Cerita
Sampingan Versi Bookwalker
Ibu Amane, Shihoko, sangat tertarik pada Mahiru.
Dia sangat menyukai hal-hal lucu dan menginginkan seorang anak
perempuan, dan tidak ada yang lebih manis dari tetangga Amane yaitu
Mahiru. Setiap kali dia menghubungi Amane, dia selalu bertanya dengan
bagaimana keadaan Mahiru, apa makanan favoritnya, dan sebagainya
Amane menjawab kalau Mahiru bisa makan apa saja dan tidak pilih-pilih
makanan, dan sebagai tanggapan atas jawaban yang ambigu itu, barang ini dikirim
kepadanya
“... Apa yang ada di dalam kotak itu?”
Mahiru tiba di apartemen Amane, dan menatap kotak di atas meja ruang
tamu.
“Cuma beberapa barang yang aku terima dari ibu. Mungkin itu dikirim
sebagai permintaan maaf atas masalah yang disebabkan padamu, Mahiru ... atau
kita, kurasa? ”
Amane tahu apa yang ada di dalamnya, tapi Ia tahu kalau itu bukan barang
yang tepat untuk dikirim ke anak sekolahan. Baik Amane dan Mahiru akan
senang karenanya. Bahkan, Amane sendiri merasa senang.
“Permintaan maaf ... untuk apa dia meminta maaf?”
“Yah, aku minta maaf atas masalah yang disebabkan ibuku, tapi jangan
khawatir tentang itu. Saat ini, anggap saja itu sebagai barang persediaan.
”
Amane bisa menggambarkannya sebagai permintaan maaf jika berisi manisan,
tapi sayangnya isinya bukan itu. Amane tidak mengharapkan ibunya untuk
mengirimkan makanan setengah matang.
Mahiru menatap ragu, dan ketika diminta, Amane membuka isi paket itu.
Di dalamnya ada ikan kemasan yang diawetkan. Isinya ada Mirin-zuke,
Saikyo-zuke, Kasu-zuke, dan berbagai ikan lainnya.
Tampaknya ibu Amane mengirimkan barang-barang yang Amane sukai.
“Wow, bukannya ini dari toko terkenal itu?”
“Keluargaku sering membelinya karena aku sangat menyukainya. Sudah
lama sejak aku memakannya.”
“Itu adalah sesuatu yang patut disyukuri. Kurasa aku tidak perlu pergi
berbelanja hari ini. Haruskah kita memakai ini sebagai hidangan utama
untuk makan malam?”
Mahiru tampak senang, lebih dari takut akan makanan ringan yang dimasak
setengah mati ini. Anak SMA jaman sekarang ... pikir Amane, tapi karena Ia
juga anak SMA,Ia tidak berani bersuara, dan tetap diam.
Sementara merasa terganggu dengan bagaimana Shihoko akan melakukan
hal-hal yang tidak perlu, Amane bersyukur atas perhatian yang ditunjukkannya.
Ia memutuskan untuk mengirim pesan berterima kasih pada ibunya nanti,
dan untuk menikmati ikan bakar untuk makan malam.
****
(Bagaimana ini bisa terjadi?)
Sementara merasakan kehangatan dan aroma harum dari lengan kirinya,
Amane memastikan bahwa pipinya masih tetap normal.
Dag dig dug, dag dig dug, entah kenapa, jantungnya berdetak kencang, dan pelakunya adalah
Mahiru, yang tengah bersandar pada Amane
Satu-satunya penjelasan mengapa ini terjadi ialah Kasu-zuke yang mereka
makan. Walaupun Amane membiarkan Mahiru memilih sesukanya, mungkin karena
kadar alkoholnya belum terbakar sepenuhnya karena dimasak di bawah api rendah.
Mereka selesai makan, istirahat, dan Mahiru dengan tenang meringkuk
padanya.
Amane membiarkan tubuhnya tidak bergerak saat Mahiru menempel padanya,
dan Mahiru mengusap pipinya di pundak Amane.
Itu adalah momen yang luar biasa, sesuatu yang sangat mustahil, dan
Amane berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengerang saat Ia menatap Mahiru
dengan pandangan ketakutan.
Mata Mahiru yang berwarna karamel tampak sayup ketika dia menatap Amane
dengan paksa. Pipinya terlihat semerah tomat.
“... Ma-Mahiru-san?”
“…Panas sekali.”
“Y-yah, kalau panas, lebih baik jangan menempel padaku.”
“Rasanya panas, dan juga dingin.”
Usai mengatakan itu, Mahiru menyandarkan berat badannya pada Amane.
Dia sama sekali tidak berat, tapi tingkah Mahiru membuat Amane
benar-benar gelisah. Ia tidak menjadi gila, tapi mana mungkin Amane tidak
terguncang dengan seseorang dari lawan jenis yang melekat padanya.
Terkesima oleh aroma wangi dan kelembutan yang dirasakannya, Amane
merasakan pipinya memanas.
“... Aku akan senang jika kamu bisa menjauh dariku sekarang ... erm,
kenapa kau malah menempel padaku?”
“…Ini hangat.”
Kata-katanya sulit dipahami; kelihatannya Mahiru mabuk. Tidak
peduli apakah dia merasa panas, dingin atau hangat, proses pemikirannya jelas
menurun, dan dia tidak bisa berpikir jernih.
“... Apa aku hangat?”
“... Ya, sangat, sangat hangat.”
“Aku pikir itu hanya karena dari awal kau kedinginan, Mahiru.”
Amane mencoba menyentuhnya, tapi tubuh Mahiru sangat panas karena
alkohol
Menanggapi kata-kata Amane, Mahiru menggelengkan kepalanya, dan
membenamkan wajahnya ke dada Amane.
“... Aku hanya, cemburu pada kehangatan, yang tidak kumiliki ... Aku
ingin kamu berbagi denganku.”
Begitu dia mengatakan itu, Mahiru tenang, dan setelah berpikir sejenak,
Amane mengelus-ngelus kepalanya dengan tangan kanannya.
Mahiru mengangkat kepalanya, tampak sedikit terkejut oleh ekspresi
lembut di wajah Amane, yang terus mengelus kepalanya sekali lagi tanpa tahu
wajah apa yang Amane buat.
Setelah menunjukkan tatapan itu sebentar, Mahiru membenamkan wajahnya ke
dalam pelukannya lagi.
Amane akan terus membiarkan Mahiru melakukan sesuka hatinya sampai dia
sadar.
“... To-Tolong, lupakan itu.”
Efek alkoholnya sudah habis, dan Mahiru segera menjauh dari Amane,
wajahnya benar-benar merah padam ketika dia memohon. Amane terkekeh, tidak
menyadari betapa terguncangnya dirinya.
Tampaknya Amane, bukan Mahiru, mungkin yang paling terguncang, tetapi Ia
pura-pura tidak tahu, dan tidak berani menyuarakannya. Amane sangat sadar
akan masalah ini, tapi untuk beberapa alasan, berusaha menyembunyikan hal ini
kepada Mahiru. Baginya, lebih baik menjaga suasana tetap santai daripada
menjadi canggung.
Mencoba meyakinkan dirinya sendiri, Amane mengakhiri semuanya dengan mengangkat bahu.
Nikmat mana lagi yang kau dustakan
BalasHapusTch
BalasHapus