u
Sudut Pandang si Senpai
u
Aku bangun jam 11
siang.
Meski sekarang adalah
hari Jumat, aku tidak perlu pergi ke sekolah. Aku ingin tahu apa hari
Jumat yang indah ini akan terus bertahan selamanya. Tidak, itu mustahil
(hiks).
Benar. Jumat ini
ada hari libur nasional. 3 November, hari budaya.
Setelah penyelidikan
singkat, sepertinya mereka merayakan “cinta
akan kebebasan dan perdamaian, sambil mempromosikan budaya”. Aku tidak
pernah tahu tentang itu. Kebebasan dan kedamaian, ya.
Bahkan jika aku harus
merekomendasikan budayaku, apa yang harus aku lakukan?
Karena pengaruh
sistem Happy Monday dll, ada beberapa kombinasi pada hari Sabtu-Minggu-Senin,
sedangkan Jumat-Sabtu-Minggu sangatlah jarang.
Saat aku bermain-main
dengan smartphone di dalam selimut, ditambah dengan sinar matahari hangat yang
masuk melalui jendela, aku mulai mengantuk lagi. Meski ada tempat yang
ingin aku kunjungi jika aku bangun lebih awal, tapi lupakan saja. Mending
tidur saja.
vvvv
Di alam mimpiku, aku
merasa bisa mendengar suara notifikasi LINE-ku, dan suara ibu yang membangunkanku.
Maharun♪ : Senpaiii
Maharun ♪ : Kamu masih dalam mode
tukang tidur, ‘kan?
Cerewet. Siapa juga
yang tukang tidur? Aku?
Iguchi Keita : Pagi
Maharun ♪ : Ah, selamat bangun telat,
senpai
Iguchi Keita : Jangan mengubah kata
sesukamu
Maharun ♪ : Eh, suka-suka dong?
Uhn. Ada
perasaan ketidaksesuaian yang kuat saat menuliskannya.
Mungkin rasanya berbeda
ketika aku mendengarnya dari suara Kouhai-chan.
u Sudut Pandang si Kouhai u
Setelah mengiriminya
salam selamat pagiku (tapi ini sudah siang), waktu berlalu sebentar.
Aku ingat akan
sesuatu saat hari sudah malam, membuatku membuka LINE lagi.
Maharun ♪ : Aku lupa mengatakan ini,
tapi,
Maharun ♪ : Akhir pekan ini akhirnya
cerah
Iguchi Keita : Sudah sekian lama sejak
akhir pekan tanpa topan
Maharun ♪ : Meski sudah terlambat untuk
mengatakan ini hari ini, tapi besok, ya
Senpai, kamu belum
melupakannya, ‘kan?
Kamu berjanji akan
mengajariku mengendarai sepeda, bukan?
Maharun ♪ : Itu, sepeda,
Iguchi Keita : Ahh, uhm. Aku ada
urusan lain besok
Hah???
Senpai ada urusan
lain, di akhir pekan?
Apa yang sebenarnya
terjadi?
Maharun ♪ : Huuhh?
Maharun♪ : Senpai, punya rencana lain?
Maharun ♪ : Apakah besok mataharo akan
terbit dari barat?
Aku terlalu terkejut,
sampai-sampai jari untuk mengetik di smartphone-ku bergetaran, dan menjadi typo.
Jika kami terus
mengobrol melalui LINE, senpai pasti takkan memberitahuku.
Iguchi Keita : Eh, tidak juga
Tuh ‘kan. Ia
pasti begitu.
Maharun ♪ : [Maharun ♪ memulai
panggilan.]
u
Sudut Pandang si Senpai
u
Hei, ayolah.
Setidaknya tolong
beritahu aku dulu, bisa tidak sih? Kau perlu bertanya apa aku sedang di
rumah, atau apa ada anggota keluarga lain di dekatku. Berhentilah mendadak
menelponku.
Tapi, hari dimana
pikiranku akan mencapainya mungkin takkan pernah datang.
“Ah, senpai? Selamat
bangun telat.”
Salam itu. Saat
aku benar-benar mendengarnya langsung dari suara Kouhai-chan, elemen
penyegarannya terasa murni sebagai salam pertama hari itu dan elemen penghinaan
untuk memberitahuku tentang bagaimana aku bangun terlalu telat saling bersatu
padu, diungkapkan dengan suaranya yang bagus . Entah bagaimana, rasanya jadi
terlalu rumit.
Berpikir bagaimana
ini hanya terbatas pada akhir pekan, rasanya mungkin tidak seburuk juga.
“Hei, berhentilah mendadak
meneleponku.”
“Hah? Senpai,
kamu tidak menutupi dirimu dengan selimut lagi?”
“Aku sudah menyerah.”
Ibuku sudah tahu
tentang keberadaan gadis ini. Tidak ada yang harus aku sembunyikan lagi.
Mungkin ungkapan 'tidak
ada' itu tidak benar. Nah, yang penting di sini adalah aku tidak perlu
menekan suaraku ketika berbicara dengannya melalui telepon lagi.
“Kalau begitu,
Senpai. Ini 『pertanyaan hari ini』dariku. Kamu perlu
menjawab dengan jujur tentang masalah ini.”
Kouhai-chan yang
berada di sisi lain telepon menanyakan pertanyaan yang biasa kepadaku, tapi
memulainya dengan pengantar yang ketat terlebih dahulu.
