan posisi ini. Payudaranya saat ini menekan sisi atas lengan
kiriku.
Tetapi tujuan awalku
untuk membebaskan tanganku dan menjaga agar kita tidak terpisah satu sama lain
telah tercapai.
“Apa kamu baik-baik
saja dengan ini?”
“Tidak apa-apa. Lagipula,
aku melakukan ini dengan Senpai.”
Aku tidak berani
bertanya kepadanya apakah dia bermaksud bahwa aku boleh menyentuh dadanya, atau
disalahpahami sebagai pasangan.
Izinkan aku untuk
menambahkan, rasanya sulit buat konsentrasi karena aku sadar akan sentuhan
payudaranya, yang mana itu membuatku terganggu.
u Sudut Pandang si Kouhai u
Kami pergi ke jalan-jalan
di mana gerobak berjejer dengan kedua tangan kami saling bergandengan.
Aku merasa sedikit
malu, tapi tidak ada pilihan lain karena aku tidak ingin terpisah. Yeah.
Senpai juga membeli
cukup banyak buku, jadi kami memutuskan untuk makan siang. Kami pergi ke
restoran keluarga terdekat.
“Fuwaaa ...”
Sesaar setelah aku
duduk, aku akhirnya menyadari betapa lelahnya tubuhku.
Bantal sofa terasa
sangat enak.
“Apa yang terjadi?”
“Aku lelah karena Senpai
melakukan ini dan itu di tempat ini dan itu.”
“Ucapanmu! Bukankah
itu rasanya terdengar berbeda!”
“Tehee ~”
“Kau tidak bisa hanya
menertawakannya.”
Kami memesan makan
siang kami, dan pergi ke tempat bar minuman.
Setelah mengambil
minuman, kami kembali lagi ke tempat duduk. Aku menghela nafas lega.
“Senpai.”
“Apa?”
“『 Pertanyaan hari ini.
』”
“Uh huh.”
“Senpai, mengapa kamu
suka buku?”
“Kenapa, ya ...”
Senpai menyesap jus
jeruknya. Ketika kami berada di bar minuman, dia berkata bahwa 「Aku ingin sesuatu
yang manis.」
“Meski kau bertanya
mengapa, aku hanya bisa menjawab karena itu menarik.”
“Haa ...”
Nn, kalau begitu,
bagaimana dengan ini?
“Sepertinya Senpai
memiliki alasan mengapa kamu suka membaca buku.”
“Aku tidak punya
alasan pasti seperti itu. Terutama yang seperti 『Ini adalah titik
balik hidupku!』”
“Ehh, membosankan
sekali.”
“Oi, oi. Jangan
mengejek kehidupan orang lain. Tapi mungkin itu karena ini.”
Senpai yang duduk di
hadapanku meminum jus jeruknya lagi.
“Kedua orang tuaku
membaca banyak buku karena mereka suka membaca, dan aku juga anak
tunggal. Aku tetap berhubungan dengan buku-buku bahkan ketika aku di
rumah, jadi tentu saja, secara alami aku mulai membacanya.”
“Hee…”
Aku meneguk
Calpis-ku.
“Ah,
benar. Kemarin, aku lupa bertanya, ‘kan?”
“Tidak ada barang
bawaan, tau?”
"Aku
tahu. Itu sebabnya, aku takkan membiarkannya sia-sia. Ini dia 『pertanyaan hari ini』dariku.”
“Iya.”
Pertanyaan yang
keluar dari mulut senpai sangat mengejutkan.
“Hari ini, kenapa kau
ingin pergi bersamaku?”
“Mengapa, kamu
bertanya…”
Bukannya itu sudah
diputuskan?
“Itu karena, aku suka.”
“Begitu ya.”
Setelah itu, senpai
terdiam.
Aku tidak menyiratkan
apa yang aku “suka”.
Bisa saja “suka” pada buku-buku seperti senpai, atau mungkin “suka” di tempat Jimbocho ini sendiri, atau
mungkin “suka” bisa menghabiskan
liburan dengan senpai, atau mungkin ――
Ada banyak
kemungkinan, tetapi Senpai tidak menanyakan lebih lanjut setelah itu.
“Terima kasih sudah
menunggu. Ini nasi omeletnya.”
Pelayan datang kepada
kami, dan waktu yang terhenti mulai bergerak lagi.
“Apa benar ini pesanan
anda?”
“Iya.”
“Kalau begitu silahkan
nikmati hidangannya.”
Kami bertukar pandang,
dan memutuskan untuk menyantap makanan kami untuk saat ini.
“Terima kasih atas
makanannya.”
“Terima kasih atas
makanannya.”
Aku pikir, kita tidak
perlu terburu-buru.
Aku ingin tahu lebih
banyak tentang senpai, sedikit demi sedikit.
Apa yang aku rasakan,
benar-benar hanya itu.
Hal yang kuketahui
tentang Senpai-ku, nomor ㊾
Sepertinya dia suka
membaca buku sejak dia masih kecil.