Nada suaranya
menyatakan bahwa bila dia ada di hadapanku sekarang, dia akan mendesakku untuk
menjawab sambil semakin mendekatiku.
“Apa maksudnya janji
besok itu!?”
Meski kau bertanya
kepadaku apa ...
Ketika aku
merenungkan bagaimana aku harus menjelaskannya kepadanya, dia semakin mendesak.
“Kamu pergi dengan
siapa? Jam berapa? Kemana kamu akan pergi?” (TN : Wahh gilaaa, Kouhai-chan posesif banget :v padahal masih
tahap PDKT)
“Ah, ya, ya. Aku akan
menjawab sekarang, tenanglah dulu.”
“Iya.”
Ini adalah acara yang
aku nantikan setiap tahun.
“Pertama, aku akan
pergi ke Jimbocho.”
“Iya.”
Jimbocho adalah kota
yang menyandang gelar “kota buku terbaik sedunia.”
Lokasinya terletak di
antara Akihabara dan Kanda, dengan memori SMA Otonokizaka terletak di
sana, masih segar di pikiranku. (TN : Nama SMA dari
seri Love Live, yang nonton animenya pasti tau :v)
“Terus, di tempat itu
akan ada festival yang diadakan selama tiga hari, mulai dari hari ini sampai
lusa.”
“Festival?”
“Ya, ini adalah
festival yang diadakan oleh para pecinta buku, untuk para pecinta
buku. Ini disebut, 『Festival Buku Jimbocho.』”
“... Festival buku ...”
“Mendengarmu terheran apanya
yang luar biasa tentang hal itu membuatku merasa sedikit terluka, tapi pada
dasarnya, kau bisa membeli buku-buku baru di sana dengan setengah harga.”
“Um…”
“Buku adalah barang
yang bisa dijual kembali, ‘kan? Versi dijual kembali sedikit lebih murah
bahkan di Amazon. Jadi di festival tahunan itu, kau dapat membelinya
langsung dari penerbit dengan setengah harga. Sebenarnya itulah inti dari festival
buku.”
“Aku
mengerti. Aku merasa bodoh karena terkejut akan hal itu.”
Suara Kouhai-chan
terdengar kecewa.
“Terima kasih untuk
itu.”
“Aku tidak memujimu
senpai.”
“Lagipula aku suka
buku.”
“Aku sudah tahu.”
“Begitu ya. Jadi,
Kau sudah tahu, ya.”
“Ya. Dari dulu
malah.”
u Sudut Pandang si Kouhai u
Saat aku mendengar
kalau Senpai ada janji temu, aku benar-benar memikirkan apa yang harus aku
lakukan.
Tapi sekarang, aku
merasa sedikit lega.
Sebenarnya, aku merasa
malu karena terlalu panik. Karena kita berbicara tentang senpai, aku
seharusnya bisa memprediksi kalau Ia akan pergi ke tempat semacam itu bila aku
berpikir dengan tenang. Serius.
Nah, jika ini
masalahnya, maka ...
“Boleh aku pergi
bersamamu, Senpai?”
Senpai bilang kalau
Ia memiliki tempat yang ingin Ia kunjungi, dan itu kejadian yang sangat jarang.
Bukannya aku
benar-benar tidak suka membaca buku, dan aku ingin tahu betapa menakjubkannya 「festival」 yang membuat senpai
begitu bersemangat.
“Uhnn ...”
Suara Senpai
terdengar seperti sedang merenungkannya.
Lagipula, senpai
adalah tipe yang ingin pergi ke tempat seperti itu dan melihat buku-buku itu
sendirian.
“Aku takkan mengganggu
Senpai sama sekali, kok.”
Sebaliknya, aku
bahkan bisa membantumu membawa beberapa barang bawaan.
“Aku akan mengatakan
ini dulu, oke? Aku takkan pergi ke sana untuk menemanimu, oke? “
Yay! Itu artinya
aku bisa pergi bersama dengan Senpai, kan!
“Tolong nantikan gaya
Yamato Nadeshiko versi diriku yang mengikutimu tiga langkah di belakang!”
Aku terlalu senang,
dan kata-kata itu keluar dengan lancar dari mulutku.
“Bukannya kau memiliki
warna rambut yang cerah? Jika kita berbicara tentang Yamato Nadeshiko,
kamu harus berambut hitam.”
“Hatiku adalah
Nadeshiko, jadi itu masih valid.”
“Apa itu artinya
hatimu berwarna merah muda?”
“Hati merah muda.”
“Aku tidak mengerti
apa yang sedang kita bicarakan sama sekali.”
Aku juga sama, Senpai.
“Ah, aku
lupa. Acaranya nanti akan sangat ramai, apa itu baik-baik saja untukmu?”
Astaga. Jadi Ia masih
ingat kejadian hari itu ketika aku merasa sakit di kereta yang penuh
sesak. Aku merasa terkesan.
“Aku akan baik-baik
saja, karena aku pergi bersama dengan senpai.”
“Caramu mengatakannya
benar-benar tidak adil ... Ya, baiklah. Besok, jam 10 pagi di Jimbocho.”
Senpai secara sepihak
memberitahuku waktu dan tempat, dan Ia mematikan panggilan ketika selesai
berbicara.
Serius. Aku juga
merasa malu, oke?
Ha yang kuketahui
tentang Senpai-ku, nomor ㊽
Tampaknya,
kadang-kadang Ia bangun lebih awal pada hari libur.